Diagnosis Dan Tata Laksana Klinis Pada Factitious Disorder (SEPTI HERLIN TRI WARDANI)
Diagnosis Dan Tata Laksana Klinis Pada Factitious Disorder (SEPTI HERLIN TRI WARDANI)
Disusun Oleh :
Syukur alhamdulilah senantiasa atas berkat rahmat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia- Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini guna untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Bahasa Indonesia “ dengan
judul “ Diagnosis dan Tatalaksana Klinis Factitious Disorder “.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga
makalah ini dapat terselesaikan.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki.
Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta kritikan yang
membangun dari berbagai pihak, sehingga makalah ini akan lebih baik lagi.
Akhirnya saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca.
Palembang, 24 November 2023
Penulis
ii
Daftar Isi
Cover ...................................................................................................... i
Kata pengantar ...................................................................................... ii
Daftar isi ................................................................................................ iii
BAB I Pendahuluan ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 2
1.3 Tujuan .................................................................................. 2
BAB II ISI DAN PEMBAHASAN ....................................................... 3
2.1 Definisi Factitious Disorder ................................................. 3
2.2 Etiologi Factitious Disorder ................................................ 3
2.3 Epidemiologi Factitious Disorder ........................................ 4
2.4 Patosiologi Factitious Disorder ............................................ 5
2.5 Tipe Factitious Disorder ....................................................... 5
2.6 Diagnosis Factitious Disorder .............................................. 6
2.7 Diagnosis Banding ................................................................ 6
2.8 Tatalaksana Klinis ................................................................. 7
2.9 Prognosis Factitious Disorder .............................................. 9
BAB III KESIMPULAN ....................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
zaman Galen,seorang Dokter Romawi terkenal yang menulis tentang Gangguan
Buatan pada abad kedua.Istilah “Factitious” didapatkan dari sebuah buku yang
ditulis oleh seorang Dokter Inggerisyaitu Gavin, diterbitkan pada 1843, berjudul
On Feigned and Factitious Diseases . Padatahun 1800-an, Gavin menggambarkan
bagaimana beberapa tentara dan pelaut berpura-purasakit untuk mendapatkan
perhatian dan perawatan istimewa. Sejarah modern Gangguanbuatan dimulai pada
1951 dalam artikel The Lancet yang dikarang psikiater British ,RichardAsher,
yang turut memperkenalkan istilah Munchausen's syndrome untuk
menjelaskansubtipe kronis dari Gangguan Buatan. Didapatkan istilah Sindrom
Munchausen setelahBaron von Munchausen, seorang pensiun perwira kavaleri
Jerman yangmengisahkanpertualangan hidupnya dalam sebuah buku kecil pada
1785 sebagai tentara yang dieksploitasiuntuk mendapat perhatian dari pembaca.
Orang dengan sindrom Munchausen dikatakanbiasanya (1) menunjukkan bekas
luka bedah yang banyak, terutama di perut, (2) tampilansecara kasar, atau
menghindar, (3)memberikan sejarah medis dramatis. Pada tahun 1977,Gallengerg
adalah orang pertama yang dilaporkan sebagai kasus Gangguan buatan
dengangejala utama psikologis. Gangguan Buatan dikenal sebagai satu kategori
diagnosa formaldidalam DSM-III pada tahun 1980.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Factitius Disorder.
2. Untuk mengetahui diagnosis pada Factitius Disorder.
3. untuk mengetahui Tatalaksana klinis pada Factitius Disorder.
2
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
3
• Pengabaian emosional pada masa kanak – kanak
• Lebih sering terjadi pada pria dengan latar belakang medis
• Asosiasi dengan gangguan kepribadian
• Produksi gejala kejiwaan yang terkait dengan borderline, personality
sorder atau pelecehan emosional
4
2.4 Patosiologi Factitious Disorder
Seperti kebanyakan penyakit kejiwaan lainnya, patofisiologi gangguan
buatan tidak jelas. Laporan kasus kelainan pada MRI dari otak pasien dengan
gangguan buatan kronis menunjukkan bahwa faktor biologi otak mungkin
memainkan peran dalam beberapa kasus. Misalnya, dalam satu laporan,
seorang pasien dengan sindrom Munchausen yang menjalani SPECT scan
menunjukkan kondisi hiperperfusi dari hemithalamus kanan.Selain itu,
beberapa pasien dengan gangguan buatan telah memperlihatkan kelainan pada
tes psikologis. Hasil studi EEG sejauh ini tidak spesifik.
5
Fisik dan mental. Gangguan buatan YTT (Not otherwise
specified): Jenis ini termasuk gangguan yang disebut Factitious
Disorder by Proxy (juga disebut Munchausen syndrome by
proxy). Orang dengan gangguan ini memproduksi atau membuat
gejala penyakit pada orang lain dalam perawatan mereka.
6
untuk masalah medis yang dirasakan, tetapi tidak ada bukti bahwa
individu tersebut memberikan informasi palsu atau berperilaku menipu.
• Malingering Malingering dibedakan dari gangguan buatan dengan melihat
apakah pemalsuan gejala yang dilakukan didasari untuk memperoleh
keuntungan eksternal atau tidak (misalnya: uang, waktu libur kerja,
ataupun menghindari dari tanggungjawab). Sebaliknya, gangguan buatan
tidak didasari oleh keuntungan eksternal tersebut.
• Gangguan konversi (gangguan gejala neurologis fungsional) Gangguan
konversi ditandai dengan gejala neurologis yang tidak sesuai dengan
patofisiologi neurologis. Gangguan buatan dengan gejala neurologis
dibedakan dari gangguan konversi dengan melihat apakah ada bukti
pemalsuan gejala atau tidak.
• Gangguan kepribadian ambang (Borderline personality disorder)
Menyakiti diri secara fisik dengan sengaja tanpa adanya niat bunuh diri
juga dapat terjadi terkait dengan gangguan mental lainnya seperti
gangguan kepribadian ambang. Pada gangguan buatan, induksi cedera
yang terjadi terkait dengan keinginan untuk memalsukan gejala atau
kondisinya.
• Kondisi medis atau gangguan mental yang tidak terkait dengan pemalsuan
gejala yang disengaja.
Adanya tanda dan gejala penyakit yang tidak sesuai dengan kondisi medis
atau gangguan mental yang dapat diidentifikasi meningkatkan kemungkinan
adanya gangguan buatan. Namun, diagnosis gangguan 9 buatan tidak
mengesampingkan adanya kondisi medis atau gangguan mental yang sebenarnya,
karena penyakit penyerta sering terjadi bersamaan pada individu dengan gangguan
buatan. Misalnya, individu yang memanipulasi kadar gula darahnya untuk
menghasilkan gejala mungkin juga menderita diabetes.
2.8 Tatalaksana Klinis
Tidak ada tatalaksana yang definitif pada gangguan buatan. Individu
dengan gangguan buatan umumnya enggan untuk berkonsultasi dengan psikiater
dan mungkin pergi jika gejala atau informasi yang mereka berikan mulai dicurigai
kebenarannya.
7
Penatalaksanaan dalam kasus ini diarahkan untuk mengurangi bahaya iatrogenik
yang disebabkan oleh terapi dan pengobatan yang tidak tepat.
• Direct challenge: lebih mudah jika ada bukti langsung mengenai pemalsuan
penyakit; pasien diberitahu bahwa staf medis menyadari maksudnya untuk
berpura-pura sakit dan memaparkan buktinya. Teknik ini harus disampaikan
dengan cara yang tidak menghukum atau memojokkan serta menawarkan
dukungan berkelanjutan.
• Indirect challenge: Pada tatalaksana ini dapat dilakukan teknik double bind
communication, jika teknik ini tidak berhasil maka dapat dicurigai bahwa
penyakit yang disampaikan oleh individu tersebut adalah palsu atau buatan.
• Systemic change: Tahap ini dilakukan jika dijumpai tidak ada kemungkinan
bagi individu dengan gangguan buatan untuk berubah. Fokus yang dilakukan
adalah dengan mengubah cara pendekatan system kesehatan dalam menilai
gangguan ini untuk meminimalkan bahaya yang mungkin terjadi. Strategi yang
dapat dilakukan seperti menghiraukan gejala-gejala yang umumnya terdapat pada
individu dengan gangguan buatan, membuat daftar hitam yang disebar ke
berbagai rumah sakit mengenai individu yang dicurigai dengan gangguan buatan
agar mereka tidak menerima pelayanan medis yang berlebihan. Meskipun sisi
negatifnya adalah membuka kerahasian pasien, dan mengurangi 10 kemungkinan
untuk mendeteksi penyakit asli yang mungkin dideritanya. Oleh karena itu
penerapan strategi ini harus benar-benar direncanakan dengan baik.
Pada individu dengan gangguan buatan terdapat paradox klinis, dimana
individu tersebut dengan sengaja menirukan gejala yang ada pada
penyakitpenyakit yang parah dan mencari pengobatan untuk penyakit palsu
tersebut. Sementara itu, mereka menolak ataupun menyangkal penyakit yang
sebenarnya terjadi pada diri mereka dan dengan demikian menghindari
kemungkinan pengobatan untuk itu. Pada akhirnya, pasien menghindari terapi
yang berarti dan justru menerima terapi yang tidak tepat.
Oleh karena itu, tatalaksana yang paling baik pada gangguan buatan adalah
dengan memfokuskan pada manajemen yang tepat daripada penyembuhannya.
Ada tiga tujuan utama dalam manajemen gangguan buatan, yakni:
8
1) untuk mengurangi risiko morbiditas dan mortalitas
2) untuk mengatasi kebutuhan emosional yang mendasari atau diagnosis psikiatri
yang mendasari perilaku penyakit buatan
3) untuk memperhatikan masalah hukum dan etika
Faktor terpenting dalam keberhasilan manajemen adalah pengenalan awal
dokter terhadap gangguan tersebut. Dengan cara ini, dokter dapat mencegah
banyak prosedur diagnostik yang menyakitkan dan berpotensi berbahaya bagi
individu tersebut.
2.9 Prognosis Factitious Disorder
Gangguan buatan umumnya dimulai pada awal masa dewasa, namun dapat
juga muncul selama masa kanak-kanak atau remaja. Onset timbulnya gangguan
ini mungkin mengikuti penyakit asli yang dideritanya, perasaan kehilangan,
penolakan, atau pengabaian. Biasanya, pasien atau kerabat dekat pernah menjalani
rawat inap di masa kanak-kanak atau remaja awal karena penyakit fisik yang
dideritanya. Setelah itu, pola panjang rawat inap berturut-turut dimulai secara
diam-diam dan berkembang. Seiring dengan gangguan buatan yang terus
berlangsung, pasien menjadi familiar dan memiliki pengetahuan mengenai
obatobatan dan rumah sakit. Gangguan buatan dapat melumpuhkan pasien dan
sering mengakibatkan trauma parah atau reaksi yang tidak diinginkan terkait
dengan pengobatan yang diterimanya. Rawat inap yang dilakukan berulang atau
dalam jangka waktu yang panjang akan berdampak buruk pada hidup pasien, baik
dalam pekerjaan maupun hubungan interpersonalnya. Prognosis gangguan buatan
dalam banyak kasus adalah buruk.
9
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan buatan merupakan suatu penyakit gangguan kejiwaan yang
dialami oleh suatu individu dengan ciri memproduksi gejala ataupun kondisi yang
palsu. Individu dengan gangguan buatan dengan sengaja memalsukan atau
melebihlebihkan gejala yang dimilikinya baik secara fisik maupun psikologis.
Adapun tujuannya adalah untuk mendapatkan pelayanan medis ataupun terlibat
pada sistem pelayanan medis. Etiologi pada gangguan buatan belum dapat
ditentukan dengan pasti. Adapun faktor risiko yang mungkin berperan seperti,
jenis kelamin, sudah menikah atau belum, riwayat pelecehan, adanya pengalaman
ataupun profesi yang berlatar belakang dunia kesehatan, ataupun adanya
gangguan kepribadian lainnya. Gangguan buatan dapat digolongkan menjadi dua,
yakni gangguan buatan yang diterapkan pada diri sendiri dan gangguan buatan
yang diterapkan pada orang lain. Untuk penegakan diagnosis gangguan buatan
dapat mengikuti kriteria diagnostic yang ada pada buku Diagnostic and Statistical
manual of Mental Disorders Fifth Edition. Penatalaksanaan pada gangguan buatan
lebih berfokus pada manajemen daripada penyembuhannya. Adapun tujuan dari
manajemen penyakit tersebut adalah untuk mengurangi risiko morbiditas maupun
mortalitas yang dapat muncul. Faktor terpenting dalam keberhasilan manajemen
adalah pengenalan awal dokter terhadap gangguan tersebut, sehingga dapat
mencegah banyak prosedur diagnostik yang menyakitkan maupun yang berpotensi
membahayakan pasien.
10
DAFTAR PUSTAKA
11