Anda di halaman 1dari 9

I.

ASAS-ASAS DALAM HUKUM ACARA PTUN


A. Asas-Asas Terkait Formalitas Beracara Di Pengadilan
1. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Sebagai Ultimuum Remedium
Ultimum Remedium dapat dikatakan juga sebagai alat terakhir.1 Dalam
penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara di pengadilan, seringkali juga kita
mendengar istilah Ultimum Remedium. Pada penyelesaian sengketa yang
ada, hal yang diutamakan (primum remedium) dari upaya penyelesaian
tersebut yaitu, dapat melalui mekanisme internal di pemerintahan melalui
prosedur upaya administratif. Atau dengan kata lain, jika masih terdapat
pihak yang merasa tidak puas atas penyelesaian sengketa yang dilakukan
melalui mekanisme internal di pemerintahan yang dimana hal tersebut dapat
ditempuh melalui upaya administratif, baru penyelesaian sengketa tersebut
dapat dilakukan di pengadilan. Jadi pada intinya sebelum kita menyelesaikan
sengketa di pengadilan, kita harus terlebih dahulu menyelesaikan sengketa
tersebut melalui mekanisme internal di pemerintahan. Dimana hal tersebut
dapat melalui prosedur upaya administratif. Jika nantinya masih terdapat
ketidakpuasan dari para pihak, maka kita baru bisa menyelesaikan sengketa
tersebut melalui jalur pengadilan. Hal tersebut pun memiliki hubungan baik
dengan nilai-nilai maupun dengan prinsip-prinsip Negara Hukum Pancasila,
yaitu lebih mengutamakan gotong royong serta memilih untuk
menyelesaikan sengketa secara kekeluargaan (musyawarah) ketimbang
dengan menyelesaikan sengketa di pengadilan (dalam hal ini disebut juga
sebagai upaya terakhir). 2
2. Asas Kepentingan Menggugat/Mengajukan Permohonan (Geen Belang Geen
Actie / Point D’Interet Point D’action
Secara terminologis, asas ini dapat dikatakan sebagai pihak yang
berkepentingan maka ialah yang berhak menggugat. 3 Penyebutan dari asas
1
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2006, hlm. 128.
2
Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987, hlm. 90.
3
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 2006, hlm. 53.

1
Point D’Interet Point D’action tersebut berasal dari Bahasa Perancis yang
memiliki arti “Titik Kepentingan, Titik Aksi”. Jika dilihat dari Literatur
Bahasa Belanda dapat juga dikatakan sebagai Geen Belang Geen Actie yang
memiliki arti “Tiada Kepentingan, Tiada Gugatan”. Kepentingan dalam
hukum publik sebagaimana yang dimaksud oleh Ten Berge dan Tak,
kepentingan tersebut memiliki dua arti, yaitu4 :
a. Het Rechtens Te Bescherment Belang atau kepentingan yang menunjuk
kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum; dan
b. Processbelang atau Kepentingan Proses, yaitu hal-hal yang hendak
dicapai dengan melakukan gugatan di pengadilan.
Dalam hal ini, kedua jenis kepentingan tersebut memiliki sifat kumulatif
alternatif. Atau dengan arti lain baik gugatan ataupun permohonan tersebut
dapat diajukan dengan salah satu kepentingan saja atau bisa juga keduanya.
Atau dengan kata lain dalam hal ini juga semua orang dapat menjadi salah
satu pihak dalam peradilan perdata, asalkan orang tersebut memiliki
kepentingan hukum yang cukup. Kepentingan hukum yang cukup tersebut
dapat diartikan dengan adanya alat bukti yang mendukung ketika sudah
dimulainya proses beracara. Hal tersebut karena dengan tidak adanya alat
bukti yang cukup, maka risiko dari kebenaran formil (Preponderance Of
Evidence : Anglo Amerika, Verhandlung Maxime : Eropa Kontinental),
pembuktian menanggung risiko (Bewijs Risico) akan kalah. Atau dengan
kata lain, jika melihat adanya kata “kepentingan hukum yang cukup" yang
ada pada peradilan perdata, maka hal tersebut pihak yang mengajukan
tuntutan hak harus bisa membuktikan hak yang dituntutnya melalui alat
bukti. Sesuai dengan ketentuan dari Pasal 163 HIR yang diambil dari asas
“Actory In Cumbit Probatio” yang memiliki makna “barang siapa yang
mendalilkan hak maka dia harus membuktikan adanya hak tersebut.”5
4
J.B.J.M. Ten Berge, dan A.Q.C. Tak, Hoofdlijnen van het Nederlands Administratief Processrecht,
Zwolle: W. E. J. Tjeenk Willink, 1987, hlm. 65.
5
Spyendik Bernadus Blegur, Asas-Asas Hukum Utama Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, Jayapura, Vol.5, No. 1 Februari 2022 : hlm. 43-44.

2
B. Asas-Asas Terkait dengan Penyelesaian Pokok Sengketa
1. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Dan Biaya Ringan
Asas ini sebenarnya terbagi menjadi tiga, yaitu asas Peradilan Cepat,
Peradilan Sederhana, dan Peradilan Biaya Ringan. Tetapi dalam hal ini,
ketiga asas tersebut disatukan menjadi satu.6 Dalam hal ini, makna dari
peradilan cepat, yaitu seharusnya kita tidak boleh/tidak akan
menyanggah ataupun menunda akan keadilan serta kebenaran.
Sedangkan asas yang kedua, yaitu sederhana dimaknai sebagai proses
yang ada pada hukum acara peradilan tidak rumit, melainkan dapat
dengan mudah dipahami serta dijalani. Dan asas yang terakhir, yaitu asas
biaya ringan memiliki arti jika proses peradilan tidak perlu biaya yang
banyak atau besar. Sehingga dalam hal ini semua pihak dari berbagai
kalangan yang merasa hak nya dilanggar dapat mencapai keadilan. 7
2. Asas Presumptio Justae Causa atau Het Vermoeden Van Rechtmatigheid
Dalam hal ini asas tersebut dapat dikatakan sebagai asas praduga
keabsahan. Asas ini menyatakan jika suatu norma (termasuk keputusan)
akan dianggap sah sampai dibuktikan sebaliknya dan dinyatakan oleh
hakim sebagai keputusan yang melawan hukum. 8 Jika dilihat dari
pandangan Peradilan Tata Usaha Negara, terdapat dua pihak yang dapat
berwenang untuk membatalkan ataupun menyatakan tidak sahnya suatu
keputusan (tindakan). Pihak tersebut yaitu, pihak internal seperti
pemeritahan yang sesuai dengan kewenangan masing-masing, serta
pengadilan melalui adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan
hukum tetap.
3. Pengujian Marginale Toetsing

6
Nicholas Vincent, Magna Charta Translation, National Archives and Records Administration,
https://www.archives.gov/files/press/press-kits/magna-carta/magna-cartatranslation.pdf, diakses pada 17
Oktober 2023, Pukul 19.00 WIB.
7
Rizky Pratama, dan Arif Wibowo, Asas-Asas Hukum Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, Pontianak, Vol. 2, No. 1 Februari 2023 : hlm. 20.
8
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Buku I
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004, hlm. 43.

3
Dalam hal menguji keabsahan dari suatu keputusan ataupun tindakan
administrasi pemerintahan, pengadilan hanya akan mengedepankan
penggunaan pengujian marjinal. Atau dengan kata lain dalam hal ini
hakim akan menguji hanya dari segi hukumnya saja, bukan dari segi
tujuan ataupun manfaat yang akan di dapat. 9
4. Hakim Bersifat Aktif (Dominus Litis)
Maksud dari hakim bersifat aktif (Dominus Litis), yaitu dalam hal ini
hakim harus bersifat aktif dalam hal mencari kebenaran materil. Pada
Peradilan Tata Usaha Negara, selain aktif dalam mencari kebenaran
materil, hakim juga harus dapat menyeimbangkan kedudukan antara
penggugat dengan tergugat. 10
5. Asas Pembuktian Bebas (Vrije Bewijs)
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan asas pembuktian bebas yaitu,
hakim dapat dengan bebas untuk menentukan apa yang harus
dibuktikan, bebas untuk menentukan beban pembuktian dan juga
dengan penilaian pembuktian itu sendiri. Hal tersebut dapat dikatakan
juga sebagai implikasi dari adanya asas hakim sebagai Dominus Litis.
Tetapi, dalam hal ini kebebasan hakim pun tetap dibatasi. Pembatasan
kebebasan hakim tersebut dapar dibatasi oleh alat bukti yang
sebagaimana sudah ditentukan oleh Undang-Undang agar untuk
kedepannya dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa dari Tata
Usaha Negara, dan beserta dengan jumlah minimal dari adanya alat
bukti yang dapat digunakan untuk memutus sengketa tersebut. Selain
itu dalam Bahasa Prancis asas ini pun biasanya disebut dengan La
Conviction Raisonnée, yang memiliki arti keyakinan yang beralasan.
Atau jika dilihat dari terminologi hukum Belanda dapat disebut sebagai
9
Indroharto, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Effendie Lotulung, Himpunan
Makalah Azas-azas Umum Pemerintahan Yang Baik (A.A.U.P.B), Cetakan Pertama, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1994, hlm. 167-168.
10
Muhammad Adiguna Bimasakti, Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Oleh Pemerintah / Onrechtmatige
Overheidsdaad (OOD) Dari Sudut Pandang Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Yogyakarta:
Deepublish, 2018, hlm. 48.

4
Vrije bewijstheorie, yang memiliki arti pembuktian bebas. 11 Dalam hal
ini untuk mencapai suatu keyakinan hakim, maka wajib adanya
dukungan dari dirasionalisasi yang ditambah dengan alat bukti. Dimana
baik alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang ataupun yang tidak
diatur dalam Undang-Undang.
6. Tindakan Penguatan (Affirmative Action)
Dalam hal ini, tindakan penguatan (Affirmative Action) memiliki arti
sebagai suatu tindakan yang bersifat sementara yang berguna untuk
menguatkan salah satu posisi dari suatu golongan yang kedudukannya
dapat dianggap lebih lemah daripada pihak yang lain. Istilah tersebut
ditemukan dalam Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on Elimination of
Discrimination Against Women - CEDAW). Sebagaimana hal tersebut
sudah diratifikasi oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 Tentang
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita. Dalam Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara, perwujudan asas ini terlihat dari adanya tahapan
pemeriksaan persiapan. Hal tersebut memiliki tujuan untuk
mempersiapkan suatu gugatan dan meminta data, seperti keterangan,
surat atau dokumen dari pihak tergugat atau yang lain (jika dalam hal
ini belum ada di tangan penggugat serta perlu untuk diperiksa),
meminta keterangan dari para pihak dengan tujuan agar penggugat
dapat mengakses segala hal yang diperlukan untuk dapat membela
haknya saat di persidangan.
7. Putusan Pengadilan bersifat Erga Omnes
Erga Omnes secara harfiah dapat diartikan sebagai mengikat bagi semua.
Jika ditinjau dari putusan pengadilan, maka dalam hal ini putusan
pengadilan tersebut berarti memiliki arti mengikat bagi semua pihak.

11
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata, Bandung: Citra Aditya, 2006, hlm 56.

5
Baik pihak yang bersengketa ataupun diluar pihak yang bersengketa. 12
Hal tersebut berbeda dengan asas yang ada dalam peradilan perdata,
yaitu putusan dalam peradilan perdata hanya akan mengikat untuk para
pihak yang bersengketa saja (inter-parters). Asas ini juga memiliki
kaitan dengan pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam hal pihak tergugat
baik pejabat ataupun badan TUN yang tidak menaati serta menjalankan
putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap, maka atasan
pejabat tersebut wajib memerintahkan pihak tergugat agar dapat
menjalankannya serta menjatuhkan sanksi berupa sanksi administratif.
Yang dimana sanksi tersebut pastinya sesuai dengan ketentuan dari
Perundang-undangan yang berlaku, walaupun dalam hal ini ia bukan
pihak yang ada dalam sengketa.
8. Ultra Petita Terbatas
Ultra Petita dalam hal ini memiliki arti hakim memutus baik melebihi
atau diluar dari apa yang diminta oleh para pihak. 13 Jika ditinjau dari
adanya tujuan keberadaan lembaga peradilan yang dimana sebagai pihak
yang menjalankan fungsi untuk menyelesaikan sengketa, hal tersebut
sangat logis jika dikatakan hakim hanya dapat memeriksa serta
mengadili apa yang diajukan para pihak saja. Tetapi berbeda dengan
peradilan yang lain, dalam hal ini Peradilan Tata Usaha Negara juga
mempunyai fungsi sebagai kontrol serta pengawasan terhadap
14
pemerintahan yang baik. Baik secara reflektif ataupun secara represif.
Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha negara, suatu sengketa Tata
Usaha Negara akan didahulukan dengan adanya surat gugatan. Yang
dimana hal tersebut akan menjadi dasar untuk pemeriksaan di

12
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara: Buku II
Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara., Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004, hlm. 128.
13
Yagie Sagita Putra, "Penerapan Prinsip Ultra Petita dalam Hukum Acara Pidana dipandang dari
Aspek Pertimbangan Hukum Putusan Perkara Pidana", Jurnal UBELAJ, Volume 1 No. 1, April 2017,
hlm. 16.
14
Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakam Pemerintah, Cet. I,
Bandung: Alumni, 2004, hlm. 375

6
persidangan. Surat gugatan tersebut terdiri dari dua bagian, yaitu posita
(Fundamentum Petendi) serta petitum. Dalam hal ini, posita merupakan
suatu bagian yang akan menguraikan mnegenai fakta sosiologis yang
dapat dikaitkan dengan aspek yuridis. Sedangkan di sisi lain, petitum
merupakan bagian gugatan yang membuat hal-hal apa yang secara
konkret dituntut atau diminta oleh pihak penggugat untuk dinyatakan
ataupun diterapkan oleh pengadilan dalam memberikan suatu putusan.
Sehingga dalam hal ini putusan PTUN yang dijatuhkan akan mengacu
pada petitum. Putusan PTUN tersebut secara umum harus
mempertimbangkan semua bagian petitum, termasuk eksepsi dari pihak
tergugat agar dapat menghindari putusan yang kurang cukup
mempertimbangkan (Onvoeldoende Gemotiveerd) tetapi tidak boleh
melebihi dari apa yang dimohonkan yang ada dalam petitum. Jika
putusan PTUN tersebut mengabulkan hal yang tidak dituntut atau dengan
kata lain mengabulkan lebih dari yang dituntut, maka putusan tersebut
dapat disebut sebagai Ultra Petitum. 15
9. Asas Sidang Terbuka Untuk Umum
Sidang terbuka untuk umum merupakan sidang yang memiliki sifat
terbuka serta dapat dihadiri oleh masyarakat umum. Dalam hal ini, dalam
sidang terbuka untuk umum, Majelis Hakim akan menyatakan jika
sidang tersebut merupakan sidang yang terbuka untuk umum.
Sebagaimana prinsip tersebut juga terdapat dalam Undang-Undang No.8
Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 153 Ayat (3),
yaitu “Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka
sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara
mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.” Selain diatur dalam
KUHAP, terdapat peraturan lain yang mengatur mengenai persidangan

15
Christin, Nelvy, Ultra Petita Dalam Putusan Peradilan Tata Usaha Negara, Majalah Hukum Varia
Peradilan, Vol. 26, No. 3024 Maret 2011, Hlm. 62-78.

7
terbuka. Peraturan tersebut diatur dalam Undang-Undang No. 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 13, yang berisikan :
1. Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum,
kecuali undang-undang menentukan lain.
2. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
3. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.16
II. PERBEDAAN ASAS-ASAS HUKUM ACARA PTUN DENGAN
PERADILAN LAIN
N HUKUM ACARA PTUN HUKUM ACARA PERDATA HUKUM ACARA
O PIDANA
1. Hakim bersifat aktif Hakim bersifat pasif Hakim bersifat aktif
2. Adanya kebebasan hakim untuk Hakim hanya terikat kepada alat Hakim tidak hanya terikat
menentukan apa yang harus bukti yang sah saja (preponderance pada alat bukti yang sah
dibuktikan, menentukan beban of evidence) saja, melainkan harus terikat
pembuktian, serta dengan pada keyakinan dirinya
penilaian pembuktian itu sendiri. terhadap suatu kesalahan
Tetapi, dalam hal ini juga atas terdakwa (beyond
terdapat suatu batasan. reasonable doubt)
3. Mencari kebenaran materill Mencari kebenaran formil Mencari kebenaran materill
4. Sanksi akan dianggap sah jika Tidak adanya sanksi yang memiliki Mengenal sanksi yang
suatu keputusan tersebut sudah sifat sementara memiliki sifat sementara
dapat dibuktikan dan dinyatakan (adanya penahanan sebelum
oleh hakim sebagai keputusan dilakukannya vonis)
yang melawan hukum
5. Pengajuan gugatan dapat Tidak ada keharusan untuk Adanya jaksa yang berperan
dilakukan langsung oleh orang mewakilkan (pihak penggugat untuk mewakili kepentingan
16
Muhammad Farid A, Apa Itu Sidang Terbuka Untuk Umum? Ini Penjelasan Dan Dasar Hukumnya,
https://voi.id/berita/221579/apa-itu-sidang-terbuka-untuk-umum, diakses pada 23 Oktober 2023, Pukul
20.16 WIB.

8
ataupun badan usaha yang dapat mewakili kepentingannya umum
bersangkutan atau dapat diwakili sendiri)
oleh kuasa hukum
6. Hukuman yang diberikan Hukuman yang diberikan ditujukan Hukuman yang diberikan
ditujukan sebagai beban ataupun untuk melindungi subjek hukum ditujukan untuk
kewajiban baik kepada badan yang lain diluar dari pelaku memberikan beban nestapa
ataupun kepada pejabat yang kepada pelaku 17
memiliki wewenang

17
Erizka Pertmatasari,S.H.,Perbedaan Hukum Acara pidana Dan Hukum Acara Perdata,
https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-hukum-acara-pidana-dan-perdata-lt61822de00a2b8/ ,
diakses pada 24 Oktober 2023 pukul 20.30 WIB.

Anda mungkin juga menyukai