Anda di halaman 1dari 18

Dr. Hamdan, S.H., M.Si.

PERCOBAAN MELAKUKAN KEJAHATAN


DALAM KUHP INDONESIA DAN NEGARA ASING

A. Pengertian
Materi ini akan mengetengahkan tentang Percobaan melakukan kejahatan
yang diatur dalam KUHP kita yang termasuk dalam sistem hukum Civil Law
dibandingkan dengan beberapa KUHP negara asing.
Istilah asal dari istilah Percobaan melakukan kejahatan, yaitu “Poging tot
Misdrijf”. Suatu terjemahan dari bahasa Belanda, dan acapkali ditulis secara
singkat saja dengan kata Poging.
Undang-Undang Pidana (KUHP) tidak memberikan definisi tentang Poging.
Namun, undang-undang pidana (“Wet boek van Straf Recht”/KUHP) hanya
menentukan syarat-syarat suatu perbuatan dapat disebut Poging.
Oleh karena itu, definisi Poging hanya ditemukan dalam ajaran doktrin atau
pendapat sarjana. Para sarjana mendefinisikan, bahwa Poging adalah :
“permulaan kejahatan yang belum selesai”.
Bagaimana bentuk Percobaan melakukan kejahatan (Poging) dalam KUHP
Indonesia, yaitu diatur pada Pasal 53 dan Pasal 54, yaitu :
Pasal 53: (1) “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk
itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan,
dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-
mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal
percobaan dapat dikurangi sepertiga.
(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling
lama limabelas tahun.
(4) Pidana tambahan bagi percobaan adalah sama dengan
kejahatan selesai.
Pasal 54: Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana”.
B. Syarat Percobaan atau Poging
Berdasarkan Pasal 53 ayat (1), maka syarat Percobaan atau Poging
ada tiga, yaitu :
1. Niat.
2. Permulaan pelaksanaan.
3. Tidak selesai/gagal bukan karena kehendak sendiri.

ad.1. Niat (Voornemens)


Ada juga yang menterjemahkan kata voornemens (bahasa Belanda)
ini dengan kata “kehendak/maksud”. Adapun niat yang dimaksud
dalam Pasal 53 (1) ini adalah niat untuk melakukan kejahatan.
Disyaratkan harus ada niat, karena niat merupakan indikasi bahwa
perbuatan tersebut betul-betul merupakan keinginan pelaku atau
perbuatan tersebut perbuatan yang disenganja atau bahkan
perbuatan yang direncanakan. Oleh karena itu, kasus-kasus Poging
tidak pernah terdapat dalam kasus perbuatan kealaian atau perbuatan
yang dilakukan dibawa tekanan paksaaan.
ad.2. Permulaan pelaksanaan
Hanya dengan syarat niat saja, suatu perbuatan belum dapat
dihukum karena niat sifatnya abstrak. Suatu niat baik atau niat
buruk, baru akan tampak dengan jelas wujudnya dari adanya
permulaan pelaksanaan perbuatan yang diniatkan tersebut. Oleh
karena itu, syarat kedua yang harus ada agar suatu perbuatan
dapat dikatakan percobaan atau Poging, yaitu permulaan
pelaksanaan.
Pembuat KUHP (Wet boek van Straf Recht) tidak memberikan
penjelasan tentang definisi dari permulaan pelaksanaan. Akan
tetapi, di dalam MvT KUHP hanya dibedakan antara perbuatan
permulaan dan perbuatan permulaan pelaksanaan. Kalau
perbuatan permulaan tidak dihukum. Untuk mencari dimana
perbuatan permulaan pelaksanaan dalam kasus
Percobaan/Poging, digunakan teori Poging Subyektif dan teori
Poging Obyektif.
a. Teori Poging Subyektif (Subjectieve Pogings Theory)
Menurut teori yang didasarkan kepada niat ini, bahwa perbuatan
yang pertama-tama sekali dilakukan pelaku untuk mewujudkan
niatnya tersebut, maka itulah sebagai perbuatan permulaan
pelaksanaan.
b. Teori Poging Obyektif (Objectieve Pogings Theory)
Teori ini didasarkan kepada sifat perbuatan. Menurut teori ini,
dari rangkaian perbuatan yang terjadi, maka yang dianggap
sebagai perbuatan permulaan pelaksanaan adalah perbuatan yang
sudah bersifat membahayakan. Perbuatan yang sudah bersifat
membahayakan itu, artinya perbuatan yang bila dilakukan
langsung menimbulkan akibat yang dikehendaki. Makna kata
langsung disini, adalah tidak ada lagi perbuatan yang mesti
dilakukan untuk timbulkan akibat yang dikehendaki. Atau
dengankata lain, tidak ada lagi perbuatan yang menyela untuk
timbulkan akibat yang dikehendaki pelaku.
ad.3. Perbuatan/pelaksanaan tidak selesai (gagal) bukan
karena kehedak pelaku
Ada faktor/hal lain diluar kemauan pelaku yang
mempengaruhi sehingga perbuatan pelaku tersebut
gagal atau tidak selesai. Namun, bila gagal atau tidak
selesainya perbuatan tersebut merupakan kehendak
pelaku sendiri (dihentikan atas kesadaran/sukarela),
maka tidak terjadi Poging.
C. Macam-Macam Poging
Para sarjana membagi Poging kedalam beberapa macam :
1. Percobaan sempurna (Voleindigde Pogings)
Disini pelaku telah melakukan segalanya agar terjadi akibat yang
dikehendaki, namun tidak terwujud.
2. Percobaan tertangguh atau tercegah atau (Geschorte Pogings)
Pada saat pelaku tengah melaksanakan perbuatannya, ia dihalang-
halangi sehingga pelaku tidak dapat mewujudkan kehendaknya.
3. Percobaan tidak sempurna (Ondeugdelijk Pogings)
Dikatakan tidak sempurna, maksudnya meskipun pelaku telah
melaksanakan selurih rangkaian perbuatan guna mewujudkan
kehendaknya tetapi tidak mungkin diselesaikan, karena terdapat
masalah pada alat yang digunakan atau obyeknya. Tidak sempurnah
secara mutlak maupun secara relatif.
Dalam praktek hukum/pengadilan, maca-macam Poging diatas tidak
dikenal. Namun undang-undang pidana (KUHP) hanya mengenal satu
macam poging, yaitu Poging sebagaimana yang diatur pada Pasal 53 KUHP.
Untuk percobaan tidak sempurna yang menyangkut alat dan obyeknya
yang tidak sempurna, dapat diberikan contoh sebagai berikut :
1. Alat :
a. Alat tidak sempurna secara mutlak: misalnya S berniat membunuh K
dengan cara menembaknya. Dalam pelaksanaanya, ternyata tanpa
sepengatahuan S pistol yang digunakannya kosong/tanpa peluru. Pistol
kosong, secara mutlak tidak membahayakan korban (K).
Menurut teori Poging subyektif S dapat dipidana. Sedangkan menurut
teori Poging obyektif, S tidak dapat dipidana atas perbuatan Poging.
b. Alat tidak sempurna secara relatif: misalnya S berniat membunuh K
dengan cara menembaknya. Dalam pelaksanaanya, akibat yang
dikehendaki S tidak terwujud (K lolos dari maut), oleh karena pistol
yang digunakan S tiba-tiba macet.
Pistol macet tetap mengandung kerawanan, karena masih terdapat
sifat berbahayanya walaupun tidak menimbulkan korban.
Tidak sempurnanya alat secara relatif, baik oleh teori Poging
subyektif maupun teori Poging Obyektif berpendapat pelaku dapat
dipidana.
2. Obyek :
a. Obyek tidak sempurna secara mutlak : misalnya M berniat
membunuh L dengan cara menembaknya. Tanpa sepengetahuan M,
ketika beberapa detik sebelum M mengarahkan pistolnya ternyata L
sudah meninggal duluan. Menembak orang yang sudah mati, tentu
tidak ada sifat keberbahayaannya. Oleh karena itu menurut teori
Poging obyektif pelaku tidak dipidana. Walaupun menurut teori
Poging subyektif pelaku masih kemungkinan dapat dipidana.
b. Obyek tidak sempurna secara relatif : misalnya dalam penembakan
yang dilakukan oleh M tersebut tidak berakibat apa-apa bagi diri L
karena tanpa sepengetahuan M ternyata L menggunakan rompi anti
peluru dibalik bajunya.
Menggunakan rompi tetapi masih dianggap rawan, berarti sifat
keberbahayaannya masih ada. Oleh karena itu menurut teori Poging
subyektif dan teori Poging obyektif pelaku dapat dipidana.
Di Indonesia walaupun tidak secara tegas dinyatakan, namun dalam
praktek hukum/pengadilan cenderung menerapkan ketidak sempurnaan
yang relatif.
D. Percobaan (Poging) Dalam KUHP Beberapa Negara Asing
Berikut ini, akan disajikan bagaimana pengaturan
Percobaan atau Poging di KUHP negara asing yang mungkin
dapat diperbandingkan dengan Poging yang diatur di
dalam Pasal 53 dan Pasal 54 KUHP.
Untuk memudahkan pemahaman tentang ketentuan atau
pengaturan Poging dalam KUHP beberapa negara asing
tersebut, maka digunakan rujukan seperti yang telah
diterjemahkan oleh Prof. Barda Nawawi Arief (2003),
seperti berikut ini :
1. Polandia
Dalam KUHP Polandia, Percobaan (Poging) diatur pada Pasal -Pasal :
Pasal 11 ayat 1 :
“Barang siapa dengan maksud/niat melakukan perbuatan terlarang dengan
perbuatannya ditujukan secara langsung pada penyelesaian/pencapaian perbuatan
terlarang itu akan tetapi tidak terjadi, akan dipertanggungjawabkan untuk suatu
percobaan”.
catatan : Ayat ini mengatur tentang syarat-syarat Percobaan (Poging).
Ayat 2 :
“Suatu percobaan terjadi apabila pelaku tidak menyadari kenyataan bahwa
penyelesaian itu mungkin terjadi karena ketiadaan obyek yang patut untuk selesainya
tindak pidana yang dimaksud atau karena penggunaan alat yang tidak cocok/sesuai untuk
timbulnya akibat yang dimaksud”.
Catatan : Ayat ini mengatur tentang ketentuan bahwa Percobaan (Poging) tetap ada
walaupun perbuatan tersebut tidak selesai karena alat maupun obyeknya tidak
sempurna secara mutlak atau relatif.
Pasal 12 :
(1) Pengadilan akan mengenakan pidana untuk percobaan tidak lebih dari batas-
batas sanksi yang ditetapkan untuk tindak pidana tertentu.
Catatan : Ayat ini mengatur tetang pidana bagi Percobaan yaitu dibawah
maksimum dari ancaman pidana perbuatan yang dilakukan. Hanya saja tidak
disebutkan secara tegas ancaman dibawah maksimum itu berapa tahun.

(2) Dalam hal pengenaan pidana, pengadilan dapat mengenakan pengurangan


pidana yang luar biasa, dan dapat juga melepaskan/membebaskan
pengenaan pidana.
Catatan : Ayat ini mengatur tentang pengenaan besaran pidana diserahkan
kepada Hakim
Pasal 13 :
(1) Barang siapa dengan sengaja/sukarela meninggalkan perbuatan
pelaksanaan itu atau mencegah timbulnya akibat kejahatan, tidak
akan dikenakan pidana untuk percobaan.
Catatan: Ayat ini mengisyaratkan, bahwa pelaku yang menghentikan
perbuatannya secara sukarela tidak akan dikenakan pidana.
(2) Pengadilan dapat mengenakan pengurangan pidana yang
istimewa/luar biasa kepada sipelaku yang telah dengan sukarela
mencoba untuk mencegah timbulnya akibat kejahatan.
Catatan : Ayat ini mengatur pengurangan luar biasa atas pidana bagi
pelaku yang dengan sukarela menghentikan/mencegah timbulnya
akibat dari perbuatan yang dilakukan pelaku.
2. Norwegia
Dalam KUHP Norwegia, Percobaan (Poging) diatur pada pasal-pasal :
a. Pasal 49 : “Percobaan melakukan kejahatan dapat dipidana. Percobaan
ialah suatu perbuatan yang dengan sengaja ditujukan pada penyelesaian
kejahatan, tetapi tidak berhasil.
Percobaan melakukan satu pelanggaran tidak dapat dipidana”.
b. Pasal 50 : “Percobaan kejahatan tidak dapat dipidana apabila si
pelanggar sebelum diketahui orang lain dengan kemauan sendiri
menghentikan perbuatan jahatnya itu sebelum percobaan itu selesai,
atau mencegah akibat dari perbuatan yang dilakukannya”.
c. Pasal 51 : “Pecobaan dikenakan pidana yang lebih ringan dari pada
kejahatan yang selesai/sempurna; pidana yang dikenakan itu dapat
dikurangi lebih ringan daripada pidana minimum yang ditetapkan untuk
tindak pidana yang bersangkutan atau dikenakan jenis pidana yang lebih
ringan”.
3. Thailand
Percobaan (Poging) di dalam KUHP Thailandi diatur pada
Pasal :
1. Pasal 80 :
sub 1 : “Dikatakan melakukan percobaan tindak pidana,
barang siapa mulai melakukan suatu tindak pidana,
tetapi tidak menyelesaikannya, atau
menyelesaikannya tetapi tidak mencapai
tujuannya”.
Sub 2 : “Barangsiapa mencoba melakukan tindak pidana
akan dipidana dua pertiga dari ancaman pidana
yang ditetapkan untuk tindak pidana yang
bersangkutan”.
2. Pasal 81 : “Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang ditujukan pada
akibat yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai suatu tindak
pidana, akan dianggap melakukan percobaan tindak pidana apabila
perbuatannya itu secara pasti tidak mampu mencapai tujuannya,
baik karena faktor alat yang digunakan dalam perbuatan itu maupun
karena obyek yang dituju, dan akan dikenakan pidana tidak lebih
dari separuh ancaman pidana yang ditetapkan untuk tindak pidana
yang bersangkutan”.
3. Pasal 82 : “Barangsiapa mencoba melakukan tindak pidana, tetapi atas
kehendak sendiri menghentikan pelaksanaannya, atau mengubah
niatnya dan mencegah perbuatan itu mencapai tujuan, tidak
dipidana karena melakukan percobaan tindak pidana itu. Tetapi,
apabila apa yang telah ia lakukan itu termasuk tindak pidana
menurut ketentuan undang-undang,ia akan di pidana untuk tindak
pidana yang bersangkutan.
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai