Anda di halaman 1dari 7

Kesehatan Mental di Lingkungan Kerja

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak di antara kita yang menghabiskan


waktu untuk bekerja. Bagi kita yang bekerja sebagai pegawai perkantoran, kita
menghabiskan waktu setidaknya sebanyak 8 jam dalam satu hari untuk bekerja, dan
hal tersebut kita lakukan selama 5 hari dalam satu minggu. Memang pekerjaan telah
menjadi salah satu dari top priority dalam kehidupan kita, karena memang dari
pekerjaan itulah kita mendapatkan penghasilan dan penghidupan.

Dalam dunia pekerjaan, tentunya kita akan menghadapi situasi ups and
downs. Saat berada di dalam kondisi ups, kita akan merasa bahwa pekerjaan yang
kita lakukan dapat memberikan kesejahteraan, kepuasan, kebahagiaan, bahkan dapat
membuat kita merasa mencapai aktualisasi diri. Meskipun demikian, tidak jarang
kita akan berada di dalam kondisi downs, seperti misalnya saat kita
menghadapi deadline¸ menghadapi tekanan dari atasan atau klien, atau memiliki
rekan kerja yang ‘tidak bersahabat’. Perasaan overwhelmed yang berkelanjutan
dapat membuat pekerjaan kita menjadi hal yang korosif bagi kesehatan kita, baik itu
kesehatan fisik maupun kesehatan mental.

Mengapa Kesadaran Kesehatan Mental Penting Di Lingkungan Kerja?

Menurut seorang professor psikiater klinis dari New York


University Langone School of Medicine, Charles Goldstein, menyatakan bahwa
otak manusia berhubungan erat dengan sistem endokrin yang melepaskan hormon
penting dan berpengaruh terhadap kesehatan mental. Sehingga ketika terdapat
gangguan mental berarti secara biologis, terdapat gangguan sistem kerja otak
manusia. Terganggunya cara kerja otak tersebut, berdasarkan fakta yang dipublikasi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), telah menimbulkan kerugian ekonomi yang
cukup signifikan. Diperkirakan kerugian ekonomi secara global adalah $1Triliun
dikarenakan berkurangnya produktivitas akibat permasalahan kesehatan mental.
Terganggunya kesehatan mental dapat mempengaruhi performa kerja dan
produktivitas, hubungan antar rekan kerja, kemampuan fisik, dan sehari-hari
seseorang baik di tempat kerja maupun rumahnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa,
kesehatan jiwa atau kesehatan mental adalah kondisi di mana seorang individu
dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial, sehingga individu
tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja
secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Pada
dasarnya, setiap orang memiliki kemampuan untuk mengelola kesehatan mentalnya,
sehingga, pada saat orang tersebut mengalami situasi downs –misalnya,
menghadapi stress atau krisis-, orang tersebut dapat mengelola dan menjaga agar
kesehatan mentalnya tetap berada dalam kondisi yang baik.

Sayangnya, mengelola kesehatan mental tidak semudah yang dikatakan.


Kondisi mental seseorang pun berfluktuatif dan dapat dipengaruhi oleh banyak
faktor, seperti kondisi kesehatan fisik, mood, serta orang-orang dan lingkungan
sekitarnya. Saat kita tidak mampu mengelola stress atau krisis, saat itulah kita dapat
mengalami distress, yang dapat mencetuskan terjadinya gangguan mental.

Gangguan mental didefinisikan sebagai adanya gangguan pada kesehatan


mental, berpikir, perilaku, dan emosi yang dialami oleh seseorang, dan telah
memenuhi kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV
(DSM-IV). Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa,
penderita gangguan mental dikelompokkan menjadi Orang dengan Masalah
Kejiwaan (ODMK) dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). ODMK sendiri
mengacu kepada orang yang memiliki masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan
dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami
gangguan jiwa. Sementara itu, ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan
dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan
gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan
penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsinya sebagai manusia.

Gangguan mental dapat bersifat ringan, sedang, berat, bahkan dapat juga
membahayakan hidup. Beberapa hal yang patut kita curigai sebagai tanda dan gejala
dari gangguan mental di antaranya adalah ketika kita mulai merasa lelah dan tidak
bersemangat dengan kehidupan dan aktivitas harian kita, memburuknya hubungan
kita dengan pasangan, keluarga, teman, atau orang-orang lainnya di sekitar kita,
perburukan mood atau mood yang fluktuatif selama beberapa minggu terakhir,
keinginan untuk menyendiri yang berkepanjangan, tidak memiliki keinginan untuk
merawat diri, mengalami gangguan tidur, serta adanya keinginan untuk mengakhiri
hidup.

Kemunculan gangguan mental sendiri dapat dipengaruhi oleh beberapa


faktor, di antaranya adalah adanya penyakit fisik yang kronis, genetik, trauma,
adanya pengalaman buruk dalam hidup, kondisi sosial dan ekonomi, serta
adanya stress atau krisis dalam kehidupan, termasuk di antaranya stress di
lingkungan kerja. Berdasarkan data dan studi yang ada, sebagian besar
risiko stress di lingkungan kerja disebabkan oleh beban kerja yang berlebihan,
waktu kerja yang terlalu panjang, tekanan dari klien atau adanya deadline,
pekerjaan yang tidak cocok dengan kemampuan atau latar belakang pendidikan kita,
serta relasi kita yang tidak baik dengan rekan kerja atau atasan.

PENYEBAB TERGANGGUNYA KESEHATAN MENTAL DI


LINGKUNGAN KERJA

Faktor penyebab terganggunya kesehatan mental dapat bermacam-macam


bentuknya. Salah satu penyebab internal adalah terdapat kelainan genetik atau
riwayat keluarga yang mengidap gangguan mental. Selain itu terdapat juga faktor
eksternal yang muncul dari lingkungan kerja yaitu;

 Komunikasi dan sistem manajemen yang buruk


 Tujuan organisasi dan tugas-tugas yang kurang jelas
 Rendahnya dukungan kepada dan antar pegawai
 Jam kerja yang terlalu mengikat hingga menganggu kehidupan pribadi
 Terbatasnya ruang berekspresi
 Eksklusivitas keputusan atau kesempatan berpartisipasi hanya pada
segolongan pegawai saja
 Penugasan yang tidak tepat bagi kompetensi individu pegawai
 Perisakan antar pegawai
Gangguan mental di lingkungan kerja sayangnya masih sering dianggap
sebagai sesuatu yang kurang penting, dan bukan merupakan bagian dari gangguan
kesehatan. Karyawan yang mengalami gangguan mental pun sering kali dianggap
sebagai orang yang ‘suka mencari perhatian’ atau orang yang ‘lebay’. Stigma itulah
yang menyebabkan orang enggan untuk menyampaikan bahwa dirinya mengalami
gangguan mental. Padahal, dampak dari gangguan mental itu tidak kalah besar jika
dibandingkan dengan dampak akibat gangguan kesehatan fisik, di mana, gangguan
mental pada karyawan dapat mempengaruhi performa kerjanya, kapabilitas,
produktivitas, serta relasi dari karyawan tersebut dengan para koleganya. Selain itu,
berdasarkan studi yang ada, karyawan yang mengalami gangguan mental cenderung
lebih mungkin menderita gangguan kesehatan fisik, seperti di antaranya nyeri otot,
tulang, dan sendi, gangguan pencernaan, gangguan jantung, gangguan pernafasan,
gangguan sistem imun, dan beberapa penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi.

Berdasarkan data yang ada, gangguan mental diketahui mempengaruhi sekitar


19% dari populasi dewasa, 46% dari populasi remaja, dan 13% dari populasi anak
di seluruh dunia. Meskipun proporsi tersebut cukup tinggi, hanya separuh dari
penderita gangguan mental tersebut yang menerima perawatan secara mumpuni.
Kurangnya cakupan perawatan bagi penderita gangguan mental disinyalir
diakibatkan oleh adanya stigma negatif akan gangguan mental dan penderitanya,
yang secara tidak langsung turut mengakibatkan rendahnya minat tenaga kesehatan
dan fasilitas kesehatan untuk menyediakan perawatan bagi penderita gangguan
mental.

Pada tahun 2016, Indonesia menjadi sorotan dunia ketika Human Right
Watch mempublikasikan artikel yang mengekspos realita perlakuan masyarakat
Indonesia terhadap penyandang disabilitas psikososial. Artikel tersebut
mentrigger kemunculan artikel-artikel lainnya, yang menceritakan dan
menampilkan foto-foto penderita disabilitas psikososial yang diperlakukan secara
tidak layak, misalnya, dikurung di dalam ruangan sempit, dibelenggu, atau
dipasung.

Meskipun memang akhir-akhir ini stigma tersebut telah membaik,


bahkan mental health awareness mulai ramai digaungkan, studi-studi yang ada
masih menunjukkan bahwa streotip masyarakat dan media akan gangguan
kesehatan mental dan penderitanya masih cukup negatif serta jauh berbeda dari
streotip terhadap penderita gangguan kesehatan fisik. Indonesia masih perlu lagi
menggiatkan mental health awareness, termasuk di antaranya melalui edukasi dan
sosialisasi untuk mengubah stigma serta streotip yang ada di masyarakat. Penting
untuk diingat bahwa negative labelling yang melekat pada gangguan mental dan
penderitanya hanya akan memberikan dampak lebih buruk lagi kepada mereka.
Streotip tersebut dapat menimbulkan diskriminasi serta ketakutan dan rasa malu,
sehingga penderita gangguan kesehatan mental cenderung enggan untuk
mengungkapkan gangguan yang dialaminya kepada orang-orang di sekitarnya.

Dilansir dari WHO, organisasi memiliki tanggungjawab untuk mendukung


kesehatan mental masing-masing pegawainya dengan menciptakan lingkungan kerja
yang sehat dan jauh dari faktor-faktor eksternal penyebab terganggunya kesehatan
mental. Secara individu, pegawai bisa saling memberi dukungan dengan bersikap
lebih bersimpati dan berempati ketika ada rekan kerja yang mengeluhkan atau
terlihat terganggu kesehatan mentalnya dengan tidak memberi stigma-stigma negatif
yang memperburuk keadaan mental pegawai jika tidak mampu memberi dukungan
psikologis.

Manajemen perusahaan yang baik serta awareness akan pentingnya


kesehatan mental di lingkungan kerja pada hakikatnya akan meningkatkan
kesejahteraan dan produktivitas karyawan di perusahaan tersebut. Berdasarkan data
dan studi yang ada, karyawan dengan kesehatan mental yang baik memiliki tingkat
produktivitas sebesar 12 – 15% lebih tinggi jika dibandingkan dengan karyawan
yang mengalami gangguan mental. Perusahaan yang memiliki mental health
awareness yang baik akan membuat para karyawannya merasa lebih aman dan
nyaman saat bekerja. Mereka cenderung untuk lebih berani berpendapat, berpikir
dan berasional lebih baik, memiliki fokus kerja yang lebih baik, serta lebih berani
untuk mengambil keputusan.

Perusahaan memiliki tanggung jawab untuk mendukung seluruh


karyawannya, termasuk mereka yang mengalami gangguan mental. Beberapa
bentuk dukungan yang dapat diberikan oleh perusahaan terhadap karyawannya yang
mengalami gangguan mental di antaranya adalah memberikan cuti untuk
memulihkan kesehatan mentalnya, membantu mencarikan bantuan profesional atau
fasilitas perawatan yang diperlukan, menawarkan working arrangement yang
fleksibel, menawarkan untuk memediasi apabila karyawan memiliki konflik di
lingkungan kerja, serta membantu memfasilitasi komunikasi karyawan dengan
atasan atau koleganya. Perusahaan perlu memastikan bahwa karyawannya tersebut
merasa mendapatkan dukungan, bantuan, dan tidak mendapatkan diskriminasi dari
perusahaan, atasan, serta para koleganya. Berdasarkan data dan studi yang ada,
karyawan yang mendapatkan dukungan tersebut cenderung memiliki pemulihan
yang lebih cepat dan baik, serta dapat kembali bekerja dengan produktif kembali.

Tidak hanya bersifat kuratif dan rehabilitatif, perusahaan juga perlu


menerapkan tindakan promotif dan preventif untuk memelihara kesehatan mental
para karyawannya. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah mengadakan edukasi
dan sosialisasi terkait mental health awareness kepada para karyawan, sehingga
karyawan dapat mengenali tanda dan gejala apabila dirinya mengalami gangguan
mental, serta karyawan tidak perlu merasa khawatir akan potensi diskriminasi dari
lingkungan kerjanya apabila dirinya menyatakan mengalami gangguan mental. Pada
akhirnya, karyawan yang bekerja pada perusahaan tersebut akan merasa bahwa
perusahaan tempatnya bekerja memiliki genuine care kepada kesehatan karyawan
secara holistik. Para karyawan pun akan lebih produktif dan all-out dalam
melaksanakan pekerjaannya.

Intervensi kesehatan mental,baik itu dalam bentuk promotif, preventif,


kuratif, atau rehabilitatif- harus diberikan sebagai bagian dari strategi kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat yang berkesinambungan. Akan sangat baik apabila
perusahaan turut mendukung dan berpartisipasi dalam penyediaan intervensi ini,
karena, kunci keberhasilan dari program kesehatan masyarakat adalah adanya
keterlibatan dari seluruh lapisan masyarakat.

Yang Harus Di Lakukan Untuk Menjaga Kesehatan Mental


Tanggung jawab terbesar dalam menjaga kesehatan mental individu berada
pada diri masing-masing pegawai. Dilansir dari WHO berikut ini adalah cara untuk
bertanggungjawab atas kesehatan mental masing-masing orang :

1. Membiasakan pola hidup yang sehat


Seperti berolahraga teratur, pola makan yang seimbang, dan tidur yang
berkecukupan. Riset membuktikan bahwa terdapat korelasi yang erat antara
kesehatan fisik dan mental. Olahraga mampu mendorong tubuh menghasilkan
hormon-hormon yang baik bagi tubuh sehingga menghasilkan emosi positif.

2. Meningkatkan Coping Skill Individu


Dikutip dari Medical Dictionary, coping skill adalah suatu pola karakter atau
perilaku yang dapat meningkatkan kemampuan adaptasi seseorang. Coping
skill juga dapat dipandang sebagai suatu kemampuan menghadapi stres untuk
mendorong diri agar tetap terus maju mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

3. Meminta Pertolongan
Berusaha sendiri memang baik tapi ketika sudah merasa tidak mampu
menghadapi suatu hal seorang diri, penting untuk meminta pertolongan pada
orang lain. The ugly truth is tidak semua hal yang sanggup dilakukan orang
lain bisa juga dilakukan dirimu sendiri.

4. Melatih Diri Untuk Berpikiran Terbuka


Tuhan menciptakan manusia dengan karakter yang unik dan berbeda-beda
maka penting bagi masing-masing individu berusaha menerima keunikan dan
perbedaan tersebut tanpa memberi stigma.

Anda mungkin juga menyukai