Anda di halaman 1dari 130

Analisis Sengketa Pajak

Dalam Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21

S k r i p s i
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Disusun Oleh :
N A M A : TUBAGUS CHAERUL AMACHI
NPM : 0 5 0 0 2 3 2 3 6 8
PK IV : Hukum Tentang Kegiatan Ekonomi

PROGRAM EKSTENSI
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2005

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


DAFTAR ISI

Hal

Kata Pengantar . . . . . . . . . . . . . . . i
Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . iii
Abstrak . . . . . . . . . . . . . . . vi

BAB I
A. Pendahuluan . . . . . . . . . . . . 1
Latar Belakang Masalah . . . . . . . . . . . . 1
B. Pokok Permasalah . . . . . . . . . . 7
C. Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . 18
D. Metode Penelitian . . . . . . . . . . 19
E. Sistematika Penulisan . . . . . . . . . . 19

BAB II
Tinjauan Umum Peraturan Perundang-undangan
Tentang Pajak Penghasilam Pasal 21
Pemeriksaan, Keberatan dan Banding . . . . . . 22
A. Pengaturan Pemotongan
B. Pajak Penghasilan Pasal 21 . . . . . . . . 24
C. Pemeriksaan Pajak dan Hasil
Pemeriksaan Pajak . . . . . . . . . . . . 44
D. Keberatan atas SKP . . . . . . . . . . . . 63
E. Pengadilan Pajak . . . . . . . . . . . . 65

BAB III
Uraian Penyelesaian Beberapa Kasus
Sengketa Pajak Penghasilan Pasal 21 . . . . . . 81
A. Lembaga Banding Penyelesaian
Sengketa Pajak . . . . . . . . . . . . . 81
B. Sengketa Pajak PPh 21 yang digunakan
Untuk Sample . . . . . . . . . . . . . 83
1.Kasus Pertama . . . . . . . . . . . . . 84
2.Kasus Kedua . . . . . . . . . . . . . 86
3.Kasus Ketiga . . . . . . . . . . . . . 88
4.Kasus Keempat . . . . . . . . . . . . . 92
5.Kasus Kelima . . . . . . . . . . . . . 98

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


BAB IV
Analisis Yuridis Kasus dan Penelaahan Penerapan
Putusan Pengadilan Pajak . . . . . . . . . . . . 105
A.Analisis Sengketa Pph 21 . . . . . . . . . . . 107
B.Tinjauan Atas Penerapan Keputusan
Pengadilan Pajak . . . . . . . . . . . . . 121

BAB IV
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . 123
B. Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . 129

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada umumnya negara-negara di dunia dalam merealisasikan

pemungutan pajak, menerapkan sistem pemungutan dan sistem

pemotongan pajak disamping mengharuskan wajib pajaknya

membayar sendiri kewajiban pajaknya. Cara pemungutan dan

pemotongan merupakan penerapan asas pay as you earn atau

ability to pay1 dan asas sumber2 dalam pemungutan pajak

yang mendasarkan pada

1
Sally M. Jones, Principles of Taxation, ( Singapore : Mc. Graw Hill Higher Education, 2002 ), hal.
35.
2
R. Santoso Brotodiharjo, S.H., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung : PT. Refika Aditama,
1998), hal.27.

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


pertimbangan ekonomi. Artinya pada saat Wajib Pajak menerima

pembayaran, ia diasumsikan berada dalam kondisi mampu

membayar, sehingga ia diharuskan membayar pajaknya.

Pembayaran ini merupakan pembayaran angsuran pajak atau pajak

yang dibayar dimuka.

Penerapannya dalam Pajak Penghasilan (PPh), untuk

transaksi tertentu pihak yang membayarkan imbalan jasa

diwajibkan memotong pajak penghasilan dari jumlah pembayaran

imbalan jasanya dan cara lain pihak tertentu diwajibkan

memungut pajak penghasilan atas transaksi tertentu. Dengan

demikian untuk lebih jelasnya istilah “memotong pajak” harus

dibedakan dari memungut pajak. Memotong pajak artinya

memotong dari bagian nilai transaksi. Misal pembayaran

imbalan jasa sewa gedung, pengguna jasa yang melakukan

pembayaran sewa tersebut diwajibkan memotong dari bagian yang

dibayarkan, sebagai potongan pajak. Potongan pajak tersebut

disetorkan ke Negara oleh pemotong, yang merupakan pembayar

atau pengguna jasa tersebut. Sedangkan memungut pajak bukan

mengambil dari bagian nilai transaksi tapi dari jumlah nilai

transaksi ditambahkan jumlah pajak yang harus dipungut. Misal

atas impor barang ditambahkan pemungutan pajak yaitu PPh

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Pasal 22, di samping bea masuk, yang harus dibayar oleh

importir sebelum mengambil barang dari pabean.

Penghasilan sebagai obyek pajak, pada umumnya dihitung

untuk suatu periode tertentu. Dalam Undang-undang PPh yang

berlaku di Indonesia, pajak dikenakan atas penghasilan yang

dihitung untuk satu tahun fiskal atau tahun takwin.Dengan

demikian pada akhir periode atau akhir tahun setiap subyek

pajak harus melaporkan perhitungan pajaknya, berapa obyek

pajaknya sesuai Undang-undang PPh, berapa yang sudah dicicil

dan berapa yang sudah dipotong dan dipungut, sehingga dapat

diketahui berapa sisa hutang pajak untuk tahun tersebut.

Berarti perlakuan atas pungutan dan potongan pajak dalam

peraturan perundang-undangan Pajak Penghasilan, bagi yang

dipotong merupakan pembayaran pajak dimuka, yang akan

diperhitungkan dengan hutang pajak pada akhir tahun.

Potongan tersebut tidak semuanya diperhitungkan sebagai

pembayaran pajak di muka, apabila jenis usahanya masuk dalam

kategori yang dikenakan perhitungan pajak final berdasarkan

Pasal 4 ayat (2) Undang-undang PPh, maka dengan potongan

pajak yang dilakukan berdasarkan pasal 4 ayat(2), sudah

dianggap selesai (final) kewajiban wajib pajaknya.

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


1. Pajak Penghasilan Tidak Final

Di dalam peraturan perpajakan diatur bagaimana cara

menghitung, menentukan Obyek Pajak yang merupakan penghasilan

kena pajak yang kemudian dikalikan dengan tarif pajak yang

berlaku untuk mendapatkan hutang pajak untuk satu tahun

pajak. Jumlah hutang pajak tersebut dikurangi dengan pajak

yang dibayar dimuka (kredit pajak) selama tahun berjalan,

akan diperoleh sisa hutang pajak. Sisa hutang pajak ini yang

harus dibayar paling lambat tanggal 25 bulan Maret tahun

berikutnya dari tahun pajak yang dihitung.

Pembayaran pajak selama tahun berjalan tersebut, terdiri

dari :

a. Pembayaran Angsuran yang dilakukan oleh Wajib Pajak

sendiri, hal ini diatur dalam Undang-undang PPh Pasal

253.

b. Pemotongan Pajak yaitu bila Wajib Pajak Dalam Negeri

pada saat menerima pembayaran atas jasa tertentu akan

dipotong pajak. Jika dilihat dari sisi pembayar, berarti

wajib pajak yang membayar imbalan tertentu sesuai

3
Drs. Waluyo, Msc., MM., Ak., dan Drs. Wirawan B. Ilyas, Msi., Perpajakan Indonesia, cet. 2 ,
(Jakarta : Salemba Empat, 2000), hal. 196.

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


peraturan perundang-undangan harus memotong pajak atas

pembayaran tersebut.

Hal ini diatur dalam4 :

Undang-undang PPh Pasal 21 : mewajibkan setiap pengusaha

yang membayar imbalan atas jasa yang diberikan oleh

orang yang bertempat tinggal di Indonesia untuk memotong

pajak penghasilan. Cara perhitungannya diatur oleh

Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak, karena

diatur dalam Undang-undang PPh Pasal 21 maka dalam

pelaksanaan sehari-hari disebut Potongan PPh 21.

Undang-undang PPh Pasal 23 : Mewajibkan setiap pengusaha

yang membayar imbalan atas jasa tertentu kepada orang

atau Badan Hukum yang bertempat tinggal atau

berkedudukan di Indonesia untuk memotong pajak

sebagaimana diatur dalam pasal 23 sehingga dalam

pelaksanaan sehari-hari disebut Potongan PPh 23.

c. Pungutan Pajak yaitu Pajak yang dipungut pada saat

melakukan transaksi tertentu. Misalnya pada waktu impor

barang; atas komoditi tertentu; transaksi dengan pihak

pemerintah, pembayaran melalui bendahara Negara,

4
Indonesia, Undang-undang Tentang Pajak Penghasilan, Undang-undang Nomor 17 tahun 2000,
Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1983.

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


dipungut pajak sebagaimana diatur dalam pasal 22 Undang-

undang PPh sehingga disebut sebagai pungutan PPh 22.

Pemotongan pajak PPh Pasal 21 dan 23, pemungutan pajak

PPh 22 tersebut diatas merupakan potongan dan pungutan yang

pada akhir tahun bersama cicilan pajak penghasilan pasal 25

akan diperhitungkan sebagai pembayaran pajak dimuka yang

telah dilakukan dalam tahun berjalan. Apabila masih ada

kurang bayar merupakan sisa hutang pajak yang harus

diselesaikan.

2. Penghasilan yang Dikenakan Pajak Final

Untuk jenis usaha tertentu, Undang-undang PPh dalam

mengatur perhitungan laba kena pajaknya, tidak menunggu

sampai akhir periode atau akhir tahun, melainkan ditentukan

pada setiap pelaksanaan transaksi dan laba kena pajaknya

dihitung dengan menerapkan tarif tertentu. Pengaturan ini

didasarkan pada Undang-undang PPh Pasal 4 ayat 2 dimana

diatur pihak yang melakukan pembayaran diwajibkan memotong

pajak PPh Pasal 4 ayat 2 tersebut. Di dalam tarif pemotongan

sudah termasuk tarif penentuan laba dan juga tarif pajaknya,

dengan demikian setiap pemungutan pajak tersebut pada setiap

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


transaksi dinyatakan final. Berarti atas transaksi tersebut

pihak Wajib Pajak pada akhir tahun tidak lagi menghitung

kembali berapa penghasilan kena pajak atas transaksi

tersebut. Sebagai konsekuensinya potongan pajak jenis ini

tidak dapat dianggap sebagai pajak yang dibayar dimuka

sehingga tidak dapat diperhitungkan dengan hutang pajak

penghasilannya.

B. Pokok Permasalahan

Penelitian yang bersifat mikro telah banyak dilakukan

oleh beberapa pakar pajak, berikut ini dikemukakan pendapat

dari beberapa ahli yang telah melakukan penelitian berkenaan

dengan perpajakan yang pendekatannya dilihat secara mikro.

Permasalahan yang akan dibahas adalah berkaitan dengan

permasalahan pajak secara mikro di Indonesia.

Berkaitan dengan pemikiran bahwa pajak merupakan

pengurangan atas laba, ditinjau dari pihak masyarakat,

Rose dan O’Niel5 mengemukakan hasil penelitiannya terhadap

pengusaha-pengusaha di Virginia, bahwa keringanan perpajakan

tidak selalu menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan

5
Clarence C. Rose and Cheril J. O'Neil, The Viewer Importance of Invesment Tax Incentive by
Virgina Decision Makers, (ATA Journal, 1985), hal.34-44.

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


keputusan untuk melakukan investasi. Keringanan perpajakan

atas investasi (Tax Incentive) pada sektor tertentu akan

menjadi relevan untuk dipertimbangkan bila pengusaha yang

berkecimpung di sektor yang bersangkutan, melihat masih

adanya kesempatan (potential market). Dan tingkat kegiatan

perusahaan sudah mendekati full capacity. Sehingga upaya

untuk mengisi kesempatan, diperlukan investasi baru. Hal ini

perlu diperhatikan dalam membuat kebijakan fiskal agar dapat

menarik swasta. Kebijakan yang dilakukan dibeberapa negara

dalam memberikan perangsang perpajakan, juga memperhatikan

hal tersebut, misalnya diberikan perangsang perpajakan

untuk sector tertentu yang dinilai cukup mempunyai potensi

pasar tapi kegiatan/investasinya masih kecil.

Dari uraian Rose dan O’Neil diperoleh suatu pemikiran

bahwa dalam mengadakan kebijakan fasilitas perpajakan pada

suatu sektor, perlu diketahui kondisi pengusaha sektor

tersebut.

Penelitian Milliron6 memberikan indikasi bahwa pendapat

masyarakat wajib pajak kemungkinan berbeda dari

pendapat pemerintah maupun para ahli perpajakan mengenai

6
Milliron C. Valerie, An Analysis of The Relationship Between Tax and Tax Complexity, ( ATA
Journal, 1985 ) hal. 19-34.

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


pengaturan pajak. Pemerintah cenderung berpendapat bahwa

dalam rangka memperhatikan keadilan maka kerumitan pengaturan

Undang-undang sampai tingkat tertentu tidak dapat

dihindarkan. Hal ini terutama mengingat bahwa kondisi dari

tiap kelompok wajib pajak maupun keadaan tiap sektor ekonomi

tidak sama. Sehingga perlu penyesuaian dan perlakuan berbeda.

Tetapi di lain pihak, hasil penelitian Milliron terhadap

wajib pajak memberikan masukan yang lain. Justru sebaliknya

para wajib pajak hanya beranggapan bahwa undang-undang pajak

yang rumit menimbulkan ketidakadilan. Ini menunjukan aspek

psychologis yang harus diperhatikan dari segi masyarakat atau

wajib pajak.

Tinjauan lebih jauh atas masalah perpajakan, dilihat

dari segi wajib pajak, dilakukan oleh Betty dan

Sally7,Judi dan Thomas Porcano8. Faktor-faktor yang

berhubungan dengan perilaku wajib pajak (masyarakat) menurut

Betty dan Sally dapat dikategorikan menjadi delapan golongan

yaitu :

7
Betty R Jackson and Sally M Jones, Salience of Tax Evasion Penalties Versus Detection Risk
(ATA Journal, 1985) hal. 7-17.
8
Judy L Porcano and Thomas M Porcano, Incorporating Probability Analysis in Taxpayer Apeal
Decision, (ATA Journal,1985) hal 18-36

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


1. Inflasi dan pengangguran pada tahun-tahun terakhir ini

yang memperburuk faktor-faktor ekonomi.

2. Suatu keyakinan bahwa hukum tidak terjangkau baik dalam

teori maupun praktek.

3. Suatu persepsi bahwa penghidaran pajak sudah diterima

secara umum.

4. Ketidak puasan terhadap prioritas pengeluaran yang

dilakukan pemerintah dan tidak efisiennya administrasi

pemerintah.

5. Sanksi-sanksi dan persepsi bahwa sanksi akan

dilaksanakan.

6. Kesempatan menghindar.

7. Kerumitan undang-undang.

8. Faktor-faktor demography.

Kahneman dan Tversky (1979)9 mengemukakan prospect

theory sebagai alternative dari extended utility theory,

untuk pengambilan keputusan yang ada risikonya. Prospect

theory yang mungkin relevan pada keputusan dalam penghindaran

pajak. Kemudian dapat dilihat bahwa pentingnya pola penerapan

9
Kahneman dan Tversky, Prospect Theory, An Analysis of Decision Under Risk, dalam Betty and
Sally, ibid., hal.9-10.

10

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


sanksi dihadapkan dengan diperhitungkannya risiko ketahuan

(dapat dideteksi).

Prospect theory berpegang pada kenyataan bahwa

pengambilan keputusan mengandung risiko dengan mendasarkan

pada fungsi value masing-masing individunya yang terkadang

dalam menyeleksi alternatif, tidak konsisten dengan tujuan

memaksimumkan manfaat dari pilihan.

Judi dan Thomas Porcano melihat dari segi wajib pajak

lebih mendalam, yaitu keputusan untuk menggunakan kesempatan

mengajukan keberatan (naik banding) atau tidak. Di Amerika,

latar belakang masalah ini adalah pengaturan pajak yang

berbeda dengan pengaturan akuntansi terutama dalam

perhitungan penghasilan kena pajak. Perbedaan itu sering

menimbulkan ketidak-sesuaian paham terhadap keputusan pajak

oleh para wajib pajak. Setiap kali terjadi sengketa pajak,

manajemen dihadapkan pada pilihan antara mengajukan keberatan

kepada otoritas (pengadilan) atau membicarakan dengan pihak

pajak untuk mencapai kesepahaman, meskipun tidak memuaskan.

Penelitian-penelitian yang dikemukakan di atas yang

mendasarkan pada pendekatan mikro, menarik penulis untuk

melihat permasalahan mikro dalam pelaksanaan Undang-undang

11

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Perpajakan di Indonesia. Masalah yang dibahas yang berkaitan

dengan potongan Pajak Penghasilan PPh 21 yaitu potongan pajak

yang diatur dalam Undang-undang PPh Pasal 21. Karena diatur

dalam undang-undang, berarti pihak-pihak yang di tunjuk oleh

Undang-undang untuk memotong pajak atas pembayaran imbalan

tertentu yang disebutkan dalam pasal-pasal tersebut wajib

melakukan pemotongan. Penerapan Undang-undang PPh termasuk

pula, Pasal 21 berlaku juga penerapan asas umum dalam

penerapan undang-undang yaitu ignorantia legis excucat

meminem, yang pada dasarnya berarti tidak memahami undang-

undang atau tidak tahu adanya kewajiban bukan alasan pemaaf10.

Apabila kewajiban pemotongan PPh 21 tidak dilakukan maka

akan ditagih pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa

denda dan bunga. Tagihan tersebut dilakukan melalui mekanisme

yang diatur dalam undang-undang ketentuan umum perpajakan,

yaitu dipungut berdasarkan Surat Ketetapan Pajak11 dan Surat

Ketetapan Pajak dikeluarkan berdasarkan hasil suatu

pemeriksaan12 yang dilakukan oleh pemeriksa pajak.

10
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty, 1999, hal.80
11
Indonesia, Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan, 1983, Pasal 29
12
Indonesia, Undang-undang Ketentuan Umum Perpajakan, 1983

12

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Pemeriksaan dilakukan pada dasarnya untuk menentukan

besarnya jumlah pajak yang terhutang dan tujuan lain dalam

rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan13. Dalam menentukan jumlah pajak terhutang, pada

prakteknya dilakukan sebagai berikut :

Pertama Menentukan Obyek Pajak menurut Undang-undang yang

berlaku, dari pembukuan maupun data-data Wajib

Pajak.

Kedua Meneliti bukti-bukti pembayaran pajak yang telah

dilakukan oleh Wajib Pajak yang dapat dikreditkan

terhadap hutang pajak yang bersangkutan, baik

keabsahannya secara formil maupun kebenarannya

secara materil.

Ketiga Menentukan sisa hutang pajak dan sanksi bunga,

yaitu dengan cara mengurangkan hutang pajak

dengan pajak yang telah dibayar secara sah dan

benar menurut hasil pemeriksaan dan ditambah

dengan perhitungan denda administrasi bila ada.

13
Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1986 tentang Tata Cara Pemeriksaan di
Bidang Perpajakan, Pasal 2.

13

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Hasil pemeriksaan tersebut disampaikan dalam bentuk

Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang dapat diajukan keberatan

bila Wajib Pajaknya tidak menyetujui. Selanjutnya apabila

keberatan masih belum disetujui oleh Wajib Pajak, dapat

diajukan banding ke Pengadilan Pajak.

Sehubungan dengan masalah tersebut, dalam penulisan ini

akan dibahas mengenai beberapa permasalahan berikut dengan

focus pada analisa kasus sengketa pajak PPh 21 yaitu:

1. Apa yang menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat antara

Wajib Pajak dengan pihak fiskus ?

2. Permasalahan apa yang dapat terjadi dalam proses

Pengadilan Pajak ?

3. Bagaimana penerapan hasil keputusan Pengadilan Pajak pada

pelaksanaan perhitungan pajak ?

Atas pertanyaan butir 1 di atas, menurut perkiraan

penulis, masalah yang menjadi pokok dalam keberatan pihak

wajib pajak antara dapat lain disebabkan oleh : perbedaan

perlakuan dan pengaturan antara Akuntansi dengan pajak;

perbedaan interpretasi atas peraturan perundang-undangan

antara Wajib Pajak dengan pihak fiskus; perbedaan

interpretasi atas data-data yang diberikan oleh Wajib Pajak;

14

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


bukti transaksi yang tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak

pada waktu dilakukan pemeriksaan oleh fiskus; sebagian atau

seluruhnya kredit pajak tidak diterima, baik karena alasan

formil maupun material; fiskus melakukan perhitungan pajak

berdasarkan obyek pajak yang dihitung berdasarkan taksiran

atau estimasi; adanya data yang disembunyikan atau tidak

dijelaskan oleh Wajib Pajak, yang ditemukan oleh fiskus

(pemeriksa) pada waktu dilakukan pemeriksaan pajak; karena

Wajib Pajak tidak memahami Undang-undang Pajak; pemeriksa

tidak teliti dalam melakukan pemeriksaan data, misalnya

karena keterbatasan waktu pemeriksaan; pajak yang

dipermasalahkan sudah lama, lebih dari 3 (tiga) tahun

sehingga diduga pihak wajib pajak kesulitan data untuk

pembuktian.

Sedangkan atas pertanyaan butir 2 masalah yang dapat

terjadi dalam proses banding bahwa keputusan Majelis Hakim

Pengadilan Pajak bukan berdasarkan evaluasi atas kebenaran

sanggahan masing-masing pihak atau tidak selalu dapat

sepenuhnya berdasarkan materi yang disengketakan. Hal ini

diperkirakan antara lain dapat terjadi karena : Terbanding

tidak dapat menunjukan berkas atau bukti pendukungnya atau

pemohon sudah tidak dapat memperlihatkan bukti atas

15

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


sanggahannya, atau pemohon tidak hadir pada waktu sidang dan

tidak ada bukti pendukungnya; perubahan keadaan subyek hukum,

misal Subyek Hukum sudah meninggal atau bubar; terungkap

Laporan Keuangan yang digunakan untuk perhitungan pajak bukan

laporan keuangan yang menunjukkan keadaan sebenarnya, karena

laporan keuangan tersebut ditujukan untuk pihak lain misalnya

untuk bank pemberi kredit; dalam proses banding, tidak

seluruhnya diajukan sesuai dengan yang diajukan dalam

keberatan, jadi keputusan banding diduga hanya untuk hal yang

diajukan saja; hasil pemeriksaan oleh fiskus, yang diajukan

dalam banding dinyatakan batal demi hukum karena pemeriksaan

dua kali; hal lain yang mungkin terungkap dalam proses

banding bahwa persetujuan oleh Pemohon banding atas hasil

pemeriksaan pada waktu closing conference tidak menutup

kemungkinan banding, putusan hakim tidak terbatas pada

pertimbangan yang didasarkan pada uraian Pemohon Banding,

melainkan pertimbangan dilakukan secara keseluruhan, termasuk

kesanggupan mengajukan bukti oleh Terbanding, termasuk data

dari pihak ketiga yang digunakan oleh Terbanding.

Untuk pertanyaan butir 3, bagaimana penerapan keputusan

Pengadilan Pajak pada perhitungan pajak baik di Kantor

Pelayanan Pajak, maupun Kantor Pemeriksaan Pajak ? Perkiraan

16

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


penulis penyebarluasan keputusan pengadilan, dan upaya

penerapan keputusan pengadilan dalam pemeriksaan pajak,

pelaksanaannya tidak ada.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari penulisan ini adalah untuk mengetahui

dan diharapkan memberikan gambaran awal untuk penelitian

selanjutnya mengenai apa yang menjadi sebab perbedaan

pendapat dalam perhitungan hutang pajak, permasalahan dalam

proses peradilan pajak dan hal apa saja yang harus

diperhatikan dalam proses Pengadilan Pajak.

Di sisi lain, akan diteliti juga apakah hasil-hasil

keputusan Pengadilan Pajak disosialisasikan kepada para

penghitung dan pemeriksa pajak secara lebih sistematis

sebagai hasil dari suatu peradilan atau tidak ? Hal ini akan

berpengaruh besar dalam penerapan pola pemeriksaan pajak.

Apabila ada satu jenis sengketa atau kesalahan yang terjadi

berulang-ulang dalam Pengadilan Pajak, menunjukkan penanganan

pemeriksaan pajak kurang baik dan tidak menciptakan iklim

usaha yang kondusif. Penulisan ini diharapkan, merupakan awal

dari penelitian-penelitian yang lebih dalam dan luas dalam

perpajakan dan dapat diinformasikan kepada para Wajib Pajak

17

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


maupun pemeriksa, agar kedua belah pihak dapat memahami

permasalahan dalam Pengadilan Pajak, yang pada gilirannya

mendorong effisiensi dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak.

D. Metode Penelitian

Untuk dapat melakukan analisis permasalahan yang menjadi

perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan pihak fiskus,

maupun proses dalam peradilan pajak, dalam bidang pajak PPh

21, akan diambil sampel kasus Pengadilan Pajak PPh 21 yang

telah diputuskan dalam tingkat banding.

Untuk dapat melakukan pendekatan dari sisi hukum pajak,

dilakukan juga metode secara normatif, dimana dilakukan

kajian atas Perundang-undangan Perpajakan khususnya Undang-

undang PPh, Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan dan Undang-undang tentang Pengadilan Pajak.

Untuk dapat melakukan penelitian mengenai penerapan

hasil keputusan Pengadilan Pajak, dilakukan wawancara

terhadap beberapa tim pemeriksa.

18

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


E. Sistematika Penulisan

Sesuai dengan penjelasan di muka, yang akan dibahas

adalah mengenai masalah analisa beberapa kasus pengadilan

potongan pajak PPh 21, maka judul penulisan adalah :

“Analisis Sengketa Pajak dalam Pemotongan Pajak

Penghasilan PPh 21”

Dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah,

pokok permasalahan, tujuan penelitian, metode penelitian

dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21, PEMERIKSAAN, KEBERATAN DAN

BANDING

Dalam bab ini akan dibahas peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan potongan pajak penghasilan, yaitu

PPh 21, uraian tentang pemeriksaan dan terbitnya SKP dan

tata cara pengajuan keberatan dan banding.

19

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


BAB III URAIAN KASUS SENGKETA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

Dalam bab ini akan dibahas mengenai kasus PPh 21 dengan

menjelaskan ringkasan setiap kasus dan penjelasan proses

pengadilan, termasuk yang menjadi amar keputusan.

BAB IV ANALISIS YURIDIS KASUS DAN PENELAAHAN PENERAPAN

PUTUSAN PENGADILAN PAJAK

Dalam bab ini akan disajikan analisis kasus-kasus yang

dikemukakan dalam Bab III, yaitu analisis yang menjadi

pokok perselisihan dan analisis proses penjelasan

banding pajak, terutama hal materi yang menjadi dasar

hukum keputusan dan penerapan putusan banding dalam

pemeriksaan pajak.

BAB V KESIMPULAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan yang

dapat ditarik oleh penulis serta beberapa saran yang

dapat dikemukakan.

20

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


BAB II

TINJAUAN UMUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


TENTANG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21,
PEMERIKSAAN, KEBERATAN DAN BANDING

Terjadinya sengketa pajak pada dasarnya berawal dari

pemeriksaan pajak. Lingkup pemeriksaan pajak dapat bersifat

pemeriksaan kantor yaitu data-data wajib pajak dipinjam oleh

pihak pemeriksa ataupun pemeriksaan lapangan dimana

pemeriksaan dilakukan di lokasi wajib pajak. Pemeriksaan

pajak yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) lebih

bersifat pemeriksaan kantor sedangkan pemeriksaan yang

dilakukan oleh Kantor Pemeriksaan Pajak (Karikpa) dan

pemeriksaan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

(BPKP) bersifat pemeriksaan lapangan. Hal ini akan diuraikan

lebih lanjut dalam pembahasan pemeriksaan.

Hasil dari suatu pemeriksaan adalah Surat Ketetapan

Pajak (SKP) yang disampaikan kepada Wajib Pajak. Pihak Wajib

21

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Pajak yang tidak menyetujui Surat Ketetapan Pajak dapat

mengajukan keberatan. Keberatan diajukan sesuai materi

perhitungan hasil pemeriksaan yang tidak disetujui oleh Wajib

Pajak. Apabila atas SKP tersebut, ada bagian atau seluruh SKP

tidak disetujui, maka atas Surat Ketetapan Pajak tersebut di

ajukan keberatan yang berisikan apa yang tidak disetujui dan

bagaimana seharusnya menurut Wajib Pajak yang bersangkutan.

Pengajuan keberatan harus disertai dengan bukti-bukti

pendukungnya. Atas keberatan terhadap SKP yang diajukan oleh

Wajib Pajak, kantor pajak akan mengeluarkan Surat Keputusan.

Apabila keputusan atas keberatan ini masih belum disetujui

Wajib Pajak, dapat diajukan banding ke Pengadilan Pajak.

Pengajuan banding hanya dapat diajukan atas masalah sengketa

yang materinya sudah pernah diajukan dalam keberatan. Jadi

banding ke Pengadilan Pajak tidak dapat dilakukan atas materi

yang tidak pernah diajukan pada waktu keberatan. Selanjutnya,

Pengadilan Pajak akan mengeluarkan putusan apabila wajib

pajak masih belum menyetujui, dapat mengajukan permintaan

peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Lingkup pembahasan dalam bab ini adalah tentang Pajak

Penghasilan Pasal 21, Pengertian pemeriksaan pajak dan

22

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


hasil pemeriksaan, Keberatan atas ketetapan pajak dan banding

atas keputusan keberatan.

1. PENGATURAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

Pajak Penghasilan Pasal 21 merupakan pajak

penghasilan yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji,

upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama

apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa atau

kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi yang berdomisili

di dalam negeri. Pajak ini dipotong, disetor dan dilaporkan

oleh yang membayarkan imbalan dan berfungsi sebagai pemotong

pajak yaitu pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana

pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggara kegiatan.

Subyek Pajak PPh Pasal 21 adalah penerima penghasilan

yang dipotong PPh Pasal 21; terdiri dari Pegawai Tetap; orang

pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau

memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala.

Pegawai Lepas yaitu orang pribadi yang bekerja pada pemberi

kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang pribadi

yang bersangkutan bekerja, Penerima pensiun, penerima

honorarium, penerima upah dan orang pribadi lainnya yang

23

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan

pekerjaan, jasa dan kegiatan dari pemotong pajak.

Tidak semua penerima penghasilan dipotong PPh 21, ada

yang dikecualikan yaitu : Pejabat Perwakilan Diplomatik dan

Konsulat atau Pejabat lain dari Negara asing dan orang-orang

yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan

bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga

Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh

penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaan tersebut,

serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal

balik; Pejabat perwakilan organisasi internasional yang

ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat

bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau

melakukan kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan di

Indonesia.

Obyek Pajak PPh Pasal 21

Penghasilan yang dipotong pajak penghasilan pasal 21

mencakup : Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara

teratur dan secara tidak teratur (jasa produksi, tunjangan

cuti, dan lain-lain), upah periodik dan upah borongan, uang

tebusan pensiun, uang tabungan hari tua atau jaminan hari

24

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


tua, uang pesangon dan pembayaran lain yang sejenis,

Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama

dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa dan pembayaran lain

sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan

kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak perorangan dalam

negeri, gaji dan tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang

diterima oleh pejabat Negara, PNS, penerimaan dalam bentuk

natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang

diberikan oleh bukan wajib pajak atau wajib pajak yang

kepadanya dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final.

Penghasilan yang tidak dipotong pajak PPh Pasal 21

antara lain : Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi

kesehatan, asuransi kecelakaan, atau asuransi jiwa karena

sudah dilakukan pemotongan pajak pada saat dilakukan

penyetoran iuran asuransi setiap bulannya, kenikmatan berupa

pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja, penerimaan dalam

bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama dan bentuk

apapun yang diberikan oleh pemerintah, penerimaan dalam

bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama atau bentuk

apapun selain yang disebutkan dalam penghasilan dipotong PPh

21.

25

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Penghasilan yang dipotong pajak penghasilan pasal 21

yang bersifat final adalah : Uang Tebusan Pensiun yang

dibayarkan oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan

oleh Menteri Keuangan dan tunjangan hari tua atau tabungan

hari tua yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara

jaminan sosial tenaga kerja, uang pesangon, hadiah dan

penghargaan perlombaan, honorarium atau komisi yang

dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas dinas luar

asuransi, penghasilan bruto berupa honorarium dan imbalan

lain dengan nama apapun yang diterima oleh pejabat Negara,

pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri yang sumber dananya

berasal dari keuangan Negara atau keuangan daerah, kecuali

yang dibayarkan oleh pegawai negeri sipil golongan IId ke

bawah dan anggota TNI/Polri berpangkat Pembantu Letnan Satu

ke bawah atau Ajun Inspektur Tingkat Satu ke bawah.

Pemotongan Pajak

Pada dasarnya yang ditugaskan sebagai pemotong pajak

adalah pihak pemberi penghasilan kepada subyek pajak. Yang

tidak termasuk pemotong pajak yang wajib melakukan

pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak PPh Pasal 21 yaitu

26

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


- Badan Perwakilan Negara Asing

- Organisasi internasional yang dikecualikan sebagai

pemotong pajak PPh Pasal 21.

Cara Menghitung PPh 21

Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi penerima-

penerima penghasilan tertentu wajib pajak dalam negeri

memperhatikan :

1. Pengurangan-pengurangan berupa :

a. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Besarnya PTKP yang berlaku sesuai dengan Pasal 7 Undang-

undang PPh tahun 2000, sebagai berikut :

- Rp. 2.880.000,- untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi.

- Rp. 1.440.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang

kawin.

- Rp. 2.880.000,- tambahan bagi Wajib Pajak yang

istrinya menerima atau memperoleh penghasilan yang

digabung dengan penghasilannya.

- Rp. 1.440.000,- tambahan untuk setiap anggota

keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis

keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi

27

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 orang untuk

setiap keluarga.

b. Biaya jabatan, biaya pensiun dan iuran pensiun.

2. Tarif yang ditetapkan : tarif yang dikenakan bervariasi

yaitu tarif sesuai pasal 17 Undang-undang PPh atau tarif

yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah atau aturan

pelaksanaan lainnya.

Cara perhitungannya adalah sebagai berikut :

1. Pegawai Tetap

- Besarnya penghasilan neto pegawai tetap adalah

penghasilan bruto dikurangi dengan :

a. Biaya jabatan, yang besarnya 5% dari penghasilan

bruto, setinggi-tingginya Rp. 1.296.000,- setahun

atau Rp. 108.000,- sebulan.

b. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh

pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah

disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan

penyelenggara Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua

yang disahkan oleh Menteri Keuangan14.

14
Dapat ditanggung oleh perusahaan dan pegawai tergantung kebijakan perusahaan. Jika iuran
pensiun atau sejenis tersebut sebagian dibayar perusahaan dan sebagian ditanggung pegawai maka yang
dikurangi hanya sebesar iuran yang ditanggung/dibayar pegawai.

28

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


- Besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah penghasilan neto

dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

a. Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan

adalah hanya untuk dirinya sendiri, dan dalam hal

tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya

sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang

menjadi tanggungan sepenuhnya15.

b. Bagi karyawati yang menunjukkan keterangan tertulis

dari pemerintah daerah setempat (serendah-rendahnya

kecamatan) bahwa suaminya tidak menerima atau

memperoleh penghasilan, diberikan tambahan PTKP

sebesar Rp. 1.440.000,- setahun atau Rp. 120.000,-

sebulan dan ditambah PTKP untuk keluarga yang

menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 orang,

masing-masing sebesar Rp. 1.440.000,- setahun atau

Rp. 120.000,- sebulan.

c. Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada

awal tahun takwim. Adapun bagi pegawai yang baru

datang, dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun

takwim, besarnya PTKP tersebut berdasarkan keadaan

15
Keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai
penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib Pajak, dengan memperhatikan persyaratan
lainnya.

29

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang

bersangkutan16.

- Tarif yang diterapkan adalah tarif Pasal 17 Undang-

undang PPh.

2. Pegawai Tidak Tetap, Pemagang dan Calon Pegawai

- Besarnya Penghasilan Kena Pajak dari pegawai tidak

tetap, pemagang dan calon pegawai adalah penghasilan

bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya.

- Tarif yang ditetapkan adalah tarif pasal 17 Undang-

undang PPh yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak.

3. Penerima Pensiun

- Besarnya penghasilan neto penerima pensiun adalah

penghasilan bruto berupa uang pensiun dikurangi

dengan biaya pensiun yaitu biaya untuk mendapatkan,

menagih dan memelihara uang pensiun yang besarnya 5%

dari penghasilan bruto berupa uang pensiun setinggi-

16
Jika misalnya pegawai tersebut baru menikah pada tanggal 1 Februari maka ia tidak akan
mendapat pemotongan PTKP istri. Atau bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia, jika
pegawai tersebut menikah pada tanggal 10 bulan berikutnya maka ia juga tidak akan mendapat potongan
PTKP istri.

30

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


tingginya Rp. 432.000,- setahun atau Rp. 36.000,-

sebulan.

- Besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah penghasilan

neto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak

(PTKP) yang sebenarnya.

- Tarif yang diterapkan adalah tarif Pasal 17 Undang-

undang PPh.

- Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan

yang diterima atau diperoleh penerima pensiun pada

tahun pertama pensiun dihitung sebagai berikut :

a. Untuk menghitung penghasilan neto sebulan, yaitu

penghasilan bruto dikurangi biaya pensiun kemudian

dikalikan banyaknya bulan sejak pegawai yang

bersangkutan menerima pensiun sampai dengan bulan

Desember.

b. Penghasilan neto yang disetahunkan tersebut

ditambah dengan penghasilan neto dalam tahun yang

bersangkutan yang diterima atau diperoleh dari

pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan

pensiun sesuai dengan yang trecantum dalam bukti

pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun.

31

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


c. Menghitung Penghasilan Kena Pajak yaitu jumlah

penghasilan pada huruf (b) dikurangi dengan PTKP,

selanjutnya hitung PPh Pasal 21 atas Penghasilan

Kena Pajak tersebut.

d. Menghitung PPh Pasal 21 atas uang pensiun dalam

tahun yang bersangkutan dengan cara mengurangkan

PPh Pasal 21 pada huruf c dengan PPh Pasal 21 yang

terutang dari pemberi kerja sebelum pegawai yang

bersangkutan pensiun, sesuai dengan yang tercantum

dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum

pensiun.

e. PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah

sebesar PPh Pasal 21 seperti tersebut pada huruf d

dibagi dengan banyaknya bulan sebagaimana dimaksud

pada huruf a.

4. Pegawai yang menerima Upah Harian, Upah Mingguan, Upah

Satuan, Upah Borongan dan Uang Saku Harian

1. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep.

545/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000 tentang Petunjuk

Pelaksaan Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak

Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 sehubungan dengan

32

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi telah

mengatur :

a. Batas penghasilan bruto yang diterima atau

diperoleh pegawai harian dan mingguan, serta

pegawai tidak tetap lainnya sampai dengan jumlah

Rp. 24.000,- sehari, tidak dikenakan pemotongan

pajak penghasilan.

b. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir 1 huruf

“a” tidak berlaku dalam hal penghasilan bruto

jumlahnya melebihi Rp. 240.000,- sebulan atau dalam

hal penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan.

c. Ketentuan butir 1 huruf “a” dan huruf “b” juga

tidak berlaku atas penghasilan berupa honorarium

atau komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang

atau petugas dinas luar asuransi.

Sehingga penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 atas

pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, mingguan,

satuan, borongan dan uang saku harian perlu

memperhatikan:

- Tarif yang diterapkan adalah sebesar 5%.

33

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


- PTKP yang dapat dikurangkan berupa penghasilan yang

tidak dipotong PPh Pasal 21 sebesar Rp. 240.000,-

sehari.

- PPh Pasal 21 yang dipotong dihitung sebagai berikut:

5% (penghasilan bruto sehari – Rp. 24.000,-)

- Untuk mendapatkan jumlah upah harian atau uang saku

harian berlaku ketentuan sebagai berikut :

a. Bila berupa upah mingguan atau uang saku

mingguan dibagi 6 (enam).

b. Bila berupa upah satuan, adalah uapah atas

banyaknya satuan yang dihasilkan dalam satu

hari.

c. Bila berupa upah borongan, adalah jumlah upah

borongan dibagi dengan banyaknya hari yang

dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan dimaksud.

2. Untuk jumlah penghasilan yang melebihi Rp. 240.000,-

dalam satu bulan takwim adalah sebagai berikut :

a. Tarif yang diterapkan adalah tarif pasal 17 Undang-

undang PPh.

34

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


b. PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu hari sesuai

dengan jumlah PTKP yang sebenarnya dibagi dengan

360.

5. Penerima Beasiswa

Beasiswa adalah pembayaran kepada pegawai tetap dan

tidak tetap termasuk calon pegawai yang ditugaskan oleh

pemberi kerja untuk mengikuti program pendidikan yang

ditetapkan oleh pemberi kerja yang terikat dengan

kontrak atau perjanjian kerja. Penghitungan Penghasilan

Kena Pajak dari penerima beasiswa didasarkan pada

penghasilan bruto.

6. Uang Tebusan Pensiun, Jaminan Hari Tua atau Tunjangan

Hari Tua (THT), Uang Pesangon dan Pembayaran lain

sejenis yang dibayarkan sekaligus

Pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa uang

pesangon, uang tebusan pensiun, dan tunjangan hari tua

atau jaminan hari tua telah diatur dalam Keputusan

Menteri Keuangan Nomor 112/KMK03/2001 tertanggal 6

Maret 2001. Peraturan tersebut menyempurnakan pengaturan

sebelumnya, memperjelas cara perhitungan pesangon yang

35

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


kena pajak dan penerapan tarif khusus untuk pesangon

tersebut, yaitu atas penghasilan berupa uang pesangon,

uang tebusan pensiun dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan

Hari Tua yang dibayarkan sekaligus, dipotong pajak

penghasilan yang bersifat final sebagai berikut :

1. Penghasilan bruto sampai dengan Rp. 25.000.000,-

dikecualikan dari pemotongan pajak.

2. Penghasilan bruto diatas Rp. 25.000.000,- sampai

dengan Rp. 50.000.000,- sebesar 5%.

3. Penghasilan bruto diatas Rp. 50.000.000,- sampai

dengan Rp. 100.000.000,- sebesar 10%.

4. Penghasilan bruto diatas Rp. 100.000.000,- sampai

dengan Rp. 200.000.000,- sebesar 15%.

5. Penghasilan bruto diatas Rp. 200.000.000,- sebesar

25%.

7. Hadiah undian dengan nama dan bentuk apapun dipotong

atau dipungut pajak penghasilan bersifat final sebesar

25% dari jumlah bruto hadiah undian.

36

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


8. Honorarium atau komisi yang dibayarkan kepada penjaja

barang dan petugas dinas luar asuransi dipotong pajak

penghasilan bersifat final sebesar 5% jumlah bruto.

9. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Dana Pensiun yang dialihkan

kepada Perusahaan Asuransi Jiwa dengan cara membeli

anuitas seumur hidup

Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 30 ayat 6 dan ayat 7

Undang-undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun,

menyebutkan bahwa tanggung jawab pembayaran pensiun

dapat dialihkan dari pengelola Dana Pensiun kepada

perusahaan asuransi jiwa dengan cara memberi anuitas

seumur hidup. Pembayaran pensiun dapat dilakukan secara

berkala maupun sekaligus, PPh 21 yang dipotong adalah

penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur,

seperti uang pensiun, uang Tabungan Hari Tua, Jaminan

Hari Tua, dan lain-lain.

Perlakuan perpajakan sebagai akibat pengalihan tanggung

jawab tersebut, maka peserta telah dianggap menerima hak

atas manfaat pensiun yang dibayar sekaligus, dipotong

PPh 21 dari penghasilan bruto yang bersifat final dengan

tarif khusus. Akibat perpindahan tanggung jawab

37

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


pembayaran, maka program pensiun berubah menjadi program

asuransi, dimana pada saat peserta menerima hak manfaat

pensiun, perusahaan asuransi tidak lagi melakukan

pemotongan PPh 21 hal ini tentu bertentangan dengan

perlakuan Dana Pensiun yang tidak dialihkan. Pembayaran

premi asuransi (iuran pensiun yang dibayar ke asuransi

jiwa) oleh karyawan tidak dapat dikurangkan dari

penghasilan dalam menghitung PPh 21. Namun, premi

asuransi yang dibayar oleh pemberi kerja dapat

dibebankan sebagai biaya yang dapat mengurangi

penghasilan-penghasilan bruto pemberi kerja dalam

menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP) apabila

pembayaran tersebut juga sebagai penghasilan karyawan.

10. Penghasilan karyawati

Karyawati dengan status kawin, suami berpenghasilan,

akan memperoleh PTKP hanya untuk dirinya sendiri yaitu

sebesar Rp. 2.880.000,- setahun. Karyawati dengan status

kawin, suami tidak berpenghasilan, akan memperoleh PTKP

untuk dirinya sendiri Rp. 2.880.000,- setahun, tambahan

PTKP untuk suami sebesar Rp. 1.440.000,- dan ditambah

lagi PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan paling

38

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


banyak 3 orang, masing-masing sebesar Rp. 1.440.000,-

setahun.

Karyawati dengan status tidak kawin, akan memperoleh

PTKP selain untuk dirinya sendiri sebesar Rp.

2.880.000,- ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang

menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 orang,

masing-masing sebesar Rp. 1.440.000,- setahun.

11. Imbalan atas jasa atau kegiatan yang jumlahnya tidak

dihitung atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk

menyelesaikan jasa/kegiatan yang diberikan

- Wajib Pajak ini meliputi pemain musik, pembawa acara,

penyanyi, seniman, entertainer, distributor

perusahaan multilevel marketing atau direct selling,

olahragawan, pengarang, peneliti, penceramah, peserta

perlombaan, petugas penjaja barang dagangan, petugas

dinas luar asuransi, dan lain-lain.

- Pemotongan PPh 21 dilakukan dengan cara mengalikan

tarif Pasal 17 atas penghasilan bruto.

12. Honorarium Anggota Dewan Komisaris/Pengawas yang tidak

merangkap pegawai tetap

39

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Perhitungan Pajak Penghasilannya berdasarkan tarif Pasal

17 dikalikan dengan penghasilan bruto.

13. Penghasilan Tenaga Ahli

Wajib Pajaknya meliputi : Pengacara, Akuntan, Arsitek,

Dokter, Notaris, Penilai dan Aktuaris.

PPh Pasal 21 = 15% x 50% x Penghasilan Bruto, dimana 15%

adalah tarif pajaknya dan 50% dari penghasilan bruto

merupakan perkiraan penghasilan neto yang disamaratakan

oleh Dirjen Pajak.

14. Penghasilan yang sebagian atau seluruhnya diperoleh

dalam mata uang Asing

PPh 21 atau PPh 26 harus dihitung terlebih dahulu ke

dalam mata uang rupiah berdasarkan nilai kurs yang

ditetapkan oleh Menteri Keuangan secara berkala yang

berlaku pada saat pembayaran penghasilan atau pada saat

dibebankan sebagai biaya.

40

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


15. PPh 21 seluruh atau sebagian ditanggung oleh pemberi

kerja

Jumlah pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja tidak

dapat ditambahkan pada penghasilan pegawai yang

bersangkutan.

16. Tunjangan Pajak

Tunjangan Pajak yang diberikan merupakan penghasilan

bagi pegawai yang bersangkutan, sehingga dalam

perhitungan PPh 21 atas gaji pegawai yang bersangkutan,

tunjangan pajak tersebut ditambhkan pada penghasilan

yang diterimanya.

17. Penghasilan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya

Jika penerimaan natura dan kenikmatan lainnya ini

diberikan oleh bukan wajib pajak, maka perhitungan PPh

21 atas gaji pegawai yang bersangkutan. Penerimaan dalam

bentuk natura atau kenikmatan lainnya tersebut

ditambahkan pada penghasilan pegawai yang bersangkutan.

Pengambilan Dana Pensiun oleh peserta pensiun yang

dibayarkan oleh penyelenggara program pensiun :

41

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


- Tarif yang dikenakan adalah tarif Pasal 17 dikalikan

dengan penghasilan bruto dari penerimaan dana

pensiun.

- Apabila penarikan dana pensiun tersebut dilakukan

beberapa kali dalam setahun takwim, pemotongan PPh 21

yang terutang dilakukan dengan tarif Pasal 17 dengan

penerapan jumlah penarikan kumulatif, misalnya bila

jumlah penarikan kumulatif dana pensiun tersebut

sampai dengan Rp. 25.000.000,- maka tarif pajak yang

dikenakan sebesar 5%. Namun, begitu jumlah penarikan

kumulatif di atas Rp. 25.000.000,- sampai dengan Rp.

100.000.000,- maka tarif pajak yang dikenakan sebesar

10%, begitu seterusnya.

Demikian pengaturan pemotongan PPh 21 yang telah diuraikan

dalam garis besar, yang menjadi pedoman Wajib Pajak maupun

pemeriksa pajak dalam menghitung kewajiban pemotongan Pajak

Penghasilan Pasal 21.

2. PEMERIKSAAN PAJAK DAN HASIL PEMERIKSAAN PAJAK

Direktorat Jenderal Pajak melakukan pengawasan atas

pelaksanaan kewajiban perpajakan oleh para wajib pajak, yaitu

42

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


dengan cara memonitor setiap wajib pajak dalam melakukan

kewajiban perpajakannya, yang dilakukan melalui pengawasan

secara administratif. Selain itu dilakukan pemeriksaan pajak,

oleh pemeriksa pajak dari Direktorat Jenderal Pajak maupun

dari Kantor Pemeriksaan Pajak (Karipka); BPKP; atau tenaga

ahli lainnya.

Sistem self assessment yang telah diterapkan sejak tahun

1983 di Indonesia mensyaratkan peran positif Wajib Pajak

dalam memenuhi semua kewajiban perpajakannya. Wajib Pajak

dipercaya penuh untuk menghitung, menyetor dan melaporkan

kewajiban perpajakannya. Sebagai kosekuensinya Direktorat

Jenderal Pajak berkewajiban untuk mendukung upaya-upaya bagi

lancarnya kegiatan Wajib Pajak yang diwujudkan dengan

penyuluhan insentif dan pelayanan prima.

Selanjutnya Direktorat Jenderal Pajak berkewajiban pula

untuk menegakkan hukum (law enforcement) agar proses dan

pelaksanaan sistem tersebut tetap berada pada aturannya, baik

undang-undang maupun peraturan lainnya. Dengan demikian

pemeriksaan pajak tidak lain merupakan pagar penjaga agar

Wajib Pajak tetap berada pada koridor peraturan perpajakan.

Selain itu penegakan hukum ini menjadi upaya untuk

menciptakan keadilan melalui penerapan peraturan perpajakn

43

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


secara fair, konsisten dan konsekuen; nilai-nilai yang

dituntut pada era masa depan.

Penentuan sasaran pemeriksaan dirancang dengan seksama

sebagai upaya mewujudkan tujuan pemeriksaan yang dinyatakan

dalam Pasal 1 huruf s Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994, yang

selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

“ Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari,


mengumpulkan dan mengolah data dan/atau keterangan
lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan”.

Penyidikan di bidang perpajakan, merupakan tindak lanjut

dari hasil pemeriksaan. Penyidikan diinstruksikan oleh

Direktorat Jenderal Pajak dan dilaksanakan oleh suatu tim

penyidik pajak yang terdiri dari para penyidik pajak pada

kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak dan atau pada unit

pemeriksaan pajak. Hal ini tidak dibahas lebih lanjut karena

di luar konteks pembahasan.

Tujuan pemeriksaan pajak ditegaskan dalam Keputusan

Menteri Keuangan RI Nomor. 545/KMK.04/2000 untuk :

1. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam

rangka memberikan kepastian hukum, keadilan dan pembinaan

kepada wajib pajak.

44

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Hal ini dilakukan terhadap wajib pajak apabila :

a. Surat Pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran

pajak, termasuk yang telah diberikan pengembalian

pembayaran pajak.

b. Surat Pemberitahuan Tahunan Penghasilan menunjukkan

rugi.

c. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau tidak pada

waktu yang telah ditetapkan.

d. Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi yang

ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

e. Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban

tersebut pada butir c tidak dipenuhi.

2. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan

perundangan-undangan perpajakan.

Hal ini juga dilakukan terhadap Wajib Pajak apabila :

a. Pemberitahuan NPWP secara jabatan

b. Penghapusan NPWP

c. Pengukuhan atau Pencabutan pengukuhan PKP

d. Wajib Pajak mengajukan keberatan

e. Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan

Penghasilan Netto.

45

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


f. Pencocokkan data dan atau alat keterangan.

g. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil.

h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN

i. Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan untuk tujuan lain selain huruf a sampai

dengan huruf h.

Berdasarkan dasar hukum tersebut, tujuan utama

pemeriksaan tidak lain adalah upaya untuk menguji dan

mendorong Wajib Pajak agar memenuhi kewajiban perpajakannya

(compliance). Tujuan ini dilakukan berdasarkan prinsip bahwa

tidak terdapat perbedaan perlakuan dalam pemeriksaan pada

Wajib Pajak karena secara yuridis Direktorat Jenderal Pajak

harus memperlakukan hal yang sama (equal treatment) terhadap

semua Wajib Pajak.

Jenis Pemeriksaan

Pemeriksaan Pajak dapat dibagi dalam beberapa jenis

pemeriksaan yaitu :

1. Pemeriksaan Rutin yaitu pemeriksaan yang bersifat rutin

dilakukan terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan

pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya,

46

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


2. Pemeriksaan Kriteria Seleksi yaitu pemeriksaan yang

dilakukan terhadap Wajib Pajak yang terpilih berdasarkan

skor resiko kebutuhan secara komputerisasi,

3. Pemeriksaan Khusus yaitu pemeriksaan yang dilakukan

terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan adanya informasi

data, laporan atau pengaduan yang berkaitan dengannya

sereta untuk memperoleh informasi atau data untuk tujuan

tertentu,

4. Pemeriksaan Lokasi yaitu pemeriksaan yang dilakukan atas

cabang, perwakilan, pabrik dan atau tempat usaha dari

Wajib Pajak domisili,

5. Pemeriksaan Tahun Berjalan adalah pemeriksaan terhadap

Wajib Pajak yang dilakukan dalam tahun berjalan untuk

jenis-jenis pajak tertentu atau seluruh jenis pajak dan

atau untuk mengumpulkan data dan atau keterangan untuk

tujuan tertentu,

6. Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang

dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan terjadinya

tindak pidana di bidang perpajakan,

7. Pemeriksaan Terintegrasi adalah pemeriksaan

terkoordinasi dari dua atau lebih unit pemeriksaan

47

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


terhadap beberapa wajib pajak yang memiliki hubungan

kepemilikan, pengelolaan dan usaha dan atau finasial,

8. Pemeriksaan untuk Tujuan Penagihan Pajak yaitu

pemeriksaan yang dilaksanakan untuk mendapatkan data

mengenai harta wajib pajak/Penanggung Pajak (PP) yang

merupakan obyek sita sehubungan dengan adanya tunggakan

pajak sesuai dengan Undang-undang Penagihan Dengan Surat

Paksa.

Dalam hal Wajib Pajak tidak ada di tempat maka prosedur

pemeriksaan pajak dilakukan dengan cara Pemeriksaan Pajak

ditunda dan dapat dilakukan penyegelan terhadap tempat atau

ruangan tempat menyimpan dokumen, uang atau barang yang dapat

memberikan petunjuk tentang keadaan usaha Wajib Pajak.

Dalam hal Wajib Pajak menolak pemeriksaan maka prosedur

pemeriksaan dilakukan dengan cara membuat Surat Pernyataan

Penolakan Pemeriksaan Pajak, dapat diperlakukan sebagai Wajib

Pajak yang dengan sengaja tidak menyelenggarakan pembukuan

atau pencatatan, tidak memperlihatkan atau meminjamkan buku,

catatan atau dokumen lainnya sehingga dapat dilakukan

tindakan penyidikan.

48

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Ruang Lingkup Pemeriksaan

Pemeriksaan pajak dilakukan oleh pegawai Direktorat

Jenderal Pajak, yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang telah

memiliki keahlian sebagai pemeriksa pajak. Selain itu,

pemeriksa pajak bisa merupakan tenaga ahli yang ditunjuk oleh

Direktur Jenderal Pajak dan diberi wewenang, tugas dan

tanggungjawab sebagai pemeriksa pajak. Tenaga ahli yang telah

ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak adalah pegawai Badan

Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat

Jenderal Departemen Keuangan (Itjen Depkeu), pemeriksa dari

Kantor Akuntan Publik (KAP).

Mengenai ruang lingkup pemeriksaan diatur dalam surat

edaran Dirjen Pajak No : SE-01/PJ.7/2003 (Seri Pemeriksaan

01-03) sebagai berikut :

1. Pemeriksaan Lapangan

Hal ini dilakukan di tempat Wajib Pajak atas satu,

beberapa atau seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan

dan atau tahun-tahun sebelumnya.

Pemeriksaan lapangan dapat dibagi atas 2 pemeriksaan yaitu

a. Pemeriksaan Lengkap (PL) adalah pemeriksaan yang

dilakukan terhadap Wajib Pajak termasuk Kerjasama

49

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Operasi dan Konsorsium, atas seluruh jenis pajak untuk

tahun berjalan dan/atau tahun-tahun sebelumnya, yang

dilakukan dengan menerapkan teknik-teknik pemeriksaan

yang lazim digunakan dalam rangka mencapai tujuan

pemeriksaan,

b. Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) adalah pemeriksaan

lapangan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak untuk satu,

beberapa atau seluruh jenis pajak secara terkoordinasi

antar Seksi oleh Kepala Kantor dalam tahun berjalan

dan/atau tahun-tahun sebelumnya yang dilakukan dengan

menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang dipandang

perlu menurut keadaan dalam rangka mencapai tujuan

pemeriksaan.

2. Pemeriksaan Kantor

Hal ini dilakukan di KPP atau Kantor Penyuluhan Pengamatan

Potensi Perpajakan tertentu Direktorat Jenderal Pajak atas

satu atau beberapa jenis pajak secara terkoordinasi antar

Seksi oleh Kepala Kantor dalam tahun berjalan dan/atau

tahun-tahun sebelumnya yang dilakukan dengan menerapkan

teknik-teknik pemeriksaan yang dipandang perlu menurut

keadaan dalam rangka mencapai tujuan pemeriksaan.

50

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Pemeriksaan kantor hanya dapat dilaksanakan dengan

Pemeriksaan Sederhana Kantor.

Kewenangan dan Kewajiban Pemeriksa Pajak

Dalam pemeriksaan pajak terdapat norma pemeriksaan.

Norma pemeriksaan mencakup norma pemeriksa, norma Wajib pajak

dan norma pemeriksaan. Dengan norma ini hak dan kewajiban

pemeriksa dan Wajib Pajak serta prosedur pemeriksaan yang

dilakukan harus dipahami, sehingga pada pelaksanaan

pemeriksaan dapat dibangun komunikasi yang positif bagi

lancarnya jalan pemeriksaan. Pemahaman terhadap norma

pemeriksaan adalah hal yang penting untuk diperhatikan kedua

belah pihak karena apabila terjadi pengabaian norma maka

seringkali menimbulkan kesalahpahaman antara Wajib pajak dan

pemeriksa. Masalah yang muncul antara lain masalah ijin bagi

pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan usaha Wajib

Pajak, ijin peminjaman buku, catatan dan dokumen usaha Wajib

Pajak, dan perdebatan atas hasil pemeriksaan. Jelas sekali

bahwa diperlukan adanya pemahaman dan kesadaran Wajib Pajak

dan pemeriksa akan hak dan kewajiban dalam pelaksanaan

pemeriksaan agar pemeriksaan dapat dilaksanakan dengan baik

51

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


berdasarkan ketentuan yang berlaku bersifat transparan dan

fair.

Dalam menjalankan tugasnya, pemeriksa memiliki wewenang

serta kewajiban. Adapun wewenang yang dimilikinya meliputi:

memeriksa dan meminjam buku-buku, catatan-catatan, bukti-

bukti pembukuan dan dokumen pendukung lainnya. Meminta

keterangan lisan atau tertulis dari Wajib Pajak. Memasuki

tempat atau ruangan tertentu yang diduga merupakan tempat

menyimpan dokumen, uang, barang yang dapat memberi petunjuk

tentang adanya usaha Wajib Pajak dan/atau tempat-tempat lain

yang dianggapnya penting serta melakukan pemeriksaan fisik di

tempat-tempat tersebut. Melakukan penyegelan tempat atau

ruangan tersebut pada butir di atas apabila Wajib Pajak atau

wakilnya atau kuasanya tidak memberikan kesempatan untuk

memasuki tempat atau ruangan dimaksud atau tidak ada di

tempat pada saat pemeriksaan dilakukan. Meminta keterangan

dan/atau bukti-bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang

mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa.

Adapun kewajiban pemeriksa dalam melaksanakan

pemeriksaan adalah sebagai berikut : Memberitahukan secara

tertulis tentang akan dilakukan pemeriksaan kepada Wajib

52

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Pajak. Memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat

Perintah Pemeriksaan Pajak kepada Wajib Pajak. Menjelaskan

maksud dan tujuan pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan

diperiksa. Memberitahukan kepada Wajib Pajak tentang hasil

pemeriksaan dan memberi penjelasan atas hal-hal yang berbeda

antara hasil pemeriksaan dengan Surat Pemberitahuan (SPT).

Memberikan tanda bukti peminjaman yang menyebutkan secara

jelas dan terinci jenis serta jumlahnya. Merahasiakan kepada

pihak lain yang tidak berhak, segala sesuatu yang diketahui

atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka

pemeriksaan.

Kewajiban Wajib Pajak yang berkenaan dengan pemeriksaan

adalah sebagai berikut : Memperlihatkan dan meminjamkan buku-

buku, catatan-catatan dan dokumen yang berhubungan dengan

kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak sebagaimana

tersebut dalam Pasal 29 ayat (3) huruf (a) Undang-undang

Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana dinyatakan pula dalam Undang-

undang Nomor 9 tahun 1994, dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari

setelah tanggal surat permintaan. Memberi kesempatan kepada

pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang

perlu. Dalam hal pemeriksaan kantor, Wajib Pajak wajib

53

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


memenuhi panggilan sesuai waktu yang ditentukan. Memberi

keterangan yang diperlukan secara tertulis maupun lisan.

Menandatangai Surat Pernyataan Persetujuan apabila seluruh

hasil pemeriksaan disetujui. Menandatangani Berita Acara

Hasil Pemeriksaan apabila hasil pemeriksaan tidak atau tidak

seluruhnya disetujui. Memberi kesempatan kepada pemeriksa

untuk melakukan penyegelan tempat atau ruang tertentu.

Sedangkan hak-hak Wajib Pajak dalam pemeriksaan adalah

sebagai berikut :

a. Meminta pemeriksa untuk menunjukkan tanda pengenal

pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak,

b. Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk menyerahkan Surat

Pemberitahuan Pemeriksaan.

c. Meminta penjelasan mengenai maksud dan tujuan

dilakukannya pemeriksaan, dan

d. Meminta rincian perbedaan hal-hal berdasarkan hasil

pemeriksaan dengan yang dilaporkan Wajib Pajak di Surat

Pemberitahuan (SPT-nya).

54

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


e. Memberikan sanggahan terhadap koreksi-koreksi yang

dilakukan pemeriksa pajak dan menunjukkan bukti-bukti

yang sah dalam rangka closing reference17.

f. Meminta tanda bukti peminjaman buku, dokumen, catatan-

catatan secara rinci.

Produk dari Hasil Pemeriksaan Pajak

Hasil dari pelaksanaan pemeriksaan dituangkan dalam

Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP) yang digunakan sebagai

dasar penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan

Pajak yang isinya berupa tambahan jumlah pajak terutang yang

harus dibayar oleh Wajib Pajak. Dalam hal perhitungan

besarnya pajak yang terutang menurut LPP berbeda dengan SPT

Wajib Pajak maka perbedaan tersebut harus diberitahukan

kepada Wajib Pajak secara tertulis yang dikenal dengan Surat

Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Pajak (SPHP) yang dilampiri

dengan Daftar Temuan Pemeriksa.

Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP) merupakan ikhtisar yang

menggambarkan perbandingan antara Laporan Wajib Pajak (SPT)

dengan hasil pemeriksaan dan penghitungan mengenai besarnya

17
Closing Reference adalah pertemuan antara tim pemeriksa pajak dengan wajib pajak sebagai
penutupan proses pemeriksaan, untuk menjelaskan hasil pemeriksaan dan dampaknya terhadap kewajiban
pajak dari wajib pajak yang bersangkutan.

55

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


pajak-pajak yang terhutang. LPP harus menyatakan dengan jelas

: Tujuan dan ruang lingkup pemeriksaan. Kesimpulan pemeriksa

yang didukung dengan bukti yang kuat mengenai hal yang

berkaitan dengan penyimpangan atas perundang-undangan

perpajakan. Informasi lain yang berkaitan dengan ketentuan

perundang-undangan perpajakan.

Sebagaimana telah ditetapkan oleh ketentuan tersebut,

maka setiap kesimpulan pemeriksa harus didukung dengan bukti

yang kuat. Upaya ini diwujudkan dalam Pembahasan Hasil Akhir

Pemeriksaan yang lebih dikenal sebagai “closing conference”.

Forum ini memungkinkan bagi kedua belah pihak, Wajib Pajak

dan Pemeriksa, untuk mengemukakan dasar/argumen penetapan

perpajakan sebagaimana dikemukakan dalam LPP.Pembahasan Akhir

Hasil Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan karena tanpa

adanya pembahasan ini maka hasil pemeriksaan akan gugur demi

hukum.

Dalam pembahasan akhir pemeriksaan, Wajib Pajak dapat

didampingi Konsultan Pajak dan atau Akuntan Publik. Jangka

waktu pemberian tanggapan atas hasil pemeriksaan dilakukan

sesuai dengan jenis pemeriksaannya. Untuk pemeriksaan lengkap

(all taxes) pemberian tanggapan atas hasil pemeriksaan dan

pembahasan akhir hasil pemeriksaan diselesaikan dalam jangka

56

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


waktu minimal 3 (tiga) minggu setelah pemeriksaan selesai

dilakukan. Untuk pemeriksaan lapangan, pemberian tanggapan

atas hasil pemeriksaan dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu)

minggu setelah pemeriksaan selesai dilakukan, dan untuk

pemeriksaan kantor, hasil pemeriksaan disampaikan kepada

Wajib Pajak segera setelah pemeriksaan selesai dilakukan dan

tidak menunggu tanggapan Wajib Pajak.

Perlu dikemukakan pula bahwa Wajib Pajak memiliki hak

untuk menyatakan keberatannya atau koreksi atas hasil

pemeriksaan dengan mengemukakan alasan yang didukung bukti.

Namun yang paling penting dari proses pemeriksaan dan closing

conference adalah tersedianya forum bagi Wajib Pajak untuk

mengevaluasi pemenuhan kewajiban perpajakannya. Wajib Pajak

yang mampu memperoleh masukan balik (feed back) secara tidak

langsung akan mendorongnya meningkatkan kepatuhannya dengan

melaksanakan peraturan perpajakan dengan benar. Dan apabila

pemeriksa pajak tidak dapat menerima alasan Wajib Pajak,

pemeriksa harus memberi penjelasan pada Daftar Temuan

Pemeriksa.

LPP yang disusun akan digunakan fiskus sebagai dasar

penerbitan produk hukum berupa : Surat Ketetapan Pajak (SKP);

atau Surat Tagihan Pajak (STP); atau Tujuan lain dalam rangka

57

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan.

Perbedaan penghitungan besarnya pajak terhutang menurut

LPP dan SPT diberitahukan dan lazimnya telah dibahas dalam

closing conference. Pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada

Wajib Pajak tidak dilakukan apabila pemeriksaan ditindak

lanjuti dengan penyidikan.

Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dibuat Berita

Acara dan dalam Berita Acara tersebut terdapat dua

kemungkinan yaitu :

1. Berita Acara yang memuat Surat Tanggapan Hasil Pemeriksaan

a. Menyetujui seluruh Hasil Pemeriksaan

b. Tidak menyetujui sebagian/seluruh Hasil Pemeriksaan

2. Berita Acara yang memuat Lembar Pernyataan Persetujuan

Hasil Pemeriksaan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak atau

kuasa Wajib Pajak dengan sebenar-benarnya menyetujui

seluruh Hasil Pemeriksaan.

Sebagai upaya meningkatkan kualitas pemeriksaan,

Direktorat Jenderal Pajak menerapkan peer review18,

18
Peer review adalah penelaahan yang dilakukan oleh rekan pemeriksa atau tim tertentu yang setara
dengan pemeriksaan pajak, atas kertas kerja pemeriksaan yang telah dilakukan, untuk menilai apakah
pemeriksaan yang dilakukan tersebut sudah sesuai dengan tata cara pemeriksaan yang berlaku.

58

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


pemeriksaan yang sudah rampung akan ditelaah dan dikaji

kembali oleh pihak lain.

Pemeriksaan ulang dapat dilakukan jika diperoleh

indikasi terdapat data baru yaitu data yang semula belum

disampaikan. Wajib Pajak yang telah diperiksa untuk satu

jenis pajak tertentu saja, dapat dilakukan pemeriksaan

kembali terutama untuk jenis pajak yang belum diperiksa.

Dalam hal Wajib pajak tidak menanggapi SPHP maka kepada

Wajib Pajak dikirimkan panggilan pertama dan apabila Wajib

Pajak tidak memenuhi panggilan pertama maka dikirimkan

panggilan kedua. Apabila Wajib Pajak tidak memenuhi panggilan

pertama dan kedua dan Wajib Pajak tidak menghadiri PAPH maka

dibuatkan Berita Acara dan Surat Ketetapan Pajak serta Surat

Tagihan Pajak diterbitkan secara jabatan berdasarkan hasil

pemeriksaan yang disampaikan kepada Wajib Pajak.

Surat Ketetapan Pajak dapat berupa :

- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat

ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok

pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran

59

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


pokok pajak, besarnya sanksi administratif dan jumlah yang

masih harus dibayar19.

- Surat ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas

jumlah pajak yang telah ditetapkan. Hal ini diatur lebih

lanjut dalam Undang-undang KUP sebagai berikut :

a. Direktur Jenderal pajak dapat menerbitkan Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu

10 (sepuluh) tahun sesudah saat pajak terutang,

berakhirnya Masa Pajak, Bagian tahun pajak atau Tahun

Pajak, apabila ditemukan data baru dan atau data yang

semula belum terungkap yang mengakibatkan penambahan

jumlah pajak yang terutang.

b. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, ditambah dengan

sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%

(seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.

c. Kenaikan tersebut tidak dikenakan apabila Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan

berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib pajak atas

19
Indonesia, Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-undang
Nomor 6 tahun 1983, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 tahun 1994, Pasal 1 butir
14.

60

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak

belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan.

d. Apabila jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan

Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah

sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat

puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau

kurang bayar, dalam hal ini Wajib Pajak setelah jangka

waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut dipidana karena

melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap.

- Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat

ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan

pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar

daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya

terutang.

- Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak

yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan

jumlah kredit pajak atau tidak terutang dan tidak ada

kredit pajak.

61

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


3. KEBERATAN ATAS SURAT KETETAPAN PAJAK

Apabila Wajib Pajak tidak menyetujui keputusan yang

telah dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana

diatur dalam pasal 25 – KUP, Wajib Pajak dapat mengajukan

keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :

a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

d. Surat Ketetapan Pajak Nihil

e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan

ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan.

Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa

Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau

jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi

menurut penghitungan wajib pajak dengan disertai alasan-

alasan yang jelas.

Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga)

bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau

pemungutan, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan

bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di

luar kekuasaannya.

62

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Untuk dapat menguraikan keberatannya Wajib pajak berhak

untuk meminta keterangan tertulis hal-hal yang menjadi dasar

pengenaan pajak, perhitungan rugi, pemotongan atau pemungutan

pajak.

Dalam hal pengajuan keberatan, Wajib Pajak tidak dapat

menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan kewajiban

pajak.

4. PENGADILAN PAJAK

A. Pengertian, Kedudukan dan Fungsi Pengadilan Pajak

Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang

melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau

penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa

pajak, yang berkedudukan di Ibukota Negara20. Putusan

Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak

memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali

peraturan perundang-undangan mengatur lain21.

Dengan perubahan ketiga tahun 2001 dan keempat tahun

2002 atas Pasal 2 Undang-undang Dasar 1945 disebutkan bahwa:

20
Indonesia, Undang-undnag tentang Pengadilan Pajak, Undang-undang Nomor 14 tahun 2002,
Pasal 2 dan 3.
21
Ibid., Pasal 77 ayat (1) jo. Pasal 80 ayat (2) jo. Pasal 86

63

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi, badan-badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam Undang-undang22.

Di dalam ke-empat lingkungan peradilan tersebut, masih

dapat diadakan dan dibentuk badan-badan peradilan khusus

berdasarkan undang-undang. Di dalam undang-undang tentang

kekuasaan kehakiman ditegaskan bahwa badan peradilan yang

berada dibawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam

lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer

dan peradilan tata usaha Negara23. Secara tersurat dan

pernyataan yang jelas, tidak nampak satu pasal atau ketentuan

yang normative, yang menyebutkan di dalam lingkungan

peradilan mana diantara keempat lingkungan peradilan,

Pengadilan Pajak berkedudukan. Namun dapat disimpulkan bahwa

Pengadilan Pajak dibawah Peradilan Tata Usaha Negara karena :

1. Hal tersebut dinyatakan oleh Menteri Keuangan selaku

wakil pemerintah dalam sambutan persetujuan Rencana

22
Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Pasal 24.
23
Indonesia, Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang Nomor 4 tahun 2004,
Pasal 10 ayat (2).

64

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Undang-undang tentang Pengadilan Pajak, pada tanggal 13

Maret 2002, bahwa Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat

telah menyepakati antara lain bahwa Pengadilan Pajak

merupakan salah satu pengadilan khusus di lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara.

2. Apabila dilihat dan diperhatikan ketentuan-ketentuan

hukum acara yang berlaku bagi Pengadilan Pajak tersebut

mirip dan diilhami oleh hukum acara di Peradilan Tata

Usaha Negara. Dan obyek yang dapat digugat di Pengadilan

Pajak adalah juga suatu keputusan, yaitu keputusan di

bidang pajak.

3. Ditinjau dari segi teoritis pun, hukum pajak merupakan

bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan hukum

antara warga dengan pemerintah, sehingga dapat dikatakan

sebagai Hukum Administrasi yang bersifat khusus24.

24
Prof. Dr. Paulus E. Lotulung SH, Syarat Formal Permohonan Peninjauan kembali di Mahkamah
Agung dan Kriteria Standard Pengambilan Keputusan di Mahkamah Agung menurut sistimatika Undang-
undang Nomor 14 tahun 2002, (Makalah disampaikan pada seminar Sengketa Pajak di Pengadilan Pajak dan
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 10 desember 2003) hal.3.

65

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Sebelum Undang-undang Pengadilan Pajak Nomor 14 tahun

2002 diberlakukan, masalah banding dalam sengketa pajak

dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 17 tahun 1997

tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.

Karena penulisan dibatasi pada pembahasan tentang materi

sengketa dan masalah yang terungkap dalam proses

penyelesaian, tidak berkaitan dengan pengaturan undang-undang

pengadilannya, maka yang dibahas dalam skripsi ini hanya

tentang Undang-undang Pengadilan Pajak Nomor 14 tahun 2002

saja. Perbedaan undang-undang tidak mempengaruhi materi

pembahasan, tentang masalah sengketa dan hal yang terungkap

dalam proses pengadilan.

Fungsi Pengadilan Pajak dilihat dari segi atau nilai

filosofis yang terkandung dalam Pengadilan Pajak yaitu dalam

rangka memberikan perlindungan hukum kepada rakyat atau para

Wajib Pajak, pencari keadilan yang merasa dirinya dirugikan

akibat suatu keputusan pejabat yang berwenang di bidang

perpajakan. Di sisi lain sebagai hak negara juga perlu

diperhatikan dan dilindungi, maka fungsi Pengadilan Pajak

disini dapat dilihat dan ditinjau dari aspek pemberian

keadilan yang menjadi penjaga keseimbangan antara kedua

kepentingan perlindungan tersebut, yang dalam keadaan-keadaan

66

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


tertentu tidak sejalan atau bahkan saling berbenturan25. Dalam

Pengadilan Pajak, yang dipermasalahkan adalah sengketa yang

timbul dalam bidang perpajakan, antara wajib pajak atau

penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai

akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding,

dan gugatan atas pelaksanaan penagihan dengan surat paksa.

Beberapa prinsip hukum dalam Undang-undang Pengadilan

Pajak26 :

1. Kewenangan Pengadilan Pajak mencakup 2 (dua) proses

yaitu proses banding dan proses gugatan.

2. Putusan Pengadilan Pajak dimaksudkan untuk menyelesaikan

sengketa pajak secara adil dan bahwa putusan itu

merupakan putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum

tetap.

3. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya pajak

terutang dari Wajib Pajak (berdasar hitungan secara

teknis perpajakan).

25
Ibid., hal. 5.
26
H P Pangabean SH. Ms., Efektivitas Penanganan Sengketa Pajak di Pengadilan Pajak dan di
Mahkamah Agung, (Makalah disampaikan pada seminar tentang Penanganan Sengketa Pajak di Pengadilan
Pajak dan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 10 Desember 2003) hal. 3.

67

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


4. Pengadilan Pajak menganut prinsip penilaian bukti-bukti

untuk mencari kebenaran materiil.

5. Pengajuan perkara ke Pengadilan Pajak (proses banding

dan proses gugatan) berkaitan dengan penentuan besarnya

jumlah pajak terutang, mengharuskan wajib pajak untuk

melunasi paling sedikit 50% dari jumlah yang

terutang sebagai syarat formal untuk ajukan perkara ke

Pengadilan Pajak27.

6. Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil

pembuktian serta berdasarkan keyakinan hakim28. Keyakinan

hakim didasarkan pada pengetahuan hakim. Pengetahuan

hakim adalah salah satu bukti dalam Hukum Acara

Pengadilan Pajak29.

7. Proses peninjauan kembali ke Mahkamah Agung merupakan

upaya hukum luar biasa untuk penilaian atas aspek-aspek

fakta-fakta yang mendasari terjadinya sengketa

27
Indonesia, Undang-undang tentang Pengadilan Pajak, Undang-undang Nomor 14 tahun 2002,
Pasal 36 ayat 4.
28
Ibid., Pasal 78.
29
Ibid., Pasal 69 jo. Pasal 75.

68

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


perpajakan dan penerapan hukum (penjelasan Undang-undang

Pengadilan Pajak).

Undang-undang Pengadilan Pajak menentukan bahwa

Pengadilan Pajak menangani dua bidang sengketa yaitu:

a. Perkara banding terhadap putusan keberatan menyangkut

teknis perhitungan besarnya pajak terutang30.

b. Perkara gugatan terhadap sengketa atas pelaksanaan

penagihan pajak31.

c. Putusan Pengadilan Pajak telah berlaku serta merta32 dan

d. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan

pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak33.

e. Terhadap putusan Pengadilan Pajak, tidak dapat lagi

diajukan gugatan, banding atau kasasi34.

f. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan

mempunyai kekuatan hukum tetap35.

30
Ibid., Pasal 31 ayat (1).
31
Ibid., Pasal 31 ayat (3).
32
Ibid., Pasal 33
33
Ibid., Pasal 89 ayat (2)
34
Ibid., Pasal 80 ayat (2)
35
Ibid., Pasal 77 ayat (1)

69

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


B. Pelaksanaan Permohonan Banding di Pengadilan Pajak :

1. Permohonan Banding dan Gugatan

Permohonan banding dapat diajukan sendiri oleh pembayar

pajak, ahli waris, seorang pengurus atau kuasa hukumnya.

Apabila selama proses banding, Pemohon Banding meninggal

dunia, banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa

hukum ahli warisnya atau oleh pengampunya bila Pemohon

Banding yang bersangkutan menderita pailit36.

Apabila selama proses banding, Pemohon banding melakukan

penggabungan, peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha atau

likuidasi, permohonan banding dapat dilanjutkan oleh pihak

yang menerima pertanggung jawaban atas penggabungan,

peleburan, pemecahan atau pemekaran usaha atau karena

likuidasi dimaksud37.

Gugatan diajukan sendiri oleh Penggugat dengan disertai

alasan-alasan yang jelas mencantumkan tanggal diterima

keputusan yang digugat serta dilampiri salinan dokumen

yang pelaksanaannya digugat (surat paksa, sita dan

sebagainya). Apabila selama proses gugatan Penggugat

meninggal dunia, gugatan dapat dilanjutkan oleh ahli

36
Ibid., Pasal 37 ayat (1) dan (2)
37
Ibid., Pasal 37 ayat (3).

70

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya atau pengampunya

dalam hal Penggugat pailit38.

2. Syarat Pengajuan Banding dan Gugatan

Surat Banding harus diajukan kepada Pengadilan Pajak sesuai

ketentuan, yaitu :

a. Surat Banding diajukan dengan menggunakan bahasa Indonesia

dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima

keputusan perpajakan yang dibanding, atau 60 (enam puluh)

hari sejak tanggal diterimanya Keputusan Direktur Jenderal

Bea dan Cukai mengenai keberatan kepabeanan dan cukai.

Pengajuan banding dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan tidak

mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat

dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon

banding39.

b. Terhadap satu keputusan diajukan satu Surat Banding40.

38
Ibid., Pasal 41 ayat (1), (2) dan (3).
39
Ibid., Pasal 35 ayat (1) dan (2).
40
Ibid., Pasal 36 ayat (1).

71

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


c. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas

dan mencantumkan tanggal diterima surat keputusan yang

dibanding41.

d. Melampirkan salinan keputusan yang dibanding42.

e. Atas jumlah pajak yang terutang telah dibayar sebesar 50%43

dan

f. Melampirkan Surat Setoran Pajak (SSP), Surat Setoran Bea

Cukai (SSBC), Bukti Pelunasan SPPT PBB atau Bukti

Pemindahbukuan (Pbk). Pemohon Banding tidak harus

melampirkan bukti pelunasan pajak, sepanjang banding

diajukan atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) atau

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SPKLB)44.

g. Melampirkan data dan bukti-bukti pendukung45.

Gugatan atas penagihan dengan surat paksa yang dilakukan oleh

Direktorat Jenderal Pajak harus diajukan sesuai dengan

ketentuan, yaitu46 :

41
Ibid., Pasal 36 ayat (2).
42
Ibid., Pasal 36 ayat (3).
43
Ibid., Pasal 36 ayat (4).
44
Ibid., Pasal 36.
45
Ibid., Pasal 36.
46
Ibid., Pasal 40 ayat 1 – 6.

72

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


1. Gugatan harus diajukan dengan menggunakan bahasa Indonesia

dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak pelaksanaan

penagihan atau 30 (tiga puluh) hari sejak Keputusan selain

pelaksanaan penagihan pajak diterima. Jangka waktu

tersebut tidak mengikat apabila terdapat keadaan di luar

kekuasaan Penggugat.

2. Terhadap satu pelaksanaan penagihan atau satu keputusan

diajukan satu surat gugatan. Apabila Wajib Pajak diwakili

oleh kuasanya maka ia harus menyampaikan Surat Kuasa

bermeterai47 (Pasal 34 ayat (1)).

Dalam pemrosesan disekretariat Pengadilan Pajak, apabila

banding yang disampaikan ternyata tidak atau kurang lengkap,

paling lambat 14 (empat belas) hari sejak Banding

disampaikan, Pemohon Banding akan mendapat surat permintaan

untuk melengkapinya. Kemudian, Pemohon Banding harus

melengkapi permohonan bandingnya yang kurang lengkap / belum

memenuhi persyaratan tersebut paling lambat 3 (tiga) bulan

sejak tanggal diterimanya keputusan yang dibanding.

Setelah itu, untuk menghadiri sidang banding, Pemohon

Banding akan mendapat pemberitahuan sidang paling lambat 14

47
Ibid., Pasal 34 ayat (1).

73

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


(empat belas) hari sebelum persidangan dimulai. Dalam hal

Pemohon Banding atau Penggugat telah menerima salinan Surat

Uraian Banding atau Surat Tanggapan yang dibuat oleh

Terbanding, maka ia dapat memasukkan Surat Bantahan dalam

jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya

salinan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan tersebut.

Pemohon Banding atau Penggugat dapat hadir dalam Sidang

Terbuka penyelesaian sengketa pajak guna memberikan

keterangan lisan dan atau bukti-bukti yang diperlukan,

apabila diminta hadir atau atas inisiatif sendiri

memberitahukan untuk hadir kepada ketua Pengadilan Pajak

secara tertulis. Kehadirannya dalam sidang dapat didampingi

atau diwakili oleh Kuasa Hukum yang telah terdaftar atau

mendapat izin Kuasa Hukum dari Ketua Pengadilan Pajak. Di

samping itu, ia juga dapat meminta kepada Majelis Hakim

Pengadilan Pajak untuk menghadirkan saksi. Sedangkan untuk

mengetahui putusan atas banding, Pemohon Banding dapat hadir

pada Sidang Terbuka pengucapan Putusan.

3. Pencabutan Banding dan Gugatan

Terhadap banding dan gugatan yang diajukan, Pemohon

Banding dapat mengajukan surat pernyataan pencabutan kepada

74

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Pengadilan Pajak dan selanjutnya banding atau gugatan yang

dicabut tersebut dihapus dari daftar sengketa melalui

penetapan Ketua Pengadilan Pajak atau melalui pemeriksaan

dengan Acara Cepat48.

Dengan makin meningkatnya pemahaman hak dan kewajiban

Wajib Pajak, tidak dapat dihindari adanya perbedaan persepsi

dan interprestasi undang-undang perpajakan yang mengakibatkan

terjadinya sengketa diantara Wajib Pajak dan fiskus.

Pengadilan Pajak merupakan satu-satunya badan Pengadilan

Pajak yang mempunyai kompetensi memeriksa dan menyelesaikan

sengketa pajak tersebut.

Dalam rangka pembelaan di Pengadilan Pajak harus betul–

betul mengetahui secara pasti permasalahan yang

disengketakan secara formal dan material disertai dokumen

atau bukti pendukung yang benar dan akurat. Apabila dianggap

perlu, Pemohon Banding dapat menunjuk Kuasa Hukum yang

menguasai masalah perpajakan ataupun menghadirkan saksi-saksi

yang dapat memperkuat alasan bandingnya.

Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan

kembali (PK) atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah

48
Ibid., Pasal 39 dan Pasal 42

75

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Agung, dan ditegaskan bahwa peninjauan kembali hanya dapat

diajukan satu kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan

Pajak49.

Mengenai alasan dan batas waktu pengajuan PK50 yaitu :

a. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu

kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui

setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-

bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.

Pengajuan PK berdasarkan alasan ini, paling lambat sudah

harus diajukan tiga bulan terhitung sejak diketahuinya

kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim

pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan

bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap

persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan

putusan yang berbeda. Pengajuan PK berdasarkan alasan

ini, paling lambat sudah harus diajukan tiga bulan

terhitung sejak ditemukannya bukti tersebut, dan harus

49
Ibid., Pasal 77 ayat (3) dan Pasal 89 ayat (1).
50
Ibid., Pasal 91 dan 92.

76

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


dinyatakan di bawah sumpah dah disahkan oleh pejabat

yang berwenang.

c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang dituntut atau

lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus

berdasarkan pasal 80 ayat 1 huruf b dan c yaitu

mengabulkan sebagian atau seluruhnya dan menambah pajak

yang harus dibayar, PK harus diajukan paling lambat tiga

bulan sejak putusan dikirim.

d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum

diputuskan tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya atau

terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai

dengan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, PK harus diajukan paling lambat tiga bulan

sejak putusan dikirim.

Mahkamah Agung memberikan keputusan dalam waktu 6 (enam)

bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh

Mahkamah Agung, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan

melalui acara biasa. Sedangkan dalam hal Pengadilan Pajak

mengambil putusan melalui pemeriksaan acara cepat, Mahkamah

Agung memberikan keputusan dalam waktu satu bulan sejak

permohonan peninjauan kembali diterima oleh Mahkamah Agung.

77

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


BAB III

URAIAN PENYELESAIAN BEBERAPA KASUS


SENGKETA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

A. Lembaga Banding Penyelesaian Sengketa Pajak

Penyelesaian sengketa pajak dilakukan oleh lembaga

banding, yang sejak tahun 2002 ditangani oleh Pengadilan

Pajak yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002.

Lembaga banding penyelesaian sengketa pajak ini telah

mengalami beberapa perubahan, yaitu sejak tahun 1915

diberlakukan Undang-undang : Raad Vad Beroep in

Belastingzaken, kemudian dirubah dalam tahun 1927 dengan

Ordonantie tot Regelung Van het Beroep in Belastingzaken.

Setelah Indonesia merdeka pertama sekali diadakan

perubahan dalam tahun 1950 dengan dikeluarkan Undang-

Undang tentang Majelis Pertimbangan Pajak, yang kemudian

perubahan dalam tahun 1959 dengan Undang-undang tentang

Perubahan Majelis Pertimbangan Pajak Nomor 5 tahun 1959.

78

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Kemudian pada tahun 1997, dikeluarkan Undang-undang

tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) Nomor 17

tahun 1997. Namun Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP)

ini belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di

Mahkamah Agung, belum sesuai dengan sistem kekuasaan

kehakiman di Indonesia dan oleh karenanya diperlukan suatu

Pengadilan Pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan

kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan

kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak51. Untuk

itu, dalam tahun 2002 dikeluarkan undang-undang tentang

Pengadilan Pajak yang tata caranya telah dibahas dalam Bab

II.

Di sisi lain proses pemeriksaan ditingkat banding,

yang dilakukan dalam persidangan, tidak ada perbedaan dalam

menelaah materi sengketa, baik dalam proses banding yang

dilakukan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) maupun

setelah diubah menjadi Pengadilan Pajak yang menyelesaikan

masalah banding dalam sengketa pajak. Dengan demikian dalam

pemilihan sample hanya mengacu pada kasus yang

sudah

51
Rukiah Handoko, “Eksistensi dan Kompentensi Pengadilan Pajak” (makalah disampaikan pada
Pembukaan Pendidikan Konsultan Pajak Brevet A,B dan C, Fakultas Hukum Universitas Indonesia tanggal 7
Februari 2004), hal 7.

79

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


ditangani dalam proses banding, yaitu mengenai kasus yang

berkenaan dengan potongan pajak Pajak Penghasilan Pasal 21

yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak.

B. Sengketa pajak PPh 21 yang digunakan untuk sample

Telah dikemukakan bahwa dalam skripsi ini dipilih

beberapa kasus untuk meneliti apa yang menjadi sebab

sengketa pajak dan masalah apa yang terjadi dalam proses

persidangan di tingkat banding. Karena dalam pertimbangan

Majelis Hukum Pengadilan Pajak hakim, tidak hanya terbatas

pada alasan pihak pemeriksa, maupun sanggahan dari wajib

pajak dalam penolakan perhitungan, melainkan dengan

meneliti kembali secara keseluruhan dan mendasar pada

pertimbangan lain, seperti : tidak adanya bukti dari pihak

yang bersengketa untuk membuktikan sanggahannya atau

sanggahan masing-masing pihak tidak sesuai dengan bukti

yang diajukan dalam proses banding dan kemungkinan-

kemungkinan lainnya.

80

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Yang Terungkap dalam Persidangan :

1. Terbanding tidak menyampaikan Surat Uraian Bandingnya,

sehingga tidak dapat diketahui alasan dilakukannya

koreksi. Dalam persidangan, Terbanding menyatakan, bahwa

pihaknya tidak dapat menyampaikan Surat Uraian Banding,

Laporan Hasil Pemeriksaan Pajak maupun Kertas Kerja

Pemeriksaan Pajak, menurut penjelasan Terbanding berkas

atas nama Pemohon sudah tidak ditemukan lagi.

2. Pemohon mengakui belum memotong dan membayarkan obyek

PPh Pasal 21 berupa honor tenaga ahli, namun jumlahnya

tidak sebesar koreksi sebagimana yang disebutkan dalam

SKP.Pemohon menyatakan belum mengetahui rincian koreksi

tersebut. Pemohon meminta agar Terbanding dapat

menjelaskan dasar koreksi yang dilakukanya.

Pertimbangan dan Putusan Pengadilan Pajak tanggal 19 Juli

2000 :

Berdasarkan pemeriksaan atas bukti-bukti dan keterangan

dalam persidangan, diketahui bahwa Terbanding tidak dapat

memberikan rincian koreksi kelengkapan data. Dari pengakuan

Pemohon yang menyatakan bahwa memang terdapat obyek PPh Pasal

21 yang belum dipotong/dibayar pajaknya, Majelis Hakim

81

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Pengadilan Pajak menilai, bahwa pengakuan tersebut merupakan

perbaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 Tahun Pajak 1991. Majelis

Hakim Pengadilan Pajak berpendapat, bahwa pengakuan tersebut

dapat dijadikan dasar perhitungan PPh Pasal 21 yang masih

harus dibayar oleh Pemohon. Karena dalam persidangan

Terbanding tidak dapat menjelaskan koreksinya lebih lanjut,

Majelis Hakim Pengadilan Pajak berketetapan bahwa koreksi

positif obyek PPh Pasal 21 yang dilakukan Terbanding tidak

dapat dipertahankan.

Berdasarkan pertimbangan - pertimbangan di atas, Majelis

Hakim Pengadilan Pajak Hakim dari Pengadilan Pajak memutuskan

untuk mengabulkan seluruh permohonan banding yang diajukan.

KASUS KEDUA51

Sengketa antara PT. Y, pemohon banding bergerak dalam

bidang usaha perdagangan dengan Direktorat Jenderal Pajak

sebagai Terbanding.

Terbanding telah menerbitkan SKP Pajak Penghasilan Pasal

21 Tahun 1994, ditujukan kepada Pemohon. Terbanding telah

melakukan koreksi positif obyek PPh Pasal 21 berupa komisi

51
Indonesian Tax Review Vol. II edisi 15, 2003, hal. 12

82

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


karena dalam pemeriksaan atas akun pendapatan dan beban lain-

lain ditemukan pengeluaran komisi yang dibayarkan kepada tiga

orang karyawan dari pihak ketiga atas jasa pekerjaan mereka

yang belum dipungut dan disetorkan pajaknya.

Yang Terungkap dalam Proses Persidangan :

Bukti-bukti pendukung yang diberikan pada saat

penyelesaian proses keberatan, diketahui bahwa pembayaran

tersebut diberikan kepada orang pribadi dan bukan dibayarkan

kepada badan usaha sebagaimana sanggahan Pemohon.

Dalam Surat Permohonan bandingnya, Pemohon tidak

menyampaikan buku, catatan ataupun dokumen/bukti pendukung

lain yang dapat mendukung bandingnya. Pemohon menyatakan

tidak menyetujui koreksi obyek PPh Pasal 21 berupa komisi

yang dilakukan Terbanding. Menurut Pemohon, pihaknya tidak

menyetorkan pajaknya karena pengeluaran tersebut dibayarkan

kepada pemberi proyek yang berbentuk badan usaha. Pemohon

berpendapat bahwa pembayaran kepada badan usaha bukan

merupakan obyek PPh Pasal 21.

83

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Pertimbangan dan Putusan Majelis Hakim tanggal 31

Januari 2000 :

Berdasarkan pemeriksaan atas bukti dan keterangan

dalam persidangan, diketahui Terbanding telah menemukan

pengeluaran berupa komisi yang dibayarkan kepada karyawan

dari pihak ketiga atas jasa pekerjaan yang

dibebankan

pada pos pendapatan dan beban lain-lain yang belum dipotong

dan disetorkan pajaknya. Majelis Hakim Pengadilan Pajak Hakim

dari Pengadilan Pajak berkesimpulan, bahwa pengeluaran

tersebut terbukti merupakan pembayaran komisi kepada karyawan

dari pihak ketiga atas jasa pekerjaan yang dilakukannya.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak Hakim berpendapat bahwa

koreksi obyek PPh Pasal 21 berupa komisi yang dilakukan

Terbanding telah benar dan dapat dipertahankan. Oleh karena

itu Majelis Hakim Pengadilan Pajak Hakim memutuskan untuk

menolak permohonan banding yang diajukan.

84

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


KASUS KETIGA52

Sengketa antara PT. Z, pemohon banding bergerak dalam

bidang usaha jasa pada perusahaan minyak dengan Direktorat

Jenderal Pajak sebagai Terbanding.

Terbanding telah menerbitkan SKP Pajak Penghasilan Pasal

21 Tahun Pajak 1993, berdasarkan hasil pemeriksaan sederhana

kantor, di mana Terbanding telah melakukan koreksi gaji

karyawan asing, penghasilan bruto karyawan lokal dan kredit

pajak. Koreksi gaji karyawan asing dilakukan karena Pemohon

tidak memberikan bukti pendukung laporan keuangan berupa

izin kerja, kontrak kerja dan slip gaji karyawan asing.

Terbanding hanya memiliki SPT Tahunan PPh Pasal 21 saja.

Terbanding melakukan koreksi penghasilan bruto karyawan lokal

karena dalam pemeriksaan ditemukan pembayaran uang pesangon

yang belum dipotong pajaknya.

Menurut Terbanding, uang pesangon tersebut merupakan

penghasilan neto yang berkenaan dengan masa pajak lebih

dari 12 (duabelas) bulan. Terbanding berpendapat, bahwa

Pemohon seharusnya menambahkan penghasilan karyawan

tersebut dalam penghitungan PPh Pasal 21 terutang.

Terbanding melakukan koreksi kredit pajak karena Pemohon

52
Indonesian Tax Review Vol. II edisi 28, 2003, hal. 6 - 12

85

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


hanya memberikan bukti berupa foto copy atas beberapa

pembayaran Fiskal Luar Negeri, sehingga Terbanding tidak

dapat meyakini kebenaran bukti yang diajukan oleh Pemohon.

Sesuai Formulir 1721 huruf a perihal Lampiran angka 4,

Terbading berpendapat bahwa seluruh bukti Fiskal Luar

Negeri harus asli. Terbanding menghitung penghasilan bruto

karyawan asing dengan berpedoman pada Surat Edaran Dirjen

Pajak Nomor SE-25/PJ.43/1993 tanggal 7 Oktober 1993,

menurut Pemohon, penetapan standar gaji yang dilakukan

Terbanding tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Jumlah

gaji karyawan asing yang sesungguhnya adalah sesuai dengan

jumlah yang telah dilaporkan dalam SPT PPh Tahunan PPh Pasal

21.

Yang Terungkap dalam Proses Persidangan :

Dalam surat bandingnya, secara materi Pemohon tidak

memberikan bantahan atas koreksi pesangon tersebut. Menurut

Pemohon, besarnya gaji karyawan yang dilaporkan dalam SPT-nya

sudah benar dan sesuai dengan slip gaji masing-masing

karyawan. Selain itu, Pemohon juga tidak dapat meyetujui

jumlah keseluruhan koreksi penghasilan karyawan lokal yang

dilakukan Terbanding. Menurut Pemohon, Terbanding tidak

86

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


memasukkan gaji satu orang karyawannya, padahal pihaknyaa

telah melaporkan gaji karyawan tersebut dalam SPT-nya.

Dalam Persidangan, Terbanding mengakui bahwa pihaknya

memang tidak memperhitungkan gaji salah satu karyawan Pemohon

ke dalam penghasilan bruto SKP. Namun, perhitungan tersebut

tidak mempengaruhi besarnya PPh terutang maupun PPh yang

telah disetor Pemohon dalam SKP-nya. Terbanding mengusulkan

agar Majelis Hakim Pengadilan Pajak menolak banding yang

diajukan.

Dalam surat bandingnya, Pemohon tidak menanggapi temuan

Terbanding. Pemohon hanya menjelaskan bahwa koreksi tidak

mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Pemohon tidak pernah

menghadiri persidangan. Dari keterangan Kuasa Pemohon,

diketahui bahwa perusahaan Pemohon sudah dibubarkan sejak

tanggal 31 Januari 1994. Menurut Kuasa Pemohon, alamat

perseroan maupun direksi Pemohon di luar negeri sudah

tidak dapat diketahui lagi, dengan demikian, Kuasa Pemohon

menyatakan tidak lagi mewakili Pemohon.

87

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Pertimbangan dan putusan Pengadilan Pajak tanggal 31 Januari

2003 :

Berdasarkan kenyataan di atas, Majelis Hakim Pengadilan

Pajak Hakim berkesimpulan koreksi gaji karyawan asing,

koreksi penghasilan bruto karyawan lokal berupa pesangon dan

koreksi kredit pajak yang dilakukan Terbanding sudah benar,

karenanya tetap dipertahankan

Atas keberatan Pemohon terhadap gaji salah satu

karyawan yang tidak diperhitungkannya dalam penghasilan bruto

di SKP, Majelis Hakim Pengadilan Pajak Hakim berpendapat

bahwa perhitungan tersebut tidak mempengaruhi besarnya pajak

terutang. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berketetapan bahwa

tidak ada sengketa atas gaji karyawan lokal yang belum

diperhitungkan oleh Terbanding. Berdasarkan pertimbangan –

pertimbangan di atas, Majelis Hakim Pengadilan Pajak Hakim

memutuskan untuk menolak seluruh banding yang diajukan.

KASUS KEEMPAT53

Sengketa antara PT. A, pemohon banding bergerak dalam

bidang usaha industri alumunium dengan Direktorat Jenderal

Pajak sebagai Terbanding.

53
Indonesian Tax Review Vol. II edisi 28, 2003, hal. 6 - 12

88

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Terbanding telah menerbitkan SKP Pajak Penghasilan Pasal

21 Tahun Pajak 1994, berdasarkan hasil koreksi positif obyek

pajak PPh Pasal 21 berupa penghasilan bruto pegawai harian

lepas yang terdiri dari komisi penjualan dan fee kepada

pegawai harian lepas, honorarium tenaga ahli, komisi

penjualan ekspor kepada Wajib Pajak luar negeri, dan koreksi

negative kredit pajak. Pemohon sudah mengajukan keberatan,

namun diterima sebagian. Karena masih keberatan atas koreksi

positif obyek PPh Pasal 21 berupa fee kepada pegawai harian

lepas, komisi penjualan, honorarium tenaga ahli, dan koreksi

negative kredit pajak, Pemohon akhirnya mengajukan banding.

Hal yang Terungkap dalam Proses Persidangan :

Tentang fee Karyawan Harian Lepas

Terbanding melakukan koreksi positif obyek PPh Pasal 21

berupa fee kepada pegawai harian lepas karena dalam

pemeriksaan laporan keuangan ditemukan pembayaran fee kepada

pegawai harian lepas yang belum dipotong dan disetorkan

pajaknya. Dalam surat bandingnya, Pemohon tidak memberikan

sanggahan namun dalam persidangan Pemohon menyatakan dapat

menerima koreksi ini. Terbanding mengusulkan agar Majelis

89

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Hakim Pengadilan Pajak mempertahankan koreksi positif obyek

PPh Pasal 21 berupa fee kepada pegawai harian lepas tersebut.

Komisi penjualan tidak pernah terwujud

Terbanding melakukan koreksi positif obyek PPh Pasal 21

berupa komisi penjualan karena dalam pemeriksaan laporan

keuangan ditemukan akun biaya komisi yang belum dipotong

pajaknya. Menurut Terbanding, Pemohon telah mencatat biaya

komisi tersebut dalam akun cadangan biaya. Terbanding

menduga bahwa Pemohon telah membayarkan komisi tersebut,

sehingga seharusnya dipotong PPh Pasal 21. Namun Pemohon

tidak berpendapat demikian. Menurut Pemohon, akun biaya

komisi penjualan hanya digunakan untuk menghitung profit

sharing dan performance masing-masing departemen. Pada akhir

periode, jurnal cadangan biaya tersebut dijurnal balik dengan

mendebet hutang biaya dan mengkredit biaya komisi penjualan,

sehingga pada kenyataannya biaya komisi penjualan tersebut

tidak pernah terwujud.

Bukti Pemotongan Komisi kepada Tenaga Ahli tidak ditemukan

Terbanding melakukan koreksi positif obyek PPh Pasal 21

berupa honorarium tenaga ahli karena dalam pemeriksaan

laporan keuangan ditemukan pembayaran honorarium kepada

tenaga ahli yang belum dipotong pajaknya. Menurut Terbanding,

90

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


pihaknya tidak dapat mengabulkan permohonan keberatan Pemohon

karena dalam berkas keberatannya tidak ditemukan bukti yang

memadai.

Dalam surat bandingnya, Pemohon dapat menyetujui koreksi

positif obyek PPh Pasal 21 berupa honorarium tenaga ahli yang

dilakukan Terbanding. Namun, Pemohon tidak dapat menyetujui

jumlah total koreksi tersebut. Menurut Pemohon, jumlah

honorarium yang belum dipotong pajaknya tidak sebesar

temuan Terbanding. Sebagian besar pembayaran honorarium

kepada tenaga ahli telah dipotong, disetor dan dilaporkan

pajaknya.

Kredit Pajak PPh Pasal 26

Terbanding melakukan koreksi negative kredit pajak PPh

Pasal 21 karena Pemohon telah mengakuinya sebagai kredit

pajak PPh Pasal 26. Sehingga Pemohon seharusnya tidak

mengakuinya sebagai kredit pajak PPh Pasal 21.

Dalam surat banding maupun persidangan, Pemohon tidak

memberikan sanggahan apapun.

91

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Pertimbangan dan Putusan Majelis Hakim Pajak tanggal 20

Februari 2000 :

Dalam surat bandingnya, Pemohon tidak mengajukan

banding atas koreksi positif obyek PPh Pasal 21 berupa

komisi penjualan ekspor kepada Wajib Pajak luar negeri.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak di Pengadilan Pajak

berketetapan bahwa koreksi tersebut tidak dibahas lebih

lanjut. Sementara itu, atas koreksi obyek PPh Pasal

21

lainnya, sesuai data yang diperoleh dalam persidangan

keputusan sebagai berikut :

1. Koreksi Positif Fee Kepada Pegawai Harian Lepas

Karena dalam persidangan diketahui Pemohon dapat

menerima koreksi positif obyek PPh Pasal 21 berupa fee

kepada pegawai harian lepas yang dilakukan Terbanding,

maka Majelis Hakim Pengadilan Pajak Hakim berpendapat,

tidak ada lagi sengketa banding atas koreksi tersebut.

Oleh karena itu Majelis Hakim Pengadilan Pajak Hakim

berketetapan bahwa koreksi positif obyek PPh Pasal 21

berupa fee kepada pegawai harian lepas yang dilakukan

Terbanding sudah benar, karenanya dapat dipertahankan.

92

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


2. Koreksi Positif Komisi Penjualan

Berdasarkan bukti dan keterangan dalam persidangan,

diketahui bahwa buku kas yang oleh Terbanding digunakan

sebagai dasar temuan koreksi positif obyek PPh Pasal 21

berupa komisi penjualan ternyata hanya merupakan

kumpulan jurnal memo cadangan biaya dan jurnal kas

harian yang dijurnal tiap bulan.

Dalam jurnal memo cadangan biaya tersebut, Pemohon telah

mendebet biaya komisi penjualan dan mengkreditkan hutang

biaya. Namun, dalam jurnal memo tersebut, terlihat juga

bahwa Pemohon telah menjurnal balik cadangan biaya

tersebut dengan mendebet hutang biaya dan mengkreditkan

biaya komisi penjualan. Menurut Pemohon, jurnal balik

dilakukan karena pencadangan biaya tersebut sebenarnya

belum direalisasikan. Namun, dari pemeriksaan terhadap

laporan keuangan, Pemohon ternyata telah membebankan

sebagian biaya komisi tersebut dalam potongan harga.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak Hakim berpendapat bahwa

jumlah komisi penjualan yang sebenarnya adalah sesuai

dengan jumlah yang tercatat dalam potongan harga

tersebut. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berketetapan

bahwa koreksi positif obyek PPh Pasal 21 berupa komisi

93

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


penjualan yang dilakukan Terbanding tidak cukup kuat

untuk dipertahankan seluruhnya.

3. Koreksi Positif Honorarium Tenaga Ahli

Berdasarkan bukti dan keterangan dalam persidangan,

diketahui bahwa Pemohon telah memotong dan melaporkan

PPh Pasal 21 atas pembayaran honorarium kepada tenaga

ahli. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berketetapan bahwa

koreksi positif obyek PPh Pasal 21 berupa honorarium

tenaga ahli yang dilakukan Terbanding tidak dapat

dipertahankan.

4. Koreksi Negatif Kredit Pajak

Berdasarkan bukti dan keterangan dalam persidangan,

diketahui bahwa Pemohon tidak menyanggah koreksi

negative kredit pajak PPh Pasal 21 yang dilakukan

Terbanding. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berkesimpulan

bahwa Pemohon dapat menerima koreksi yang dilakukan

Terbanding tersebut. Majelis Hakim Pengadilan Pajak

berketetapan untuk mempertahankan koreksi negatif kredit

pajak PPh Pasal 21 yang dilakukan Terbanding.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas, Majelis

Hakim Pengadilan Pajak Pengadilan Pajak memutuskan untuk

mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan.

94

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


KASUS KELIMA54

Sengketa antara PT. B, pemohon banding bergerak dalam

bidang usaha industri kimia dengan Direktorat Jenderal Pajak

sebagai Terbanding.

Pemohon banding menerima SKP Pajak Penghasilan Pasal 21

Tahun Pajak 1990. SKP tersebut diterbitkan berdasarkan hasil

pemeriksaan, di mana Terbanding telah melakukan koreksi

positif obyek PPh Pasal 21 berupa penghasilan bruto pegawai

tetap, honorarium tenaga ahli dan komisi agen. Terbanding

melakukan koreksi positif obyek PPh Pasal 21 berupa

penghasilan bruto pegawai tetap karena dalam pemeriksaan

ditemukan selisih antara jumlah penghasilan

bruto pegawai tetap dalam laporan keuangan dengan yang

dilaporkan Pemohon dalam SPT-nya. Terbanding menduga bahwa

selisih tersebut merupakan biaya upah yang belum dipotong

pajaknya.

Menurut Pemohon, Terbanding seharusnya tidak mengoreksi

positif biaya upah tersebut, karena upah dibayarkan

54
Indonesian Tax Review, Vol. II edisi 29, 2003, hal. 15-16

95

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


kepada pegawai harian lepas yang berstatus tidak tetap yang

penghasilannya masih di bawah PTKP (Penghasilan Tidak Kena

Pajak). Namun Terbanding tidak mempertimbangkan sanggahan

Pemohon. Sesuai Pasal 21 ayat (1) huruf d Undang-undang Nomor

7 Tahun 1983, Terbanding berpendapat bahwa Pemohon

seharusnya memotong, menyetor dan melaporkan pajaknya.

Terbanding mengusulkan agar Majelis Hakim Pengadilan Pajak

menolak banding yang diajukan.

Hal yang Terungkap dalam Proses Persidangan :

Terbanding melakukan koreksi positif obyek PPh Pasal 21

berupa honorarium tenaga ahli karena dalam pemeriksaan

laporan keuangan ditemukan biaya notaris, konsultan dan

akuntan yang belum dipotong pajaknya.

Dalam surat bandingnya, Pemohon mengakui bahwa pihaknya

memang belum melaporkan biaya notaris, konsultan dan akuntan

dalam SPT-nya. Namun, Pemohon tidak dapat menerima jumlah

total koreksi atas honorarium tenaga ahli. Menurut Pemohon,

Terbanding telah mengoreksi juga biaya operasional sehari-

hari karyawannya untuk mempelajari mesin yang akan dibelinya

dari luar negeri; biaya pembelian buku Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT); dan pembayaran kepada lembaga sertifikasi.

96

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Pemohon berpendapat bahwa pembayaran ketiga biaya di atas

bukan merupakan obyek PPh Pasal 21, sehingga tidak perlu

dipotong pajak.

Terbanding melakukan koreksi positif obyek PPh Pasal 21

berupa komisi agen karena dalam pemeriksaan ditemukan

pembayaran komisi kepada agen yang belum dipotong pajaknya.

Dalam surat uraian banding maupun persidangan, Terbanding

tidak menjelaskan koreksi tersebut lebih lanjut. Terbanding

hanya menjelaskan bahwa, sesuai Pasal 21 ayat (1) huruf d

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, pembayaran komisi kepada

agen seharusnya terutang PPh Pasal 21.

Dalam surat bandingnya Pemohon tidak sependapat dengan

Terbanding. Menurut Pemohon, pembayaran tersebut seharusnya

tidak perlu dipotong pajaknya. Karena, biaya tersebut

bukanlah biaya komisi untuk orang/badan, melainkan biaya

keperluan hidup sehari – hari tim karyawan yang sedang berada

di Agen (kota di Perancis Selatan), jadi bukan biaya untuk

jasa keagenan. Pemohon mengakui bahwa telah terjadi

kekeliruan dalam mengalokasikan biaya tersebut dalam

pembukuannya. Biaya tersebut seharusnya masuk ke akun biaya

operasional bukan dialokasikan sebagai agen.

97

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Pertimbangan dan Putusan Pengadilan Pajak tanggal 21 Juli

1999 :

Dalam persidangan selanjutnya, terjadi perkembangan sebagai

berikut :

1. Koreksi Positif Penghasilan Bruto Pegawai Tetap

Berdasarkan bukti dan keterangan dalam persidangan,

diketahui bahwa biaya upah tersebut benar-benar dibayarkan

kepada pegawai harian lepas yang penghasilannya masih di

bawah PTKP. Namun dalam persidangan, Pemohon ternyata

hanya dapat memberikan sebagian bukti yang dapat

mendukung sanggahannya. Selain itu, diketahui juga bahwa

Terbanding tidak dapat merinci koreksi tersebut lebih

lanjut. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berketetapan bahwa

koreksi positif PPh Pasal 21 berupa penghasilan bruto

pegawai tetap tidak dapat dipertahankan seluruhnya.

Koreksi yang dapat dipertahankan hanya atas biaya upah

yang bukti pendukungnya tidak dapat diserahkan Pemohon.

2. Koreksi Positif Tenaga Ahli

Berdasarkan bukti dan keterangan dalam persidangan,

diketahui bahwa Terbanding telah mengoreksi positif

pengiriman uang melalui salah seorang karyawannya untuk

membiayai operasional karyawannya sehari-hari di luar

98

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


negeri yang sedang mempelajari mesin yang akan dibelinya.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak berkesimpulan bahwa biaya

operasional tersebut bukan penyerahan kepada pribadi untuk

imbalan atas pekerjaan karyawannya dan bukan merupakan

obyek PPh Pasal 21, sehingga koreksi tersebut tidak dapat

dipertahankan.

Selain itu, Terbanding juga telah mengoreksi pembelian

buku PPAT dan pembayaran kepada lembaga sertifikasi.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa kedua

biaya tersebut bukan merupakan obyek PPh Pasal 21.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak berketetapan bahwa

koreksi terhadap kedua hal tersebut tidak dapat

dipertahankan. Namun, karena dalam surat bandingnya

Pemohon telah mengakui belum melaporkan biaya notaris,

konsultan dan akuntan dalam SPT-nya, maka Majelis Hakim

Pengadilan Pajak berketetapan bahwa koreksi positif

obyek PPh Pasal 21 berupa honorarium tenaga ahli hanya

dapat dipertahankan sebagian.

3. Koreksi Positif Komisi Agen

Berdasarkan bukti dan keterangan dalam persidangan,

diketahui bahwa Pemohon memang menugaskan karyawannya

ke Perancis Selatan untuk mempelajari mesinyang dibeli.

99

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Selain itu, diketahui juga bahwa pengeluaran tersebut

dialokasikan untuk biaya operasional sehari-hari selama

karyawan yang bersangkutan berada di luar negeri.

Majelis Hakim berpendapat bahwa biaya tersebut bukan

merupakan obyek PPh Pasal 21, sehingga pajaknya

tidak perlu dipotong, disetor dan dilaporkan dalam

SPT-nya.

Majelis Hakim Pajak berketetapan bahwa koreksi positif

obyek PPh Pasal 21 berupa komisi agen yang dilakukan

Terbanding tidak dapat dipertahankan.

Berdasarkan pertimbangan - pertimbangan di atas Majelis

Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan

sebagian banding yang diajukan.

100

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


BAB IV

ANALISA KASUS DAN PENELAAHAN


PENERAPAN KEPUTUSAN PENGADILAN PAJAK

Dari kasus sengketa Pajak Penghasilan Pasal 21 yang

telah dikemukakan dalam Bab III akan dilanjutkan dalam bab

ini mengenai analisis atas kasus tersebut untuk mendapatkan

apa yang menjadi penyebab dalam perbedaan pendapat dalam

menentukan Obyek Pajak dan kredit pajak dalam menentukan

hutang pajak. Dalam pembahasan di sini hutang pajak adalah

kekurangan jumlah pajak yang seharusnya dipotong oleh wajib

pajak sebagaimana yang diatur Pasal 21.

Telah dikemukakan di muka perbedaan pendapat dapat

terjadi karena berbagai sebab misalnya : Dalam menghitung

obyek pajak, pihak fiskus dengan pihak wajib pajak berbeda

dalam menginterpretasikan Undang-undang. Sebagai contoh;

pihak pajak mengatakan termasuk obyek pajak atas suatu

transaksi pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak ,

berarti harus dipotong PPh 23. Sedangkan menurut Wajib Pajak

tidak termasuk kategori yang harus dipotong pajak.

101

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Kejadian lainnya misalnya sewa yang telah

diperhitungkan sebagai biaya tapi belum terutang dan belum

dibayarkan, oleh fiskus harus sudah disetorkan pajak PPh 23

yang harus dipotong, sedangkan wajib pajak belum melakukan

pemotongan karena belum melakukan pembayaran atas imbalan

jasanya.

Perbedaan perhitungan obyek pajak PPh 21 yang harus

dipungut Wajib Pajak dapat juga terjadi karena perbedaan

interpretasi terhadap data-data yang diberikan oleh Wajib

Pajak. Dengan adanya pengaturan dalam Undang-undang PPh Pasal

4 ayat 1, yang antara lain mengatakan bahwa obyek pajak

penghasilan dihitung berdasarkan konsep seluruh penghasilan

dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Maka dengan adanya pengaturan memberikan dasar bagi

pihak pemeriksa pajak untuk melakukan koreksi dalam

pemeriksaannya dan terjadi koreksi dilakukan atas dasar

estimasi, yaitu pihak pemeriksa melakukan perhitungan obyek

pajak berdasarkan estimasi, bukan berdasarkan data yang ada

di laporan wajib pajak.

Kemungkinan lainnya pihak pemeriksa mempunyai data

tentang obyek pajak PPh 21 dari pihak luar, yang sama sekali

tidak dilaporkan oleh wajib pajak yang bersangkutan sehingga

102

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


pihak pemeriksa melakukan koreksi atas obyek pajaknya.

Timbulnya perbedaan dalam menghitung obyek pajak dapat

terjadi karena beberapa kemungkinan lainnya, yang akan

ditemukan dalam kasus yang akan dipelajari.

Perbedaan perhitungan pajak antara wajib pajak dengan

pemeriksa, selain karena perbedaan dalam perhitungan obyek

pajak juga dapat terjadi karena ada perbedaan pendapat dalam

memperhitungkan pajak yang telah disetor atau dalam istilah

perpajakan, kredit pajak. Perbedaan kredit pajak juga dapat

terjadi disebabkan beberapa kemungkinan yang dapat ditemukan

dalam kasus yang akan dipelajari.

1. ANALISA SENGKETA PPh 21

A. Analisis masalah sengketa PPh 21 – Kasus Pertama :

1. Penyebab terjadinya sengketa adalah karena perbedaan

dalam perhitungan obyek pajak. Perbedaan perhitungan

obyek pajak tersebut karena pemeriksa melakukan

perhitungan berdasarkan pendapatnya. Hal ini dapat

dikategorikan sebagai perhitungan berdasarkan estimasi

pemeriksa. Dalam kasus ini pemeriksa berpendapat bahwa

ada biaya-biaya yang seharusnya dipotong pajak PPh 21,

sedangkan menurut Wajib Pajak tidak demikian.

103

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


2. Hal yang terungkap dalam proses persidangan :

a. Pajak yang dipersengketakan adalah pajak tahun 1991

dan baru diselesaikan pada tahun 2000, berarti sudah

sembilan tahun berlalu. Hal ini menimbulkan

kesulitan, terutama dalam hal pembuktian, dan

ternyata dalam kasus ini salah satu pihak, yaitu

pihak pemeriksa sudah tidak dapat memperlihatkan

data-data hasil pemeriksaan, yang menjadi dasar

keputusan pajak yang diterbitkan dan menjadi sengketa

pajak.

b. Pihak pemeriksa tidak memberikan dasar perhitungan

kepada wajib pajak, hal ini melanggar ketentuan

Undang-undang Perpajakan, yaitu Undang-undang Nomor 6

tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-

undang Nomor 9 tahun 1994 dan Undang-undang Nomor 16

tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan, pasal 25 ayat (6) yang mengatur sebagai

berikut :

Apabila diminta oleh wajib pajak untuk keperluan


pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib
memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang
menjadi dasar pengenaan pajak, perhitungan rugi,
pemotongan atau pemungutan pajak.

104

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Dalam penjelasan pasal tersebut ditegaskan sebagai

berikut :

Agar wajib pajak dapat menyusun keberatan dengan


alasan-alasan yang kuat, wajib pajak diberi hak
untuk meminta dasar-dasar pengenaan, pemotongan
atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan,
sebaliknya Direktur Jenderal Pajak berkewajiban
untuk memenuhi permintaan tersebut diatas.

Dengan demikian sebenarnya telah terjadi pelanggaran

oleh pihak pemeriksa atau Direktorat Jenderal Pajak

dengan tidak memberikan data dasar perhitungan atau

koreksi pajak kepada wajib pajak.

c. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang diambil

tidak berdasarkan materi sengketa yaitu tidak

mendasarkan pada pertimbangan atas pendapat pihak

mana yang benar. Penulis menyimpulkan bahwa Majelis

Hakim Pengadilan Pajak mengambil keputusan

berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu antara

lain diatur bahwa putusan diambil berdasarkan hasil

pembuktian, yang diatur dalam Undang-undang Nomor 17

tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak,

Pasal 77 jo. Pasal 85 ayat (1) huruf f, bahwa putusan

harus memuat pertimbangan dan penilaian setiap bukti

yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan

105

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


selama sengketa diperiksa. Hal yang sama diatur dalam

Undang-undang Nomor 14 tahun 2004 tentang Pengadilan

Pajak, pasal 78 jo. Pasal 84 ayat (1) huruf f. Karena

pihak terbanding tidak dapat memberikan bukti

pemeriksaan dan data-data yang digunakan untuk dasar

ketetapan pajak, maka Majelis Hakim Pengadilan Pajak

memutuskan mengabulkan seluruh permintaan Pemohon

banding atau dengan kata lain membatalkan keputusan

atas keberatan pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat

Jenderal Pajak yang mempertahankan perhitungan

pemeriksa.

d. Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam pemeriksaan dan

memberikan putusan terbatas pada materi hutang pajak

yang disengketakan, berarti terbatas pada materi yang

sudah diajukan dalam Surat Keberatan dan terbatas

pada pengaturan Undang-undang tentang Putusan

Pengadilan, bahwa putusan difokuskan pada masalah

sengketa dalam perhitungan pajak yaitu diatur dalam

Undang-undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan

Pajak Pasal 80 atau dalam Undang-undang yang

sebelumnya berlaku yaitu Undang-undang tentang Badan

Penyelesaian Sengketa Pajak Pasal 79. Dengan demikian

106

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pihak

Direktorat Jenderal Pajak yaitu tidak memberikan data

tentang dasar perhitungan pajak tidak terjangkau.

3. Dengan demikian dari kasus pertama tentang sengketa PPh

21 dapat disimpulkan bahwa :

a. Dasar sengketa adalah perbedaan pendapat dalam

besarnya obyek pajak sehingga berkelanjutan berbeda

dalam perhitungan hutang pajak;

b. Perbedaan dalam perhitungan obyek pajak, karena

perbedaan dalam interpretasi atas data wajib pajak.

Pihak pemeriksa melakukan estimasi dalam menghitung

obyek pajaknya;

c. Umur sengketa pajak terlalu lama, menimbulkan

masalah dalam pembuktian;

d. Putusan atas sengketa tidak didasarkan pada

pertimbangan pihak mana yang benar karena salah

satu pihak tidak dapat mengajukan bukti;

e. Pengadilan Pajak hanya terfokus pada penyelesaian

sengketa dalam hutang pajak, masalah pelanggaran

lain tidak diputuskan untuk ditindak lanjuti.

107

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


B. Analisis masalah sengketa PPh 21 – Kasus Kedua :

1. Penyebab terjadinya sengketa adalah karena perbedaan

dalam perhitungan obyek pajak. Perbedaan perhitungan

dalam obyek pajak tersebut karena pemeriksa melakukan

koreksi berdasarkan temuan. Hal ini dapat dikategorikan

sebagai perbedaan interpretasi atas data wajib pajak.

Pemeriksa berpendapat biaya komisi kepada karyawan pihak

ke-tiga adalah obyek PPh 21.

2. Hal yang terungkap dalam proses persidangan :

a. Pajak yang dipersengketakan adalah pajak tahun 1994

dan baru diselesaikan tahun 2000, berarti sudah

enam tahun berlalu. Lamanya penyelesaian tersebut

merugikan kedua belah pihak, yang nyata bagi

Pemohon tidak dapat mengajukan bukti-bukti

pendukung atas bandingnya.

b. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang diambil

tidak berdasarkan pada pertimbangan pihak mana yang

benar, karena pihak pemohon tidak dapat mengajukan

bukti-bukti pendukung. Sedangkan Terbanding

mendasarkan pada laporan laba rugi tahun 1994,

adanya biaya yang menggunakan nama komisi pada pos

pendapatan dan beban lain-lain. Dengan demikian

108

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


permohonan banding ditolak oleh Majelis Hakim

Pengadilan Pajak dan perhitungan terbanding

dipertahankan. Kasus ini terjadi sama dengan kasus

pertama, hanya disini pihak wajib pajak yang tidak

dapat mengajukan bukti ke Majelis Hakim Pengadilan

Pajak.

3. Dari kasus kedua sengketa pasal 21, dapat disimpulkan:

a. Dasar sengketa adalah obyek pajak;

b. Perbedaan dalam perhitungan obyek pajak, karena

perbedaan atas interpretasi data wajib pajak, pihak

pemeriksa mendapatkan data komisi yang seharusnya

dipotong pajak;

c. Umur sengketa pajak terlalu lama, menimbulkan

masalah dalam pembuktian;

d. Putusan atas sengketa tidak didasarkan pada

pertimbangan pihak mana yang benar, karena salah

satu pihak tidak dapat mengajukan bukti.

C. Analisis masalah sengketa PPh 21 – Kasus Ketiga :

1. Penyebab terjadinya sengketa adalah karena perbedaan

dalam perhitungan obyek pajak dan perhitungan kredit

pajak.Sedangkan perbedaan dalam obyek pajak dikarenakan

109

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


pertama pemeriksa melakukan koreksi gaji karyawan asing

dengan melakukan estimasi. Kedua pemeriksa melakukan

koreksi gaji karyawan lokal karena adanya pembayaran

pesangon. Perbedaan dalam kredit pajak karena bukti

pungutan fiskal luar negeri tidak asli (fotocopy),

sehingga menurut pemeriksa pembayaran tidak dapat

diterima.

2. Hal yang terungkap dalam proses persidangan :

a. Pajak yang dipersengketakan adalah pajak tahun 1993

dan baru diselesaikan dalam tahun 31 Januari 2003,

berarti sudah mendekati sepuluh tahun. Hal ini

dapat merugikan pihak yang terkait. Dalam kasus ini

dalam kurun waktu tersebut wajib pajak yang semula

badan hukumnya sudah bubar (likuidasi). Sehingga

yang diberi kuasa sudah tidak dapat mewakili lagi,

karena pemberi kuasa sudah tidak ada. Seharusnya

yang mewakili wajib pajak yaitu tim likuidatornya55.

b. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang diambil

tidak berdasarkan pada pertimbangan pihak mana yang

benar, karena pihak pemohon tidak hadir dan tidak

55
Ibid., Pasal 37 ayat (3)

110

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


mengajukan bukti. Maka diputuskan perhitungan

terbanding dipertahankan.

3. Dari kasus ketiga sengketa PPh 21, dapat disimpulkan:

a. Dasar sengketa adalah obyek pajak dan kredit pajak;

b. Perbedaan dalam perhitungan obyek pajak, karena

pemeriksa melakukan estimasi gaji karyawan asing

dan perbedaan dalam kredit pajak karena diperlukan

bukti asli;

c. Umur sengketa terlalu lama, menimbulkan masalah

dalam penyelesaian, karena badan hukum wajib pajak

sudah bubar;

d. Putusan atas sengketa, tidak didasarkan pada

pertimbangan pihak mana yang benar, karena salah

satu pihak, yaitu wajib pajak tidak hadir dan tidak

mengajukan bukti. Hal ini sama dengan kasus pertama

dan kedua.

D. Analisis masalah sengketa PPh 21 – Kasus Keempat :

1. Penyebab terjadinya sengketa adalah karena perbedaan

dalam perhitungan obyek pajak dan kredit pajak.

Perbedaan dalam obyek pajak yaitu perbedaan dalam

perhitungan pegawai harian lepas, komisi penjualan dan

111

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


honorarium tenaga ahli. Sedangkan kredit pajak dikoreksi

karena tidak ada bukti pembayaran dan menurut penelitian

sudah dikreditkan untuk pajak lain yaitu PPh Pasal 26.

2. Hal yang terungkap dalam proses persidangan :

a. Pajak yang dipersengketakan adalah pajak tahun 1994

dan baru diselesaikan tahun 2000. Hal ini pada

dasarnya merugikan wajib pajak.

b. Meskipun suatu sengketa telah diajukan keberatan

dan ditolak, namun tidak diajukan banding, Majelis

Hakim Pengadilan Pajak tidak menganggap sebagai

sengketa pajak. Hal ini didasarkan pada Undang-

undang Pengadilan Pajak Pasal 35 ayat (1) bahwa

banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa

Indonesia kepada Pengadilan Pajak berarti yang

tidak diajukan ke tingkat banding meskipun

dipermasalahkan di tingkat keberatan, maka di

tingkat banding tidak dibahas.

c. Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak didasarkan

pada bukti-bukti dan sanggahan kedua belah pihak;

Hal yang kemudian diterima pemohon banding di dalam

sidang, maka oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak

diputuskan untuk mempertahankan perhitungan

112

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


terbanding, demikian pula halnya dengan kredit

pajak.

Biaya yang sebenarnya tidak dikeluarkan oleh

wajib pajak tidak terutang PPh 21 (Undang-undang

PPh Pasal 21; pajak dipotong atas imbalan kepada

perorangan yang terutang atau dibayarkan). Biaya

yang oleh pemeriksa dihitung berdasarkan estimasi

(tenaga ahli) kemudian dihitung berapa potongan

pajaknya tidak dibenarkan Majelis Hakim Pengadilan

Pajak, diputuskan dibatalkan.

3. Dari kasus keempat sengketa PPh 21 dapat disimpulkan:

a. Dasar sengketa adalah obyek pajak dan kredit pajak;

b. Perbedaan dalam perhitungan obyek pajak karena

pemeriksa melakukan koreksi berdasarkan estimasi dan

salah interpretasi data wajib pajak. Sedangkan

perbedaan dalam kredit pajak pada akhirnya disetujui

wajib pajak;

c. Umur sengketa terlalu lama, merugikan kedua belah

pihak, meskipun kedua pihak dapat mengajukan bukti;

d. Keputusan sengketa berdasarkan sanggahan kedua belah

pihak dan dapat disimpulkan : Perhitungan estimasi

113

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


pemeriksa tidak diterima dan hanya obyek PPh 21 yang

dibayarkan atau terutang yang diperhitungkan sebagai

obyek pajak dan dipotong PPh 21. Hal ini sesuai

dengan Undang-undang PPh Pasal 21, pajak terutang

pada saat imbalannya terutang atau dibayarkan.

E. Analisis masalah sengketa PPh 21 – Kasus Kelima :

1. Penyebab terjadinya sengketa adalah perbedaan dalam

obyek pajak. Pemeriksa menerapkan teknik pemeriksaan

ekualisasi, yaitu membandingkan data yang ada di Surat

Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh 21, dengan data yang ada

di laporan keuangan, khususnya laporan laba rugi

perusahaan. Karena hasilnya berbeda yaitu data yang

berkenaan dengan imbalan kepada karyawan dan orang

pribadi dalam laporan laba rugi lebih besar daripada

yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)

PPh 21, maka pemeriksa melakukan estimasi, yaitu selisih

tersebut dikenakan pajak.

Biaya-biaya yang digolongkan sebagai biaya terkena PPh21

menurut pemeriksa adalah biaya pegawai honorarium,

tenaga ahli dan komisi agen. Jumlah biaya tersebut

dibandingkan dengan jumlah gaji dalam SPT Tahunan.

114

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


2. Hal yang terungkap dalam proses persidangan :

a. Pajak yang dipersengketakan adalah pajak tahun 1990

dan baru disidangkan dalam tahun 1999. Dengan

sembilan tahun berlalu merupakan sebab utama

sulitnya ditemukan bukti-bukti pendukung.

b. Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagian

besar mengikuti argumentasi kedua belah pihak,

namun tetap berdasarkan bukti yang dapat diajukan

ke Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Pada dasarnya

estimasi tidak dapat diterima bila tanpa bukti-

bukti yang mendukung bahwa estimasi tersebut layak

dilakukan. Namun estimasi terebut akan ditolak,

apabila sanggahannya dapat dibuktikan.

3. Dari kasus sengketa PPh 21 Kelima, dapat disimpulkan:

a. Dasar sengketa adalah perbedaan dalam perhitungan

obyek pajak;

b. Penerapan teknik ekualisasi dalam koreksi obyek pajak

yang dilakukan pemeriksa, pada dasarnya menggunakan

estimasi dalam perhitungan pajak;

c. Umur sengketa terlalu lama, merugikan kedua belah

pihak, terutama dalam masalah pembuktian;

115

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


d. Ketetapan pajak yang mendasarkan pada estimasi dalam

kasus ini ditolak, bila sanggahan yang diberikan oleh

Wajib Pajak sebagai pemohon banding disertai dengan

bukti-buktinya. Tanpa bukti, sanggahan ditolak

berarti perhitungan dengan estimasi diterima.

Demikian analisa yang dilakukan sehubungan dengan kasus

yang dipilih mengenai masalah sengketa pajak dalam pemotongan

PPh 21 dan masalah yang timbul dalam proses banding. Dalam

Bab V akan dibuat kesimpulan dari analisa tersebut dan hal

lainnya yang ada dalam kasus-kasus tersebut, maupun saran

yang dapat dikemukakan.

2. TINJAUAN ATAS PENERAPAN KEPUTUSAN PENGADILAN PAJAK

Kasus-kasus dalam Pengadilan Pajak dibanding kasus-kasus

di pengadilan lainnya ragamnya lebih sedikit selain lebih

spesifik. Dengan demikian akan banyak kasus sengketa pajak

yang permasalahannya sama dan berulang-ulang terjadi. Kasus-

kasus yang sama tersebut sebenarnya dapat dihindarkan untuk

agar tidak terulang lagi. Sebenarnya, meskipun pengadilan di

Indonesia tidak menganut asas yurispendensi dimana hakim

tidak harus mengikuti keputusan-keputusan pengadilan atau

hakim yang terdahulu. Namun dalam hal pajak bagi pemeriksa

116

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


bila telah mengetahui keputusan-keputusan dalam masalah yang

sama, ketika melakukan pemeriksaan akan lebih mudah dalam

menentukan solusi dan kemungkinan terjadi kesalahan yang

berulang dapat dihindarkan, sehingga tidak memberatkan

masyarakat khususnya wajib pajak.

Dari peninjauan dan wawancara dengan petugas pajak yang

dilakukan di beberapa Kantor Pelayanan Pajak dan Kantor

Pemeriksa Pajak, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Tidak ada sosialisasi khusus yang ditujukan bagi

pemeriksa pajak mengenai penyelesaian kasus-kasus di

Pengadilan Pajak.

2. Kantor Pelayanan Pajak hanya terlibat dalam suatu kasus

dimana Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan sebagai

Terbanding. Dengan demikian terbatas pada kasus dimana

Kantor Pelayanan Pajak tersebut sebagai terbanding saja

dan lagi pula yang mengetahui hanya terbatas pada

pejabat yang bertugas mewakili di pengadilan, yang

sangat mungkin bukan dari pemeriksa.

Wawancara dilakukan :

117

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Nama Kantor Jabatan
Rinaldi S.H. KPP Makasar Kepala KPP
Reza S.E. KPP Setiabudi, Jakarta Seksi PPh Badan
Johny Tobing SE. Kantor Pemeriksaan dan Kepala Kantor
Ak. Penyidikan Pajak,
Jakarta Tiga
Prasetyo SE.Ak. Kantor Pemeriksaan dan Supervisor
Penyidikan Pajak, Pemeriksa
Jakarta Satu
Ikhwanudin KPP Kebayoran Baru, Ketua Tim
Jakarta Pemeriksa
Sularno Ketua Pemeriksaan dan Tim Pemeriksa
Penyidik Pajak, Jakarta
Khusus-Satu
Sutarwan Kantor Pemeriksaan dan Tim Pemeriksa
Penyidikan Pajak,
Jakarta Khusus-Dua

118

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari beberapa kasus sengketa PPh 21 yang telah diteliti,

nampak bahwa penyebab sengketa, maupun hal lain yang

diketahui dan terjadi dalam proses pengadilan, ada yang

terjadi berulang di beberapa kasus meskipun sample yang

dipilih terbatas. Di sisi lain hal yang tidak terulang di

dalam kasus yang terpilih, besar kemungkinan terulang di

kasus lainnya. Hal ini dikarenakan bidang perpajakan terbatas

cakupannya dan juga tiap Surat Ketetapan Pajak terbatas pada

satu pajak tertentu, sehingga dengan keterbatasan lingkup

tersebut kejadian yang sama sangat mungkin terjadi berulang

kali.

Beda halnya dengan kasus di peradilan umum, antara kasus

sengketa sangat mungkin bervariasi baik dalam hal latar

belakang kejadian maupun masalah sengketanya. Berulangannya

terjadi masalah, tidak selalu mudah diatasi, misalnya dengan

menyebarkan informasi, hal ini tergantung dari

permasalahannya.

119

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


Dari beberapa kasus yang diuraikan dalam bab sebelumnya,

masalah umur sengketa yang terlalu lama, bukan hal yang mudah

untuk ditanggulangi. Hal ini dapat terjadi karena

terlambatnya pemeriksaan dilakukan, misalnya perkara pada

tahun 1990 baru diperiksa tahun 1995, kemudian keberatan

yang diajukan baru dikeluarkan pada tahun berikutnya, yaitu

mendekati tanggal batas akhir jawaban atas keberatan harus

diberikan, yaitu satu tahun setelah keberatan diterima. Hal

ini berakibat ketetapan yang dibuat oleh Direktorat Jenderal

Pajak, tidak akurat. Belum lagi masalah penanganan banding

yang hanya ada satu untuk seluruh Indonesia. Sehingga hal ini

dapat merusak mutu Pengadilan Pajak, kekurangan ini perlu

ditanggulanggi karena kepastian hukum dalam pajak yang tidak

berjalan sebagaimana mestinya dapat merusak iklim usaha.

Sengketa pajak pada umumnya disebabkan karena perbedaan

dalam penentuan obyek pajak. Dapat juga terjadi perbedaan

perhitungan hutang pajak karena perbedaan dalam perhitungan

kredit pajak, namun kecenderungannya tidak sebanyak perbedaan

dalam perhitungan Obyek Pajak. Dari proses persidangan

banding dalam kasus yang dipelajari, perbedaan perhitungan

obyek pajak cenderung disebabkan karena pihak pemeriksa

120

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


melakukan estimasi dalam menentukan obyek pajak. Terutama

menginterpretasikan bahwa dalam pos pengeluaran tertentu

merupakan obyek pajak. Hal ini sering dilakukan oleh fiskus

dengan menggunakan pembanding dari data lain. Pada dasarnya

Majelis Hakim Pengadilan Pajak Hakim tidak membenarkan

perhitungan tersebut, namun pihak wajib pajak harus

memberikan sanggahan dengan bukti-buktinya. Apabila tanpa

bukti tidak akan diterima sanggahannya, berarti perhitungan

dengan estimasi dibenarkan. Hal ini memberatkan pihak wajib

pajak, seharusnya kedua belah pihak harus membuktikan

kebenaran perhitungan dan mendasarkan pada prinsip dasarnya.

Dalam hal potongan pajak PPh 21, sebenarnya ini adalah pajak

dari pihak yang menerima imbalan. Dengan demikian seharusnya

diperhatikan apakah pihak penerima imbalan telah membayar

pajak atau belum atas penghasilannya. Kalau sudah membayar

pajak, seharusnya yang wajib memotong dibebaskan, tidak perlu

ditagih lagi.

Karena tidak demikian perlakuannya maka yang penting

diperhatikan adalah sistem penyimpanan data oleh Wajib Pajak,

terutama dalam menyimpan bukti pembayaran pajak. Baik dalam

bentuk SSP maupun fiskal luar negeri atau bukti pungutan

121

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


pajak. Sering terjadi Wajib Pajak menyimpan dokumen tersebut

tidak secara khusus, melainkan hanya disimpan sebagai bukti

pembayaran kas saja. Akibatnya pada saat diperlukan pada

waktu pemeriksaan, bukti tanda bayar pajak tersebut Surat

Setoran Pajak (SSP) tidak dapat ditemukan atau ada yang hanya

fotocopy. Sedangkan untuk pembuktian dalam pemeriksaan, yang

diterima sebagai bukti pembayaran hanya yang asli saja. Jadi

sebenarnya Wajib Pajak seharusnya menyimpan data dan

memelihara bukti-bukti pembayaran pajaknya. Hal ini menjadi

masalah bukan hanya pada waktu pemeriksaan, melainkan juga

saat di Pengadilan Pajak, hanya bukti asli yang diterima.

Hal yang tersirat dalam permasalahan sengketa pajak

bahwa pengelolaan pajak dari perusahaan harus benar-benar

baik. Termasuk manajemen pajak pada saat dilakukan

pemeriksaan oleh pihak pajak. Data-data yang diminta harus

secepatnya diserahkan, dan lebih sempurna lagi bila data-data

sudah selalu tersedia sebelum ada pemeriksaan pajak.

Dari proses banding atas beberapa kasus yang dipilih

dapat dipahami beberapa kesimpulan yaitu :

122

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


1. Dalam Pengadilan Pajak, pihak hakim hanya mengadili dan

memutuskan masalah yang diajukan atau disanggah oleh

Pemohon. Pemeriksaan dalam Pengadilan Pajak hanya

terbatas pada surat sanggahan yang diajukan, yang

tentunya sudah harus mengikuti syarat-syarat formil.

Dengan demikian dugaan bahwa tidak ada keputusan dalam

Pengadilan Pajak yang menambah tagihan pajak yang telah

dikeluarkan oleh fiskus sebelumnya atau yang

disengketakan, dapat dipastikan tidak akan terjadi.

2. Dalam proses Pengadilan Pajak, sidang tetap berjalan

meskipun pihak yang bersengketa tidak hadir. Bahkan

tidak hadir selama sidang berlangsung, asalkan dalam

surat sanggahan sudah jelas sanggahan dan buktinya.

3. Dari beberapa kasus yang dipilih, sebagian besar dari

kasus yang terjadi, pihak pemeriksa tidak dapat

membuktikan hasil perhitungannya. Hal ini menunjukkan

bahwa adanya indikasi pihak fiskus memang sering

melakukan perhitungan pajak secara tidak profesional.

Hal ini dimungkinkan terjadi, karena dalam undang-undang

diatur bahwa keberatan atas ketetapan pajak tidak

123

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


menunda pembayaran pajak. Meskipun dalam upaya banding

yang diisyaratkan dalam undang-undang hanya limapuluh

persen yang harus dibayar.

Ketentuan tersebut memungkinkan seorang petugas pajak

melakukan penekanan kepada Wajib Pajak pada waktu

pemeriksaan. Kemungkinan ini terdorong dengan tidak

adanya sanksi terhadap pemeriksa bila perhitungannya

tidak benar. Sedangkan hal ini sudah sangat memberatkan

Wajib Pajak.

4. Di sisi lain dalam proses Pengadilan Pajak pihak hakim

dalam mengambil keputusan berdasarkan bukti-bukti yang

diajukan dalam sidang.

5. Dalam Pengadilan Pajak, Majelis Hakim Pengadilan Pajak

hakim juga melihat dan menilai apakah proses terjadinya

surat ketetapan pajak sudah sesuai dengan peraturan yang

berlaku.

124

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


6. Dapat disimpulkan dari uraian di atas bahwa pengadilan

hanya memproses suatu banding bila diajukan dalam surat

sanggahan, yang sebelumnya sudah diajukan pada waktu

keberatan.

7. Pengajuan banding dapat dilakukan hanya atas sebagian

dari yang diajukan dalam keberatan, tapi tidak dapat

melebihi materi keberatan.

Beberapa saran yang dapat dikemukakan dari hasil analisa

beberapa kasus sengketa PPh 21 yaitu :

1. Dari segi perundang-undangan pajak, masih ada beberapa

kelemahan yang perlu disempurnakan. Sehubungan dengan

topik pembahasan, hal yang perlu diperhatikan adalah

tentang pengaturan keberatan dan banding.

Dalam keberatan disebutkan bahwa pengajuan keberatan

tidak menunda kewajiban pembayaran pajak. Berarti pihak

pemungut pajak dapat melakukan pemaksaan agar pajak

terhutang yang telah dikeluarkan harus dibayar oleh

wajib pajak.Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam

undang-undang tentang banding dalam Pengadilan Pajak.

Dalam pengaturan banding yaitu dalam Undang-undang

Pengadilan Pajak disebutkan, minimum pajak terhutang

125

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


dibayar lima puluh persennya. Dilihat dari asas hukum,

tentunya undang-undang yang terakhir yang akan diikuti.

Namun dalam peraturan pelaksanaan penagihan pajak

pengaturannya berbeda, yaitu pengajuan keberatan tidak

menunda pembayaran pajak, sedangkan ditingkat banding

disebutkan hanya lima puluh persen yang harus dibayar.

2. Dari sisi wajib pajak pengaturan pembayaran atas Surat

Keputusan Pajak (SKP) dalam hal diajukan keberatan cukup

memberatkan bagi wajib pajak. Bagaimana halnya kalau

pihak pemeriksa menghitung pajak secara tidak benar,

secara estimasi atau menginterpretasi data hanya

berdasarkan pendapatnya saja, yang jelas-jelas salah,

apakah wajib pajak tetap harus membayar pajak yang salah

hitung tersebut.

Di sini dirasakan dari segi filosofi hukum, peraturan

tersebut tidak adil. Hal ini perlu disempurnakan

pengaturannya, yang tentunya harus diperhatikan juga

bahwa pemerintah yang diwakili oleh pihak pajak

(Direktorat Jenderal Pajak) perlu mempunyai dukungan

hukum dalam pemungutan pajak.

3. Dapat juga dibuatkan peraturan agar pihak pemeriksa

tidak sewenang-wenang mengeluarkan ketetapan pajak atau

126

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005


salah secara total. Ataupun bila dalam keputusan hakim

Pengadilan Pajak berbeda jauh dengan keputusan pajak,

penghitung harus dapat mempertanggung jawabkan kepada

atasannya dan dapat dikenai sanksi.

4. Pembinaan terhadap wajib pajak kiranya masih harus

ditingkatkan, masih banyak wajib pajak yang kurang

memadai dalam menyiapkan pembukuan dan bukti-bukti

transaksi maupun bukti pembayaran pajak. Selain itu

pemahaman peraturan pajak belum secara menyeluruh

dimengerti oleh masyarakat. Jika dilihat dalam kurikulum

perkuliahan, bahkan dalam Fakultas Hukum Universitas

Indonesia belum merupakan mata kuliah wajib, hanya untuk

semester empat. Demikian juga dengan Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia, mata kuliah pajak hanya untuk

jurusan Akuntansi, sedangkan jurusan lain terutama Studi

Manajemen tidak mendapat mata kuliah mengenai pajak,

sehingga perlu dijadikan mata kuliah wajib pada semua

fakultas.

5. Sedangkan pada kenyataannya ada dua hal yang tidak dapat

dihindarkan dalam kehidupan kita yaitu pajak dan mati.

127

Analisis sengketa..., Tubagus Chaerul Amachi, FH UI, 2005

Anda mungkin juga menyukai