Anda di halaman 1dari 15

30

HUBUNGAN ANTARA Hs-CRP dengan VIRAL LOAD PADA PASIEN HIV DERAJAT I-IV
di RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

I. PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
- epidemiologi HIV
Penyakit Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) hingga
saat ini masih menjadi masalah kesehatan yang terus meningkat dan kompleks dari tahun ke tahun di seluruh
bagian dunia (5). Epidemik HIV terus meningkat setelah di Afrika ditemukan suatu infeksi zoonotik dengan
infeksi Simian Immunodeficiency Viruses dari primata, sehingga Sub-saharan Afrika terutama Afrika Selatan
memiliki masalah global HIV tertinggi yaitu 70,8%. (1) Epidemi AIDS dalam lingkup global dilaporkan per
tahun 2016 tercatat 36,7 juta orang yang hidup dengan HIV; 1,8 juta orang yang terinfeksi baru HIV, dan 1 juta
kematian diakibatkan oleh AIDS. (4) Asia merupakan benua dengan beban HIV terbesar setelah Afrika. (2) Data
perkembangan kasus HIV di Indonesia yang didapatkan telah mengalami penurunan dari 0,4 menjadi 0,26 per
1000 penduduk yang tidak terinfeksi antara tahun 2005 sebagai puncah epidemi HIV dan 2016 serta pada bulan
Januari – Maret tahun 2017 dilaporkan sebanyak 10.376 orang serta 673 orang yang terinfeksi AIDS. Kelompok
umur paling tinggi untuk infeksi HIV pada umur 25-49 tahun (69,6%) (4)(3)

- patofisiologi HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan golongan retrovirus dengan subgrup lentivirus yang
mengakibatkan infeksi “lambat” dengan masa inkubasi yang panjang. HIV bekerja dengan menginfeksi dan
membunuh limfosit T-Helper (CD4) sehingga host kehilangan imunitas seluler serta memiliki peluang yang besar
untuk infeksi oportunistik terjadi. Sel-sel imunitas lain dalam tubuh yang pada permukaannya memiliki protein
CD4 juga dapat terinfeksi oleh HIV seperti monosit dan makrofag. Mutasi yang mengakibatkan antibodi tubuh
tidak mampu menetralisasi virus dalam satu waktu secara bersamaan dikaitkan dengan virus HIV yang
melakukan replikasi secara cepat. Kelelahan respon sel limfosit T sitotoksik dan replikasi virus yang persisten
juga menjadi penyebabnya. Protein gp120 dan gp41 pada selubung (Envelope) HIV menjadi prinsip target dari
antibodi dalam menetralisasi HIV, namun HIV sendiri memiliki 3 mekanisme dalam melawan respon netralisasi
tersebut, yaitu glikosilasi selubung secara ekstensif, pemalsuan epitop akan dinetralisasi, dan hipervariabilitas
dari pola selubung primer. Replikasi akan berlanjut selama periode latensi klinis. Infeksi HIV pada manusia
termasuk dalam suatu kontinuitas yang dapat dibagi menjadi 4 fase, yaitu infeksi HIV primer, infeksi
asimtomatik, infeksi simtomatik dengan eksklusi AIDS, dan AIDS. (6)

- inflamasi pada HIV


Pelepasan berbagai sitokin yang cepat dan intens sering dikaitkan dengan infeksi HIV akut, frekuensi sel T yang
aktif juga meningkat secara drastis. Beberapa penelitian menyimpulkan akar potensial peradangan yaitu : replikasi HIV
berkonstribusi pada aktivasi sel T, patogen lain berkontribusi pada aktivasi sel T tingkat tinggi, Kerusakan bermediasi HIV
31
di mukos usus, dan faktor imunoregulasi disfungsional yang mungkin berkontribusi pada peradangan yang
persisten. Lingkungan peradangan kronis ini tampaknya menyebabkan fibrosis pada jaringan limfoid, yang pada
gilirannya menyebabkan kegagalan regenerasi dan penyakit sel T CD4 +.

- peranan HsCRP dalam inflamasi


Protein C-reaktif sensitivitas tinggi / hsCRP dapat dikatakan sebagai biomarker potensial dalam memprediksi
perkembangan penyakit jangka panjang serta memprediksi cardiovascular event yang merupakan salah satu komplikasi
jangka panjang utama pada penyakit HIV. (7,8) Perkembangan penyakit HIV dapat diukur dengan tingkat hsCRP yang
menjadi tolak ukur adanya hubungan yang signifikan dari aktivasi kekebalan. HIV mengaktifkan sistem kekebalan tubuh
sehingga menghasilkan keadaan proinflamasi, koinfeksi HIV / HCV dapat dihubungkan dengan tingkat hsCRP yang
disesuaikan <50% bila dibandingkan dengan laki-laki dan perempuan yang terjangkit HIV. hsCRP dapat menjadi penanda
perkembangan penyakit yang dapat diandalkan serta sebagai alternatif yang lebih hemat untuk pemantauan rutin dan
memprediksi hasik terkait HIV risiko jangka menengah-panjang dari mengalami kejadian CVD. (8)

TINJAUAN

PUSTAKA

A.Epidemiologi HIV
Infeksi HIV sulit dilakukan pengukuran karena pada awalnya asimptomatik

atau hanay meneybabkan gejala minimal yang kurang spesifik, sehingga sebagain

orang yang baru terinfeksi HIV tidak segera mencari tes, dan di diagnosis setelah

beberapa bulan atau tahun setelah infeksi. HIV juga dikaitkan dengan windows

period dalam waktu satu hingga tiga bulan, dalam waktu tersebut tes antibodi

belum dapat mendeteksi infeksi, yang berarti infeksi awal mungkin terlewatkan

(Jeb Jones, Progress in the HIV epidemic). Kasus AIDS yang dilaporkan oleh

CDC (Center for Disease Control and Prevention) adalah satu-satunya data

nasional yang dapat digunakan untuk monitoring kejadian AIDS, meskipun

dikatakan bahwa laporan kasusa AIDS dianggap sebagai suatu hal yang penting,

namun kasus yang dilaporkan hanya dianggap sebagai fenomena gunung es dari

infeksi HIV yang terjadi. Data yang telah ada menyediakan informasi yang

terbatas, sehingga sulit untuk menentukan masa depan epidemi ini, untuk

mengatasi hal tersebut, CDC memiliki batasan untuk sistem monitoring epidemik,
32
yaitu harus mengikutsertakan prekursor pada infeksi HIV dan AIDS, seperti

menyediakan data perilaku yang beresiko (perilaku seksual, dan penggunaaan

narkoba) sehingga dapat disediakan data di lokasi potensial penyebaran HIV dan

AIDS di masa depan (Jacques Normand – Preventing HIV Transmission)

Berdasarkan data penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, diperkirakan

38,6 juta orang terinfeksi HIV di seluruh dunia, sementara data yang meninggal

karena HIV sudah mencapai 25 juta. Pada tahun 2005 saja, sudah ada 4,1 juta

orang yang terinfeksi virus HIV, dan 2,8 juta karena AIDS,

transmisi heteroseksual tetap menjadi mode dominan transmisi dan

diperhitungkan sekitar 85% dari semua infeksi HIV-1, Afrika Selatan tetap

menjadi pusat pandemi dan terus memiliki tingkat infeksi HIV-1 yang tinggi.

Kasus infeksi di Afrika sepertiga dari semua infeksi HIV-1 diperoleh melalui

suntikan narkoba, (diperkitakan kasusnya mencapai angka 8-8 juta, sebagian

terjadi di Eropa dan Asia Tenggara), dan diperkirakan kasus ini akan terus

mengalami peningkatan, karena hampir seluruh negara di dunia telah mengalami

kasus pandemik ini (Viviana Simon – HIV epidemiology).


33

B.Monitoring HIV

Berbagai macam tes tersedia untuk memantau perkembangan penyakit HIV dan

kondisi kesehatan secara keseluruhan. Tes viral load HIV memberikan gambaran

aktivitas viral, sementara jumlah CD4 menjelaskan status sistem kekebalan tubuh

dan dapat membantu dokter untuk memprediksi dan mencegah perkembangan

infeksi oportunistik. Tes-tes ini dapat membantu memandu keputusan pengobatan

dan menunjukkan apakah pengobatan bekerja. Tes viral load dan jumlah CD4

menawarkan hasil yang lebih akurat representasi aktivitas HIV dan

pengembangan penyakit dibandingkan penanda pengganti tidak langsung yang

lebih tua, seperti β-2 microglobulin dan neopterin. Selain itu, tes umum seperti

jumlah darah lengkap, panel kimia darah, dan tes gula darah dan lipid dapat

membantu melacak efek samping seperti jumlah sel darah rendah, toksisitas hati,

dan peningkatan kadar trigliserida dan kolesterol. Tes lain, seperti tes resistansi

genotipik dan fenotipik dan pemantauan obat terapeutik, dapat membantu

mengoptimalkan terapi anti-HIV.

Hampir semua tes laboratorium membutuhkan sampel darah; untungnya, satu


34
sampel tunggal sering dapat digunakan untuk beberapa tes. Secara umum,

sebagian besar tes pemantauan harus dilakukan setiap 3-6 bulan atau lebih. Hasil

yang diperoleh oleh laboratorium yang berbeda dan metode pengujian yang

berbeda dapat sangat bervariasi, dan hasilnya bahkan dapat bervariasi dari hari ke

hari di tes laboratorium yang sama sebaiknya dilakukan di laboratorium yang

sama menggunakan prosedur yang sama setiap kali, untuk memungkinkan

perbandingan yang lebih akurat (Madhu Vajpayee)

A. Hitung Darah Lengkap

Hitung darah lengkap (CBC) penting karena orang dengan HIV

mungkin memiliki jumlah sel darah rendah (sitopenia) karena infeksi HIV

kronis atau sebagai efek samping dari obat, terutama obat yang merusak

sumsum tulang, tempat semua sel darah diproduksi. Jumlah sel darah

biasanya dilaporkan sebagai jumlah sel per μl darah (sel / μl) atau sebagai

persentase dari semua sel darah. Orang dengan infeksi HIV harus menerima

CBC setiap enam bulan, dan lebih sering jika mereka mengalami gejala atau

menggunakan obat yang berhubungan dengan jumlah sel darah rendah. ed dan

sel darah putih: Anemia umum terjadi pada orang HIV positif. HIV itu sendiri

dan berbagai IO seperti Mycobacterium avium complex (MAC) dapat

memengaruhi sel darah merah dan kapasitas pengangkut oksigennya. Orang

dengan infeksi HIV harus secara khusus memperhatikan tingkat neutrofil dan

limfosit, khususnya jumlah CD4 dan CD8. Neutrofil secara normal

membentuk sekitar 50-70 persen dari semua sel darah putih. Berbagai obat

anti-HIV, obat OI [termasuk gansiklovir (Cytovene), digunakan untuk

mengobati cytomegalovirus, atau CMV], dan kemoterapi kanker yang

menekan sumsum tulang dapat menyebabkan tingkat neutrofil yang rendah

(neutropenia). Trombosit: Trombosit (trombosit) diperlukan untuk

pembekuan darah. Jumlah trombosit normal adalah sekitar 130.000-440.000

sel / μl. Jumlah trombosit yang rendah (trombositopenia) - yang dapat


35
menyebabkan memar yang mudah dan perdarahan yang berlebihan dapat

disebabkan oleh obat-obatan tertentu, reaksi autoimun, percepatan kerusakan

oleh limpa, atau penyakit HIV itu sendiri (Madhu Vajpayee)

B. Hitung sel CD4 dan CD8

Jumlah CD4: HIV terutama menargetkan sel CD4. Ketika penyakit

HIV berkembang, jumlah CD4 menurun, biasanya sekitar 30-100 sel / μl per

tahun (tergantung pada viral load), membuat seseorang semakin rentan

terhadap infeksi dan kanker. Orang dengan jumlah CD4 di atas 500

umumnya memiliki fungsi kekebalan yang relatif normal dan berisiko

rendah untuk IO. Pedoman pengobatan HIV AS saat ini32

merekomendasikan bahwa orang harus mempertimbangkan untuk memulai

terapi anti-HIV ketika jumlah CD4 mereka turun di bawah 350. Pada tahun

2001, tingkat ini berkurang dari 500 sel / μl setelah penelitian menunjukkan

sedikit manfaat memulai pengobatan pada orang tanpa gejala dengan 350-

500 sel / μl terutama mengingat efek samping, ketidaknyamanan, dan biaya

terapi. Penelitian sedang dilakukan untuk menilai nilai pengobatan pada

orang dengan 200-350 sel / μl. Banyak orang yang telah memulai terapi

kombinasi anti-HIV telah melihat peningkatan dramatis dalam jumlah CD4

mereka dan telah mampu menghentikan profilaksis OI (pengobatan

pencegahan) dengan aman. Sebagian besar ahli merekomendasikan bahwa

jumlah CD4 harus diukur ketika infeksi HIV didiagnosis, kemudian setiap 3-

6 bulan atau lebih dekat dengan tiga bulan jika jumlah itu rendah atau turun

atau seseorang memulai atau mengubah pengobatan dan mendekati enam

bulan jika jumlahnya tinggi atau telah stabil selama beberapa bulan.

Pengukuran sel CD4 individu tidak informatif seperti tren menurun atau naik

seiring waktu; setiap perubahan besar atau tidak terduga harus dikonfirmasi

dengan tes ulang (Madhu Vajpayee).


36

C. Pemeriksaan Viral Load

Tes viral load mengukur jumlah RNA HIV dalam darah. Kehadiran RNA

menunjukkan bahwa virus tersebut aktif bereplikasi (mengalikan). Seiring

dengan jumlah CD4, viral load adalah salah satu langkah yang paling

berharga untuk memprediksi perkembangan penyakit HIV dan mengukur

kapan pengobatan anti-HIV diindikasikan dan seberapa baik kerjanya. Viral

load dinyatakan sebagai salinan RNA per mililiter darah (salinan / ml) atau

dalam hal log. Perubahan log adalah perubahan eksponensial atau 10 kali

lipat. Misalnya, perubahan dari 100 menjadi 1.000 adalah peningkatan 1 log

(10 kali lipat), sedangkan perubahan dari 1.000.000 menjadi 10.000 adalah

penurunan 2 log (100 kali lipat). Jika tingkat HIV terlalu rendah untuk diukur,

viral load dikatakan tidak terdeteksi, atau di bawah batas kuantifikasi. Namun,

viral load yang tidak terdeteksi tidak berarti bahwa HIV telah diberantas;

orang dengan viral load tidak terdeteksi mempertahankan tingkat virus yang

sangat rendah. Bahkan ketika HIV tidak terdeteksi dalam darah, mungkin

terdeteksi dalam air mani, sekresi genital wanita, cairan serebrospinal,


37
jaringan, dan kelenjar getah bening (Madhu Vajpayee). HIV RNA dalam

plasma dapat diukur melalui beberapa metode atau teknik pemeriksaan,

yakni: (1) Polymerase Chain Reaction (PCR); (2) branched-chain DNA

(b-DNA); (3) Nucleic acid sequence-based amplification (NASBA).

Ketiga metode tersebut dapat mengukur HIV RNA dalam plasma secara

kuantitatif dengan akurat, namun masing-masing metode bekerja dengan

cara yang berbeda-beda sehingga menunjukkan hasil yang berbeda untuk

pemeriksaan sampel yang sama. Oleh karena itu penting untuk

diperhatikan supaya menggunakan satu jenis tes atau metode yang sama

pada setiap pemeriksaan viral load agar hasil yang diperoleh dapat

dibandingkan dari waktu ke waktu.

Uji antigen p24 ultrasensitif (Kehidupan PerkinElmer dan ilmu analitik): Uji antigen

p24 (Ultra p24) ultrasensitif menggunakan format ELISA standar untuk menangkap dan

mendeteksi antigen HIV-1 p24 yang digabungkan dengan proses amplifikasi khusus untuk

meningkatkan sensitivitas pengujian. Denaturasi panas plasma sebelum pengikatan antigen p24

pada langkah ELISA membantu memisahkan kompleks imun dan mendenaturasi antibodi

sehingga tidak lagi bersaing untuk mengikat pada antigen p24 dengan menggunakan

pembacaan kinetik dengan Perangkat Lunak Sistem Deteksi Quanti-Kin103. Optimalisasi

pengujian antigen p24 standar meliputi pereaksi eksternal yang meningkatkan sensitivitas

deteksi antigen, mungkin dengan pemisahan yang lebih besar dari kompleks imun. deteksi

antigen p24 adalah berkorelasi terbalik yang signifikan dari perubahan sel CD4 pada pasien

yang ditekan secara virus serta pada pasien yang dipelajari secara longitudinal yang naif

pengobatan (85% dari populasi) atau diobati dengan inhibitor transkripsi ganda nukleosida

terbalik (15%) atau sedang memakai studi interupsi pengobatan terstruktur.

Tes PCR / suar molekul waktu nyata: PCR waktu nyata seperti TaqMan dan
38
Abbott RealTime, atau uji suar molekuler seperti Retina Rainbow atau NucliSens

EasyQ, mungkin berguna untuk mengukur viral load di negara terbatas sumber daya.

PCR waktu-nyata mendeteksi produksi amplikon secara real-time dengan setiap siklus

PCR, dan dengan demikian tidak bergantung pada deteksi amplikon pasca-amplifikasi,

yang membantu mengurangi kemungkinan kontaminasi dan meningkatkan waktu

putaran.

Uji Abbott RealTime HIV-1: Uji Abbott RealTime HIV-1 adalah uji RT-PCR in vitro

untuk kuantisasi HIV-1 pada Sistem m2000 otomatis dalam plasma manusia dari orang yang

terinfeksi HIV pada kisaran 40 hingga 10.000.000 kopi / ml. Tes Abbott RealTime HIV-1

dimaksudkan untuk digunakan bersama dengan presentasi klinis dan penanda laboratorium

lainnya untuk prognosis penyakit dan untuk digunakan sebagai bantuan dalam menilai

tanggapan virus terhadap pengobatan antiretroviral yang diukur dengan perubahan dalam

tingkat viral load HIV-1 plasma. Uji ini tidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai tes

skrining donor untuk HIV-1 atau sebagai tes diagnostik untuk mengkonfirmasi keberadaan

infeksi HIV-1.

Uji COBAS TaqMan HIV-1: Uji COBAS TaqMan HIV-1 adalah metode deteksi RT-

PCR pertama yang tersedia. Genom virus yang ditargetkan adalah wilayah gen gag yang

sangat terlestarikan. Kuantifikasi HIV-RNA dibuat menggunakan urutan target kedua, standar

kuantisasi HIV-1 (QS), konsentrasi yang diketahui yang ditambahkan ke setiap spesimen tes.

Amplik QS memiliki panjang dan komposisi basa yang sama dengan amplikon target HIV-1.

Deteksi wilayah pengikat QS telah dimodifikasi untuk membedakan dari target. Penggunaan

probe fluorescent berlabel ganda memungkinkan deteksi waktu-nyata akumulasi produk PCR

dengan memantau intensitas emisi pewarna reporter fluoresen yang dilepaskan selama proses

amplifikasi.

HIV diversity vs viral load: HIV diversity adalah titik kritis yang harus dipertimbangkan

untuk pengembangan teknik amplifikasi genom, khususnya untuk tes viral load plasma. Di satu

sisi, dari sudut pandang epidemiologi, di Amerika Serikat dan Eropa ada peningkatan jumlah

pasien yang baru terinfeksi oleh subtipe non-B, terutama oleh strain CRF02_AG131. Di

Prancis, proporsi subtipe non-B meningkat secara dramatis antara 1995 dan 2002 dan tetap
39
stabil sejak 2003132. Memang, hampir 40 persen pasien yang baru didiagnosis terinfeksi oleh

subtipe non-B. Meningkatnya keragaman virus HIV-1 di Prancis, bahkan pada pasien

Kaukasia yang didiagnosis pada saat infeksi primer, baru-baru ini dijelaskan dalam studi

kohort primo COR6 French ANRS CO06. HIV vs viral load: Keragaman HIV adalah titik

kritis yang harus dipertimbangkan untuk pengembangan teknik amplifikasi genom, khususnya

untuk tes viral load plasma. Di satu sisi, dari sudut pandang epidemiologi, di Amerika Serikat

dan Eropa ada peningkatan jumlah pasien yang baru terinfeksi oleh subtipe non-B, terutama

oleh strain CRF02_AG131. Di Prancis, proporsi subtipe non-B meningkat secara dramatis

antara 1995 dan 2002 dan tetap stabil sejak 2003132. Memang, hampir 40 persen pasien yang

baru didiagnosis terinfeksi oleh subtipe non-B. Meningkatnya keragaman virus HIV-1 di

Prancis, bahkan pada pasien Kaukasia yang didiagnosis pada saat infeksi primer, baru-baru ini

dijelaskan dalam studi kohort primo COR6 French ANRS CO06.

D. Inflamasi pada HIV

Infeksi HIV akut dikaitkan dengan pelepasan berbagai sitokin yang cepat dan

intens (termasuk interferon-α, interferon-γ, protein terinduksi 10, faktor nekrosis

tumor, IL-6, IL-10, IL-15). Frekuensi sel T yang diaktifkan juga meningkat secara

dramatis selama infeksi HIV akut, dengan hingga 50% dari himpunan bagian T CD8 +

tertentu yang diaktifkan. Setelah resolusi infeksi akut, aktivasi sel-T tercapai “kondisi-

mapan” dicapai yang diperkirakan sebagian oleh tingkat replikasi HIV dan tanggapan

kekebalan bawaan. Beberapa dekade penelitian intensif terhadap fenomena ini telah

menyebabkan sejumlah kesimpulan mengenai akar penyebab potensial peradangan:

(1) replikasi HIV berkontribusi langsung pada aktivasi sel T, (namun, frekuensi sel T

khusus HIV hanya sebagian kecil saja) dari populasi sel yang diaktifkan, menunjukkan

mekanisme lain yang kurang langsung), (2) patogen lain — termasuk virus herpes

umum seperti CMV — berkontribusi pada aktivasi sel T tingkat tinggi, walaupun

mengapa persentase antigen sel T spesifik yang meningkat secara dramatis tidak

diketahui, (3) Kerusakan bermediasi HIV di mukosa usus dan paparan kronis produk
40
mikroba usus seperti lipopolysaccharide (LPS) juga merupakan faktor kunci

pendorong peradangan, dan (4) faktor imunoregulasi disfungsional yang mungkin

berkontribusi pada peradangan yang persisten. Lingkungan peradangan kronis ini

tampaknya menyebabkan fibrosis pada jaringan limfoid, yang pada gilirannya

menyebabkan kegagalan regenerasi dan penyakit sel T CD4 +. Terapi

antiretroviral sebagian membalikkan banyak jika tidak semua jalur proinflamasi

ini, tetapi efeknya tidak lengkap, dan peradangan bertahan tanpa batas waktu.
41

IL-6 adalah sitokin pro-inflamasi yang bekerja luas yang

dilepaskan dari berbagai sel, terutama monosit dan

makrofag. Orang dewasa yang diobati dengan ARV

memiliki rata-rata sekitar 40 hingga 60% konsentrasi IL-6

yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa tidak terinfeksi

yang cocok. Jumlah IL-6 sangat terkait dengan mortalitas

semua sebab dalam studi INSIGHT Strategies for

Management of Antiretroviral Therapy (SMART) (rasio

odds untuk kuartil keempat versus kuartil pertama sebesar

8,3, P <0,0001). Temuan ini telah dikonfirmasi dalam

banyak penelitian lain, termasuk kohort ESPIRIT dan

SILCAAT yang besar (odds ratio keempat / kuartil pertama

5,6). (Steeven G Deeks - Systemic Effects of

Inflammation on Health during Chronic HIV Infection)


42

E. Marker Inflamasi

Protein HIV, termasuk TAT, NEF, VPR, dan gp120, secara langsung merangsang

tanggapan kekebalan dengan mengubah sitokin pensinyalan. Selain itu, lumen saluran

gastrointestinal (GI) mengandung sejumlah besar bakteri spesies yang membangun

hubungan simbiosis dengan sistem kekebalan inang manusia dan sel epitel. Hal tersebut

mengurangi risiko translokasi mikroba (MT) dari lumen saluran GI ke sirkulasi sistemik

pada populasi umum. Namun, berbagai penelitian telah menyarankan peran untuk MT

dalam patogenesis HIV dan telah mengusulkan bahwa MT berkontribusi aktivasi

kekebalan sistemik pada Odha, yang membantu menjelaskan patogenesis morbiditas yang

tidak terkait AIDS,termasuk penyakit kardiovaskular. Lebih lanjut, protease inhibitor

dikaitkan dengan peningkatan kadar kolesterol total (TC), lipoprotein densitas rendah

kolesterol (LDL-C) dan trigliserida, serta resistensi insulin dan akumulasi lemak perut,

merupakan faktor-faktor yang meningkatkan peradangan. Sebagai respons terhadap

peradangan, tubuh memproduksi sitokin anti-inflamasi seperti IL-10 dan IL-4 sebagai

upaya menangkal peradangan. Studi sebelumnya menunjukkan peningkatan yang

signifikan dalam rasio TNF-α / IL-10 pada pasien dengan PJK dibandingkan dengan

subyek kontrol (Rudo Muswe - Inflammatory Markers and Plasma Lipids in HIV

Patients: A Correlation Analysis Study)


43

F. Peranan HsCRP pada HIV

CRP pertama kali diidentifikasi oleh Tillett dan Francis pada 1930 sebagai zat
dalam serum pasien dengan peradangan akut yang bereaksi dengan C-polisakarida
pneumococcus (karena itu namanya). Kemudian, ditemukan reaktan fase akut dengan
struktur pentamerik yang tetap stabil untuk waktu yang cukup lama, memungkinkan
pengukuran 1000-an sampel serum yang disimpan. Kebanyakan CRP diproduksi dari hati
selain dari endotelium vaskular sebagai respons terhadap interleukin-6 yang diproduksi
dari makrofag dan adiposit. Tes CRP tradisional telah tersedia selama beberapa dekade,
tetapi tes ini tidak sensitif pada konsentrasi CRP yang lebih rendah. Namun, dengan
munculnya tes hsCRP yang lebih baru seperti ELISA, uji imunoturbidimetri, dan laser
nephelometry, sekarang mungkin untuk mendeteksi perbedaan kisaran rendah dalam
tingkat CRP dan dengan demikian menjadi fokus utama penelitian dalam peradangan
pembuluh darah. CRP sebagai reaktan fase akut harus meningkat pada pasien dengan
perkembangan penyakit HIV jika dikaitkan dengan translokasi mikroba dan aktivasi
kekebalan seperti yang dihipotesiskan dalam penelitian ini. Konsentrasi CRP yang lebih
tinggi dikaitkan dengan jumlah CD4 yang lebih rendah dan viral load HIV yang lebih
tinggi di antara orang yang terinfeksi HIV.
HIV dan virus hepatitis C (HCV) menjadi infeksi kronis, mengaktifkan sistem
kekebalan tubuh dan menghasilkan keadaan proinflamasi. CRP yang menjadi penanda
aktivasi kekebalan harus meningkat pada kedua infeksi. Namun, sangat sedikit penelitian
yang tersedia dalam hal ini. Reingold et al. melaporkan bahwa koinfeksi HIV / HCV
dikaitkan dengan tingkat CRP yang disesuaikan lebih rendah 50% bila dibandingkan
dengan laki-laki dan perempuan yang monoinfeksi HIV. Diusulkan bahwa infeksi HCV
menurunkan produksi CRP dari hati. Tes sCRP meliputi ELISA, uji imunoturbidimetri,
dan metode laser nefelometri. Terlepas dari metode laser nephelometry, dua tes lainnya
lebih murah dan mudah dilakukan, dengan sensitivitas yang hampir sama dengan laser
nephelometry. Di pasar India, estimasi biaya CD4 sekitar 1000 Rs. per sampel, sedangkan
estimasi hsCRP menelan biaya sekitar 300 Rs. per sampel. Seperti yang ditunjukkan
dalam penelitian oleh Drain et al., Jumlah CD4 internasional dan estimasi viral load HIV
masing-masing sekitar US $ 10 dan US $ 40, sementara hsCRP dengan metode
imunoturbidimetri harganya sekitar US $ 2 per sampel. Dengan demikian, kira-kira
seperlima biaya jumlah CD4 dan seperlima biaya viral load HIV. (Arun Vishnawat)
44

Anda mungkin juga menyukai