Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ILMU KALAM

Pendapat Para Ulama Salf Dan Khalaf Dalam Menjwab Persoalan


Yang Muncul Akidah islam

Disusun Oleh Kelompok :

1. …

2. ….

Dosen Pembimbing:

Mirtha Antoni, M.Pd.

PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) BATURAJA

Jln. Bindung Langit Lawang Kulon. No. 0799, Telp. (0735) 323689

2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT atas ridho dan rahmat nya,
penulis dapat menyelesaikan makalah yg berjudul “Pendapat Para Ulama Salf Dan
Khalaf Dalam Menjwab Persoalan Yang Muncul Akidah islam “

Makalah ini merupakan tugas mata kuliah Study islam yang di bimbing oleh bapak
Aris eko cahyo. M.pd.I dalam penulisan makalah ,penulis merasa masi banyak
kekurangan , baik padapenulisan maupun isi materi mengingat akan pengetahuan dan
kemampuan yang di miliki oleh penulis. Untuk itu keritik dan saran dari semua pihak
sangat di harapkan untuk menyempurnakan makalah yang penulis buat.

Dalam penulisan makalah ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak
yang telah membantu. Semoga dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan
khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang di harapkan dapat tercapai. Amin

Baturaja , September 2023

Penulis

DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................................iii

PENDAHULUAN...........................................................................................................................1

A. Latar Belakang.....................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................................................1

PEMBAHASAN..............................................................................................................................2

A. Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.............................................................................2

1. Salaf......................................................................................................................................2

2. Khalaf...................................................................................................................................3

B. Perbandingan Antara Salaf Dan Khalaf...............................................................................3

1. Salaf (Ibn Hambal Dan Ibn Taimiyah)..............................................................................3

2. Khalaf: Ahlussunah (Al- Asy’ary Dan Al-Maturidi)........................................................8

PENUTUP.....................................................................................................................................11

A. Kesimpulan...........................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang bersifat universal, karena setiap ajarannya mencakup ke
seluruh aspek kehidupan manusia. Semua ajaran Islam terkodifikasi di dalam kitab suci
Alquran, akan tetapi Alquran memerlukan penjelasan karena Alquran bersifat global. Oleh
karenanya interpretasi (penafsiran) Alquran mengalami perbedaan oleh umat Islam karena
versi penafsiran sesuai dengan situasi dan kondisi umat Islam yang berbeda-beda.
Perbedaan penafsiran tersebut juga yang membuat pola pikir aliran kalam berbeda,
secara umum kerangka pikir para mutakalimin ada dua, yaitu tradisional dan rasional.
Mutakalimin yang berpola pikir tradisional adalah terikat pada dogma dan ayat yang
mengandung arti zhanni (teks yang mengandung arti lain selain arti secara harfiah).
Sedangkan mutakalimin yang berpola pikir rasional berpikir sebaliknya, mereka terikat
pada dogma yang jelas dan tidak menginterpretasi ayat yang zhanni, dan mereka lebih
mengutamakan akal.
Dari sekian beragam jenis mutakalimin, terdapat aliran Ahl al-Sunnah wa al-
Jama’ah (kaum yang berpegang kepada sunnah dan kaum mayoritas) , dan di dalamnya
terdapat dua versi yang berbeda dalam mempertahankan ranah ideologi (aqidah), mereka
dikenal dengan istilah khalaf dan salaf.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Salaf dan Khalaf)?
2. Bagaimana perbedaan antara Salaf dan Khalaf?
3. Apa nilai dari aliran Salaf dan Khalaf?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah


Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah mereka yang mengikuti jalan yang ditempuh
oleh nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, yaitu mereka yang selalu berpegang
teguh kepada nabi Muhammad SAW adalah para sahabat, tabi’in, dan para pelopor
kebenaran yang mengikuti jalannya, disebut seperti itu karena mereka menisbatkan dirinya
kepada Sunnah nabi dan kesepakatan mereka untuk merujuk kepadanya lahir dan batin,
[4]
dalam hal ini ada dua versi yaitu:
1. Salaf
Banyak definisi yang diberikan oleh para pakar mengenai salaf, seperti menurut
Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu, karena salaf terkadang
dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat pada abad ke-4 yang terdiri
atas muhaditsin dan yang lainnya, sedangkan menurut al-Syahrastani, definisi salaf adalah
tidak berpaham tasybih (anthropomorphisme) serta tidak menggunakan ta’wil dalam
menafsirkan ayat mutasyabihat, sedangkan Mahmud al-Bisybisyi mendefinisikan dengan
sahabat dan tabi’in yang diketahui sikap mereka yang menolak interpretasi mendalam
mengenai sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru dengan tujuan untuk
mensucikan serta mengagungkan-Nya.
Konsep aqidah salaf atau disebut dengan kaum tradisional, sesuai dengan metode
Alquran yang relevan dengan semua pihak, serta tidak hanya untuk golongan tertentu, dan
para penganut paham salaf tidak mau membahas hal yang terkandung pada ayat Alquran
yang tidak jelas maksudnya.[6] Hasan al-Banna kemudian menguatkan sikap tentang hal
yang disebut ayat dan Hadis tentang sifat Tuhan, hal tersebut merupakan hal yang
dipermasalahkan oleh kaum salaf dan kaum khalaf, kemudian Hasan al-Banna menguatkan
pendapat kaum salaf bahwa mengimani ayat atau Hadis yang membahas tentang sifat
Tuhan tidak harus diinterpretasi atau dijelaskan, karena hal tersebut tidak diperlukan untuk
mengimani Tuhan.
Konsepsi aqidah salaf menetapkan semua sifat Allah menurut Alquran dan Hadis,
termasuk nama-nama Allah sesuai dengan yang disifatkan oleh Allah dan rasul-Nya tanpa

2
ada ta’wil atau interpretasi serta ta’thil atau menganggap tidak ada makna dari sebagian
atau semua sifat Allah, serta tidak ada tasybih atau penyerupaan dengan makhluk.

2. Khalaf
Kata khalaf umumnya digunakan untuk merujuk kepada para ulama pada abad III
Hijriah dengan karakteristik yang berlawanan dengan kaum salaf, di antaranya adalah
tentang interpretasi terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada
pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian Tuhan. Aliran khalaf terdiri dari
dua versi, yaitu sebagai berikut:
a. Aliran yang lebih mengutamakan akal, karena menurut aliran ini tanpa wahyu pun
manusia mampu mengenal Tuhan, serta mampu menetapkan hukum dengan
bantuan akal, paham ini identik dipegang oleh aliran Mu’tazilah.
b. Aliran yang menempatkan akal sebagai mitra dari wahyu, menurut mereka akal dan
wahyu saling mendukung kecuali dalam beberapa hal tertentu, karena dalam hal
tertentu akal tidak cukup untuk memahami wahyu karena keterbatasannya, paham
ini identik dipegang oleh Asy’ariyah.
Dalam istilah tauhid, aliran Asy’ariyah dianggap sebagai golongan moderat dari
aliran salaf dan Mu’tazilah, dan karena hal ini aliran Asy’ariyah mempunyai banyak
pengikut, disebabkan karena banyaknya pengikut, maka aliran Asy’ariyah mayoritas
disebut dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Tasy Kubra Zadah menerangkan bahwa Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah muncul karena keberanian dari Abu Hasan al-Asy’ari pada
tahun 300 Hijriah. Menurut Harun Nasution, yang disebut dengan aliran Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah.

B. Perbandingan Antara Salaf Dan Khalaf

1. Salaf (Ibn Hambal Dan Ibn Taimiyah)


Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang
dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat, tabi’, tabi tabi’in, para pemuka abad ke-3
H., dan para pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri dari atas para muhadditsin dan
lainnya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga abad pertama islam.
Sedangkan menurut As-Syahrastani, ulama salaf adalah yang tidak menggunakan ta’wil
(dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih

3
(anthropomorphisme). Sedangkan Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyyah
mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’in, tabi’in yang dapat diketahui dari sikapnya
menampak penafsiran yang mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala
sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya. Ibn Taimiyyah adalah
seorang ulama besar penganut Imam Hambali yang ketat.
Karakteristik ulama salaf atau salafiyah menurut Ibrahim Madzkur adalah sebagai
berikut:
1. Mereka lebih mendahulukan riwayat (naql) daripada dirayah (aql).
2. Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-persoalan
cabang agama (furu’ ad-din), mereka hanya bertolak dari penjelasan dari Al-Kitab
dan As-Sunah.
3. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang Dzat-Nya) dan
tidak pula mempunyai faham anthropomorphisme.
4. Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lainnya, dan tidak
berupaya untuk menakwilkannya.
Adapula tokoh-tokoh yang dikategorikan oleh Ibrahim Madzkur yaitu:
1. Abdullah bin Abbas (68 H)
2. Abdullah bin Umar (74 H)
3. Umar bin Abd Al-Aziz (101 H)
4. Az-Zuhri (124 H)
5. Ja’far Ash-Shadiq (148 H)
6. Para imam mazhab yang empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Ahmad bin
Hanbal)
Menurut Harun Nasution, secara kronologis salafiyah bermula dari Imam Ahmad
bin Hanbal. Lalu ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiyah, kemudian disuburkan oleh
Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya berkembang di dunia islam secara
sporadis. Di Indonesaia sendiri, gerakan ini berkembang lebih banyak dilaksanakan oleh
gerakan-gerakan Persatuan Islam (Persis), atau Muhammadiyah. Gerakan-gerakan lainnya,
pada dasarnya juga dianggap sebagai gerakan ulama salaf, tetapi teologinya sudah
dipengaruhui oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama
yang menyatakan diri mereka sebagai ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan
pemikiran dalam membicarakan masalah teologi (ketuhanan).

4
Dibawah ini adalah ulama salaf dan pemikirannya yang berkaitan dengan
persoalan-persoalan kalam sebagai berikut:
a) Imam Ahmad Bin Hambali
· Riwayat Singkat Hidup tentang Ibn Hanbal
Ia dilahirkan di Baghdad tahun 164 H/780M, dan meninggal 241 H/855M. Ia
sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia
dikenal dengan nama Imam Hanbali karena merupakan pendiri mazhab Hanbali.
Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah bin
Hindur Asy-Syaibani, bangsawan dari Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin
Hanbal bin Hilal bin Anas bin Idris bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin
bin Syaiban, bin Dahal bin Akabah bin Sya’bah bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi Al-
Hadis bin Nizar. Di dalam keluarga nizar, Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek
moyangnya Nabi Muhammad SAW.
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang zahid. Hampir setiap hari ia berpuasa dan
hanya tidur sebentar ketika malam hari.
Diantara murid-murid Ibn Hanbal adalah Ibn taimiyah, Hasan bin Musa, Al-
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zuhrah Ad-Damsyiqi, Abu Zuhrah Ar-Razi, Ibn Abi
Ad-dunia, Abu Bakar As-Asram, Hanbal bin Ishaq Asy-Syaibani, Shaleh, dan Abdullah.
Kedua orang yang disebutkan adalah putra Ibn Hanbal.

· Pemikiran Teori Ibn Hanbal


1. Tentang ayat-ayat mutasyabihat
Dalam memahami ayat-ayat al-qur’an, Ibn Hanbal lebih suka menerapkan
pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil, terutama yang berkaitan dengan
sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat.

2. Tentang status Al-Qur’an


Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn hanbal, yang kemudian
membuatnya dipenjara beberapa kali adalah tentang status al-qur’an, apakah
diciptakan (makhluk) yang karena hadis (baru) ataukah tidak diciptakan yang
karenanya qadim? Faham yang diakui oleh pemerintah, yakni Dinasti Abbasiyah di bawah
kepemimpinan khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq dalah
faham Mu’tazilah, yakni al-quran tidak bersifat qadim tetapi baru dan diciptakan. Faham

5
adanya qadim di samping Tuhan, berarti menduakan Tuhan, sedangkan menduakan Tuhan
adalah syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
Ibn Hanbal tidak sependapat dengan faham tersebut diatas. Oleh karena itu, ia
kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah. Pandangannya tentang status
al-qur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak:

Ishaq : Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an?


Ibn Hanbal : Sabda Tuhan
Ishaq : Apakah ia diciptakan?
Ibn Hanbal : Sabda Tuhan. Saya tidak mengatakan lebih dari itu.
Ishaq Apa arti ayat: Maha Mendengar (Sam’i) dan Maha Melihat (Basir)? (Ishaq ingin
menguji Ibn Hanbal tentang faham anthropomorphisme.)
Ibn Hanbal : Tuhan menyifatkan diri-Nya (dengan kata-kata itu).
Ishaq : Apa artinya?
Ibn Hanbal : Tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana Ia sifatkan pada diri-Nya.
Ibn Hanbal, berdasarkan dialog diatas, tidak mau membahas lebih lanjut tentang
status al-qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa al-qur’an tidak dociptakan. Hal ini sejalan
pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada
Allah dan Rosul-Nya.
b. Ibn Taimiyah
Riwayat Singkat Hidup tentang Ibn Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin
Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Robiul Awwal tahun 661 H dan
meninggal di penjara pada malam Senin tanggal 20 Dzul Qaidah tahun 729 H.
Kewafatannya telah menggetarkan dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir,
serta kaum muslimin pada umumnya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul
Halim bin Abdussalam Ibn Abdullah bin Taimiyah, seorang Syekh, Khatib dan Hakim di
kotanya.
Masa hidup Ibn Taimiyah berbarengan dengan kondisi dunia islam yang sedang
mengalami disintegrasi, dislokasi sosial, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya
terjadi lima tahun setelah baghdad dihancurkan pasuka Mongol, Hulagu Khan. Oleh sebab
itu, dalam upayanya mempersatukan umat islam, mengalami banyak tantangan, bahkan ia
harus wafat di dalam penjara.

6
Pemikiran teologi Ibn Taimiyah
Pemikiran-pemikiran Ibn Taimiyah, seperti dikatakan Ibrahim Madkur adalah
sebagai berikut:
a. Sangat berpegang teguh pada nas (teks al-qur’an dan al-hadis)
b. Tidak memberi ruang gerak yang bebas kepada akal.
c. Berpendapat bahwa al-qur’an mengandung semua ilmu agama.
d. Di dalam islam yang diteladeni hanya 3 generasi saja (sahabat, tabi’in, dan
tabi’ tabi’in)
e. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap
mentanzihkan-Nya.

Ibn Taimiyah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa


kalaulah kalamullah itu qadim, kalam pasti qadim pula.
Pandangan ibn taimiyah tentang sifat-sifat allah sebagai berikut:
a. Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau rasul-Nya
menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:
1. Sifat salbiyah
2. Sifat ma’ani
3. Sifat khabariyah
4. Sifat dhafiah
b. Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah atau rasul-Nya sebutkan.
Seperti;
Al-awal, al-akhir, azh-zhahir, al-bathin, al-alim, al-qadir, al-qayyum, as-sami, dan al-
basir.
c. Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
1. Tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafadz (min ghair
tahrif)
2. Tidak menghilangkan pengertian lafadz (min ghair ta’thil)
3. Tidak mengingkarinya (min ghair ilhad)
4. Tidak menggambar-gambarkan bentuk tuhan, baik dalam pikiran atau hati, apalagi
dengan indera (min ghair takyi at-takyif)

7
5. Tidak merupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluk-
Nya (min ghair tamsil rabb al-alamin). Hal ini disebabkan bahwa tiada sesuatu pun yang
dapat menyamai-nya, bahkan yang menyerupai-Nya pun tidak ada.
Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat
mutasyabihat. Menurutnya, ayat dan hadis yang menyangkut sifat-sifat Allah harus
diterima dan diartikan dan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan,
tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentangnya.
Ibn Taimiyah mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan ikhtiar manusia, yaitu:
1. Allah pencipta segala sesuatu
2. Hamba pelaku perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta
kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertnggung jawab atas perbuatannya.
3. Allah meridhoi perbuatan baik dan tidak menridhoi perbuatan buruk.
Dikatakn oleh Watt bahwa pemikiran ibn taimiyah mencapai klimaks dalam sosiologi
politik yang mempunyai dasar teologi. Masalah pokoknya terketak pada upayanya
membedakan manusia dengan Tuhannya yang mutlak. Oleh sebab itu, masalah Tuhan
katanya tidak dapat diperoleh dengan metode rasional, baik dengan metode filsafat
maupun teologi.

2. Khalaf: Ahlussunah (Al- Asy’ary Dan Al-Maturidi)

Kata khalaf bisa digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad III H dengan
karakteristik yang bertolak belakang dengan apa yang dimiliki salaf, diantaranya tentang
penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang
sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.
Adapun ungkapan Ahlisunnah (sering juga disebut dengan Sunni) dapat dibedakan
menjadi dua pengertian, yaitu secara umum dan secara khusus. sunni dalam pengertian
secara umum adalah lawan kelompok Syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah –sebagai
juga Asy’ariyah- masuk dalam barisan sunni. Sunni dalam pengertian secara
khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan
lawan Mu’tazilah.
Ahlussunah banyak dipakai setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah,
dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Harun nasution menjelaskan bahwa

8
aliran Ahlussunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al- Hasan Al- Asy’ari sekitar
tahun 300 H.

a. Al-Asy’ary
Riwayat Singkat Hidup tentang Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin
Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-
Asy’ari. Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260 H/875 M.
Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota baghdad dan wafat disana pada tahun
324 H/935 M.
Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang faham ahlisunnah dan ahli
hadis. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum beliau wafat, beliau berpesan
kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik
anaknya sampai dia faham dan berguna bagi penduduk sekitarnya.
Doktrin-doktrin Teologi Al-Asya’ari
o Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya
o Kebebasan dalam Berkehendak (free will)
o Akal dan Wahyu dan Kreteria Baik dan Buruk
o Qadimnya Al-Qur’an
o Melihat Allah
o Keadilan Kedudukan Orang Berdosa
b. Al-Maturidi
· Riwayat Singkat Hidup tentang Al-Maturidi
Abu manshur al-maturidi dilahirkan di maturid, sebuah kota kecil di daerah samarkand,
wilayah trmsoxiana di asia tengah, daerah yang sekarang disebut uzbekistan. Tahun
kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperrkirakan sekitar pertengahan abad ke-
3 H. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M.
Karir pendidikan Al-mat#uridi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi
daripada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-
faham teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat Islam, yang tidak
dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-

9
pemikirannya banyak dituangkan dalam dalam bentuk karya tulis. Diantaranya
adalah Kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur’an, Ushul Fi Ushul Ad-Din dan lain sebagainya.

Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi


o Akal dan Wahyu
o Perbuatan Manusia
o Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
o Sifat Tuhan
o Melihat Tuhan
o Kalam Tuhan
o Perbuatan Manusia
o Pengutusan Rasul
o Pelaku Dosa Besar (Murtakib Al-Kabir)

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan di dalam makalah ini, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi salaf adalah mempertahankan aqidah
secara murni, sedangkan versi khalaf menempatkan akal dan wahyu sebagai mitra,
karena akal dipergunakan untuk menjelaskan wahyu meski dalam hal tertentu akal
tidak dapat secara menyeluruh menjelaskan wahyu, akan tetapi tidak semua wahyu
tidak bisa dijelaskan.

2. Pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi salaf adalah mempertahankan aqidah


secara murni dan tidak mau menginterpretasikan ayat-ayat Alquran atau Hadis
yang mutasyabihat, sedangkan versi khalaf membolehkan untuk menafsirkan ayat
atau Hadis tersebut.

3. Nilai yang dapat diambil adalah tidak dapat juga untuk menilai sesuatu
sebagai bid’ah, dan memang seharusnya untuk mempertahankan aqidah secara
murni, sehingga dapatdisimpulkan pada hakikatnya antara
aliran khalaf dan salaf adalah perbedaan ijtihad, bukan permasalahan aqidah seperti
permasalahan teologi pada umumnya, perbedaan ijtihad merupakan sesuatu yang
wajar seperti perbedaan pemahaman dalam permasalahan hukum Islam.

11
DAFTAR PUSTAKA

· Anwar, Rosihon, dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Cet. 2, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
· Dahlan, Abdul Aziz, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam bagian I:
Pemikiran Teologis, Jakarta: Beunebi Cipta, 1987.
· Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cetakan
II, Jakarta: UI Press, 1978.
· Qaradhawi, Yusuf, Akidah Salaf dan Khalaf, pent. Arif Munandar Riswanto, dari judul
asli, Fusûl fî al-‘Aqîdah Bain al-Salaf wa al-Khalaf, Jakarta: Pustaka al-Kautsar,2006.
· Qathani, Said, dan Nashir bin Abdul Kadir al-Aql, Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
dan Kewajiban Mengikutinya, pent. Farid Bathothi dan Imam Mudzakir, Surabaya:
Pustaka As-Sunnah, 2003.
· Syihab, Akidah Ahlus Sunnah Versi Salaf-Khalaf dan Posisi Asya’irah di Antara
Keduanya, Jakarta: Bumi Aksara, 1998.

12

Anda mungkin juga menyukai