Anda di halaman 1dari 10

KEHIDUPAN BANGSA ARAB SEBELUM ISLAM

Tugas Terstruktur
Mata Kuliah Sejarah Hukum Islam
Dosen Pengampu : Dr. Syufa’at, M.Ag

Disusun Oleh :
Muhammad Haikal Oktavian
214110302079

HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI
PURWOKERTO
2023
KEHIDUPAN BANGSA ARAB SEBELUM ISLAM

A.Pendahuluan
Bangsa Arab sebelum Islam memiliki agama dan kepercayaan yang beragam, namun sebagian
besar adalah penyembah berhala. Mereka menyembah berbagai macam dewa dan dewi yang
diwakili oleh patung-patung yang ditempatkan di Ka’bah atau di tempat-tempat lain. Mereka
juga percaya dengan adanya jin, roh-roh halus yang dapat memberi manfaat atau mudarat kepada
manusia. Mereka juga melakukan berbagai macam praktik syirik, seperti meminta bantuan
kepada selain Allah, menyembelih hewan untuk selain Allah, dan mengadakan perdukunan atau
ramalan.
Selain penyembah berhala, ada juga sebagian kecil bangsa Arab yang menganut agama-agama
samawi, yaitu agama-agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada para nabi-Nya. Beberapa
agama samawi yang ada di jazirah Arabia sebelum Islam adalah:
 Agama Kristen (Nashara)
 Agama Yahudi (Yahud)
 Agama Zoroaster (Majusi)
 Agama Ibrahim (Din al-Hanafiyah)1
Kondisi masyarakat arab sebelum kedatangan islam berada dimasa jahiliah. Namun mengutip
dari repository Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN SUSKA), jahiliah tidak
merujuk pada bodoh. Arti dari kata jahiliah adalah kesombongan, kemarahan, ketidaktahuan.
Jahiliah juga berkaitan dengan kepercayaan sesat, peribadatan yang salah, kekuasaan yang
sewenang-wenang, dan ketidak adilan hukum. Kondisi itu semua yang menimbulkan rasa takut,
khawatir dan kekacauan yang tidak kunjung berakhir.2
Kondisi masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam ditulis Masudul Hasan dalam History of
Islam. Buku tersebut menceritakan, masyarakat Arab mengalami kemerosotan moral. Minuman
keras, judi, cabul, dan seks bebas adalah hal biasa. Kaum wanita diperlakukan seperti barang
bergerak yang dapat dijual atau dibeli. Para penyair mendendangkan keburukan moral dengan
penuh kebanggaan. Jika ada yang meninggal, maka anak mewarisi ibu tiri dan barang lainnya.
Anak bahkan bisa menikahi ibu tiri mereka. Yang lebih parah, anak perempuan yang baru lahir
akan dicekik atau dikubur hidup-hidup. Selain itu, perbudakan adalah hal wajar dengan majikan
yang berkuasa penuh hingga hidup mati. Dengan kondisi tersebut, mereka yang kaya hidup
bergelimang harta sedangkan yang miskin semakin kekurangan. Jurang pemisah antara
masyarakat kaya dan miskin terasa makin dalam dan jauh. Masyarakat kaya dapat
mengeksploitas yang lebih miskin.

1
Yatim, Badri. (1997). Historiografi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Hal.87
2
Hariyono, (1995). Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta: Pustaka Jaya, 1995. Hal. 90
B.Pembahasan
Bangsa Arab pra-Islam biasanya disebut Arab jahilyah. Bangsa yang belum berperadaban, bodoh
dan tidak mengenal aksara. Namun, bukan berarti tidak seorang pun dari penduduk masyarakat
Arab yang tidak mampu membaca dan menulis, karena beberapa orang sahabat Nabi diketahui
sudah mampu membaca dan menulis sebelum mereka masuk Islam. Ibnu Saad mengatakan,
“Bangsa Arab jahiliyah dan permulaan Islam menilai bahwa orang yang sempurna adalah yang
dapat menulis, berenang, dan melempar panah”. Bahkan Ibnu Habib al-Baghdadi sempat menulis
nama-nama bangsawan pada masa jahiliyah dan permulaan Islam. Hanya saja baca tulis ketika
itu belum menjadi tradisi, tidak dinilai penting, tidak pula menjadi tolak ukur kepintaran dan
kecendikiaan seseorang.
Secara asal-muasalnya masyarakat keturunan Arab terbagi menjadi dua golongan besar. Pertama,
berasal dari keturunan Qathan yaitu golongan Qathaniyun yang berada bewilayah di bagian
Selatan. Kedua, dari keturunan Ismail bin Ibrahim yaitu golongan Adnaniyun yang berada di
wilayah bagian Utara. Tetapi, dalam perjalanannya, kedua golongan ini saling berbaur akibat
dari perpindahan penduduk Jauh sebelum kedatangan Islam, jazirah Arab bagian Utara telah
ditemukan tradisi baca tulis. Tradisi tulis menulis di jazirah Arab terus berlanjut sampai
datangnya Islam. Berdasarkan kabar dari sebagian sejarawan bahwa pada saat datangnya Islam
di Mekah hanya terdapat tujuh belas orang yang dapat menulis. Namun kabar itu menurut Azami
belum lengkap mengingat Mekah merupakan kota kosmopolitan, pasar barter, dan persimpangan
jalan yang dilalui para kafilah. Lagi pula, data yang dikemukakan ternyata belum memasukkan
sejumlah nama yang juga dikenal memiliki kemampuan tulis menulis. Meskipun sumbernya
benar. Shubhiy al- Shalih berpendapat bahwa kabar ini pasti bukan berdasarkan hasil penelitian
yang komprehensif, melainkan hanya perkiraan yang masih samar-samar.3
Dalam tradisi keilmuwan Islam, ilmu sejarah dianggap sebagai ilmu- ilmu keagamaan karena
pada awalnya terkait erat dengan ilmu hadis. Seperti pada masa pra Islam dan awal Islam Bangsa
Arab tidak mencatat sejarah mereka. Mereka menyimpan catatan itu dalam bentuk hafalan, hal
ini dikarenakan mereka tidak mengenal tulisan, tapi tradisi lisan lebih dihargai dan diutamakan
ketimbang tradisi tulisan. Karena itu sejarah awal Bangsa Arab hanya berupa ungkapan
mengenai berbagai peristiwa dan perperangan yang disimpan dalam bentuk hafalan dan
ditransfer ke pihak lain melalui tradisi lisan. Jika dilihat pada konteks lain, sosialpolitik pra-
Islam sangat rendah dan tidak berkembang. Apalagi dalam konteks ini, masyarakat Arab pra-
Islam telah terbentuk kabilah. Kemudian dari beberapa kabilah terbentuknya suku. Jadi,
sebetulnya pada masa Arab pra-Islam sudah terbentuk identitas masyarakat Arab itu sendiri.
Namun, karena penekanannya pada hubungan kesukuan yang kuat, kesetian terhadap suku harus
dijaga dan solidaritas yang tinggi, maka sering terjadi kekacauan dan peperangan diantara suku-
suku yang ada.
Masyarakat Arab pra-Islam merupakan kancah peperangan terus menerus. Sehingga kebudayaan
mereka tidak berkembang. Itulah salah-satu penyebab bahanbahan sejarah Arab pra-Islam sangat
langkah untuk ditemukan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab. Pengetahuan tentang Arab pra-
3
Su’ud, Abu. (2003). Islamiologi, Sejarah, Ajaran, dan perannya dalam peradaban umat manusia. Jakarta: Rineka
Cipta. Hal. 106.
Islam diperoleh melalui syairsyair yang beredar di kalangan para perawi syair. Contohnya, pada
masa pra-Islam selalu diadakan perlombaan syair di pasar Ukaz, kemudian syair-syair yang
dinyatakan menang langsung digantung di dinding Ka’bah oleh panitianya. Walaupun syair-syair
yang melalui tradisi lisan, tetapi tetap menekankan pada unsur fakta. Terlepas dari kondisi
lingkungannya, sedapat-dapatnya tidak mengalami perubahan dalam proses berfikir manusia.
Jadi, masyarakat Arab pra-Islam memiliki tradisi atau kebiasaan tersendiri untuk mengukir
semua sejarah yang ada pada zamannya. Mereka tidak menggunakan tulisan untuk
mengabadikan sejarah, melainkan dengan tradisi lisan yang mereka anggap lebih dihargai dan
hormati.
Untuk melacak jauh kebelakang sejarah perjalanan dan warisan turuntemurun masyarakat Arab
pada masa jahiliyah. Maka kita harus mengarahkan pada tradisi lisan yang mereka miliki. Orang-
orang Arab sebelum Islam memang telah mengenal tradisi yang menyerupai bentuk sejarah lisan.
Itulah yang disebut dengan hari-hari penting (al-Ayyam) dan silsilah (al-Ansab) pada
masyarakata Arab pra-Islam.
1. Al-Ayyam

Al-ayyam adalah peristiwa peperangan antar kabilah Arab. Dilingkungan kabilah Arab jahiliyah
sering terjadi perang antar kabilah atau suku baik disebabkan perselisihan untuk memilih
pemimpin, perebutan sumber air dan perebutan padang rumput untuk pengembalaan binatang
ternak. Karen Amstrong dalam (Liputo, 2014) menyebutnya dengan istilah ghazu “serangan”
yang merupakan jalan pintas untuk mendistribusikan sumber daya guna memenuhi seluruh
kebutuhan pada saat itu. Pihak penyerang akan menyerbu rombongan dari suku lawan dan
membawa pergi barang jarahan mereka. Dalam penyerangan tersebut, mereka sangat berhatihati
agar tidak ada korban jiwa karena hal itu akan memancing kemarahan dan aksi balas dendam.
Ayyam al-Arab sendiri secara etimologi memiliki arti hari- hari penting bangsa Arab. Disebut
demikian karena peperangan tersebut hanya tejadi di siang hari. Sementara pada malam harinya
mereka berhenti berperang, beristirahat untuk menunggu hari esok dan melanjutkan perang
kembali.4
Kemudian, al-Ayyam juga merupakan kumpulan cerita yang berbentuk lisan yang merajuk pada
soal-soal yang berkaitan dengan kegiatan masyarakat Arab di zaman jahiliyah. Segala kegiatan
dan tanggung jawabnya adalah takluk sepenuhnya kepada suku-suku yang terlibat. Adapun isi
dari Ayyam al-Arab ini adalah perang-perang dan kemenangan-kemenangan, untuk tujuan
5
membanggakan diri terhadap kabilahkabilah yang lain. Informasi ini diabadikan dalam bentuk
syair mapun prosaprosa yang diselingi syair- syair. Syair inilah yang kemudian melestarikan
perpindahan dan mendiseminasikan berita tersebut. Apabila syair itu terlupakan maka riwayat-
riwayat kuno juga terlupakan. Hal inilah yang memungkinkan sejarawan masa Islam mengetahui
masa tentang Arab. Meskipun tidak semuanya menggambarkan kenyataan, berita itu tentu
bertolak dari realitas. Meskipun al Ayyam merupakan karya sastra yang mengandung informasi
sejarah namun peristiwa-peristiwa yang direkamnya tidak sistematis, terputus-putus dan setiap
informasi yang disampaikannya berdiri sendiri-sendiri dan tidak memperhatikan waktu dan
4
Tarhini, Muhammad A. (1991). Al-Mu’arrikhun wa al-Tarikh al-’Arab. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Illmiyyah. Hal. 222.
5
ad-Durl, Abdul Aziz. (1960). Bath fi Nash’at Ilmu at-Tarikh inda al-Arab. Beirut: Daral-Sadir. Hal. 235.
kronologinya serta tidak mempertimbangkan kausalitas sejarah dan teori-teori sejarah tertentu.
Tradisi al-Ayyam pun sendiri diperkirakan sudah cukup lama dikalangan bangsa Arab.
Faktanya, sejarah yang tertuang dalam Taurat berbentuk al-Ayyam. Menurut tradisi al-Ayyam
tidak disandarkan dari sumber tertulis, namun sejak awal kedatangan Islam pun, tradisi lisan
masih digunakan sebagai referensi. Ciri-ciri umum al-Ayyam yaitu; pertama, perhatian
dicurahkan pada kabilah Arab dan kisah peperangan disampaikan secara lisan dalam bentuk
prosa yang diselingi syair. Kedua, riwayat atau kisah kabilah diturunkan secara lisan, sehingga
menjadi milik bersama kabilah yang bersangkutan. Ketiga, tidak teraturnya kronologi dan waktu.
Keempat, objektifitasnya diragukan karena mengagungkan satu kabilah dan merendahkan
kabilah lain. Kelima, disamping sebagian informasinya tidak faktual, masih bisa ditemukan
faktafakta yang menunjukkan kebenaran sejarah.
Peristiwa-perisiwa perang antar kabilah-kabilah Arab itu diabadikan dalam gubahan syair atau
kisah yang diselang-selingi dengan syair, yang dimaksudkan untuk tujuan membangga-
banggakan kabilah-kabilah lainnya. Syair atau kisah yang diselang-selingi syair itu, pada masa
pra-Islam, diwariskan turuntemurun secara lisan. Syair-syair dan prosa itu, pada masa awal Islam
dihimpun secara tertulis pada abad ke-2 H atau 8 M, dalam buku- buku terutama buku yang
bernuansa sastra.
Pengaruh al-Ayyam sangatlah kuat sehingga mampu bertahan hingga abad 8 M atau 2 H.
Penyampaian sejarah secara lisan merupakan ciri persejarahan Arab pra-Islam. Para pembawa
cerita sejarah sendiri tidak berminat untuk menyampaikan informasih sejarah secara serius,
seperti berita peperangan. Mereka lebih berminat untuk menghiburkan hati para pendengar.
Kisah al-Ayyam di dalamnya mengandung ciri-ciri sejarah namun pada dasarnya ia tidak
dirancang untuk menghasilkan bahan sejarah.
Tujuan utama penulisan al-Ayyam sebenarnya adalah untuk mengembangkan ilmuilmu
kesusasteraan. Kebanyakan ahli-ahli sejarah enggan menerima alAyyam sebagai fakta sejarah
karena al-Ayyam sendiri berbentuk puisi dan legenda dan dipindahkan secara oral kepada sastra
yang berbau kedaerahan dan kesukuan . Namun, sebenarnya apa yang lebih penting disini adalah
tentang kesan dan pengaruh al-Ayyam dalam penulisan sejarah. Ramai diantara ahli-ahli bahasa
Arab, ahli keturunan dan sejarawan Islam seperti Abu Ubaidah, Ibnu Qutaibah, alMada’ini, al-
Isfahani, dan Ibn al-Atir telah dipengaruhi al-Ayyam. Dalam konteks ini, Haji Khilafah dalam
bukunya menyatakan bahwa al-Ayyam adalah salah satu sumber terpenting bagi sejarah Islam.
2. Al-Anshab

Al-Anshab adalah bentuk tradisi pra-Islam yang mengandung banyak sejarah yang artinya
silsilah. Al-Anshab adalah kata jamak dari kata “nasab” yang berarti silsilah (genealogi). Sejak
masa jahiliyah orang-orang Arab sangat memperhatikan dan memelihara pengetahuan tentang
nasab. Ketika itu pengetahuan tentang nasab merupakan salah satu cabang yang dianggap
penting. Setiap kabilah mengahfal silsilahnya, semua anggota keluargnya mengahafalnya agar
tetap murni dan silsilah itu dibanggakan terhadap kabilah lain.
Meskipun di dalam al-Ansab ada petunjuk sejarah, namun tidak bisa dikatan bahwa ini adalah
ekspresi kesadaran bangsa Arab terhadap sejarah, karena pertama, pada masa-pra Islam perhatian
terhadap silsalah belum mengambil tradisi tulis baru sebatas hafalan. Kedua, pengetahuan
tentang silsilah akan lenyap jika tidak ada yang menghafalnya. Ketiga, hafalan mereka tentang
nasab-nasab bercampur dengan mitos. Keempat, tradisi ini tidak menyebar pada sejarah ”umum”
yang meliputi setiap kabilah, karena mereka memang belum mengenal tanah air.
Kitab sejarah yang memaparkan nasab-nasab Arab dan asal muasal mereka disebut kitab al-
Anshab. Orang-orang mempunyai kelebihan dalam bidang ilmu tersebut. Sebagai rasa
kefanatikan terhadap kabilah yang bersambung sebelum Islam. Ada beberapa kitab al-Anshab
yang sangat terkenal dengan nasab ini adalah kitab Jamharatun Nasab karangan Muhammad bin
Saib al-Kalabi, kitab Nasabun Quraisy karangan Mus’ab bin Zubairi, dan kitab Jamharatu Ansab
al-Arab karangan Ibnu Hazm al- Andalusi. Perhatian orang-orang Arab terhadap nasab semakin
berlanjut, walaupun Rasulullah Saw. telah melarang umatnya untuk berbangga-bangga dengan
kabilah.

Pengaruh Tradisi Arab Pra-Islam Terhadap Perkembangan Hukum Islam


Hukum Islam pada awal perkembangannya sebenarnya sudah bersifat fleksibel. Hal tersebut
tampak pada usaha hukum Islam untuk tidak menghapus secara total tradisi Arab pra-Islam yang
sudah ada. Hukum Islam bahkan mengadopsi tradisi-tradisi Arab pra-Islam seperti poligami,
talak, waris, dan lain sebagainya kemudian menyesuaikan tradisi tersebut dengan ajaran Islam.
Para ahli hukum Islam berpendapat bahwa tradisi pada masa Arab pra-Islam juga menjadi
sumber dan materi dalam hukum Islam-selain dari al-Qur’an dan Hadits–yang hingga saat ini
diterapkan oleh umat muslim. Aspek penting yang berasal dari tradisi Arab pra-Islam yang tetap
bertahan dan kini telah menjadi hukum Islam, bisa dilihat dalam wilayah hukum keluarga.
Adapun beberapa aspek penting dalam hukum keluarga, seperti perkawinan, perceraian, waris,
dan zhihar. Poligami yang telah dikuatkan oleh al-Qur’an dan Sunnah merupakan praktek umum
dari tradisi Arab sebelum Islam. Bagi mereka sunnah berarti seluruh peraturan yang sesuai
dengan tradisi-tradisi Arab dan warisan-warisan nenek moyang, serta adat kebiasaan. Menurut
bangsa Arab kuno, sunnah adalah apa saja yang telah menjadi adat serta dianggap benar dan
patut, apa yang dilakukan nenek moyang mereka pantas ditiru.6
Sebelum ajaran Islam datang, masyarakat Arab juga telah mengenal praktek poligami. Laki-laki
bebas beristri berapapun yang mereka mau, dan apabila sudah bosan mereka juga bebas
menceraikan istri-istrinya kapan saja (Hamka, 1994: 106). Poligami sudah ada dan diatur oleh
bangsa Arab sebelum masa kerasulan Muhammad, oleh karena itu poligami yang diusung oleh
Islam sebenarnya mengacu pada tradisi Arab pra-Islam.7
Bangsa Arab pra-Islam juga telah mengenal sistem warisan walaupun belum proporsional dalam
hal pembagian menurut kehendak dan wasiat orang yang akan meninggal. Jika ia tidak memberi
6
Journal of Islamic and Law Studies 3 (1), 119-146
7
(Robert Roberts, 1977: 8).
wasiat maka warisannya akan kembali kepada ahli waris dari ashabah yang laki- laki dan mampu
berperang. Para wanita dan anak-anak tidak mendapat bagian warisan meskipun mempunyai
hubungan yang sangat dekat dengan orang yang mewarisi. Istilah kalalah dalam waris
sebenarnya telah digunakan dalam banyak bahasa, diantaranya yaitu bahasa Ibrani, Semit, dan
Arab. Dalam bahasa Ibrani kalalah berarti anak menantu perempuan atau saudara menantu
perempuan, dan inilah sebenarnya arti aslinya. Akan tetapi dalam Islam, kalalah berarti orang
yang mati tanpa meninggalkan ibu, bapak, maupun anak.8
Berikut tentang fase perkembangan hukum Islam, hal ini bertujuan untuk mengetahui sejarah
panjang legislasi hukum Islam pada era awal kerasulan, dan faktor apa saja yang mempengaruhi
serta implikasinya terhadap perkembangan hukum Islam.
a. Periode Perkembangan Hukum Islam
Perkembangan hukum islam terbagi menjadi tiga periode, yaitu:
a. Periode Awal
Periode pertama ini juga disebut dengan era awal pembentukan (formative era) hukum Islam.
Pada periode ini hukum Islam masih mengadopsi aturan dari tradisi lokal masyarakat, khususnya
tradisi Arab pra-Islam.9
b. Periode Kedua
Periode ini terjadi pada sekitar akhir abad kedua, pada periode ini muncul dan berkembang
empat madzhab, yaitu Maliki dengan teorinya ‟amal ahl almadinah/ahl al-hadits, Hanafi dengan
teori istihsan/ahl al-ra‟y, Syafi’i menawarkan teori al-qiyas sebagai penengah akibat ketegangan
yang muncul antara ahl al- hadits dan ahl al- ra‟y, dan Hanbali dengan teori istishab. Mereka
semua adalah imam madzhab fiqih dalam Islam. Peninggalan mereka dianggap sebagai amalan
ilmu fiqih yang besar dan abadi yang menjadi kemegahan bagi agama Islam serta kaum
muslimin pada umumnya (Ahmad Asy-Syurbasi, 2008: 1). Keempat imam madzhab ini menjadi
rujukan bagi umat Islam dalam permasalahan hukum Islam, yang dalam aplikasinya mereka
memilih salah satu dari keempat madzhab tersebut. Pada masa ini perkembangan hukum Islam
menjadi rigid dan statis, hal ini disebabkan adanya sebuah jargon yang menyatakan bahwa pintu
ijtihad telah tertutup.10
c. Periode Ketiga
Periode ketiga ini merupakan era modern perkembangan hukum Islam. Pada level ketiga ini,
muncul suatu argumen yang menyatakan bahwa perundang-undangan klasik dianggap tidak
mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer. Oleh karena itu diperlukan pembaruan
(reform) dalam kajian hukum Islam. Menurut Herbert Liebesny, periode ini masih berlangsung
hingga saat ini. Sehingga muncul para tokoh pembaharu/modernis seperti Mahmud Saltut dengan
mengusung teori muqaranah al-madhahib, Farid Esack menawarkan teori pembebasan,

8
Rasyad Hasan Khalil, 2009: 39.
9
Akh. Minhaji, 2001: 13.
10
Akh. Minhaji, 2001: 14.
kemudian Fazlur Rahman dengan teori double movement, dan masih banyak lagi tokoh- tokoh
modernis lainnya.11

Kesimpulan
11
Akh. Minhaji, 2001: 15.
Dengan melihat pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bangsa Arab pra-
Islam pada masa itu, dikenal jauh dari berperadaban bahkan jauh dari kata manusiawi.
Peperangan terjadi di mana-mana, judi, mabukmabukan, mengundi nasib, berzina dan lain
sebagainya. Sehingga, masyarakatnya dikenal dengan sebutan jahiliyah. Tetapi, ada satu hal
yang sangat menonjol di dalam tradisi masyarakat Arab pra-Islam yaitu dikenal dengan tradisi
menghafal. Masyarakat Arab pra-Islam bukan berarti tidak ada yang tau menulis akan tetapi,
mereka lebih merasa terhormat ketika bisa menghafalkan secara lisan tentang suatu peristiwa,
dibandingkan dengan menulis. Masyarakat Arab pra-Islam mempertontonkan kelebihan di
bidang sastranya melalui syairsyair yang diperlombakan.
Sebelum islam datang pun bangsa arab sudah mengenal berbagai macam ajaran islam
diantaranya seperti, praktek poligami. Laki-laki bebas beristri berapapun yang mereka mau, dan
apabila sudah bosan mereka juga bebas menceraikan istri-istrinya kapan saja. Dan sistem
warisan walaupun belum proporsional dalam hal pembagian menurut kehendak dan wasiat orang
yang akan meninggal. Jika ia tidak memberi wasiat maka warisannya akan kembali kepada ahli
waris dari ashabah yang laki- laki dan mampu berperang.

DAFTAR PUSTAKA
Muzhiat, A. (2019). Historiografi Arab Pra Islam. Tsaqofah, 17(2), 129-136.

Amri, K. (2022). Sosiohistoris Masyarakat Arab Pra Islam. Jurnal Mumtaz, 2(1), 1-7.

Islam, P. H., Ridwan, M., Chatib, A., & Rahman, F. (2021). Sejarah Makkah Dan Madinah Pada
Awal Islam. Sejarah, 7(1).

Asy-Syurbasi, Ahmad, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab Jakarta: AMZAH, 2008.

Arfa, Ananda, Faisar, Sejarah Pembentukan Hukum Islam Jakarta: Pustaka Pelajar, tanpa tahun.

Tarhini, Muhammad A. Al-Mu’arrikhun wa al-Tarikh al-’Arab. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Illmiyyah. 1991

Anda mungkin juga menyukai