Makalah Wu Kel 3
Makalah Wu Kel 3
Di Susun oleh:
KELAS 1 E
2021/ 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadiran Allah Yang Maha Esa yang telah memberikan kita
kesehatan serta kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa pula kami
ucapkan terima kasih atas kerja sama dan bantuan dari pihak yang bersangkutan karena
telah memberi saran serta masukan untuk materi ini.
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan
bagi anda semua, untuk ke depannya dapat memberi kritik ataupun saran agar menjadi
lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pemahan dan pengetahuan kami dalam makalah ini, oleh karena
itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun anda semua demi
kesempurnaan makalah ini.
Kelompok 3
ii
DAFTAR ISI
3.1Kesimpulan…………………………………………………….11
3.2Saran ….………………………………………………….11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Secara ontologis, semua ilmu adalah satu dan semuanya terpuji. Ilmu adalah salah
satu dari sifat Allah yang tidak dapat dipisahkan dengan Dzat-Nya; dia bukan Allah tapi
bukan yang lain-Nya. Untuk menangkap Ilmu tersebut ada dua alternatif; illuminasi
cahaya Allah kedalam hati yang sudah bersih dan suci serta optimalisasi akal (sebagai
cahaya) sehingga suatu yang semula tidak tampak menjadi tampak karena cahayanya.
Secara epistemologi, hakekat ilmu adalah cahaya dan cahaya yang sebenarnya adalah
Allah karena itu ilmu adalah satu. Cahaya yang satu tersebut dapat dicerminkan melalui
ruh, akal, nafs atau hati (dalam arti lathifah ruhaniyah rabbaniyah). Ilmu dapat diperoleh
melalui pewahyuan atau ilham dan ada pula yang melalui daya yang dimiliki oleh akal.
Sekalipun, secara tingkatan, ilmu yang diperoleh melalui pewahyuan (‘ilm mukasyafah /
‘ilm al-syar’iyyah) lebih utama dari pada ilmu yang kedua (‘ilm ghair al-syar’iyyah),
validitas ilmu tergantung pada kuat dan lemahnya cahaya dan dekat jauhnya objek yang
dilihat.
Dari segi aksiologinya, semua ilmu pada dasarnya satu; yaitu semuanya terpuji. Ilmu
menjadi tidak terpuji karena adanya ekses negatif yang sering ditimbulkan oleh orang
yang memiliki ilmu tersebut. Karena itu, Imam alGhazali mengharuskan dan mewajibkan
menuntut ilmu. Keharusan tersebut sangat kondisional dan tergantung pada kehidupan
ada; menuntut ilmu ada yang fardhu kifayah dan ada pula yang fardhu ‘ain. Ada yang
hanya sekedar dianjurkan, mubah dan bahkan haram yang disebabkan oleh ekses negatif
yang ditimbulkan. Dari segi penggunaannya, ilmu yang bermanfaat adalah pengetahuan
yang menyebabkan seorang untuk menggapai kebahagiaan akhirat (‘ilm thariq al-akhirah,
yaitu ilmu mukasyafah dan ilmu mu’amalah (kaifiyat altashfiyat al-qalb) Adapun alasan
Imam al-Ghazali memiliki konsep kesatuan ilmu (wahdat al-‘ulum) karena dua hal
penting. Pertama keraguan al-Ghazali terhadap kelompok yang menyatakan ahli
1
kebenaran (mutakallimun, Syi’ah Isma’iliyyah dan filosof) yang ternyata kebenaran
ajaran mereka hanya bersifat logik, spekulatif dan belum sampai pada hakekat kebenaran;
yaitu kebenaran yang dia mengembalikan posisi ilmu secara benar; sebagai sesuatu yang
suci (cahaya) berasal dari Dzat Yang Maha Suci (Allah), harus (cahaya) berasal dari Dzat
Yang Maha Suci (Allah) karena itu harus digunakan dengan suci (niat yang tulus ikhlas)
untuk Dzat Yang Maha Suci (Allah).
2
BAB II
▪ Metode rasionalisme
Pokok pemikiran Descartes adalah bahwa akal merupakan satu-satunya jalan menuju
pengetahuan. Di dalam buku Discourse on Method, dia mencoba untuk sampai pada
pokok dari suatu asas atau pemikiran dasar. Untuk menerima itu, dia menggunakan
sebuah metode keraguan atau "dubium methodicum". Dia menolak semua pemikiran yang
bisa diragukan, lalu dia membangun kembali pemikiran itu untuk mendapatkan dasar
3
yang kuat untuk pengetahuan yang murni. Pada awalnya, Descartes sampai pada satu
prinsip dasar, yaitu berpikir ada. Berpikir tidak bisa dipisahkan dari dirinya, sehingga dia
pun ada.
Descartes menyimpulkan jika dia ragu lalu seseorang atau sesuatu diharuskan untuk
ragu, sehingga faktanya adalah keraguannya membuktikan keberadaannya. Dia
merasakan tubuhnya melalui indera,namun indera tersebut tidak bisa dipercaya.
Menurutnya, berpikir adalah satu-satunya hal yang tidak bisa diragukan. Sedangkan
indera adalah hal yang menurutnya tidak pasti dan menipu. Yang jelas dan terpilah itulah
yang harus diterima sebagi benar. Hal itu menjadi dasar Descartes dalam menentukan
kebenaran.1
Landasan untuk mendapatkan hasil yang sahih dari metode yang hendak dicanangkannya,
ia menjelaskan perlunya 4 hal, yaitu:
a. Tidak menerima sesuatu pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa
hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apapun
yang mampu merobohkannya.
b. Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu atau sebanyak mungkin bagian,
sehingga tidak ada keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
c. Bimbangkanlah pikiran dengan teratur, dangan mulai dari hal yang sederhana dan
mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampaipada yang paling sulit dan
kompleks.
d. Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat
perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbanganpertimbangan yang
1
https://www.kompasiana.com/bramkusuma/5500a024a333119f6f5119d3/rasionalisme-empirisme-dan-
kritisisme
4
menyeluruh, sehingga kita yakin tidak ada satu pun yang diabaikan dalam
penjelajahan itu.2
▪ Metode empirisme
2
https://repositori.uin-alauddin.ac.id/11781/1/KUMPULAN%20MAKALAH%20FILSAFAT.pdf
5
tersedia, baru rasio atau pikiran bekerja membentuk 'pandangan-pandangan kompleks'
(complex ideas). Rasio bekerja membentuk pandangan kompleks dengan cara
membandingkan, mengabstraksi, dan menghubung-hubungkan pandangan-pandangan
sederhana tersebut.3
▪ Metode Intuisionisme
Intuisionisme (berasal dari bahasa Latin: intuitio yang berarti pemandangan) adalah
suatu aliran filsafat yang menganggap adanya satu kemampuan tingkat tinggi yang
dimiliki manusia, yaitu intuisi. Tokoh aliran ini diantaranya adalah Henri Bergson.
Intuisionisme selalu berdebat dengan paham rasionalisme.
Intuisionisme adalah sistem etika yang tidak mengukur baik atau buruk sesuatu
perbuatan berdasarkan hasilnya tetapi berdasarkan niat dalam melaksanakan perbuatan
tersebut. Dalam bahasa Inggris Intuisionisme berasal kata Intuiton yang berarti manusia
memliki gerak hati atau disebut hati nurani. Gerak hati mampu membuat manusia melihat
suatu perkara benar atau salah, jahat atau baik. Intuisionisme juga merupakan suatu proses
melihat dan memahami secara spontan dan intelek. Organ fiskal yang berkaitan dengan
gerak hati atau intuisi tidak diketahui secara jelas. Namun, setengah ahli filsafat
menyebutkan jantung dan otak kanan sebagai organ fiskal yang menggerakan intuisi.
Gerak hati yang tidak mampu dijangkau oleh akal yaitu pengalaman emosional dan
spiritual. Menurut Immanuel Kant, akal tidak pernah mampu mencapai pengetahuan
langsung tentang sesuatu perkara. Akal hanya mampu berpikir perkara yang dilihat terus
(fenomena) tetapi hati mampu menafsir suatu perkara dengan tidak terhalang oleh perkara
apapun tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Intuisionisme dikembangkan di Barat oleh Henri Bergson. Dalam tradisi filsafat barat,
pertentangan keras terjadi antara aliran empirisme dan rasionalisme. Pada awal abad ke-
20, empirisme masih menguasai pemikiran positivisme dalam kalangan ilmuan barat.
3
https://www.kompasiana.com/bramkusuma/5500a024a333119f6f5119d3/rasionalisme-empirisme-dan-
kritisisme
6
Dalam filsafat pemikiran Islam, juga terjadi pertentangan kuat antara aliran rasionalisme
dan intuisionisme. 4
▪ Metode Transendentalisme
Tokoh utama Transendentalisme adalah penulis dan pembicara publik Ralph Waldo
Emerson. Yang pernah menjadi pendeta Unitarian. Penerbitan esai klasik Emerson
“Nature” pada bulan September 1836 sering disebut sebagai peristiwa penting, karena
esai tersebut mengungkapkan beberapa ide sentral Transendentalisme. Tokoh lain yang
terkait dengan Transendentalisme termasuk Henry David Thoreau, penulis Walden , dan
Margaret Fuller seorang penulis dan editor feminis awal.5
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang dapat dilakukan adalah kepustakaan. Yaitu mencari objek kajian
peneletian dengan buku atau kitab yang ditulis oleh para uulama terpercaya terutama oleh
Hujjat al- Islam Imam Al- Ghazali. Penelitian ini bersifat kualitatif karena penelitian ini
akan mengahsilkan data deskriptif berupa kata- kata tertulis sebagaimana yang tertuang
4
Indonesia) Ahmad Sidqi. "Pentingkah Berfilsafat?". Diakses tanggal 13 April 2014.
(Indonesia) Scribd. "Rasionalisme & Intuisionisme". Diakses tanggal 13 April 2014.
(Inggris) Erik Gregersen. "The Britanica Guide to Analysis and Calculus": 176. Diakses tanggal 24 April
2014.
https://id.wikipedia.org/wiki/Intuisionisme
5
https://www.greelane.com/id/sastra/sejarah--budaya/transcendentalist-basics-1773398/
7
dalam karya Imam al- Ghazali. Pendekatan diarahkan pada latar dan individu secara
holistik.
2. Sumber Data
Penelitian ini memiliki dua sumber data yaitu sumber data primer dan sekunder.
Sumber data primer berasal dari kitabkitab tasawuf karya Imam al-Ghazali sebagai
berikut: Ihya’ ‘Ulum al-Din, Al-Munqid Min alDlalal, Misykat al-Anwar, Mi’raj al-
Salikin, Kasyf ‘Ulum al-Akhirah, Minhaj al-Abidin Risalah Laduniyah dan Mukasyafat
al-Qulub.
Sedangkan sumber data sekunder berasal dari buku- buku tasawuf dari karya ulama
selain al- Ghazali dan karya- karya yang lain yang berisi tentang persoalan yang menjadi
kajian yaitu Wahdatul Ulum (kesatuan ilmu), diantaranya seperti Hikmat al-Isyraq dan
Hayakil al-Nur karya Suhrawardi al-Maqtul, Al-Hikmat al-Muta’aliyah 13 fi Al-Asfar al-
Aqliyah al-Arba’ah dan Mafatih alGhaib karya Mula Sadra dan karya lain yang relevan
dengan judul penelitian ini.
Setelah data yang diperluakn terkumpul secara sistematis, maka proses selanjutya
yaitu analasis data. Dalam proses ini, data akan dianalisis menggunakan konten analasis
melalui pendekatan hermeneutika yang bertujuan untuk memahami makna yang
terkandung dalam teks. Dalam hal ini juga peneliti akan menggunakan hermeneutika jenis
psiko-historis, yaitu penafsiran yang berusaha memahami makna teks yang melibatkan
aspek psikologis dan historis yang melatar belakangi munculnya teks, sehingga teks dapat
8
dipahami sebagaimana yang dimaksud oleh penulisnya (al-‘Ibrah bi Khusush al-Sabab la
bi ‘Umum al-Lafdz).
5. Sistematika
Penelitian ini terdiri dari 5 bagian. Pertama, menjelaskan latar belakang yang memuat
alasan- alasan yang mendorong penelitian ini. Kedua, memuat elaborasi selintas tentang
kehidupan Imam al- Ghazali mengenai setting pemikirannya dalam sejarah pemikiran
Islam. Ketiga dan keempat, membahasa jawaban dari rumusan masalah, yaitu pendapat
Imam alGhazali tentang kesatuan ilmu dalam wilayah epistemologi (hakekat ilmu,
sumber dan validitasnya), kesatuan ilmu secara ontologis (sebagai cahaya Allah), dan
juga konsep kesatuan ilmu dalam wilayah aksiologi. Kelima, merupakan kesimpulan
daari penelitian dan penutup serta saran yang ditujukan utamanya yaitu kepada peneliti
berikutnya serta pihak yang terkait lainnya.
Imam al- Ghazaki seorang filosof dan sufi yang pecaya pada kemampuan akan
dan antuisi atau dzauq sebagai sumber ilmu.
Pertama, Imam al-Ghazali tidak mengakui ilmu yang dimiliki oleh subjek melalui
proses mengikuti kepada orang yang mengetahui (taqlid). Ilmu yang demikian ini
merupakan jenis ilmu yang paling rendah. Meskipun demikian, beliau
merekomendasikan ilmu jenis ini bagi orang yang tidak mampu untuk memiliki ilmu yang
lebih tinggi.
Kedua ilmu yang berbasis pada observasi secara baik terhadap objek dengan
menggunakan akal. Ilmu jenis ini kebenarannya, sudah didukung dengan berbagai dalil
dan argumentasi. 6
6
mam al-Ghazali, Ihya’ Vol. II, hlm. 20
9
melalui wujdan atau dzauq. Imam Al- Ghazali menyimpukan bahwa al- ‘ilm asyraf min
al-iman wa al-dzauq asyraf min al- ‘ilm li anna al-dzauq wujdan (ilmu lebih utama
daripada iman, sedangkan rasa lebih utama daripada ilmu, sebab rasa adalah menemukan
objek).7
7
Imam Muhammad al-Ghazali, Miyskat al-Anwar wa Mashafat al-Asrar, Beirut: Alam al-Kutub, 1986,
hlm. 16
10
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari paparan dan penjelasan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa semua ilmu pada
dasarnya satu yaitu semuanya terpuji dan kita sebagai manusia yang berakal
mengharuskan dan mewajibkan menuntut ilmu.memperoleh ilmu bisa melalui metode
dan sumber mana saja asal kebenaran dari ilmu tersebut sahih.
3.2 SARAN
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
focus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber- sumber yang
lebih banyak dan tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
Untuk saran dapat berisi kritik dan masukan terhadap penulisan dan tanggapan terhadap
kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di jelaskan.
11
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabiri, Abid, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi. Beirut: Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1999
Zaenuddin, M., “Paradigma Pendidikan Islam Holistik” dalam Jurnal Ulumuna, Vol. XV,
No. 1, 2011
kompasiana.com/bramkusuma/5500a024a333119f6f5119d3/rasionalisme-empirisme-
dan-kritisisme
12