Anda di halaman 1dari 6

Nama : Rifani Annisa Mawardini

NIM : 119920072
Kelas : Ekonomi Syari’ah/II/B
Mata Kuliah : Fiqih Iqtishad
Prinsip-Prinsip Konsumsi dalam Islam
Konsumsi menurut islam, islam adalah agama yang ajarannya mengatur
segenap prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula
dalam masalah konsumsi. Islam mengatur bagaimana manusia dapat melakukan
kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemaslahatan
hidupnya. Seluruh aturan islam mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam Al-
Quran dan As-Sunnah. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan Al-Quran
dan As-Sunnah ini akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan
kesejahteraan hidupnya.
Dasar hukum perilaku konsumen, islam memandang bahwa bumi dengan
segala isinya merupakan amanah dari Allah SWT kepada khalifah agar
dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Dalam satu
pemanfaatan yang telah diberikan kepada khalifah adalah kegiatan ekonomi
(umum) dan lebih sempit lagi kegiatan konsumsi (khusus). Islam mengajarkan
kepada sang khalifah untuk memakai dasar yang benar agar mendapatkan
keridhoan dari Allah Sang Pencipta. Hukum konsumsi diantaranya dintentukan
oleh :
a) Sumber yang ada dalam Al-Quran

ِ َ‫ت ال َّش ْيط‬


‫ان إِنَّهُ لَ ُك ْم‬ ِ ْ‫ٓيَاَيُّهَآ النَّاسُ ُكلُوْ ا ِم َّما فِ ْي ْاألَر‬
ِ ‫ض َحاَل اًل طَيِّبًا َواَل تَتَّبِعُوْ ا ُخطُ َوا‬
َ‫َع ُد ُّو ُّمبِ ْين‬
Artinya : “Makan dan minumlah, namun janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang-orang yang berlebihan”.
b) Sumber yang berasal dari As-Sunnah, yang artinya :
“Abu Said Al-Khudri r.a berkata : ketika kami dalam bepergian bersama nabi
SAW, mendadak datang seseorang berkendaraan sambil menoleh ke kanan –
ke kiri seolah-olah mengharapkan bantuan makanan, maka Rasulullah
bersabda : “Siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan harus dibantukan
pada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan siapa yang mempunyai
kelebihan bekal harus dibantukan pada orang yang tidak mempunyai bekal.
Kemudian Rasulullah menyebut berbagai macam jenis kekayaan hingga kita
merasa seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan
hajatnya”. (H.R. Muslim)
c) Ijtihad para ahli fiqh, ijtihad berarti meneruskan setiap usaha untk
menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan syari’at.
Konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penawaran.
Kebutuhan konsumen yang kini dan telah diperhitungkan sebelumnya,
merupakan insentif pokok bagi kegiatan-kegiatan ekonominya sendiri.
Mereka mungkin tidak hanya menyerap pendapatannya, tetapi juga memberi
intensif (Muhammad, 2005:165). Hal ini menjelaskan bahwa pembicaraan
mengenai konsumsi adalah penting. Menurut Muhammad, perbedaan antara
ilmu ekonomi konvensional dan ekonomi islam dalam hal konsumsi terlatak
pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak
mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumdi modern.
Semakin tinggi kita menaiki jenjang peradaban, semakin kita terkalahkan
oleh kebutuhan fisiologik karena faktor-faktor psikologis. Cita rasa seni,
keangkuhan, dan dorongan-dorongan untuk pamer, semua faktor ini
memainkan peran yang semakin dominan dalam menentukan bentuk lahiriah
konkret dari kebutuhan-kebutuhan fsiologis kita. Dalam suatu masyarakat
primitif, konsumsi sangat sederhana, karena kebutuhannya pun sangat
sederhana. Tetapi peradaban modern telah menghancurkan kesederhanaan
manis akan kebutuhan-kebutuhan ini.
Tingkat konsumsi dalam islam, seseorang atau rumah tangga dalam
konsumsi dapat dibagi beberapa tingkatan (Amir, 2007) :
a) Tingkatan konsumsi Al-Mutadanni
Konsumsi pada tingkat ini ialah tingkat konsumsi seseorang atau rumah
tangga yang hanya bisa memenuhi sebagian kecil saja dari kebutuhannya.
b) Tingkatan konsumsi Sadd Ramq
Tingkat konsumsi ini merupakan tingkatan konsumsi dimana rumah tangga
atau seseorang tersebut dapat memenuhi kebutuhan pokok saja.
c) Tingkatan konsumsi Al-Kifayah
Konsumsi pada tingkat ini adalah rumah tangga atau seseorang dengan
kondisi ekonomi diatas miskin atau idup dalam kondisi sederhana atau cukup.
d) Tingkatan konsumsi As-Sarot
Tingkatan pada level ini merupakan tingkatan konsumsi yang cenderung
berlebihan dan boros.
Prinsip konsumsi menurut islam, anugerah-anugerah Allah adalah milik
semua manusia. Suasana yang menyebabkan sebagian diantara anugerah-anugerah
itu berada di tangan orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat
memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri. Orang lain masih
berhak atas anugerah-anugerah tersebut walaupun mereka tidak memperolehnya.
Dalam Al-Quran Allah SWT mengutuk dan membatalkan argument yang
dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan mereka
memberikan bagian atau miliknya ini, yang dijelaskan pada Qs.Yasin : 47

ْ ُ‫ال الَّ ِذ ْينَ َكفَرُوْ ا لِلَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ آ اَن‬


ُ‫ط ِع ُم َم ْن لَّوْ يَ َشآ ُء هللا‬ َ َ‫َواِ َذاقِي َْل لَهُ ْم اَ ْنفِقُوْ ا ِم َّما َرزَ قَ ُك ُم هللاُ ۙ ق‬
َ ‫ط َع َمهٗ ۖ اِ ْن اَ ْنتُ ْم اِاَّل فِ ْي‬
‫ض ٰل ٍل ُّمبِي ٍْن‬ ْ َ‫ا‬
Artinya : “Dan apabila dikatakan kepada mereka “Infakkanlah sebagian rezeki
yang diberikan Allah kepadamu”, orang-orang yang kafir itu berkata kepada
orang-orang yang beriman, “Apakah pantas kami memberi makan kepada orang-
orang yang jika Allah menghendaki Dia akan memberikannya makan?” kamu
benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
Dalam ekonomi islam, konsumsi diakui sebagai salah satu perilaku
ekonomi dan kebutuhan asasi dalam kehidupan manusia. Perilaku ekonomi
diartikan sebagai setiap perilaku seorang konsumen untuk menggunakan dan
memanfaatkan barang serta jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun
islam memberikan penekanan bahwa fungsi perilaku konsumsi adalah untuk
memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani dan rohani, sehingga mampu
memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah untuk
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dalam ekonomi islam konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar
sebagai berikut :
a) Prinsip Keadilan
Syarat ini mengandung arti ganda bahwa rezeki yang dikonsumsi haruslah
halal dan tidak dilarang hukum. Misalnya dalam soal makanan dan minuman.
yang terlarang, yang mana telah dijelaskan dalam Qs. Al-Baqoroh : 173

ٍ َ‫اح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوال َّد َم َولَحْ َم ْال ِخ ْن ِزي ِْر َو َمآاُ ِه َّل بِ ٖه لِ َغي ِْرهللاِ ۚ فَ َم ِن اضْ طُ َّر َغي َْرب‬
‫اغ‬ َ ‫اِنَّ َم‬
َ ‫َّواَل عَا ٍد فَآَل اِ ْث َم َعلَ ْي ِه ۗ اِ َّن‬
ِ ‫هللا َغفُوْ ٌرر‬
‫َّح ْي ٌم‬
Artinya : “Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah,
daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama)
selain Allah. Tetapi barang siapa yang terpaksa (memakannya), bukan karena
menginginkannya dan tidak (pula) melampui batas, maka tudak ada dosa
baginya. Sesungguhnya, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Tiga golongan pertama dilarang karena hewan-hewan ini berbahaya bagi
tubuh, sebab yang berbahaya bagi tubuh tentu berbahaya pula bagi jiwa.
Larangan terakhir berkaitan dengan segala sesuatu yang langsung
membahayakan moral dan spiritual, karena seolah-olah hal ini sama dengan
mempersekutukan Tuhan. Kelonggaran diberikan bagi orang-orang yang
terpaksa dan bagi orang yang pada suatu ketika tidak mempunyai makanan
untuk dimakan. Ia boleh makan makanan yang terlarang itu sekedar yang
dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.
b) Prinsip Kebersihan
Obyek konsumsi haruslah sesuatu yang bersih dan bermanfaat. Yaitu sesuatu
yang baik, tidak kotor, tidak najis, tidak menjijikan, tidak merusak selera.
Serta memang cocok untuk dikonsumsi manusia.
c) Prinsip Kesederhanaan
Konsumsi haruslah dilakukan secara wajar, proporsional, dan tidak berlebih-
lebihan. Prinsip-prinsip tersebut tentu berbeda dengan ideologi kapitalisme
dalam berkonsumsi yang menganggap konsumsi sebagau suatu mekanisme
untuk menggenjot produksi dan pertumbuhan. Semakin banyak permintaan
maka semakin banyak barang yang diproduksi. Disinilah kemudian timbul
pemerasan dan penindasan terhadap buruh agar terus bekerja tanpa mengenal
batas waktu guna memenuhi permintaan. Dalam islam justru sebaliknya,
menganjurkan suatu cara konsumsi yang moderat, adil, dan proporsional.
Intinya, dalam islam konsumsi harus diarahkan secara benar dan
proporsional, agar keadilan dan kesetaraan untuk semua bisa tercipta.
d) Prinsip Kemurahan Hati
Makanan, minuman, dan segala suatu hal yang telah disediakan Allah
merupakan bukti kemurahan-Nya. Semuanya dapat dikonsumsi dalam ranga
kelangsungan hidup dan kesehatan yang lebih baik demi menunaikan perintah
Allah SWT. Karenanya sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan
kemurahan hati. Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang
kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan
yang ada pada kita kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat
membutuhkannya.
e) Prinsip Moralitas
Kegiatan konsumsi itu haruslah dapat meningkatkan atau memajikan nilai-
nilai moral dan spiritual. Seorang muslim diajarkan untuk menyebutkan nama
Allah sebelum makan dan mengucap hamdallah setelah makan adalah agar
dapat merasakan kahadiran Ilahi pada setiap saat memenuhi kebutuhan
fisiknya. Hal ini penting, artinya karena islam menghendaki perpaduan nilai-
niai hidup material dan spiritual yang berbahagia.
Konsep penting dalam konsumsi, pada dasarnya konsumsi dibangun atas
dua hal, yaitu kebutuhan dan kegunaan atau kepuasan (manfaat). Secara rasional,
seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu barang manakala dia tidak
membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam prespektif
ekonomi islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat
(interdependensi) dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian? Ketika
konsumsi dalam islam diartikan diartikan sebagai penggunaan terhadap komoditas
yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan, maka sudah barang tentu
motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktivitas konsumsi juga
harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karekteristik dari
kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi islam.
a) Kebutuhan
“Manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai unsur, ruh, baik, akal,
badan, maupun hati. Unsur-unsur ini mempunyai keterkaitan antar satu
dengan yang lainnya. Misalnya, kebutuhan manusia untuk makan, pada
dasarnya bukanlah kebutuhan perut atau jasmani saja. Namun, selain akan
memberikan pengaruh terhadap kuatnya jasmani, makan juga berdampak
pada unsur tubuh yang lain, misalnya ruh, akal, dan hati. Karena itu, islam
mensyaratkan setiap makanan yang kita makan hendaknya mempunyai
manfaat bagi seluruh unsur tubuh”. Ungkapan diatas hendaknya menjadi
perhatian kita, bahwa tidak selamanya sesuatu yang kita konsumsi dapat
memenuhi kebutuhan hakiki dari seluruh unsur tubuh. Maksud hakiki disini
adalah keterkaitan yang positif antara aktivitas konsumsi dengan aktivitas
terstruktur dari unsur tubuh itu sendiri. Apabila konsumsi mengakibatkan
terjadinya disfungsi bahkan kerusakan pada salah satu atau beberapa unsur
tubuh, tentu itu bukanlah kebutuhan hakiki manusia. Karena itu, islam secara
tegas mengharamkan minum-minum keras, memakan dagang anjing, dan
sebagainya. Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi,
manusia juga dibebani kewajiban membangun dan menjaganya, yaitu sebuah
aktivitas berkelanjutan dan terus berkembang yang menuntut pengembangan
seluruh potensinya disertai keseimbangan penggunaan sumber daya yang ada.
Artinya, islam memandang penting pengembangan potensi manusia selama
berada dalam batas penggunaan sumber daya secara wajar. Sehingga,
kebutuhan dalam prespektif islam adalah keinginan manusia menggunakan
sumber daya yang tersedia, guna mendorong pengembangan potensinya
dengan tujuan membangun dan menjaga bumi dan isinya.
b) Kegunaan (manfaat)
Sebagaimana kebutuhan diatas, konsep manfaat ini juga tercetak bahkan
menyatu dalam konsumsi itu sendiri. Para ekonom menyebutnya sebagai
perasaan rela yang diterima oleh konsumen ketika mengkonsumsi suatu
barang. Rela yang dimaksud di sini adalah kemampuan seorang konsumen
untuk membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan
tingkat harga yang berbeda.
Dua konsep penting yang perlu digaris bawahi dari pengertian di atas,
yaitu pendapatan dan harga. Kedua konsep ini saling mempunyai interdepedensi
antar satu dengan yang lainnya. Mengingat kemampuan seseorang untuk membeli
suatu barang sangat tergantung pada pemasukan yang dimilikinya. Kesesuaian di
antara keduanya akan menciptakan kerelaan dan berpengaruh terhadap penciptaan
perilaku konsumsi itu sendiri. Konsumen yang rasional selalu membelanjakan
pendapatannya pada berbagai jenis barng dengan tingkat harga tertentu demi
mencapai batas kerelaan tertinggi.
Sekarang bagaimana islam memandang manfaat, apakah sama dengan
terminologi yang dikemukakkan oleh para ekonom pada umumnya ataukah
berbeda? Beberapa ayat Al-Quran mengisyaratkan bahwa manfaat dalam antonim
dari bahaya dan terwujudnya kemaslahatan. Sedangkan dalam pengertian
ekonominya, manfaat adalah nilai guna tertinggi pada sebuah barang yang
dikonsumsi oleh seorang konsumen pada suatu waktu. Bahkan lebih dari iru,
barang tersebut mmapu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Jelas bahwa manfaat adalah terminologi islam yang mencakup
kemaslahatan, faidah, dan tercegahnya bahaya. Manfaat bukan sekedar
kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh anggota tubuh semata, namun lebih
dari itu. Manfaat merupakan cermin dari terwujudnya kemaslahatan hakiki dan
nilai guna maksimal yang tidak berpotensi mendatangkan dampak megatif di
kemudian hari.
Tujuan konsumsi dalam islam adalah memenuhi kebutuhan baik itu barang
dan jasa ataupun konsumsi, dalam ekonomi islam harus menurut syariay islam.
Konsumsi dalam islam bukan berarti memenuhi keinginan atau kebutuhan dasar
saja, tetapi juga harus ditunjukan untuk akhirat melalui niat yang baik agar
bernilai ibadah.
Tujuan konsumsi seseorang dalam ajaran islam dan yang harus diikuti
dalam aktivitas ekonomi antara lain (Amir, 2007) :
a) Untuk mengharap ridha Allah SWT.
b) Untuk mewujudkan kerjasama antar anggota masyarakat dan tersedianya
jaminan sosial.
c) Untuk emnumbuhkan rasa tanggung jawab individu terhadap kemakmuran
diri, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari aktivitas dan dinamisasi
ekonomi.
d) Untuk meminimalisasi pemerasan dengan menggali sumber-sumber nafkah
bagi masyarakat.
e) Agar negara malakukan kewajibannya terhadap warga negara yang belum
berhasil dalam ekonomi (miskin).

Anda mungkin juga menyukai