Anda di halaman 1dari 11

TEKNIK KONSELING

“PENDEKATAN KONSELING BEHAVIORAL”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4

Patricia Felita Tjandra 2271011


Claudia A. Yusran 2271014
Yohanes Kaki More 2271017

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ATMA JAYA MAKASSAR
2023
A. Sejarah Pendekatan Konseling Behavioral
Sejarah konseling berawal dari Amerika dan dipelopori oleh Jesse B. Davis
pada tahun 1898 yang bekerja di sebuah sekolah di kota Detroit sebagai seorang
konselor. Perkembangan konseling dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
salah satunya adalah kemunculuan aliran-aliran psikologis yang baru.
Behaviorisme merupakan salah satu aliran psikologis yang muncul dan
memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan konseling.
Behaviorisme secara formal diawali oleh seorang psikologi Amerika bernama
John Broadus Watson dalam karyanya yang dipublikasikan pada tahun 1913
dengan judul “ Psychology as the Behaviorist Views It”. Watson berfokus pada
kemampuan adaptasi perilaku terhadap stimuli lingkungan.
Behaviorisme menjadi sistem yang dominan dalam psikologi Amerika pada
tahun 1930. Watson mengawali perubahan perkembangan psikologi dengan
sangat berhasil melalui behaviorisme. Behaviorisme berfokus pada peran
belajar serta menjelaskan tingkah laku manusia dengan asumsi dasar bahwa
tingkah laku manusia ditentukan oleh aturan-aturan yang dikendalikan. Watson
dan para ahli sangat yakin bahwa perilaku manusia merupakan bawaan dari
genetik serta pengaruh lingkungan. Behaviorisme juga meyakini bahwa
seseorang dapat terlibat dalam suatu perilaku tertentu karena mereka telah
mempelajarinya melalui pengalaman-pengalaman terdahulu dan kemudian
menghubungkan perilaku tersebut dengan hadiah. Behaviorisme kemudian
dikembangkan oleh Ivan Petrovich Pavlov.
Pavlov sangat terkenal dengan teorinya yang disebut classic conditioning
dimana eksperimennya menggunakan subjek berupa seekor anjing. Eksperimen
Pavlov menyatakan bahwa rangsangan asli dan netral bila dipasangkan dengan
stimulus bersyarat secara berulang maka akan menghasilkan respon yang
diinginkan. Dari percobaan Pavlov juga dapat disimpulkan bahwa invdicidu
dapat dikendalikan dengan mengganti stimulus alami dengan stimulus netral
untuk mendapatkan respon yang diinginkan dimana individu sendiri tidak
menyadari bahwa dirinya dikendalikan oleh stimulus dari luar dirinya.
B. Konsep Dasar Pendekatan Konseling Behavioral
Dalam pandangan behavioral, kepribadian manusia itu pada hakikatnya
adalah perilaku. Perilaku dibentuk berdasarkan hasil dari segenap
pengalamanya berupa interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya.
Kepribadian seseorang merupakan cerminan dari pengalaman, yaitu situasi atau
stimulus yang diterimanya. Untuk itu memahami kepribadian individu tidak
lain adalah perilakunya yang tampak (Latipun, 2003: 85). Dari penjelasan
tersebut dapat dipahami bahwa perilaku merupakan bagian dari kepribadian
manusia yang terbentuk oleh pengalaman dalam berinteraksi dengan
lingkungan. Dalam pandangan behaviorisme, perilaku bermasalah dimaknai
sebagai perilaku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau perilaku yang tidak
tepat, yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Perilaku yang
salah penyesuaian terbentuk melalui proses interaksi dengan lingkunganya.
Artinya bahwa perilaku individu itu meskipun secara sosial adalah tidak tepat,
dalam beberapa saat memperoleh ganjaran dari pihak tertentu. Dari cara
demikian akhrinya perilaku yang tidak diharapkan secara sosial atau perilaku
destruktif dikelas (Latipun, 2003: 89). Sedangkan perilaku bermasalah dalam
pandangan behaviorisme adalah perilaku yang tidak sesuai dengan yang
diharapkan atau tidak sesuai dengan norma yang ada. Perilaku bermasalah ini
merupakan kebiasaan-kebiasaan negatif yang juga terbentuk dari hasil interaksi
dengan lingkungan.
Konsep dasar teori konseling perilaku, seperti yang dijelaskan oleh Moh.
Surya (1988), dapat diringkas sebagai berikut:
a. Perilaku manusia umumnya dipelajari, dan oleh karena itu, dapat diubah
dengan memanipulasi dan menciptakan kondisi belajar. Masalah klien dapat
dipandang sebagai masalah belajar yang disebabkan oleh proses belajar
yang salah.
b. Perubahan spesifik dalam lingkungan individu dapat membantu
memodifikasi perilaku yang relevan dengan mengubah lingkungan.
c. Prosedur konseling dapat dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip
pembelajaran, seperti penguatan dan pemodelan sosial.
d. Perubahan perilaku klien di luar sesi konseling berfungsi sebagai indikator
efektivitas dan hasil konseling.
e. Konseling perilaku pada dasarnya adalah proses yang dijelaskan secara
logis berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran.
f. Prosedur konseling tidak statis tetapi dapat dirancang khusus untuk
membantu klien menyelesaikan masalah mereka.
Berikut adalah beberapa cara yang umum digunakan dalam praktik
konseling:
1. Observasi: Mengamati perilaku klien di luar sesi konseling dapat
memberikan gambaran tentang perubahan yang terjadi.
2. Wawancara: Melakukan wawancara dengan klien untuk mengevaluasi
perubahan perilaku yang terjadi di luar sesi konseling juga merupakan
metode yang efektif.
3. Catatan Jurnal: Mendorong klien untuk membuat catatan jurnal tentang
perubahan perilaku mereka dapat membantu dalam memantau kemajuan
selama proses konseling.

C. Tujuan dalam Pendekatan Konseling Behavioral


Tujuan konseling behavioral adalah untuk membantu klien dalam
menghilangkan atau menyingkirkan respon-respon yang dapat merusak diri dan
mempelajari respon baru yang lebih sehat.

D. Peran dan Fungsi Konselor dalam Pendekatan Konseling Behavioral


Peran konselor dalam konseling, khususnya konseling perilaku, bersifat
aktif, direktif, dan didasarkan pada pengetahuan ilmiah untuk mengidentifikasi
solusi masalah individu. Dalam konseling perilaku, konselor sering kali
berfungsi sebagai guru, pembimbing, dan ahli yang mendiagnosis perilaku
maladaptif dan menentukan prosedur untuk mengatasi masalah perilaku
individu. Selama proses konseling, klienlah yang memutuskan perilaku apa
(apa) yang akan diubah, sedangkan konselor menentukan pendekatan yang
digunakan untuk melakukan perubahan itu (bagaimana) (Corey, 1986). Selain
itu, konselor juga berperan sebagai role model bagi kliennya. Hal ini berakar
pada keyakinan bahwa salah satu proses mendasar yang memungkinkan klien
mempelajari perilaku baru adalah melalui peniruan, atau pemodelan sosial,
yang ditunjukkan oleh konselor. Klien dapat mengamati dan mengadopsi aspek-
aspek seperti sikap, nilai-nilai, keyakinan, dan perilaku dari konselornya.

E. Tahapan dan Teknik dalam Pendekatan Konseling Behavioral


Tahapan yang dapat dilakukan dalam konseling behavioral adalah:
1. Menganalisis dan merumuskan masalah klien menjadi unit tingkah laku
yang tidak sesuai.
2. Merumuskan tujuan khusus untuk mengubah perilaku dengan
menggunakan teknik konseling yang tepat.

Adapun formula dalam konseling behavioral:

4. Antecedent (A): Seorang anak diberi tugas rumah oleh guru untuk
menyelesaikan pekerjaan rumah matematika.
5. Behavior (B): Anak tersebut mulai mengerjakan tugas rumah matematika.
6. Consequence (C): Ketika anak selesai mengerjakan tugas rumah dengan
benar, guru memberikan pujian dan memberikan poin ekstra.

Beberapa teknik yang digunakan dalam konseling behavioristik yaitu:

1. Desensitisasi Sistematik
Wolpe mengembangkan teknik desensitisasi sistematik yang
menyatakan bahwa semua perilaku neorotik merupakan manifestasi dari
kecemasan. Selain itu, reaksi antagonistik dapat digunakan untuk
menghilangkan kecemasan. Perangsangan yang menimbulkan kecemasan
berulang-ulang dikombinasikan dengan keadaan relaksasi, sehingga
hubungan antara perangsangan dan respons kecemasan dapat dihilangkan.
Teknik desentisasi sistematik ini mengajar klien untuk memberikan respons
yang tidak konsisten dengan kecemasan mereka. Teknik relaksasi juga
diperlukan untuk mengimplementasikan metode ini. Klien dididik untuk
menjadi lebih santai dan menghubungkan keadaan santai dengan
membayangkan hal-hal yang mencemaskan, menggusarkan, atau
mengecewakan selama konseling. Situasi disusun dari yang paling tidak
mencemaskan hingga yang paling mencemaskan. Adapun prosedur
pelaksanaan teknik ini:
b. Analisis perilaku yang menimbulkan kecemasan.
c. Menyusun hierarki atau jenjang situasi yang menimbulkan kecemasan
dari yang kurang hingga yang paling mencemaskan klien.
d. Memberi latihan relaksasi otot-otot yang dimulai dari lengan hingga
kaki.
e. Klien diminta membayangkan situasi yang menyenangkan seperti di
pantai, di tengah taman yang hijau dan lain-lain.
f. Klien diminta untuk memejamkan mata, kemudian konselor
mengarahkan konseli untuk membayangkan situasi yang kurang
mencemaskan, bila konseli sanggup tanpa cemas atau gelisah, berarti
situasi tersebut dapat diatasi klien.
g. Bila pada situasi klien cemas dan gelisah, maka konselor
memerintahkan klien agar membayangkan situasi yang menyenangkan
tadi untuk menghilangkan kecemasan.
h. Menyusun hierarki atau jenjang kecemasan harus bersama klien dan
konselor menuliskannnya di kertas.
2. Assertive Training
Assertive training merupakan teknik konseling behavioral yang berfokus
pada kasus klien yang mengalami kesulitan dalam menyatakan perasaan
yang sesuai. Assertive training dapat membantu klien dalam kasus:
a. Mereka yang tidak dapat menyatakan kemarahannya atau
kejengkelannya.
b. Mereka yang terlalu sopan dan membiarkan orang lain mengambil
keuntungan pada dirinya
c. Mereka yang mengalami kesulitan untuk berkata "tidak"
d. Mereka yang tidak dapat mengatakan "tidak"

Dalam assertive training, konselor berusaha untuk memberikan


keberanian kepada klien mereka untuk menghadapi masalah dengan orang
lain. Bermain peran adalah cara untuk menerapkan teknik ini. Contohnya,
klien bertindak sebagai bawahan dan konselor bertindak sebagai atasan.
Kemudian, klien berubah menjadi atasan yang marah dan konselor berubah
menjadi bawahan yang berani mengatakan kebenaran. Hal tersebut
bertentangan dengan perilaku klien selama ini, dimana mereka tetap diam
jika mereka dimarahi oleh atasan mereka, meskipun mereka sebenarnya
ingin mengatakan bahwa mereka benar.

3. Aversion Therapy
Aversion therapy bertujuan untuk mengubah perilaku individu dengan
cara mengaitkan perilaku yang tidak diinginkan dengan konsekuensi yang
tidak menyenangkan atau aversion (rasa tidak nyaman), menghukum
perilaku yang negatif dan mendorong perilaku positif. Contoh aversion
terapi dlm konseling behavioral:
a. Dalam kasus kecanduan judi, terapis dapat menggunakan aversion
therapy dengan menghubungkan tindakan perjudian dengan
konsekuensi yang merugikan, seperti kehilangan uang yang signifikan.
b. Untuk membantu individu berhenti merokok, terapis dapat
menggunakan aversion therapy dengan memberikan rasa mual atau rasa
tidak enak setiap kali klien merokok. hal tersebut bertujuan untuk
menghubungkan asap rokok dengan perasaan tidak nyaman, sehingga
mengurangi keinginan untuk merokok.
4. Home-Work
Home-work adalah suatu latihan rumah untuk klien yang tidak mampu
mengadaptasikan diri dalam situasi tertentu. Caranya adalah dengan
memberikan tugas rumah mingguan. Contohnya, klien harus tetap diam jika
dimarahi ibu tiri. Klien menandai hari di mana dia menjawab dan tidak
menjawab. Jika dia tidak menjawab pertanyaan selama lima hari dalam satu
minggu, maka dia akan diberi tugas tambahan hingga klien benar-benar bisa
tetap diam atau tidak menjawab selama tujuh hari dalam seminggu jika
dimarahi oleh ibu tiri.

Mengukur hasil dari konseling behavioral melibatkan beberapa langkah


yang membantu menilai apakah tujuan telah tercapai dan apakah ada perubahan
dalam perilaku atau kondisi klien. Berikut adalah beberapa cara umum untuk
mengukur hasil dari konseling behavioral:
1. Penetapan Tujuan: Sejak awal konseling, tujuan spesifik harus ditetapkan
bersama klien. Ini dapat berupa perubahan perilaku, pengurangan gejala,
atau peningkatan kualitas hidup. Tujuan ini harus terukur dan realistis.
2. Pengukuran Awal: Sebelum konseling dimulai, melakukan pengukuran
awal untuk menilai tingkat perilaku atau masalah yang ada. Ini bisa
melibatkan tes, kuesioner, atau observasi.
3. Pemantauan Proses: Selama konseling, terapis akan memantau
perkembangan klien dalam mencapai tujuan. Ini melibatkan evaluasi sesi-
sesi konseling dan reaksi klien terhadap strategi yang digunakan.
4. Pengukuran Perkembangan: Selama proses konseling, terapis dapat
menggunakan alat pengukuran untuk mengukur perkembangan. Misalnya,
jika konseling adalah untuk mengurangi kecanduan, pengukuran bisa
termasuk tes narkoba, kuesioner perilaku, atau catatan harian.
5. Evaluasi Hasil: Setelah serangkaian sesi, hasil konseling harus dievaluasi.
Ini melibatkan membandingkan pengukuran awal dengan pengukuran
selama atau setelah konseling untuk melihat apakah ada perubahan yang
signifikan.
6. Umpan Balik Klien: Klien juga harus memberikan umpan balik tentang
bagaimana mereka merasa dan apakah mereka merasa ada perubahan positif
dalam hidup mereka.
7. Penilaian Terapis: Terapis juga akan memberikan penilaian mereka
terhadap hasil konseling berdasarkan pengamatan dan pengetahuan mereka
tentang klien.
8. Pembahasan Lanjutan: Setelah mengevaluasi hasil, klien dan terapis dapat
berbicara tentang apa yang berhasil, apa yang tidak berhasil, dan apakah
perlu tindakan lanjutan.
9. Revisi Tujuan: Jika diperlukan, tujuan konseling dapat direvisi untuk
mencerminkan perubahan dalam situasi atau kebutuhan klien.
Penting untuk menggunakan berbagai alat dan metode pengukuran untuk
memahami hasil konseling secara komprehensif. Dengan cara ini, Anda dapat
memastikan bahwa konseling behavioral efektif dan bermanfaat bagi klien.

F. Kelebihan dan Kekurangan dalam Pendekatan Konseling Behavioral


1. Kelebihan
a. Pendekatan behavioral lebih mudah diterapkan karena labih terperinci
dan sistematis.
b. Hasil dari pendekatan behavioral dapat diukur dan dirumuskan dalam
perilaku yang nyata.
c. Pendekatan behavioral menekankan pada perilaku di masa sekarang dan
bukan pada perilaku di masa lalu.
d. Pendekatan behavioral memiliki teknik yang beragam sehingga dapat
digunakan sebagai alternatif untuk berbagai macam masalah.
2. Kekurangan
a. Pendekatan behavioral hanya berfokus pada perubahan perilaku dan
bukan perubahan perasaan.
b. Pendekatan behavioral bersifat kaku dan kurang menyentuh aspek
pribadi.
c. Pendekatan behavioral lebih berfokus pada menghilangkan simtom
dibandingkan mencari penyebab.
d. Pendekatan behavioral dalam konseling bersifat manipulative dan dapat
dikontrol oleh terapis.
DAFTAR PUSTAKA

Azmi, W. & Nurjannah, N. (2022). Teknik Assertive Training dalam Pendekatan


Behavioristik dan Aplikasinya Konseling Kelompok: Sebuah Tinjauan Konseptual.
Journal of Contemporary Islamic Counselling, 2(2), 101-112.

Kumalasari, D. (2017). Konsep Behavioral Therapy dalam Meningkatkan Rasa


Percaya Diri pada Siswa Terisolir. Hisbah: Jurnal Bimbingan Konseling dan
Dakwah Islam, 14(1), 15-24.

Marliani, Suasta W., & Gunawan I. G. D. (2021). Penerapan Metode Konseling


Behavioral dalam Mengelola dan Meningkatkan Kedisiplinan Belajar Siswa pada
SMKN 5 Palangka Raya. Prosiding Webinar Nasional IAHN-TP Palangka Raya,
No.6.

Masdudi. (2015). Bimbingan dan Konseling Perspektif Sekolah. Cirebon: Nurjati


Press.

Nugraheni, E. P. (2019). Modul 5 strategi layanan responsif: kegiatan belajar 2;


Pendekatan konseling berorientasi kognitif dan perilaku. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.

Purwoko, B. (2020). Pendekatan Konseling. Banyumas: CV. Pena Persada.

Suriati, Mulkiyan, & Nur, M.J. (2020). Teori & Teknik Bimbingan dan Konseling.
Sinjai: CV. Latinulu.

Anda mungkin juga menyukai