Anda di halaman 1dari 16

HADIS HADIS TENTANG ETIKA KONSUMSI

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadis Ekonomi

Dosen Pengampu: Syarto Syarif Lc., MA

Disusun oleh:

Kelompok 9

Fadlan Sahputra 0502212106

Syahri Ramadhan Saragih 0502213050

Sunni Syahputra 0502212152

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN

KELAS 2 E

2022
،‫ َو اْش َر ُبوا‬،‫ "ُك ُل وا‬:‫ مرفوع ًا‬-‫رض ي اهلل عنهم ا‬- ‫عن عب د اهلل بن عم رو بن الع اص‬

."‫ َو اَل َس َر ف‬،‫ َغْيَر َم ِخ يَلة‬،‫ َو اْلَبُس وا‬،‫َو َتَص َّد ُقوا‬

Artinya: Dari amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya berkata, Rosul SAW
bersabda: makan dan minumlah, bersedekahlah serta berpakaianlah dengan tidak
berlebihan dan tidak sombong. (HR Nasa'i)

Hadis ini menunjukkan pengharaman berlebih-lebihan dalam makan, minum dan


pakaian serta perintah untuk bersedekah tanpa riya dan ingin popularitas. Hakekat
berlebih-lebihan adalah melampaui batas dalam setiap perbuatan atau ucapan, dan itu
lebih terkenal dalam infak. Hadis ini diambil dari firman Allah -Ta'ālā-, "Makan dan
minumlah, tetapi jangan berlebihan." Hadis ini juga mengandung pengharaman
sombong dan takabur. Hadis tersebut mencakup keutamaan-keutamaan pengaturan
manusia terhadap dirinya, dan mengandung kemaslahatan jiwa dan raga di dunia dan
akhirat. Sesungguhnya berlebihan dalam segala sesuatu itu membahayakan tubuh dan
membahayakan kehidupan, serta menyebabkan kerusakan. Dapat membahayakan jiwa
apabila jiwa mengikuti tubuh dalam banyak keadaan. Kesombongan dapat
membahayakan jiwa karena mendatangkan ketakaburan, dan membahayakan di akhirat
karena mendatangkan dosa. Sedangkan di dunia mendatangkan kebencian manusia.
Imam Bukhari memberikan komentar dari Ibnu Abbas, "Makanlah sesukamu dan
minumlah sesukamu tapi jangan lakukan dua kesalahan, yaitu berlebihan dan
sombong!"

slam sangat mementingkan keseimbangan kebutuhan fisik dan non fisik yang
didasarkan atas nilai-nilai syariah. Seorang muslim untuk mencapai tingkat kepuasan
harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu barang yang dikonsumsi adalah halal,
baik secara zatnya maupun cara memperoleh nya, tidak bersikap israf (royal) dan tabzir
(sia-sia). Oleh karena itu kepuasan seorang muslim tidak didasarkan banyak sedikitnya
barang yang dikonsumsi, tetapi didasarkan atas berapa besar nilai ibadah yang di
dapatkan dari yang di konsumsinya. Hadits mengkonsumsi yang halah dan baik.

1
‫َعْن َاِبى ُه َر ْيَر َة َق اَل َرُس وُل الّل ِه – َص َّلى الَّل ُه َعَلي ِه َو َس َّلَم – َاُّيَه ا الَّناُس ِإَّن الَّل َه َطِّيٌب اَل‬
‫ِم‬ ‫ِل‬ ‫ِبِه‬ ‫ِم ِن ِب‬
‫َيْق َبُل ِإاَّل َطِّيًبا َو ِإَّن الَّلَه َأَمَر اْلُم ْؤ يَن َم ا َأَمَر اْلُمْر َس يَن َفَق اَل ( َيا َأُّيَه ا الَّر ُس ُل ُك ُل ْو ا َن‬
‫ِم‬ ‫ِذ‬ ‫ِل‬ ‫ِل‬ ‫ِت‬
‫الَّطِّيَب ا َو اْع َم ُل وا َص ا ًح ا ِإِّنى ِبَم ا َتْع َم ُل ْو َن َع يٌم ) َو َق اَل ( َي ا َأُّيَه ا اَّل يَن آَم ُن وا ُك ُل وا ْن‬

‫َطِّيَباِت َم ا َر َز ْقَن اُك ْم ) ُثَّم َذَك َر الَّر ُج َل ُيِط ْي ُل الَّس َف َر َأْش َعَث أْغَبَر َيُم ُّد َيَد يِه ِإَلى الَّس َم اِء َيا‬

‫ِذ‬
‫َر َّب َيا َر َّب َو َم ْطَعُم ُه َح َر اٌم َو ُمْش َر ُبُه َح َر اٌم َو َم ْلَبُس ُه َح َر اٌم َو ُغ َي ِب ا ْلَح َر اِم َف َأَّنى ُيْس َتَج اُب‬

) ‫ِلَذ ِلَك ( رواه مسلم‬

Artinya: Dari Abu Hurairah RA sberkata, Rasul SAW bersabda: “Wahai manusia!
Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali yang baik. Ia
memerintahkan pada orang-orang yang beriman apa yang diperintahkan pada para
utusan. “Wahai para utusan, makanlah dari yang baik dan beramallah yang baik, karna
sesungguhnya kami mengetahui apa yang kalian kerjakan.” “Makanlah dari yang baik
atas apa yang kami rezeqikan padamu.” Kemudian Nabi menuturkan ada seorang laki-
laki yang bepergian jauh, rambutnya acak-acakan dan kotor. Dia menengadahkan kedua
tangannya ke atas seraya berdo’a: “Wahai Tuhanku, Wahai Tuhanku”, sedang yang
dimakan dan yang diminum serta yang dipakai adalah berasal dari yang haram, mana
mungkin do’anya diterima”. [HR. Muslim]

Orang-orang yang beriman silahkan makan dan minum yang baik baik, yang telah
allah rezekikan kepada seluruh umatnya.dan juga allah memerintahkan kita untuk
mensyukuri apa yang telah diberikan kepada umatnya dimuka bumi ini. Allah juga
memerintahkan supaya kita memakan yang halal dan baik. Yang dimaksud dengan
makanan yang baik yaitu makanan yang lezat, tidak mengandung najis, tidak
membahayakan fisik serta akal, dan makanan yang sehat serta aman untuk dikonsumsi.

2
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Balakang

Kegiatan konsumsi yang dilakukan setiap hari oleh siapapun, bertujuan untuk
memperoleh kepuasan setinggi-tingginya dan mencapai tingkat kemakmuran dalam
pengertian terpenuhinya berbagai macam kebutuhan, baik kebutuhan pokok maupun
sekunder, barang mewah maupun kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Daya
konsumsi seseorang memberikan gambaran tingkat kemakmuran seseorang atau
masyarakat.

Konsumsi merupakan kegiatan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi


kebutuhan. Konsumsi dalam Islam ialah pemenuhan kebutuhan atau penggunaan
komoditas yang sesuai dalam al-Quran dan hadis, baik berupa pakaian, makan, minum,
bahkan sedekah dan sebagainya untuk mencapai kemashlatan di dunia dan di akhirat.

Pembahasan pemenuhan kebutuhan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari


kajian tentang perilaku konsumen dalam kerangka maqasid syariah. Sebagai salah satu
bentuk mendekatkan diri kepada Allah swt adalah melalui konsumsi. Konsumen yang
terjebak dalam lingkaran konsumerisme tidak akan bisa memisahkan antara keinginan
dan kebutuhan. Ditambah lagi dengan beragamnya pilihan barang dan jasa, sehingga
banyak konsumen mengutamakan tuntutan gaya hidup memprioritaskan keinginan
daripada pertimbangan mashlahat.

Perilaku konsumen dalam memenuhi kebutuhan seperti di atas, dapat


menstimulan gaya hidup impulsive buying, yaitu menggunakan atau memanfaatkan
barang dan jasa secara spontan tanpa perencanaan. Dalam beberapa penelitian, hampir
setiap orang pernah membeli produk tanpa rencana, terutama Wanita.

Impulsive buying harus memperhatikan aspek-aspek yang tergolong dalam


kebutuhan primer (dharuriyat), sekunder (hajjiyat) dan tersier (tahnisiyat) dengan
semangat maqasid syariah, sehingga seseorang akan lebih mengedepankan kebutuhan
daripada keinginan untuk membatasi keinginan yang tidak terbatas.

3
Berdasarkan kondisi gaya berbelanja impulsive buying maka setiap kegiatan
konsumsi dalam Islam juga harus memperhatikan rambu-rambu yang menjadi etika
dalam Islam. Namun, yang perlu menjadi dipertimbangkan adalah motivasi belanja
impulsive itu sendiri. Sebagaimana banyak tipe dan alasan konsumen dalam berbelanja.1

1
Andi Bahri, “Etika Konsumsi dalam Perspektif Ekonomi Islam.” Jurnal Studia Islamika 11, no.
2 (Desember 2014).

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Etika Konsumsi

Sebelum membahas tentang etika konsumsi lebih lanjut, perlu kiranya


memaparkan akar kata keduanya. Kata “etika” berasal dari bahasa yunani yang terdiri
dari dua kata yaitu “ethos” dan “ethikos”. Ethos berarti sifat, watak kebiasaan, tempat
yang biasa. Ethikos berarti susila, keadaban, kelakuan dan perbuatan yang baik.2 Etika
memiliki arti ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak), kumpulan asas atau nilai yang tentang akhlak, serta nilai
mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.2

Etika, secara terminologi, dikenal sebagai ilmu tentang baik dan buruk atau kata
lainnya adalah teori tentang nilai. Dalam Islam, teori nilai mengenal lima kategori baik-
buruk, yaitu baik sekali, baik, netral, buruk dan buruk sekali. Nilai ditentukan oleh
Tuhan, karena Tuhan adalah maha suci yang bebas dari noda apa pun jenisnya.4 Etika
menurut Daud Ali adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang persoalan baik dan buruk
berdasarkan akal pikiran manusia.

Etika merupakan cabang ilmu filsafat, terdapat banyak aliran filsafat yang
memberikan pendapatnya, sebagaimana berikut:

a. Relativisme yaoti keputusan etis dibuat berdasarkan kepentingan pribadi dan


kebutuhan pribadi.
b. Utilitarianisme (kalkulasi untung dan rugi) yaitu keputusan etis dibuat
berdasarkan hasil yang diberikan oleh keputusankeputusan ini. Suatu tindakan
disebut etis jika memberikan keuntungan terbesar bagi sejumlah besar orang.
c. Universalisme (kewajiban) yaitu keputusan etis yang menekankan maksud suatu
tindakan atau keputusan. Keputusan yang sama harus dibuat oleh setiap orang di
bawah kondisi yang sama.

2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi
Keempat (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012).

5
d. Hak (kepentingan individu) yaitu keputusan etika yang menekankan nilai-nilai
individu, kebebasan untuk memilih.
e. Keadilan distributif (keadilan dan kesetaraan) yaitu keputusan etika yang
menekankan nilai-nilai individu, keadilan dan menegaskan pembagian yang adil
atas kekayaan dan keuntungan.3

Kata Konsumsi berasal dari bahasa Inggris yaitu consumption, yang berarti “the
act or process of consuming” (perbuatan atau proses mengkonsumsi) atau “the
utilization of economic goods in the satisfaction of wants or in the process of production
resulting chiefly in their destruction, deterioration, or transformation” (Penggunaan
barang-barang yang bersifat ekonomi dalam memenuhi atau memuaskan keinginan;
atau dalam proses produksi yang menghasilkan pengrusakan, kemerosotan dan
perubahan).4

Konsumsi dalam ilmu ekonomi diartikan sebagai setiap perilaku seseorang dalam
menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Untuk itu, perilaku konsumsi juga berkenaan dengan perilaku membeli,
memakai baju, membeli dan memakai kendaraan, membeli dan memakai sepatu dan
sebagainya. Hadis Nabi saw., juga memberikan kabar tentang konsumsi sebagaimana
dalam hadis berikut ini:

‫َح َّد َثَنا َأُبو َبْك ِر ْبُن َأِبي َش ْيَبَة َح َّد َثَنا َيِز يُد ْبُن َه اُروَن َأْنَبَأَنا َه َّم اٌم َعْن َقَت اَدَة َعْن َعْم ِر و ْبِن‬

‫ُش َعْيٍب َعْن َأِبي ِه َعْن َج ِّد ِه َق اَل َق اَل َرُس وُل الَّل ِه َص َّلى الَّل ُه َعَلْي ِه َو َس َّلَم ُك ُل وا َو اْش َر ُبوا‬

.‫َو َتَص َّد ُقوا َو اْلَبُس وا َما َلْم ُيَخ اِلْطُه ِإْس َر اٌف َأْو َم ِخ يَلٌة‬

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah
menceritakan kepada kami Yazid bin Harun telah memberitakan kepada kami Hammam
dari Qatadah dari ‘Amru bin Syu‘aib dari Ayahnya dari Kakeknya dia berkata,
3
Rafik Issa Beekum, Etika Bisnis Islami, terj. Muhammad (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
17.
4
Frederick C. Mish, Ed., Merriam – Webster’’s Collegiatc Dictionary (Ontario: Thomas Allen &
Son Limited, 1993), 249.

6
"Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Makan dan minumlah, bersedekah
dan berpakaianlah kalian dengan tidak berlebih-lebihan atau kesombongan (HR. Ibnu
Majah).

Berdasarkan informasi ayat dan hadis di atas, konsumsi dalam Islam mencakup
makna pemakaian atau pemanfaatan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
jasmani dan rohani, materi dan immaterial, bahkan pemenuhan kebutuhan emosional
dan spiritual demi mencapai kebutuhan pencapaian keridhaan dan ketaatan pada Allah
swt., Untuk itu, tujuan konsumsi dalam Islam memiliki peranan penting dalam membina
kesejahteraan dan keteraturan yang ada dalam sebuah sistem kemasyarakatan, baik
secara pribadi maupun sosial untuk mencapai kesejahteraan di dunia dan di akhirat.

B. Etika Konsumsi Dalam Islam

Perilaku konsumsi seringkali dipandang sebagai homogenisasi atau heterogenisasi


buadaya global. Homogenisasi dapat diartikan bahwa budaya lokal akan terkooptasi
oleh budaya global atau justru yang terajdi sebaliknya. Budaya lokal akan semakin
menunjukkan eksistensinya ditengah berkembangnya budaya global. Perubahan
perilaku konsumsi seringkali dipandang sebagai hal yang negarif, menajdi kambing
hitam dalam beberapa hal termasuk terdegradasinya budaya lokal, budaya bangsa
maupun budaya Islam.

Sebagaimana dalam ilmu ekonomi konvensional, bahwa motif perilaku


konsumsi dikenal dua macam, yaitu motif internal (dari diri manusia) dan motif
ekstenal (dari luar diri manusia), demikian juga dalam Islam terdapat apa yang
disebut motif internal dan eksternal dalam konsumsi.5
 Motif Internal

Adapun motif internal yang dimaksud adalah motif yang tumbuh dalam diri
seorang muslim dalam bentuk ingin selalu hidup sehat dan kuat. Motif ini
didasarkan pada hadis Nabi saw. berikut ini:

5
M. Nasri Hamang Najed, Ekonomi Islam; Zakat Ajaran Kesejahteraan dan Keselamatan
Umat: Pokok-pokok Fiqhiyyah, Landasan Perekonomian, Sejarah dan Manajemen Zakat (Parepare:
LbH Press, 2013), h. 39-43.

7
‫ َاْلـُم ْؤ ِم ُن اْلَق ـِو ُّي‬: ‫ َقاَل َرُسْو ُل اِهلل َص َّلى اُهلل َعَلْيِه َو َس َّلَم‬: ‫َعْن َأِبْي ُه َر ْيَر َة َر ِض َي اُهلل َعْنُه َقاَل‬
‫َخ ـْي َأ ُّب ِإَلـى اِهلل ِم اْلـ ْؤ ِم ِن الَّضِعْيِف‬
‫َن ُم‬ ‫ٌر َو َح‬

Dari Anas, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: Orang mukmin yang kuat
lebih baik dan lebih disukai Allah dari pada orang mukmin yang lemah (H. R.
Ahmad).

Hadits ini mengandung beberapa perkara besar dan kata-kata yang memiliki arti
luas. Di antaranya yaitu menetapkan adanya sifat mahabbah bagi Allâh Azza wa Jalla.
Sifat ini terkait dengan orang-orang yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya. Hadits
ini juga menunjukkan bahwa mahabbah Allâh tergantung keinginan dan kehendak-Nya.
Kecintaan Allâh kepada makhluk-Nya berbeda-beda, seperti kecintaan-Nya kepada
Mukmin yang kuat lebih besar dari kecintaan-Nya kepada Mukmin yang lemah. Hadits
ini juga mencakup aqidah qalbiyyah (keyakinan hati), perkataan, dan perbuatan
sebagaimana madzhab ahlus sunnah wal jamaah. Karena iman itu terdiri dari tujuh
puluh cabang lebih, yang paling tinggi adalah kalimat LÂ ILÂHA ILLALLÂH, dan
yang paling rendah yaitu menyingkirkan suatu yang mengganggu dari jalan. Dan malu
itu merupakan cabang dari iman.

Motif Eksternal

Sedangkan motif eksternal yang dimaksud adalah sebuah motif dari luar diri
manusia dalam bentuk ingin memenuhi kebutuhan kenyamanan dari pelakunya dan
secara sosiologis ingin mendapatkan penilaian positif (visualitas estetik) dari orang
lain atau publik. Motif ini merupakan motif yang secara syar'i termasuk absah dan
positif. Motif ini didasarkan pada hadis Nabi saw. berikut:

‫َعْن َعْبِد الَّلِه َعْن الَّنِبِّي َص َّلى الَّلُه َعَلْيِه َو َس َّلَم َقاَل اَل َيْد ُخ ُل اْلَج َّنَة َمْن َك اَن ِفي َقْلِبِه ِم ْثَق اُل‬
‫ٍة ِم‬ ‫ِم‬ ‫ٍة ِم‬
‫َذَّر ْن ِكْبٍر َو اَل َيْد ُخ ُل الَّناَر َيْع ِني َمْن َك اَن ِفي َقْلِبِه ْثَق اُل َذَّر ْن ِإيَم اٍن َقاَل َفَق اَل َلُه‬

8
‫َرُج ٌل ِإَّنُه ُيْع ِج ُبِني َأْن َيُك وَن َثْو ِبي َح َس ًنا َو َنْع ِلي َح َس َنًة َقاَل ِإَّن الَّلَه ُيِح ُّب اْلَج َم اَل َو َلِكَّن‬
‫ِك‬
‫اْل ْبَر َمْن َبَطَر اْلَح َّق َو َغَمَص الَّناَس‬

Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: tidak akan masuk
surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walau hanya sekecil atom
(dzarrah). Seorang laki-laki berkata: bahwa sesungguhnya bagaimana halnya
seorang laki-laki yang memakai baju dan sepatu/sandal yang bagus. Rasulullah
berkata: bahwa sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai yang indah.
Kesombongan itu mengenyahkan kebenaran dan merendahkan manusia - (H.R.
Muslim).

Seperti dirasakan dan disaksikan dalam kehidupan sehari- hari, bahwa hidup
sehat dan kuat mutlak harus ditopang oleh perilaku konsumsi, baik perilaku
konsumsi yang berkaitan sandang maupun pangan ataupun papan. Bahkan perilaku
konsumsi itu telah diatur dalam Islam sedemikian rupa guna mencapai tingkat
kesehatan dan kekuatan yang prima. Demikian juga halnya kehidupan yang
ditopang oleh fasilitas yang baik atau bagus, akan mendatangkan perilaku hidup
yang baik dan bagus pula, baik perilaku itu bersifat perilaku keagamaan maupun
bersifat perilaku keduniaan.

Dalam pandangan Islam, perilaku konsumsi mempunyai tujuan yang berbeda


dengan tujuan perilaku konsumsi dalam pandangan ekonomi konvensional (yang
materialistik) yang hanya ingin memenuhi kebutuhan jasmaniah lahiriah, melainkan
di samping memenuhi kebutuhan jasmaniah lahiriah, juga memenuhi kebutuhan
rohaniah batiniah.
Hal ini dapat diuraikan dalam tujuan-tujuan konsumsi dalam pandangan
Islam sebagai berikut:

- Tujuan Materil

Adapun tujuan materil dari perilaku konsumsi dalam pandangan Islam dapat
dipahami dari hadis berikut:

9
Memberikan Kenyamanan Hidup. Rasulullah saw. bersabda:

‫ِلِح‬ ‫ِل‬ ‫ِة ِء‬ ‫ِم‬


‫َأْرَبٌع ْن َسَعاَد ْالَمْر َأْن َتُك ْو َن َز ْو َج ُتُه َص ا َح ًة َو َأْو َالُدُه َأْبَر اًر ا َو ُخ َلَطاُئُه ًص ا ْيَن‬
‫َأْن ُك َن ِر ْز ُق ِفى َلِدِه‬
‫ُه َب‬ ‫َو َي ْو‬

Rasulullah SAW bersabda, ''Empat macam dari kebahagiaan manusia, yaitu istri
yang salehah, anak yang berbakti, teman-temannya adalah orang-orang yang baik, dan
mata pencahariannya berada dalam negaranya sendiri.'' (HR Dailami).

Salah satu hal yang dicari setiap manusia dalam kehidupan ini adalah
kebahagiaan, meskipun setiap orang berbeda indikatornya. Ada sebagian orang yang
menilai kebahagiaan itu ketika memiliki harta yang banyak.

Ada pula yang menilai kebahagiaan dengan pangkat dan jabatan yang diraihnya.
Tetapi, bagi seorang Muslim, kebahagian itu bukan diukur dengan harta atau pangkat
yang dimilikinya semata.

Kebahagian sejati bagi seorang Muslim, sebagaimana hadits di atas, adalah ketika
hidup dalam lingkungan yang baik dan mudah, yaitu memiliki istri yang salehah, anak-
anak yang berbakti, teman-teman yang baik, dan mata pencaharian mudah. Itulah
anugerah terindah yang Allah berikan kepada manusia untuk kebahagiaannya. Istri yang
salehah adalah seorang istri yang tidak hanya menjadi pendamping hidup, melainkan ia
seorang teman diskusi dan teman yang selalu mengajak kepada kebaikan.

- Tujuan Spiritual

Adapun tujuan spiritual dari perilaku konsumsi dalam pandangan Islam antara
lain sebagai berikut: pertama, Pembentukan jiwa syukur akan karunia Allah. Dalam
pandangan seorang konsumen muslim (hamba Allah), setiap perilaku konsumsi
sesungguhnya merupakan realisasi rasa syukur kepada Allah. Hal itu karena tiga
faktor; pertama, dikaruniakan-Nya kemampuan untuk mencari bahan konsumsi

10
seperti makanan; kedua, dikaruniakan-Nya bahan konsumsi yang melimpah; dan
ketiga, energi yang didapat sesudah menkonsumsi berbagai bahan makanan,
semata-mata dipergunakan untuk mempertebal rasa kesyukurannya kepada Allah.
Bahwa seorang konsumen muslim dalam setiap perilaku konsumsinya harus teresap
dalam dirinya nilai-nilai syukur.

Kedua, pembentukan ahli ibadah yang bersyukur. Seorang konsumen muslim


yang telah mengonsumsi berbagai barang konsumsi sekaligus mampu
merasakannya sebagai nikmat karunia Allah, akan berkontribusi besar dalam
mengaksesnya untuk senantiasa menunaikan ibadah dengan berlandaskan atas
syukur akan nikmat karunia Allah. Ibadah yang dilakukan berulang-ulang dengan
berdasarkan atas rasa syukur akan nikmat karunia Allah, secara otomatis akan
membentuk pelakunya menjadi ahli ibadah dengan tingkat kualitas pengamalan
ibadah yang paling tinggi nilainya di mata Allah. Allah mengisyaratkan, bahwa
dalam melakukan ibadah-ibadah kepadanya, hendaknya didasarkan atas rasa syukur
akan nikmat karunia-Nya.

C. Perilaku Konsumsi Dalam Pandangan Ekonomi Islam

Islam sebagai pedoman hidup mengatur segenap perilaku manusia dalam


memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula masalah konsumsi, Islam mengatur
bagaimana manusia bisa melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa
manusia berguna bagi kemaslahatan hidupnya. Islam telah mengatur jalan hidup
manusia melalui Alquran dan Hadis, supaya manusia di jauhkan dari sifat yang hina
karena perilaku konsumsinya. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan
Allah dan Rasulullah saw. akan menjamin kehidupan manusia yang lebih sejahtera.

Seorang muslim dalam berkonsumsi didasarkan atas beberapa pertimbangan:


pertama, Manusia tidak kuasa sepenuhnya mengatur detail permasalahan ekonomi
masyarakat atau Negara, bahkan manusia tidak dapat memaksakan cara pemenuhan
hidup orang lain kepada dirinya ataupun sebaliknya.6

6
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam; Suatu Pengantar (Yogyakarta:
Ekonisia, 2002), h. 151.

11
Ketiga, Perilaku konsumsi dalam pandangan Islam akan melihat bagaimana
suasana psikologi orang lain. Dengan konsep ini maka Islam menjamin
terbangunnya pembangunan masyarakat yang berkeadilan, terhindar dari
kesenjangan sosial atau diskriminasi sosial.

Teori ekonomi menjelaskan bahwa kepuasan seseorang dalam mengkonsumsi


suatu barang dinamakan utility atau nilai guna. Jika kepuasan semakin tinggi maka
semakin tinggi pula nilai gunanya, sebaliknya bila kepuasan semakin rendah maka
semakin rendah pula nilai gunanya. Oleh karena itu kepuasan seorang muslim tidak
didasarkan atas banyak sedikitnya barang yang bisa dikonsumsi, tetapi lebih
dikarenakan apa yang dilakukannya sebagai ibadah dengan memenuhi apa yang
diperintahkan Allah swt dan menjauhi segala larangan Allah swt.

Dari uraian diatas dinyatakan bahwa memperturutkan kepuasan “yang


tidak terbatas” akan merusak diri, bukan berarti seorang muslim tidak boleh
mendapatkan kepuasan dari konsumsinya terhadap sejumlah barang, tetapi
kepuasan seorang muslim dibatasi.

Untuk lebih mejelaskan kepuasan seorang muslim dapat diilustrasikan dalam


bentuk nilai guna total (total utility) dan nilai guna marginal (marginal utility). Nilai
guna total adalah jumlah seluruh kepuasan yang diperoleh dalam mengkonsumsi
sejumlah pertambahan atau pengurangan kepuasan sebagai akibat dari
pertambahan atau pengurangan penggunaan satu unit barang.7

Dengan demikian kepuasan bukan didasarkan atas banyaknya barang yang


dikonsumsi, tetapi didasarkan atas kemampuan fisik manusia dalam menggunakan
barang yang dikonsumsinya dalam melangsungkan hidupnya. Sehingga dengan
mengurangi konsumsi sebelum mencapai kepuasan maksimal sebagai upaya untuk
menjaga konsistensi kepuasan yang diterima seorang muslim dari mengkonsumsi
suatu barang, karena tambahan nilai guna yang akan diperoleh akan menjadi
semakin sedikit apabila ia terus-menerus menambah konsumsinya, yang demikian
dikenal dengan istilah hukum nilai guna marginal yang semakin menurun (the law
diminishing return), yang pada akhirnya tambahan nilai guna akan menjadi
7
ibid., h. 153

12
negative, apabila konsumsi ke atas barang tersebut ditambah terus, maka nilai
guna total akan menjadi semakin sedikit.

Jika hukum nilai guna marginal semakin menurun maka pertambahan yang
terus menerus dalam berkonsumsi suatu barang tidak akan menambah kepuasan
dalam berkonsumsi, tetapi lama-kelamaan tingkat kepuasan atas barang semakin
menurun. Misalnya seorang berbuka puasa dengan segelas kolak akan mendapat
kepuasan, kepuasan akan bertambah bila ditambah satu gelas yang kedua dan
sampai gelas ketiga. Kalau ditawarkan gelas keempat, orang tersebut akan menolak
karena sudah merasa puas. Orang tersebut menolak karena sudah merasa lebih puas
minum tiga gelas kolak dari pada minum empat gelas. Hal ini bermakna nilai guna
total dari meminum empat gelas adalah lebih rendah dari nilai guna yang diperoleh
dari meminum tiga gelas.

Dengan demikian sebagai upaya dalam mendapatkan kepuasan dalam


konsumsi dari setiap barang, seyogyanya setiap muslim akan berusaha
memaksimumkan nilai guna dari tiap barang yang di konsumsi dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya.

13
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Konsumsi merupakan kegiatan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhan. Konsumsi dalam Islam ialah pemenuhan kebutuhan atau penggunaan
komoditas yang sesuai dalam al-Quran dan hadis, baik berupa pakaian, makan, minum,
bahkan sedekah dan sebagainya untuk mencapai kemashlatan di dunia dan di akhirat.

Pembahasan pemenuhan kebutuhan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari


kajian tentang perilaku konsumen dalam kerangka maqasid syariah. Sebagai salah satu
bentuk mendekatkan diri kepada Allah swt adalah melalui konsumsi. Konsumen yang
terjebak dalam lingkaran konsumerisme tidak akan bisa memisahkan antara keinginan
dan kebutuhan. Ditambah lagi dengan beragamnya pilihan barang dan jasa, sehingga
banyak konsumen mengutamakan tuntutan gaya hidup memprioritaskan keinginan
daripada pertimbangan mashlahat.

Perilaku konsumsi seringkali dipandang sebagai homogenisasi atau heterogenisasi


buadaya global. Homogenisasi dapat diartikan bahwa budaya lokal akan terkooptasi
oleh budaya global atau justru yang terajdi sebaliknya. Budaya lokal akan semakin
menunjukkan eksistensinya ditengah berkembangnya budaya global. Perubahan
perilaku konsumsi seringkali dipandang sebagai hal yang negarif, menajdi kambing
hitam dalam beberapa hal termasuk terdegradasinya budaya lokal, budaya bangsa
maupun budaya Islam.

14
Daftar Pustaka

Sudarsono, Heri, Konsep Ekonomi Islam; Suatu Pengantar, Yogyakarta: Ekonisia,


2002.

Najed, M. Nasri Hamang, Ekonomi Islam; Zakat Ajaran Kesejahteraan dan


Keselamatan Umat: Pokok-pokok Fiqhiyyah, Landasan Perekonomian,
Sejarah dan Manajemen Zakat, Parepare: LbH Press, 2013.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Ed.
IV; Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012.

Bahri, Andi. Etika Konsumsi dalam Perspektif Ekonomi Islam. Jurnal Studi Islamika
11, no. 2 (Desember 2014).

Frederick C. Mish, ed. Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary. Ontario: Thomas


Allen & Son Limited, 1993.

15

Anda mungkin juga menyukai