Anggota Kelompok:
Muhammad Ruri Hizbullah 1199220054
Nurali Fakhrurrozi 1199220063
Rahmah Fitria Dewi 1199220067
Rifani Annisa Mawardini 1199220072
BANDUNG
2019/1441H
ANGGOTA KELOMPOK
I. Latar Belakang
Pancasila sebagai dasar negara berkembang melalui suatu proses yang cukup panjang.
Pada awalnya bersumber dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yaitu dalam
adat-istiadat, serta dalam agama-agama sebagai pandangan hidup bangsa.
Fundamental untuk menjadi warga negara yang baik itu adalah sikap moral yang
didasarkan atas landasan filsafah negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk
menjadi warga negara yang baik, kita dituntut untuk mengerti dan memahami tentang isi dan
makna yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, atau dengan kata lain
untuk menjadi warga negara yang baik dengan sikap moral dan perilaku berdasarkan falsafah
negara dan Undang-Undang Dasar kita.
Secara umum, mengajarkan atau memberikan pedoman tentang bagaimana menjadi
warga negara yang baik, misalnya dengan pergaulan masyarakat dan dalam hubungan warga
negara dengan negaranya, yaitu dengan mengajarkan bagaimana cara bertingkah laku dengan
dasar falsafah Pancasila dan dengan mematuhi peraturan yang ada dengan rasa kesadaan yang
tinggi sebagai warga negara yang baik. Begitu pun untuk menjadi warga negara yang baik
yaitu diwujudkan dengan sikap moral yang terpuji dan mematuhi semua peraturan negara
yang berlaku dalam masyarakat.
Seluruh bangsa Indonesia haruslah mempunyai perilaku politik dan sikap moral yang
sama dengan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Mungkin
hal tersebut disebabkan karena kurang mengerti dan pahamnya tentang Pancasila, belum
meratanya orang yang memahami tentang Pancasila serta dugaan bahwa belum sempurnanya
pelaksanaan Pancasila menurut hakikatnya.
Demi untuk tegaknya Pancasila, maka seharusnya semua warga negara Indonesia
bersikap moral dan berperilaku politik sesuai yang digariskan dalam Pancasila.
I. Pengertian Filsafat
I.I Pengertian Umum Pancasila
Kata filsafat berasal dari Bahasa Yunani yaitu dari kata phylos dan sophos, yang
berarti philosophia. Philos berarti cinta atau teman, sophos berarti bijaksana, berarti
philoshopia/filsafat berarti kebijaksanaan atau pengetahuan. Seseorang ahli fikir disebut
phylosof. Kata ini mula-mula dimulai oleh Herakleitos.
Pengetahuan bijaksana memberi kebenaran orang yang mencintai pengetahuan
bijkasana, karena itu yang mencarinya orang yang mencintai kebenaran. Tentang mencinta
kebenaran adalah karekteristik daripada setiap filosof dahulu sampai dengan sekarang. Di
dalam mencari kebenaran kebijaksaan itu filosof mempergunakan cara dengan berfikir
sedalam-dalamnya (merenung). Hasil filsfat (berfikir sedalam-dalamnya) disebut filsafat atau
falsafah. Filsafat sebagai hasil berfikir yang sedalam-dalamnya diharapkan merupakan suatu
yang paling bijaksana atua setidak-tidaknya mendekati kesempurnaan. Fiosof ulung
Prof.Dr.M.J Langeveld dalam buku Opwegnaar wijsgrig denken (menurut pemikiran
filsafat), berpendapat bahwa kita memasuki filsafat manakala kita memikirkan pernyataan
apapun juga secara radikal, yakni dari dasar sampai kepada konsekuensinya yang terakhir
secara sistematis, yakni dalam penutupan yang logis dalam urutan dan salin hubungan yang
bertanggung jawab apa yang terbentuk dalam keseluruhan penuturan dan uraian secara
filsafat. Dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya. Karena itulah dalam
melaksanakan pembangunan misalnya. Kita tidak dapat begitu saja menontoh atau meniru
model yang dilakukan oleh bangsa lain tanpa menyesuaikan dengan pandangan hidup dan
kebutuhan bangsa itu sendiri.
Suatu corak yang pembangunan yang barangkali baik dan memuaskan suatu bangsa
belum tentu baik pula atau memuaskan bagi bangsa yang lain, karena itu pandangan hidup
suatu bangsa yang merupakan maslah yang sangat asasi bagi kekokohan, dan kelestarian
suatu bangsa.(Salam, 1988)
Ontologi
Secara ontologi, kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk
mengetahui hakikat dasar Pancasila. Menurut Notonegoro, hakikat dasar ontology Pancasila
adalah manusia. Mengapa? Karena manusia merupakan subjek hukum pokok sila-sila
Pancasila.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa yang berketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan
yang adil dan beradab, berkesatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia pada hakikatnya adalah manusia (Kaelan, 2005)
Jadi, secara ontology, hakikat dasar keberadaan sila-sila Pancasila adalah manusia.
Untuk hal ini Notonagoro lebih lanjut mengemukakan bahwa manusia sebagai pendukung
pokok sila-sila Pancasila secara ontologi memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas
susunan kodrat, raga, dan jiwa, jasmani dan rohani, juga sebagai makhluk individu dan sosial
serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk Tuhan Maha Esa.
Oleh karena itu, secara hierarkis sila pertama, Ketuhanana Yang Maha Esa, mendasari dan
menjiwai sila-sila Pancasila lainnya. (Kaelan, 2005)
Selanjutnya, Pancsila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia memiliki
susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan serta mempunyai sifat dasar
kesatuan yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat monodualis, sebagai makhluk
individu sekaligus juga sebagai makhlik sosial, serta kedudukannya sebagai makhluk pribadi
yang berdiri sendiri, juga sekaligus sebagai makhluk Tuhan. Konsekuensinya adalah segala
aspek dalam penyelenggaraan negera diliputi oleh nilai-nilai Pancasila yang merupakan suatu
kesatuan yang utuh yang memiliki sifat dasar yang mutlak berupa sifat kodrat manusia yang
monodualis tersebut.
Kemudian, seluruh nilai Pancasila tersebut menjadi dasar rangka dan jiwa bagi bangsa
Indonesia. Hal ini berarti bahwa setiap aspek penyelenggaraan negara harus dijabarkan dan
bersumberkan pada nilai-nilai Pancasila, seperti bentuk negara, sifat negara, tujuan negara
tujuan dan kewajiban negara dan warga negara, sisitem hukum negara, moral negara, dan
segala aspek penyelenggaraan negara lainnya.
Kajian Epistemologi
Kajian epistemologi filsafat Pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari
hakikat Pancasila sebagai suatu sisitem pengetahuan. Hal ini dimungkinkan karena
epistemologi merupakan bidang filsafat yang membahas hakikat ilmu pengetahuan (ilmu
tentang ilmu). Kajian epistemology Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan dasar
ontologinya. Oleh karena itu, dasar epistemologi Pancasila sangat berkaitan erat dengan
konsep dasarnya tentang hakikat manusia.
Epistemologi Pancasila sebagai suatu objek kajian pengetahuan pada hakikatnya
meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan pengetahuan Pancasila. Sumber
pengetahuan Pancasila, sebagaimana telah dipahai bersama adalah nilai-nilai yang ada pada
bangsa Indonesia sendiri. Merujuk pada pemikiran filsafat Aristoteles, nilai-nilai tersebut
merupakan kausa materialis Pancasila.
Kajian Aksiologi
Kajian aksiologi filsafat Pancasila pada hakikatnya membahas tentang nilai praksis
atau manfaat suatu pengetahuan tentang Pancasila. Karena sila-sila Pancasila sebagai suatu
sistem filsafat memiliki kesatuan dasar aksiologi, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Selanjutnya, aksiologi Pancasila
mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila. Itulah nilai dalam
kajian filsafat dipakai untuk merujuk pada ungkapan abstrak yang juga bisa diartikan sebagai,
“keberhargaan” (worth) atau “kebaikan” (goodness), dan kata kerja yang artinya sesuatu
tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian (Frankena, 229)
Di dalam Dictionary of Sociology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai
adalah sesuatu kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan
manusia. Sifat tersebut menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi, nilai itu pada
hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek. Sesuatu itu mengandung
nilai, artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu, misalnya bunga itu indah;
perbuatan itu baik. Indah dan baik merupakan sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu
bunga dan perbuatan. Dengam demikian, nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang
tersembunyi yang di balik kenyataan-kenyataan yang lainnya. Nilai itu adanya karena ada
kenyataan-kenyataan lain sebagai pembawa nilai.
Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat tergantung pada titik
tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan pengertian nilai. Kalangan
materialis memandang bahwa hakikat nilai yang tertinggi adalah nilai material, sementara
kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Namun,
dari berbagai pandangan tentang nilai, dapat dikelompokan pada dua macam sudut pandang,
yaitu pertama, sesuatu itu bernilai karena berkaitan dengan subjek pemberi nilai, yakni
manusia. Hal ini bersifat subjektif. Sudut pandang yang kedua, yaitu pandangan yang
menyatakan pada hakikatnya sesuatu yang melekat pada ditinya sendiri memang bernilai.
Hal ini merupakan pandangan dar paham objektivisme.
Menurut Notonagoro, nilai-nilai Pancasila itu termasuk nilai kerohanian, tetapi nilai-
nilai kerohanian yang mengakui nilai material dan vital. Dengan demikian, nilai-nilai
Pancasila yang tergolong nilai kerohanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap
dan hormonisseperti nilai material, vital, kebenaran, keindahan atau estetis, kebaikan atau
moral, ataupun kesucian yang secara keseluruhan bersifat sistematik-hierarkis, dimana dila
pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa mrnjadi basis semua dila Pancasila (Darmodiharjo
1978).
Secara aksiologi, bangsa Indonesia merupakan pendukung nila-nilai Pancasila
(subriber of values Pancasila). Bangsa Indoneisa merupakan bangsa yang berketuhanan,
berkemanusiaan, bepersatuan, berekerakyatan, berkeadilan soaial. Sebagai pendukung nilai,
bangsa Indonesia itulah yang menghargai, mengakui, menerima Pancasila sebagai sesuatu
yang bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuayu yang
benilai itu akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa
Indonesia. Kalua pengakuan, penerimaan,atau penghargaan itu telah menggejala dalam sikap,
tingkah laku, dan perbuatn manusia dan bangsa Indoensia, bangsa Indonesia dalam ini
sekaligus merupakan pengembannya dalam sikap, tinglaj laku, dan perbuatna manusia
Indonesia.
VI. Kesimpulan
Filsafat Pancasila adalah hasil berfikir pemikiran yang sedalam-dalamnya dari bangsa
Indonesia yang oleh bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya, dan diyakini sebagai
sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling adil paling bijaksana,
paling baik, dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia.
Kalua dibedakan antara filsafat yang religious dan non-religius, maka filsafat
Pancasila tergolong filsafat yang religius. Ini berarti bawa filsafat Pancasila dalam hal
kebijaksanaan dan kebenaran mengenal adanya kebenaran mutlak yang berasal dari Tuhan
Yang Maha Esa (kebenaran Religius) dan sekaligus mengakui keterbatasan kemampuan
manusia, termasuk kemampuan berfikirnya.
DAFTAR PUSTAKA