Anda di halaman 1dari 10

SMA NEGERI 3 PALANGKA RAYA

Jalan Goergo Obos, Palangka Raya, Kalimantan Tengah

LEGENDA
KAYAU PULANG

Nama peserta : JESHEN AGUM PRATAMA


Nomor Peserta : 33

PALANGKA RAYA
2023
LEGENDA KAYAU PULANG
Oleh: JESHEN AGUM PRATAMA
SMA NEGERI 3 PALANGKA RAYA

“Ceritakan padaku tentang kisah cinta yang heroik,” kata Guntu kepada
suaminya Kayau.
Langit sore terlihat indah terpancar dari pertemuan anak sungai dengan
induk sungainya yakni Sungai Katingan. Kayau memandang keindahan matahari
sore dari rumahnya yang terletak dekat muara sungai Tamiang.
Kayau memperhatikan istrinya dalam-dalam. Kasih sayang dan penuh rasa
cinta ia tumpahkan dalam pandangan yang mengesankan.
“Apa yang ingin kau dengarkan untuk aku kisahkan padamu?” tanya
Kayau, “Aku bukanlah orang yang pandai bercerita,” lanjutnya.
“Ceritakan padaku tentang perjalanan hidupmu,” kata Guntu.
Kayau memperhatikan cahaya matahari sore yang jingga. Demi cinta yang
besar ia mulai menceritakan sejarah hidupnya.
***
Mungkin hari itu adalah hari terakhir para asang menyerang desa Tumbang
Sungei Tamiang. Untuk kesekian kalinya musuh silih berganti menyerang. Namun
serangan musuh-musuh tersebut dapat dikalahkan dengan perjuangan yang gigih
dipimpin oleh dua orang pemuda yang gagah perkasa. Orang-orang sering
menyebutnya dengan Kayau Pulang. Jika tidak semua mati oleh Kayau Pulang
dalam pertempuran, pastilah para musuh akan pergi tunggang langgang. Tidak ada
lagi yang berani menyerang. Jangankan menyerang, mendengar nama Kayau
Pulang, musuh menjadi gentar.
Meskipun nama Kayau dan Pulang begitu termasyur mampu memukul
mundur ratusan musuh, nyatanya kehidupan Kayau Pulang menyimpan cerita luka.
Semenjak kecil mereka telah diajarkan untuk hidup tanpa mengenal sosok ayah.
Ayah mereka meninggal ketika Pulang masih berusia tiga tahun dan Kayau baru
menginjak delapan tahun. Kayau samar-samar bahkan hampir lupa terhadap sosok
ayahnya. Yang masih lekat dalam ingatannya yakni ayahnya adalah lelaki yang
tinggi tegap. Namun, itu ingatan yang samar. Menyadari kesedihan itulah, Kayau
Pulang yang tinggal dengan ibunya tidak ingin menambah penderitaan wanita tua
yang melahirkan mereka dengan perjuangan hidup dan mati. Kayau dan Pulang
tidak membiarkan ibunya berkerja terlalu berat. Apapun pekerjaan yang ingin ibu
mereka lakukan untuk menyambung hidup dan kehidupan mereka, tentulah Kayau
dan Pulang langsung melaksanakan dan menyelesaikannya.
“Istirahatlah ibu. Jangan ibu bekerja terlalu berat. Ibu sudah tua tidak
sepantasnya bekerja berat. Sekarang biarlah aku dan Pulang menyelesaikan
semuanya. Jangan ibu khawatir, pekerjaan ini saja terasa kurang bagi kami,” kata
Kayau ketika ibunya hendak bekerja.
Perempuan tua itu hanya bisa tersenyum. Sesekali air mata haru dan bahagia
keluar dari sudut mata yang keriput itu.
“Oh suamiku, andaikan kau masih ada di sini bersamaku, tentulah kau juga
merasakan perasaan yang sama denganku saat ini.,” gumam perempuan tua itu.
Matahari sore begitu indah. Burung layang-layang terbang kian kemari
mencari ikan di sungai. Seekor kijang dengan tanduk yang panjang sedang minum
di tepi sungai. Melihat kijang yang besar dan rupawan, Kayau dan Pulang langsung
mengambil senjata memburunya.
“Jangan anakku. Biarlah ia minum dengan tenteram,” ibunya mencegah.
“Tapi ibu,” jawab Kayau.
“Biarlah anakku. Tak cukupkah babi, menjangan, kancil, ayam hutan, ikan,
segala jenis burung yang masih berlimpah di dapur hasil kalian berburu beberapa
hari ini. Biarlah untuk sekali ini, kijang itu dapat bernapas lega,” kata ibunya.
Kayau dan Pulang menurut. Apapun yang dikatakan oleh ibunya akan
mereka turuti.
Angin sepoi-sepoi masuk ke rumah membawa rasa nikmat semesta. Kayau
dan Pulang duduk sambil menghirup segelas kopi. Di luar seekor induk ayam
melindungi anak-anaknya karena sang elang dengan mata tajam ingin merampas
kehidupan anak ayam.
“Dengarkan ini anakku,” kata ibunya sore itu dengan wajah serius.
“Ada apa ibu?” tanya Kayau dan Pulang serentak.
“Di ujung sebelah hulu kampung ini ada dua orang gadis pingitan sejak
kecil. Mereka juga seusia dengan kalian berdua. Tetapi, anehnya sampai saat ini
mereka masih belum keluar dari lawang,” cerita ibunya.
Kayau memagut-magut mendengar cerita ibunya.
“Siapakah nama kedua gadis itu?” tanya Kayau penasaran.
“Nama kedua gadis itu adalah Guntu dan adiknya Mayang,”
“Apakah tidak aneh ibu, sampai saat ini keduanya belum keluar dari lawang
salaka,” kata Kayau sekali lagi.
“Itulah yang aku bingungkan. Selaku orang pingitan yang terpandang dan
berharta, seharusnya kedua gadis itu kini telah keluar dari lawang salaka,” tutur
ibunya.
Kayau dan Pulang masuk dalam renungan pikiran masing-masing.
“Apakah tidak ada orang yang datang untuk membuka lawang kuwu dan
meminang mereka ibu?” tanya Kayau penasaran.
Ibunya mengerutkan dahi. Matahari mulai menuruni bukit dan akan
bersembunyi di balik pepohonan. Bayang-bayang pohon mulai samar-samar hilang
dari pantulan air sungai.
“Sudah banyak orang-orang ternama yang datang, tetapi semuanya kalah
sebelum berperang,” kata ibunya.
“Mungkin ada syarat tertentu yang tak sanggup dipenuhi yang diminta oleh
Guntu dan Mayang, ibu,” kata Pulang menyela pembicaraan.
Kayau memandang adiknya sejurus. Direnungkan dalam-dalam ucapan
adiknya.
“Benar yang kau katakan itu Pulang. Seperti yang aku dengar, mereka
meminta satu syarat yang membuat rata-rata orang mundur dan tidak mampu
memenuhi syarat tersebut,” kata ibunya membenarkan ucapan anaknya.
“Memang apa syarat yang mereka minta, ibu?” tanya Pulang menyelidiki.
“Itulah yang luput dari pengetahuanku. Aku tidak tahu syarat yang
diminta.,” tukas ibunya.
Malam telah naik. Seekor parawak berbunyi menyambut kehadiran sang
bulan. Kayau dan Pulang terus berunding memikirkan cerita ibu mereka.
“Apa yang harus kita lakukan kakak?” tanya Pulang kepada Kayau.
Kayau mengetuk-ngetukkan jari di lantai ulin. Keningnya berkerut.
“Kita harus cari tahu apa syarat yang mereka minta,” kata Kayau.
“Caranya?” tanya Pulang lagi.
“Kita harus menemui mereka berdua agar kita tahu langsung dari orang
yang bersangkutan apa syarat yang diminta oleh mereka sebagai mahar untuk
meminang dan mengeluarkan mereka dari lawang kuwu itu,” terang Kayau.
Lama Pulang memikirkan ide Kayau.
“Apabila nanti kita mampu memenuhi syarat yang mereka minta, apakah
kita akan mengawini mereka yang juga kakak beradik?” tanya Pulang.
“Kalau memang yang terbaik demikian, apa salahnya,” kata Kayau.
Beberapa pagi berganti mereka lewati. Kayau dan Pulang mempersiapkan
diri untuk menjalankan rencana mereka. Mereka memasang semua ajimat dan
pusaka. Tepat malam purnama kedua bulan itu. Bulan biru muncul di angkasa.
Kayau dan Pulang diam-diam menyelidiki tempat Guntu dan Mayang dipingit.
Mereka masih ingat pesan ibunya sebelum berangkat bahwa kamar Guntu dan
Mayang adalah jendela kedua yang di muka jendela tumbuh pinang merah.
Kayau dan Pulang diam-diam memanjat pohon pinang itu tetapi tidak
berhasil. Pohon pinang itu sangat licin karena setiap hari telah dioles dengan
minyak oleh inang pengasuh Guntu dan Mayang demi keselamatan dua gadis
pingitan itu.
“Apakah ada cara lain kakak. Kita tidak mungkin dapat memanjat pohon
pinang yang sangat licin ini,” kata Pulang.
“Tidak ada cara lain. Hanya inilah satu-satunya jalan untuk kita bisa
mengetok jendela mereka. Lain tidak. Hanya dengan memanjat pohon pinang ini
kita bisa mencapai jendela,” kata Kayau.
Kayau dan Pulang terus mencari akal supaya dapat menemui Guntu dan
Mayang.
“Apakah kita harus mengetuk jendela mereka? Kenapa kita tidak lewat atap
saja?” kata Pulang.
Kayau mengangguk setuju. Dilihatnya atap betang tempat Guntu dan
Mayang dipingit tinggi dari pohon kelapa. Kayau dan Pulang membacakan
mantera-mantera suci. Dengan sekali lompatan tanpa ada suara sedikit pun mereka
sampai di atap tepat di atas kamar Guntu dan Manyang. Perlahan tanpa
mengeluarkan suara mereka membongkar atap dan langsung meloncat masuk.
Kamar itu sangat luas. Dua buah ranjang tidur yang sangat mewah. Kayau
dan Pulang berdecak kagum melihat yang ada di atas ranjang itu. Dua orang gadis
yang cantik jelita sedang tertidur pulas.
Kayau dan Pulang berjalan perlahan mendekati ke dua gadis itu.
Dihunuskannya dohong pusaka dan ditempelkan ke leher Guntu dan Mayang.
Guntu dan Mayang terkejut merasa ada sesuatu yang dingin menempel di leher
mereka. Secepat kilat Kayau Pulang menutup mulut mereka agar tidak berteriak.
“Dengarkan. Kami tidak akan menyakiti kalian berdua asal kalian berdua
tidak berteriak,” kata Pulang.
“Kami datang ke sini dengan maksud baik ingin menanyakan sesuatu yang
penting,” lanjut Kayau.
Guntu dan Mayang hanya bisa mengangguk setuju sambil gemetar
ketakutan.
“Siapa kalian?” kata Guntu saat mulutnya dibuka.
“Kami ini kakak beradik yang datang dari jauh. Kami kemari ingin
menanyakan syarat yang diajukan untuk mengeluarkan kalian dari lawang salaka
ini dan meminang kalian berdua. Kami tahu siapa kalian berdua ini. Kau adalah
Guntu dan itu adikmu, Mayang,” kata Kayau.
“Banyak lelaki yang datang tetapi tak ada satu pun yang bertahan dan
sanggup memenuhi permintaan kami,” jawab Mayang.
“Apakah kalian sanggup untuk memenuhinya?” tanya Guntu.
“Urusan sanggup atau tidak nantilah kita bicarakan. Yang pasti kami hanya
ingin tahu apa persyaratan yang kalian ajukan itu sehingga banyak lelaki ternama
dan kaya raya tidak mampu menyanggupinya,” kata Pulang.
“Tapi sebelum kami menyampaikan persyaratan itu, kami ingin tahu nama
kalian berdua,” kata Guntu.
Bulan biru naik ke puncak malam. Angin malam berdesir dari perbukitan
menuju lautan. Suara burung malam terdengar jelas memecah kesunyian.
“Akulah Kayau dan ini adikku Pulang,” kata Kayau.
Guntu dan Mayang saling berpandangan mendengar nama yang sangat tidak
asing di telinga mereka. Siapa yang tidak mengetahui cerita Kayau dan Pulang yang
begitu melegenda dengan segala keperkasaan dan kesaktian memukul mundur
musuh-musuh yang ingin menyerang desa. Siapa yang tidak tahu bagaimana
heroiknya Kayau dan Pulang bertempur di garis depan di medan peperangan. Guntu
dan Mayang tersenyum tersipu malu.
“Sekarang kau pasti tahu kami. Katakan pada kami syarat itu,” kata Kayau.
Mayang memberi kode kepada Guntu untuk tidak memberitahukannya.
Mereka tidak ingin menjebak kedua pemuda itu ke lubang bahaya.
“Kayau, syarat ini sangat berat. Untuk mendapatkannya harus membuang
nyawa. Karena itulah banyak yang mundur sebelum berperang. Tetapi ada juga
yang tetap maju ingin memenuhinya, tetapi mereka hanya pulang nama,” kata
Guntu.
“Karena itu katakan saja. Siapa tahu kami sanggup memenuhinya,” kata
Kayau mendesak.
“Syarat yang kami minta adalah kendi udang dan sisir emas,” kata Guntu.
“Memangnya ada benda seperti itu?” tanya Pulang.
Mayang memandang kedua pemuda itu dengan pandangan sendu.
“Benda itu ada. Namun yang memiliki benda itu hanya satu orang,” kata
Manyang.
“Siapakah orang yang memilikinya?” tanya Pulang tidak sabar.
“Pemilik benda itu adalah Raja Habehet Kilat Hapanau Liu. Menurut orang-
orang, Raja Habehet Kilat Hapanau Liu itu tinggal jauh di seberang lautan,” jelas
Guntu.
Kayau berjalan bolak-balik memikirkan benda yang dimaksudkan oleh
Guntu dan Mayang. Bulan biru tertutup setengah karena awan hitam melintas.
“Apakah para lelaki yang datang sebelum ini tidak mengetahui keberadaan
benda itu?” tanya Kayau.
Guntu berdiri dan berjalan mendekati Kayau. Dipandangnya muka Kayau.
“Bukannya mereka tidak tahu. Mereka semua mengetahui. Tetapi mereka
yang pergi tidak pernah lagi kembali. Mereka semua mati terbunuh sebelum mereka
mendapatkan benda itu. Kata orang, selain kaya raya, raja itu juga ahli dalam
strategi pertempuran sehingga tidak ada yang sanggup menembus istananya yang
dilingkari dengan bata merah yang dibakar sempurna apalagi mengambil kendi
udang serta sisir emas,” jawab Mayang.
“Baiklah jika demikian. Biar kami akan pergi mengambil benda itu untuk
kalian berdua. Kami mohon diri kembali pulang,” kata Kayau dan Pulang langsung
pergi meninggalkan kedua gadis pingitan itu.
Guntu dan Mayang menangis sedih. Mereka merasa bersalah telah menyeret
kedua pemuda perkasa itu dalam masalah. Meskipun mereka akui bahwa
perjumpaan singkat dengan kedua pemuda yang namanya melegenda itu
meninggalkan kesan yang medalam. Namun, kesedihan begitu meliputi hati Guntu
dan Manyang. Sudah cukup mereka menjadi dasar tewasnya banyak lelaki ternama
demi mendapatkan cinta mereka dengan mengambil kendi udang dan sisir emas.
Kayau dan Pulang tiba di rumah tengah malam. Ibunya menanti dengan
perasaan was-was. Kayau dan Pulang menjelaskan syarat yang diajukan oleh Guntu
dan Mayang. Kayau dan Pulang memohon restu kepada ibunya untuk pergi ke
negeri Raja Habehet Kilat Hapanau Liu. Ibunya tidak ingin menghalangi niat kedua
anaknya. Ia hanya bisa menyarankan supaya Kayau dan Pulang mampir meminta
petunjuk kepada Nyai Tamanang sebelum pergi menyeberang lautan.
Tujuh hari perjalanan yang mereka tempuh. Akhirnya Kayau dan Pulang
tiba di kediaman Nyai Tamanang. Nyai Tamanang menyambut kedatangan kedua
keponakannya itu dengan bahagia. Setelah mendengar niat dan tujuan Kayau dan
Pulang untuk pergi menyeberang lautan ke negeri Raja Habehet Kilat Hapanau Liu
untuk mencari kendi udang dan sisir emas, Nyai Tamanang menurunkan segala
kesaktian yang ia miliki kepada Kayau dan Pulang.
Kayau dan Pulang meneruskan perjalanan. Menggunakan perahu yang
dikayuh bersama-sama, Kayau dan Pulang memecah ombak ganas yang menyapu.
Dengan kuasa dan restu dari Sang Pencipta, Kayau dan Pulang di hari yang ketiga
puluh, akhirnya sampai juga di negeri yang dituju. Negeri itu kaya raya dan
makmur. Kapal-kapal dagang besar dan kecil melakukan transaksi jual beli. Negeri
itu dikelilingi oleh benteng-benteng tinggi yang terbuat dari bata merah.
Kedatangan Kayau dan Pulang rupanya telah didengar oleh Raja Habehet
Kilat Hapanau Liu. Raja yang mengkhawatirkan kedatangan kedua pemuda perkasa
itu mengerahkan seluruh pasukannya untuk membunuh Kayau dan Pulang.
Pertempuran sengit terjadi selama tiga hari tiga malam. Darah tertumpah di negeri
seberang lautan. Kayau dan Pulang bertempur dengan gagah berani. Mandau dan
dohong diayunkan dan dihujankan ke sana-kemari. Darah tertumpah demi
memenuhi ambisi masing-masing manusia.
Hari ketiga pertempuran, Kayau merafalkan mantera dan menghentakkan
kakinya ke bumi. Seketika gelap gulitalah negeri Raja Habehet Kilat Hapanau Liu.
Gelap gulita menyelimuti negeri itu sehari penuh. Saat sore tiba, kegelapan itu
mulai menghilang. Raja Habehet Kilat Hapanau Liau gemetar ketakutakan ketika
melihat seluruh pasukannya tewas di tangan Kayau dan Pulang.
Demi menyelamatkan nyawanya agar tidak turut ditumpas oleh Kayau dan
Pulang, Raja Hebehet Kilat Hapanau Liu menyerahkan kendi udang dan sisir emas
yang dicari oleh Kayau dan Pulang. Segera Kayau dan Pulang kembali ke kampung
halamannya. Tiga puluh hari mereka kembali dan tiba di kediaman Nyai Tamanang.
Nyai Tamanang terharu menyambut kepulangan kedua keponakannya yang pergi
mengembara menyabung nyawa. Nyai Tamanang langsung mengadakan balian
labuh balai untuk mengucap syukur kepada Penguasa Jagat Raya karena telah
melindungi Kayau dan Pulang.
Seusai pesta balian di kediaman Nyai Tamanang, Kayau dan Pulang
kembali ke kampung halamannya di desa Tumbang Sungei Tamiang. Ibunya
menyambut kedatangan kedua anak kesayangannya itu dengan tangis haru. Tujuh
hari setelah tibanya mereka di kampung halaman, Kayau dan Pulang beserta ibunya
datang meminang Guntu dan Manyang. Segala persyaratan yang diminta semua di
bawa terutama kendi udang dan sisir emas.
Pesta pernikahan yang sangat meriah diadakan selama tujuh hari tujuh
malam. Kayau menikah dengan Guntu, sedang Pulang dinikahkan dengan
Manyang. Kebahagiaan tak terhingga menyelimuti kedua keluarga itu.
***
“Itukah sebagian kisah petualanganmu?” tanya Guntu.
“Yah, itulah yang aku lewati demi mencari syarat yang kau beri” jawab
Kayau dengan manis.
Matahari telah turun. Malam akan datang dengan segala cerita yang
diwariskan sepanjang zaman.
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

PERNYATAAN PENULIS

Yang bertanda tangan di bawah ini:


nama : Jeshen Agum Pratama
tempat, tanggal lahir : Palangka Raya, 10 Agustus 2006
NIS : 14379
asal sekolah : SMA Negeri 3 Palangka Raya

dengan ini menyatakan sejujurnya bahwa cerita rakyat yang saya tulis dengan judul
LEGENDA KAYAU PULANG

bersifar orisinal/bukan hasil tindak plagiarism/belum pernah dikompetisikan


dan/atau tidak sedang diikutkan pada lomba sejenis atau belum pernah
mendapatkan penghargaan di tingkat nasional atau internasional.

Bilamana kemudian hari ditemukan ketidaksesuaian dengan pernyataan ini, saya


bersedia menerima konsekuensi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan dengan sebenar-
benarnya.

Palangka Raya, 21 September 2023


Yang membuat pernyataan,

JESHEN AGUM PRATAMA

Anda mungkin juga menyukai