5765 9443 1 SM
5765 9443 1 SM
ABSTRACT In the formulation of the spatial planning policy as the main prerequisite for the urban development
implementation, based on the governance perspective have required all the actor/agent of development to be
involved in it based on the governance principals in order to fulfil the good urban governance. This research was
conducted to described and analysed the influence of governance principals in the urban planning preparation.
The research method used in answering the research objectives was conducted through method of surveying
the actors/agent involved in the urban planning preparation which subsequently analysed quantitatively by using
a regression analysis model. The research result showed, that accountability, transparency, responsiveness and
participation principles have significant relationship on urban planning. The resulted regression model can be used
to predict urban planning, in which accountability, transparency, responsiveness and participation simultaneously
influence urban planning. The model of urban planning resulted based on the governance perspective is Y = -3.866
+ 0.580 accountability - 0.144 transparency + 1.196 responsiveness + 0.820 participation + e. It was supported
by the regression analysis result that showed, that if there were no accountability, transparency, responsiveness
and participation in the urban planning preparation, the urban planning preparation produced was –3.866. With
every addition of 1 unit of accountability will increase the weight of urban planning of 0.580. Every decrease of
1 unit transparency will decrease the weight of urban planing of - 0.144. Every addition of 1 unit of responsibility
will increase the weight of urban planning of 1.196. And every addition of 1 unit of participation will increase
the weight of urban planning of 0.820. Thus, the suggestion recommended was, governance principles must be
concidered to be the mindset of public servants in doing the public interest and public affairs, especially on spatial
planning. Moreover, a policy incentive is needed for the operationalization of governence principal to fulfil the
good urban governance.
Keywords: Urban planning, Governance; Governance principals
PENDAHULUAN lokasi yang paling effisien dan effektif untuk kegiatan-
kegitan produktif sehubungan dengan ketersediaan
Wilayah perkotaan dewasa ini telah menunjukan
sarana dan prasarana, tersedianya tenaga trampil,
perkembangan yang sangat pesat sejalan dengan
tersedianya dana sebagai modal dan sebagainya.
pembangunan di Indonesia pada umumnya. Hal ini
Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa perkotaan
tidak terlepas dari kenyataan bahwa perkotaan adalah
257
Pengaruh Prinsip Governance dalam Perencanan Tata Ruang di Kota Metro Provinsi Lampung
(Bambang Utoyo S.)
memiliki nilai strategis. Perkotaan tidak sekedar terjadi dalam proses perumusan kebijakan publik.
sebagai pemusatan penduduk serta berbagai fungsi Sehingga setiap aktivitas yang ada di dalamnya
sosial-ekonomi-politik dan administrasi, tetapi juga merupakan sebuah usaha yang dilakukan memiliki
potensial sebagai instrumen untuk mencapai tujuan- titik fokus untuk mencapai sebuah kondisi keruangan
tujuan pembangunan pada tingkat regional maupun dalam konteks problem solving, future oriented
nasional. Kawasan perkotaan akan semakin penting dan resource allocation. John Friedman (1987),
peranannya baik sebagai simpul kegiatan pelayanan memberikan definisi lebih luas mengenai planning
dan pusat kegiatan produksi dan distribusi, pusat sebagai upaya menjembatani pengetahuan ilmiah dan
industri, pusat jasa dan keuangan, serta pusat teknik (scientific and technical knowldge) kepada
pelayanan umum maupun sebagai pusat inovasi tindakan-tindakan dalam domain publik, menyangkut
dan kemajuan sosial budaya proses pengarahan sosial dan proses transformasi
Pertumbuhan dan perkembangan yang yang terjadi sosial. Dalam kerangka perencanaan dipandang
di wilayah perkotaan tersebut pada gilirannya juga sebagai sebuah alat dan metode dalam pengambilan
diikuti dengan tekanan-tekanan (urban development keputusan dan tidakan publik, maka sudah sewajarnya
pressures) yang merupakan implikasi dari tingginya dipahami akan adanya dimensi politik dalam
tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus perencanaan. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
urbanisasi (lihat: United Nation, 2000; Dardak, 2006; pelaku kebijakan dalam proses perumusan kebijakan
Marshall, 2007) sehingga menyebabkan pengelolaan publik akan sangat ditentukan oleh perspektif
ruang kota makin berat. Permasalahan tersebut yang digunakan. Dalam perspektif governance
diantaranya: beralih fungsinya lahan-lahan pertanian sebagai salah satu perspektif alternatif dalam proses
yang subur di sekitar kota-kota menjadi lahan-lahan formulasi kebijakan publik sesungguhnya merupakan
non pertanian; makin kritisnya cadangan air tanah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan
dan air permukaan; meningkatnya inefisiensi dalam sosial yang melibatkan pengaruh sector negara dan
pelayanan prasarana dan sarana perkotaan karena sector non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif.
wilayah perkotaan yang makin melebar ke segala Definisi ini mengasumsikan banyak aktor yang
arah; serta berkurangnya tingkat produktivitas terlibat dimana tidak ada yang sangat dominan yang
masyarakat perkotaan yang diakibatkan oleh makin menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama dari
besarnya tenaga dan waktu yang terbuang untuk terminologi governance membantah pemahaman
mencapai pusat-pusat kegiatan (Kartasasmita, 1997). formal tentang bekerjanya institusi-institusi negara.
Oleh karena itu untuk mengantisipasi berbagai Governance mengakui bahwa didalam masyarakat
persoalan tersebut diperlukan manajemen pembangunan terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang
perkotaan yang handal melalui instrumen kebijakan yang bekerja pada tingkat yang berbeda.
tepat. Hal tersebut, tentunya tidak akan dapat terlaksana Implementasi governance bagi terwujudnya
tanpa adanya penataan ruang sebagai salah satu bentuk tujuan-tujuan pembangunan yang termanifestasi dalam
kebijakan publik dalam pengelolaan pembangunan perencanaan tata ruang (Akil, 2001), sudah barang
perkotaan dilihat dari aspek spasial. Penataan ruang tentu menuntut diterapkannya prinsip-prinsip yang
adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, melekat dalam gagasan governance itu sendiri (lihat:
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan Bovaird dan Loffler, 2003; Enserink and Koppenjan,
ruang (UU No.26 Th 2007). Ketersediaan rencana 2007; LAN, 2000). Penerapan prinsip-prinsip
tata ruang wilayah sebagai hasil dari perencanaan tata tersebut dimaksudkan agar proses dan pencapaian
ruang adalah prasyarat utama bagi penyelenggaraan tujuan (tata kelola) dapat terselenggara secara efektif
pembangunan wilayah, mengingat rencana tata ruang dan efisien dalam mengatasi berbagai persoalan
wilayah menjadi acuan dasar didalam penyelenggaraan yang dihadapi oleh masyarakat. Sebab, sebagaimana
pembangunan setiap sektor pengisi ruang kota diketahui bahwa administrasi public sangat perhatian
tersebut. Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang terhadap terwujudnya tata kepemerintahan yang baik
menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW). dan amanah. Tata kepemerintahan yang baik (good
Disamping sebagai “guidance of future actions” RT governance) itu diwujudkan dengan lahirnya tatanan
RW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi kepemerintahan yang demokratis dan diselenggarakan
yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk secara baik, bersih, transparan dan dan berwibawa
hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, (Thoha, 2008). Selain itu, good governance juga
selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan mendorong demokratisasi dengan cara memaksa
manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan negara untuk berbagi kekuasaan dengan aktor-aktor
dan keberlanjutan pembangunan (development sus- di luar negara (Pratikno, 2005), yang ditandai oleh
tainability). beberapa karakter, seperti: transparansi, partisipasi,
Perencanaan tata ruang sebagai salah bagian dalam representasi, akuntabilitas dan penegakan hak azasi
aktivitas penataan ruang sesungguhnya merupakan manusia. Selanjutnya, menurut Minogue, Polidano
bentuk formulasi kebijakan publik yang terkait & Hulme dalam Islamy (2003), dikemukakan bahwa
dengan dengan pengelolaan ruang kota. Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik itu ditujukan
sebuah proses perencanaan, akan sangat terkait untuk mencapai lebih dari sekedar pengelolaan
sekali dengan proses penentuan pilihan-pilihan yang sumber-sumber ekonomi dan finansial yang lebih
merupakan pengejawentahan dari proses politik yang efisien; tetapi ini juga merupakan suatu strategi
258
Sosiohumaniora, Volume 16 No. 3 November 2014: 257 - 262
reformasi yang lebih luas untuk memperkuat lembaga- dari unsur pemerintah kota; masyarakat dan sektor
lembaga masyarakat sipil dan upaya menjadikan pe- bisnis. Selanjutnya data tersebut, dianalisis secara
merintahan itu lebih terbuka (transparan), responsif, kuantitatif dengan menggunakan model analisis
akuntabel dan demokratis. Demikian pula halnya regresi berganda. Adapun deskripsi responden
Suzzeta (2006), yang mengemukakan, bahwa good penelitian, dapat diketahui pada tabel berikut ini.
governance memiliki banyak prinsip atau dapat juga Tabel 1. Klasifikasi Responden Penelitian
di sebut nilai-nilai (values), empat di antaranya yang No Klasifikasi Aktor/ Agensi Jumlah Persentase
utama adalah transparasi (transparency), partisipasi 1 Pemerintah Kota Metro 46 46%
(participation), ketaatan pada aturan hukum (rule of
2 Masyarakat (Civil Society) 42 42%
law) dan akuntabilitas (accountability).
Perencanaan tata ruang cenderung masih banyak 3 Sektor Swasta (Bisnis) 12 12%
diwarnai oleh “kepentingan publik terbatas”. Oleh Jumlah 100 100%
karena itu pada tataran implementasinya seringkali Sumber: Data Penelitian
menyisakan berbagai persoalan dan dampak yang Responden yang berasal dari unsur pemerintah kota
muncul sebagai akibat dari lemahnya perencanaan berasal dari dinas/ instansi yang terkait dengan aktivitas
itu sendiri. Proses pengambilan keputusan publik perencanaan tata ruang, diantaranya adalah Bappeda,
secara demokratis berdasarkan god governance Dinas Tata Kota dan Lingkungan Hidup, Dinas Pekerjaan
merupakan suatu proses yang sangat kondusif Umum, Dinas Perhubungan, Dinas Pertanian, Dinas
terhadap konsep perencanaan (tata ruang kota) Koperasi, Industri dan Perdagangan (Koperindag), Staf
sebagai sebuah proses pembelajaran sosial, dimana Ahli Walikota, Bagian pemerintahan, perekonomian dan
peran masyarakat (termasuk di dalamnya civil society pembangunan di lingkungan Sekretariat Kota termasuk
dan privat sektor) sebagai stakeholder menjadi didalamnya adalah unsur camat dan kepala kelurahan
sangat diperhatikan dibandingkan dengan proses yaitu 2 orang camat dan 9 orang lurah. Termasuk dalam
pengambilan keputusan yang dilakukan pada pola kelompok ini adalah anggota DPRD yang mewaki
rasional semata. Oleh karenanya, menjadi sangat unsur pimpinan dan komisi yang membidangi masalah
relevan dan penting kajian terhadap penyusunan tata ruang sebanyak 5 orang. Adapun responden yang
rencana tata ruang kota dilakukan atas dasar good berasal dari unsur masyarakat terdiri atas lembaga
governance melalui penerapan prinsip-prinsip yang swadaya masyarakat (LSM), ketua LPM (Lembaga
melekat di dalamnya. Tulisan ini dimaksudkan untuk Pemberdayaan Masyarakat), pimpinan organisasi sosial
mendeskripsikan dan menganalisis pengaruh prinsip kemasyarakatan, tokoh masyarakat, pers (wartawan),
good governance terhadap perencanaan tata ruang dosen (akademisi) dan pimpinan organisasi mahasiswa.
kota dalam mewujudkan kota yang demokratis, Sedangkan responden dari sektor swasta meliputi unsur
produktif, nyaman dan berkelanjutan. pengembang (developer), KADIN, pengusaha retail,
METODE perbankan, kontraktor, perwakilan pedagang kaki
lima, organda (pengusaha transportasi) dan konsultan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini perencana.
menggunakan pendekatan kuantitatif. Data diperoleh Berdasarkan hasil penelitian diketahui, bahwa
melalui survai terhadap 100 responden yang dilakukan nilai rata-rata (mean) dan standar deviasi (standard
secara proporsional random sampling terhadap aktor deviation) masing-masing variabel penelitian dapat
yang terlibat dalam penyusunan rencana tata ruang diketahui pada tabel berikut ini.
kota, yaitu aktor pemerintah kota; civil society/
Tabel 2. Tabel Nilai Standar Deviasi dan rata-Rata
masyarakat; dan sektor swasta. Analisis data dilakukan
Descriptive Statistics
dengan menggunakan model analisis regresi linier
Mean Std. Deviation N
berganda (Algifari; 2000), dengan formulasi sebagai
berikut: Perencanaan TRK (Y1) 57.16 9.102 100
dengan variabel akuntabilitas dan transparansi. Selain Responsif (X3) 1.196 .293 .463 4.088 .000
itu berdasarkan hasil analisis juga diketahui, bahwa Partisipasi (X4) .820
a. Dependent Variable: Perencanaan TRK (Y1)
.246 .375 3.330 .001
terdapat multikolinearitas atau korelasi diantara Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, maka
variabel bebas yaitu variabel responsif dan partisipasi persamaan regresi yang dihasilkan dalam penelitian
yang tercermin dari nilai korelasi yang cukup kuat ini adalah:
diantara keduanya yaitu 0.887. Y = -3.866 + 0.580 X1 - 0.144 X2 + 1.196 X3 + 0.820 X4 + e
Tingkat signifikansi koefisien korelasi satu sisi dimana:
dari output (diukur dari probabilitas) menghasilkan Y = Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kota
angka 0.000 atau praktis 0. Oleh karena probabilitas X1 = Akuntabilitas
jauh dibawah 0.05, maka korelasi diantara variabel X2 = Transparansi
perencanan tata ruang dengan akuntabilitas, X3 = Responsif
transparansi, responsif dan partisipasi sangat nyata. X4 = Partisipasi
Angka R square yang didapatkan dari hasil perhitungan Penjelasan dari model persamaan regresi tersebut
adalah 0.762, hal ini mengandung makna bahwa dapat diterangkan sebagai berikut:
76,2% dari variasi perencanaan tata ruang kota bisa
dijelaskan oleh variabel akuntabilitas, transparansi, 1. Konstansta sebesar – 3.866 menyatakan bahwa
responsif dan partisipasi. Sedangkan sisanya, yaitu jika tidak ada akuntabilitas, transparansi,
23,8% dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain. Tabel responsif dan partisipasi dalam perencanaan tata
di bawah ini menjelaskan hal tersebut. ruang kota, maka rencana tata ruang kota yang
Tabel 3. Tabel Nilai R dan R Square dihasilkan adalah – 3.866.
Model Summaryb 2. Koefisien regresi X1 (akuntabilitas) sebesar
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
0.580 menyatakan bahwa setiap penambahan
1 unit akuntabilitas akan meningkatkan bobot
1 .873 a .762 .752 4.534
perencanaan tata ruang kota sebesar 0.580
a. Predictors: (Constant), Partisipasi (X4), Akuntabilitas (X1), Transparansi (X2), Responsif (X3)
3. Koefisien regresi X2 (transparansi) sebesar - 0.144
b. Dependent Variable: Perencanaan TRK (Y1)
menyatakan bahwa setiap pengurangan 1 unit
Standard Error of Estimate diperoleh angka transparansi akan mengurangi bobot perencanaan
4.534 atau 4.5 unit, yang apabila dikaitkan dengan tata ruang kota sebesar - 0.144
standar deviasi perencanaan tata ruang kota yang 4. Koefisien regresi X3 (responsif) sebesar 1.196
nilainya 9.102, yang jauh lebih besar dari standar menyatakan bahwa setiap penambahan 1 unit
error of estimate yang hanya 4.534. Oleh karena responsibilitas akan meningkatkan bobot
lebih kecil dari nilai standar deviasi perencanaan tata perencanaan tata ruang kota sebesar 1.196
ruang kota, maka model regresi lebih bagus dalam 5. Koefisien regresi X4 (partisipasi) sebesar 0.820
bertindak sebagai prediktor perencanaan tata ruang menyatakan bahwa setiap penambahan 1 unit
kota daripada rata-rata perencanaan tata ruang kota partisipasi akan meningkatkan bobot perencanaan
itu sendiri. Lebih lanjut dari hasil analisis diketahui, tata ruang kota sebesar 0.820
bahwa dari uji ANOVA atau F test, didapatkan F
Perencanaan tata ruang kota, sesungguhnya
hitung adalah 76.010 dengan tingkat signifikansi
merupakan manifestasi dari konsep pengembangan
0.000. Karena probabilitas (0.000) jauh lebih kecil
wilayah yang di dalamnya memuat tujuan dan
dari 0.05, maka model regresi dapat dipakai untuk
sasaran yang bersifat kewilayahan. Oleh karenanya,
memprediksi perencanaan tata ruang kota. Atau
perencanaan tata ruang merupakan bagian tidak
bisa dikatakan bahwa, akuntabilitas, transparansi,
terpisahkan dari penataan ruang yang terdiri dari
responsif dan partisipasi secara bersama-sama
3 proses utama yang saling berkaitan satu dengan
berpengaruh terhadap perencanaan tata ruang wilayah
lainnya, yakni: (1) Proses perencanaan tata ruang
kota. Secara jelas hal tersebut dapat dilihat pada tabel
wilayah; (2) Proses pemanfaatan ruang; dan (3)
berikut ini.
Proses pengendalian pemanfaatan ruang (UU No.
Tabel 4. Tabel Nilai F
260
Sosiohumaniora, Volume 16 No. 3 November 2014: 257 - 262
26/2007). Secara digramatik siklus tersebut dapat dan struktur pemanfaatan ruang kawasan perkotaan.
diketahui pada gambar berikut: Penataan ruang kawasan perkotaan tidak semata-mata
bermuatan alokasi fungsional dan fisik kawasan kota
yang kaku, akan tetapi di dalamnya harus ada upaya
untuk memberikan “jiwa dan identitas” pada kawasan
perkotaan. Hal ini penting, mengingat bahwa ruang
perkotaan tidak hanya diperuntukkan bagi kelompok
yang mapan dan mampu ataupun sektor formal,
akan tetapi juga perlu menampung usaha-usaha
informal yang diberdayakan sehingga merupakan
salah satu asset perkotaan. Oleh karena itu, dalam
menata ruang perkotaan peluang kepada golongan
Gambar 1. Siklus Penatan Ruang ekonomi lemah harus mendapat tempat utama, agar
dapat mengembangkan usahanya, meningkatkan
Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) produktivitasnya serta mengkaitkan usahanya dengan
pada hakekatnya merupakan suatu paket kebijakan golongan ekonomi yang lebih kuat.
umum pengembangan daerah sebagai bentuk Dalam perspektif governance keterlibatan aktor
intervensi kebijakan yang dilakukan agar interaksi di luar negara merupakan sebuah keniscayaan
manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dalam rangka mengatasi berbagai persoalan publik.
dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk Aktor dimaksud adalah masyarakat, yang termasuk
tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup di dalamnya adalah sektor bisnis. Terkait dengan
serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan perencanaan ruang kota, sebagaimana dikemukakan
pembangunan (development sustainability). Rencana oleh Dittmar & Ohland (2004), terdapat dua kubu
tata ruang merupakan hasil perencanaan wujud cara pandang dalam menata ruang kota, yaitu smart
struktural dan pola pemanfaatan ruang. Bagi wilayah growth dan libertarian. Dalam era demokratisasi
Kota Metro, kebijakan yang dirumuskan pada dan desentralisasi dewasa ini, paradigma libertarian
dokumen ini merupakan dasar strategi pembangunan yang menempatkan masyarakat sebagai aktor kunci
spasial, baik yang berkenaan dengan perencanaan dalam perencanaan kota memperoleh tempat yang
tata ruang yang lebih terperinci (RDTRK, RTBL), signifikan. Oleh karenanya pendekatan perencanaan
maupun rencana kegiatan sektoral seperti kawasan didorong untuk lebih mengedepankan demand
perdagangan, industri, permukiman, serta fasilitas masyarakat yang disebut sebagai community driven
umum dan sosial. Dengan demikian, melalui instrumen planning. Isu yang paling aktual untuk saat ini adalah
perencanaan tata ruang diharapkan dapat mendorong bagaimana upaya untuk mencapai kondisi di mana
pengembangan wilayah dalam rangka meningkatkan masyarakat sendirilah yang mendesain rencana yang
kualitas hidup masyarakat (city as engine of economic diinginkan dan pemerintah adalah fasilitatornya.
growth) yang berkeadilan sosial (social justice) Sungguhpun demikian, dalam implementasinya
dalam lingkungan hidup yang lestari (environmentaly artikulasi berbagai kepentingan masyarakat dalam
sound) dan berkesinambungan (sustainability sound) perumusan kebijakan tidaklah semudah yang
dalam kerangka desentralisasi di tengah menguatnya dibayangkan. Dari hasil penelitian diketahui, bahwa
arus demokratisasi dan globalisasi yang tengah keterlibatan masyarakat dalam formulasi rencana tata
melanda kehidupan masyarakat dewasa ini. ruang kota hanya terbatas pada pembahasan draft
Dalam rangka mewujudkan kinerja pemerintahan rencana yang sudah disusun oleh perencana untuk
yang baik (good government performance) dalam memperoleh persetujuan masyarakat dalam sebuah
aktivitas perencanaan tata ruang, tentunya harus forum diskusi. Apa yang hendak dikemukakan, disini
diawali dengan kebijakan yang baik (good policy), adalah bahwa ”formalitas” partisipasi seolah-oleh
dan good policy hanya dapat dicapai melalui formulasi telah dilaksanakan dalam penyusunan rencana tata
kebijakan yang balk (good policy formulation). ruang. Alasan yang dikemukakan selalu bersifat klise,
Tanpa formulasi kebijakan yang baik tidak mungkin bahwa kapasitas dan pemahaman masyarakat terhadap
kebijakan yang baik akan terwujud, dan kinerja persoalan tata ruang sangat terbatas dan terkendala
yang tinggi hanya dapat terwujud jika didukung waktu (proyek) yang tersedia dalam penyusunan
oleh sistem dan proses pelaksanaan kebijakan yang dokumen rencana tata ruang. Tidaklah berlebihan
baik. Diterapkannya prinsip governance dalam jika dikemukakan, bahwa hambatan dan tantangan
penyusunan tata ruang wilayah kota diharapkan akan terbesar dari penerapan perencanaan partisipatif
menghasilkan produk rencana tata ruang yang tidak adalah resistensi birokrasi (mental block) dan politisi,
saja bersifat akomodatif dan legitimate. Akan tetapi serta relatif masih terbatasnya kapasitas masyarakat
juga diharapkan tidak menimbulkan persoalan dalam baik teknis maupun terutama sikap/perilaku ber-
implementasinya dikemudian hari, karena keputusan demokrasi. Resistensi birokrasi terutama berkaitan
yang dihasilkan tersebut merupakan kesepakatan dengan pembagian/ pendelegasian kewenangan dan
bersama diantara para aktor dalam memanfaatkan perimbangan keuangan. Sebagian besar birokrat
ruang kota dalam kurun waktu 20 tahun mendatang. masih keberatan apabila kewenangannya diserahkan
Pemahaman itu harus dicerminkan ke dalam pola yang akan membawa konsekuensi berkurangnya
261
Pengaruh Prinsip Governance dalam Perencanan Tata Ruang di Kota Metro Provinsi Lampung
(Bambang Utoyo S.)
262