Anda di halaman 1dari 18

WAQAF, HIBAH DAN WADI’AH

MATA KULIAH

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH


SYEKH MUHAMMAD NAFIS TABALONG
PENGERTIAN WAQAF

 Waqaf secara etimologi berarti tertahan (at tahbis), tertawan (at tasbil) dan terkembalikan
(radiah)
 Secara terminologi didefinisikan oleh ulama ;
1. Muhammad Asy Syarbini al Khatib dalam kitabnya Al’Iqna fi Hallil Alfadz Abi Suza : Penahanann
harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan disertai dengan kekalnya zat benda dengan
memutuskan tasharruf (menginfaqkan) dalam penjagaannya melalui pengelola yang
perwujudannya dibolehkan.
2. Imam Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad Al Husaini dalam Kitab Kifayatul Akhyar :
Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan dengan kekalnya benda zatnya,
dilarang untuk diinfaqkan zatnya dan dikelola manfaatnya dalam kebaikan untuk mendekatkan
diri pada Allah.
3. Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Wakaf, Ijarah dan Syirkah : menahan harta yang dapat
diambil manfaatnya tidak musnah seketika, dan untuk penggunaan yang dibolehkan serta
dengan tujuan untuk mendapat ridha Allah.
4. Idris Ahmad dalam kitabnya Fiqh Asy Syafi’iyah : menahan harta yang mungkin dapat diambil
orang manfaatnya, kekal zatnya dan menyerahkannya ke tempat –tempat yang telah ditentukan
syara’.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa waqaf adalah menahan sesuatu benda yang kekal
zatnya, dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna diberikan di jalan kebaikan.
DASAR HUKUM WAQAF

 AL Quran Surah Al Hajj ayat 77 :

ٌٕ‫ٔافعهٕا انخير نعهكى تفهح‬


“Berbuatlah kamu akan kebaikan agar kamu dapat keberuntungan.”

 Hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah RA :

ّ‫ادا ابٍ ادو اَقطع عُّ عًهّ اال يٍ ثالث صذقت جبريت أ عهى يُتفع بّ أ ٔنذ صبنح يذعٕا ن‬

“ Apabila meninggal anak Adam, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara ; shadaqah jari
yah (termasuk waqaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendo’akan orang tua o-
rang tuanya.”
KETENTUAN-KETENTUAN WAQAF

1. Harta waqaf harus tetap, tidak boleh dipindahkan kepada orang lain

2. Harta waqaf terlepas dari kepemilikan orang yang mewaqafkannya.

3. Tujuan waqaf harus jelas, dan termasuk perbuatan baik menurut ajaran Islam.

4. Harta waqaf dapat dikuasakan kepada pengawas yang memiliki hak ikut serta dalam harta
waqaf sekedarnya dan tidak berlebihan.

5. Harta waqaf dapat berupa tanah dan sebagainya, yang tahan lama dan tidak musnah dalam
sekali penggunaan.
SYARAT WAQAF

1. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu, sebab perbuatan waqaf berlaku untuk selamanya. Bila
seseorang mewaqafkan kebun untuk jangka 10 tahun misalnya, maka waqaf tersebut dipandang
batal.

2. Tujuan waqaf harus jelas, seperti mewaqafkan sebidang tanah untuk masjid, langgar,
pesantren dan sebagainya. Namun apabila seseorang mewaqaf kan sesuatu tanpa menyebutkan
tujuannya, maka hal itu dipandang sah, sebab penggunaan benda waqaf tersebut menjadi
kewenangan lembaga hukum yang menerima harta waqaf tersebut.

3. Waqaf harus segera dilaksanakan setelah dinyatakan oleh yang mewaqafkan, tanpa
digantungkan pada peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang, sebab pernyataan
waqaf berakibat lepasnya hak milik bagi yang mewaqafkan. Bila waqaf digantungkan dengan
kematian yang mewaqafkan , ini berkaitan dengan wasiat dan tidak bertalian dengan waqaf.
Dalam pelaksanaan semacam ini, maka berlakulah ketentuan yang berkaitan dengan wasiat.

4. Waqaf merupakan perkara yang wajib dilaksanakan tanpa adanya khiyar , sebab pernyataan
waqaf berlaku seketika dan untuk selamanya.
RUKUN WAQAF

1. Orang yang berwaqaf (waqif) : baligh, berakal, dan tidak terpaksa

2. Harta yang diwaqafkan (mauquf) : harta bernilai, milik pribadi, dan tahan lama untuk
digunakan.

3. Tujuan waqaf (mauquf alaih) : termasuk kategori ibadah, seperti untuk sarana ibadah dalam
arti luas, harta waqaf harus segera diterima begitu waqaf diikrarkan. Bila waqaf diperuntukkan
membangun tempat ibadah umum, hendaklah ada badan yang menerimanya.

4. Pernyataan waqaf (shighat waqf) : baik dengan lisan, tulisan maupun isyarat. Isyarat hanya
boleh dilakukan bagi waqif yang tidak mampu melakukan dengan lisan dan tulisan.
MACAM-MACAM WAQAF

1. Waqaf ahli (khusus) : waqaf keluarga, yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, baik keluarga
waqif maupun orang lain. Misalnya seseorang mewaqafkan buku-buku yang ada di perpustakaan
pribadinya untuk turunannya yang mampu menggunakan. Apabila orang-orang yang ditunjuk tidak ada
lagi yang mampu mempergunakan benda-benda waqaf atau benda-benda waqaf telah punah, maka
dikembalikan pada syarat umum, yaitu waqaf tidak boleh dibatasi dengan waktu. Dengan demikian
meskipun orang-orang yang dinyatakan berhak memanfaatkan benda-benda waqaf telah punah, buku-
buku tersebut tetap berkedudukan sebagai benda waqaf yang digunakan oleh keluarga yang lebih
jauh atau bila tidak ada lagi digunakan oleh umum.

2. Waqaf khairi (umum) : waqaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan-kepentingan umum
dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu. Waqaf inilah yang benar-benar sejalan dengan
amalan waqaf yang amat digembirakan dalam Islam, yang dinyatakan pahalanya akan terus
mengalir hingga waqif meninggal dunia, selama harta masih dapat diambil manfaatnya.
MENUKAR DAN MENJUAL HARTA WAQAF

 Waqaf dinilai ibadah yang senantiasa mengalir pahalanya jika harta waqaf itu dapat memenuhi
fungsinya yang dituju. Dalam hal harta waqaf berkurang, rusak, atau tidak dapat memenuhi
fungsinya yang dituju, harus dicarikan jalan keluar agar harta itu tidak berkurang dan
berfungsi. Bahkan untuk menjual atau menukarpun tidak dilarang, kemudian ditukarkan dengan
benda lain yang dapat memenuhi tujuan waqaf.

 Salah seorang ulama mazhab Hambali yang dikenal dengan nama Ibnu Qudamah berpendapat
bahwa apabila harta waqaf mengalami rusak hingga tidak dapat membawa manfaat sesuai
dengan tujuannya hendaklah dijual saja, kemudian harga penjualannya dibelikan benda lain yang
akan mendatangkan manfaat sesuai dengan tujuan waqaf, dan benda yang dibeli itu
berkedudukan sebagai waqaf seperti semula.
PENGERTIAN HIBAH

 Sebagian ulama berpendapat hibah secara etimologi diambil dari kata kerja arab “habba” yang
berarti “istaiqadza” yang berarti terbangun (dari tidur), karena perilaku hibah itu bangkit
untuk berbuat kebaikan setelah ia lupa akan kebaikan.

 Secara terminologi hibah adalah ;

1. ‫تًهيك تطٕع في حيبة‬

“ Pemilikan sesuatu yang sunat ketika hidup.”

2. Sebagian ulama berpendapat bahwa hibah adalah ; “Pemilikan sesuatu yang bernilai dan
mutlak pada suatu benda ketika hidup tanpa penggantian meskipun dari benda yang lebih
tinggi.”
MACAM-MACAM HIBAH

 Bermacam-macam sebutan pemberian disebabkan oleh perbedaan niat (motivasi) orang yang
menyerahkan benda, sebutan itu adalah ;

a. Hibah : pemberian sesuatu kepada yang lain untuk dimiliki zatnya tanpa mengharapkan
penggantian (balasan). Seperti yang dikemukakan oleh Imam Taqiyuddin Abu Bakr Ibnu
Muhammad AlHusaini dalam kitabnya Kifayatul Akhyar :
‫( انتًهيك بغير عٕض‬Pemilikan tanpa penggantian)

b. Shadaqah : pemberian sesuatu benda dari seseorang kepada yang lain tanpa penggantian
untuk memperoleh ganjaran Allah Swt.

c. Wasiat : pemberian seseorang kepada yang lain yang diakadkan ketika hidup dan diberikan
setelah yang mewasiatkan meninggal dunia.

d. Hadiah : pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya penggantian dengan
maksud memuliakan.
DASAR HUKUM PEMBERIAN

 Quran dan Hadits banyak yang menganjurkan untuk berbuat baik dengan cara tolong-
menolong, salah satunya dengan cara memberikan harta kepada orang lain, lebih-lebih
kepada yang membutuhkan, diantaranya ;

 Quran Surah Al Maidah ayat 2 :

 ‫ٔتعبَٕٔا عهي انبر ٔانتقٕي‬


“Dan bertolong-tolongan lah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan takwa”

 ‫كبٌ انُبي صهي هللا عهيّ ٔسهى يقبم انٓذيت ٔيُيب عهيٓب‬
“ Nabi Saw pernah menerima hadiah dan membalasnya hadiah itu.”
MENCABUT PEMBERIAN

 Pada dasarnya pemberian haram untuk diminta kembali baik hadiah, shadaqah, hibah maupun
washiyyat. Oleh karena itu para ulama menganggap permintaan barang yang sudah dihadiahkan
dianggap sebagai perbuatan yang buruk sekali.

 ّ‫انعبئذ في ْبتّ كبنكهب يقيء ثى يعٕد في قيئ‬


“Orang yang meminta kembali benda-benda yang telah diberikan sama dengan anjing yang
muntah kemudian memakan kembali muntahnya.”

 Dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas RA, Nabi Saw bersabda :

ِ‫ال يحم نرجم يسهى اٌ يعطي انعطيت ثى يرجع فيٓب اال انٕانذ فيًب يعطي ٔنذ‬
“Haram bagi seseorang muslim memberi sesuatu kepada orang lain kemudian meminta
nya kembali, kecuali pemberian ayah kepada anaknya.”
PEMBERIAN BERSYARAT

 Pada hakikatnya pemberian dilakukan dengan tidak mengharapkan balasan, baik pemberian itu
berbentuk hibah, shadaqah maupun hadiah, tetapi pemberian boleh juga dilakukan dengan
persyaratan, seperti seseorang berkata : Aku berikan ini kepadamu, dengan syarat kamu supaya
menyerahkan buku kamu kepadaku”.

 Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Hibban dari Ibnu Abbas RA,
Nabi Saw bersabda :
ِ‫ رضيت قبل ال فزادِ فقبل رضيت قبل ال فزاد‬: ‫ْٔب رجم نرسٕل هللا صهي هللا عهيّ ٔسهى َبقت فأثببّ عهيٓب فقبل‬
‫قبل رضيت قبل َعى‬
“Seorang laki-laki memberikan kepada Rasulullah Saw seekor unta betina, kemudian
pemberian itu dibalas oleh Rasulullah Saw dan berkata ; Telah relakah kamu ? Laki-
laki menjawab : belum. Rasulullah lalu menambahkan balasannya dan berkata ; Telah
relakah kamu ? Laki-laki itu menjawab ; belum, kemudian ditambah kembali balasan
nya itu, lalu beliau bersabda ; Telah relakah kamu ? Laki-laki itu menjawab : Ya
sudah.
Hadits ini memberikan pengertian bahwa pemberian tidak boleh diminta kembali, bila pemberian
itu tidak bersyarat atau tidak menghendaki balasan.
PENGERTIAN WADI’AH

 Secara bahasa wadi’ah ialah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaganya
(barang titipan). ) ‫( ما ودع عند غير ملكه ليحفظه‬

 Menurut istilah wadi’ah menurut sebagian ulama :


1. Menurut Malikiyah : Pemindahan pemeliharaan sesuatu yang dimiliki secara sah kepada penerima
titipan.
2. Menurut Hanafiyah : Seseorang memindahkan harta kepada yang lain untuk dipelihara dengan sah
dan legal
3. Menurut Syafi’iyah : Akad yang dilaksanakan untuk menjaga sesuatu yang dititipkan.
4. Menurut Hanabilah : Titipan perwakilan dalam pemeliharaan sesuatu secara bebas (tabarru’)
5. Menurut Syekh Syihabuddin al Qalyubi dan Syekh Umairah : Benda yang diletakkan pada orang lain
untuk dipeliharanya.
6. Menurut Hasbi Ash Shiddiqy : Akad minta pertolongan kepada seseorang dalam memelihara harta
titipan

Dengan demikian Wadi’ah adalah akad seseorang kepada orang lain dengan menitipkan suatu benda
untuk dijaganya secara layak.

Apabila ada kerusakan pada benda titipan padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana layaknya,
maka penerima titipan tidak wajib menggantinya, tetapi bila kerusakan itu disebabkan kelalaiannya,
maka ia wajib menggantinya.
DASAR HUKUM WADI’AH

 Wadi’ah adalah amanah bagi orang yang menerima harta titipan dan ia wajib
mengembalikannya pada waktu pemiliknya meminta kembali. Dasar hukum dari Wadi’ah
ini, diantaranya :

a. Firman Allah Surah Al Baqarah ayat 283 :

ّ‫فبءٌ أيٍ بعضكى بعضب فهيإد انذي أؤتًٍ أيبَتّ ٔنيتق هللا رب‬
“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang diperca
ya itu menunaikan amanatnya dan bertakwalah kepada Allah sebagai Tuhannya.”

b. Hadits Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan Ad Daru Quthni :

)‫يٍ أدع ٔديعت فال ضًبٌ عهيّ (رٔاِ انذار قطُي‬


“ Siapa yang diberi harta titipan, ia tidak ada kewajiban menjamin padanya”
(H.R. Ad Daru Quthni)
RUKUN DAN SYARAT WADI’AH

 Menurut Hanafiyah rukun wadi’ah adalah satu yaitu ijab dan qabul, sedangkan yang lainnya
termasuk syarat dan tidak termasuk rukun. Dalam sighat ijab dianggap sah apabila ijab
tersebut dilakukan dengan perkataan yang jelas (sharih) maupun dengan perkataan kiasan
(kinayah). Ini juga berlaku pada qabul. Disyaratkan bagi yang menitipkan dan yang dititipi
barang sudah mukallaf, tidak sah penerima benda titipan orang gila dan anak-anak yang
belum dewasa.

 Menurut Syafi’iyah Wadi’ah memiliki tiga rukun, yaitu ;

1. Barang yang dititipkan, syarat barang yang dititipkan adalah barang yang dapat dimiliki
menurut syara’

2. Orang yang menitipkan dan yang menerima titipan, disyaratkan bagi penitip dan penerima
titipan telah baligh dan berakal.

3. Sighat ijab dan qabul wadi’ah, disyaratkan dimengerti kedua belah pihak, baik dengan jelas
maupun kiasan/samar.
HUKUM MENERIMA WADI’AH

 Menurut Sulaiman Rasyied dalam bukunya Fiqh Islam hukum menerima wadi’ah itu 4
macam yaitu sunat, haram, wajib dan makruh, dengan penjelasan sebagai berikut ;

1. Sunat : bagi orang yang peraya kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga benda-benda
yang dititipkan kepadanya. Wadi’ah adalah salah satu bentuk tolong menolong yang
diperintahkan Allah yang secara umum hukumnya sunat. Hal ini dianggap sunat menerima
benda titipan ketika ada orang yang pantas menerima barang titipan.

2. Wajib : bagi seseorang yang percaya bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-
benda tersebut, sementara orang lain tidak ada seorangpun yang dapat dipercaya untuk
memelihara benda-benda tersebut.

3. Haram : apabila seseorang tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda titipan.
Jika menerima barang titipan berakibat kerusakan atau hilangnya benda titipan itu sehingga
akan memudaratkan yang menitipkan barang.

4. Makruh : bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia mampu menjaga benda-benda
titipan, tetapi dia ragu pada kemampuannya. Kondisi ini dikhawatirkan dia akan
menyalahgunakan kepercayaan pihak penitip barang, seumpama merusak , menyianyiakan dan
atau menghilangkan barang titipan.
RUSAK DAN HILANGNYA WADI’AH

 Apabila orang yang menerima titipan mengaku bahwa benda titipan telah rusak tanpa adanya
unsur kesengajaan darinya, maka ucapannya harus disertai dengan sumpah supaya
perkataannya itu kuat kedudukannya secara hukum. Akan tetapi Ibnu Mundzir berpendapat
bahwa orang tersebut sudah dapat diterima ucapannya secara hukum tanpa dibutuhkan adanya
sumpah.

 Menurut Ibnu Taimiyah apabila seseorang yang memelihara benda titipan mengaku bahwa
benda itu ada yang mencuri, sementara benda yang ia kelola itu tidak ada yang menuri, maka
dia wajib menggantinya.

 Orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat benda titipan milik orang lain,
ternyata barang titipan itu tidak dapat ditemukan, maka ini merupakan utang bagi yang
menerima titipan, dan wajib dibayar oleh ahli warisnya.

 Bila seseorang menerima benda titipan, sudah sangat lama waktunya, sehingga dia tidak lagi
mengetahui dimana atau siapa pemilik benda titipan tersebut dan telah berusaha
mencarinya, maka benda titipan tersebut dapat digunakan untuk kepentingan agama dan
umat.

Anda mungkin juga menyukai