Anda di halaman 1dari 6

TUGAS III

ILMU NEGARA

OLEH

AYUB SABTUNUS KAJA JADE


NIM : 048570811

FAKULTAS HUKUM ILMU SOSIAL DAN POLITIK


JURUSAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS TERBUKA KUPANG
Pertanyaan

1. Berikan analisis permasalahan yang terjadi dalam sistem peradilan seperti kasus di atas
menggunakan kerangka konsep negara bersusun tunggal!

2. Dari contoh kasus di atas, bagaimana pelaksanaan kekuasaan yuridis pada negara kesatuan
dan federal menggunakan rujukan teori ahli!

3. Dari pernyataan di atas, buatlah analisis perbandingan konsep pemisahan kekuasaan


menurut John Locke dengan Montesqueu!

JAWABAN :

(1).
Dalam konteks permasalahan yang terjadi dalam sistem peradilan, terutama terkait kasus
korupsi dan penyimpangan pelaksanaan penegakan hukum, kita dapat menganalisisnya
menggunakan kerangka konsep negara bersusun tunggal. Negara bersusun tunggal mengacu
pada pembagian kekuasaan antara pusat (pemerintah pusat) dan daerah (pemerintah daerah)
yang saling terkait dan saling mendukung.
1. Pusat (Pemerintah Pusat):
 Ketidakjelasan Pembagian Kekuasaan: Dalam kasus ini, UUD 1945
menentukan bahwa Indonesia menganut paham pembagian kekuasaan. Namun,
pengaturan mengenai pembagian tugas antara cabang-cabang kekuasaan tidak
diatur secara tegas. Ini dapat menyebabkan kecenderungan lembaga yang satu
lebih kuat dari yang lain, menciptakan potensi untuk penyalahgunaan
kekuasaan.
 Kurangnya Pengawasan Terhadap Aparat Penegak Hukum:
Penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa,
advokat, dan hakim, dapat terjadi karena tidak adanya pengawasan yang
memadai. Diperlukan lembaga pengawasan peradilan yang independen,
imparsial, dan jujur untuk mengawasi tindakan koruptif dan tidak bermoral.
 Kekacauan Hukum dan Penyalahgunaan Hukum: Kekacauan hukum dan
penyalahgunaan hukum dapat terjadi ketika kepentingan umum tidak
dirumuskan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. Interprestasi
yang sepihak sering digunakan untuk membenarkan tindakan pemegang
kekuasaan, yang dapat bertentangan dengan prinsip negara hukum.
2. Daerah (Pemerintah Daerah):
 Budaya Hukum yang Rendah: Budaya hukum yang rendah di kalangan
pelaku ekonomi dan kaum intelektual dapat memperburuk penegakan hukum.
Upaya perbaikan perlu difokuskan pada peningkatan budaya hukum melalui
pendidikan dan sosialisasi.
 Kurangnya Kualitas dan Integritas Aparat Penegak Hukum Lokal: Kinerja
aparat penegak hukum yang tidak profesional, kurangnya integritas, dan
rendahnya moral dapat merusak penegakan hukum di tingkat daerah. Perbaikan
sistem perekrutan dan peningkatan kualitas aparat penegak hukum lokal perlu
menjadi prioritas.
 Keterlibatan Politik dalam Penegakan Hukum: Keterlibatan politik dalam
penegakan hukum dapat menyebabkan kecenderungan para aparat penegak
hukum untuk bersikap berpihak pada pemerintah. Diperlukan koordinasi yang
lebih baik antara lembaga peradilan dan lembaga-lembaga penegak hukum
untuk memastikan independensi dan integritas penegakan hukum.
3. Solusi dan Reformasi:
 Pembenahan Institusi Hukum: Reformasi total dalam bidang hukum perlu
melibatkan pembenahan lembaga legislatif, yudikatif, dan peradilan. Ini
mencakup perubahan dalam sistem rekrutmen, manajemen peradilan, dan
sistem administrasi yudisial.
 Peningkatan Kesadaran Masyarakat: Dukungan dan peran aktif masyarakat
sangat penting. Program Gerakan Nasional Anti-Korupsi perlu disosialisasikan
secara terus-menerus untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat
dalam memberantas korupsi.
 Pendidikan Hukum dan Etika Profesi: Pembenahan dalam sistem perekrutan,
promosi, dan pendidikan hukum lanjutan diperlukan untuk menciptakan aparat
penegak hukum yang profesional, berintegritas, dan beretika tinggi.
 Independensi dan Koordinasi Lembaga Hukum: Mendorong independensi
lembaga peradilan dan memperkuat koordinasi antara lembaga-lembaga
penegak hukum adalah langkah penting untuk menciptakan sistem hukum yang
berwibawa dan efektif.
Dengan mengadopsi pendekatan negara bersusun tunggal yang seimbang antara pusat dan
daerah serta melibatkan partisipasi aktif masyarakat, dapat diharapkan terwujudnya sistem
peradilan yang lebih adil, transparan, dan efektif.

(2).
Dalam konteks contoh kasus di atas, terdapat beberapa elemen yang dapat dihubungkan
dengan teori ahli terkait pelaksanaan kekuasaan yuridis pada negara kesatuan dan federal.
Berikut adalah beberapa rujukan teori ahli yang relevan:
1. Teori Rechtsstaat (Negara Hukum) oleh Moh. Yamin
Dalam contoh kasus, disebutkan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan hukum
(rechtsstaat) menurut Undang-undang Dasar 1945. Teori Rechtsstaat oleh Moh. Yamin
menekankan bahwa kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan undang-
undang dan tidak boleh berdasarkan kekuasaan senjata atau kekuasaan sewenang-wenang. Ini
mencerminkan prinsip negara hukum di mana pemerintahan harus tunduk pada aturan hukum.
2. Trias Politica (Pemisahan Kekuasaan) oleh Montesquieu
Dalam konteks pembagian kekuasaan, disebutkan bahwa UUD 1945 menetapkan pembagian
kekuasaan (distribution of powers). Meskipun tidak diatur secara tegas, pembagian tugas antara
cabang legislatif, eksekutif, dan yudikatif penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Prinsip ini sejalan dengan teori Trias Politica oleh Montesquieu, yang menekankan pemisahan
kekuasaan untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan.
3. Supremasi Hukum (Rule of Law)
Ketika membahas pelaksanaan penegakan hukum, terdapat referensi terhadap supremasi
hukum. Supremasi hukum mengacu pada prinsip bahwa kekuasaan harus dilaksanakan oleh
hukum, dan setiap orang, termasuk pihak penguasa dan aparat penegak hukum, harus tunduk
pada hukum. Konsep ini sejalan dengan ideologi negara hukum dan justice for all.
4. Judicial Disarray dan Separation of Powers
Dalam mengkritisi kondisi kekuasaan yang tidak seimbang antara lembaga-lembaga negara,
terdapat keterkaitan dengan konsep judicial disarray dan pemisahan kekuasaan. Disarankan
agar Indonesia memperkuat pemisahan kekuasaan antara badan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif untuk mencegah kecenderungan lembaga yang satu lebih kuat dari yang lain.
5. Reformasi Hukum dan Pengawasan Independen
Upaya pencapaian supremasi hukum di Indonesia melalui reformasi hukum dan pembentukan
lembaga pengawasan peradilan yang independen mencerminkan pemikiran untuk memperbaiki
sistem hukum dan penegakan hukum. Ini sejalan dengan konsep reformasi hukum secara
menyeluruh dan perlu adanya lembaga pengawasan yang dapat mengawasi tindakan koruptif
dan tidak bermoral dari aparat penegak hukum.
6. Pendidikan Hukum dan Peningkatan Integritas
Referensi terhadap rendahnya budaya hukum dan integritas di antara aparat penegak hukum
dapat dihubungkan dengan gagasan bahwa pendidikan hukum lanjutan, pelatihan, dan seminar-
seminar diperlukan untuk meningkatkan kualitas dan integritas aparat penegak hukum.
Peningkatan kesejahteraan mereka juga dianggap sebagai faktor penting.
Dengan merujuk pada teori-teori di atas, pemahaman dan analisis terhadap pelaksanaan
kekuasaan yuridis di Indonesia dapat diperdalam, dan langkah-langkah konkret untuk
perbaikan dapat diidentifikasi sesuai dengan kerangka pemikiran para ahli tersebut.

(3). prinsip dasar pemisahan kekuasaan dalam sebuah negara. Untuk menganalisis
perbandingan konsep pemisahan kekuasaan menurut John Locke dan Montesquieu, kita perlu
memahami pandangan keduanya terhadap pembagian kekuasaan.
John Locke:
John Locke adalah seorang filsuf Inggris yang terkenal dengan konsep "kontrak sosial" dan
pemikirannya tentang hak asasi manusia. Locke berpendapat bahwa ada tiga cabang utama
pemerintahan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Locke percaya bahwa pembagian
kekuasaan ini penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah.
1. Legislatif: Menurut Locke, legislatif adalah kekuasaan utama karena mencerminkan
kehendak rakyat. Legislatif bertanggung jawab untuk membuat undang-undang.
2. Eksekutif: Eksekutif bertanggung jawab untuk menjalankan undang-undang yang
telah dibuat oleh legislatif. Meskipun memiliki kewenangan untuk menerapkan
kebijakan, kekuasaan eksekutif tetap terbatas oleh undang-undang.
3. Yudikatif: Yudikatif bertanggung jawab untuk menilai apakah tindakan eksekutif
sesuai dengan hukum atau tidak. Mereka memastikan keadilan dan melindungi hak-hak
individu.
Montesquieu:
Montesquieu, seorang filsuf Prancis, secara khusus menyusun teorinya dalam karyanya "The
Spirit of the Laws." Ia lebih mendalam memahami pembagian kekuasaan dan konsep trias
politica.
1. Legislatif: Seperti Locke, Montesquieu melihat pentingnya legislatif dalam pembuatan
undang-undang. Namun, ia menekankan perlunya independensi dan otonomi legislatif.
2. Eksekutif: Montesquieu mengusulkan bahwa kekuasaan eksekutif harus dipisahkan
dari legislatif untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Ia juga menyoroti
pentingnya tanggung jawab eksekutif terhadap hukum.
3. Yudikatif: Yudikatif harus independen dan tidak terpengaruh oleh eksekutif atau
legislatif. Montesquieu meyakini bahwa pengadilan harus menjadi penjaga hak-hak
individu dan pemisahan kekuasaan.
Perbandingan:
1. Peran Legislatif: Keduanya setuju bahwa legislatif memiliki peran sentral dalam
pembuatan undang-undang, tetapi Montesquieu lebih menekankan independensi
legislatif.
2. Eksekutif: Locke dan Montesquieu sepakat bahwa eksekutif harus menjalankan
undang-undang, tetapi Montesquieu lebih spesifik tentang pemisahan eksekutif dari
legislatif.
3. Yudikatif: Keduanya setuju bahwa yudikatif harus independen dan berfungsi sebagai
penjaga hak-hak individu.
Secara keseluruhan, keduanya sepakat bahwa pemisahan kekuasaan adalah kunci untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan melindungi hak-hak individu, tetapi Montesquieu
memberikan formulasi yang lebih rinci tentang konsep ini, yang kemudian diadopsi oleh
banyak sistem pemerintahan modern.

Anda mungkin juga menyukai