Anda di halaman 1dari 9

Prof. Dr.

Wahbah az-Zuhailiy dan Tafsir al-Munir

A. Pendahuluan
Dr. Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah dalam al-Isra'iliyat wa al-Maudu'at
fî Kutub at-Tafsir, menjelaskan bahawa ilmu tafsir adalah ilmu yang paling mulia. Hal ini
dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, objek kajian. Objek kajian ilmu tafsir adalah Alquran
(kalam Allah). Tidak ada ungkapan paling mulia, paling benar, dan penuh dengan hikmah
dan petunjuk, kecuali Alquran yang diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya, Muhammad
Saw. Kedua, tujuan kajian. Tujuan ilmu tafsir adalah berpegang teguh pada tuntutan Allah,
bertujuan mendapat keselamatan di dunia dan akhirat. Ketiga, keperluan. Kesempurnaan
agama dan duniawi perlu kepada ilmu-ilmu syariat, dan sumber ilmu syariat adalah
Alquran.[1]
Menurutnya lagi, tafsir sendiri bermakna ilmu yang membahas keadaan Alquran dari
segi tujuan Allah (dalam ayat-ayat-Nya), dan dari segi kemukjizatannya, dengan kadar
kemampuan manusia yang memahaminya.[2]
Dari sini, tafsir adalah penjelasan ttg Alquran. Alquran yang terkadang bersifat
umum, susah difahami, memiliki pelbagai kemungkinan, perlu adanya penjelasan lebih
lanjut, supaya Alquran dapat dicerna oleh seluruh manusia dan dijadikan rujukan dan
panduan dalam kehidupan.
Ramai mencari dan bertanya tentang kitab tafsir yang paling baik penafsirannya,
paling baik sistematika pembahasannya, dan paling baik dan mudah difahami bahasanya.
Jika dilihat dalam tafsir-tafsir klasik, hal-hal ini susah didapati. Salah satu kitab tafsir yang
dapat menjawab keperluan orang ramai adalah Tafsir al-Munir: fi al-`Aqidah wa asy-Syari`ah
wa al-Manhaj, Sebuah kitab tafsir kontemporari yang disusun oleh Prof. Dr. Wahbah az-
Zuhaili.
Dalam artikel yang terbatas ini, penulis akan berusaha membahas latar belakang
penulis tafsir, metodologi yang digunakan, corak penafsiran yang digunakan, contoh
penafsiran, komentar ulama, dan analisis kelebihan dan kelemahan.

B. Latar Belakang Intelektual Penulis


Nama pengarang Tafsir al-Munir adalah Prof. Dr. Wahbah bin Mustafa az-Zuhaili Abu
`Ubadah. Ia dilahirkan di kawasan Dir `Athiyah[3] pada tanggal 6 Mac 1932. Ayahnya,
Mustafa az-Zuhaili,[4] adalah seorang penghafal Alquran dan banyak melakukan kajian
terhadap kandungannya. Ibunya bernama Fathimah binti Mustafa Sa`dah, [5] terkenal
sebagai seorang yang kuat berpegang teguh pada ajaran agama.[6]
Wahbah belajar Alquran dan menghafalnya dalam waktu yang singkat pada zaman
kecilnya. Setelah menamatkan sekolah rendah, ayahnya menganjurkan kepada Wahbah
untuk melanjutkan pelajaran di Damaskus (Damsyik). Pada tahun 1946, Wahbah ke
Damaskus untuk melanjutkan pelajaran di peringkat menengah (thanawiyah) dan tinggi
(‘Aliyah). Setelah itu, Wahbah melanjutkan pelajaran ke peringkat pengajian tinggi dan
meraih sarjana muda dalam bidang Ilmu-ilmu Syari`ah.[7]
Dalam menuntut ilmu, Wahbah merasakan tidak memadai di negerinya sendiri.
Untuk itu, ia berpindah ke Mesir, dan memasuki dua universiti sekaligus; Universiti Al-
Azhar, jurusan Syari`ah dan Bahasa Arab; dan Universiti Ain Syams, jurusan Hukum.
Setelah menyelesaikan kuliyah di dua universiti tersebut, Wahbah melanjutkan pelajarannya
ke peringkat sarjana (MA) di Universiti Kaherah dalam bidang Hukum Islam. Hanya dalam
waktu dua tahun, Wahbah menyelesaikan program sarjananya dengan tesis berjudul adz-
Dzara’i` fi as-Siyasah asy-Syar`iyyah wa al-Fiqh al-Islamiy.[8]
Semangat menuntut ilmu Wahbah tidak putus, ia melanjutkan pendidikannya
sehingga ke peringkat ijazah kedoktoran. Dengan judul kajian Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-
Islamiy: Dirasatan Muqaranatan, ia berhasil menyelesaikan program kedoktorannya pada
tahun 1963. Majlis sidang pada saat itu terdiri dari ulama terkenal, Syaikh Muhammad Abu
Zahrah, dan Dr. Muhammad Hafizh Ghanim (Menteri Pendidikan Tinggi ketika itu). Majlis
senat sepakat untuk menganugerahkan Wahbah pangkat “Sangat Memuaskan” (Syaraf ula),
dan mencadangkan kajiannya dicetak serta dihantar ke universiti-universiti luar negeri.[9]
Untuk menjadi ulama yang sarat dengan ilmu, mestilah memiliki banyak guru. Begitu
juga dengan Wahbah. Di antara gurunya:[10]
1. Syaikh Muhammad Hasyim al-Khatib asy-Syafi`i. Ia adalah ulama fiqh, khatib tetap
Masjid al-Umawi dan salah seorang pendiri Jam`iyah at-Tahzib wa at-Ta`lim di kota
Damaskus.
2. Syaikh Abd ar-Razzaq al-Himshy. Ia adalah seorang ulama fiqh dan menjawat
jawatan sebagai Mufti Republik Syria pada tahun 1963.
3. Syaikh Muhammad Yasin. Ia adalah ulama dan tokoh kebangkitan kajian sastera dan
gerakan persatuan ulama di Syria.
4. Syaikh Hasan asy-Syathi. Ia adalah pakar fiqh Hanbali dan pernah menjadi rektor
pertama Universiti Damaskus.
5. Syaikh Hasan Habannakeh. Ia termasuk sebagai pendiri Rabithah al-Alam al-Islami di
Makkah al-Mukarramah.
Ini semua adalah guru-guru Wahbah yang berada di Damaskus Syria. Sedangkan
guru-gurunya yang berada di Mesir: Universiti Al-Azhar dan Universitas `Ain Syams, di
antaranya:[11]
1. Syaikh Muhammad Abu Zahrah. Wahbah banyak dipengaruhi oleh gaya pemikiran
Muhammad Abu Zahrah. Abu Zahrah adalah ulama terkenal di Mesir, dan memiliki banyak
buku termasuk tafsir: Tafsir az-Zuhrah.
2. Syaikh Mahmud Syaltut. Ia adalah salah seorang Syaikh Al-Azhar, dan salah satu
tokoh reformasi dalam pelbagai bidang ke-Islaman, termasuk pendidikan di Al-Azhar.
Mahmud Syaltut sendiri terpengaruh oleh pemikiran Muhammad Abduh.

Dr. Badi` as-Sayyid al-Lahham menceritakan, bahwa karya Prof. Dr. Wahbah az-
Zuhaily ini lebih dari 200 buah: mulai dari buku yang terdiri dari 16 jilid, sampai artikel-
artikel kecil.[12] Dalam kesempatan ini, penulis hanya menjelaskan secara singkat dua
karyanya yang masyhur: al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu dan Tafsir al-Munir, sebagai berikut:
[13]
1. Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, adalah kitab fiqh kontemporari yang sangat penting
dalam pengkajian fiqh komparatif. Buku ini untuk pertama kalinya dicetak oleh Dar al-Fikr
di Damaskus pada tahun 1984, awalnya terdiri dari 9 jilid besar, namun, untuk cetakan
terakhir, buku ini telah disempurnakan hingga menjadi 11 jilid besar. Buku ini adalah buku
yang paling besar (agung) dari Wahbah, kerana beliau sendiri adalah pakar hukum Islam.
Buku ini sangat enak dibaca, kerana menggunakan bahasa yang mudah dicerna, bahkan
untuk orang `ajam. Selain itu, buku ini juga memiliki sistematika penulisan yang sangat rapi,
ilmiah, sehingga memudahkan para pembaca untuk menikmatinya. Yang lain, buku ini
dilengkapi dengan sumber yang autentik dari setiap mazhab yang ada. Hal ini dijelaskan
sendiri oleh Wahbah dalam muqaddimah bukunya tersebut. Wahbah menjelaskan:
“Tidak diragukan lagi bahwa umat Islam saat ini sangat perlu pada kitab fiqh yang ditulis dengan
metode kontemporari; bahasa yang mudah difahami, susunan perbahasan yang sistematik, dijelaskan
tujuannya, dan dikuatkan setiap pernyataan ijtihad ulama dengan rujukan yang autentik, serta
mudah bagi para pelajar untuk merujuk kepada pokok perbahasan yang sedang mereka cari sehingga
layak untuk dimasukkan dalam rancangan perundang-undangan...”[14]
2. At-Tafsir al-Munir: fi al-`Aqidah wa asy-Syari`ah wa al-Manhaj. Buku ini yang menjadi
perbahasan dalam makalah ini. Buku ini terdiri dari 16 jilid besar, tidak kurang dari 10,000
halaman. Untuk pertama kali, kitab ini diterbitkan pada tahun 1991 oleh Dar al-Fikr
Damaskus. Sebagaimana buku fiqhnya, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, ditulis dengan tujuan
untuk memudahkan para pengkaji ilmu ke-Islaman, begitu juga dalam penulisan tafsirnya
ini. Wahbah menjelaskan dalam muqaddimah tafsirnya:
“Tujuan utama dalam penulisan kitab ini adalah mengikat umat Islam dengan Alquran yang
merupakan firman Allah dengan ikatan yang kuat dan ilmiah. Sebab, Alquran adalah pedoman dan
aturan yang harus ditaati dalam kehidupan manusia. Fokus saya dalam kitab ini bukan untuk
menjelaskan permasalahan khilafiyah dalam bidang fiqh, sebagaimana dikemukakan para pakar fiqh,
akan tetapi saya ingin menjelaskan hukum yang dapat diambil dari ayat Alquran dengan maknanya
yang lebih luas. Hal ini akan lebih dapat diterima dari sekadar menyajikan maknanya secara umum.
Sebab Alquran mengandungi asfek aqidah, akhlak, manhaj, dan pedoman umun serta faedah-faedah
yang dapat dipetik dari ayat-ayat-Nya. Sehingga setiap penjelasan, penegasan, dan isyarat ilmu
pengetahuan yang terakam di dalamnya menjadi instrumen pembangunan kehidupan sosial yang lebih
baik dan maju bagi masyarakat moden secara umum saat ini atau untuk kehidupan individual bagi
setiap manusia.”[15]

C. Metode Penafsiran
Menurut pakar tafsir al-Azhar University, Dr. Abdul Hay al-Farmawi, setidaknya,
dalam penafsiran Alquran dikenal empat macam metode tafsir, iaitu metode tahlili,
metode ijmali, metode muqaran, dan metode maudhu’i.[16]
Metode tafsir tahlili merupakan cara menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan
mendeskripsikan huraian-huraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran
dengan mengikuti tertib susunan surah-surah dan ayat-ayat Alquran itu sendiri dengan
sedikit sebanyak melakukan analisis di dalamnya.[17]
Metode tafsir Ijmali adalah cara menafsirkan Alquran menurut susunan (urutan)
bacaannya dengan suatu penafsiran ayat demi ayat secara sederhana yang akan dapat
difahami orang-orang tertentu dan selainnya dengan tujuan mendapatkan pemahaman
dengan cara yang ringkas.[18]
Metode tafsir muqaran adalah tafsir yang dilakukan dengan cara membanding-
bandingkan ayat-ayat Alquran yang memiliki redaksi berbeza padahal isi kandungannya
sama, atau antara ayat-ayat yang memiliki redaksi yang sama padahal isi kandungannya
berlainan atau juga ayat-ayat Alquran yang zahirnya tampak berlawanan dengan hadis,
padahal pada hakikatnya sama sekali tidak bertentangan.[19]
Adapun metode tafsir maudhu’i adalah tafsir yang membahas tentang masalah-masalah
Alquran yang memiliki kesamaan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-
ayatnya, untuk kemudian melakukan analisis terhadap isi kandungannya menurut cara-cara
tertentu dan berdasarkan syarat-syarat tertentu untuk menjelaskan makna-maknanya dan
mengeluarkan unsur-unsurnya serta menghubung-hubungkan antara yang satu dengan
yang lain dengan korelasi (hubungan/munasabah) yang bersifat komprehensif.[20]
Sebenarnya, sulit bagi penulis untuk menetapkan metode yang mana digunakan oleh
Wahbah dalam tafsirnya ini. Di beberapa tempat, Wahbah menggunkan metode tafsir
tematik (maudhu`i), di sisi yang lain, ia menggunakan metode perbandingan (muqaran),
namun, dalam banyak kesempatan ia menggunakan metode tafsir analitik (tahlili). Agaknya,
metode yang terakhir, metode analitik, lebih sesuai, kerana metode inilah yang lebih
dominan digunakan oleh Wahbah dalam tafsirnya.
Untuk langkah sistematika perbahasan dalam tafsirnya ini, Wahbah, menjelaskan
dalam muqaddimah tafsirnya, sebagai berikut:
1. Mengklasifikasikan ayat Alquran – dengan urutan mushaf - yang ingin ditafsirkan
dalam satu judul pembahasan dan memberikan judul yang sesuai.
2. Menjelaskan kandungan setiap surah secara global/umum.
3. Menjelaskan aspek kebahasaan ayat-ayat yang ingin ditafsirkan, dan menganalisanya.
4. Menjelaskan sebab turun ayat – jika ada sebab turunnya -, dan menjelaskan kisah-
kisah sahih yang berkaitan dengan ayat yang ingin ditafsirkan.
5. Menjelaskan ayat-ayat yang ditafsirkan dengan terperinci.
6. Mengeluarkan hukum-hukum yang berkaitan dengan ayat yang sudah ditafsirkan.
7. Membahas kesusasteraan dan i`rab ayat-ayat yang hendak ditafsirkan.[21]

Dalam pembacaan penulis terhadap kitab Tafsir al-Munir, ada satu hal yang sangat
menarik, yang mungkin tidak disebutkan Wahbah dalam muqaddimahnya iaitu ketika
menafsirkan kumpulan ayat, Wahbah tidak lupa menjelaskan korelasi (munasabah) antara
ayat.
Wahbah juga menjelaskan bahawa pada tempat-tempat tertentu, ia membahas ayat-
ayat tertentu dengan sistematika tafsir tematik/maudhu`i. Sebagai contoh ketika menafsirkan
ayat-ayat yang menceritakan tentang jihad, hukum jenayah, warisan, hukum nikah, riba,
khamar, dll.[22]

D. Corak Penafsiran
Menurut Quraish Shihab, ada enam corak penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran
yang dikenal selama ini, iaitu:
1 Corak sastera bahasa
2 Corak falsafah dan teologi
3 Corak pentafsiran ilmiah
4 Corak fiqh atau hukum
5 Corak tasawuf
6 Corak sastera budaya kemasyarakatan.[23]
Menurut Dr. Abdul Hay al-Farmawi, dalam tafsir tahlili ada beberapa corak
penafsiran, yakni tafsir bi al-Ma`tsur, tafsir bi ar-Ray`, tafsir ash-Shufi, tafsir al-Fiqhi, tafsir al-
Falsafi, tafsir al-`Ilmi, dan tafsir al-Adabi al-Ijtima`i.[25]
Dalam menentukan corak tafsir dari suatu kitab tafsir - dalam hal ini adalahTafsir al-
Munir- yang diperhatikan adalah hal yang dominan dalam tafsir tersebut. Jika disejajarkan
dengan pembahagian corak tafsir yang diajukan oleh al-Farmawi, tafsir ini lebih sesuai
diklasifikasi dalam penggabungan corak tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi ar-ra`y. Hal ini
dikuatkan oleh Dr. Badi` as-Sayyid al-Lahham, ia menjelaskan, “Dalam kitab ini Syaikh Wahbah
berusaha menggabungkan penafsiran bi al-ma’tsur dan bi ar-ra’y dengan merujuk pada kitab-kitab
tafsir klasik dan kontemporari....”[26]

E. Contoh Tafsiran
Dalam pembahasan ini, penulis mengambil contoh tafsiran alif lam mim sebagai
pendahuluan surat al-Baqarah. Wahbah menjelaskan:
“Allah mendahului surah ini dengan huruf muqatha`ah sebagai pengingat terhadap sifat
Alquran, dan isyarat kemukjizatannya, sebagai tentangan terhadap orang yang ingin membuat
Alquran bahkan dengan surah yang terpendek sekalipun, sebagai penetap yang pasti bahwa Alquran
adalah firman Allah yang tidak ada sedikitpun campur tangan manusia. Seolah-olah Allah berkata
kepada orang Arab, “Bagaimana boleh kamu lemah untuk menjadikan sepenggal surah yang
semisalnya. Bukankah itu juga bahasa Arab, yang terdiri dari huruf hijaiyah yang kamu kenal. Tetapi
kamu lemah untuk membuat semisalnya.” Ini adalah pendapat ulama muhaqqiqin yang mengatakan
bahawa peletakan huruf muqatha`ah ini sebagai penjelasan kemukjizatan Alquran, dan orang Arab
lemah untuk meniru hal yang serupa, padahal kata itu juga terdiri dari bahasa Arab yang mereka
kenal.”[27]

Setelah itu, Wahbah menuliskan hadis Rasul Saw. yang menjelaskan, “Siapa yang
membaca satu huruf dari Alquran, maka untuknya satu kebaikan yang dilipatgandakan menjadi
sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan alif lam mim satu huruf, tapi alif satu huruf, lam satu huruf,
dan mim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin Mas`ud).[28] Hal ini menunjukkan
bahawa, walaupun alif lam mim,mungkin tidak memiki makna khusus, namun Allah juga
menetapkan pahala bagi orang yang membacanya.
Kemudian, Wahbah menjelaskan tiga sifat Alquran: pertama, Alquran adalah kitab
yang sempurna, yang kandungannya – mulai dari makna, tujuan, kisah-kisah, dan
pensyariatan - tidak kurang sedikit pun. Kedua, tidak ada keraguan pada Alquran sebagai
firman Allah, tentunya bagi orang yang mengkajinya secara mendalam dan menggunakan
mata hatinya. Ketiga, Alquran adalah sumber hidayah dan petunjuk bagi orang yang beriman
dan bertakwa, yang takut dengan azab Allah, menjunjung tinggi perintah dan menjauhi
larangan Allah.[29]
F. Komentar Ulama
Banyak komentar positif ulama dan pemikir kontemporari tentang kitab Tafsir al-
Munir ini. Dalam Pengantar Penterjemah buku biografi Syaikh Wahbah, Dr. Ardiansyah
menjelaskan, “Tidaklah berlebihan kiranya saya mengatakan bahawa Syaikh Wahbah adalah
ulama paling produktif dalam melahirkan karya pada abad ini, sehingga dapat disamakan
dengan al-Imam as-Suyuthi. Demikian pula dengan sambutan luar biasa dari kalangan ahli
akademik dan masyarakat luar terhadap karya-karya hebatnya seperti al-Fiqh al-Islamiy wa
Adillahtu, at-Tafsir al-Munir, dan Ushul al-Fiqh, sehingga layak disamakan dengan karya-karya
al-Imam an-Nawawi. Kelebihan ini merupakan anugerah dari Allah SWT, serta kesungguhan
beliau dalam membaca, menelaah, dan menulis.”[30]
Syaikh Muhammad Kurayyim Rajih, dan ahli qira’at di Syam sangat memuji tafsir al-
Munir ini, dia berkata, “Kitab ini sungguh sangat luar biasa, sarat ilmu, disusun dengan metode
ilmiah, memberikan pelajaran layaknya seorang guru, sehingga setiap orang yang membacanya
memperoleh ilmu. Kitab ini layak dibaca setiap kalangan, baik yang berilmu maupun orang awam.
Mereka akan mendapatkan inspirasi dari kitab ini dalam kehidupannya, sehingga ia tidak perlu lagi
merujuk kepada kitab-kitab yang lain.”[31]
Tidak hanya sampai di situ, kitab ini juga dinikmati oleh kalangan Syi`ah. Hal ini
terbukti ketika kitab ini mendapat penghargaan “karya terbaik untuk tahun 1995 M” dalam
kategori keilmuan Islam yang diselenggarakan oleh pemerintah Republik Islam Iran.
[32] Kitab ini juga disokong oleh banyak negara dengan cara menterjemahkannya dalam
pelbagai bahasa, seperti Malaysia, Turki, Indonesia,malah Perancis.

G. Analisis Kelebihan dan Kelemahan


Banyak sekali kelebihan tafsir ini, selain memiliki pengantar tafsir yang sangat
bermanfaat bagi setiap pembaca sebagai bekalan ilmu untuk masuk dalam tafsir Alquran.
Pengantar itu mengandungi ilmu-ilmu Alquran, dari mulai pengertian, sebab turun,
kodifikasi, makkiyah madaniyah, rasm mushaf, qiraat, i`jaz, sampai terjemahan Alquran.
Tafsir ini mudah dicerna bahkan oleh orang asing (a`jami), kerana bahasa yang
digunakan sangat sederhana, dan tidak seperti bahasa kitab-kitab klasik yang terkadang
memeningkan kepala. Selain itu, kitab ini disusun dengan sistematika yang menarik, tidak
berselerak, sehingga pembaca dengan mudah mencari apa yang diinginkannya, walaupun
tidak membaca secara keseluruhan. Tafsir ini juga mengarahkan pembaca pada tema
perbahasan setiap kumpulan ayat-ayat yang ditafsirnya, kerana tafsir ini membuat sub
perbahasan dengan tema yang sesuai dengan ayat yang ditafsirkan. Selain mengaitkan ayat
dengan ayat yang semakna, melalui musabah dan lain-lain, tafsir ini juga memudahkan bagi
pembaca untuk mengambil kesimpulan hukum atau hikmah yang dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, kerana Wahbah sendiri, di penghujung pembahasan, menyimpulkan
ayat yang ditafsirkan dengan pembahasan Fiqh al-Hayah au al-Ahkam.
Untuk kelemahan, sulit bagi penulis untuk mencari kelemahan tafsir ini. Kerana tafsir
ini adalah kumpulan dari buku-buku tafsir klasik dan kontemporari. Seolah-olah pengarang
menutup kekurangan yang ada dalam suatu tafsir dengan tafsir yang lain, sehingga
pentafsirannya menjadi sempurna. Namun, satu hal yang mungkin perlu disedari bahawa
dengan menggabungkan tafsir-tafsir yang ada, seolah-olah penulis tidak mengungkapkan
suatu tafsiran baru yang sesuai dengan kehidupan moden sekarang, dan ini adalah suatu
kelemahan. Yang dilakukan oleh Wahbah az-Zuhaily hanya mengutip dan melakukan
sistematika perbahasan yang lebih rapi dari tafsir-tafsir yang lain.

H. Penutup
Dari pembahasan di atas, ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan
bersama. Pertama, nama tafsir ini adalah at-Tafsir al-Munir: fi al-`Aqidah wa asy-Syari`ah wa al-
Manhaj. Kitab ini dikarang oleh ulama kontemporari benama Prof. Dr. Wahbah bin Mustafa
az-Zuhaily, seorang ulama berasal dari Syria.
Kedua, metode tafsir yang digunakan oleh Wahbah adalah metode tafsir
analitik/tahlili, dengan corak penggabungan antara tafsir bi al-ma’tsur dengan tafsir bi ar-ra`y.
Ketiga, walau tafsir ini memiliki kelemahan, yakni seolah hanya mengutip dan jarang
sekali memberikan tafsiran baru yang sesuai dengan konteks kehidupan moden, namun
kelebihannya sangat dominan, dan berbekas di hati para pembacanya. Dengan kelebihannya
ini, seolah kelemahan dan kekurangannya tidak terlihat.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Syahbah, Muhammad bin Muhammad. al-Isra’iliyah wa al-Maudhu`at fi


Kutub at-Tafsir. Kairo: Maktabah as-Sunnah, 1407 H.
Al-Alma’i, Zahir bin ‘Awadh. Dirasat fi al-Tafsir al-Maudhu’i li al-Qur’an al-
Karim. Riyadh: 1404 H.
Ardiansyah. Pengantar Penerjemah, dalam Badi` as-Sayyid al-Lahham, Syeikh
Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily: Ulama Karismatik Kontemporer - Sebuah
Biografi. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010.
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain. at-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Dar al-
Hadis, 2005.
Al-Farmawi, Abdul Hayy. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i. Kairo: Dar ath-
thaba’ah wa an-Nasyr al-Islami, 2005.
Al-Lahham, Badi` as-Sayyid. Syeikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily: Ulama
Karismatik Kontemporer - Sebuah Biografi, terj. Dr. Ardiansyah, MA.
Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010.
Muslim, Musthafa. Mahabits fi al-Tafsir al-Maudhu’i. Damsyiq: Dar al-Qalam,
1410 H/1989 M.
Suma, Muhammad Amin. Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001.
Az-Zuhaily, Wahbah. al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh. Damaskus: Dar al-Fikr,
2007.
Az-Zuhaili, Wahbah. at-Tafsir al-Munir: fi `Aqidah wa asy-Syari`ah wa al-Manhaj.
Damaskus: Dar al-Fikr, 1991.

Anda mungkin juga menyukai