Kesetaraan Gender Uraian Eksegetis Dan Refleksi Teologis Kej 218-25
Kesetaraan Gender Uraian Eksegetis Dan Refleksi Teologis Kej 218-25
Secara umum, kaum perempuan dipandang sebagai manusia lemah dan berada
pada posisi kelas dua di kalangan masyarakat. Hal ini juga tampak di kalangan
masyarakat Nias. Perempuan di Nias sangat dihargai dan dijaga oleh masyarakat namun
di sisi lain dipandang lemah bahkan sebagai “barang” yang dipersiapkan untuk dijual.
Perempuan yang akar katanya “puan” yang berarti “nyonya tuan”, hanya sebatas kata
saja sebab kata itu tidak memperlihatkan lagi hakekatnya yang harus “dipertuan”,
perempuan. Kesetaraan itu tampak dalam kisah penciptaan yang merupakan awal mula
“segambar dengan Allah” (ay 26-27) dan Kej 2, pengarang menggunakan kata
“penolong yang sepadan” (ay. 18, 20), “diciptakan dari satu daging” (ay. 21-22) dan
Jelas bahwa perempuan adalah ciptaan yang setara dengan laki-laki maka
seharusnya perempuan diperlakukan secara adil sebab mereka juga adalah manusia.
Dalam hal ini, Gereja atau pemerintah hendaknya memberi kedudukan yang layak dan
pandangan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, budaya
banyak.
PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini tidak memuat materi yang sudah diterima untuk gelar kesarjanaan
atau gelar lainnya di universitas atau institusi mana pun. Sejauh penulis mengetahui,
skripsi ini tidak memuat materi yang sudah pernah diterbitkan atau ditulis oleh orang
lain, kecuali di mana rujukan semestinya disebutkan secara eksplisit dalam naskah
skripsi ini.
Silfanus Harefa
DAFTAR ISI
KATA PENGATAR..............................................................................................................
ABSTRAK...........................................................................................................................
PERNYATAAN ORISINALITAS.....................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................................................
3. Tujuan penulisan..............................................................................................................
4. Metode Penulisan.............................................................................................................
5. Sistematika Penulisan.......................................................................................................
BAB II
4. Rangkuman......................................................................................................................
BAB III
1. Pengantar.........................................................................................................................
5. Rangkuman......................................................................................................................
BAB IV
PENUTUP...........................................................................................................................
1. Pengantar.........................................................................................................................
2. Rangkuman Umum..........................................................................................................
3. Refleksi Kritis dan Relevansi Kesetaraan Gender dalam Budaya Nias dan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
suatu ciptaan baru bagi keluarga dan masyarakat. Seorang bayi yang lahir dipandang
sebagai ono famatohu na’őtő (penerus keturunan). Bayi yang berjenis kelamin laki-laki
disebut ono famakhai mbambatő (anak penyambung keluarga), sedangkan bayi yang
berjenis kelamin perempuan disebut anak pemerluas lingkaran keluarga. Anak yang
1
Johannes Maria Härmmerle, Asal Usul Masyarakat Nias, Suatu Interpretasi (Gunungsitoli:
Yayasan Pusaka Nias, 2001), hlm. 47.
2
Sebagai pewaris kekuasaan atau harta, maka anak laki-laki mendapat perhatian khusus
pekerjaan yang layak. Sedangkan anak perempuan dibatasi bahkan terkadang tidak
disekolahkan, sebab dalam perspektif orangtua, anak perempuan akan kawin dan
tradisi ini mulai hilang di daerah perkotaan namun masih terjadi di desa atau tempat-
tempat tertentu. Keberadaan anak perempuan tak lain untuk kawin dan melahirkan anak.
Perempuan dijadikan layaknya barang yang dipersiapkan untuk dijual. Dalam sejarah
suku Nias diceritakan bahwa laki-laki yang memenggal kepala musuh dapat menikah
dengan seorang perempuan tanpa jujuran. Bahkan laki-laki boleh menikahi perempuan
Perempuan yang telah menikah dengan laki-laki harus tunduk pada kuasa laki-
laki (suami). Jika istri lalai dalam pekerjaan rumah tangga, maka suami akan
melontarkan amarah kepada istri. Istri tidak bisa berkutik dan harus bersikap pasif
karena ia berada pada posisi kedua dalam keluarga. Keputusan rumah tangga hanya
dalam kuasa suami. Bukan saja dalam keluarga tetapi juga di kalangan masyarakat, di
mana perempuan tidak diberi izin bahkan tidak boleh ikut dalam perkumpulan
masyarakat (orahu) yang terdiri dari empat lapisan3. Dalam lapisan pertama, kedua dan
2
Johannes Maria Härmmerle, Asal Usul Masyarakat Nias …, hlm. 67.
3
Lapisan-lapisan itu, yaitu pertama, siulu (bangsawan); kedua, ere (pemuka agama); ketiga, ono
mbanua (rakyat jelata); keempat, sawuyu (budak). [Lihat Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1970), hlm. 49.]
3
diperuntukkan bagi laki-laki. Perempuan berada pada tingkat terakhir yakni sawuyu,
sehingga di setiap tempat bermusyawarah (naha gorahua) dibuat tangga khusus agar
merupakan suatu ketidakadilan. Bias gender5 sebagai hasil konstruksi sosial budaya
kehidupan bermasyarakat. Struktur kebiasaan yang terbungkus dalam budaya itu telah
diwariskan dalam sejarah menjadi sebuah tradisi, sehingga orang sulit memperoleh
Bias gender seperti itu tidak direstui Gereja. Pada kesempatan tahun Maria, Paus
sepenuhnya. Selama ini, kuasa, pengaruh dan hasil karya kaum perempuan tidak
dianggap kelas dua. Atas dasar inilah Paus dengan penuh semangat Injil menyerukan
agar kaum perempuan mengalami transformasi. Dalam dokumen ‘Human Traffing, Seks
4
Johannes M. Hämmerle, Famato Harimao: Pesta Harimao – Fondrakö – Börönadu dan
Kebudayaan Lainnya di Wilayah Maenamölö – Nias Selatan (Teluk Dalam: Abidin Medan, 1986), hlm.
218.
5
Gender berbeda dari seks. Seks hanya menyangkut seksualitas-biologis sedangkan gender lebih
luas cakupannya. Gender terdiri dari dua jenis yakni gender genital dan gender eksistensial. Gender
genital terbatas pada jenis kelamin atau seksualitas. Gender eksistensial mencakup tatanan hidup manusia
(laki-laki dan perempuan) seperti relasi, peran dan martabat manusia. Dalam gender eksistensial ini,
semua manusia memiliki martabat yang sama dan setara. [Lihat Christine Delphyi, “Rethinking Sex and
Gender”, dalam Feminism in the Study of Religion (NewYork: Peter Lang, 2002), hlm. 411-413.]
6
Amatus Woi, “Perempuan Dalam Kebudayaan: Suatu Paradigma Pembebasan”, dalam Biduk:
Majalah Projo Seminari Ritapiret, II/XXXX (Januari – Juni 2002), hlm. 9-10.
4
Tourism, Forced Labor’, Paus Yohanes Paulus II dengan tegas mengutuk jenis
menganggap lemah kaum perempuan, penulis yang juga bersuku Nias tertarik untuk
mendalami kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam perspektif teologi biblis (Kej
2:18-25). Selain itu penulis setuju dengan seruan Gereja yang memaklumkan panggilan
Dalam kisah penciptaan manusia menurut tradisi prister 8, manusia (laki-laki dan
perempuan) diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Laki-laki dan perempuan sama-
sama ciptaan Allah. Sebagai ciptaan yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah
tentu sama di hadapan Allah dan ada kesetaraan di antara mereka (laki-laki dan
7
Alfons S. Suhardi (ed.), Surat Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II Tentang Martabat dan
Panggilan Kaum Wanita (Mulieribus Dignitatem) (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994),
hlm. 10; bdk. Bernadetta Harini Tri Prasasti (ed.), Perdagangan Manusia, Wisata Seks, Kerja (Judul asli:
Human Traffing, Seks Tourism, Forced Labor), diterjemahkan oleh Piet Go (Jakarta: Dokumentasi dan
Penerangan KWI, 2011), hlm. 9-10.
8
Tradisi Prister berawal pada tahun 550-450 SM. Tradisi ini menggambarkan Bangsa Israel
sebagai sebuah komunitas religius yang dipisahkan dari semua bangsa lain. Tradisi ini bertujuan untuk
membangkitkan harapan akan pembangunan kembali Bait Allah yang telah hancur di Yerusalem pada
masa pembuangan. [Lihat Serpulus Simamora, Pengantar ke dalam Pentateukh (Pematangsiantar: [tanpa
penerbit], 2001), hlm. 22.] (Diktat). Selanjutnya, tradisi Prister disingkat dengan“P”.
5
Westermann11 bahwa penciptaan penolong yang sepadan ini merupakan tindakan Allah
untuk mengatasi kesendirian manusia (ay. 7). Allah melihat sesuatu yang tidak baik
dalam diri manusia, yakni manusia itu masih sendirian. Oleh karena itu, Allah
berinisiatif memberi manusia itu penolong yang sepadan. Tindakan pertama yang
dilakukan Allah ialah menciptakan segala binatang dari tanah. Binatang yang diciptakan
Allah tidak menyelesaikan masalah kesendirian manusia itu. Maka, Allah menciptakan
seorang perempuan dari tulang rusuk manusia itu dan membawanya kepadanya (ay.
sebab perempuan itu menjadi penolong yang sepadan dengannya. Manusia menyambut
perempuan itu dan berseru “inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku”
9
Tradisi Yahwis disusun di kota Yerusalem, pada masa pemerintahan Raja Daud dan Salomo
atas Israel (970-931). Untuk memperkuat kedudukannya, kedua raja ini mulai menggali tradisi
keagamaan dan kebangsaan Israel. Di sebelah selatan Palestina, dekat istana raja dan Bait Allah, pusat
keagamaan bangsa, dimulailah usaha pengumpulan pelbagai cerita kuno yang masih beredar di kalangan
rakyat. Kumpulan cerita-cerita dari zaman itu terpengaruh bahasa, upacara, adat-istiadat dan gagasan-
gagasan keagamaan dari istana raja di Yerusalem. Gaya bahasa yang digunakan dalam kumpulan teks-
teks tersebut hidup dan berwarna-warni. Dalam teks-teks tersebut Allah disebut dengan nama YAHWE.
Oleh kaena itu tradisi ini disebut tradisi Yahwis. [Lihat Stefan Leks, Kejadian (Ende-Flores: Nusa Indah,
1977), hlm. 17.] Selanjutnya tradisi Yahwis ditulis dengan “Y”.
10
Jean Louis Ska, Introduction to Reading the Pentateuch (Indiana Eisenbrauns: Winona Lake,
2006), hlm. 54.
11
Claus Westermann (7 Oktober 1909 – 11 Juni 2000) adalah pendeta dan seorang sarjana
Perjanjian Lama Protestan Jerman. Ia mengajar di Universitas Heidelberg (1958 – 1978). Ia
menyelesaikan studinya pada tahun 1933. Ia dikenal sebagai salah satu ahli Perjanjian Lama yang
terkemuka pada abad ke-20. Sebagai ahli Perjanjian Lama ia memberi komentar yang panjang dan
komprehensif tentang Kitab Kejadian, khususnya Kej 1-11. [Lihat Brueggemann Walter, “Westermann
Claus” in Jhon H. Hayes, Dictionary of Biblical Interpretation (Nashville: Abingdon Press, 1999), hlm.
633-634. Selanjutnya, Claus Westemann ditulis dengan Westermann.
6
(ay. 23b). Manusia mengakui relasi atau hubungan kekeluargaan yang erat dan
Allah membuat manusia itu tidur nyenyak. Dalam keadaan itu Allah mengambil
tulang rusuk manusia dan menciptakan seorang perempuan. Itu berarti bahwa
sebab tidur nyenyak telah menghalangi manusia menjadi saksi penciptaan penolong
sepenuhnya tanpa melibatkan campur tangan manusia seperti pada pemberian nama
Perempuan tidak diciptakan dari tanah yang baru seperti penciptaan jenis
binatang melainkan dari bahan yang sama yakni dari manusia itu sendiri. Dengan
menciptakan perempuan dari tulang rusuk manusia itu maka manusia dan perempuan
saling terikat. Dengan kata lain bahwa seorang laki-laki dan seorang perempuan
bukanlah manusia yang sempurna. Laki-laki tanpa perempuan adalah pecahan, begitu
juga perempuan tanpa laki-laki adalah pecahan. Artinya, hanya dalam persatuan laki-
laki dan perempuan terdapat manusia yang sempurna. Manusia (laki-laki) dan
12
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 (London: SPCK, 1984), hlm. 226-227.
13
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11…, hlm. 229; bdk. Deshi Ramadhani, Adam
Harus Bicara: Sebuah Buku Lelaki (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 56.
14
untuk bersatu. Jelas bahwa persatuan laki-laki dan perempuan merupakan inisiatif Allah
dan bukan atas kehendak manusia. Persatuan laki-laki dan perempuan tidak
dimaksudkan dalam arti dua tubuh yang berbeda menjadi satu melainkan mau
melukiskan kesatuan laki-laki dan perempuan. Sebagai satu kesatuan, maka manusia
dan perempuan itu tidak malu meskipun dalam keadaan telanjang (ay. 25). Memang,
kemiskinan namun bagi pasangan suami-istri yang telah menjalin relasi kasih,
ketelanjangan menjadi kesempatan dan peluang untuk saling melengkapi satu sama
lain.15
Kej 2:18-25. Poin-poin itu antara lain: penolong yang sepadan, menjadi satu daging dan
mereka telanjang namun tidak malu. Oleh karena itu, skripsi ini di beri judul:
KEJ 2:18-25.
15
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa? Sebuah Refleksi Alkitabiah (Malang: Dioma, 2011),
hlm. 171; bdk. Gerhard von Rad, Old Testament Library: Genesis (London: SCM Press, 1972), hlm. 84.
8
3. Tujuan Penulisan
Universitas Katolik St. Thomas, Sumatera Utara. Selain itu, penulisan skripsi ini
bertujuan untuk memahami martabat manusia yang masih mengalami penindasan dan
perempuan sebagai manusia yang diciptakan Allah. Selain untuk mengkritisi, penulis
juga mengajak masyarakat agar berlaku adil dan manusiawi kepada sesamanya karena
4. Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian
maupun artikel-artikel yang terkait dengan tema skripsi ini. Selanjutnya penulis
mengolah tulisan para ahli Kitab Suci itu dan menyajikannya dalam uraian eksegetis
5. Sistematika Penulisan
Penulis menyusun skripsi ini menjadi empat bab yang terlebih dahulu diawali
pembatasan dan perumusan tema, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika
penulisan.
Bab II memuat uraian eksegetis Kej 2:18-25. Pada bagian ini, penulis terlebih
dahulu menguraikan konteks, struktur dan kesatuan teks Kej 2:18-25. Selanjutnya
penulis membahas uraian eksegetis Kej 2:18-25. Penulis menutup bagian ini dengan
rangkuman.
Bab III memuat refleksi teologis Kej 2:18-25. Pada bagian ini, penulis
kesetaraan. Kesetaraan itu ditemukan dalam penggunaan beberapa kata atau istilah yang
terdapat dalam Kej 2:18-25, yakni penolong yang sepadan, menjadi satu daging dan
mereka telanjang tetapi tidak malu. Penulis menutup bagian ini dengan rangkuman.
10
Bab IV merupakan penutup. Pada bagian ini, penulis membuat rangkuman dari
tentang perempuan dan relevansi kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan
Pada bab II ini, penulis akan memaparkan uraian eksegetis Kej 2:18-25. Bab ini
terdiri dari beberapa bagian, yakni konteks, struktur, tafsir dan rangkuman.
pemerintahan Raja Salomo. Namun, ia terutama seorang kolektor dan penyusun tradisi
lama. Y tidak menciptakan narasi baru, melainkan memberi makna lebih lengkap
kepada tradisi yang sudah ada sebelumnya dengan menghubungkan dalam konteks yang
lebih luas dari sejarah keselamatan. Maka menurut James Plastaras 16 tidak tepatlah
16
James Plastaras adalah asisten profesor Kitab Suci di Seminari Our Lady of the Angels,
Albany, dan New York. Ia adalah penulis The God of Exodus, sebuah studi komprehensif tentang teologi
eksodus, yang juga ditebitkan oleh Bruce. [Lihat James Plastaras, Creation and Covenant (New York:
The Bruce Publishing Company, 1968), hlm. vi.]
12
tidak berkaitan dengan penciptaan dunia melainkan hanya penciptaan manusia, hewan
dan perempuan.17
Penciptaan manusia dalam Kej 2:7 belum sempurna di hadapan Allah. Manusia
itu masih sendiri. Kesendirian ini menjadi masalah dan merupakan hal negatif. Maka,
Allah bersabda bahwa “tidak baik” kalau manusia itu seorang diri. Untuk itu Allah
mengambil keputusan untuk menciptakan penolong yang sepadan dengan manusia itu
(Kej 2:18-25). Kej 2:18-25 tidak bisa dipisahkan dari Kej 2:7. Bahkan bisa dikatakan
bahwa ayat 18-25 adalah kelanjutan dari ayat 7, sebab tanpa ayat 8-17 pun narasinya
Penolong yang sepadan tidak menunjuk pada jati diri perempuan, melainkan
hal apa Adam perlu dilengkapi dan ditolong? Untuk itu, harus dilihat dulu apa saja
pekerjaan Adam sampai diperlukan kehadiran penolong yang sangat khusus. Dalam
kisah penciptaan disinggung tiga hal yang dilakukan Adam: pertama, ia mengusahakan
dan memelihara taman (Kej 2:15). Kedua, ia menamakan segala binatang hutan dan
namun dalam hal ini tetap dilihat sebagai pekerjaan yang ia lakukan. Akhirnya, ada
sebuah pekerjaan Adam yang tidak bisa ia kerjakan sendirian. Pekerjaan itu ialah
memenuhi perintah Allah untuk beranak cucu (bdk. Kej 1:28). Dalam hal ini, jelaslah
17
James Plastaras, Creation and Covenant …, hlm. 2; bdk. P. Van Imschoot, Theology of the
Old Testament, Volume 1 (New York: Desclee Company, 1954), hlm. 151.
18
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 226.
13
peran perempuan sebagai penolong yang sepadan dengan Adam yakni kerja sama
dengan laki-laki dalam memenuhi perintah Allah. Tentu harus diingat bahwa ini dalam
konteks dunia yang masih belum ada masyarakat. Mutlak Adam harus beranak cucu.19
mengerti dan mengenali struktur Kej 2:18-25 harus ditempatkan dalam keseluruhan
konteks Kej 2 dan kaitannya dengan Kej 3. Kedua bab ini (Kej 2 dan Kej 3)
menggambarkan alur yang mengalir. Pertama dimulai dari perintah yang diberikan
Allah kepada manusia hingga memuncak pada pelanggaran perintah tersebut. Kemudian
hukuman. AKhirnya manusia diusir dari taman Eden, di mana Allah menempatkan
Pembagian atau struktur Kej 2:18-25 yang dibuat oleh Westermann itu sebagai
berikut:21
19
Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama (Jakarta: Gunung Mulia, 2004), hlm.
53; bdk. Alexa Suelzer, The Pentateuch: A Study in Salvation History (New York: Herder, 1964), hlm.
45.
20
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 193; bdk. David F. Hinson, Sejarah
Israel Pada Zaman Alkitab (Jakarta: Gunung Mulia, 1994), hlm. 111; bdk. David Robert Ord, - Robert B.
Coote, Pada Mulanya: Penciptaan dan Sejarah Keimaman (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), hlm. 36.
21
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 225; bdk. Penka Yasua, Perempuan
Sumber Dosa ..., hlm. 155.
14
Menurut Westermann, struktur di atas tidak bisa dipisah satu sama lain. Kej 2:18
melukiskan inisiatif Allah, yaitu menciptakan penolong yang sepadan. Pertama Allah
mendalam untuk memiliki penolong yang sepadan sebab manusia itu tidak menemukan
Kerinduan manusia itu nyata pada ayat 21-22. Perempuan adalah penolong sepadan
yang dirindukan manusia itu. Kehadiran perempuan itu pun menyadarkan manusia itu
akan dirinya (ay. 23). Laki-laki dan perempuan adalah pecahan sehingga harus bersatu
menjadi satu daging (ayat 24) dan sempurna sebagaimana nyata dalam perkawinan.22
22
Deshi Ramadhani, Adam Harus Bicara ..., hlm. 37; bdk. Walter Lempp, Tafsiran Kejadian
1:1-4:26 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974), hlm. 56.
15
18
TUHAN Allah berfirman: “tidak baik, kalau manusia itu seorang
diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan
dia.
Di awal kisah penciptaan menurut P, semua baik dan indah (tov) dalam
menciptakan manusia, Ia melihat bahwa ada sesuatu yang tidak baik, yaitu tidak baik
(lo’tov) kalau manusia itu seorang diri saja (Kej 2:18). Refleksi Sang Pencipta merujuk
pada suatu kekurangan bahwa manusia itu sendirian. Allah mengetahui bahwa di dalam
diri manusia tertanam suatu kebutuhan untuk membantu dan dibantu, untuk mencintai
dan dicintai.23
Hidup sendirian itu tidak baik. Demikian juga dikatakan dalam Kitab
Pengkhotbah masalah kesendirian tidak bisa dibiarkan berlarut-larut (Pkh 4:9-11). Allah
(‘ēzer) baginya, yang sepadan (kenegdô) dengan dia”. ‘Ēzer dapat diartikan sebagai
penolong, bantuan dan pendukung. Menurut Louis Ska, dalam Perjanjian Lama,
pemakaian term ‘ēzer hampir selalu mengacu pada campur tangan Allah atau
pertolongan Allah untuk menyelamatkan mereka yang dalam bahaya maut. Misalnya
mereka berseru-seru memohon pertolongan karena merasa berada dalam situasi gawat
dan mendesak sementara mereka sendiri tidak bisa mengatasinya (bdk. Hos 13:9; Mzm
23
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 225; bdk. Penka Yasua, Perempuan
Sumber Dosa ..., hlm. 156; bdk. Juga Stefan Leks, Kejadian ..., hlm. 27.
16
20:33; 89:20; 121:1-2). Kesendirian termasuk keadaan gawat, bahaya mati, yang
manusia sendiri tidak bisa mengatasi. Oleh karena itu, Allah harus campur tangan
dengan memberikan ‘ēzer (penolong), yakni sesuatu atau seseorang yang tanpanya,
kerja dan tidak juga hanya memusatkan perhatian pada keturunan. Itu berarti bahwa
‘ēzer memiliki makna yang lebih luas. Manusia tidak dapat memenuhi takdir mereka
dengan cara lain selain dengan bantuan timbal balik. Manusia itu diciptakan oleh Allah
sedemikian rupa sehingga ia membutuhkan bantuan pasangan. Oleh karena itu, saling
Penolong yang akan dijadikan itu ialah sepadan (Ibrani: kenegdô) dengan dia
(manusia). Patut diingat bahwa terjemahan yang benar untuk kata “ādām” adalah
“manusia” dalam arti kemanusiaan pada umumnya (baik laki-laki maupun perempuan).
Jadi yang dikatakan ayat ini ialah bahwa Allah akan membuat bagi manusia (baik laki-
laki maupun perempuan) seorang penolong. Laki-laki maupun perempuan dapat berada
dalam masalah kesendirian dan dapat menjadi penolong bagi lawan jenis.26
24
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 226; bdk. Jenny Teichman, Etika
Sosial (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 33.
25
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 226; bdk. Gerhard von Rad, Old
Testament Library ..., hlm. 79.
26
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 159; bdk. Surip Stanislaus, Kitab Taurat
Musa: Pengantar dan Tafsir Pilihan Kitab Kejadian, Kitab Keluaran, Kitab Imamat, Kitab Bilangan,
Kitab Ulangan (Pematangsiantar: [tanpa penerbit], 2017), hlm. 30. (Diktat)
17
Kata kenegdô berasal dari kata ke (seperti) dan neged (ada di depan). Kata neged
memiliki akar kata yang berkaitan dengan kata kerja yaitu higgȋd yang berarti
penolong yang sepadan dimaksudkan penolong yang ada di depannya, yang setara
dengannya, yang dapat diajak bicara atau bercerita. Relasi terhadap teman dapat
terbebas dari kesendirian. Teman bicara di sini tidak lebih tinggi atau sebaliknya
19
Lalu TUHAN Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan
dan segala burung di udara. Dibawa-Nyalah semuanya kepada manusia itu
untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang
diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang hidup, demikianlah
nanti nama makhluk itu. 20Manusia itu memberi nama kepada segala
ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan,
tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan
dia.
kelanjutan dari ay. 7a. Itu berarti bahwa ay. 19a memiliki hubungan yang erat dengan
ay. 7 di mana kata yang sama muncul di awal kalimat. Namun hal itu tidak bisa lagi
diikuti karena ada penambahan ayat (pemisah) di antara kedua ayat tersebut. Sekalipun
27
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 159-160; bdk. Gerhard von Rad, Old
Testament Library ..., hlm. 80.
28
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 226.
18
itu, lalu Allah membentuk segala binatang dari tanah. Allah menciptakan segala
binatang dari tanah seperti halnya manusia diciptakan dari tanah (ay. 7). Namun letak
perbedaannya ialah pengarang tidak menjelaskan bagaimana segala binatang itu diberi
kehidupan. Sedangkan setelah Allah membentuk manusia itu dari tanah, kemudian
perbedaan yang sangat menonjol pada peristiwa penciptaan itu. Pengarang mengakui
bahwa ada sesuatu yang istimewa tentang manusia. Namun bagaimanapun, hewan juga
Deskripsi penciptaan binatang dalam ay. 19a dan 20a memiliki perbedaan.
Dalam ay. 19a dikatakan “segala binatang dan segala burung di udara” sedangkan ay.
20a “kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang
hutan. Deskripsi ini berbeda dari Kej 1, di mana pengarang menyebut segala jenis
binatang secara umum. Pada Kej 2 ini pengarang mengabaikan ikan. Pengabaian ikan
bukan sesuatu yang baru bagi pengarang. Hal ini menunjukkan keadaan bumi yang
menyerupai padang gurun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apa yang dikatakan
Westermann adalah benar di mana ay. 19 merupakan lanjutan dari ay. 7. Pengarang
memberikan penolong yang sepadan kepada manusia. Allah membentuk dari tanah
29
Gerhard von Rad, Old Testament Library ..., hlm. 80-82.
30
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 227.
19
segala jenis binatang kemudian dibawa-Nya (Ibrani: bo’)31 kepada manusia itu. Allah
membawa segala jenis binatang itu kepada manusia untuk diperlihatkan dan mengajak
manusia itu untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalahnya. Allah sungguh
mengenal manusia ciptaan-Nya itu sehingga Allah memberikan kuasa kepada manusia
itu untuk memberi nama kepada segala jenis binatang itu. Ini saat yang tepat bagi
manusia untuk dirinya sebagai ciptaan yang kreatif (rekan kerja Allah dalam karya
penciptaan).32
Manusia memberi nama kepada segala jenis binatang itu. Demikianlah nama
yang disebut manusia itu kepada tiap-tiap binatang menjadi nama yang sesuai dengan
jenisnya. Hal ini berarti bahwa manusia mengenal segala jenis binatang yang diserahkan
kepadanya sehingga ia dapat membedakan identitas jenis binatang yang ada dan
manusia itu otonom dalam wilayah tertentu (bdk. Kej 17:5, 17:15).33
Pemberian nama di sini tidak sama seperti yang dikatakan dalam Kej 1. P
mengatakan secara abstrak bahwa Pencipta telah menunjuk manusia untuk menjadi
penguasa binatang (Kej 1:26, 28). Y tidak bermaksud supaya manusia mengeksploitasi
binatang untuk tujuan manusia. Manusia itu memberikan nama-nama kepada binatang
dan dengan demikian menempatkan mereka di dunianya agar dapat hidup bersama.
31
Selanjutnya akan dijelaskan pada ayat 22.
32
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 160.
33
Walter Lempp, Tafsiran Kejadian ..., hlm. 75.
20
Pemberian nama itu sebenarnya merupakan suatu ulangan penciptaan, sebab dengan
mengucapkan nama itu maka binatang diciptakan sekali lagi dalam pengertian dan akal-
budi manusia. Dengan ini manusia dilantik menjadi wakil dan teman kerja Allah. 34
Dari antara segala jenis binatang yang telah manusia beri nama tidak ditemukan
penolong yang sepadan dengannya, karena semua binatang telah dikuasai olehnya
(manusia). Binatang-binatang itu tidak ada yang bisa diajak bicara, sehingga penciptaan
hewan ini merupakan upaya yang tidak berhasil dalam penciptaan penolong yang
sepadan. Kegagalan ini tentu menjadi sebuah ketegangan karena manusia belum
menemukan penolong yang sepadan dengannya dan yang melepaskan dia dari kesepian
atau kesendirian. Di sisi lain, dengan kegagalan ini pengarang hendak menegaskan
bahwa betapa manusia sungguh membutuhkan relasi dan cinta-kasih. Dalam kata
“tidak” (ay. 20c) terdengar seluruh keinginan dan kerinduan manusia itu akan penolong
21
Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia
tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu
menutup tempat itu dengan daging. 22Dan dari rusuk yang diambil TUHAN
Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-
Nya kepada manusia itu.
34
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 227; bdk. Walter Lempp, Tafsiran
Kejadian ..., hlm. 75.
35
Stefan Leks, Kejadian ..., hlm. 27; bdk. Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ...,
hlm. 228.
21
Langkah pertama yang dilakukan Allah dalam ay. 19-20 untuk memberikan
penolong yang sepadan dengan manusia itu adalah tidak berhasil atau gagal. Meskipun
demikian Allah tidak berhenti untuk membebaskan manusia itu dari kesepian atau
kesendirian. Allah pun mengambil langkah kedua, yakni dengan membentuk seorang
perempuan.
Allah membuat manusia itu tidur nyenyak. Tidur nyenyak dalam bahasa Ibrani
rahasia. Dalam Kej 1, rahasia itu diakui oleh penciptaan dengan perantaraan Sabda. Tak
ada keterangan apa-apa dalam Kej 1 tentang cara atau bagaimana terjadi penciptaan itu.
Dengan nada yang sama juga dapat dikatakan dalam penciptaan perempuan (Kej 2:21-
22). Tidur nyenyak telah menghalangi manusia menjadi saksi penciptaan penolong yang
sepadan. Namun kondisi seperti itulah yang dibutuhkan agar Allah dapat menciptakan
merupakan karya Allah sepenuhnya tanpa melibatkan campur tangan manusia seperti
Ketika manusia itu dalam keadaan tidur nyenyak, Allah mengambil salah satu
rusuk dari manusia itu. Istilah rusuk dalam bahasa Ibrani ialah zelā. Dari tulang rusuk
itulah Allah membangun (Ibrani: bānu) seorang perempuan. Kata kerja bānu adalah
36
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 228; bdk. Penka Yasua, Perempuan
Sumber Dosa ..., hlm. 162
22
penciptaan oleh para dewa. Kata bānu adalah bagian dari terminologi penciptaan.
Penggunaan kata ini hanya terjadi atau terdapat dalam Kitab Amos untuk
Saat manusia itu tidur nyenyak, Allah mengambil salah satu tulang rusuk dari
tidak dikatakan berasal dari laki-laki. Perempuan bukanlah makhluk baru sehingga tidak
disebut berasal dari laki-laki. Pengarang tidak menyebut penciptaan perempuan dari
tanah (benda mati) menjadi perempuan (makhluk hidup) seperti halnya penciptaan
binatang dari tanah. Dengan menciptakan perempuan dari tulang rusuk manusia itu
maka manusia dan perempuan itu saling terikat. Dengan kata lain bahwa seorang laki-
laki bukanlah manusia yang sempurna dan satu orang perempuan juga bukanlah
manusia yang sempurna sebab laki-laki dan perempuan merupakan belahan dan pecahan
saja. Artinya hanya dalam persatuan laki-laki dan perempuan terdapat manusia yang
sempurna. Manusia (laki-laki) dan perempuan adalah dua ciptaan yang tak dapat
dipisahkan.38
yang baru dalam perspektif si pengarang melainkan mewarisi tradisi kuno yang sudah
terbentuk sejak lama. Hal ini berarti sudah ada mitos penciptaan yang mendahului kisah
Kej 2. Misalnya seseorang yang dibentuk dari kayu atau penciptaan manusia dari dua
bahan, yakni tanah liat dan alang-alang. Penciptaan dari bahan yang sudah ada pun juga
37
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 229-230.
38
Walter Lempp, Tafsiran Kejadian ..., hlm. 77; bdk. Claus Westermann, A Commentary:
Genesis 1:11 ..., hlm. 230.
23
terdapat dalam cerita orang Eskimo di mana perempuan diciptakan dari ibu jari pria,
atau asal-usul dewa dari bagian tubuh dewa lain. Selain mitos-mitos di atas juga
terdapat mitos Dilmun, yakni mitos bangsa Sumeria dari Mesopotamia bagian Selatan.
hendak menyembuhkan tulang rusuk Engki, maka anak itu ia beri nama Ninti. Ninti
berasal dari dua kata (Nin: ibu, ti: tulang rusuk), namun ti juga bisa diterjemahkan
“membuat hidup”. Ninti berarti ibu tulang rusuk atau ibu kehidupan. Kitab Kej 2 pun
mengatakan bahwa perempuan dibuat dari tulang rusuk dan diberi nama “Hawa” yang
kepada manusia itu (ay. 22b). Pada bagian ayat ini terdapat kata yang sama seperti pada
ay. 19b, yakni membawa (Ibrani: bo’). Kata bo’ memiliki arti “membawa, mengantar
untuk manusia itu. Manusia tidak dikatakan mencari-cari atau menemukan perempuan
melainkan kepadanya Allah mengantar atau membawa perempuan itu. Allah berinisiatif
manusia (laki-laki) itu, Allah sedang membangun kesatuan antara laki-laki dan
perempuan. Kesatuan laki-laki dan perempuan itu terjadi atas kehendak Allah melalui
39
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 163.
24
perkawinan. Harus ditekankan bahwa ay. 23 tidak berbicara tentang perkawinan sebagai
23
Lalu berkatalah manusia itu: “inilah dia, tulang dari tulangku dan
daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan sebab ia diambil dari
laki-laki”.
yang sepadan yang telah disediakan dan diberikan Allah kepada manusia itu. Ketika
manusia itu bangun dari tidurnya dan berhadapan dengan penolong yang sepadan yang
diberikan Allah itu kepadanya, ia bereaksi dengan sambutan gembira, “inilah dia tulang
dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej 2:23). Sekarang, dia telah menemukan
Dalam kalimat seruan manusia itu terdapat artikel yakni “ini”. Artikel atau kata
“ini” memiliki kekuatan demonstratif seperti dalam Kej 29:34, 35; 30:20; 46:30: Kel
9:27. Ketika manusia itu mengatakan “inilah” maka pada saat yang sama ia menyambut
Pencipta bahwa Allah telah memberi dia penolong yang sepadan atau cocok kepadanya.
Kata ganti “dia” muncul tiga kali yakni di awal baris pertama, di awal dan di akhir baris
40
Henricus Renckens, Israel's Concept of the Beginning. The Theology of Genesis 1-3 (New
York: Herder, 1964), hlm. 226; bdk. Deshi Ramadhani, Adam Harus Bicara ..., hlm. 35.
41
Henricus Renckens, Israel's Concept ..., hlm. 229.
25
kedua. Ini merujuk pada perempuan dan merupakan kata ganti untuk feminim.
Penggunaan kata ganti ketiga tunggal ini tidak berarti bahwa ada semacam celah.42
Seruan kegembiraan yang diucapkan manusia itu ialah “inilah dia, tulang dari
tulangku dan daging dari dagingku” (ay. 23b). Pengarang menggunakan apa yang
dikenal sebagai rumus hubungan seperti dalam Kej 29:14; Hak 9:2-3; 2 Sam 5:1; 19:13-
14. Isi ayat-ayat tersebut menggambarkan kasus yang berbeda namun ada rumus
hubungan permanen dan sama. Begitu juga halnya ay. 23b ini walaupun ada sedikit
perbedaan karena menggunakan kata jamak (tulang dari tulang dan daging dari daging)
dan preposisi (ku). Manusia itu mengakui relasi atau hubungan kekeluargaan yang erat
Dengan mengatakan “inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku”
laki-laki itu tidak sedang berbicara kepada perempuan itu melainkan berbicara tentang
perempuan itu. Di sini perempuan menjadi objek dan bukan subjek. Adalah suatu
kejanggalan bahwa laki-laki itu berbicara tentang perempuan yang tidak dia lihat saat
diciptakan. Walaupun manusia itu tidur dan tidak sadar saat dibangun penolong yang
sepadan dengannya itu namun ia berlagak “sok” tahu. Ia tidak bertanya kepada Allah
tentang peristiwa saat ia tidur nyenyak tetapi malah menafsirkan sendiri bahwa
perempuan itu tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Sikap “sok” tahu dan
yang melupakan campur tangan Allah dalam memberikan perempuan sebagai anugerah
42
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 231.
43
Gerhard von Rad, Old Testament Library ..., hlm. 83; bdk. Surip Stanislaus, Kitab Taurat
Musa..., hlm. 31. (Diktat)
26
etiologis44. Hal ini tampak dan telah disiapkan oleh ay. 19-20 di mana manusia itu
sebagai etiologis murni sebab laki-laki itu tidak diminta untuk memberi nama tetapi
dengan spontan ia melakukannya: “ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari
laki-laki (ay. 23c)”. Untuk pertama sekali, manusia (‘ādām) disebut laki-laki. Ketika
melihat perempuan, manusia sadar bahwa ia adalah laki-laki. Jelas bahwa manusia
(perempuan) begitu juga sebaliknya. Kata Ibrani untuk laki-laki adalah “ȋš” dan
perempuan ”ȋššāh”. Ȋššāh diambil dari ȋš. Namun perlu dicatat bahwa di sini tidak
dikatakan perempuan (ȋššāh) berasal dari laki-laki (ȋš). Permainan kata ini merupakan
bagian penting. Kedua kata tersebut memiliki pengucapan dan kedengaran yang sama
dan sulit dibedakan. Barang kali mirip dengan “siswa” dan “siswi”, “saudara” dan
“saudari” meskipun contoh ini kurang sesuai. Kesamaan bunyi dari kedua kata ini,
menunjukkan bahwa ada kesatuan dan kesetaraan martabat perempuan dan laki-laki.46
44
Etiologis yaitu kisah tentang asal usul. [Lihat Abertus Purnomo, Dari Hawa Sampai Miryam,
Menafsirkan Kisah Perempuan dalam Alkitab (Yogyakarta: Kanisius, 2019), hlm. 24; bdk. Gerhard von
Rad, Old Testament Library ..., hlm. 83.
45
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 232; bdk. Penka Yasua, Perempuan
Sumber Dosa ..., hlm. 168.
46
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 232; bdk. Henricus Renckens,
Israel's Concept ..., hlm. 230.
27
Dengan seruan manusia bahwa “ȋššāh” diambil dari “ȋš” mengindikasikan untuk
Ketika seseorang menyadari semua yang ia miliki adalah anugerah Allah, maka sesuatu
yang hilang pun tidak dirasa sebagai kehilangan. Bagaimana mungkin ia merasa
kehilangan apabila yang ia terima dan ada padanya adalah anugerah. Syarat untuk
mendapatkan penolong yang sepadan ialah kesediaan kehilangan dan tidak sok tahu
seperti yang ditunjukkan manusia itu saat penciptaan perempuan di mana ia tidur
nyenyak dan tidak menjadi saksi penciptaan tersebut. Walaupun pada akhirnya, ia
merasa kehilangan dalam dirinya dan sok tahu atas semua yang terjadi.47
24
Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan
ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu
daging. 25Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi
mereka tidak merasa malu.
Allah membawa penolong yang sepadan (perempuan) dengannya. Namun pada ayat 24
ini ada perubahan, di mana bukan laki-laki itu yang berbicara melainkan pengarang
sendiri. Di sini pengarang tidak lagi berbicara tentang laki-laki dan perempuan itu sebab
47
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 169.
28
laki-laki dan perempuan itu belum memiliki ayah dan ibu. Dengan ini, Westermann
tidak ada kaitannya dengan kesimpulan seperti ini. Walaupun Westermann mengatakan
bahwa ay. 24 ini tidak ada hubungannya dengan ayat sebelumnya, namun ia
mengungkapkan maksud pengarang. Maksud pengarang menulis ayat ini ialah untuk
Seorang laki-laki yang meninggalkan ayah dan ibunya tidak sesuai dengan adat-
istiadat orang Israel. Benarkah laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya dan ia bersatu
dengan istrinya? Bersatu dengan istri berarti masuk ke dalam kesatuan kehidupan yang
langgeng bersamanya. Untuk mencapai kesatuan yang langgeng dan bahagia, mereka
harus meninggalkan ayah dan ibunya. Meninggalkan ayah dan ibu di sini berarti
kehilangan ikatan jasmani dan spiritual. “Syarat” untuk mencapai kesatuan yang
Menjadi satu daging tidak dimaksudkan dalam arti dua tubuh menjadi satu. Hal
ini tidak berbicara tentang persatuan hubungan seksual dan bukan juga buah persatuan
itu, yakni “anak”, melainkan kesatuan laki-laki dan perempuan itu. Bahasa Ibrani
daging (bāsār) tidak menentang jiwa atau roh, tetapi menggambarkan keberadaan
manusia secara keseluruhan di bawah aspek kebersamaan. Jadi yang dimaksud dengan
48
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 233; bdk. Penka Yasua, Perempuan
Sumber Dosa ..., hlm. 170.
49
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 234; bdk. Walter Lempp, Tafsiran
Kejadian ..., hlm. 79.
29
menjadi satu daging adalah kesatuan seluruh pribadi laki-laki (suami) dan perempuan
Ay. 25 menggambarkan apa yang ada sebelum dosa manusia (kejatuhan). Laki-
laki dan perempuan itu sama-sama telanjang. Ada dua istilah telanjang dalam bahasa
Ibrani yakni cārom (kata sifat) dan cerwāh (kata benda). Kata cārom berarti telanjang
dan cerwāh berarti ketelanjangan atau titik lemah. Ketelanjangan dapat dipahami
sebagai simbol kemiskinan, keterbatasan, kekurangan dan kelemahan. Hal ini dapat
ditemukan dalam cerita tentang Enkidu, di mana pada awalnya ia telanjang dan seluruh
tubuhnya hanya ditutupi dengan rambut. Dikisahkan bahwa orang pada masa purba
telanjang (tanpa pelindung) mudah terluka dan terancam mati bila ketelanjangan dalam
arti kemiskinan atau kekurangan. Manusia yang tanpa pelindung adalah memalukan
tetapi bagi pasangan suami dan istri, ketelanjangan bukanlah sesuatu yang memalukan. 51
Mereka tidak malu. Beberapa penafsir mengatakan bahwa rasa malu adalah
konsekuensi dosa dan kesalahan. Menurut Westermann, perspektif ini mengandung dua
kesalahan. Rasa malu pada awalnya bukanlah sesuatu yang terjadi pada individu, tetapi
dalam hubungan dengan orang lain. Kedua, membatasi rasa malu pada “kerabat dosa
50
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 233; bdk. Penka Yasua, Perempuan
Sumber Dosa ..., hlm. 171.
51
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 236; bdk. Penka Yasua, Perempuan
Sumber Dosa ..., hlm. 176.
52
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 237.
30
Rasa malu lebih merupakan reaksi terhadap yang ditemukan kedoknya. Reaksi
ini merupakan reaksi seluruh pribadi seperti wajah yang memerah. Seseorang yang
tanpa rasa malu tidak lagi sepenuhnya manusia. Rasa malu secara etis adalah fenomena
rasa malu bisa sangat positif. Rasa malu efektif dalam memalingkan seseorang dari
kesalahan. Di sini rasa malu seharusnya tidak terbatas pada reaksi terhadap dosa atau
sensualitas.53
4. Rangkuman
Penciptaan penolong yang sepadan dilakukan melalui dua tindakan yakni penciptaan
binatang dan penciptaan perempuan. Konsep penciptaan penolong yang sepadan itu
dalam dua tindakan bukanlah konsep yang kebetulan. Pengarang hendak menandaskan
perbedaan perempuan dengan binatang. Binatang tidak cocok dan tidak sepadan bagi
manusia (ādām) itu. Hanya dalam diri perempuan, manusia (laki-laki) mengakui dan
menemukan penolong yang sepadan. Penolong yang sepadan berarti ada di depan dan
bisa diajak bicara. Maka, penolong yang sepadan itu berlaku untuk semua manusia.
53
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 238; James Plastaras, Creation and
Covenant ..., hlm. 45-46.
31
Artinya bahwa baik laki-laki maupun perempuan adalah penolong yang sepadan bagi
yang lain. Penolong tidak identik dengan pembantu rumah tangga. Sejatinya, penolong
yang sepadan adalah teman yang ada di depannya, yang ada pada tingkat yang sama,
persatuan pribadi yang tetap otonom sebagai laki-laki dan perempuan sehingga sehati
dan seperasaan. Pada awalnya laki-laki dan perempuan adalah satu dan kembali menjadi
satu. Dalam kesatuan, mereka setara tanpa memandang yang lain lemah dibanding
54
Surip Stanislaus, Kitab Taurat Musa ..., hlm. 32. (Diktat)
55
Gerhard von Rad, Old Testament Library ..., hlm. 83-84; bdk. Surip Stanislaus, Kitab Taurat
Musa ..., hlm. 32. (Diktat)
BAB III
1. Pengantar
Dalam bab II, penulis telah menguraikan eksegetis Kej 2:18-25. Pada bab III ini,
penulis akan memaparkan refleksi teologis dari Kej 2:18-25 yang dibagi dalam
beberapa bagian yakni penolong sepadan, menjadi satu daging dan mereka telanjang
laki-laki. Dalam hal apakah mereka sama dan dalam hal apakah mereka berbeda?
Berbicara tentang perbedaan perempuan dan laki-laki berarti berbicara tentang fungsi
33
biologis-seksual, yang sering secara salah kaprah disamakan begitu saja dengan gender.
dengan seksualitas. Dengan demikian, manusia mengenal dua cara dalam melihat
perbedaan perempuan dan laki-laki, yakni berdasarkan fungsi biologis seksual dan
berdasarkan gender.56
Berbicara tentang fungsi biologis seksual, jelas perempuan tidak sama dengan
laki-laki. Perbedaan tersebut sudah ditetapkan oleh Pencipta sejak semula. Maka
sifatnya biologis dan kodrati. Manusia hanya dapat tunduk dan menerima penetapan
ilahi ini. Misalnya, perempuan mempunyai vagina, sel telur, payudara, yang semuanya
itu tidak dimiliki oleh laki-laki. Itu berarti secara biologis, hanya perempuanlah yang
mungkin mengandung dan melahirkan anak, sebab “fasilitas” untuk itu hanya dimiliki
oleh perempuan. Sebaliknya laki-laki memiliki testis, penis dan sperma yang tidak
dimiliki oleh perempuan. Itu berarti, tanpa ada kerja sama antara laki-laki dan
perempuan, mereka tidak bisa melahirkan anak. Dalam hal ini perbedaan tak bisa
dipungkiri sebab sudah merupakan pemberian abadi Sang Pencipta. Di sini perbedaan
pun bukanlah suatu faktor yang merendahkan satu terhadap yang lain, melainkan justru
ketergantungan untuk saling melengkapi satu sama lain. Maka tidak relevan untuk
membuat pertanyaan siapa di bawah siapa atau siapa lebih tinggi dari siapa? Keduanya
56
G. Gultom, “Ketimpangan Gender; Akankah Kita Pertahankan Terus”, dalam G. Gultom (ed.),
Menggapai Gereja Inklusif (Tarutung: Kator Pusat HKBP, 2004), hlm. 289.
57
Save M. Dagun, Maskulin dan Feminim, Perbedaan Pria-Wanita dalam Fisiologi, Psikologi,
Seksual, Karier dan Masa Depan (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 75.
34
peran dalam masyarakat. Diyakini, pada masyarakat nomaden, di saat manusia masih
hidup berpindah-pindah, perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan itu masih
sangat fungsional. Kebutuhan manusia boleh dikatakan masih terbatas pada mencari
nafkah dan melahirkan atau membesarkan anak. Karena “fasilitas” melahirkan dan
membesarkan anak ada pada perempuan maka sudah jelas secara fungsional tugas itu
jatuh pada perempuan. Sebagaimana mestinya, tugas itu terlaksana di rumah sehingga
nafkah jatuh ke tangan laki-laki. Sejauh ini tidak ada pembedaan yang bersifat hirarkis
menguasai.58
peran yang bersifat sosial. Pembagian peran berdasarkan fungsi itu menjadikan laki-laki
lebih sering berada di luar rumah, sehingga akses hubungan ke luar terbuka lebar bagi
laki-laki. Segala sesuatu yang bersifat “hubungan ke luar” hanya diketahui oleh laki-laki
sebab dialah yang berurusan di luar rumah. Sebaliknya, bagi perempuan hal itu ditutup
masyarakat patriarkal, di mana segala sesuatu yang berbau “publik” ditentukan oleh
laki-laki. Di sini pembedaan peran tidak lagi melulu bersifat fungsional, melainkan telah
bergeser kepada suatu tatanan masyarakat yang bersifat hirarkis. Karena tatanan
58
Banggas Simanullang, “Maka Kita Berseru, Allah, Bapa Yang Maharahim; Membaca Alkitab
dari Perspektif Perempuan”, dalam Logos, Vol. 5/No. 2 (Januari 2008), hlm. 33.
35
masyarakat ini adalah hasil ciptaan laki-laki, maka kedudukan merekalah yang
diuntungkan.59
terbatas pada urusan melahirkan dan memelihara anak serta urusan rumah tangga
lainnya. Tugas itu diserahkan kepada mereka bukan pertama-tama karena fungsi
rumah tidak ada kaitannya dengan fungsi biologis-seksual namun tugas itu diberikan
kepada perempuan karena tugas-tugas yang seperti itu dianggap cocok dan pantas bagi
mereka. Terjadilah ketimpangan gender di mana perempuan dipandang lebih rendah dan
bahkan tergantung dari laki-laki. Pembedaan ini terkadang sungguh lepas dari fungsi
biologis-seksual dan berdasar pada peran sosial dalam masyarakat. Hal itu pun
diwariskan begitu saja tanpa ada diskusi. Akibatnya, pembedaan itu diterima begitu saja
sebagai yang seharusnya dan tak perlu ditinjau lagi sehingga semua yang bias gender
Dalam beberapa perikop Kitab Suci, perempuan tampak lebih rendah dari laki-
laki (Kej 19:1-29, Hak 21, 1 Kor 14:34-40, 1Tim2:8-15). Isi perikop-perikop itu sulit
diterangkan bahwa Allah adalah pemberi hidup dan pembebas perempuan. Misalnya,
dalam Perjanjian Lama dikisahkan bahwa Lot menerima dua orang tamu menginap di
59
Amatus Woi, “Perempuan Dalam Kebudayaan …, hlm. 12.
60
Bernard T. Adeney, Etika Sosial Lintas Budaya (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 283; bdk.
Elvina Simanjuntak, “Menjadi Manusia Lagi; Refleksi Feminis atas Yesus Sang Jalan”, dalam Rajawali,
III/02 (Juni 2005), hlm. 103.
36
“Jangan kiranya berbuat jahat. Kamu tahu, aku mempunyai dua orang
anak perempuan yang belum pernah dijamah laki-laki, baiklah mereka kubawa
ke luar kepadamu; perbuatlah kepada mereka seperti yang kamu pandang baik;
hanya jangan kamu apa-apakan orang ini, sebab mereka memang datang untuk
berlindung di rumahku” (Kej 19:8).
Di sini perempuan dianggap “sama dengan barang”, yang dapat diberikan kepada orang
begitu saja sebagai barang dagangan dan tidak diperhitungkan sedikit pun apakah orang
(perempuan) itu mau atau tidak. Malah harus diakui bahwa di saat Alkitab berbicara
bawah martabat laki-laki namun ada juga perikop yang mendukung bahwa perempuan
memiliki kesetaraan dengan laki-laki. Dalam Kitab Kejadian terdapat cerita mengenai
penciptaan laki-laki dan perempuan (Kej 1-2). Benar bahwa kedua versi penciptaan
menunjukkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu juga sama-sama
terarah pada suatu persekutuan yang nyata dalam pernikahan. Dalam hal ini, tidak
61
Banggas Simanullang, “Maka Kita Berseru …, hlm. 36.
37
sakramen dari penciptaan pertama. Persatuan yang dicapai laki-laki dan perempuan
dalam pernikahan menjadi kesempurnaan dan ekspresi tertinggi yang telah ditetapkan
oleh Allah dalam ciptaan-Nya. Kisah pertama mengenai penciptaan manusia dalam Kej
mengenai penciptaan manusia, khususnya mengenai perempuan. Artinya, teks Kej 1:26-
28 menolong penulis untuk mengerti dengan lebih baik perikop dari Kej 2:18-25.62
antropologis yang amat mendasar. Laki-laki dan perempuan merupakan makhluk yang
setara, keduanya diciptakan menurut gambar Allah. Oleh karena itu, gambar dan
keserupaan dengan Allah, yang begitu mendasar untuk manusia diteruskan oleh laki-
laki dan perempuan sebagai pasangan dan orang tua bagi keturunannya. Beranak-
cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah dia (Kej 1:28).
Pencipta melimpahkan kuasa atas dunia di tangan manusia, di tangan semua orang, baik
laki-laki maupun perempuan yang memperoleh martabat dan panggilan yang sama dari
permulaan.63
Kisah kedua tentang penciptaan manusia dalam Kej 2:18-25 melukiskan bahwa
perempuan diciptakan oleh Allah “dari tulang rusuk” laki-laki dan ditempatkan di
sampingnya sebagai “Aku yang lain”. Perempuan diciptakan sebagai teman bagi laki-
62
Walter Lempp, Tafsiran Kejadian ..., hlm. 15.
63
Alfons S. Suhardi, (ed.), Surat Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II Tentang Martabat dan
Panggilan Kaum Wanita (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1994), hlm. 19-20.
38
laki yang merasa sendirian di tengah makhluk hidup lainnya dan tidak menemukan di
antara mereka seorang “penolong” yang sepadan dengannya. Dengan keberadaannya itu
penolong yang sepadan segera dikenal oleh laki-laki sebagai “daging dari dagingnya
dan tulang dari tulangnya” (Kej 2:23) dan dinamai “perempuan”. Dalam bahasa biblis,
nama ini menunjukkan jenis kelamin perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki
(îš, îššah). Dengan mengatakan bahwa îššah, perempuan, diambil dari îš, laki-laki,
kesetaraan martabat perempuan dan laki-laki yang ditunjukkan dengan kata-kata yang
bunyinya hampir sama (bdk. Kata Inggris man dan wo-man). Namun harus dicatat
bahwa penolong yang sepadan itu dinamai perempuan bukan karena berasal dari laki-
laki, tetapi karena diambil dari laki-laki atau dibangun dari tulang rusuk manusia (laki-
laki).64
disebut sebagai ézér kenégdo (Kej 2:18, 20 “penolong yang sepadan”). Maka
selayaknya penolong yang sepadan ini memiliki kekuatan dalam segi-segi tertentu agar
sebagai asisten, pembantu dan sebuah posisi yang lebih rendah. Untuk menghindari
perempuan sebagai pembantu akan hilang, namun muncul kesan baru, yakni sekedar
mendampingi dan kurang mengambil inisiatif dalam relasi dengan laki-laki. Maka
diusulkan istilah lain, yakni “mitra” (partner) yang memang mengandung konotasi
64
Surip Stanislaus, Kitab Taurat Musa ..., hlm. 31. (Diktat); bdk. Alfons S. Suhardi (ed.), Surat
Apostolik …, hlm. 20.
39
inisiatif. Namun, muncul pula kesan baru bahwa ikatan laki-laki dan perempuan (suami-
seluruh arti kata Ibrani ézér. Maka tetap masih lebih baik mengartikannya sebagai
penolong, tetapi bukan hanya karena sesuai dengan arti Ibraninya melainkan juga bahwa
perempuan dalam kapasitas itu tidak dimengerti lebih rendah daripada laki-laki.
Perempuan yang setara itu sebagai pendamping yang inisiatif dan menjadi mitra laki-
laki seumur hidup. Kesetaraan posisi perempuan sebagai penolong laki-laki ditegaskan
pada frase kenégdo “sepadan dengannya”. Kata ini dalam Perjanjian Lama hanya
terdapat di dua tempat, yakni dalam Kej 2:18 dan ayat 20.66
Allah. Maka laki-laki tidak perlu merasa inferior bila harus menolong, sebab hal itu
sudah merupakan kewajiban manusia. Yang lebih mendasar lagi adalah fakta dalam
Perjanjian Lama bahwa kata ézér paling sering dipakai untuk Allah sebagai “penolong”
(Kel 18:4; Ul 33:7, 26; Mzm 33:20; 146:5) atau “pertolongan” Israel (Ul 33:29; Mzm
115:9-11; 121:2; 124:8). Jadi kata ézér melukiskan kekuatan. Dan apabila Allah
menolong Israel, tentu bukan berarti posisi-Nya lebih rendah daripada Israel, namun
65
W. Sibley Towner, “Clons of God: Genesis 1:26-28 and the Image of God in the Hebrew
Bible”, dalam Interpretation A Journal of Bible and Theology, Vol. 59/No. 4 (October 2005), hlm. 345.
66
Yonky Karman, Bunga Rampai …, hlm. 52.
40
sebaliknya. Di sini juga tidak perlu muncul ekstrem lain bahwa perempuan lebih kuat
Teks Kitab Suci memberikan dasar-dasar yang cukup untuk mengakui kesamaan
keduanya adalah pribadi, tidak seperti makhluk hidup lainnya di sekitar mereka.
Perempuan adalah “aku” yang lain dalam kemanusiaan yang sama. Sejak awal, mereka
tampil sebagai suatu kesatuan. Ini menunjukkan bahwa kesepian awal teratasi, di mana
(Kej 2:20). Apakah soal ini hanya menyangkut seorang penolong dalam aktivitas untuk
menaklukkan dunia? Tentu saja ini menyangkut seorang teman hidup, yang bersama dia
Dalam kisah penciptaan disinggung tiga hal yang dilakukan Adam, yakni
mengusahakan atau memelihara tanah (Kej 2:15), memberi nama pada segala binatang
hutan dan burung di udara (Kej 2:19) dan memenuhi perintah Allah untuk “beranak
cucu dan bertambah banyak” (Kej 1:28). Pekerjaan memelihara dan menamai binatang
di atas bisa dilakukan oleh Adam tanpa bantuan yang lain. Tetapi pekerjaan yang ketiga
tidak bisa dilakukan oleh dia tanpa bantuan dan kehadiran orang lain (perempuan).
Dalam hal ini, jelas sekali peran vital perempuan sebagai penolong. Tentu harus diingat
bahwa ini dalam konteks dunia yang masih belum ada masyarakat. Yang hendak
68
Alfons S. Suhardi (ed.), Surat Apostolik …, hlm. 21.
41
Menjadi satu daging bukan hanya dimaksudkan dua tubuh yang menjadi satu
atau persatuan dalam hubungan seksual dan buah persatuannya, yakni “anak”, tetapi
terlebih kesatuan laki-laki dan perempuan itu. Bahasa Ibrani daging (bāsār) tidak
membutuhkan kebersamaan. Jadi yang dimaksud dengan menjadi satu daging adalah
kesatuan seluruh pribadi laki-laki (suami) dan perempuan (istri) sehingga menjadi satu
Dalam kesatuan satu dengan yang lain, laki-laki dan perempuan dipanggil sejak
awal. Keberadaan mereka, masing-masing tidak hanya untuk berada di samping yang
lain atau berada bersama, melainkan juga dipanggil untuk berada satu bagi yang lain
secara timbal balik. Artinya, perempuan harus menolong laki-laki dan pada gilirannya
69
Yonky Karman, Bunga Rampai …, hlm. 54; bdk. Serge Ruzer, “Reflektions of Genesis 1-2 in
the Old Syriac Gospels”, dalam The Book of Genesis in Jewish and Oriental Christian Interpretation, A
Collection of Essays (Belgia: Louvain, 1997), hlm. 91.
70
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 233; bdk. Penka Yasua, Perempuan
Sumber Dosa ..., hlm. 171.
42
setara dan esensial, tanpa yang satu maka yang lain hidupnya terpecah, dalam kesatuan
mereka tercipta pribadi manusia yang utuh. Manusia dipanggil kepada persekutuan
antara pribadi, sehingga berada untuk yang lain secara timbal balik dalam persekutuan
Ketika perempuan (îššah) belum dicipta oleh Allah, manusia (Adam) belum mengenal
dirinya sebagai laki-laki (îš). Setelah Allah menciptakan perempuan (îššah) dari tulang
rusuk manusia (Adam), laki-laki menyadari dirinya sebagai laki-laki (îš). Penciptaan
dalam kesatuan ini mengharuskan keduanya (laki-laki dan perempuan) untuk saling
Dengan menjadi bahan bagi makhluk yang baru, maka Adam (manusia) tidak
sama lagi dengan sebelumnya. Sebagian dari dirinya sudah menjadi bahan bagi
perempuan dan Adam juga menyadari dirinya sebagai makhluk baru yakni laki-laki.
Demikianlah, dari Adam (manusia) dicipta perempuan yang pada satu pihak merupakan
kelanjutan, namun di lain pihak tetap berbeda. Berkat kehadiran perempuan “îššah”
71
Alfons S. Suhardi (ed.), Surat Apostolik …, hlm. 23; bdk. Pius Kila, Dimensi-Dimensi Seksual
(Yogyakarta: Kanisius, 2013), hlm. 60.
72
Pius Kila, Dimensi-Dimensi Seksual …, hlm. 62; bdk. Deshi Ramadhani, Adam Harus
Bicara..., hlm. 35.
73
Abertus Purnomo, Dari Hawa Sampai Miryam …, hlm. 28; bdk. Deshi Ramadhani, Adam
Harus Bicara ..., hlm. 37.
43
membuat Adam dapat menyebut diri sendiri sebagai “îš”. Kata îš dan îššah secara
linguistik tidak berhubungan, namun keduanya membentuk permainan kata. Kedua kata
Makhluk baru itu dinamai îššah “perempuan” sebab ia bukan diciptakan dari
bahan yang baru melainkan diambil dari tulang rusuk Adam (laki-laki). Maka, setiap
“inilah dia tulang dari tulangku dan daging dari dagingku, sebab itu ia dinamai
terkejut dan gembiranya atas kehadiran pasangannya yang sangat istimewa. Di sini,
sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ia sedang menunjukkan superioritas atas
perempuan.75
lainnya. Semua organisme berasal dari tanah, seperti pepohonan (Kej 2:9), binatang
darat dan burung (Kej 2:19), termasuk Adam sendiri (Kej 2:7). Tetapi perempuan tidak
diciptakan dari tanah, melainkan langsung dari Adam yakni dari tulang rusuk Adam.
74
Yonky Karman, Bunga Rampai …, hlm. 57; bdk. J. S. Siwalette, Manusia Menurut Jürgen
Moltmann (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), hlm. 44.
75
Yonky Karman, Bunga Rampai …, hlm. 59; bdk. Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ...,
hlm. 169.
44
Maka, makhluk baru “perempuan” itu tidak sederajat dengan organisme hidup yang lain
Allah tidak menciptakan perempuan dari kepala Adam sebab perempuan tidak
untuk berkuasa atas laki-laki. Perempuan juga tidak diciptakan dari kaki Adam karena
perempuan tidak diciptakan untuk menjadi bawahannya. Kepala dan kaki merupakan
dua organ tubuh yang memiliki makna tertentu dalam konsep manusia. Kepala
dipandang sebagai kekuasaan atau otoritas, sedangkan kaki merupakan organ tubuh
paling rendah yang dipandang kotor. Allah tidak menciptakan perempuan dari kedua
organ tubuh tersebut melainkan diciptakan dari tulang rusuk Adam. Penciptaan
perempuan dari bahan yang sama, yakni tulang rusuk Adam, mengungkapkan
kedekatan antara laki-laki dan perempuan. Mereka memiliki kehidupan yang sama
karena diciptakan dari bahan yang sama. Penciptaan dari bahan yang sama berarti
memiliki persatuan dan dalam persatuan tersebut tercipta kesatuan. Dengan demikian,
Tulang rusuk adalah organ tubuh yang sangat dekat dengan inti terdalam
manusia yakni hati. Hati adalah organ tubuh yang berharga. Maka, penciptaan
perempuan dari tulang rusuk Adam merupakan hal yang istimewa. Tulang rusuk pun
merupakan pelidung inti terdalam manusia. Oleh karena itu perempuan yang diciptakan
76
Yonky Karman, Bunga Rampai …, hlm. 59; bdk. Elisabeth A. Johnson, Kristologi Di Mata
Kaum Feminis, Gelombang Pembaharuan dalam Kristologi (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 124.
77
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 234; bdk. Abertus Purnomo, Dari
Hawa Sampai Miryam …, hlm. 27.
45
dari tulang rusuk disebut sebagai rumah atau pelindung laki-laki. Dalam hal ini laki-laki
dilindungi bukan karena lemah dari perempuan dan sebaliknya, tetapi keduanya menjadi
harus meninggalkan orang tuanya dan bersatu dengan istrinya (Kej 2:24). Meninggalkan
orangtua karena bersatu dengan istri tidak dipahami secara fisik, yakni suami (laki-laki)
meninggalkan tempat lahirnya dan menetap di daerah istri (matrilocal), tetapi dalam arti
psikologis. Untuk menjalin relasi dan keintiman yang baru dengan istri, suami perlu
lingkungan intim yang baru dan mendiri bersama istrinya sendiri. Pasangan ini tak
boleh bergantung terus pada orangtua mereka, sebab mereka kini menjadi orangtua baru
yang punya tanggung jawab atas keluarga dan keturunan. Di sini juga tidak perlu
dipahami bahwa laki-laki meninggalkan orangtua dan masuk ke dalam keluarga istri.
mencegah munculnya rasa superior atas perempuan (istri) yang diambil dari tulang
rusuknya.79
78
W. Sibley Towner, “Clons of God: Genesis 1:26-28 …, hlm. 345-346.
79
Yonky Karman, Bunga Rampai …, hlm. 59-60.
46
Kej 2:25 begitu mudah diartikan dengan manusia dahulu sebelum jatuh ke dalam dosa,
hidup murni, tidak bersetubuh, atau tidak memiliki kecenderungan seksual. Oleh karena
itu, mereka (laki-laki dan perempuan) dapat telanjang tanpa ada masalah. Menurut
Agustinus, setelah manusia jatuh dalam dosa, keadaan telanjang membuat mereka malu
satu sama lain sebab mereka mengetahui bahwa ada pertentangan antara kecenderungan
seksualnya dengan penilaian akal budi. Anggapan ini sulit diterima karena Perjanjian
Lama tidak mengenal pembedaan yang tegas antara badan dan jiwa.80
bukanlah hal yang menakutkan dan memalukan bagi pasangan suami dan istri.
Telanjang berarti tidak tertutup satu dengan yang lain. Mereka terbuka terhadap yang
lain tanpa saling membela diri. Di antara mereka tidak ada topeng. Mereka saling
menerima satu sama lain dan tidak ada yang melihat yang lain sebagai lawan sehingga
Persekutuan yang mereka bangun adalah persekutuan kasih tanpa tekanan dan
persaingan. Masing-masing menerima yang lain apa adanya dan bukan apa yang ia
inginkan.81
80
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 175-176.
81
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 234-235; bdk. Penka Yasua,
Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 176.
47
Taman Eden menggambarkan apa yang ada sebelum dosa “kejatuhan manusia”. Lebih
dalam lagi ia berpendapat bahwa Taman Eden adalah keadaan surga. Itu berarti bahwa
dalam Kej 2:18-25 yang dicita-citakan oleh Y ini belum pernah dicapai di luar Firdaus 82,
bahkan di antara orang-orang yang terpilih. Beberapa tokoh pilihan Allah tidak
mengalami hal yang dialami oleh laki-laki dan perempuan di Taman Eden (Firdaus),
misalnya Abraham mengambil dua istri, Yakub memiliki empat orang istri, Daud dan
manusia, di mana ketelanjangan memiliki arti yang berbeda setelah manusia jatuh ke
keterbatasan, tidak lagi dilihat sebagai peluang untuk saling melengkapi dalam
Orang yang serakah akan bahagia jika ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Sementara
82
Cerita Firdaus Kej 2-3 menguraikan dengan jelas bagaimana dan pada saat mana
pemberontakan itu terjadi. Manusia pertama itu adalah laki-laki dan perempuan yang telah diciptakan.
Mereka diciptakan dalam keadaan telanjang, dengan tidak ada alasan untuk rasa takut atau malu terhadap
siapapun juga (2:25). Tak dapat disangkal, bahwa inilah keadaan sempurna dari Allah. Tetapi apakah
yang terjadi saat Allah membiarkan mereka hidup atas tanggung jawabnya sendiri? Tentulah mereka
tidak terburu-buru mengulurkan tangannya untuk memakan buah yang terlarang itu. Sebelum peristiwa
kejatuhan mereka, tidak ada kesan bahwa apakah mereka “masih” suci atau tidak bersalah: bukankah itu
waktunya bagi mereka untuk berunding tentang baik buruknya larangan Allah itu. Justru inilah yang
membuat cerita ini “tragis” dengan sesungguhnya: keburukan sifat manusia “dari kecil”, sejak mula
pertamanya, bertentangan dengann kesempurnaannya yang sebenarnya. Hanya “cerita Firdaus” keluaran
Tiruslah (Yeh 28:11-19) yang mengenal seorang manusia purbakala yang pernah hidup dengan tidak
bersalah. Segala impian dan dongeng bangsa mengenai “zaman keemasan” itu tidak diberi tempat di
dalam Kej 1-11, dan di dalam seluruh kitab-kitab Perjanjian Lama seluruhnya pun tidak. [Lihat C. Barth,
Theologia Perjanjian Lama 1 (Jakarta: Gunung Mulia, 1998), hlm. 74.]
83
James Plastaras, Creation and Covenant ..., hlm. 41.
48
keinginan itu tidak terbatas. Selalu saja ada kekurangan dan belum ia miliki yang ia
yakini akan membuatnya bahagia. Oleh karena itu, perhatiannya terpusat pada apa yang
anugerah, dan tidak tahu bersyukur. Dalam cara pikir yang demikian ketelanjangan atau
kekurangan menjadi suatu yang sulit diterima, sehingga harus ditutupi. Dengan
demikian, ketelanjangan asali yang merupakan ungkapan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan mulai kabur karena saling menutup diri dari yang lain (bdk. Kej 3:7).84
Setelah manusia dikuasai oleh keserakahan, manusia melihat orang lain sebagai
lawan dalam memperebutkan sesuatu. Baginya, orang lain tidak bisa dipercaya, sebab
menghambat dia untuk memenuhi semua keinginannya. Dalam persepsi seperti itu
kelemahan menjadi ancaman yang menakutkan karena bisa dimanfaatkan oleh lawan.
berjalan-jalan di Taman Eden, manusia takut dan tidak mampu menerima ketelanjangan
menyematkan daun pohon dan membuat cawat. Artinya mereka berpakaian untuk
menyembunyikan diri dari yang lain karena takut dilukai. Hubungan manusia itu (laki-
laki dan perempuan) telah “rusak”, begitu juga dengan Allah penciptanya. Sekalipun
relasi dan keterbukaan di antara laki-laki dan perempuan telah “rusak” namun apa yang
telah Allah ciptakan tetap ada dan tidak hilang, yakni kesetaraan di antara mereka. Hal
itu sulit disadari karena manusia telah dikuasai oleh keserakahan yang membuat yang
84
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 203; bdk. Claus Westermann, A
Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 234.
49
satu ingin menjadi lebih dari yang lain. Dosa mengakibatkan kacaunya kesatuan awal
yang telah dinikmati oleh manusia yakni: kesatuan dengan Allah sebagai sumber
persatuan, kesatuan di dalam relasi antara laki-laki dan perempuan, juga dengan dunia
Lukisan tentang dosa asal dalam Kej 3 dengan cara tertentu membedakan
perempuanlah yang digoda, tetapi pada saat itu tampaknya laki-laki pun di sana (bdk.
Kej 3:6). Artinya, dosa awal bukan hanya terjadi karena perempuan melainkan juga
laki-laki sebab ketika ular berbicara, ia menggunakan kata ganti orang kedua jamak
(sekali-kali “kamu” tidak akan mati). Dalam arti tertentu kesalahan Adam bahkan lebih
besar karena ia mendengar dan tahu perihal perintah Allah untuk tidak makan buah
perempuan itu, melainkan diam seribu bahasa. Selain itu, Adam juga memakan buah itu
merupakan satu-satunya ciptaan di atas bumi yang dikehendaki Allah demi dirinya
sendiri. Sebagai ciptaan yang unik dan tak ada duanya, maka mereka tidak dapat
menemukan diri sepenuhnya tanpa dengan tulus hati memberikan dirinya. Di sinilah
mulai relasi persekutuan (communio) di mana kesatuan dari dua orang dan martabat
pribadi mendapatkan ungkapannya. Oleh karena itu, bila membaca pesan yang
85
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 203-204; bdk. Alfons S. Suhardi (ed.), Surat
Apostolik …, hlm. 29.
86
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 202.
50
dialamatkan kepada perempuan: “Engkau akan birahi kepada suamimu dan ia akan
berkuasa atasmu” (Kej 3:16), ditemukan keterpecahan dan ancaman terhadap kesatuan
dari dua orang menyangkutnya martabat sebagai gambar dan rupa Allah yang ada dalam
diri keduanya (Kej 1:27). Ancaman ini menjadi lebih serius untuk perempuan karena
dominasi menggantikan pemberian yang tulus dan oleh karena itu ia akan berkuasa
atasmu. Dominasi ini menunjuk pada kekacauan dan hilangnya stabilitas dari kesamaan
referensi bagi relasi timbal balik antara laki-laki dan perempuan di dalam pernikahan.
Pernyataan itu mengarah pada hasrat yang lahir dalam cinta suami dan istri yang
olehnya “penyerahan diri yang tulus” seorang perempuan dijawab oleh sebuah
“pemberian” yang sesuai dari pihak suami. Hanya berdasarkan prinsip ini, keduanya
dapat menemukan diri mereka sendiri sebagai suatu kesatuan yang sejati, suatu kesatuan
atas dasar martabat pribadi. Oleh karena itu, persekutuan pernikahan menuntut rasa
hormat dan penyempurnaan subjektivitas pribadi dari keduanya. Perempuan tidak boleh
menjadi “objek” dominasi dan penguasaan laki-laki. Demikian halnya karena dibebani
secara tetap dan melawan tata moral yang berkaitan erat dengan martabat laki-laki dan
perempuan sebagai pribadi. Tendensi ini nyata dalam tiga unsur yang disebut oleh Santo
Yohanes sebagai keinginan mata, keinginan daging dan keangkuhan hidup (1Yoh 2:16).
Kata-kata Kejadian yang sudah dikutip (3:16) menunjukkan betapa tiga unsur nafsu ini,
87
Konsili ekumenis Vatikan II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dalam Dunia Meodern
Gaudium et Spes, 13; bdk. Alfons S. Suhardi (ed.), Surat Apostolik …, hlm. 33.
51
yakni kecenderungan untuk berdosa akan membebani relasi timbal balik antara laki-laki
dan perempuan.88
5. Rangkuman
wawasan teologis yang mendalam. Kesendirian adalah dasar dan masalah yang harus
diselesaikan Allah. Kesendirian adalah ancaman bagi Adam (manusia) untuk hidup.
Allah melihat itu tidak baik maka Ia ikut campur tangan dalam menyelesaikan masalah
yang sedang dihadapi oleh manusia itu. Allah memutuskan untuk menciptakan
penolong yang sepadan dengan manusia. Pertama kali, Allah membawa segala jenis
Penolong yang dalam bahasa Ibrani “ézér” merujuk pada campur tangan atau
pertolongan Allah. Dalam Perjanjian Lama, kata ézér sering digunakan untuk Allah
sebagai penolong (Kel 18:4; Ul 33:7, 26, 29; Mzm 33:20, 115:9-11, 121:2, 124:8,
146:5; Yes 30:5; Yeh 12:14; Hos 13:9). Allah sebagai penolong tentu bukan berarti
berada dalam posisi rendah dengan yang Ia tolong. Maka, perempuan (ézér) tidak bisa
88
Alfons S. Suhardi (ed.), Surat Apostolik …, hlm. 32-33.
89
W. Sibley Towner, “Clons of God: Genesis 1:26-28 …, hlm. 344-345; bdk. James Plastaras,
Creation and Covenant ..., hlm. 39.
52
dipandang rendah namun setara dengan Adam. Dalam hal ini, juga tidak perlu ada
pandangan bahwa perempuan lebih kuat dari Adam (laki-laki) karena yang ditolong
Benar bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang menjadi simbol
kekuatan, tetapi ingat bahwa tulang rusuk manusia itu asalnya dari debu tanah yang
merujuk pada kerapuhan dan kelemahan. Jadi, perempuan bukan berasal dari laki-laki,
tetapi ambil bagian dalam kekuatan dan kelemahan laki-laki. Tulang sebagai bagian
yang kuat dari laki-laki menjadi simbol kekuatan dan daging sebagai yang lembut
kekuatan dan kelemahan laki-laki. Oleh karena itu, manusia yang lengkap, yaitu laki-
manusia (laki-laki). Karena mereka sepadan maka keduanya saling memiliki kekuatan
dan kelemahan. Dengan kekuatan dan kelemahan yang mereka miliki maka mereka
dapat saling melengkapi. Di antara mereka tidak ada yang menjadi dominan dan
sebaliknya melainkan setara. Kenegdô juga diartikan sebagai teman yang ada pada
tingkat yang sama, yang setara dengannya dan dapat diajak bicara. Pada kenyataannya,
laki-laki tidak berbicara dengan perempuan tetapi berbicara tentang perempuan, “inilah
dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku; ia akan dinamai perempuan” (Kej
90
Yonky Karman, Bunga Rampai …, hlm. 53.
91
Surip Stanislaus, Kitab Taurat Musa ..., hlm. 31-32. (Diktat)
53
menyebut dirinya. Dengan demikian laki-laki melihat dan menemukan dirinya dalam
diri perempuan.92
meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi
satu daging” (Kej 2:24). Meninggalkan ayah dan ibunya bukan sekedar soal jarak yang
menjadi laki-laki yang utuh dengan segala kekuatan dan kelemahannya bersama
perempuan. Hanya dengan demikian ia dapat hidup mandiri, menjalin relasi kasih, dan
menjadi satu daging dengan istrinya. Ungkapan menjadi satu daging berarti persatuan
pribadi yang tetap otonom sebagai laki-laki dan perempuan sehingga sehati dan
seperasaan. Persatuan pribadi ini menjadi landasan bahwa perkawinan tidak dapat
diceraikan.93
Persatuan pribadi itulah yang membuat suami dan istri tidak merasa malu
keterbatasan, kekurangan dan kemiskinan namun bagi pasangan suami-istri yang telah
menjalin relasi kasih, ketelanjangan menjadi kesempatan dan peluang untuk saling
melengkapi satu sama lain. Inilah realitas manusia sebagai penolong yang sepadan,
yaitu menerima kekuatan dan kelemahan serta saling melengkapi satu sama lain.94
92
Surip Stanislaus, Kitab Taurat Musa ..., hlm. 31. (Diktat); bdk. Claus Westermann, A
Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 226.
93
Penka Yasua, Perempuan Sumber Dosa ..., hlm. 121; bdk. Surip Stanislaus, Kitab Taurat
Musa ..., hlm. 32. (Diktat)
94
Claus Westermann, A Commentary: Genesis 1:11 ..., hlm. 237-238.
54
dan perempuan. Selain itu juga sama-sama terarah pada suatu persekutuan yang nyata
dalam pernikahan. Dalam hal ini, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa pernikahan
ditunjukkan sebagai tanda atau sakramen dari penciptaan pertama. Persatuan yang
dicapai laki-laki dan perempuan dalam pernikahan menjadi kesempurnaan dan ekspresi
tertinggi yang telah ditetapkan oleh Allah dalam ciptaan-Nya. Keintiman cinta
95
James Plastaras, Creation and Covenant ..., hlm. 40.
BAB IV
PENUTUP
Penulis akan mengakhiri skripsi ini dengan menyajikan kritik dan relevansi atas
tema yang dibahas dalam budaya Nias, kehidupan sosial masyarakat dan Gereja.
1. Rangkuman Umum
persoalan gender.
seksualitas. Hal yang bersifat sosial dan publik terjadi di luar rumah yang hanya
56
diketahui oleh laki-laki sedangkan bagi perempuan hal itu ditutupi karena kerjanya
terbatas di dalam rumah. Di sini pembedaan peran tidak lagi melulu bersifat fungsional,
melainkan telah bergeser kepada suatu tatanan masyarakat yang bersifat hirarkis.
Terjadilah ketimpangan gender di mana perempuan dipandang lebih rendah. Hal itu pun
diwariskan begitu saja tanpa ditinjau lagi sehingga semua yang bias gender dianggap
Kendatipun beberapa perikop Perjanjian Lama (Kej 19:1-29, Hak 21, dll)
memiliki nada yang mendukung bias gender namun pada awal penciptaan manusia,
Allah tidak merestui hal itu (Kej 1-2). Kisah penciptaan manusia dalam Kej 1:26-28
menggunakan kata gambar dan rupa Allah untuk mengungkapkan kesetaraan dalam diri
manusia (laki-laki dan perempuan). Kisah kedua, yakni dalam Kej 2:18-25 melukiskan
Penciptaan manusia dalam Kej 2:7 belum sempurna di hadapan Allah. Maka
Allah menciptakan penolong yang sepadan kepada manusia itu. Penciptaan penolong
yang sepadan itu, dilakukan oleh Allah sebanyak dua kali. Tindakan pertama yang
dilakukan Allah untuk mengatasi kesendirian manusia itu ialah menciptakan segala
binatang dari tanah. Manusia tidak menemukan penolong yang sepadan di antara semua
Maka, Allah mengambil langkah kedua, yakni membuat manusia itu tidur
nyenyak. Dalam keadaan itulah Allah menciptakan perempuan dari tulang rusuk
manusia. Perempuan bukanlah makhluk baru sehingga tidak disebut berasal dari laki-
57
laki. Dengan menciptakan perempuan dari tulang rusuk manusia itu maka manusia dan
perempuan itu saling terikat. Allah tidak menciptakan perempuan dari kepala Adam
sebab perempuan tidak diciptakan untuk berkuasa atas laki-laki. Perempuan juga tidak
diciptakan dari kaki Adam karena perempuan tidak diciptakan untuk menjadi
bawahannya. Perempuan diciptakan dari bahan yang sama, yakni tulang rusuk Adam.
Tulang rusuk adalah organ tubuh yang sangat dekat dengan inti terdalam manusia yakni
hati. Oleh karena itu perempuan yang diciptakan dari tulang rusuk disebut sebagai
rumah atau pelindung laki-laki karena hati terlindungi oleh tulang rusuk. Hal ini
yang sama karena diciptakan dari bahan yang sama. Penciptaan dari bahan yang sama
berarti memiliki persatuan dan dalam persatuan tersebut tercipta kesatuan. Dengan
manusia. Ketika Allah membawa perempuan kepada manusia (laki-laki) itu, Allah
melihat perempuan, ia sadar bahwa ia adalah laki-laki (Kej 2:23). Untuk pertama sekali,
manusia (‘ādām) disebut laki-laki. Jelas bahwa sebelum perempuan diciptakan, manusia
(Adam) belum mengenal dirinya sebagai laki-laki namun ketika manusia berhadapan
dengan lawan jenisnya, baru ia menemukan identitasnya. Kata Ibrani untuk laki-laki
adalah “ȋš” dan perempuan ”ȋššāh”. Kedua kata tersebut memiliki pengucapan dan
58
kedengaran yang sama dan sulit dibedakan. Oleh karena itu, kedua kata tersebut
Seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan
isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (Kej 2:24). Menjadi satu daging tidak
dimaksudkan dalam arti sempit yakni dua tubuh menjadi satu melainkan kesatuan
seluruh pribadi laki-laki (suami) dan perempuan (istri) menjadi satu, sehati dan
seperasaan.
“tidak memiliki pakaian”. Telanjang berarti tidak tertutup satu dengan yang lain.
Mereka terbuka terhadap yang lain tanpa saling membela diri. Mereka saling menerima
satu sama lain dan tidak ada yang melihat yang lain sebagai lawan sehingga
Persekutuan yang mereka bangun adalah persekutuan kasih tanpa tekanan dan
persaingan. Masing-masing menerima yang lain apa adanya dan bukan apa yang ia
inginkan.
Ketelanjangan ini kemudian memiliki arti yang berbeda setelah manusia jatuh ke
dalam dosa. Ketelanjangan tidak lagi dilihat sebagai peluang untuk saling melengkapi
dalam membangun relasi yang harmonis sebab manusia telah terperangkap dalam
keserakahan. Orang yang serakah melihat orang lain sebagai lawan dalam
melupakan anugerah, dan tidak tahu bersyukur. Dalam cara pikir yang demikian
ketelanjangan menjadi suatu yang sulit diterima, sehingga harus ditutupi. Dengan
demikian, ketelanjangan asali yang merupakan ungkapan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan mulai kabur karena saling menutup diri dari yang lain (bdk. Kej 3:7).
Sekalipun relasi dan keterbukaan di antara laki-laki dan perempuan telah “rusak”
namun apa yang telah Allah ciptakan tetap ada dan tidak hilang, yakni kesetaraan di
antara mereka. Namun hal itu sulit disadari karena manusia telah dikuasai oleh
keserakahan yang membuat yang satu ingin menjadi lebih dari yang lain. Lukisan
tentang dosa asal dalam Kej 3 dengan cara tertentu membedakan peranan-peranan yang
dimainkan oleh laki-laki dan perempuan. Demikian halnya karena dibebani oleh
tetap dan melawan tata moral yang berkaitan erat dengan martabat laki-laki dan
istiadat atau kebiasaan yang dibuat oleh manusia, karena akal budinya untuk
Hanya manusialah yang berbudaya karena manusia memiliki akal budi. Maka setiap
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa perempuan Nias sangat dijaga. Perempuan
Nias tidak boleh disentuh sedikit pun oleh laki-laki (bukan pasangan suami istri).
Bahkan terkadang perempuan tidak bisa keluar dari rumah. Perempuan harus dijaga
karena perempuan adalah harta keluarga. Sekali pun perempuan disebut sebagai harta
dengan keras layaknya seorang budak. Itu berarti bahwa ungkapan perempuan sebagai
harta keluarga tidak relevan dan tidak memiliki pengertian yang positif dalam arti
tertentu. Dalam hal ini ungkapan tersebut dipahami untuk mengobjekan perempuan.
Perempuan adalah “barang” yang dipersiapkan untuk dijual, maka ada istilah yang
dikenakan untuk sebuah perkawinan, yakni “böli niha97”. Atas dasar inilah perempuan
itu sangat dijaga, sebab perempuan yang dinodai atau direndahkan oleh laki-laki (hamil
di luar nikah) akan mengalami penurunan böli niha. Dalam hal ini, pihak yang paling
dirugikan ialah para paman sebab berdasarkan perhitungan böli niha, yang mendapat
97
Böli niha adalah keseluruhan harta yang harus dibayarkan pihak laki-laki kepada pihak
perempuan. Selain itu juga ada istilah böli gana’a yang ditunjuk pada orangnya (perempuan) bukan pada
jumlah harta. Lihat Jajang A. Sonjaya, Melacak Batu Menguak Mitos, Petualangan Antarbudaya di Nias
(Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 113.
98
Jajang A. Sonjaya, Melacak Batu Menguak Mitos …, hlm. 116-117.
61
Ada dua pengaruh böli niha dalam keluarga di kalangan masyarakat Nias, yakni
pengaruh positif dan negatif. Hal positifnya ialah karena böli niha yang sangat tinggi
maka setiap pasangan suami-isteri akan sulit bercerai. Sedangkan hal negatifnya ialah
keluarga itu akan sibuk membayar utang akibat böli niha. Di sini, perempuan yang
sudah menikah diperlakukan seperti budak oleh pihak keluarga suami. Perempuan yang
sudah dibeli harus bekerja keras. Oleh karena perempuan dibeli oleh lak-laki maka
otomatis bahwa perempuan berada pada posisi kedua dalam keluarga. Mentalitas seperti
Nias. Oleh karena itu Gereja turut bertindak untuk mengganti istilah böli niha menjadi
“jujuran” (mas kawin). Penggunaan istilah ini cukup memberi suasana baru di Nias.
Bagi mereka yang mengikuti aturan jujuran Gereja, maka status perempuan menjadi
lebih longgar dengan tidak diperlakukan sebagai budak. Pada umumnya, hal ini
dilakukan oleh mereka yang pernah merantau dan yang telah memperoleh pendidikan.
Kendati pun demikian, perempuan masih dianggap kelas dua dalam keluarga maupun di
dalam budaya lain. Isu tentang perempuan terletak pada masalah ketidakadilan gender.
Maka, tidak heran lagi bahwa rakyat menyuarakan keadilan dan kesetaraan gender.
Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki Hak Asasi Manusia (HAM). Undang-
99
Bamböwö Laia, Solidaritas Kekeluargaan Dalam Salahsatu Masyarakat Desa Di Nias
Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983), hlm. 42.
100
Jajang A. Sonjaya, Melacak Batu Menguak Mitos …, hlm. 117.
62
Undang Dasar 1945 (UUD 45) dalam Bab XA, pasal 28 A – 28 J ayat 2 mengakui
bahwa setiap individu atau warga negara adalah manusia merdeka dan tidak boleh
kelamin. Selain itu juga dalam pasal 29 ayat 2 dan pasal 28 I ayat 2 dikatakan bahwa
laki-laki dan perempuan berhak atas kehidupan dan kemerdekaan dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan atas hal
itu. Itu artinya bahwa Negara telah memberikan dengan sah kepada kaum perempuan
Indonesia derajat yang sama dengan laki-laki. Apabila terjadi diskriminatif, bagaimana
mungkin Bangsa Indonesia dapat maju kalau kaum perempuannya masih merasa dan
dianggap kelas dua. Oleh karena itu, Jokowi selaku Presiden Indonesia mengajak semua
maju. Beliau mengatakan bahwa perempuan juga mempunyai peran yang tidak kalah
Negara Indonesia telah mengakui bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara.
Maka, hendaknya masyarakat Nias terutama kaum laki-laki melihat perempuan sebagai
makhluk yang setara dengan dia. Tentu saja bukan karena pengakuan negara maka laki-
laki dan perempuan adalah setara melainkan sudah dari awal penciptaan manusia, Allah
telah menetapkannya (Kej 1:26-28; 2:18-25). Jelas bahwa hal itu merupakan suatu yang
mutlak. Kemudian harus diakui juga bahwa tidak ada pernyataan atau tindakan Yesus
101
Dionisius Triwibowo, “Kesetaraan Gender Masih Jadi Persoalan”, dalam Kompas (Jakarta),
Senin, 23 Desember 2019, hlm 1. klm 1; bdk. Elvina Simanjuntak, “Menjadi Manusia Lagi: Refleksi
Feminis Atas Yesus Sang Jalan”, dalam Rajawali, III/02 (Juni 2005), hlm. 106.
63
perempuan sebagaimana Ia amat menaruh hormat kepada setiap manusia. Tak satu ayat
pun dalam Injil menunjukkan sikap Yesus yang merendahkan perempuan. Sayangnya,
sikap Yesus yang amat menghormati perempuan itu tidak sepenuhnya berlanjut dalam
hidup Gereja. Bahkan peristiwa pengurapan Yesus oleh seorang perempuan tidak juga
dikenang. Kisah laki-laki selalu lebih dikenang dari pada perempuan. Maka tidak heran
jika Bapa-bapa Gereja, ada yang amat merendahkan martabat perempuan, misalnya St.
Agustinus yang mengatakan bahwa perempuan tak terelakkan untuk tugas pembiakan,
Dalam Gereja Katolik ada ritual pembasuhan kaki. Ritual pembasuhan kaki
adalah salah satu hal penting dalam tradisi Katolik dalam mengenang malam perjamuan
terakhir Yesus bersama para murid. Ritual ini diadakan pada hari Kamis Putih. Dalam
hal ini Gereja telah menetapkan bahwa hanya laki-laki yang dapat berpartisipasi dalam
ritual tersebut. Namun pada Januari 2016, Paus Fransiskus mengubah peraturan itu
secara eksplisit dan mengizinkan kaum perempuan untuk ikut terlibat. Maka pada 24
Maret 2016, Paus Fransiskus mengejutkan umat Katolik karena kaum perempuan
terlibat dalam mengenang peristiwa pembasuhan kaki ke dua belas murid. Kendatipun
demikian, namun peran perempuan dalam Gereja masih terkesan sebatas pembantu.
Tanggung jawab utama dipegang oleh laki-laki. Ini pantas menjadi pertanyaan yang
mesti dijawab secara jujur dan terutama alkitabiah: apakah perempuan mesti
dikecualikan dari tahbisan menjadi imam? Dasar alkitabiah untuk ini sulit ditemukan
kecuali fakta yang diceritakan para penulis Injil bahwa kedua belas rasul yang dipilih
102
Banggas Simanullang, “Maka Kita Berseru ..., hlm. 38. bdk. Elisabeth A. Johnson,
Kristologi…, hlm. 124-125.
64
Yesus semuanya laki-laki. Namun di antara penulis Injil tak satu pun yang menerangkan
perbuatan Yesus memilih (hanya) laki-laki sebagai rasul-Nya. Di sinilah para pembaca
Sebelumnya telah disinggung bahwa dalam seluruh pewartaan Yesus, tak ada
tempat untuk menyepelekan martabat dan peran perempuan. Bukan hanya itu saja tetapi
juga Allah memilih saksi-saksi pertama yakni kaum perempuan untuk kebangkitan-Nya
(Mrk 16:1-8). Maka tidak heran jika akhir-akhir ini terdengar suara yang memohonkan
agar perempuan dapat ditahbiskan menjadi imam, walaupun suara itu sangat sayup-
sayup dan hampir tak kedengaran gaungnya untuk sampai ditanggapi secara serius. Satu
hal kiranya mesti dikatakan bahwa jika penolakan tahbisan perempuan didasarkan atas
perbedaan gender saja, kiranya Gereja mesti bertobat supaya berani terbuka kepada Roh
Allah yang telah memerdekakan semua manusia baik laki-laki maupun perempuan.
Kalau tidak, bagaimana gereja dapat efektif mewartakan Allah sebagai pembebas bagi
orang-orang tertindas? Sementara kaum perempuan dijadikan tawanan kekal yang mesti
DAFTAR PUSTAKA
103
M. Loko Lelono, “Paus Fransiskus dan Tradisi Pembebasan”, dalam Hidup, 42/17 (15
Oktober 2017), hlm. 50; bdk. Banggas Simanullang, “Maka Kita Berseru …, hlm. 39.
104
K. Amstrong, The Gospel According to Women, Christianity’s Creation of the Sex War in the
West (London: ELM Tree Books, 1986), hlm. 252; bdk. Felicia Permata Hanggu, “Suara Gereja Untuk
Setara Gender: Gereja Katolik Senantiasa Memberikan Ruang dan Memperjuangkan Keadilan dan
Kesetaraan gender Demi Mewujudkan Misi Allah di Tengah Dunia”, dalam Hidup, 19/73 (12 Mei 2017),
hlm. 10.
65
Amstrong, K. The Gospel According to Women, Christianity’s Creation of the Sex War
in the West. London: ELM Tree Books, 1986.
Delphyi, Christine. “Rethinking Sex and Gender”, dalam Feminism in the Study of
Religion. NewYork: Peter Lang, 2002.
Permata, Felicia Hanggu. “Suara Gereja Untuk Setara Gender: Gereja Katolik
Senantiasa Memberikan Ruang dan Memperjuangkan Keadilan dan Kesetaraan
gender Demi Mewujudkan Misi Allah di Tengah Dunia”, dalam Hidup, 19/73
(12 Mei 2017).
Hinson, David F. Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab. Jakarta: Gunung Mulia, 1994.
Imschoot, P. Van. Theology of the Old Testament, Volume 1. New York: Desclee
Company, 1954.
Karman, Yonky. Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama. Jakarta: Gunung Mulia,
2004.
Laia, Bamböwö. Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah satu Masyarakat Desa Di Nias
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983.
Loko, M. Lelono. “Paus Fransiskus dan Tradisi Pembebasan”, dalam Hidup, 42/17 (15
Oktober 2017).
Plastaras, James. Creation and Covenant. New York: The Bruce Publishing Company,
1968.
Purnomo, Abertus. Dari Hawa Sampai Miryam, Menafsirkan Kisah Perempuan dalam
Alkitab. Yogyakarta: Kanisius, 2019.
Rad, Gerhard von. Old Testament Library: Genesis. London: SCM Press, 1972.
Ramadhani, Deshi. Adam Harus Bicara: Sebuah Buku Lelaki. Yogyakarta: Kanisius,
2010.
Renckens, Henricus. Israel's Concept of the Beginning. The Theology of Genesis 1-3.
New York: Herder, 1964.
Robert Ord, David. - Coote, Robert B. Pada Mulanya: Penciptaan dan Sejarah
Keimaman. Jakarta: Gunung Mulia, 2011.
Ruzer, Serge. “Reflektions of Genesis 1-2 in the Old Syriac Gospels”, dalam The Book
of Genesis in Jewish and Oriental Christian Interpretation, A Collection of
Essays. Belgia: Louvain, 1997.
Sibley Towner, W. “Clons of God: Genesis 1:26-28 and the Image of God in the
Hebrew Bible”, dalam Interpretation A Journal of Bible and Theology, Vol.
59/No. 4. October 2005.
Simanjuntak, Elvina. “Menjadi Manusia Lagi: Refleksi Feminis Atas Yesus Sang
Jalan”, dalam Rajawali, III/02 (Juni 2005).
Simanullang, Banggas. “Maka Kita Berseru, Allah, Bapa Yang Maharahim; Membaca
Alkitab dari Perspektif Perempuan”, dalam Logos, Vol. 5/No. 2. Januari 2008.
Ska, Jean Louis. Introduction to Reading the Pentateuch. Indiana Eisenbrauns: Winona
Lake, 2006.
Stanislaus, Surip. Kitab Taurat Musa: Pengantar dan Tafsir Pilihan Kitab Kejadian,
Kitab Keluaran, Kitab Imamat, Kitab Bilangan, Kitab Ulangan.
Pematangsiantar: [tanpa penerbit], 2017. (Diktat)
Suelzer, Alexa. The Pentateuch: A Study in Salvation History. New York: Herder, 1964.
Suhardi, Alfons S. (ed.), Surat Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II Tentang Martabat
dan Panggilan Kaum Wanita. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI,
1994.
Harini Tri Prasasti, Bernadetta. (ed.), Perdagangan Manusia, Wisata Seks, Kerja (Judul
asli: Human Traffing, Seks Tourism, Forced Labor), diterjemahkan oleh Piet
Go. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2011.
Westfall, Cyntihia Long. Paul and Gender: Reclaiming the Apostle’s Vision for Men
and Women in Christ. Grand Rapids – Michigan: Baker Academic, 2016.
Yasua, Penka. Perempuan Sumber Dosa? Sebuah Refleksi Alkitabiah. Malang: Dioma,
2011.