Khutbah Ibnu (Prespektif Islam Dalam Menyikapi Hari Ibu)
Khutbah Ibnu (Prespektif Islam Dalam Menyikapi Hari Ibu)
Peringatan Hari Ibu atau dalam bahasa latin disebut dengan Mother’s
Day adalah hari peringatan terhadap peran dan jasa seorang ibu dalam
keluarganya, baik untuk suami, anak, maupun lingkungan sosialnya.
Berbeda dengan negara-negara lain yang merayakan Hari Ibu pada hari
Minggu di pekan kedua bulan Mei atau tanggal 8 Maret, di Indonesia hari ibu
dirayakan pada tanggal 22 Desember. Tanggal ini dipilih dengan merujuk pada
hari pembukaan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama, yang
diselenggarakan pada 22 sampai 25 Desember 1928. Pagelaran kongres yang
diselenggarakan di Yogyakarta tersebut dihadiri sekitar 30 organisasi wanita
dari berbagai kota di Jawa dan Sumatera. Kongres ditujukan untuk
meningkatkan hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pernikahan.
Peringatan Hari Ibu di seluruh dunia bukan hanya sebatas perayaan kasih
sayang seorang ibu, namun juga menunjukkan adanya kesadaran bersama
untuk mengakui sekaligus menghargai jasa-jasa ibu. Sebab, jauh sebelum
dunia menetapkan perlunya peringatan Hari Ibu, Rasulullah SAW telah
meletakkan dasar-dasar teologis bahwa seorang ibu diakui sangat mulia
sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatakan dari Anas
bin Malik RA:
َو َقَض ى َر ُّب َك َأاَّل َتْعُب ُد وا ِإاَّل ِإَّي اُه َو ِباْلَو اِل َد ْيِن ِإْح َس اًنا ِإَّم ا َيْبُلَغَّن ِع ْن َدَك اْلِكَب َر
َأَح ُدُهَم ا َأْو ِكاَل ُهَم ا َفاَل َتُقْل َلُهَم ا ُأٍّف َو اَل َتْنَهْر ُهَم ا َو ُقْل َلُهَم ا َقْو اًل َك ِريًم ا
Peringatan hari ibu juga merupakan salah satu bentuk bersyukur kepada
orang tua, terutama kepada ibu, meskipun sejatinya peringatan hari ibu harus
dirayakan setiap harinya. Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kita
untuk bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala dan kepada kedua orang
tua:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-
bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu” (QS Luqman: 14).
Di samping itu, peringatan hari ibu dengan memberinya hadiah, atau sekadar
mengucapkan terima kasih atas pengabdiannya, masuk dalam kategori adat
atau tradisi, bukan ibadah. Karenanya, hal itu tidak termasuk bid’ah, sebab
bid’ah itu hanya dalam urusan ibadah (agama) semata.
،َفاْلِبْد َع ُة ِإَذ ْن ِع َباَر ٌة َع ْن َطِرْيَقٍة ِفي الِّدْيِن ُم ْخ َتَر َع ٍة ُتَض اِهي الَّش ْر ِع َّيَة
ُيْقَص ُد ِبالُّس ُلْو ِك َع َلْيَها اْلُم َباَلَغ ُة ِفي الَّتَع ُّبِد ِهلل ُسْبَح اَنُه
“Bid’ah merupakan ungkapan tentang cara baru dalam agama yang dibuat
menyerupai syari’at, dengan mengikuti cara itu dimaksudkan untuk lebih
bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala”
(Ibrahim bin Musa Asy-Syathibi, Al-I’tisham, juz I, h. 26).
Kedua, sebagian ulama yang lain, seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh
Shalih al-Fauzan, Syekh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, dan Lembaga
Fatwa Arab Saudi (Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Fatwa) menyatakan bahwa
peringatan hari ibu diharamkan. Mereka berpedoman pada hadits riwayat
Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda:
َم ْن َأْح َد َث ِفْي َأْم ِرَنا هَذ ا َم ا َلْيَس ِم ْنُه َفُهَو َر ٌّد.
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan
agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR Bukhari
dan Muslim).
Mereka juga berpedoman pada hadits riwayat Aisyah radhiyallahu anha yang
lain, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Peringatan hari ibu tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi
wasallam, para sahabat radhiyallahu anhum, dan kaum muslimin terdahulu
(salaful ummat), maka termasuk bid’ah yang dilarang dalam agama Islam
berdasarkan kedua hadist di atas.
Semoga keragaman pendapat para ulama tentang hukum peringatan hari ibu
di atas dapat kita sikapi dengan dewasa, dan dapat membuat kita semakin
toleran dalam menyikapi setiap perbedaan.
“Suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW. Orang itu
bertanya kepada Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak
kami sikapi dengan baik. Nabi menjawab, ibumu. Orang itu bertanya lagi,
siapa lagi setelah itu. Nabi menjawab, ibumu. Orang itu bertanya lagi, siapa
lagi setelah itu. Nabi menjawab, ibumu. Orang itu bertanya lagi. Nabi
kemudian menjawab, kemudian ayahmu."
Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa perbandingan bakti kita kepada
ibu dan ayah adalah 3 berbanding 1 atau 75 persen dan 25 persen.
َو َو َّص ْيَنا اِإْل ْنَس اَن ِبَو اِلَدْي ِه َح َم َلْت ُه ُأُّم ُه َو ْه ًن ا َع َلٰى َو ْه ٍن َو ِفَص اُلُه ِفي َع اَم ْيِن َأِن
اْش ُك ْر ِلي َو ِلَو اِلَدْيَك ِإَلَّي اْلَم ِص يُر
“Dan kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada ibu-bapa;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan susah payah dan menyapihnya
dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada ibu-bapakmu.
Hanya kepada-Ku lah kembalimu.”
Dari ayat di atas, dapat kita ketahui bahwa dalam kaitannya dengan proses
kejadian dan kelahiran manusia ke bumi ini, terdapat 4 fase penting.
Fase pertama adalah fase yang melibatkan partisipasi dari ayah dan ibu
dimana peran ayah sangat menentukan.
Dalam fase ini, sel telur sang ibu tidak mungkin terbuahi tanpa pertemuannya
dengan seperrma sang ayah.
Dengan kata lain tugas alamiah seorang laki-laki atau ayah adalah membuahi
sel telur perempuan atau ibu sehingga terjadi kehamilan yang bentuk awalnya
berupa gumpalan darah yang dalam Al Qur’an, Surat ke 96, ayat 2 disebut
sebagai ‘alaq sebagaimana ayat berikut:
Hanya pada fase awal inilah seorang laki-laki memainkan peran alamiah satu-
satunya yang tidak mungkin digantikan oleh perempuan karena sel telur
hanya bisa dibuahi oleh sperma.
Maka bisa dimengerti bakti seorang anak kepada ayah dibadingkan dengan
ibu adalah 1 : 3 karena dalam 3 proses berikutnya seorang ayah sudah tidak
terlibat lagi.
Masing-masing dari ketiga proses ini sepenuhnya dilakukan oleh ibu dengan
susah payah dan penuh risiko. Hal ini berbeda sama sekali dengan proses
awal atau fase pertama yang penuh dengan kenikmatan tanpa risiko berarti.
Selama 9 bulan ini, tidak ada partisipasi ayah sama sekali karena organ laki-
laki memang tidak dirancang untuk bisa mengandung seorang bayi.
Hingga kini pun tidak ada teknologi yang bisa membuat laki-laki berpartisipasi
atau mengambil alih tugas mengandung.
Bayi tabung pun juga tidak bisa dikembangkan dalam organ laki-laki karena
faktanya laki-laki memang tidak memiliki rahim.
Dalam fase mengandung ini, seorang ibu mengalami kesusahan demi
kesusahan yang didalam Al Qur’an digambarkan sebagai وهنا على وهن, yakni
keadaan susah payah dan lemah yang dari hari ke hari bukannya makin
ringan tetapi makin berat.
Dalam tugas ini, sang ayah juga tidak bisa berbuat banyak untuk
meringankan beban sang ibu.
Berbagai resiko, baik fisik maupun non-fisik pun, juga sering dihadapi para
ibu yang sedang menyusui.
وفصاله في عامين
“Dan menyapihnya dalam usia dua tahun.”
Masa dua tahun menyusui dengan ASI adalah ideal terutama bagi ibu-ibu
yang memang memiliki kesempatan untuk itu.
Tetapi bagi mereka yang memiliki masalah tertentu, maka setidaknya selama 6
bulan pertama dapat mengusahakannya sebab selama itu ASI bersifat
eksklusif.
Ini merupakan standar internasional yang didasarkan pada bukti ilmiah
tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup bayi, pertumbuhan, dan
perkembangannya.
ASI memberi semua energi dan gizi yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan
pertama hidupnya.
ِإَّنُه ُهَو اْلَغُفْو ُر الَّرِح ْيُم، َفاْس َتْغ ِفُر ْو ُه، َأُقْو ُل َقْو ِلْي ٰه َذ ا َو َأْس َتْغ ِفُر َهللا ِلْي َو َلُك ْم