Anda di halaman 1dari 12

JAKARTA WATERFRONT CITY oleh Dameria Panjaitan, Rahmat Yananda, Adipati Rahmat Jakarta Waterfront City, pada dasarnya

merupakan pembangunan pantai terpadu yang meliputi pembenahan, penataan dan pembangunan pantai, sebagai proses menangani masalah perkotaan yang jauh lebih besar. Seperti, penataan permukiman dipesisir pantai, penanganan masalah sampah, regulasi masalah pembuangan limbah serta masalah sosial yang menyangkut kondisi nelayan dan kondisi kesehatan masyarakat di sekitar pantai. Sebagai kota pesisir yang merupakan kawasan strategis, Jakarta Utara perlu dikembangkan sebagai Jakarta Waterfront City yang mempunyai tujuan utama merevitalisasi, memperbaiki kehidupan masyarakat pantai, termasuk nelayannya. Pantai juga ditata kembali bagi kesejahteraan masyarakat, dengan memberdayakan keunggulan ekonomis dari pantai tersebut, seperti pariwisata, industri, pelabuhan, pantai untuk publik dan juga perumahan. 1. PENDAHULUAN 1.1. Paradigma Pembangunan Pembangunan Indonesia sejauh ini telah menitikberatkan pembangunan pada bidang ekonomi. Pendekatan dalam bidang ekonomi tersebut, dianggap mampu mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan hidup, penyediaan infrastruktur, penciptaan lapangan kerja dan menumbuhkan ekonomi bagi sektor riil. Namun, perlu diperhatikan bahwa, aspek pembangunan tersebut lebih terfokus kepada upaya menumbuhkembangkan sektor-sektor unggulan yang berbasis daratan. Hal ini mudah dimengerti mengingat sebagai zambrud khatulistiwa, Indonesia dikaruniai daya dukung alam yang tinggi. Sebagaimana disampaikan dalam hasil penelitian Worldbank Tahun 2005, tentang sebaran income negara, sektor berbasis kelautan hanya menghasilkan kurang dari 5% dari keseluruhan pendapatan negara. Tak terhindarkan, bahwa orientasi pembangunan di Indonesia jauh lebih lebih dititikberatkan pada potensi alam di daratan (landward oriented development), sementara pembangunan berbasis kelautan (seaward oriented development) jauh dari nilai optimal. Jika kita berpegangan kepada faktor sejarah, budaya maritim dan proporsi luasan darat laut Indonesia, seharusnya, pembangunan kita lebih ditumpukan pada pembangunan yang berbasis kelautan. Namun sebagaimana yang disampaikan oleh Adisasmita[1] (2008), bahwa pendekatan pembangunan berbasis daratan dan lautan tidak perlu dipertentangkan. Sebaliknya, keduanya harus dilakukan secara simultan. Simultan dalam pengertian ini berarti serentak dan serempak. Keduanya, landward dan seaward harus bersinergi satu sama lain. Pembangunan yang berbasis kepada paradigma kelautan sudah didengung-dengunkan sejak terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan di Tahun 1999 yang lalu. Pemicunya adalah kesadaran atas besarnya potensi kelautan dan perikanan perairan Indonesia yang secara laten terus menerus mengalami penjarahan oleh negara tetangga. Selain itu mulai berkurangnya pemasukan negara dari sektor hasil hutan dan tambang juga mejadi pemicu.

Fakta menunjukkan, bahwa sekitar 60% dari populasi dunia berdiam di kawasan selebar 60 km dari pantai dan diperkirakan akan meningkat menjadi 75% pada tahun 2025, dan 85% pada 2050. Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sendiri menyebutkan bahwa sejumlah 166 kota di Indonesia berada ditepi air (Waterfront) [2]. Teknologi penginderaan jauh dua tahun silam menyajikan kabar yang mengkhawatirkan. Disebutkan bahwa sebagai dampak dari pemanasan global, permukaan air laut secara lobal telah mengalami percepatan kenaikan dari 1 hingga 3 mm/tahun. Hal ini merupakan ancaman bagi setiap kawasan perkotaan yang berada pada tepi air, khususnya tepi laut. Paper ini merupakan upaya penggalian pra resolusi atas ancaman kenaikan muka air laut bagi kawasan perkotaan di Indonesia, khususnya Kotamadya Jakarta Utara sebagai kawasan pesisir dengan nilai ekonomi (baik secara potensi maupun ketersediaan infrastruktur) yang terbesar di Indonesia. 1.2. Kota Jakarta Utara Jakarta Utara adalah kota administrasi di sebelah utara Daerah Khusus Ibukota Jakarta, yang berbatasan dibagian Utara dengan Laut Jawa, dibagian Timur dengan Bekasi, dibagian Selatan dengan Jakarta Barat, Jakarta Pusat dan Jakarta Timur; dan dibagian barat dengan Kota Tangerang. Secara administratif, wilayah Jakar ta Utara terdiri atas 7 Kecamatan, yaitu kecamatan Pulau Seribu, Kecamatan Penjaringan, Kecamatan Pademangan, Kecamatan Tanjung Priok, Kecamatan Koja, Kecamatan Kelapa Gading dan Kecamatan Cilincing. Berdasarkan Tabel dibawah ini, dapat diketahui bahwa dari jumlah penduduknya, jumlah terbesar berada pada Kecamatan Tanjung Priok sebesar 312.349 jiwa, dan jumlah penduduk terendah ada di Kecamatan Kelapa Gading sebesar 107.557 jiwa. Tanpa perlu diancam oleh kenaikan muka air laut pada Tahun 2050 nantipun, pada dasarnya jumlah penduduk di Kota Jakarta Utara secara signifikan terus mengalami penurunan. Tingkat pertumbuhan negatif ini secara logis diakibatkan oleh semakin tidak kondusifnya Kota Jakarta Utara sebagai tempat tinggal, dikarenakan biaya hidup yang semakin tinggi, NJOP lahan yang meroket, polusi udara, air dan suara yang melebihi batas hingga minimnya sarana dan prasarana umum karena telah bertransformasi menjadi kawasan bisnis terpadu. Secara geomorfologis, wilayah Pantai Utara (Pantura) Jakarta berada pada satuan geomorfologi dataran aluvial. Wilayah ini terutama tersusun atas endapan aluvial lempung hingga lanauan, yang sebagian besar berupa lempung rawa yang banyak mengandung sisasisa tumbuhan, lembab, plastisitas rendah, dan kedap air. Karena didominasi oleh lapisan sedimen, maka wilayah pantai utara Jakarta sangat berpotensi mengalami fenomena Land subsidence[4]. Fenomena penurunan tanah ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : pengambilan air tanah yang berlebihan, penurunan karena beban bangunan, penurunan karena adanya konsolidasi alamiah dari lapisan-lapisan tanah, serta penurunan karena gaya-gaya tektonik. Land Subsidence telah cukup lama dilaporkan terjadi di wilayah Jakarta Utara. Menurut para peneliti selama ini ada empat tipe land subsidence yang mungkin terjadi di basin Jakarta, yaitu land subsidence karena pengambilan air tanah yang berlebihan, land subsidence karena beban bangunan, land subsidence karena adanya konsolidasi alamiah dari lapisan-lapisan tanah, serta land subsidence yang diakibatkan oleh timbulnya gaya tektonik.

Terjadinya penurunan tanah sebanyak 20 hingga 200 sentimeter telah terdeteksi dalam periode 1982 hingga 1997. Kecepatan penurunan tanah di Jakarta Utara berkisar sekitar satu hingga lima sentimeter per tahun. Bahkan berdasarkan pengukuran terbaru pada Tahun 20072008, terjadi penurunan 17 hingga 26 sentimeter per tahun. 1.3. Ancaman Kenaikan Muka Air Laut Kawasan Jakarta Utara yang merupakan kawasan yang berada pada wilayah pesisir, akan merasakan kemungkinan dampak negatif langsung dari fenomena perubahan kedudukan muka laut terutama di beberapa wilayah seperti Kelurahan Kamal Muara, Kelurahan Muara Angke, Kelurahan Penjaringan, Kelurahan Pluit, Kelurahan Pademangan, Kelurahan Ancol, dan Kelurahan Tanjung Priok. Dampak lain yang menimpa ekosistem pesisir bisa disebabkan oleh naiknya permukaan air atau naiknya temperatur permukaan air, seperti memicu terjadinya coral bleaching dan coral desease, terganggunya habitat mangrove dan ekologi rumput laut dan ganggang (Windriani, 2009:12). Dampak lain yang timbul akibat naiknya permukaan laut adalah mundurnya garis pantai. Tidak hanya pantai utara Jawa, garis pantai utara dari Propinsi Jawa Tengah sampai Propinsi Banten juga akan berpotensi mengalami kemunduran. Jika di Marunda diperkirakan garis pantai akan mundur sejauh 32,05 meter, maka di pantai Bedono Kabupaten Demak kemundurannya mencapai hingga 175,60 meter (Windriani, 2009:22-23). 1.4. Integrated Coastal Zone Management dan Waterfront City Dengan demikian, timbul suatu pertanyaan, bagaimanakan Integrated Coastal Zone Management dapat membangun kawasan pesisir dalam menghadapi perubahan iklim? Ada empat jenis respon yang disampaikan dilakukan dalam perencanaan kota terhadap naiknya permukaan air laut. Pertama, tidak melakukan tindakan apapun (doing nothing) kerena tidak yakin dengan kenaikan permukaan air laut. Kedua, daerah garis pantai dimundurkan (managed retreat) agar tersedia tempat untuk menampung luapan air akibat kenaikan permukaan. Ketiga, beradaptasi secara struktural (structural protection) terhadap kenaikan permukaan air laut. Misalnya, rumah dibuat bisa terapung. Keempat, respon yang dilakukan tidak hanya terkait kenaikan permukaan air laut, tetapi lebih jauh mengarah kepada pendekatan regional. Respon perencanaan ini melingkupi seluruh permasalahan terkait pesisir seperti ekosistem pesisir, area rekreasi dan perikanan. Respon ini dinamakan dengan Integrated Coastal Zone Management (ICM) (Antin, 2009:16-24). Antin menjelaskan bahwa pendekatan ICM satu kota menghadapi masalah kenaikan permukaan air laut bekerja sama dengan kota-kota lainnya secara nasional dan internasional. Kota dan negara bersama-sama membuat kesepakatan, tentang informasi kenaikan muka air laut di masing-masing wilayah misalnya. Kerja sama bentuk lain, misalnya satu kota mengalami penurunan permukaan tanah. Kota yang mengalami sedimentasi dapat membantunya dengan mengirimkan sedimen. Kota-kota tersebut tinggal mengatur pengangkutannya. Pendekatan hybrid diyakini lebih efektif dalam mengatasi dan mengantisipasi naiknya permukaan air laut. Dalam tulisan ini, pendekatan ICM menjadi platform membangun kota pesisir yakni Waterfront City, dimana paradigma pembangunan

akan menyelaraskan pendekatan dengan berbasis kepada daratan dan lautan sebagai panduannya. 2. STUDI LITERATUR 2.1. Integrated Coastal Zone Management (ICZM) Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change IPCC (2004) dalam Dahuri (1996)[6], pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management) merupakan cabang ilmu baru bukan saja di Indonesia, namun juga ditingkat dunia. Dahuri mengatakan bahwa pengelolaan zona pantai terpadu (ICZM) adalah sebuah proses untuk pengelolaan pantai menggunakan pendekatan terpadu, mengenai semua aspek dari zona pantai, termasuk batas geografis dan politik, dalam usaha untuk mencapai pengelolaan sumberdaya yang keberlanjutan. Konsep ini mulai diperkenalkan pada tahun 1992 selama KTT Bumi Rio de Janeiro[7]. Kebijakan tentang ICZM diatur dalam persidangan dari puncak dalam Agenda 21, Bab 17. Komisi Eropa mendefinisikan ICZM sebagai berikut: ICZM adalah dinamis, multidisiplin dan proses berulang-ulang untuk mempromosikan pengelolaan berkelanjutan wilayah pesisir. ICZM meliputi perencanaan (dalam arti luas), pengambilan keputusan, pengelolaan dan pemantauan pelaksanaan. ICZM menggunakan partisipasi dan kerjasama dari semua stakeholder untuk menilai tujuan-tujuan masyarakat dalam suatu wilayah pesisir, dan untuk mengambil tindakan terhadap tujuan-tujuan pertemuan ini. ICZM mencari, selama jangka panjang, untuk keseimbangan lingkungan, ekonomi, sosial, budaya dan tujuan rekreasi, semua dalam batas-batas yang ditentukan oleh dinamika alam. Konsep Terpadu di bagan diatas mengacu pada tujuan integrasi dari komponen darat dan laut dari wilayah pesisir, baik dalam waktu dan ruang. Dengan demikian ICZM dapat sangat bermanfaat bagi pembangunan perkotaan: memfasilitasi alokasi sumber daya; merencanakan resolusi konflik; memberikan perlindungan lingkungan hingga meningkatkan kualitas hidup manfaat ekonomi. Hal-hal tersebut diatas sendiri, merupakan prinsip-prinsip dasar pembangunan suatu Waterfront City (Kota Pesisir). Dimana isu-isu kawasan perkotaan dan pesisir harus diintegrasikan dalam proses, serta tidak dilihat sebagai penghalang namun sebagai keuntungan. Dan perencanaan kota-kota pesisir pantai harus mempertimbangkan ICZM sebagai proses manajemen dalam mengelola potensi sumber daya pesisir dan laut. 2.2. Waterfront City Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dalam Pedoman Kota Pesisir (2006)[9] mengemukakan bahwa Kota Pesisir atau Waterfront City merupakan suatu kawasan yang terletak berbatasan dengan air dan menghadap langsung ke laut, sungai, danau dan sejenisnya. Wilayah waterfront tersebut terletak dalam satu kota yang pada mulanya dapat diartikan sebagai simpul akhir untuk tempat penyimpanan sementara serta bongkar-muat produk yang diperdagangkan sebelum dikirim kewilayah lain, dengan kata lain biasa disebut sebagai daerah dermaga atau Dockland. 2.2.1. Karakteristik Kota Pesisir

Sebagai bagian dari kawasan pesisir, kota pesisir mempunyai karakteristik open acces, multi use, namun rentan terhadap kerusakan serta perusakan, sehingga dalam pengelolaannya mensyaratkan perlunya landasan keterpaduan. Kota pesisir merupakan kawasan yang strategis dengan berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya sehingga berpotensi menjadi prime mover bagi pengembangan wilayah lokal, regional dan nasional. Bahkan secara historis menunjukan bahwa wilayah pesisir ini telah berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat karena berbagai keunggulan fisik dan geografis yang dimilikinya. Secara sosial, potensi jumlah penduduk kota pesisir sangat besar dan dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang. Dengan mata pencaharian dalam sektor marjinal seperti buruh pelabuhan, nelayan kecil, industri perikanan rumah tangga dan lain-lain, maka tingkat penghasilan dan kesejahteraan masyarakatnya masih sangat rendah. Disamping itu dengan tingkat pendidikan yang belum memadai maka makin membuat sulit untuk berkembang. 2.2.2. Waterfront City di Indonesia Secara administratif kondisi kota pesisir pada era otonomi daerah, menunjukkan bahwa ada kecenderungan masing-masing daerah otonom memiliki kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayahnya. Kondisi ini berpotensi memunculkan adanya konflik kepentingan dan tumpang tindih antar sektor dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan kota pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi beragamnya sumberdaya pesisir yang ada serta karakteristik wilayah pesisir yang open acces sehingga mendorong wilayah pesisir telah menjadi salah satu lokasi utama bagi kegiatankegiatan beberapa sektor pembangunan (multi-use). Secara fisik, kota pesisir di Indonesia merupakan pusat pelayanan aktivitas sosial-ekonomi, dimana didalamnya terkandung berbagai aset sosial dan ekonomi yang memiliki nilai ekonomi dan finansial yang sangat besar. Akan tetapi pembangunan kota pesisir berpotensi memberikan dampak lingkungan yang merupakan akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di daratan, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, permukiman dan sebagainya. Demikian pula dengan berbagai kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut. Pencemaran akibat kegiatan industri, rumah tangga dan pertanian di darat (land-based pollution sources) maupun akibat kegiatan di laut (marine-based pollution sources) termasuk perhubungan laut dan kapal pengangkut minyak dan kegiatan pertambangan dan energi lepas pantai. Secara ekonomi, kota pesisir memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam PDB nasional. Selain itu, pada wilayah ini juga terdapat berbagai sumber daya masa depan dengan potensi yang belum dikembangkan secara optimal, misalnya potensi perikanan sekaligus investasi yang dapat berperan di dalamnya. Akan tetapi kemiskinan masyarakat pesisir dapat memperberat tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir menjadi tidak terkendali. Hal ini makin diperparah dikarenakan kerangka hukum yang tidak jelas, tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat yang masih rendah sehingga yang terjadi adalah pemanfaatan berlebih (over ekploitated) pada sumberdaya hayati laut. Secara politik dan hankam, sebagian kota pesisir juga merupakan kawasan perbatasan antarnegara maupun antar-daerah yang sensitif dan memiliki implikasi terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pembangunan yang belum merata,

keterbatasan sarana dan prasarana dan kurangnya pengawasan menjadikan kawasan ini rawan terhadap kegiatan ilegal dan kejahatan lintas negara seperti penyelundupan manusia, senjata, perdagangan obat-obatan terlarang, pencucian uang, imigran gelap, dan lain-lain. 2.3. Waterfront City di Jakarta Mayoritas kota-kota di Indonesia dapat dikategorikan sebagai kota pesisir. Beberapa pertimbangan yang melandasi hal ini diantaranya adalah lokasinya yang berada di wilayah pesisir, seperti Kota Jakarta Utara yang berada dipesisir bagian Utara Pulau Jawa. Berdasarkan pengamatan secara umum terhadap isu dan permasalahan yang sering muncul di pesisir kota Jakarta Utara, seperti abrasi, degradasi lingkungan, kepunahan ekosistem pesisir dan laut, sedimentasi, pencemaran, banjir, semakin menurunnya kualitas lingkungan hingga isu yang menjadi pembahasan saat ini yaitu kenaikan paras muka air laut di Tahun 2050, bahwa pada umumnya pesisir Kota Jakarta Utara dikembangkan tanpa mempertimbangkan jatidirinya, serta kurang memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dengan kelestarian lingkungan. Pembangunan yang tidak seimbang tersebut pada dasarnya disebabkan karena kota Kota Jakarta Utara memiliki potensi yang sangat beragam misalnya potensi perekonomian, potensi sumberdaya alamnya, serta potensi nilai estetika yang dimiliki. Selain ini Kota Jakarta Utara juga memiliki karakteristik unik yang berbeda dengan kota-kota lain di DKI Jakarta yang berbasis pada wilayah daratan. Sumberdaya alam di Kota Jakarta Utara khususnya yang berada di wilayah pesisir dan lautnya bersifat dinamis serta sifat kepemilikan laut yang merupakan asset umum (common property). Hal-hal inilah yang menyebabkan Kota Jakarta Utara ini khususnya wilayah pesisir dan lautnya merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan oleh beragam aktivitas (multi use). Realita ini merupakan faktor utama penyebab munculnya konflik pemanfaatan antar stakeholder maupun antar sektor yang memiliki akses terhadap pengembangan wilayah pesisir dan laut di Kota Jakarta Utara. Secara umum, kota pesisir di Indonesia berpotensi sebagai pusat biodiversity laut tropis dunia karena hampir 30% hutan bakau dan terumbu karang dunia terdapat di Indonesia. Karena itu adanya ancaman kenaikan muka air laut (sea level rise) sebagai akibat fenomena global warming memberikan dampak yang serius yang perlu diantisipasi penanganannya, termasuk di pesisir Kota Jakarta Utara. Kenaikan muka air laut akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil. Karena itu fakta bahwa luas hutan mangrove di Kota Jakarta Utara terus mengalami penurunan merupakan suatu hal yang sangat disayangkan. Apalagi keberadaan mangrove tersebut tidak dipertahankan karena digeser oleh fungsi-fungsi peruntukan lain, seperti proyek raksasa Reklamasi Pantai Jakarta Utara; maka dari itu terjadinya abrasi pantai, meningkatnya tingkat pencemaran dari sungai ke laut karena tidak adanya filter polutan, dan rusaknya zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya. 3. CRITICAL REVIEW, STUDI KASUS REKLAMASI PANTAI JAKARTA UTARA Rencana pengembangan reklamasi pantai di kawasan Pantai utara Jakarta seluas 2.700 Ha pada dasarnya merupakan upaya Pemerintah DKI Jakarta untuk meningkatkan kualitas

lingkungan Pantai Utara Jakarta serta dapat mewujudkan Jakarta sebagai kota pantai berkelanjutan (sustainable) yang sejajar dan bersaing dengan kota-kota lain di dunia seperti Sidney, Singapura dan Hongkong. Rencananya kawasan reklamasi yang dikembangkan harus dapat menjadi tempat tinggal dan tempat bekerja yang nyaman dan berkualitas, yang tidak hanya dicirikan dengan pertumbuhan investasi yang tinggi, tetapi juga kualitas lingkungan yang baik dan manusiawi, dengan dukungan partisipasi masyarakat dalam pembangunannya. Oleh karena itu, melalui Keppres Nomor 52 Tahun 1995, Presiden Soeharti kala itu memberikan kewenangan dan tanggung jawab kepada Gubernur DKI Jakarta untuk menyelenggarakan reklamasi kawasan Pantura Jakarta, yang ditindaklanjuti oleh Perda DKI No. 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta. Sementara itu Perda DKI Jakarta No. 6 Tahun 1999 tentang RTRW Jakarta 2010 juga ikut memberikan panduan kebijakan terhadap penyelenggaraan reklamasi Kawasan Pantura Jakarta. Secara teknis, kawasan Pantura Jakarta yang terletak di Kotamadya Jakarta Utara, direncanakan sebagian merupakan kawasan hasil reklamasi dan sebagian lagi merupakan kawasan daratan pantai lama. Areal hasil reklamasi akan meliputi bagian perairan laut yang diukur dari garis pantai utara Jakarta secara tegak lurus ke arah laut, sehingga mencakup garis yang menghubungkan titik-titik terluar dengan kedalaman laut 8.00 m. Panjang garis pantai Utara Jakarta adalah 32 km, meliputi garis pantai yang berbatasan dengan Pantai Utara Tangerang di bagian Barat hingga perbatasan Pantai Utara Bekasi di Bagian Timur. Areal daratan pantai lama termasuk kawasan Pantura Jakarta mencakup Kecamatan Pademangan, Penjaringan, Koja, Tanjung Priok dan Cilincing. Di bagian selatan, kawasan Pantura Jakarta berbatasan dengan Kecamatan Kelapa Gading di Kodya Jakarta Utara, Kodya Jakarta Barat, Kodya Jakarta Pusat dan Kodya Jakarta Timur. Kebijakan reklamasi kawasan Pantura Jakarta ditunjukan untuk mewujudkan lahan hasil reklamasi seluas 2700 ha yang akan dilaksanakan secara terpadu dengan penataan kembali daratan pantai lama seluas 2500 ha melalui program revitalisasi untuk meningkatkan kualitas fungsional, visual maupun lingkungannya dan biaya dari dana pembangunan fisik reklamasi, baik yang sifatnya langsung maupun tidak langsung. Secara visi, pengembangan Pantura Jakarta memiliki nilai yang sangat positif yakni : 1. Terwujudnya kota Jakarta sejajar dengan kota besar lainnya di dunia dengan bercirikan kota pantai, 2. Terwujudnya kota pantai Jakarta siap menghadapi persaingan global, Sedangkan misi dari pengembangan Pantura Jakarta adalah : 1. Terciptanya model mamanjemen pembangunan pantai yang baru dan handal (intregrated coastal management). 2. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan mkesejahteraaan dan keamanan.

3. Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan dengan memperhatikan kawasan lindung dan kawasan budidaya serta kelestarian bangunan dan lingkungan bersejarah. 4. Mengendalikan pertumbuhan kota jakarta kearah selatan untuk melindungai wilayah selatan Jakarta sebagai daerah resapan air. Berdasarkan penyampaian konsep, visi dan misi diatas, dapat kami simpulkan bahwa, pada dasarnya konsep reklamasi yang menurut rencananya dilaksanakan pada tahun 1995 namun hingga saat ini belum terlaksana adalah konsep pembangunan pantai terpadu, di antaranya terdiri dari penataan dan pengelolaan pantai dan pesisir secara terpadu, yang merupakan pendekatan lintas sektor. Namun pada dasarnya reklamasi bukanlah jawaban yang paling tepat dari upaya penataan kawasan pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management). ICZM tidak memandang upaya reklamasi sebagai suatu proses pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan, karena reklamasi secara harafiah (reclaim) merupakan proses penambahan luas daratan dan mengurangi luas lautan. Adalah benar bahwa ICZM bersifat dinamis demi kesejateraan masyarakatnya, namun jika berpikir jangka panjang, dan juga untuk keseimbangan lingkungan; maka tidak hanya faktor ekonomi yang diperhatikan, karen amasih ada faktor-faktor lain seperti sosial, budaya dan terutama lingkungan, yang semuanya harus berada dalam batas-batas yang ditentukan oleh dinamika alam. Proses reklamasi juga secara nyata berdampak positif dan negatif, dengan kata lain tidak langsung menyelesaikan masalah, namun juga menambah permasalahan baru, apalagi jika menghitung dampak masif reklamasi secara jangka panjang, maka penataan dan pengelolaan pantai dan pesisir secara terpadu dalam wujud reklamasi adalah sangat kurang tepat. 4. JAKARTA WATERFRONT CITY Jakarta Waterfront City, pada dasarnya merupakan pembangunan pantai terpadu yang meliputi pembenahan, penataan dan pembangunan pantai, sebagai proses menangani masalah perkotaan yang jauh lebih besar. Seperti, penataan permukiman dipesisir pantai, penanganan masalah sampah, regulasi masalah pembuangan limbah serta masalah sosial yang menyangkut kondisi nelayan dan kondisi kesehatan masyarakat di sekitar pantai. Jakarta Waterfront City merupakan konsep yang berbasis pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan karena itu sangat berkorelasi dengan kehidupan nelayan. Saat ini, keadaan obyektif Pantura Jakarta sungguh memprihatinkan dan terjadi degradasi terus menerus terhadap lingkungan maupun infrastruktur yang ada. Jumlah nelayan dan pemukimannya terus bertambah, begitu juga dengan fasilitas yang perlu diperbaiki. Mangrove semakin merana dan rusak, serta sudah tidak lagi menjadi tempat memijah ikan. Sampah dimana-mana memenuhi 13 sungai dan bantaran sungai penuh dengan hunian tanpa izin. Kecuali itu sarana transportasi, air bersih, kota tua yang sangat berpotensi untuk wisata, semua dalam keadaan yang memprihatinkan. Sebagai kota pesisir yang merupakan kawasan strategis, Jakarta Utara perlu dikembangkan sebagai Jakarta Waterfront City yang mempunyai tujuan utama merevitalisasi, memperbaiki kehidupan masyarakat pantai, termasuk nelayannya. Pantai juga ditata kembali bagi

kesejahteraan masyarakat, dengan memberdayakan keunggulan ekonomis dari pantai tersebut, seperti pariwisata, industri, pelabuhan, pantai untuk publik dan juga perumahan. Pada dasarnya, pengelolaan pesisir secara empirik tidak harus dilakukan dengan basis akar teori yang kuat, seperti halnya ilmu-ilmu dasar.Pengelolaan pesisir harus mengkombinasikan berbagai pendekatan mulai dari teoritis sampai pragmatis untuk mencapai tujuan pengelolaan itu sendiri. Pengelolaan pesisir memiliki fungsi utama untuk mengelola seluruh keiatan dan apa yang ada dalam wilayah pesisir dalam satu kerangka pengelolaan yang telah didesain sebelumnya (Kay dan Adler, 1999) [12]. Dibatasi oleh air, Jakarta Waterfront City ditantang untuk menggunakan lahan terbatas sekaligus melindungi sumber daya alam kritis dari efek berpotensi merusak lingkungan. Jakarta Waterfront City harus mempertimbangkan keseluruhan masalah ketika mengelola sumberdaya daratan dan lautan. Beberapa hal yang menjadi prinsip dalam Jakarta Waterfront City adalah : 1) Fleksibel terhadap Bahaya Alam dan Perubahan Iklim

Jakarta Waterfront City harus siap untuk merespon dan pulih dari bahaya yang diciptakan oleh cuaca dan iklim. Ketidakpastian tentang bagaimana iklim akan berubah tidak boleh ditepikan dalam melindungi infrastruktur dan lingkungan. Perencanaan infrastruktur dan prasarana dengan prinsip-prinsip smart growth principal akan membuat efisien investasi di gedung dan infrastruktur lainnya, melindungi dan memulihkan daerah lingkungan kritis, dan melindungi kesehatan masyarakat. Dalam menerapkan prinsip-prinsip ini pada setiap proyek pembangunan, perlu secara eksplisit dipertimbangkan bahaya alam, termasuk potensi dampak perubahan iklim. Ketahanan terhadap bencana alam, seperti kenaikan permukaan laut, adalah terkait erat dengan penentuan tapak dan desain pembangunan, serta hijau yang dibangun dan infrastruktur yang mendukung. Well-planned and well-maintained natural systems dapat membantu melindungi Jakarta Waterfront City dalam banyak cara. Misalnya, dataran banjir alami dapat bertindak sebagai pelindung penyangga yang menyerap air banjir, mengurangi kecepatan dan jumlah banjir, mengendalikan erosi, melindungi pasokan air minum dan kualitas air, dan isolasi bangunan dan jalan-jalan dari kerusakan. 2) Tahan terhadap Efek-Efek Kombinasi dari Pembangunan

Kawasan pesisir merupakan kawasan hilir yang menerima efek kumulatif dan sekunder dari pembangunan didaerah hulu. Misalnya, pembangunan perumahan dan pembangunan jalan di dataran tinggi bagian dari DAS pantai dapat menyebabkan kumulatif dan dampak pesisir sekunder, seperti mengurangi aliran air tawar ke daerah pantai, degradasi kualitas air muara, dan peningkatan polusi udara dari peningkatan lalu lintas. Dampak dari setiap proyek pengembangan tunggal mungkin kecil, tetapi ketika dikombinasikan dengan semua dampak pembangunan lainnya ke daerah aliran sungai sepanjang waktu, mereka bisa mengancam pesisir dan pantai rapuh sumber daya dan kualitas kehidupan. Karena itu kebijakan Jakarta Waterfront City harus diutamakan mengatur pertumbuhan dan perkembangan di sepanjang jalur air yang peka terhadap kerentanan lingkungan dan dapat melindungi aset-aset perkotaan yang berharga.

3)

Membangun Paradigma Melestarikan Lingkungan Pesisir

Pemerintah melalui partisipasi masyarakat harus mampu mendorong kesadaran masyarakat secara regeneratif akan pentingnya menjaga ekosistem lingkungan pesisir. Masyarakat harus memahami bahwa pesisir dan laut sebagai common property adalah hak bersama. Paradigma ini harus dijadikan doktrin kepercayaan publik termasuk lewat penggalian sejarah budaya dan kebanggaan bangsa, karena paradigma ini adalah faktor kunci yang mempengaruhi partisipasi masyrakat secara aktif dalam mendorong dan menjaga pembangunan pesisir dan pantai Jakarta Waterfront City. 4) Perlidungan Hukum melalui Undang-undang dan Peraturan Daerah

Kebijakan dan program tidak akan bertahan tanpa dukungan UU dan peraturan daerah yang mengatur dibawahnya. Masalah daratan dan pesisir merupakan isu yang sangat kompleks karena itu perlu payung hukum yang fleksibel dan dinamis sekaligus kuat dalam menata penggunaan lahan, melestarikan lingkungan, dan mendorong pembangunan infrastruktur untuk pembangunan. Dengan demikian strategi pengembangan Jakarta Waterfront City adalah sebagai berikut, yaitu : 1. Pengembangan Jakarta Waterfront City dikembangkan berbasiskan ekonomi sumber daya laut, 2. Jakarta Waterfront City ditempatkan sebagai primemovers yang memiliki multi dampak untuk merevitalisasi berbagai fungsi yang sudah ada dan menjadi medium untuk pengembangan fungsi-fungsi baru 3. Mitigasi dan Adaptasi terhadap naiknya muka air laut diselaraskan dengan fungsifungsi. 4. Sosialisasi dan informasi pentingnya memahami Jakarta Waterfront City akan diterapkan melalui program-program pemberdayaan masyarakat, 5. Jakarta Waterfront City akan mendukung seluas-luasnya upaya pelestarian fungsi ekologis lingkungan dan biota lautnya. 5. PENUTUP Dengan melihat kembali kepada isu dan permasalahan serta potensinya, maka mengantisipasi dampak kenaikan muka air laut di Tahun 2050 nanti, dapat diposisikan sebagai salah satu coastal isu yang perlu diantisipasi dalam mengembangkan Jakarta Waterfront City. Karena pada dasarnya Jakarta Waterfront City perlu dikelola sedemikian rupa untuk dapat menciptakan lingkungan kehidupan kota pesisir yang nyaman, aman dan berkelanjutan. Dalam era globalisasi yang terjadi saat ini, batas teritorial dan letak geografis sudah tidak menjadi masalah lagi. Khusus negara-negara di Asia-Pasifik yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat pada dekade belakangan ini diprediksikan akan menjadi ajang kegiatan investasi dari negara-negara maju. Kesempatan ini dimanfaatkan tidak hanya untuk menarik modal tetapi sekaligus untuk merangsang pertumbuhan baru pada kawasan-kawasan yang strategis dengan model pembangunan yang dapat mengantisipasi perkembangan kota di masa yang akan datang maupun peningkatan kesempatan kerja.

Pada saat ini terjadi, maka Kota Jakarta Utara harus bangkit sebagai Jakarta Waterfront City harus yang berdiri sejajar dengan kota-kota pesisir didunia. Diharapkan konsep Jakarta Waterfront City dapat mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara maritim melalui berbagai pembenahan dikawasan pesisirnya, secara terpadu, terencana, adil dan makmur. DAFTAR PUSTAKA Adisasmita, Rahardjo. 2008. Ekonomi Archipelago. Jakarta: Graha Ilmu Antin, Elizabeth. 2009.How Are City Planning to Adapt to Threat Caused By Climate Change Induce Sea-Level Rise and Flooding? A Thesis In Partial Fulfillment of Requirement for The Degree of Master Art, Urban and Enviromental Policy Planning, Tufts University Cicin-Sain and Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management. Island Press, 1718 Connecticut Avenue, N.W. Suite 300, Washington DC. 20009. Dahuri. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, 2006. Pedoman Kota Pesisir. Departemen Kelautan dan Perikanan. Google Earth, Retrieved from : Googleearth.com Kay, R. and Alder, J. 1999. Coastal Planning and Management. London: EF&N Spoon. Articles in Refereed Publications. Alder, J. and Lugten, G. (in press). Pernetta, J. C. Milliman, J. D. 1995, Land- Ocean Interaction in the Coastal Zone (LOICZ) Implementation Plan, IGBP, Stockholm. 20. N. N Rencana Kawasan Reklamasi www.panturajakarta.blogspot.com Pantura Jakarta. 2007. Retrieved from :

United Nations Conference on Environment and Development, Earth Summit Retrieved from : http://www.un.org/geninfo/bp/enviro.html. Windriani, Umi et.al. 2009. Means of Adaption and Adaptation of Climate Change and Disaster At Coastal Areas and Small Island. Direktorat Pesisir dan Lautan, Direktoral Jenderal Kelautan,Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan

[1] Adisasmita, R. 2008. Ekonomi Archipelago [2] Adisasmita, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, 2006. Pedoman Kota Pesisir [3] Adisasmita, R. 2008. Ekonomi Archipelago [4] Hasanuddin Z. Abidin, Laboratorium Teknik Geodesi ITB, Penelitian 2008.

[5] Google Earth, Googleearth.com. [6] Dahuri, R. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu [7] United Nations Conference on Environment and Development, 1992 [8] Cicin-Sain and Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management [9] Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, 2006. Pedoman Kota Pesisir [10] Pernetta dan Milliman, 1995 Land- Ocean Interaction in the Coastal Zone (LOICZ) [11] Rencana Kawasan Reklamasi Pantura Jakarta. 2007. www.panturajakarta.blogspot.com [12] Kay dan Adler, 1999. Coastal Planning and Management

Anda mungkin juga menyukai