Anda di halaman 1dari 71

ABSTRAK

Secara umum, kaum perempuan dipandang sebagai manusia lemah dan berada

pada posisi kelas dua di kalangan masyarakat. Hal ini juga tampak di kalangan

masyarakat Nias. Perempuan di Nias sangat dihargai dan dijaga oleh masyarakat namun

di sisi lain dipandang lemah bahkan sebagai “barang” yang dipersiapkan untuk dijual.

Perempuan yang akar katanya “puan” yang berarti “nyonya tuan”, hanya sebatas kata

saja sebab kata itu tidak memperlihatkan lagi hakekatnya yang harus “dipertuan”,

melainkan menjadi “puan” yang diperhamba.

Ketidakadilan yang dialami perempuan itu merupakan hasil ciptaan budaya

patriarkal. Sebaliknya, Allah telah menetapkan kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan. Kesetaraan itu tampak dalam kisah penciptaan yang merupakan awal mula

manusia. Kej 1 menunjukkan kesetaraan laki-laki dan perempuan dengan kata

“segambar dengan Allah” (ay 26-27) dan Kej 2, pengarang menggunakan kata

“penolong yang sepadan” (ay. 18, 20), “diciptakan dari satu daging” (ay. 21-22) dan

“mereka telanjang tetapi tidak malu” (ay. 25).

Jelas bahwa perempuan adalah ciptaan yang setara dengan laki-laki maka

seharusnya perempuan diperlakukan secara adil sebab mereka juga adalah manusia.

Dalam hal ini, Gereja atau pemerintah hendaknya memberi kedudukan yang layak dan

pandangan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, budaya

patriarkal tidak relevan dijadikan sebagai pedoman umum di kalangan masyarakat

banyak.
PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini tidak memuat materi yang sudah diterima untuk gelar kesarjanaan

atau gelar lainnya di universitas atau institusi mana pun. Sejauh penulis mengetahui,

skripsi ini tidak memuat materi yang sudah pernah diterbitkan atau ditulis oleh orang

lain, kecuali di mana rujukan semestinya disebutkan secara eksplisit dalam naskah

skripsi ini.

Silfanus Harefa
DAFTAR ISI

KATA PENGATAR..............................................................................................................

ABSTRAK...........................................................................................................................

PERNYATAAN ORISINALITAS.....................................................................................

DAFTAR ISI.........................................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN.................................................................................................................

1. Latar Belakang Pemilihan Tema......................................................................................

2. Perumusan dan Pembatasan Tema...................................................................................

3. Tujuan penulisan..............................................................................................................

4. Metode Penulisan.............................................................................................................

5. Sistematika Penulisan.......................................................................................................

BAB II

URAIAN EKSEGETIS KEJ 2:18-25................................................................................

1. Konteks Kej 2:18-25........................................................................................................

2. Struktur Kej 2:18-25........................................................................................................

3. Tafsir Kej 2:18-25...........................................................................................................

3.1 Keputusan Allah Untuk Mengatasi Kesendirian Manusia........................................

3.2 Tindakan Pertama: Allah Menciptakan Binatang.....................................................

3.3 Tindakan Kedua: Allah Menciptakan Perempuan....................................................

3.4 Reaksi Manusia (Laki-laki) terhadap Perempuan.....................................................


vi

3.5 Efek Penciptaan Perempuan dan Penghubung Kej 3................................................

4. Rangkuman......................................................................................................................

BAB III

REFLEKSI TEOLOGIS KEJ 2:18-25.............................................................................

1. Pengantar.........................................................................................................................

2. Allah Menciptakan Penolong Sepadan............................................................................

3. Allah Menciptakan Laki-laki dan Perempuan dari Satu Daging.....................................

4. Mereka Telanjang Tetapi Tidak Malu.............................................................................

5. Rangkuman......................................................................................................................

BAB IV

PENUTUP...........................................................................................................................

1. Pengantar.........................................................................................................................

2. Rangkuman Umum..........................................................................................................

3. Refleksi Kritis dan Relevansi Kesetaraan Gender dalam Budaya Nias dan

Kehidupan Sosial maupun Gereja .................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Pemilihan Tema

Kelahiran seorang anak dalam masyarakat Nias dimengerti sebagai munculnya

suatu ciptaan baru bagi keluarga dan masyarakat. Seorang bayi yang lahir dipandang

sebagai ono famatohu na’őtő (penerus keturunan). Bayi yang berjenis kelamin laki-laki

disebut ono famakhai mbambatő (anak penyambung keluarga), sedangkan bayi yang

berjenis kelamin perempuan disebut anak pemerluas lingkaran keluarga. Anak yang

lahir dalam keluarga akan mengikuti marga ayah.1

1
Johannes Maria Härmmerle, Asal Usul Masyarakat Nias, Suatu Interpretasi (Gunungsitoli:
Yayasan Pusaka Nias, 2001), hlm. 47.
2

Anak laki-laki dalam masyarakat Nias menjadi pewaris kekuasaan ayahnya.

Sebagai pewaris kekuasaan atau harta, maka anak laki-laki mendapat perhatian khusus

dari orangtuanya. Laki-laki disekolahkan agar mendapat pengetahuan dan memiliki

pekerjaan yang layak. Sedangkan anak perempuan dibatasi bahkan terkadang tidak

disekolahkan, sebab dalam perspektif orangtua, anak perempuan akan kawin dan

meninggalkan orangtua mereka sehingga tidak ada gunanya disekolahkan. Walaupun

tradisi ini mulai hilang di daerah perkotaan namun masih terjadi di desa atau tempat-

tempat tertentu. Keberadaan anak perempuan tak lain untuk kawin dan melahirkan anak.

Perempuan dijadikan layaknya barang yang dipersiapkan untuk dijual. Dalam sejarah

suku Nias diceritakan bahwa laki-laki yang memenggal kepala musuh dapat menikah

dengan seorang perempuan tanpa jujuran. Bahkan laki-laki boleh menikahi perempuan

sebanyak kepala manusia yang ia penggal.2

Perempuan yang telah menikah dengan laki-laki harus tunduk pada kuasa laki-

laki (suami). Jika istri lalai dalam pekerjaan rumah tangga, maka suami akan

melontarkan amarah kepada istri. Istri tidak bisa berkutik dan harus bersikap pasif

karena ia berada pada posisi kedua dalam keluarga. Keputusan rumah tangga hanya

dalam kuasa suami. Bukan saja dalam keluarga tetapi juga di kalangan masyarakat, di

mana perempuan tidak diberi izin bahkan tidak boleh ikut dalam perkumpulan

masyarakat (orahu) yang terdiri dari empat lapisan3. Dalam lapisan pertama, kedua dan

ketiga, kaum perempuan tidak diperhitungkan. Ketiga lapisan tersebut hanya

2
Johannes Maria Härmmerle, Asal Usul Masyarakat Nias …, hlm. 67.

3
Lapisan-lapisan itu, yaitu pertama, siulu (bangsawan); kedua, ere (pemuka agama); ketiga, ono
mbanua (rakyat jelata); keempat, sawuyu (budak). [Lihat Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1970), hlm. 49.]
3

diperuntukkan bagi laki-laki. Perempuan berada pada tingkat terakhir yakni sawuyu,

sehingga di setiap tempat bermusyawarah (naha gorahua) dibuat tangga khusus agar

perempuan tidak dapat naik ke atas.4

Situasi yang dialami kaum perempuan dalam budaya masyarakat Nias

merupakan suatu ketidakadilan. Bias gender5 sebagai hasil konstruksi sosial budaya

ternyata telah membuat kaum perempuan diperlakukan secara diskriminatif dalam

kehidupan bermasyarakat. Struktur kebiasaan yang terbungkus dalam budaya itu telah

diwariskan dalam sejarah menjadi sebuah tradisi, sehingga orang sulit memperoleh

haknya secara adil.6

Bias gender seperti itu tidak direstui Gereja. Pada kesempatan tahun Maria, Paus

Yohanes Paulus II mengeluarkan surat apostolik tentang Mulieris Dingitatem. Dalam

pesan penutupnya, ia memaklumkan bahwa panggilan kaum perempuan diakui

sepenuhnya. Selama ini, kuasa, pengaruh dan hasil karya kaum perempuan tidak

dipandang. Kaum perempuan kurang menonjol di hadapan publik karena sudah

dianggap kelas dua. Atas dasar inilah Paus dengan penuh semangat Injil menyerukan

agar kaum perempuan mengalami transformasi. Dalam dokumen ‘Human Traffing, Seks

4
Johannes M. Hämmerle, Famato Harimao: Pesta Harimao – Fondrakö – Börönadu dan
Kebudayaan Lainnya di Wilayah Maenamölö – Nias Selatan (Teluk Dalam: Abidin Medan, 1986), hlm.
218.

5
Gender berbeda dari seks. Seks hanya menyangkut seksualitas-biologis sedangkan gender lebih
luas cakupannya. Gender terdiri dari dua jenis yakni gender genital dan gender eksistensial. Gender
genital terbatas pada jenis kelamin atau seksualitas. Gender eksistensial mencakup tatanan hidup manusia
(laki-laki dan perempuan) seperti relasi, peran dan martabat manusia. Dalam gender eksistensial ini,
semua manusia memiliki martabat yang sama dan setara. [Lihat Christine Delphyi, “Rethinking Sex and
Gender”, dalam Feminism in the Study of Religion (NewYork: Peter Lang, 2002), hlm. 411-413.]

6
Amatus Woi, “Perempuan Dalam Kebudayaan: Suatu Paradigma Pembebasan”, dalam Biduk:
Majalah Projo Seminari Ritapiret, II/XXXX (Januari – Juni 2002), hlm. 9-10.
4

Tourism, Forced Labor’, Paus Yohanes Paulus II dengan tegas mengutuk jenis

kekerasan seksual terhadap perempuan. Beliau juga menerbitkan undang-undang yang

secara efektif melindungi kaum perempuan terhadap kekerasan seksual.7

Melihat kenyataan dan kebiasaan masyarakat Nias yang menomorduakan dan

menganggap lemah kaum perempuan, penulis yang juga bersuku Nias tertarik untuk

mendalami kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam perspektif teologi biblis (Kej

2:18-25). Selain itu penulis setuju dengan seruan Gereja yang memaklumkan panggilan

dan martabat perempuan secara penuh.

2. Perumusan dan Pembatasan Tema

Dalam kisah penciptaan manusia menurut tradisi prister 8, manusia (laki-laki dan

perempuan) diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Laki-laki dan perempuan sama-

sama ciptaan Allah. Sebagai ciptaan yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah

tentu sama di hadapan Allah dan ada kesetaraan di antara mereka (laki-laki dan

7
Alfons S. Suhardi (ed.), Surat Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II Tentang Martabat dan
Panggilan Kaum Wanita (Mulieribus Dignitatem) (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994),
hlm. 10; bdk. Bernadetta Harini Tri Prasasti (ed.), Perdagangan Manusia, Wisata Seks, Kerja (Judul asli:
Human Traffing, Seks Tourism, Forced Labor), diterjemahkan oleh Piet Go (Jakarta: Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 2011), hlm. 9-10.
8

Tradisi Prister berawal pada tahun 550-450 SM. Tradisi ini menggambarkan Bangsa Israel
sebagai sebuah komunitas religius yang dipisahkan dari semua bangsa lain. Tradisi ini bertujuan untuk
membangkitkan harapan akan pembangunan kembali Bait Allah yang telah hancur di Yerusalem pada
masa pembuangan. [Lihat Serpulus Simamora, Pengantar ke dalam Pentateukh (Pematangsiantar: [tanpa
penerbit], 2001), hlm. 22.] (Diktat). Selanjutnya, tradisi Prister disingkat dengan“P”.
5

perempuan). Kisah penciptaan manusia menurut Yahwis 9 juga menunjukkan kesetaraan

laki-laki dan perempuan (Kej 2:18-25).10

Kej 2:18-25 melukiskan penciptaan penolong yang sepadan. Menurut Claus

Westermann11 bahwa penciptaan penolong yang sepadan ini merupakan tindakan Allah

untuk mengatasi kesendirian manusia (ay. 7). Allah melihat sesuatu yang tidak baik

dalam diri manusia, yakni manusia itu masih sendirian. Oleh karena itu, Allah

berinisiatif memberi manusia itu penolong yang sepadan. Tindakan pertama yang

dilakukan Allah ialah menciptakan segala binatang dari tanah. Binatang yang diciptakan

Allah tidak menyelesaikan masalah kesendirian manusia itu. Maka, Allah menciptakan

seorang perempuan dari tulang rusuk manusia itu dan membawanya kepadanya (ay.

22b). Kehadiran perempuan itu dapat menyelesaikan masalah kesendirian manusia,

sebab perempuan itu menjadi penolong yang sepadan dengannya. Manusia menyambut

perempuan itu dan berseru “inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku”

9
Tradisi Yahwis disusun di kota Yerusalem, pada masa pemerintahan Raja Daud dan Salomo
atas Israel (970-931). Untuk memperkuat kedudukannya, kedua raja ini mulai menggali tradisi
keagamaan dan kebangsaan Israel. Di sebelah selatan Palestina, dekat istana raja dan Bait Allah, pusat
keagamaan bangsa, dimulailah usaha pengumpulan pelbagai cerita kuno yang masih beredar di kalangan
rakyat. Kumpulan cerita-cerita dari zaman itu terpengaruh bahasa, upacara, adat-istiadat dan gagasan-
gagasan keagamaan dari istana raja di Yerusalem. Gaya bahasa yang digunakan dalam kumpulan teks-
teks tersebut hidup dan berwarna-warni. Dalam teks-teks tersebut Allah disebut dengan nama YAHWE.
Oleh kaena itu tradisi ini disebut tradisi Yahwis. [Lihat Stefan Leks, Kejadian (Ende-Flores: Nusa Indah,
1977), hlm. 17.] Selanjutnya tradisi Yahwis ditulis dengan “Y”.

10
Jean Louis Ska, Introduction to Reading the Pentateuch (Indiana Eisenbrauns: Winona Lake,
2006), hlm. 54.

11
Claus Westermann (7 Oktober 1909 – 11 Juni 2000) adalah pendeta dan seorang sarjana
Perjanjian Lama Protestan Jerman. Ia mengajar di Universitas Heidelberg (1958 – 1978). Ia
menyelesaikan studinya pada tahun 1933. Ia dikenal sebagai salah satu ahli Perjanjian Lama yang
terkemuka pada abad ke-20. Sebagai ahli Perjanjian Lama ia memberi komentar yang panjang dan
komprehensif tentang Kitab Kejadian, khususnya Kej 1-11. [Lihat Brueggemann Walter, “Westermann
Claus” in Jhon H. Hayes, Dictionary of Biblical Interpretation (Nashville: Abingdon Press, 1999), hlm.
633-634. Selanjutnya, Claus Westemann ditulis dengan Westermann.
6

(ay. 23b). Manusia mengakui relasi atau hubungan kekeluargaan yang erat dan

kesetaraan martabat perempuan itu dengan dirinya.12

Allah membuat manusia itu tidur nyenyak. Dalam keadaan itu Allah mengambil

tulang rusuk manusia dan menciptakan seorang perempuan. Itu berarti bahwa

penciptaan perempuan merupakan peristiwa rahasia dan tersembunyi bagi manusia,

sebab tidur nyenyak telah menghalangi manusia menjadi saksi penciptaan penolong

yang sepadan. Dengan demikian penciptaan perempuan merupakan karya Allah

sepenuhnya tanpa melibatkan campur tangan manusia seperti pada pemberian nama

kepada jenis binatang.13

Perempuan tidak diciptakan dari tanah yang baru seperti penciptaan jenis

binatang melainkan dari bahan yang sama yakni dari manusia itu sendiri. Dengan

menciptakan perempuan dari tulang rusuk manusia itu maka manusia dan perempuan

saling terikat. Dengan kata lain bahwa seorang laki-laki dan seorang perempuan

bukanlah manusia yang sempurna. Laki-laki tanpa perempuan adalah pecahan, begitu

juga perempuan tanpa laki-laki adalah pecahan. Artinya, hanya dalam persatuan laki-

laki dan perempuan terdapat manusia yang sempurna. Manusia (laki-laki) dan

perempuan adalah dua ciptaan yang tak dapat dipisahkan.14

12
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 (London: SPCK, 1984), hlm. 226-227.

13
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11…, hlm. 229; bdk. Deshi Ramadhani, Adam
Harus Bicara: Sebuah Buku Lelaki (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 56.
14

Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11…, hlm. 230.


7

Setelah Allah menciptakan perempuan maka Ia membawanya kepada manusia

untuk bersatu. Jelas bahwa persatuan laki-laki dan perempuan merupakan inisiatif Allah

dan bukan atas kehendak manusia. Persatuan laki-laki dan perempuan tidak

dimaksudkan dalam arti dua tubuh yang berbeda menjadi satu melainkan mau

melukiskan kesatuan laki-laki dan perempuan. Sebagai satu kesatuan, maka manusia

dan perempuan itu tidak malu meskipun dalam keadaan telanjang (ay. 25). Memang,

ketelanjangan merupakan simbol dari kelemahan, keterbatasan, kekurangan dan

kemiskinan namun bagi pasangan suami-istri yang telah menjalin relasi kasih,

ketelanjangan menjadi kesempatan dan peluang untuk saling melengkapi satu sama

lain.15

Skripsi ini mau mengupas tema “kesetaraan gender”, sehingga penulis

membatasi pembahasan pada poin-poin yang mengungkapkan kesetaraan gender dalam

Kej 2:18-25. Poin-poin itu antara lain: penolong yang sepadan, menjadi satu daging dan

mereka telanjang namun tidak malu. Oleh karena itu, skripsi ini di beri judul:

KESETARAAN GENDER: URAIAN EKSEGETIS DAN REFLEKSI TEOLOGIS

KEJ 2:18-25.

15
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa? Sebuah Refleksi Alkitabiah (Malang: Dioma, 2011),
hlm. 171; bdk. Gerhard von Rad, Old Testament Library: Genesis (London: SCM Press, 1972), hlm. 84.
8

3. Tujuan Penulisan

Penulisan skripsi ini, pertama-tama bertujuan untuk memenuhi syarat akademis

dalam menyelesaikan program Strata Satu (S-1) di Fakultas Filsafat Keilahian,

Universitas Katolik St. Thomas, Sumatera Utara. Selain itu, penulisan skripsi ini

bertujuan untuk memahami martabat manusia yang masih mengalami penindasan dan

diskriminasi terutama dalam diri kaum perempuan.

Dalam penulisan ini, penulis bukan hendak menghilangkan budaya-budaya

melainkan memberi komentar terhadap budaya yang kurang menghargai martabat

perempuan sebagai manusia yang diciptakan Allah. Selain untuk mengkritisi, penulis

juga mengajak masyarakat agar berlaku adil dan manusiawi kepada sesamanya karena

laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan.

4. Metode Penulisan

Metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian

kepustakaan (library research). Pertama-tama, penulis mengumpulkan buku-buku

maupun artikel-artikel yang terkait dengan tema skripsi ini. Selanjutnya penulis

mengolah tulisan para ahli Kitab Suci itu dan menyajikannya dalam uraian eksegetis

dan refleksi teologis Kej 2:18-25.


9

Penulisan skripsi ini mengikuti ketentuan pedoman penulisan skripsi yang

berlaku di Fakultas Filsafat, Universitas Katolik St. Thomas, Medan-Sumatera Utara,

edisi tahun 2017.

5. Sistematika Penulisan

Penulis menyusun skripsi ini menjadi empat bab yang terlebih dahulu diawali

dengan kata pengantar, abstrak dan daftar isi.

Bab I menguraikan pendahuluan yang mencakup latar belakang pemilihan tema,

pembatasan dan perumusan tema, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika

penulisan.

Bab II memuat uraian eksegetis Kej 2:18-25. Pada bagian ini, penulis terlebih

dahulu menguraikan konteks, struktur dan kesatuan teks Kej 2:18-25. Selanjutnya

penulis membahas uraian eksegetis Kej 2:18-25. Penulis menutup bagian ini dengan

rangkuman.

Bab III memuat refleksi teologis Kej 2:18-25. Pada bagian ini, penulis

memaparkan bahwa sesungguhnya manusia, laki-laki dan perempuan memiliki

kesetaraan. Kesetaraan itu ditemukan dalam penggunaan beberapa kata atau istilah yang

terdapat dalam Kej 2:18-25, yakni penolong yang sepadan, menjadi satu daging dan

mereka telanjang tetapi tidak malu. Penulis menutup bagian ini dengan rangkuman.
10

Bab IV merupakan penutup. Pada bagian ini, penulis membuat rangkuman dari

seluruh pembahasan bab-bab sebelumnya, kritik atas pandangan masyarakat Nias

tentang perempuan dan relevansi kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan

sosial maupun Gereja.


BAB II

URAIAN EKSEGETIS KEJ 2:18-25

Pada bab II ini, penulis akan memaparkan uraian eksegetis Kej 2:18-25. Bab ini

terdiri dari beberapa bagian, yakni konteks, struktur, tafsir dan rangkuman.

1. Konteks Kej 2:18-25

Tradisi Y menyusun narasinya tentang permulaan Israel pada masa

pemerintahan Raja Salomo. Namun, ia terutama seorang kolektor dan penyusun tradisi

lama. Y tidak menciptakan narasi baru, melainkan memberi makna lebih lengkap

kepada tradisi yang sudah ada sebelumnya dengan menghubungkan dalam konteks yang

lebih luas dari sejarah keselamatan. Maka menurut James Plastaras 16 tidak tepatlah

16
James Plastaras adalah asisten profesor Kitab Suci di Seminari Our Lady of the Angels,
Albany, dan New York. Ia adalah penulis The God of Exodus, sebuah studi komprehensif tentang teologi
eksodus, yang juga ditebitkan oleh Bruce. [Lihat James Plastaras, Creation and Covenant (New York:
The Bruce Publishing Company, 1968), hlm. vi.]
12

menggambarkan Kej 2:4b-25 sebagai “narasi penciptaan dunia” karena di dalamnya

tidak berkaitan dengan penciptaan dunia melainkan hanya penciptaan manusia, hewan

dan perempuan.17

Penciptaan manusia dalam Kej 2:7 belum sempurna di hadapan Allah. Manusia

itu masih sendiri. Kesendirian ini menjadi masalah dan merupakan hal negatif. Maka,

Allah bersabda bahwa “tidak baik” kalau manusia itu seorang diri. Untuk itu Allah

mengambil keputusan untuk menciptakan penolong yang sepadan dengan manusia itu

(Kej 2:18-25). Kej 2:18-25 tidak bisa dipisahkan dari Kej 2:7. Bahkan bisa dikatakan

bahwa ayat 18-25 adalah kelanjutan dari ayat 7, sebab tanpa ayat 8-17 pun narasinya

masih tetap utuh.18

Penolong yang sepadan tidak menunjuk pada jati diri perempuan, melainkan

secara fungsional melengkapi kekurangan Adam yang kemampuannya terbatas. Dalam

hal apa Adam perlu dilengkapi dan ditolong? Untuk itu, harus dilihat dulu apa saja

pekerjaan Adam sampai diperlukan kehadiran penolong yang sangat khusus. Dalam

kisah penciptaan disinggung tiga hal yang dilakukan Adam: pertama, ia mengusahakan

dan memelihara taman (Kej 2:15). Kedua, ia menamakan segala binatang hutan dan

burung di udara. Walaupun pekerjaan ini terjadi setelah ia membutuhkan penolong

namun dalam hal ini tetap dilihat sebagai pekerjaan yang ia lakukan. Akhirnya, ada

sebuah pekerjaan Adam yang tidak bisa ia kerjakan sendirian. Pekerjaan itu ialah

memenuhi perintah Allah untuk beranak cucu (bdk. Kej 1:28). Dalam hal ini, jelaslah
17
James Plastaras, Creation and Covenant …, hlm. 2; bdk. P. Van Imschoot, Theology of the
Old Testament, Volume 1 (New York: Desclee Company, 1954), hlm. 151.

18
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 226.
13

peran perempuan sebagai penolong yang sepadan dengan Adam yakni kerja sama

dengan laki-laki dalam memenuhi perintah Allah. Tentu harus diingat bahwa ini dalam

konteks dunia yang masih belum ada masyarakat. Mutlak Adam harus beranak cucu.19

2. Struktur Kej 2:18-25

Westermann mengelompokkan Kej 2:18-25 menjadi lima bagian. Namun, untuk

mengerti dan mengenali struktur Kej 2:18-25 harus ditempatkan dalam keseluruhan

konteks Kej 2 dan kaitannya dengan Kej 3. Kedua bab ini (Kej 2 dan Kej 3)

menggambarkan alur yang mengalir. Pertama dimulai dari perintah yang diberikan

Allah kepada manusia hingga memuncak pada pelanggaran perintah tersebut. Kemudian

dari klimaks turun ke konsekuensi atas pelanggaran, penemuan, persidangan dan

hukuman. AKhirnya manusia diusir dari taman Eden, di mana Allah menempatkan

manusia dan perempuan itu.20

Pembagian atau struktur Kej 2:18-25 yang dibuat oleh Westermann itu sebagai

berikut:21

Ayat 18 : Keputusan Allah untuk mengatasi kesendirian manusia

19
Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), hlm.
53; bdk. Alexa Suelzer, The Pentateuch: A Study in Salvation History (New York: Herder, 1964), hlm.
45.

20
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 193; bdk. David F. Hinson, Sejarah
Israel Pada Zaman Alkitab (Jakarta: Gunung Mulia, 1994), hlm. 111; bdk. David Robert Ord, - Robert B.
Coote, Pada Mulanya: Penciptaan dan Sejarah Keimaman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), hlm. 36.
21
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 225; bdk. Penka Yasua, Perempuan
Sumber Dosa ..., hlm. 155.
14

Ayat 19-20 : Tindakan pertama: Allah menciptakan binatang

Ayat 21-22 : Tindakan kedua: Allah menciptakan perempuan

Ayat 23 : Reaksi manusia (laki-laki) terhadap perempuan

Ayat 24-25 : Efek penciptaan perempuan dan penghubung Kej 3

Menurut Westermann, struktur di atas tidak bisa dipisah satu sama lain. Kej 2:18

melukiskan inisiatif Allah, yaitu menciptakan penolong yang sepadan. Pertama Allah

menciptakan binatang (ay. 19-20). Penciptaan binatang menimbulkan kerinduan yang

mendalam untuk memiliki penolong yang sepadan sebab manusia itu tidak menemukan

penolong yang sepadan di antara binatang-binatang yang diserahkan Allah kepadanya.

Kerinduan manusia itu nyata pada ayat 21-22. Perempuan adalah penolong sepadan

yang dirindukan manusia itu. Kehadiran perempuan itu pun menyadarkan manusia itu

akan dirinya (ay. 23). Laki-laki dan perempuan adalah pecahan sehingga harus bersatu

menjadi satu daging (ayat 24) dan sempurna sebagaimana nyata dalam perkawinan.22

3. Tafsir Kej 2:18-25

22
Deshi Ramadhani, Adam Harus Bicara ..., hlm. 37; bdk. Walter Lempp, Tafsiran Kejadian
1:1-4:26 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974), hlm. 56.
15

3.1 Keputusan Allah Untuk Mengatasi Kesendirian Manusia

18
TUHAN Allah berfirman: “tidak baik, kalau manusia itu seorang
diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan
dia.

Di awal kisah penciptaan menurut P, semua baik dan indah (tov) dalam

pandangan Allah. Namun dalam kisah penciptaan menurut Y, setelah Allah

menciptakan manusia, Ia melihat bahwa ada sesuatu yang tidak baik, yaitu tidak baik

(lo’tov) kalau manusia itu seorang diri saja (Kej 2:18). Refleksi Sang Pencipta merujuk

pada suatu kekurangan bahwa manusia itu sendirian. Allah mengetahui bahwa di dalam

diri manusia tertanam suatu kebutuhan untuk membantu dan dibantu, untuk mencintai

dan dicintai.23

Hidup sendirian itu tidak baik. Demikian juga dikatakan dalam Kitab

Pengkhotbah masalah kesendirian tidak bisa dibiarkan berlarut-larut (Pkh 4:9-11). Allah

segera memutuskan dan bertindak menyelesaikannya: “Aku akan menjadikan penolong

(‘ēzer) baginya, yang sepadan (kenegdô) dengan dia”. ‘Ēzer dapat diartikan sebagai

penolong, bantuan dan pendukung. Menurut Louis Ska, dalam Perjanjian Lama,

pemakaian term ‘ēzer hampir selalu mengacu pada campur tangan Allah atau

pertolongan Allah untuk menyelamatkan mereka yang dalam bahaya maut. Misalnya

mereka berseru-seru memohon pertolongan karena merasa berada dalam situasi gawat

dan mendesak sementara mereka sendiri tidak bisa mengatasinya (bdk. Hos 13:9; Mzm
23
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 225; bdk. Penka Yasua, Perempuan
Sumber Dosa ..., hlm. 156; bdk. Juga Stefan Leks, Kejadian ..., hlm. 27.
16

20:33; 89:20; 121:1-2). Kesendirian termasuk keadaan gawat, bahaya mati, yang

manusia sendiri tidak bisa mengatasi. Oleh karena itu, Allah harus campur tangan

dengan memberikan ‘ēzer (penolong), yakni sesuatu atau seseorang yang tanpanya,

orang itu tidak bisa hidup.24

Menurut Westermann,‘ēzer tidak hanya memiliki makna membantu di tempat

kerja dan tidak juga hanya memusatkan perhatian pada keturunan. Itu berarti bahwa

‘ēzer memiliki makna yang lebih luas. Manusia tidak dapat memenuhi takdir mereka

dengan cara lain selain dengan bantuan timbal balik. Manusia itu diciptakan oleh Allah

sedemikian rupa sehingga ia membutuhkan bantuan pasangan. Oleh karena itu, saling

menolong adalah bagian penting dari keberadaan manusia.25

Penolong yang akan dijadikan itu ialah sepadan (Ibrani: kenegdô) dengan dia

(manusia). Patut diingat bahwa terjemahan yang benar untuk kata “ādām” adalah

“manusia” dalam arti kemanusiaan pada umumnya (baik laki-laki maupun perempuan).

Jadi yang dikatakan ayat ini ialah bahwa Allah akan membuat bagi manusia (baik laki-

laki maupun perempuan) seorang penolong. Laki-laki maupun perempuan dapat berada

dalam masalah kesendirian dan dapat menjadi penolong bagi lawan jenis.26

24
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 226; bdk. Jenny Teichman, Etika
Sosial (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 33.
25
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 226; bdk. Gerhard von Rad, Old
Testament Library ..., hlm. 79.

26
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 159; bdk. Surip Stanislaus, Kitab Taurat
Musa: Pengantar dan Tafsir Pilihan Kitab Kejadian, Kitab Keluaran, Kitab Imamat, Kitab Bilangan,
Kitab Ulangan (Pematangsiantar: [tanpa penerbit], 2017), hlm. 30. (Diktat)
17

Kata kenegdô berasal dari kata ke (seperti) dan neged (ada di depan). Kata neged

memiliki akar kata yang berkaitan dengan kata kerja yaitu higgȋd yang berarti

“menyampaikan” atau “menceritakan”. Dengan pengertian ini, dapat dimengerti bahwa

penolong yang sepadan dimaksudkan penolong yang ada di depannya, yang setara

dengannya, yang dapat diajak bicara atau bercerita. Relasi terhadap teman dapat

terbebas dari kesendirian. Teman bicara di sini tidak lebih tinggi atau sebaliknya

melainkan ada pada tingkat yang sama.27

3.2 Tindakan Pertama: Allah Menciptakan Binatang

19
Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan
dan segala burung di udara. Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu
untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang
diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang hidup, demikianlah
nanti nama makhluk itu. 20Manusia itu memberi nama kepada segala
ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan,
tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan
dia.

Menurut Westermann, kata kerja “membentuk” dalam ay. 19a merupakan

kelanjutan dari ay. 7a. Itu berarti bahwa ay. 19a memiliki hubungan yang erat dengan

ay. 7 di mana kata yang sama muncul di awal kalimat. Namun hal itu tidak bisa lagi

diikuti karena ada penambahan ayat (pemisah) di antara kedua ayat tersebut. Sekalipun

demikian namun narasi, pengertian dan meksudnya masih independen.28

27
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 159-160; bdk. Gerhard von Rad, Old
Testament Library ..., hlm. 80.

28
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 226.
18

Setelah Allah membuat keputusan untuk menjadikan penolong kepada manusia

itu, lalu Allah membentuk segala binatang dari tanah. Allah menciptakan segala

binatang dari tanah seperti halnya manusia diciptakan dari tanah (ay. 7). Namun letak

perbedaannya ialah pengarang tidak menjelaskan bagaimana segala binatang itu diberi

kehidupan. Sedangkan setelah Allah membentuk manusia itu dari tanah, kemudian

Allah mengembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya. Peristiwa ini merupakan

perbedaan yang sangat menonjol pada peristiwa penciptaan itu. Pengarang mengakui

bahwa ada sesuatu yang istimewa tentang manusia. Namun bagaimanapun, hewan juga

diciptakan sebagai makhluk hidup.29

Deskripsi penciptaan binatang dalam ay. 19a dan 20a memiliki perbedaan.

Dalam ay. 19a dikatakan “segala binatang dan segala burung di udara” sedangkan ay.

20a “kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang

hutan. Deskripsi ini berbeda dari Kej 1, di mana pengarang menyebut segala jenis

binatang secara umum. Pada Kej 2 ini pengarang mengabaikan ikan. Pengabaian ikan

bukan sesuatu yang baru bagi pengarang. Hal ini menunjukkan keadaan bumi yang

menyerupai padang gurun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apa yang dikatakan

Westermann adalah benar di mana ay. 19 merupakan lanjutan dari ay. 7. Pengarang

hanya peduli pada binatang-binatang di darat (hutan) dan di udara.30

Penciptaan binatang merupakan langkah pertama yang dilakukan Allah untuk

memberikan penolong yang sepadan kepada manusia. Allah membentuk dari tanah

29
Gerhard von Rad, Old Testament Library ..., hlm. 80-82.
30
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 227.
19

segala jenis binatang kemudian dibawa-Nya (Ibrani: bo’)31 kepada manusia itu. Allah

membawa segala jenis binatang itu kepada manusia untuk diperlihatkan dan mengajak

manusia itu untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalahnya. Allah sungguh

mengenal manusia ciptaan-Nya itu sehingga Allah memberikan kuasa kepada manusia

itu untuk memberi nama kepada segala jenis binatang itu. Ini saat yang tepat bagi

manusia untuk dirinya sebagai ciptaan yang kreatif (rekan kerja Allah dalam karya

penciptaan).32

Manusia memberi nama kepada segala jenis binatang itu. Demikianlah nama

yang disebut manusia itu kepada tiap-tiap binatang menjadi nama yang sesuai dengan

jenisnya. Hal ini berarti bahwa manusia mengenal segala jenis binatang yang diserahkan

kepadanya sehingga ia dapat membedakan identitas jenis binatang yang ada dan

memberinya nama. Pemberian nama terhadap binatang menunjukkan bahwa manusia

memahami, mengatur dan menguasai binatang-binatang itu. Dengan memberi nama,

manusia itu otonom dalam wilayah tertentu (bdk. Kej 17:5, 17:15).33

Pemberian nama di sini tidak sama seperti yang dikatakan dalam Kej 1. P

mengatakan secara abstrak bahwa Pencipta telah menunjuk manusia untuk menjadi

penguasa binatang (Kej 1:26, 28). Y tidak bermaksud supaya manusia mengeksploitasi

binatang untuk tujuan manusia. Manusia itu memberikan nama-nama kepada binatang

dan dengan demikian menempatkan mereka di dunianya agar dapat hidup bersama.

31
Selanjutnya akan dijelaskan pada ayat 22.

32
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 160.

33
Walter Lempp, Tafsiran Kejadian ..., hlm. 75.
20

Pemberian nama itu sebenarnya merupakan suatu ulangan penciptaan, sebab dengan

mengucapkan nama itu maka binatang diciptakan sekali lagi dalam pengertian dan akal-

budi manusia. Dengan ini manusia dilantik menjadi wakil dan teman kerja Allah. 34

Dari antara segala jenis binatang yang telah manusia beri nama tidak ditemukan

penolong yang sepadan dengannya, karena semua binatang telah dikuasai olehnya

(manusia). Binatang-binatang itu tidak ada yang bisa diajak bicara, sehingga penciptaan

hewan ini merupakan upaya yang tidak berhasil dalam penciptaan penolong yang

sepadan. Kegagalan ini tentu menjadi sebuah ketegangan karena manusia belum

menemukan penolong yang sepadan dengannya dan yang melepaskan dia dari kesepian

atau kesendirian. Di sisi lain, dengan kegagalan ini pengarang hendak menegaskan

bahwa betapa manusia sungguh membutuhkan relasi dan cinta-kasih. Dalam kata

“tidak” (ay. 20c) terdengar seluruh keinginan dan kerinduan manusia itu akan penolong

yang sepadan dengannya.35

3.3 Tindakan Kedua: Allah Menciptakan Perempuan

21
Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia
tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu
menutup tempat itu dengan daging. 22Dan dari rusuk yang diambil TUHAN
Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-
Nya kepada manusia itu.

34
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 227; bdk. Walter Lempp, Tafsiran
Kejadian ..., hlm. 75.

35
Stefan Leks, Kejadian ..., hlm. 27; bdk. Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ...,
hlm. 228.
21

Langkah pertama yang dilakukan Allah dalam ay. 19-20 untuk memberikan

penolong yang sepadan dengan manusia itu adalah tidak berhasil atau gagal. Meskipun

demikian Allah tidak berhenti untuk membebaskan manusia itu dari kesepian atau

kesendirian. Allah pun mengambil langkah kedua, yakni dengan membentuk seorang

perempuan.

Allah membuat manusia itu tidur nyenyak. Tidur nyenyak dalam bahasa Ibrani

ialah “tardemāh”. Tidur nyenyak (tardemāh) di sini mau menunjukkan ketidaktahuan

dan kepasifan manusia dalam penciptaan perempuan. Penciptaan perempuan bersifat

rahasia. Dalam Kej 1, rahasia itu diakui oleh penciptaan dengan perantaraan Sabda. Tak

ada keterangan apa-apa dalam Kej 1 tentang cara atau bagaimana terjadi penciptaan itu.

Dengan nada yang sama juga dapat dikatakan dalam penciptaan perempuan (Kej 2:21-

22). Tidur nyenyak telah menghalangi manusia menjadi saksi penciptaan penolong yang

sepadan. Namun kondisi seperti itulah yang dibutuhkan agar Allah dapat menciptakan

dan memberinya penolong yang sepadan. Dengan demikian penciptaan perempuan

merupakan karya Allah sepenuhnya tanpa melibatkan campur tangan manusia seperti

dalam penciptaan binatang (ay. 19-20).36

Ketika manusia itu dalam keadaan tidur nyenyak, Allah mengambil salah satu

rusuk dari manusia itu. Istilah rusuk dalam bahasa Ibrani ialah zelā. Dari tulang rusuk

itulah Allah membangun (Ibrani: bānu) seorang perempuan. Kata kerja bānu adalah

istilah reguler yang digunakan dalam literatur Akkadian untuk menggambarkan

36
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 228; bdk. Penka Yasua, Perempuan
Sumber Dosa ..., hlm. 162
22

penciptaan oleh para dewa. Kata bānu adalah bagian dari terminologi penciptaan.

Penggunaan kata ini hanya terjadi atau terdapat dalam Kitab Amos untuk

menggambarkan karya penciptaan (Am 9:6).37

Saat manusia itu tidur nyenyak, Allah mengambil salah satu tulang rusuk dari

padanya, kemudian Ia membangun (bānu) seorang perempuan. Penciptaan perempuan

tidak dikatakan berasal dari laki-laki. Perempuan bukanlah makhluk baru sehingga tidak

disebut berasal dari laki-laki. Pengarang tidak menyebut penciptaan perempuan dari

tanah (benda mati) menjadi perempuan (makhluk hidup) seperti halnya penciptaan

binatang dari tanah. Dengan menciptakan perempuan dari tulang rusuk manusia itu

maka manusia dan perempuan itu saling terikat. Dengan kata lain bahwa seorang laki-

laki bukanlah manusia yang sempurna dan satu orang perempuan juga bukanlah

manusia yang sempurna sebab laki-laki dan perempuan merupakan belahan dan pecahan

saja. Artinya hanya dalam persatuan laki-laki dan perempuan terdapat manusia yang

sempurna. Manusia (laki-laki) dan perempuan adalah dua ciptaan yang tak dapat

dipisahkan.38

Menurut Westermann penciptaan perempuan dari tulang rusuk bukan sesuatu

yang baru dalam perspektif si pengarang melainkan mewarisi tradisi kuno yang sudah

terbentuk sejak lama. Hal ini berarti sudah ada mitos penciptaan yang mendahului kisah

Kej 2. Misalnya seseorang yang dibentuk dari kayu atau penciptaan manusia dari dua

bahan, yakni tanah liat dan alang-alang. Penciptaan dari bahan yang sudah ada pun juga
37
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 229-230.
38
Walter Lempp, Tafsiran Kejadian ..., hlm. 77; bdk. Claus Westermann, A Commentary:
Genesis 1:11 ..., hlm. 230.
23

terdapat dalam cerita orang Eskimo di mana perempuan diciptakan dari ibu jari pria,

atau asal-usul dewa dari bagian tubuh dewa lain. Selain mitos-mitos di atas juga

terdapat mitos Dilmun, yakni mitos bangsa Sumeria dari Mesopotamia bagian Selatan.

Dikisahkan bahwa dewa Ninhursang (ibu gunung) menciptakan seorang anak

perempuan untuk menyembuhkan Engki (dewa pelindung kota Eridu). Ninhursang

hendak menyembuhkan tulang rusuk Engki, maka anak itu ia beri nama Ninti. Ninti

berasal dari dua kata (Nin: ibu, ti: tulang rusuk), namun ti juga bisa diterjemahkan

“membuat hidup”. Ninti berarti ibu tulang rusuk atau ibu kehidupan. Kitab Kej 2 pun

mengatakan bahwa perempuan dibuat dari tulang rusuk dan diberi nama “Hawa” yang

berarti “ibu semua yang hidup” (Kej 3:20).39

Setelah Allah membangun (bānu) perempuan itu, kemudian Ia membawanya

kepada manusia itu (ay. 22b). Pada bagian ayat ini terdapat kata yang sama seperti pada

ay. 19b, yakni membawa (Ibrani: bo’). Kata bo’ memiliki arti “membawa, mengantar

atau mempersembahkan”. Dengan demikian, istilah bo’ menggarisbawahi bahwa

perempuan adalah persembahan (anugerah). Perempuan adalah suatu anugerah Allah

untuk manusia itu. Manusia tidak dikatakan mencari-cari atau menemukan perempuan

melainkan kepadanya Allah mengantar atau membawa perempuan itu. Allah berinisiatif

mempertemukan laki-laki dan perempuan. Ketika Allah membawa perempuan kepada

manusia (laki-laki) itu, Allah sedang membangun kesatuan antara laki-laki dan

perempuan. Kesatuan laki-laki dan perempuan itu terjadi atas kehendak Allah melalui

39
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 163.
24

perkawinan. Harus ditekankan bahwa ay. 23 tidak berbicara tentang perkawinan sebagai

institusi bagi keturunan, melainkan kesatuan laki-laki dan perempuan.40

3.4 Reaksi Manusia (Laki-laki) terhadap Perempuan

23
Lalu berkatalah manusia itu: “inilah dia, tulang dari tulangku dan
daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan sebab ia diambil dari
laki-laki”.

Akhirnya, Allah telah membangun (bānu) seorang perempuan. Inilah penolong

yang sepadan yang telah disediakan dan diberikan Allah kepada manusia itu. Ketika

manusia itu bangun dari tidurnya dan berhadapan dengan penolong yang sepadan yang

diberikan Allah itu kepadanya, ia bereaksi dengan sambutan gembira, “inilah dia tulang

dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej 2:23). Sekarang, dia telah menemukan

penolong yang sepadan untuknya.41

Dalam kalimat seruan manusia itu terdapat artikel yakni “ini”. Artikel atau kata

“ini” memiliki kekuatan demonstratif seperti dalam Kej 29:34, 35; 30:20; 46:30: Kel

9:27. Ketika manusia itu mengatakan “inilah” maka pada saat yang sama ia menyambut

perempuan itu dengan gembira sekaligus mengucapkan kegembiraan kepada Allah

Pencipta bahwa Allah telah memberi dia penolong yang sepadan atau cocok kepadanya.

Kata ganti “dia” muncul tiga kali yakni di awal baris pertama, di awal dan di akhir baris

40
Henricus Renckens, Israel's Concept of the Beginning. The Theology of Genesis 1-3 (New
York: Herder, 1964), hlm. 226; bdk. Deshi Ramadhani, Adam Harus Bicara ..., hlm. 35.
41
Henricus Renckens, Israel's Concept ..., hlm. 229.
25

kedua. Ini merujuk pada perempuan dan merupakan kata ganti untuk feminim.

Penggunaan kata ganti ketiga tunggal ini tidak berarti bahwa ada semacam celah.42

Seruan kegembiraan yang diucapkan manusia itu ialah “inilah dia, tulang dari

tulangku dan daging dari dagingku” (ay. 23b). Pengarang menggunakan apa yang

dikenal sebagai rumus hubungan seperti dalam Kej 29:14; Hak 9:2-3; 2 Sam 5:1; 19:13-

14. Isi ayat-ayat tersebut menggambarkan kasus yang berbeda namun ada rumus

hubungan permanen dan sama. Begitu juga halnya ay. 23b ini walaupun ada sedikit

perbedaan karena menggunakan kata jamak (tulang dari tulang dan daging dari daging)

dan preposisi (ku). Manusia itu mengakui relasi atau hubungan kekeluargaan yang erat

dan kesetaraan martabat perempuan itu dengan dirinya.43

Dengan mengatakan “inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku”

laki-laki itu tidak sedang berbicara kepada perempuan itu melainkan berbicara tentang

perempuan itu. Di sini perempuan menjadi objek dan bukan subjek. Adalah suatu

kejanggalan bahwa laki-laki itu berbicara tentang perempuan yang tidak dia lihat saat

diciptakan. Walaupun manusia itu tidur dan tidak sadar saat dibangun penolong yang

sepadan dengannya itu namun ia berlagak “sok” tahu. Ia tidak bertanya kepada Allah

tentang peristiwa saat ia tidur nyenyak tetapi malah menafsirkan sendiri bahwa

perempuan itu tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Sikap “sok” tahu dan

yang melupakan campur tangan Allah dalam memberikan perempuan sebagai anugerah

42
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 231.

43
Gerhard von Rad, Old Testament Library ..., hlm. 83; bdk. Surip Stanislaus, Kitab Taurat
Musa..., hlm. 31. (Diktat)
26

merupakan bibit dosa. Menurut Westermann, ungkapan itu merupakan sebuah

etiologis44. Hal ini tampak dan telah disiapkan oleh ay. 19-20 di mana manusia itu

memberi nama pada segala binatang.45

Pemberian nama kepada perempuan oleh laki-laki disebut oleh Westermann

sebagai etiologis murni sebab laki-laki itu tidak diminta untuk memberi nama tetapi

dengan spontan ia melakukannya: “ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari

laki-laki (ay. 23c)”. Untuk pertama sekali, manusia (‘ādām) disebut laki-laki. Ketika

melihat perempuan, manusia sadar bahwa ia adalah laki-laki. Jelas bahwa manusia

menemukan identitasnya yang sejati saat berhadapan dengan lawan jenisnya

(perempuan) begitu juga sebaliknya. Kata Ibrani untuk laki-laki adalah “ȋš” dan

perempuan ”ȋššāh”. Ȋššāh diambil dari ȋš. Namun perlu dicatat bahwa di sini tidak

dikatakan perempuan (ȋššāh) berasal dari laki-laki (ȋš). Permainan kata ini merupakan

bagian penting. Kedua kata tersebut memiliki pengucapan dan kedengaran yang sama

dan sulit dibedakan. Barang kali mirip dengan “siswa” dan “siswi”, “saudara” dan

“saudari” meskipun contoh ini kurang sesuai. Kesamaan bunyi dari kedua kata ini,

menunjukkan bahwa ada kesatuan dan kesetaraan martabat perempuan dan laki-laki.46

44
Etiologis yaitu kisah tentang asal usul. [Lihat Abertus Purnomo, Dari Hawa Sampai Miryam,
Menafsirkan Kisah Perempuan dalam Alkitab (Yogyakarta: Kanisius, 2019), hlm. 24; bdk. Gerhard von
Rad, Old Testament Library ..., hlm. 83.

45
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 232; bdk. Penka Yasua, Perempuan
Sumber Dosa ..., hlm. 168.
46
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 232; bdk. Henricus Renckens,
Israel's Concept ..., hlm. 230.
27

Dengan seruan manusia bahwa “ȋššāh” diambil dari “ȋš” mengindikasikan untuk

ketidaksediaannya akan kehilangan. Seruan laki-laki itu berdasar pada kesadarannya.

Ketika seseorang menyadari semua yang ia miliki adalah anugerah Allah, maka sesuatu

yang hilang pun tidak dirasa sebagai kehilangan. Bagaimana mungkin ia merasa

kehilangan apabila yang ia terima dan ada padanya adalah anugerah. Syarat untuk

mendapatkan penolong yang sepadan ialah kesediaan kehilangan dan tidak sok tahu

seperti yang ditunjukkan manusia itu saat penciptaan perempuan di mana ia tidur

nyenyak dan tidak menjadi saksi penciptaan tersebut. Walaupun pada akhirnya, ia

merasa kehilangan dalam dirinya dan sok tahu atas semua yang terjadi.47

3.5 Efek Penciptaan Perempuan dan Penghubung Kej 3

24
Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan
ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu
daging. 25Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi
mereka tidak merasa malu.

Pada ay. 23, pengarang menggambarkan bagaimana laki-laki berbicara saat

Allah membawa penolong yang sepadan (perempuan) dengannya. Namun pada ayat 24

ini ada perubahan, di mana bukan laki-laki itu yang berbicara melainkan pengarang

sendiri. Di sini pengarang tidak lagi berbicara tentang laki-laki dan perempuan itu sebab
47
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 169.
28

laki-laki dan perempuan itu belum memiliki ayah dan ibu. Dengan ini, Westermann

berpendapat bahwa ay. 24 merupakan tambahan kemudian, sebab narasi sebelumnya

tidak ada kaitannya dengan kesimpulan seperti ini. Walaupun Westermann mengatakan

bahwa ay. 24 ini tidak ada hubungannya dengan ayat sebelumnya, namun ia

mengungkapkan maksud pengarang. Maksud pengarang menulis ayat ini ialah untuk

meneguhkan kesatuan laki-laki dan perempuan dalam satu daging.48

Seorang laki-laki yang meninggalkan ayah dan ibunya tidak sesuai dengan adat-

istiadat orang Israel. Benarkah laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan ia bersatu

dengan istrinya? Bersatu dengan istri berarti masuk ke dalam kesatuan kehidupan yang

langgeng bersamanya. Untuk mencapai kesatuan yang langgeng dan bahagia, mereka

harus meninggalkan ayah dan ibunya. Meninggalkan ayah dan ibu di sini berarti

kehilangan ikatan jasmani dan spiritual. “Syarat” untuk mencapai kesatuan yang

langgeng dan bahagia ialah bersedia kehilangan sesuatu.49

Menjadi satu daging tidak dimaksudkan dalam arti dua tubuh menjadi satu. Hal

ini tidak berbicara tentang persatuan hubungan seksual dan bukan juga buah persatuan

itu, yakni “anak”, melainkan kesatuan laki-laki dan perempuan itu. Bahasa Ibrani

daging (bāsār) tidak menentang jiwa atau roh, tetapi menggambarkan keberadaan

manusia secara keseluruhan di bawah aspek kebersamaan. Jadi yang dimaksud dengan

48
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 233; bdk. Penka Yasua, Perempuan
Sumber Dosa ..., hlm. 170.
49
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 234; bdk. Walter Lempp, Tafsiran
Kejadian ..., hlm. 79.
29

menjadi satu daging adalah kesatuan seluruh pribadi laki-laki (suami) dan perempuan

(istri) menjadi satu, sehati dan seperasaan.50

Ay. 25 menggambarkan apa yang ada sebelum dosa manusia (kejatuhan). Laki-

laki dan perempuan itu sama-sama telanjang. Ada dua istilah telanjang dalam bahasa

Ibrani yakni cārom (kata sifat) dan cerwāh (kata benda). Kata cārom berarti telanjang

dan cerwāh berarti ketelanjangan atau titik lemah. Ketelanjangan dapat dipahami

sebagai simbol kemiskinan, keterbatasan, kekurangan dan kelemahan. Hal ini dapat

ditemukan dalam cerita tentang Enkidu, di mana pada awalnya ia telanjang dan seluruh

tubuhnya hanya ditutupi dengan rambut. Dikisahkan bahwa orang pada masa purba

tidak memakai pakaian. Ketelanjangan dipandang sebagai ancaman karena orang

telanjang (tanpa pelindung) mudah terluka dan terancam mati bila ketelanjangan dalam

arti kemiskinan atau kekurangan. Manusia yang tanpa pelindung adalah memalukan

tetapi bagi pasangan suami dan istri, ketelanjangan bukanlah sesuatu yang memalukan. 51

Mereka tidak malu. Beberapa penafsir mengatakan bahwa rasa malu adalah

konsekuensi dosa dan kesalahan. Menurut Westermann, perspektif ini mengandung dua

kesalahan. Rasa malu pada awalnya bukanlah sesuatu yang terjadi pada individu, tetapi

dalam hubungan dengan orang lain. Kedua, membatasi rasa malu pada “kerabat dosa

dan rasa bersalah” adalah malapetaka.52

50
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 233; bdk. Penka Yasua, Perempuan
Sumber Dosa ..., hlm. 171.
51
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 236; bdk. Penka Yasua, Perempuan
Sumber Dosa ..., hlm. 176.

52
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 237.
30

Rasa malu lebih merupakan reaksi terhadap yang ditemukan kedoknya. Reaksi

ini merupakan reaksi seluruh pribadi seperti wajah yang memerah. Seseorang yang

tanpa rasa malu tidak lagi sepenuhnya manusia. Rasa malu secara etis adalah fenomena

yang ambivalen (berperasaan yang bertentangan). Sebagai reaksi terhadap kesalahan,

rasa malu bisa sangat positif. Rasa malu efektif dalam memalingkan seseorang dari

kesalahan. Di sini rasa malu seharusnya tidak terbatas pada reaksi terhadap dosa atau

sensualitas.53

4. Rangkuman

Masalah kesendirian diselesaikan dengan menciptakan penolong yang sepadan.

Penciptaan penolong yang sepadan dilakukan melalui dua tindakan yakni penciptaan

binatang dan penciptaan perempuan. Konsep penciptaan penolong yang sepadan itu

dalam dua tindakan bukanlah konsep yang kebetulan. Pengarang hendak menandaskan

perbedaan perempuan dengan binatang. Binatang tidak cocok dan tidak sepadan bagi

manusia (ādām) itu. Hanya dalam diri perempuan, manusia (laki-laki) mengakui dan

menemukan penolong yang sepadan. Penolong yang sepadan berarti ada di depan dan

bisa diajak bicara. Maka, penolong yang sepadan itu berlaku untuk semua manusia.

53
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 238; James Plastaras, Creation and
Covenant ..., hlm. 45-46.
31

Artinya bahwa baik laki-laki maupun perempuan adalah penolong yang sepadan bagi

yang lain. Penolong tidak identik dengan pembantu rumah tangga. Sejatinya, penolong

yang sepadan adalah teman yang ada di depannya, yang ada pada tingkat yang sama,

yang setara dengannya dan bisa diajak bicara.54

Ungkapan menjadi satu daging yang dilontarkan oleh pengarang berarti

persatuan pribadi yang tetap otonom sebagai laki-laki dan perempuan sehingga sehati

dan seperasaan. Pada awalnya laki-laki dan perempuan adalah satu dan kembali menjadi

satu. Dalam kesatuan, mereka setara tanpa memandang yang lain lemah dibanding

dengan yang lain.55

54
Surip Stanislaus, Kitab Taurat Musa ..., hlm. 32. (Diktat)

55
Gerhard von Rad, Old Testament Library ..., hlm. 83-84; bdk. Surip Stanislaus, Kitab Taurat
Musa ..., hlm. 32. (Diktat)
BAB III

REFLEKSI TEOLOGIS KEJ 2:18-25

1. Pengantar

Dalam bab II, penulis telah menguraikan eksegetis Kej 2:18-25. Pada bab III ini,

penulis akan memaparkan refleksi teologis dari Kej 2:18-25 yang dibagi dalam

beberapa bagian yakni penolong sepadan, menjadi satu daging dan mereka telanjang

tetapi tidak malu. Bagian-bagian tersebut mengungkapkan kesetaraan gender.

2. Allah Menciptakan Penolong Sepadan

Adalah benar bahwa perempuan memiliki perbedaan dan persamaan dengan

laki-laki. Dalam hal apakah mereka sama dan dalam hal apakah mereka berbeda?

Berbicara tentang perbedaan perempuan dan laki-laki berarti berbicara tentang fungsi
33

biologis-seksual, yang sering secara salah kaprah disamakan begitu saja dengan gender.

Gender sebenarnya merupakan peran sosial yang diberikan masyarakat berkaitan

dengan seksualitas. Dengan demikian, manusia mengenal dua cara dalam melihat

perbedaan perempuan dan laki-laki, yakni berdasarkan fungsi biologis seksual dan

berdasarkan gender.56

Berbicara tentang fungsi biologis seksual, jelas perempuan tidak sama dengan

laki-laki. Perbedaan tersebut sudah ditetapkan oleh Pencipta sejak semula. Maka

sifatnya biologis dan kodrati. Manusia hanya dapat tunduk dan menerima penetapan

ilahi ini. Misalnya, perempuan mempunyai vagina, sel telur, payudara, yang semuanya

itu tidak dimiliki oleh laki-laki. Itu berarti secara biologis, hanya perempuanlah yang

mungkin mengandung dan melahirkan anak, sebab “fasilitas” untuk itu hanya dimiliki

oleh perempuan. Sebaliknya laki-laki memiliki testis, penis dan sperma yang tidak

dimiliki oleh perempuan. Itu berarti, tanpa ada kerja sama antara laki-laki dan

perempuan, mereka tidak bisa melahirkan anak. Dalam hal ini perbedaan tak bisa

dipungkiri sebab sudah merupakan pemberian abadi Sang Pencipta. Di sini perbedaan

pun bukanlah suatu faktor yang merendahkan satu terhadap yang lain, melainkan justru

ketergantungan untuk saling melengkapi satu sama lain. Maka tidak relevan untuk

membuat pertanyaan siapa di bawah siapa atau siapa lebih tinggi dari siapa? Keduanya

saling membutuhkan secara equivalen: laki-laki membutuhkan perempuan dan

perempuan membutuhkan laki-laki.57

56
G. Gultom, “Ketimpangan Gender; Akankah Kita Pertahankan Terus”, dalam G. Gultom (ed.),
Menggapai Gereja Inklusif (Tarutung: Kator Pusat HKBP, 2004), hlm. 289.
57
Save M. Dagun, Maskulin dan Feminim, Perbedaan Pria-Wanita dalam Fisiologi, Psikologi,
Seksual, Karier dan Masa Depan (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 75.
34

Berkaitan dengan perbedaan biologis-seksual ini, muncullah juga pembagian

peran dalam masyarakat. Diyakini, pada masyarakat nomaden, di saat manusia masih

hidup berpindah-pindah, perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan itu masih

sangat fungsional. Kebutuhan manusia boleh dikatakan masih terbatas pada mencari

nafkah dan melahirkan atau membesarkan anak. Karena “fasilitas” melahirkan dan

membesarkan anak ada pada perempuan maka sudah jelas secara fungsional tugas itu

jatuh pada perempuan. Sebagaimana mestinya, tugas itu terlaksana di rumah sehingga

tugas-tugas yang berada sekitar rumah cenderung ditangani oleh perempuan.

Demikianlah tugas-tugas domestik jatuh ke tangan perempuan sedangkan tugas mencari

nafkah jatuh ke tangan laki-laki. Sejauh ini tidak ada pembedaan yang bersifat hirarkis

menguasai.58

Perbedaan peran yang sangat fungsional ini berkembang menjadi pembedaan

peran yang bersifat sosial. Pembagian peran berdasarkan fungsi itu menjadikan laki-laki

lebih sering berada di luar rumah, sehingga akses hubungan ke luar terbuka lebar bagi

laki-laki. Segala sesuatu yang bersifat “hubungan ke luar” hanya diketahui oleh laki-laki

sebab dialah yang berurusan di luar rumah. Sebaliknya, bagi perempuan hal itu ditutup

karena memang kerjanya terbatas di dalam rumah. Inilah yang menumbuhkan

masyarakat patriarkal, di mana segala sesuatu yang berbau “publik” ditentukan oleh

laki-laki. Di sini pembedaan peran tidak lagi melulu bersifat fungsional, melainkan telah

bergeser kepada suatu tatanan masyarakat yang bersifat hirarkis. Karena tatanan

58
Banggas Simanullang, “Maka Kita Berseru, Allah, Bapa Yang Maharahim; Membaca Alkitab
dari Perspektif Perempuan”, dalam Logos, Vol. 5/No. 2 (Januari 2008), hlm. 33.
35

masyarakat ini adalah hasil ciptaan laki-laki, maka kedudukan merekalah yang

diuntungkan.59

Demikianlah akses perempuan dibatasi untuk hidup publik sehingga mereka

terbatas pada urusan melahirkan dan memelihara anak serta urusan rumah tangga

lainnya. Tugas itu diserahkan kepada mereka bukan pertama-tama karena fungsi

melainkan karena mereka perempuan. Misalnya mencuci, memasak, dan membersihkan

rumah tidak ada kaitannya dengan fungsi biologis-seksual namun tugas itu diberikan

kepada perempuan karena tugas-tugas yang seperti itu dianggap cocok dan pantas bagi

mereka. Terjadilah ketimpangan gender di mana perempuan dipandang lebih rendah dan

bahkan tergantung dari laki-laki. Pembedaan ini terkadang sungguh lepas dari fungsi

biologis-seksual dan berdasar pada peran sosial dalam masyarakat. Hal itu pun

diwariskan begitu saja tanpa ada diskusi. Akibatnya, pembedaan itu diterima begitu saja

sebagai yang seharusnya dan tak perlu ditinjau lagi sehingga semua yang bias gender

dianggap sebagai suatu yang bersifat kodrati.60

Dalam beberapa perikop Kitab Suci, perempuan tampak lebih rendah dari laki-

laki (Kej 19:1-29, Hak 21, 1 Kor 14:34-40, 1Tim2:8-15). Isi perikop-perikop itu sulit

diterangkan bahwa Allah adalah pemberi hidup dan pembebas perempuan. Misalnya,

dalam Perjanjian Lama dikisahkan bahwa Lot menerima dua orang tamu menginap di

59
Amatus Woi, “Perempuan Dalam Kebudayaan …, hlm. 12.

60
Bernard T. Adeney, Etika Sosial Lintas Budaya (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 283; bdk.
Elvina Simanjuntak, “Menjadi Manusia Lagi; Refleksi Feminis atas Yesus Sang Jalan”, dalam Rajawali,
III/02 (Juni 2005), hlm. 103.
36

rumahnya, tetapi orang-orang durhaka di kampungnya mengepung rumah itu hendak

mencelakakan mereka. Lot membujuk orang-orang jahat itu dengan berkata:

“Jangan kiranya berbuat jahat. Kamu tahu, aku mempunyai dua orang
anak perempuan yang belum pernah dijamah laki-laki, baiklah mereka kubawa
ke luar kepadamu; perbuatlah kepada mereka seperti yang kamu pandang baik;
hanya jangan kamu apa-apakan orang ini, sebab mereka memang datang untuk
berlindung di rumahku” (Kej 19:8).

Di sini perempuan dianggap “sama dengan barang”, yang dapat diberikan kepada orang

begitu saja sebagai barang dagangan dan tidak diperhitungkan sedikit pun apakah orang

(perempuan) itu mau atau tidak. Malah harus diakui bahwa di saat Alkitab berbicara

tentang keunggulan perempuan, yang menjadi perspektifnya adalah laki-laki.

“Istri yang cakap siapakah akan mendapatkannya? Hati suaminya


percaya kepadanya, suaminya tidak akan kekurangan keuntungan. Ia berbuat
baik kepada suaminya dan tidak berbuat jahat sepanjang umurnya. Suaminya
dikenal di pintu gerbang” (Ams 31:10-31).

Penyebutan istri dan bukannya perempuan menunjukkan perspektif laki-laki, seolah-

olah perempuan itu pantang disebut tanpa laki-laki.61

Kendati beberapa perikop dalam Alkitab menunjukkan martabat perempuan di

bawah martabat laki-laki namun ada juga perikop yang mendukung bahwa perempuan

memiliki kesetaraan dengan laki-laki. Dalam Kitab Kejadian terdapat cerita mengenai

penciptaan laki-laki dan perempuan (Kej 1-2). Benar bahwa kedua versi penciptaan

manusia dalam Kejadian berbeda dalam proses penciptaannya namun kedua-duanya

menunjukkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu juga sama-sama

terarah pada suatu persekutuan yang nyata dalam pernikahan. Dalam hal ini, tidak

61
Banggas Simanullang, “Maka Kita Berseru …, hlm. 36.
37

berlebihan untuk mengatakan bahwa pernikahan ditunjukkan sebagai tanda atau

sakramen dari penciptaan pertama. Persatuan yang dicapai laki-laki dan perempuan

dalam pernikahan menjadi kesempurnaan dan ekspresi tertinggi yang telah ditetapkan

oleh Allah dalam ciptaan-Nya. Kisah pertama mengenai penciptaan manusia dalam Kej

1:26-28 menggunakan bahasa yang berbeda untuk mengungkapkan kebenaran

mengenai penciptaan manusia, khususnya mengenai perempuan. Artinya, teks Kej 1:26-

28 menolong penulis untuk mengerti dengan lebih baik perikop dari Kej 2:18-25.62

Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya; laki-laki dan perempuan

diciptakan-Nya mereka (Kej 1:27). Kutipan pendek ini memuat kebenaran-kebenaran

antropologis yang amat mendasar. Laki-laki dan perempuan merupakan makhluk yang

setara, keduanya diciptakan menurut gambar Allah. Oleh karena itu, gambar dan

keserupaan dengan Allah, yang begitu mendasar untuk manusia diteruskan oleh laki-

laki dan perempuan sebagai pasangan dan orang tua bagi keturunannya. Beranak-

cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah dia (Kej 1:28).

Pencipta melimpahkan kuasa atas dunia di tangan manusia, di tangan semua orang, baik

laki-laki maupun perempuan yang memperoleh martabat dan panggilan yang sama dari

permulaan.63

Kisah kedua tentang penciptaan manusia dalam Kej 2:18-25 melukiskan bahwa

perempuan diciptakan oleh Allah “dari tulang rusuk” laki-laki dan ditempatkan di

sampingnya sebagai “Aku yang lain”. Perempuan diciptakan sebagai teman bagi laki-
62
Walter Lempp, Tafsiran Kejadian ..., hlm. 15.

63
Alfons S. Suhardi, (ed.), Surat Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II Tentang Martabat dan
Panggilan Kaum Wanita (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994), hlm. 19-20.
38

laki yang merasa sendirian di tengah makhluk hidup lainnya dan tidak menemukan di

antara mereka seorang “penolong” yang sepadan dengannya. Dengan keberadaannya itu

penolong yang sepadan segera dikenal oleh laki-laki sebagai “daging dari dagingnya

dan tulang dari tulangnya” (Kej 2:23) dan dinamai “perempuan”. Dalam bahasa biblis,

nama ini menunjukkan jenis kelamin perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki

(îš, îššah). Dengan mengatakan bahwa îššah, perempuan, diambil dari îš, laki-laki,

menunjukkan bahwa laki-laki begitu dekat dengan perempuan. Di sana terdapat

kesetaraan martabat perempuan dan laki-laki yang ditunjukkan dengan kata-kata yang

bunyinya hampir sama (bdk. Kata Inggris man dan wo-man). Namun harus dicatat

bahwa penolong yang sepadan itu dinamai perempuan bukan karena berasal dari laki-

laki, tetapi karena diambil dari laki-laki atau dibangun dari tulang rusuk manusia (laki-

laki).64

Kehadiran perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki pada awal ciptaan

disebut sebagai ézér kenégdo (Kej 2:18, 20 “penolong yang sepadan”). Maka

selayaknya penolong yang sepadan ini memiliki kekuatan dalam segi-segi tertentu agar

fungsi menolongnya terealisasi. Perempuan sebagai penolong tidak perlu diartikan

sebagai asisten, pembantu dan sebuah posisi yang lebih rendah. Untuk menghindari

pengertian yang demikian diusulkan istilah “pendamping” (companion). Memang kesan

perempuan sebagai pembantu akan hilang, namun muncul kesan baru, yakni sekedar

mendampingi dan kurang mengambil inisiatif dalam relasi dengan laki-laki. Maka

diusulkan istilah lain, yakni “mitra” (partner) yang memang mengandung konotasi

64
Surip Stanislaus, Kitab Taurat Musa ..., hlm. 31. (Diktat); bdk. Alfons S. Suhardi (ed.), Surat
Apostolik …, hlm. 20.
39

inisiatif. Namun, muncul pula kesan baru bahwa ikatan laki-laki dan perempuan (suami-

istri) seperti suatu hubungan kontrak, padahal ikatan itu permanen.65

Tampaknya sulit menemukan sebuah istilah yang mampu mengungkapkan

seluruh arti kata Ibrani ézér. Maka tetap masih lebih baik mengartikannya sebagai

penolong, tetapi bukan hanya karena sesuai dengan arti Ibraninya melainkan juga bahwa

perempuan dalam kapasitas itu tidak dimengerti lebih rendah daripada laki-laki.

Perempuan yang setara itu sebagai pendamping yang inisiatif dan menjadi mitra laki-

laki seumur hidup. Kesetaraan posisi perempuan sebagai penolong laki-laki ditegaskan

pada frase kenégdo “sepadan dengannya”. Kata ini dalam Perjanjian Lama hanya

terdapat di dua tempat, yakni dalam Kej 2:18 dan ayat 20.66

Ézér (penolong) memiliki genus maskulin. Artinya bahwa penolong bukan

hanya karakteristik perempuan melainkan juga karakteristik laki-laki. Kodrat

perempuan bukan sebagai penolong laki-laki, melainkan sebagai penyandang gambar

Allah. Maka laki-laki tidak perlu merasa inferior bila harus menolong, sebab hal itu

sudah merupakan kewajiban manusia. Yang lebih mendasar lagi adalah fakta dalam

Perjanjian Lama bahwa kata ézér paling sering dipakai untuk Allah sebagai “penolong”

(Kel 18:4; Ul 33:7, 26; Mzm 33:20; 146:5) atau “pertolongan” Israel (Ul 33:29; Mzm

115:9-11; 121:2; 124:8). Jadi kata ézér melukiskan kekuatan. Dan apabila Allah

menolong Israel, tentu bukan berarti posisi-Nya lebih rendah daripada Israel, namun

65
W. Sibley Towner, “Clons of God: Genesis 1:26-28 and the Image of God in the Hebrew
Bible”, dalam Interpretation A Journal of Bible and Theology, Vol. 59/No. 4 (October 2005), hlm. 345.

66
Yonky Karman, Bunga Rampai …, hlm. 52.
40

sebaliknya. Di sini juga tidak perlu muncul ekstrem lain bahwa perempuan lebih kuat

daripada laki-laki karena yang ditolong lebih lemah daripada penolong.67

Teks Kitab Suci memberikan dasar-dasar yang cukup untuk mengakui kesamaan

mendasar laki-laki dan perempuan berdasarkan kemanusiaan mereka. Sejak awal,

keduanya adalah pribadi, tidak seperti makhluk hidup lainnya di sekitar mereka.

Perempuan adalah “aku” yang lain dalam kemanusiaan yang sama. Sejak awal, mereka

tampil sebagai suatu kesatuan. Ini menunjukkan bahwa kesepian awal teratasi, di mana

laki-laki tidak menemukan seorang penolong yang sepadan di antara binatang-binatang

(Kej 2:20). Apakah soal ini hanya menyangkut seorang penolong dalam aktivitas untuk

menaklukkan dunia? Tentu saja ini menyangkut seorang teman hidup, yang bersama dia

sebagai seorang istri.68

Dalam kisah penciptaan disinggung tiga hal yang dilakukan Adam, yakni

mengusahakan atau memelihara tanah (Kej 2:15), memberi nama pada segala binatang

hutan dan burung di udara (Kej 2:19) dan memenuhi perintah Allah untuk “beranak

cucu dan bertambah banyak” (Kej 1:28). Pekerjaan memelihara dan menamai binatang

di atas bisa dilakukan oleh Adam tanpa bantuan yang lain. Tetapi pekerjaan yang ketiga

tidak bisa dilakukan oleh dia tanpa bantuan dan kehadiran orang lain (perempuan).

Dalam hal ini, jelas sekali peran vital perempuan sebagai penolong. Tentu harus diingat

bahwa ini dalam konteks dunia yang masih belum ada masyarakat. Yang hendak

ditekankan dalam perempuan sebagai “penolong yang sepadan” adalah kesetaraan


67
Yonky Karman, Bunga Rampai …, hlm. 53; bdk. Arie jan Plaisier, Manusia, Gambar Allah:
Terobosan-Terobosan dalam Bidang Antropologi Kristen (Jakarta: Gunung mulia, 2000), hlm. 117.

68
Alfons S. Suhardi (ed.), Surat Apostolik …, hlm. 21.
41

martabat laki-laki dan perempuan tidak berjalan sendiri-sendiri melainkan bersatu

dalam kontribusi yang berbeda, saling bergantung dan saling melengkapi.69

3. Allah Menciptakan Laki-Laki dan Perempuan dari Satu Daging

Menjadi satu daging bukan hanya dimaksudkan dua tubuh yang menjadi satu

atau persatuan dalam hubungan seksual dan buah persatuannya, yakni “anak”, tetapi

terlebih kesatuan laki-laki dan perempuan itu. Bahasa Ibrani daging (bāsār) tidak

menentang jiwa atau roh, tetapi menggambarkan keberadaan manusia secara

keseluruhan terutama kelemahan, keterbatasan dan ketergantungannya yang

membutuhkan kebersamaan. Jadi yang dimaksud dengan menjadi satu daging adalah

kesatuan seluruh pribadi laki-laki (suami) dan perempuan (istri) sehingga menjadi satu

tubuh, sehati dan seperasaan.70

Dalam kesatuan satu dengan yang lain, laki-laki dan perempuan dipanggil sejak

awal. Keberadaan mereka, masing-masing tidak hanya untuk berada di samping yang

lain atau berada bersama, melainkan juga dipanggil untuk berada satu bagi yang lain

secara timbal balik. Artinya, perempuan harus menolong laki-laki dan pada gilirannya

69
Yonky Karman, Bunga Rampai …, hlm. 54; bdk. Serge Ruzer, “Reflektions of Genesis 1-2 in
the Old Syriac Gospels”, dalam The Book of Genesis in Jewish and Oriental Christian Interpretation, A
Collection of Essays (Belgia: Louvain, 1997), hlm. 91.

70
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 233; bdk. Penka Yasua, Perempuan
Sumber Dosa ..., hlm. 171.
42

laki-laki harus menolong perempuan, sehingga laki-laki dan perempuan sanggup

menemukan kemanusiaan mereka sebagai laki-laki dan perempuan.71

Eksistensi laki-laki dan perempuan tidaklah bersifat superior sehingga keduanya

setara dan esensial, tanpa yang satu maka yang lain hidupnya terpecah, dalam kesatuan

mereka tercipta pribadi manusia yang utuh. Manusia dipanggil kepada persekutuan

antara pribadi, sehingga berada untuk yang lain secara timbal balik dalam persekutuan

antara pribadi, berkembanglah di dalam kemanusiaan sesuai dengan kehendak Allah.72

Menurut tradisi Y, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam kesatuan.

Ketika perempuan (îššah) belum dicipta oleh Allah, manusia (Adam) belum mengenal

dirinya sebagai laki-laki (îš). Setelah Allah menciptakan perempuan (îššah) dari tulang

rusuk manusia (Adam), laki-laki menyadari dirinya sebagai laki-laki (îš). Penciptaan

dalam kesatuan ini mengharuskan keduanya (laki-laki dan perempuan) untuk saling

melengkapi. Kesatuan mereka adalah wujud kesempurnaan manusia.73

Dengan menjadi bahan bagi makhluk yang baru, maka Adam (manusia) tidak

sama lagi dengan sebelumnya. Sebagian dari dirinya sudah menjadi bahan bagi

perempuan dan Adam juga menyadari dirinya sebagai makhluk baru yakni laki-laki.

Demikianlah, dari Adam (manusia) dicipta perempuan yang pada satu pihak merupakan

kelanjutan, namun di lain pihak tetap berbeda. Berkat kehadiran perempuan “îššah”
71
Alfons S. Suhardi (ed.), Surat Apostolik …, hlm. 23; bdk. Pius Kila, Dimensi-Dimensi Seksual
(Yogyakarta: Kanisius, 2013), hlm. 60.

72
Pius Kila, Dimensi-Dimensi Seksual …, hlm. 62; bdk. Deshi Ramadhani, Adam Harus
Bicara..., hlm. 35.

73
Abertus Purnomo, Dari Hawa Sampai Miryam …, hlm. 28; bdk. Deshi Ramadhani, Adam
Harus Bicara ..., hlm. 37.
43

membuat Adam dapat menyebut diri sendiri sebagai “îš”. Kata îš dan îššah secara

linguistik tidak berhubungan, namun keduanya membentuk permainan kata. Kedua kata

itu muncul berpasangan dengan pengertian bukan berlawanan melainkan kesatuan,

kesamaan, kesalingan dan solidaritas.74

Makhluk baru itu dinamai îššah “perempuan” sebab ia bukan diciptakan dari

bahan yang baru melainkan diambil dari tulang rusuk Adam (laki-laki). Maka, setiap

kali laki-laki memanggil perempuan “îššah”, sekaligus ia sedang menyebut dirinya

sendiri. Kelaki-lakian dan kepenuhan diri laki-laki ditemukan ketika ia berhadapan

dengan perempuan. Demikianlah laki-laki mengakui kesetaraannya dengan perempuan,

“inilah dia tulang dari tulangku dan daging dari dagingku, sebab itu ia dinamai

perempuan karena ia diambil dari laki-laki”. Seruan laki-laki menunjukkan betapa

terkejut dan gembiranya atas kehadiran pasangannya yang sangat istimewa. Di sini,

sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ia sedang menunjukkan superioritas atas

perempuan.75

Jelas bahwa penciptaan perempuan berbeda dengan penciptaan organisme

lainnya. Semua organisme berasal dari tanah, seperti pepohonan (Kej 2:9), binatang

darat dan burung (Kej 2:19), termasuk Adam sendiri (Kej 2:7). Tetapi perempuan tidak

diciptakan dari tanah, melainkan langsung dari Adam yakni dari tulang rusuk Adam.

74
Yonky Karman, Bunga Rampai …, hlm. 57; bdk. J. S. Siwalette, Manusia Menurut Jürgen
Moltmann (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), hlm. 44.

75
Yonky Karman, Bunga Rampai …, hlm. 59; bdk. Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ...,
hlm. 169.
44

Maka, makhluk baru “perempuan” itu tidak sederajat dengan organisme hidup yang lain

kecuali dengan Adam.76

Allah tidak menciptakan perempuan dari kepala Adam sebab perempuan tidak

untuk berkuasa atas laki-laki. Perempuan juga tidak diciptakan dari kaki Adam karena

perempuan tidak diciptakan untuk menjadi bawahannya. Kepala dan kaki merupakan

dua organ tubuh yang memiliki makna tertentu dalam konsep manusia. Kepala

dipandang sebagai kekuasaan atau otoritas, sedangkan kaki merupakan organ tubuh

paling rendah yang dipandang kotor. Allah tidak menciptakan perempuan dari kedua

organ tubuh tersebut melainkan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Penciptaan

perempuan dari bahan yang sama, yakni tulang rusuk Adam, mengungkapkan

kedekatan antara laki-laki dan perempuan. Mereka memiliki kehidupan yang sama

karena diciptakan dari bahan yang sama. Penciptaan dari bahan yang sama berarti

memiliki persatuan dan dalam persatuan tersebut tercipta kesatuan. Dengan demikian,

kesatuan mereka (laki-laki dan perempuan) menunjukkan tidak adanya pembedaan

antara satu dengan yang lain.77

Tulang rusuk adalah organ tubuh yang sangat dekat dengan inti terdalam

manusia yakni hati. Hati adalah organ tubuh yang berharga. Maka, penciptaan

perempuan dari tulang rusuk Adam merupakan hal yang istimewa. Tulang rusuk pun

merupakan pelidung inti terdalam manusia. Oleh karena itu perempuan yang diciptakan

76
Yonky Karman, Bunga Rampai …, hlm. 59; bdk. Elisabeth A. Johnson, Kristologi Di Mata
Kaum Feminis, Gelombang Pembaharuan dalam Kristologi (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 124.

77
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 234; bdk. Abertus Purnomo, Dari
Hawa Sampai Miryam …, hlm. 27.
45

dari tulang rusuk disebut sebagai rumah atau pelindung laki-laki. Dalam hal ini laki-laki

dilindungi bukan karena lemah dari perempuan dan sebaliknya, tetapi keduanya menjadi

pelindung satu sama lain.78

Dengan diciptakan-Nya perempuan, maka berlangsunglah cinta yang

mempersatukan keduanya dalam suatu hubungan yang saling bergantung. Laki-laki

harus meninggalkan orang tuanya dan bersatu dengan istrinya (Kej 2:24). Meninggalkan

orangtua karena bersatu dengan istri tidak dipahami secara fisik, yakni suami (laki-laki)

meninggalkan tempat lahirnya dan menetap di daerah istri (matrilocal), tetapi dalam arti

psikologis. Untuk menjalin relasi dan keintiman yang baru dengan istri, suami perlu

meninggalkan lingkungan intimnya yang lama dan nyaman. Ia harus membentuk

lingkungan intim yang baru dan mendiri bersama istrinya sendiri. Pasangan ini tak

boleh bergantung terus pada orangtua mereka, sebab mereka kini menjadi orangtua baru

yang punya tanggung jawab atas keluarga dan keturunan. Di sini juga tidak perlu

dipahami bahwa laki-laki meninggalkan orangtua dan masuk ke dalam keluarga istri.

Pergerakan meninggalkan orangtua dari pihak laki-laki barangkali pertama-tama

mencegah munculnya rasa superior atas perempuan (istri) yang diambil dari tulang

rusuknya.79

78
W. Sibley Towner, “Clons of God: Genesis 1:26-28 …, hlm. 345-346.

79
Yonky Karman, Bunga Rampai …, hlm. 59-60.
46

4. Mereka Telanjang Tetapi Tidak Malu

Dewasa ini, ketelanjangan biasanya dikaitkan dengan masalah seks. Akibatnya,

Kej 2:25 begitu mudah diartikan dengan manusia dahulu sebelum jatuh ke dalam dosa,

hidup murni, tidak bersetubuh, atau tidak memiliki kecenderungan seksual. Oleh karena

itu, mereka (laki-laki dan perempuan) dapat telanjang tanpa ada masalah. Menurut

Agustinus, setelah manusia jatuh dalam dosa, keadaan telanjang membuat mereka malu

satu sama lain sebab mereka mengetahui bahwa ada pertentangan antara kecenderungan

seksualnya dengan penilaian akal budi. Anggapan ini sulit diterima karena Perjanjian

Lama tidak mengenal pembedaan yang tegas antara badan dan jiwa.80

Telanjang diartikan juga “tidak memiliki pakaian”. Tidak memiliki pakaian

mengungkapkan kemiskinan, kesederhanaan dan keterbatasan. Keadaan telanjang di sini

bukanlah hal yang menakutkan dan memalukan bagi pasangan suami dan istri.

Telanjang berarti tidak tertutup satu dengan yang lain. Mereka terbuka terhadap yang

lain tanpa saling membela diri. Di antara mereka tidak ada topeng. Mereka saling

menerima satu sama lain dan tidak ada yang melihat yang lain sebagai lawan sehingga

memanfaatkan kelemahan. Justru karena keadaan telanjang (kelemahan dan

keterbatasan) mereka tergerak untuk saling melengkapi dan menyempurnakan.

Persekutuan yang mereka bangun adalah persekutuan kasih tanpa tekanan dan

persaingan. Masing-masing menerima yang lain apa adanya dan bukan apa yang ia

inginkan.81
80
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 175-176.

81
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 234-235; bdk. Penka Yasua,
Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 176.
47

Menurut Westermann, ketelanjangan mereka (laki-laki dan perempuan) di

Taman Eden menggambarkan apa yang ada sebelum dosa “kejatuhan manusia”. Lebih

dalam lagi ia berpendapat bahwa Taman Eden adalah keadaan surga. Itu berarti bahwa

taman tersebut penuh kesempurnaan. Gambaran indah tentang persatuan pernikahan

dalam Kej 2:18-25 yang dicita-citakan oleh Y ini belum pernah dicapai di luar Firdaus 82,

bahkan di antara orang-orang yang terpilih. Beberapa tokoh pilihan Allah tidak

mengalami hal yang dialami oleh laki-laki dan perempuan di Taman Eden (Firdaus),

misalnya Abraham mengambil dua istri, Yakub memiliki empat orang istri, Daud dan

Salomo telah memelihara banyak istri.83

Keadaan laki-laki dan perempuan di Firdaus menjadi pengantar pada kejatuhan

manusia, di mana ketelanjangan memiliki arti yang berbeda setelah manusia jatuh ke

dalam dosa. Ketelanjangan yang merupakan simbol kelemahan, kekurangan dan

keterbatasan, tidak lagi dilihat sebagai peluang untuk saling melengkapi dalam

membangun relasi yang harmonis. Manusia telah terperangkap dalam keserakahan.

Orang yang serakah akan bahagia jika ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Sementara

82
Cerita Firdaus Kej 2-3 menguraikan dengan jelas bagaimana dan pada saat mana
pemberontakan itu terjadi. Manusia pertama itu adalah laki-laki dan perempuan yang telah diciptakan.
Mereka diciptakan dalam keadaan telanjang, dengan tidak ada alasan untuk rasa takut atau malu terhadap
siapapun juga (2:25). Tak dapat disangkal, bahwa inilah keadaan sempurna dari Allah. Tetapi apakah
yang terjadi saat Allah membiarkan mereka hidup atas tanggung jawabnya sendiri? Tentulah mereka
tidak terburu-buru mengulurkan tangannya untuk memakan buah yang terlarang itu. Sebelum peristiwa
kejatuhan mereka, tidak ada kesan bahwa apakah mereka “masih” suci atau tidak bersalah: bukankah itu
waktunya bagi mereka untuk berunding tentang baik buruknya larangan Allah itu. Justru inilah yang
membuat cerita ini “tragis” dengan sesungguhnya: keburukan sifat manusia “dari kecil”, sejak mula
pertamanya, bertentangan dengann kesempurnaannya yang sebenarnya. Hanya “cerita Firdaus” keluaran
Tiruslah (Yeh 28:11-19) yang mengenal seorang manusia purbakala yang pernah hidup dengan tidak
bersalah. Segala impian dan dongeng bangsa mengenai “zaman keemasan” itu tidak diberi tempat di
dalam Kej 1-11, dan di dalam seluruh kitab-kitab Perjanjian Lama seluruhnya pun tidak. [Lihat C. Barth,
Theologia Perjanjian Lama 1 (Jakarta: Gunung Mulia, 1998), hlm. 74.]

83
James Plastaras, Creation and Covenant ..., hlm. 41.
48

keinginan itu tidak terbatas. Selalu saja ada kekurangan dan belum ia miliki yang ia

yakini akan membuatnya bahagia. Oleh karena itu, perhatiannya terpusat pada apa yang

belum ia miliki. Ia mengabaikan apa yang sudah ia miliki, gampang melupakan

anugerah, dan tidak tahu bersyukur. Dalam cara pikir yang demikian ketelanjangan atau

kekurangan menjadi suatu yang sulit diterima, sehingga harus ditutupi. Dengan

demikian, ketelanjangan asali yang merupakan ungkapan kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan mulai kabur karena saling menutup diri dari yang lain (bdk. Kej 3:7).84

Setelah manusia dikuasai oleh keserakahan, manusia melihat orang lain sebagai

lawan dalam memperebutkan sesuatu. Baginya, orang lain tidak bisa dipercaya, sebab

orang lain hanya menginginkan kecelakaannya dan bukan kebahagiaannya serta

menghambat dia untuk memenuhi semua keinginannya. Dalam persepsi seperti itu

kelemahan menjadi ancaman yang menakutkan karena bisa dimanfaatkan oleh lawan.

Maka, ketelanjangan atau kelemahan harus disembunyikan, sehingga saat Tuhan

berjalan-jalan di Taman Eden, manusia takut dan tidak mampu menerima ketelanjangan

mereka. Mereka berusaha menyembunyikan diri dengan menggunakan tekniknya, yakni

menyematkan daun pohon dan membuat cawat. Artinya mereka berpakaian untuk

menyembunyikan diri dari yang lain karena takut dilukai. Hubungan manusia itu (laki-

laki dan perempuan) telah “rusak”, begitu juga dengan Allah penciptanya. Sekalipun

relasi dan keterbukaan di antara laki-laki dan perempuan telah “rusak” namun apa yang

telah Allah ciptakan tetap ada dan tidak hilang, yakni kesetaraan di antara mereka. Hal

itu sulit disadari karena manusia telah dikuasai oleh keserakahan yang membuat yang

84
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 203; bdk. Claus Westermann, A
Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 234.
49

satu ingin menjadi lebih dari yang lain. Dosa mengakibatkan kacaunya kesatuan awal

yang telah dinikmati oleh manusia yakni: kesatuan dengan Allah sebagai sumber

persatuan, kesatuan di dalam relasi antara laki-laki dan perempuan, juga dengan dunia

luar atau alam.85

Lukisan tentang dosa asal dalam Kej 3 dengan cara tertentu membedakan

peranan-peranan yang dimainkan oleh laki-laki dan perempuan. Memang mula-mula

perempuanlah yang digoda, tetapi pada saat itu tampaknya laki-laki pun di sana (bdk.

Kej 3:6). Artinya, dosa awal bukan hanya terjadi karena perempuan melainkan juga

laki-laki sebab ketika ular berbicara, ia menggunakan kata ganti orang kedua jamak

(sekali-kali “kamu” tidak akan mati). Dalam arti tertentu kesalahan Adam bahkan lebih

besar karena ia mendengar dan tahu perihal perintah Allah untuk tidak makan buah

terlarang, namun kenyataannya ia tidak melakukan apa-apa. Dia tidak mengingatkan

perempuan itu, melainkan diam seribu bahasa. Selain itu, Adam juga memakan buah itu

langsung dari tangan perempuan tanpa menanyakannya.86

Seorang manusia, laki-laki dan perempuan adalah seorang pribadi. Mereka

merupakan satu-satunya ciptaan di atas bumi yang dikehendaki Allah demi dirinya

sendiri. Sebagai ciptaan yang unik dan tak ada duanya, maka mereka tidak dapat

menemukan diri sepenuhnya tanpa dengan tulus hati memberikan dirinya. Di sinilah

mulai relasi persekutuan (communio) di mana kesatuan dari dua orang dan martabat

pribadi mendapatkan ungkapannya. Oleh karena itu, bila membaca pesan yang
85
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 203-204; bdk. Alfons S. Suhardi (ed.), Surat
Apostolik …, hlm. 29.

86
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 202.
50

dialamatkan kepada perempuan: “Engkau akan birahi kepada suamimu dan ia akan

berkuasa atasmu” (Kej 3:16), ditemukan keterpecahan dan ancaman terhadap kesatuan

dari dua orang menyangkutnya martabat sebagai gambar dan rupa Allah yang ada dalam

diri keduanya (Kej 1:27). Ancaman ini menjadi lebih serius untuk perempuan karena

dominasi menggantikan pemberian yang tulus dan oleh karena itu ia akan berkuasa

atasmu. Dominasi ini menunjuk pada kekacauan dan hilangnya stabilitas dari kesamaan

fundamental yang dimiliki laki-laki dan perempuan dalam kesatuan mereka.87

Pernyataan dalam Kej 3:16 amatlah penting karena mengisyaratkan suatu

referensi bagi relasi timbal balik antara laki-laki dan perempuan di dalam pernikahan.

Pernyataan itu mengarah pada hasrat yang lahir dalam cinta suami dan istri yang

olehnya “penyerahan diri yang tulus” seorang perempuan dijawab oleh sebuah

“pemberian” yang sesuai dari pihak suami. Hanya berdasarkan prinsip ini, keduanya

dapat menemukan diri mereka sendiri sebagai suatu kesatuan yang sejati, suatu kesatuan

atas dasar martabat pribadi. Oleh karena itu, persekutuan pernikahan menuntut rasa

hormat dan penyempurnaan subjektivitas pribadi dari keduanya. Perempuan tidak boleh

menjadi “objek” dominasi dan penguasaan laki-laki. Demikian halnya karena dibebani

oleh warisan keberdosaan, maka manusia memiliki “kecenderungan untuk berdosa”

secara tetap dan melawan tata moral yang berkaitan erat dengan martabat laki-laki dan

perempuan sebagai pribadi. Tendensi ini nyata dalam tiga unsur yang disebut oleh Santo

Yohanes sebagai keinginan mata, keinginan daging dan keangkuhan hidup (1Yoh 2:16).

Kata-kata Kejadian yang sudah dikutip (3:16) menunjukkan betapa tiga unsur nafsu ini,

87
Konsili ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dalam Dunia Meodern
Gaudium et Spes, 13; bdk. Alfons S. Suhardi (ed.), Surat Apostolik …, hlm. 33.
51

yakni kecenderungan untuk berdosa akan membebani relasi timbal balik antara laki-laki

dan perempuan.88

5. Rangkuman

Kej 2:18-25 menggunakan istilah atau permainan kata untuk menggarisbawahi

wawasan teologis yang mendalam. Kesendirian adalah dasar dan masalah yang harus

diselesaikan Allah. Kesendirian adalah ancaman bagi Adam (manusia) untuk hidup.

Allah melihat itu tidak baik maka Ia ikut campur tangan dalam menyelesaikan masalah

yang sedang dihadapi oleh manusia itu. Allah memutuskan untuk menciptakan

penolong yang sepadan dengan manusia. Pertama kali, Allah membawa segala jenis

binatang kepadanya tetapi binatang itu tidak mampu menyelesaikan masalahnya.

Selanjutnya, Allah menciptakan perempuan dan membawanya kepada manusia.

Kehadiran perempuan dapat menghilangkan masalah yang ia (manusia) alami karena

sepadan dengan dia.89

Penolong yang dalam bahasa Ibrani “ézér” merujuk pada campur tangan atau

pertolongan Allah. Dalam Perjanjian Lama, kata ézér sering digunakan untuk Allah

sebagai penolong (Kel 18:4; Ul 33:7, 26, 29; Mzm 33:20, 115:9-11, 121:2, 124:8,

146:5; Yes 30:5; Yeh 12:14; Hos 13:9). Allah sebagai penolong tentu bukan berarti

berada dalam posisi rendah dengan yang Ia tolong. Maka, perempuan (ézér) tidak bisa
88
Alfons S. Suhardi (ed.), Surat Apostolik …, hlm. 32-33.

89
W. Sibley Towner, “Clons of God: Genesis 1:26-28 …, hlm. 344-345; bdk. James Plastaras,
Creation and Covenant ..., hlm. 39.
52

dipandang rendah namun setara dengan Adam. Dalam hal ini, juga tidak perlu ada

pandangan bahwa perempuan lebih kuat dari Adam (laki-laki) karena yang ditolong

lebih rendah dari penolong.90

Benar bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang menjadi simbol

kekuatan, tetapi ingat bahwa tulang rusuk manusia itu asalnya dari debu tanah yang

merujuk pada kerapuhan dan kelemahan. Jadi, perempuan bukan berasal dari laki-laki,

tetapi ambil bagian dalam kekuatan dan kelemahan laki-laki. Tulang sebagai bagian

yang kuat dari laki-laki menjadi simbol kekuatan dan daging sebagai yang lembut

menjadi simbol untuk kerapuhan dan kelemahan. Perempuan menjadi perpaduan

kekuatan dan kelemahan laki-laki. Oleh karena itu, manusia yang lengkap, yaitu laki-

laki tanpa kehilangan perempuan dan sebaliknya.91

Perempuan itu sepadan (Ibrani: kenegdô artinya berada di depan) dengan

manusia (laki-laki). Karena mereka sepadan maka keduanya saling memiliki kekuatan

dan kelemahan. Dengan kekuatan dan kelemahan yang mereka miliki maka mereka

dapat saling melengkapi. Di antara mereka tidak ada yang menjadi dominan dan

sebaliknya melainkan setara. Kenegdô juga diartikan sebagai teman yang ada pada

tingkat yang sama, yang setara dengannya dan dapat diajak bicara. Pada kenyataannya,

laki-laki tidak berbicara dengan perempuan tetapi berbicara tentang perempuan, “inilah

dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku; ia akan dinamai perempuan” (Kej

2:23). Dengan pernyataan ini laki-laki mengakui kesetaraan martabatnya dengan

90
Yonky Karman, Bunga Rampai …, hlm. 53.

91
Surip Stanislaus, Kitab Taurat Musa ..., hlm. 31-32. (Diktat)
53

perempuan. Ketika laki-laki menyebut îššah “perempuan” pun ia sekaligus juga

menyebut dirinya. Dengan demikian laki-laki melihat dan menemukan dirinya dalam

diri perempuan.92

Laki-laki itu menjalin relasi kasih dengan perempuan, “laki-laki akan

meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi

satu daging” (Kej 2:24). Meninggalkan ayah dan ibunya bukan sekedar soal jarak yang

memisahkan tetapi terlebih soal ketergantungannya sebagai anak, sehingga dapat

menjadi laki-laki yang utuh dengan segala kekuatan dan kelemahannya bersama

perempuan. Hanya dengan demikian ia dapat hidup mandiri, menjalin relasi kasih, dan

menjadi satu daging dengan istrinya. Ungkapan menjadi satu daging berarti persatuan

pribadi yang tetap otonom sebagai laki-laki dan perempuan sehingga sehati dan

seperasaan. Persatuan pribadi ini menjadi landasan bahwa perkawinan tidak dapat

diceraikan.93

Persatuan pribadi itulah yang membuat suami dan istri tidak merasa malu

meskipun telanjang. Memang, ketelanjangan merupakan simbol dari kelemahan,

keterbatasan, kekurangan dan kemiskinan namun bagi pasangan suami-istri yang telah

menjalin relasi kasih, ketelanjangan menjadi kesempatan dan peluang untuk saling

melengkapi satu sama lain. Inilah realitas manusia sebagai penolong yang sepadan,

yaitu menerima kekuatan dan kelemahan serta saling melengkapi satu sama lain.94
92
Surip Stanislaus, Kitab Taurat Musa ..., hlm. 31. (Diktat); bdk. Claus Westermann, A
Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 226.

93
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 121; bdk. Surip Stanislaus, Kitab Taurat
Musa ..., hlm. 32. (Diktat)
94
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 237-238.
54

Kendatipun kedua versi penciptaan manusia dalam Kejadian berbeda dalam

proses penciptaannya namun kedua-duanya menunjukkan kesetaraan antara laki-laki

dan perempuan. Selain itu juga sama-sama terarah pada suatu persekutuan yang nyata

dalam pernikahan. Dalam hal ini, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa pernikahan

ditunjukkan sebagai tanda atau sakramen dari penciptaan pertama. Persatuan yang

dicapai laki-laki dan perempuan dalam pernikahan menjadi kesempurnaan dan ekspresi

tertinggi yang telah ditetapkan oleh Allah dalam ciptaan-Nya. Keintiman cinta

pernikahan menjadi jawaban tertinggi dalam tatanan penciptaan.95

95
James Plastaras, Creation and Covenant ..., hlm. 40.
BAB IV

PENUTUP

Penulis akan mengakhiri skripsi ini dengan menyajikan kritik dan relevansi atas

tema yang dibahas dalam budaya Nias, kehidupan sosial masyarakat dan Gereja.

1. Rangkuman Umum

Umumnya, berbicara tentang perbedaan antara perempuan dan laki-laki berarti

berbicara tentang fungsi biologis-seksual. Adanya perbedaan biologis-seksual ini

menimbulkan pembagian peran dalam masyarakat, sehingga kerap terjadi

kesalahpahaman di mana perbedaan fungsi biologis-seksual ini disejajarkan dengan

persoalan gender.

Gender merupakan peran sosial yang diberikan masyarakat berkaitan dengan

seksualitas. Hal yang bersifat sosial dan publik terjadi di luar rumah yang hanya
56

diketahui oleh laki-laki sedangkan bagi perempuan hal itu ditutupi karena kerjanya

terbatas di dalam rumah. Di sini pembedaan peran tidak lagi melulu bersifat fungsional,

melainkan telah bergeser kepada suatu tatanan masyarakat yang bersifat hirarkis.

Terjadilah ketimpangan gender di mana perempuan dipandang lebih rendah. Hal itu pun

diwariskan begitu saja tanpa ditinjau lagi sehingga semua yang bias gender dianggap

sebagai suatu yang bersifat kodrati.

Kendatipun beberapa perikop Perjanjian Lama (Kej 19:1-29, Hak 21, dll)

memiliki nada yang mendukung bias gender namun pada awal penciptaan manusia,

Allah tidak merestui hal itu (Kej 1-2). Kisah penciptaan manusia dalam Kej 1:26-28

menggunakan kata gambar dan rupa Allah untuk mengungkapkan kesetaraan dalam diri

manusia (laki-laki dan perempuan). Kisah kedua, yakni dalam Kej 2:18-25 melukiskan

bahwa perempuan diciptakan oleh Allah “dari tulang rusuk” manusia.

Penciptaan manusia dalam Kej 2:7 belum sempurna di hadapan Allah. Maka

Allah menciptakan penolong yang sepadan kepada manusia itu. Penciptaan penolong

yang sepadan itu, dilakukan oleh Allah sebanyak dua kali. Tindakan pertama yang

dilakukan Allah untuk mengatasi kesendirian manusia itu ialah menciptakan segala

binatang dari tanah. Manusia tidak menemukan penolong yang sepadan di antara semua

jenis binatang yang diberikan Allah kepadanya.

Maka, Allah mengambil langkah kedua, yakni membuat manusia itu tidur

nyenyak. Dalam keadaan itulah Allah menciptakan perempuan dari tulang rusuk

manusia. Perempuan bukanlah makhluk baru sehingga tidak disebut berasal dari laki-
57

laki. Dengan menciptakan perempuan dari tulang rusuk manusia itu maka manusia dan

perempuan itu saling terikat. Allah tidak menciptakan perempuan dari kepala Adam

sebab perempuan tidak diciptakan untuk berkuasa atas laki-laki. Perempuan juga tidak

diciptakan dari kaki Adam karena perempuan tidak diciptakan untuk menjadi

bawahannya. Perempuan diciptakan dari bahan yang sama, yakni tulang rusuk Adam.

Tulang rusuk adalah organ tubuh yang sangat dekat dengan inti terdalam manusia yakni

hati. Oleh karena itu perempuan yang diciptakan dari tulang rusuk disebut sebagai

rumah atau pelindung laki-laki karena hati terlindungi oleh tulang rusuk. Hal ini

mengungkapkan kedekatan antara laki-laki dan perempuan. Mereka memiliki kehidupan

yang sama karena diciptakan dari bahan yang sama. Penciptaan dari bahan yang sama

berarti memiliki persatuan dan dalam persatuan tersebut tercipta kesatuan. Dengan

demikian, kesatuan mereka (laki-laki dan perempuan) menunjukkan tidak adanya

pembedaan antara satu dengan yang lain.

Setelah Allah menciptakan perempuan, kemudian Ia membawanya kepada

manusia. Ketika Allah membawa perempuan kepada manusia (laki-laki) itu, Allah

sedang membangun kesatuan antara laki-laki dan perempuan. Allah berinisiatif

menciptakan kesatuan di antara manusia (laki-laki dan perempuan). Ketika manusia

melihat perempuan, ia sadar bahwa ia adalah laki-laki (Kej 2:23). Untuk pertama sekali,

manusia (‘ādām) disebut laki-laki. Jelas bahwa sebelum perempuan diciptakan, manusia

(Adam) belum mengenal dirinya sebagai laki-laki namun ketika manusia berhadapan

dengan lawan jenisnya, baru ia menemukan identitasnya. Kata Ibrani untuk laki-laki

adalah “ȋš” dan perempuan ”ȋššāh”. Kedua kata tersebut memiliki pengucapan dan
58

kedengaran yang sama dan sulit dibedakan. Oleh karena itu, kedua kata tersebut

menunjukkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

Seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan

isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (Kej 2:24). Menjadi satu daging tidak

dimaksudkan dalam arti sempit yakni dua tubuh menjadi satu melainkan kesatuan

seluruh pribadi laki-laki (suami) dan perempuan (istri) menjadi satu, sehati dan

seperasaan.

Laki-laki dan perempuan itu sama-sama telanjang. Telanjang dapat diartikan

“tidak memiliki pakaian”. Telanjang berarti tidak tertutup satu dengan yang lain.

Mereka terbuka terhadap yang lain tanpa saling membela diri. Mereka saling menerima

satu sama lain dan tidak ada yang melihat yang lain sebagai lawan sehingga

memanfaatkan kelemahan. Justru dalam keadaan telanjang (kelemahan dan

keterbatasan) mereka tergerak untuk saling melengkapi dan menyempurnakan.

Persekutuan yang mereka bangun adalah persekutuan kasih tanpa tekanan dan

persaingan. Masing-masing menerima yang lain apa adanya dan bukan apa yang ia

inginkan.

Ketelanjangan ini kemudian memiliki arti yang berbeda setelah manusia jatuh ke

dalam dosa. Ketelanjangan tidak lagi dilihat sebagai peluang untuk saling melengkapi

dalam membangun relasi yang harmonis sebab manusia telah terperangkap dalam

keserakahan. Orang yang serakah melihat orang lain sebagai lawan dalam

memperebutkan sesuatu dan mengabaikan apa yang sudah ia miliki, gampang


59

melupakan anugerah, dan tidak tahu bersyukur. Dalam cara pikir yang demikian

ketelanjangan menjadi suatu yang sulit diterima, sehingga harus ditutupi. Dengan

demikian, ketelanjangan asali yang merupakan ungkapan kesetaraan antara laki-laki dan

perempuan mulai kabur karena saling menutup diri dari yang lain (bdk. Kej 3:7).

Sekalipun relasi dan keterbukaan di antara laki-laki dan perempuan telah “rusak”

namun apa yang telah Allah ciptakan tetap ada dan tidak hilang, yakni kesetaraan di

antara mereka. Namun hal itu sulit disadari karena manusia telah dikuasai oleh

keserakahan yang membuat yang satu ingin menjadi lebih dari yang lain. Lukisan

tentang dosa asal dalam Kej 3 dengan cara tertentu membedakan peranan-peranan yang

dimainkan oleh laki-laki dan perempuan. Demikian halnya karena dibebani oleh

warisan keberdosaan, maka manusia memiliki “kecenderungan untuk berdosa” secara

tetap dan melawan tata moral yang berkaitan erat dengan martabat laki-laki dan

perempuan sebagai pribadi. Kecenderungan untuk berdosa akan membebani relasi

timbal balik antara laki-laki dan perempuan.

2. Kritik dan Relevansi Kesetaraan Gender dalam Budaya Nias dan

Kehidupan Sosial maupun Gereja

Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Kebudayaan adalah suatu adat-

istiadat atau kebiasaan yang dibuat oleh manusia, karena akal budinya untuk

membangun dan mengembangkan kehidupannya sebagai manusia yang berakal budi.


60

Hanya manusialah yang berbudaya karena manusia memiliki akal budi. Maka setiap

tindakan manusia yang menghancurkan, merendahkan martabat manusia, sesungguhnya

bukanlah kebudayaan. Persoalannya ialah mengapa dalam kebudayaan itu ditemukan

tindakan kekerasan atau diskriminasi.96

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa perempuan Nias sangat dijaga. Perempuan

Nias tidak boleh disentuh sedikit pun oleh laki-laki (bukan pasangan suami istri).

Bahkan terkadang perempuan tidak bisa keluar dari rumah. Perempuan harus dijaga

karena perempuan adalah harta keluarga. Sekali pun perempuan disebut sebagai harta

keluarga, namun pada kenyataannya perempuan sangat menderita karena dipekerjakan

dengan keras layaknya seorang budak. Itu berarti bahwa ungkapan perempuan sebagai

harta keluarga tidak relevan dan tidak memiliki pengertian yang positif dalam arti

tertentu. Dalam hal ini ungkapan tersebut dipahami untuk mengobjekan perempuan.

Perempuan adalah “barang” yang dipersiapkan untuk dijual, maka ada istilah yang

dikenakan untuk sebuah perkawinan, yakni “böli niha97”. Atas dasar inilah perempuan

itu sangat dijaga, sebab perempuan yang dinodai atau direndahkan oleh laki-laki (hamil

di luar nikah) akan mengalami penurunan böli niha. Dalam hal ini, pihak yang paling

dirugikan ialah para paman sebab berdasarkan perhitungan böli niha, yang mendapat

bagian cukup besar ialah para paman.98


96
Serpulus Simamora, “Boru Ni Raja Hatoban: Tinjauan Filsafat Antropologis atas Kaum
Perempuan di dalam Budaya Batak Toba”, dalam Logos, 1/1 (Juni 2002), hlm. 14.

97
Böli niha adalah keseluruhan harta yang harus dibayarkan pihak laki-laki kepada pihak
perempuan. Selain itu juga ada istilah böli gana’a yang ditunjuk pada orangnya (perempuan) bukan pada
jumlah harta. Lihat Jajang A. Sonjaya, Melacak Batu Menguak Mitos, Petualangan Antarbudaya di Nias
(Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 113.

98
Jajang A. Sonjaya, Melacak Batu Menguak Mitos …, hlm. 116-117.
61

Ada dua pengaruh böli niha dalam keluarga di kalangan masyarakat Nias, yakni

pengaruh positif dan negatif. Hal positifnya ialah karena böli niha yang sangat tinggi

maka setiap pasangan suami-isteri akan sulit bercerai. Sedangkan hal negatifnya ialah

keluarga itu akan sibuk membayar utang akibat böli niha. Di sini, perempuan yang

sudah menikah diperlakukan seperti budak oleh pihak keluarga suami. Perempuan yang

sudah dibeli harus bekerja keras. Oleh karena perempuan dibeli oleh lak-laki maka

otomatis bahwa perempuan berada pada posisi kedua dalam keluarga. Mentalitas seperti

inilah yang terjadi di kalangan masyarakat Nias pada umumnya.99

Dalam perjalanan waktu, Gereja sangat prihatin melihat tradisi perkawinan di

Nias. Oleh karena itu Gereja turut bertindak untuk mengganti istilah böli niha menjadi

“jujuran” (mas kawin). Penggunaan istilah ini cukup memberi suasana baru di Nias.

Bagi mereka yang mengikuti aturan jujuran Gereja, maka status perempuan menjadi

lebih longgar dengan tidak diperlakukan sebagai budak. Pada umumnya, hal ini

dilakukan oleh mereka yang pernah merantau dan yang telah memperoleh pendidikan.

Kendati pun demikian, perempuan masih dianggap kelas dua dalam keluarga maupun di

kalangan masyarakat Nias.100

Perihal ketidakadilan yang dialami oleh perempuan di Nias, juga ditemukan

dalam budaya lain. Isu tentang perempuan terletak pada masalah ketidakadilan gender.

Maka, tidak heran lagi bahwa rakyat menyuarakan keadilan dan kesetaraan gender.

Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki Hak Asasi Manusia (HAM). Undang-

99
Bamböwö Laia, Solidaritas Kekeluargaan Dalam Salahsatu Masyarakat Desa Di Nias
Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983), hlm. 42.
100
Jajang A. Sonjaya, Melacak Batu Menguak Mitos …, hlm. 117.
62

Undang Dasar 1945 (UUD 45) dalam Bab XA, pasal 28 A – 28 J ayat 2 mengakui

bahwa setiap individu atau warga negara adalah manusia merdeka dan tidak boleh

mendapatkan diskriminasi berdasarkan apa pun termasuk berdasarkan perbedaan jenis

kelamin. Selain itu juga dalam pasal 29 ayat 2 dan pasal 28 I ayat 2 dikatakan bahwa

laki-laki dan perempuan berhak atas kehidupan dan kemerdekaan dari perlakuan yang

bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan atas hal

itu. Itu artinya bahwa Negara telah memberikan dengan sah kepada kaum perempuan

Indonesia derajat yang sama dengan laki-laki. Apabila terjadi diskriminatif, bagaimana

mungkin Bangsa Indonesia dapat maju kalau kaum perempuannya masih merasa dan

dianggap kelas dua. Oleh karena itu, Jokowi selaku Presiden Indonesia mengajak semua

masyarakat (laki-laki-perempuan) Indonesia untuk saling kerja sama agar Indonesia

maju. Beliau mengatakan bahwa perempuan juga mempunyai peran yang tidak kalah

penting jika dibandingkan dengan laki-laki.101

Negara Indonesia telah mengakui bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara.

Maka, hendaknya masyarakat Nias terutama kaum laki-laki melihat perempuan sebagai

makhluk yang setara dengan dia. Tentu saja bukan karena pengakuan negara maka laki-

laki dan perempuan adalah setara melainkan sudah dari awal penciptaan manusia, Allah

telah menetapkannya (Kej 1:26-28; 2:18-25). Jelas bahwa hal itu merupakan suatu yang

mutlak. Kemudian harus diakui juga bahwa tidak ada pernyataan atau tindakan Yesus

yang merendahkan perempuan. Pada kenyataannya, Yesus sangat hormat kepada

101
Dionisius Triwibowo, “Kesetaraan Gender Masih Jadi Persoalan”, dalam Kompas (Jakarta),
Senin, 23 Desember 2019, hlm 1. klm 1; bdk. Elvina Simanjuntak, “Menjadi Manusia Lagi: Refleksi
Feminis Atas Yesus Sang Jalan”, dalam Rajawali, III/02 (Juni 2005), hlm. 106.
63

perempuan sebagaimana Ia amat menaruh hormat kepada setiap manusia. Tak satu ayat

pun dalam Injil menunjukkan sikap Yesus yang merendahkan perempuan. Sayangnya,

sikap Yesus yang amat menghormati perempuan itu tidak sepenuhnya berlanjut dalam

hidup Gereja. Bahkan peristiwa pengurapan Yesus oleh seorang perempuan tidak juga

dikenang. Kisah laki-laki selalu lebih dikenang dari pada perempuan. Maka tidak heran

jika Bapa-bapa Gereja, ada yang amat merendahkan martabat perempuan, misalnya St.

Agustinus yang mengatakan bahwa perempuan tak terelakkan untuk tugas pembiakan,

tetapi untuk semua tugas-tugas spiritual, pantaslah laki-laki.102

Dalam Gereja Katolik ada ritual pembasuhan kaki. Ritual pembasuhan kaki

adalah salah satu hal penting dalam tradisi Katolik dalam mengenang malam perjamuan

terakhir Yesus bersama para murid. Ritual ini diadakan pada hari Kamis Putih. Dalam

hal ini Gereja telah menetapkan bahwa hanya laki-laki yang dapat berpartisipasi dalam

ritual tersebut. Namun pada Januari 2016, Paus Fransiskus mengubah peraturan itu

secara eksplisit dan mengizinkan kaum perempuan untuk ikut terlibat. Maka pada 24

Maret 2016, Paus Fransiskus mengejutkan umat Katolik karena kaum perempuan

terlibat dalam mengenang peristiwa pembasuhan kaki ke dua belas murid. Kendatipun

demikian, namun peran perempuan dalam Gereja masih terkesan sebatas pembantu.

Tanggung jawab utama dipegang oleh laki-laki. Ini pantas menjadi pertanyaan yang

mesti dijawab secara jujur dan terutama alkitabiah: apakah perempuan mesti

dikecualikan dari tahbisan menjadi imam? Dasar alkitabiah untuk ini sulit ditemukan

kecuali fakta yang diceritakan para penulis Injil bahwa kedua belas rasul yang dipilih

102
Banggas Simanullang, “Maka Kita Berseru ..., hlm. 38. bdk. Elisabeth A. Johnson,
Kristologi…, hlm. 124-125.
64

Yesus semuanya laki-laki. Namun di antara penulis Injil tak satu pun yang menerangkan

perbuatan Yesus memilih (hanya) laki-laki sebagai rasul-Nya. Di sinilah para pembaca

dan penafsir Kitab Suci dapat berspekulasi.103

Sebelumnya telah disinggung bahwa dalam seluruh pewartaan Yesus, tak ada

tempat untuk menyepelekan martabat dan peran perempuan. Bukan hanya itu saja tetapi

juga Allah memilih saksi-saksi pertama yakni kaum perempuan untuk kebangkitan-Nya

(Mrk 16:1-8). Maka tidak heran jika akhir-akhir ini terdengar suara yang memohonkan

agar perempuan dapat ditahbiskan menjadi imam, walaupun suara itu sangat sayup-

sayup dan hampir tak kedengaran gaungnya untuk sampai ditanggapi secara serius. Satu

hal kiranya mesti dikatakan bahwa jika penolakan tahbisan perempuan didasarkan atas

perbedaan gender saja, kiranya Gereja mesti bertobat supaya berani terbuka kepada Roh

Allah yang telah memerdekakan semua manusia baik laki-laki maupun perempuan.

Kalau tidak, bagaimana gereja dapat efektif mewartakan Allah sebagai pembebas bagi

orang-orang tertindas? Sementara kaum perempuan dijadikan tawanan kekal yang mesti

menjadi abdi dan pelayan laki-laki yang setia.104

DAFTAR PUSTAKA

103
M. Loko Lelono, “Paus Fransiskus dan Tradisi Pembebasan”, dalam Hidup, 42/17 (15
Oktober 2017), hlm. 50; bdk. Banggas Simanullang, “Maka Kita Berseru …, hlm. 39.
104
K. Amstrong, The Gospel According to Women, Christianity’s Creation of the Sex War in the
West (London: ELM Tree Books, 1986), hlm. 252; bdk. Felicia Permata Hanggu, “Suara Gereja Untuk
Setara Gender: Gereja Katolik Senantiasa Memberikan Ruang dan Memperjuangkan Keadilan dan
Kesetaraan gender Demi Mewujudkan Misi Allah di Tengah Dunia”, dalam Hidup, 19/73 (12 Mei 2017),
hlm. 10.
65

Adeney, Bernard T. Etika Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Amstrong, K. The Gospel According to Women, Christianity’s Creation of the Sex War
in the West. London: ELM Tree Books, 1986.

Delphyi, Christine. “Rethinking Sex and Gender”, dalam Feminism in the Study of
Religion. NewYork: Peter Lang, 2002.

Fiorenza, Elisabeth Schüssler. In Memory of Her. New York: Crossroad, 1983.

Gultom, G. “Ketimpangan Gender; Akankah Kita Pertahankan Terus”, dalam G.


Gultom (ed.), Menggapai Gereja Inklusif. Tarutung: Kantor Pusat HKBP,
2004.

Permata, Felicia Hanggu. “Suara Gereja Untuk Setara Gender: Gereja Katolik
Senantiasa Memberikan Ruang dan Memperjuangkan Keadilan dan Kesetaraan
gender Demi Mewujudkan Misi Allah di Tengah Dunia”, dalam Hidup, 19/73
(12 Mei 2017).

Härmmerle, Johannes Maria. Asal Usul Masyarakat Nias, Suatu Interpretasi.


Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias, 2001.

_______. Famato Harimao: Pesta Harimao – Fondrakö – Börönadu dan Kebudayaan


Lainnya di Wilayah Maenamölö – Nias Selatan. Teluk Dalam: Abidin Medan,
1986.

Hinson, David F. Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab. Jakarta: Gunung Mulia, 1994.

Imschoot, P. Van. Theology of the Old Testament, Volume 1. New York: Desclee
Company, 1954.

Johnson, Elisabeth A. Kristologi Di Mata Kaum Feminis, Gelombang Pembaharuan


dalam Kristologi. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Karman, Yonky. Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama. Jakarta: Gunung Mulia,
2004.

Kila, Pius. Dimensi-Dimensi Seksual. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1970.

Laia, Bamböwö. Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah satu Masyarakat Desa Di Nias
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983.

Leks, Stefan. Kejadian. Ende-Flores: Nusa Indah, 1977.


66

Loko, M. Lelono. “Paus Fransiskus dan Tradisi Pembebasan”, dalam Hidup, 42/17 (15
Oktober 2017).

Lempp, Walter. Tafsiran Kejadian 1:1-4:26. Jakarta: Gunung Mulia, 1974.

Plaisier, Arie jan. Manusia, Gambar Allah: Terobosan-Terobosan dalam Bidang


Antropologi Kristen. Jakarta: Gunung mulia, 2000.

Plastaras, James. Creation and Covenant. New York: The Bruce Publishing Company,
1968.

Purnomo, Abertus. Dari Hawa Sampai Miryam, Menafsirkan Kisah Perempuan dalam
Alkitab. Yogyakarta: Kanisius, 2019.

Rad, Gerhard von. Old Testament Library: Genesis. London: SCM Press, 1972.

Ramadhani, Deshi. Adam Harus Bicara: Sebuah Buku Lelaki. Yogyakarta: Kanisius,
2010.

Renckens, Henricus. Israel's Concept of the Beginning. The Theology of Genesis 1-3.
New York: Herder, 1964.

Robert Ord, David. - Coote, Robert B. Pada Mulanya: Penciptaan dan Sejarah
Keimaman. Jakarta: Gunung Mulia, 2011.

Ruzer, Serge. “Reflektions of Genesis 1-2 in the Old Syriac Gospels”, dalam The Book
of Genesis in Jewish and Oriental Christian Interpretation, A Collection of
Essays. Belgia: Louvain, 1997.

Sekretariat Gender dan Pemberdayaan Perempuan Konferensi Waligereja Indonesia,


“Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Terang Kitab Suci, dalam Swara
Gender, 73/XXI (Juli-September 2016).

Sibley Towner, W. “Clons of God: Genesis 1:26-28 and the Image of God in the
Hebrew Bible”, dalam Interpretation A Journal of Bible and Theology, Vol.
59/No. 4. October 2005.

Simamora, Serpulus. Pengantar ke dalam Pentateukh. Pematangsiantar: [tanpa


penerbit], 2001. (Diktat)

_______. “Boru Ni Raja Hatoban: Tinjauan Filsafat Antropologis atas Kaum


Perempuan di dalam Budaya Batak Toba”, dalam Logos, 1/1 (Juni 2002), hlm.
14.
67

Simanjuntak, Elvina. “Menjadi Manusia Lagi: Refleksi Feminis Atas Yesus Sang
Jalan”, dalam Rajawali, III/02 (Juni 2005).

Simanullang, Banggas. “Maka Kita Berseru, Allah, Bapa Yang Maharahim; Membaca
Alkitab dari Perspektif Perempuan”, dalam Logos, Vol. 5/No. 2. Januari 2008.

Ska, Jean Louis. Introduction to Reading the Pentateuch. Indiana Eisenbrauns: Winona
Lake, 2006.

Sonjaya, Jajang A. Melacak Batu Menguak Mitos, Petualangan Antarbudaya di Nias.


Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Stanislaus, Surip. Kitab Taurat Musa: Pengantar dan Tafsir Pilihan Kitab Kejadian,
Kitab Keluaran, Kitab Imamat, Kitab Bilangan, Kitab Ulangan.
Pematangsiantar: [tanpa penerbit], 2017. (Diktat)

Suelzer, Alexa. The Pentateuch: A Study in Salvation History. New York: Herder, 1964.
Suhardi, Alfons S. (ed.), Surat Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II Tentang Martabat
dan Panggilan Kaum Wanita. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI,
1994.

Teichman, Jenny. Etika Sosial. Yogyakarta: Kanisius, 1998.

Harini Tri Prasasti, Bernadetta. (ed.), Perdagangan Manusia, Wisata Seks, Kerja (Judul
asli: Human Traffing, Seks Tourism, Forced Labor), diterjemahkan oleh Piet
Go. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2011.

Triwibowo, Dionisius. “Kesetaraan Gender Masih Jadi Persoalan”, dalam Kompas


(Jakarta), Senin, 23 Desember 2019, hlm 1.

Westermann, Claus. A Commentary: Genesis 1:11. London: SPCK, 1984.

Westfall, Cyntihia Long. Paul and Gender: Reclaiming the Apostle’s Vision for Men
and Women in Christ. Grand Rapids – Michigan: Baker Academic, 2016.

Woi, Amatus. “Perempuan Dalam Kebudayaan: Suatu Paradigma Pembebasan”, dalam


Biduk: Majalah Projo Seminari Ritapiret, II/XXXX. Januari – Juni 2002.

Yasua, Penka. Perempuan Sumber Dosa? Sebuah Refleksi Alkitabiah. Malang: Dioma,
2011.

Anda mungkin juga menyukai