Anda di halaman 1dari 151

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/351694793

Sintesis Membran Poliuretan Berbasis Bahan Alam

Book · January 2017


DOI: 10.52574/syiahkualauniversitypress.354

CITATIONS READS

5 421

7 authors, including:

Marlina Marlina Saiful Jabar


Syiah Kuala University Syiah Kuala University
43 PUBLICATIONS 336 CITATIONS 68 PUBLICATIONS 1,086 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Mustanir Yahya Sitti Saleha


Syiah Kuala University Syiah Kuala University
57 PUBLICATIONS 394 CITATIONS 13 PUBLICATIONS 97 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Sitti Saleha on 16 February 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


SINTESIS MEMBRAN POLIURETAN BERBASIS
BAHAN ALAM

Marlina
Saiful
Mustanir
Sitti Saleha
Fathur Rahmi
Murniana
Khairan

JURUSAN KrMtA FAKULrAS MArEMAilKA uNlvERsrrA;:y#il:rn:i


&
AtuAilQq oeaA I
Percetakan & Penerbit
Syiah Kuala Uuivesit r Pr*s
Dmssalaa, Banda Aeh
SINTESIS MEMBRAN POLIURETAN BERBASIS BAHAN ALAM

Penyusun:
Marlina
Saiful
Mustanir
Sitti Saleha
Fathurrahmi
Murniana
Khairan

Narasumber:
Prof. Dr. lng. Cynthia. L. Radiman
Salfauqi Nurman, M. Si
tutia Farida, S. Pd.l, M. Si
Fitriani, S. Pd:1, M. Si
lmam Tanthawi, S.Si
Siti Wahidah. S.Si

Editor:
Prof. Dr. Mustanir, ii. Sc
Mutia Farida, S. Pd.l, M. Si

Desain Gover:
iiahmudi, M. Si.

ISBN : 97E-6O2-127 O-AO-G

Di Cetak Oleh :
Syiah Kuala University Press Telp
(065r) 801222.
uptpercetakan@gmail.com 201 7
SINTESIS MEMBRAN POLIURETAN BERBASIS BAHAN ALAM

Penyusun :
Marlina
Saiful
Mustanir
Sitti Shaleha
Murniana
Fathur Rahmi
Khairan

Narasumber :
Salfauqi Nurman, M. Si
Mutia Farida, S. Pd.I, M. Si
Fitriani, S. Pd.I, M. Si
Imam Tanthawi, S.Si
Siti Wahidah, S.Si
Cyntia

Editor :
Mutia Farida, S. Pd.I, M. Si

Desain Cover :
Mahmudi, M. Si.
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa telah
memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada umat-Nya sehingga buku yang
berjudul “Sintesis Membran poliuretan Berbasis Bahan Alam” telah dapat
diselesaikan. Shalawat beriring salam kita sanjungkan kepangkuan Nabi Besar
Muhammad SAW beserta keluarga dan parasahabatnya sekalian yang karena
beliaulah kita dapat merasakan betapa bermaknanya alam yang penuh dengan
ilmu pengetahuan seperti saat ini.

Buku ini merupakan penjabaran tentang buku merupakan hasil penelitian tentang
sintesa membran poliuretan dari berbagai bahan alam aceh, khususnya minyak
nabati dan rumput laut.

Ucapan terima kasih kepada Tim Penyusun danpihak – pihak yang membantu
terselesaikannya buku ini. Semoga amalnya diterima Allah sebagai amal jariyah
dan buku ini dapat bermanfaat.

Wassalamualaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh

BandaAceh,Oktober 2017
Penulis

Dr. Ir. Marlina, M.Si

v
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................


DAFTAR ISI .................................................................................................

BAB I :Membran ......................................................................................... 1


1.1. Definisi ............................................................................... 1
1.2. Klasifikasi Membran .......................................................... 2
1.3. Pembuatan Membran......................................................... 13

BAB II : Poliuretan ...................................................................................... 15


2.1. Definisi ............................................................................... 15
2.2. Membran Poliuretan .......................................................... 16
2.3. Bahan Pembentuk PU........................................................ 17

BAB III : Karakterisasi ................................................................................ 22


3.1. Karakterisasi Membran ..................................................... 22
3.2. Isolasi dan Karakterisasi Bahan Penyususn Membran... 26

BAB IV : Castor Oil .................................................................................... 35


4.1. Tumbuhan Jarak Ricinus communis L ............................ 35
4.2. Castor Oil ........................................................................... 36
4.3. Pembuatan Membran Poliuretan ..................................... 41
4.4. Karakterisasi Membran PU.............................................. 46
4.5. Proses Osmosis Balik (Reverse Osmosis) ..................... 51

BAB V : Jatropha Oil .................................................................................. 54


5.1. Tumbuhan Jarak Jatropha curcas.................................... 54
5.2.Jatropha Oil......................................................................... 54
5.3. Pembuatan Membran Poliuretan ...................................... 57
5.4. Karakterisasi Membran Poliuretan ................................... 60

BAB VI : Minyak Karet ................................................................................ 66


6.1. Tumbuhan Karet ................................................................ 66
6.2. Minyak Biji Karet................................................................ 68
6.3. Sintesis Membran Poliuretan............................................ 71
6.4. Karakterisasi Membran Poliuretan ................................... 75

BAB VII : Minyak Alpukat ........................................................................... 84


7.1. Tumbuhan Alpukat (Persea americana mill).................... 84
7.2. Minyak Biji Alpukat (Avocado Seed Oil)........................... 85
7.3. Sintesis Membran Poliuretan (PU).................................... 91
7.4. Karakterisasi Membran PU ............................................... 95

BAB VIII : Minyak Nyamplung .................................................................... 105


8.1. Tumbuhan Nyamplung ...................................................... 105
8.2. Minyak Biji Nyamplung...................................................... 105
8.3. Pembuatan Membran Poliuretan ...................................... 111
8.4. Karakterisasi Membran Poliuretan ................................... 113
BAB IX : Rumput Laut ................................................................................ 120
9.1. Rumput Laut ...................................................................... 120
9.2.Karagenan........................................................................... 120
9.3. Isolasi Karagenan dari Rumput Laut Merah .................... 123
9.4. Pembuatan Membran PU................................................... 127
9.5. Karakteristik Membran ...................................................... 131

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 137


BAB 1 MEMBRAN

1.1 Definisi

Membran dapat diartikan sebagai diafragma yang memungkinkan materi


yang mempunyai ukuran yang lebih kecil dari ukuran pori-pori membran
untuk berdifusi. Proses pemisahan yang merupakan perpindahan materi
secara selektif disebabkan karena adanya daya dorong seperti gradien
temperatur (T), gradien konsentrasi (C), gradien tekanan (P), dan
potensial listrik (E) (Mulder, 1996; Winston & Kamalesh, 1992). Proses
pemisahan dua fasa dengan menggunakan membran dapat dilihat pada
Gambar 1.1, sedangkan gaya dorong pada berbagai proses pemisahan
menggunakan membran dapat dilihat pada tabel 1.1.

fasa 1 membran fasa 2

umpan permeat

Gaya dorong

(T), (C), (P), (E)


Gambar 1.1 Skema pemisahan sistem dua fasa menggunakan membran
Sumber : Mulder, 1996

Penggunaan membran secara komersial pertama kali dikembangkan oleh


Sartorius di Jerman setelah perang dunia pertama. Kemudian Loeb dan
Sourirajan berhasil menerapkan proses membran pada industri dengan
penemuan dan pengembangan membran asimetrik pada tahun 1963.

1
Tabel 1.1 Gaya dorong pada berbagai proses sistem pemisahan membran
Proses Gaya Dorong Model
Perpindahan
Mikrofiltrasi Tek. hidrostatik, P konveksi
Ultrafiltrasi Tek. hidrostatik, P konveksi
Osmosa balik Tek.hidrostatik, potensial kimia, difusi
Dialisa P(μi) difusi
Pemisahan gas Konsentrasi, aktivitas, C(a) difusi
Pervaporasi Tek. hidrostatik, fugasitas, P(fi) difusi
Elektrodialisa migrasi
Tek. parsial, gugasitas, Pi(fi)
Potensial listrik, f

Keuntungan yang diperoleh dengan teknologi membran yaitu energi yang


dibutuhkan cukup rendah, penggunaannya dapat kontinu, modulnya dapat
digabungkan dengan peralatan lain, tidak membutuhkan zat kimia
tambahan, serta mampu memisahkan zat yang sensitif terhadap perubahan
temperatur (Mulder, 1991; Winston & Kamalesh, 1992; Strathmann, 2001).
Membran dapat digunakan berdasarkan kebutuhan, artinya sifat dan kerja
membran dapat disesuaikan dengan tujuan penggunaan.

1.2 Klasifikasi Membran


Jenis membran dapat digolongkan dalam beberapa kelompok berdasarkan
asal, morfologi, struktur dan pemisahan serta kerapatan pori (Mulder,
1991; Winston & Kamalesh, 1992).

1.2.1 Asal
Berdasarkan asalnya membran dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu membran alamiah dan membran sintetik. Membran alamiah, yaitu
membran yang terdapat dalam sel tubuh manusia, hewan dan tumbuhan.
Sedangkan membran sintetik dibuat berdasarkan reaksi-reaksi kimia, dan
merupakan fasa antara yang memisahkan dua fasa, yaitu umpan dan
permeat, serta dapat membatasi perpindahan dengan cara yang spesifik.

1.2.2 Kerapatan Pori


Berdasarkan kerapatan pori, terdapat tiga golongan membran (Gambar
1.2), yaitu dengan melihat struktur dan prinsip pemisahannya, sebagai
berikut:

2
(i) membran rapat ( dense membran) yaitu berupa lapisan film tipis
dengan ukuran pori < 0,001 m dan kerapatan pori rendah. Membran ini
mampu memisahkan molekul-molekul yang memiliki ukuran sangat kecil
yang tidak dapat dipisahkan dengan membran berpori. Prinsip
pemisahan dengan membran ini yaitu berdasarkan kelarutan antara
membran dengan umpan. Membran jenis ini biasanya digunakan untuk
pervaporasi dan pemisahan gas.
(ii) membran berpori mempunyai ukuran pori yang lebih besar dan
kerapatan pori yang lebih tinggi. Prinsip pemisahan membran ini
didasarkan pada perbedaan ukuran partikel dengan ukuran pori
membran. Selektivitas pemisahan ditentukan oleh ukuran pori dan
hubungannya dengan ukuran partikel yang akan dipisahkan. Membran
jenis ini biasanya digunakan untuk proses ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi.
(iii) Membran cair, yaitu membran di mana proses pemisahannya tidak
ditentukan oleh membrannya atau bahan pembentuk membran
tersebut, tetapi oleh sifat molekul pembawa yang sangat spesifik. Media
pembawa merupakan cairan yang terdapat dalam pori-pori membran.
Permselektivitas terhadap suatu komponen terutama bergantung pada
kespesifikan molekul pembawa.

Berdasarkan kerapatan ukuran pori dikenal tiga jenis membran :


 makropori : membran dengan ukuran pori lebih besar dari 50 nm
 mesopori : membran dengan ukuran pori antara 2 - 50 nm
 mikropori : membran dengan ukuran pori lebih kecil dari 2 nm.

3
Gambar 1.2 Skema pemisahan berdasarkan struktur membran
Sumber : Mulder, 1996

1.2.3 Fungsi

Berdasarkan fungsinya, membran terbagi menjadi lima jenis, yaitu:


membran mikrofiltrasi, ultrafiltrasi, nanofiltrasi, dan reverse osmosis (Mulder,
1996). Ciri-ciri khusus seperti ukuran pori, tekanan, dan fungsi masing-
masing membran ditunjukkan pada tabel 1.2 dan karakteristik proses
membran terdapat pada Gambar 1.3.

Tabel 1.2 Jenis membran berdasarkan fungsi (Mulder,1996)


No Jenis Ukuran Tekanan Fungsi
membran pori
1 Mikrofiltrasi 0,05-10 < 2 bar Memisahkan
µm suspensi dan koloid
2 Ultrafiltrasi 1-100 nm 1-10 bar Memisahkan
makromolekul
3 Nanofiltrasi < 2 nm 5-25 bar Memisahkan
kontaminan berupa
partikel,
makromolekul dan
ion multivalent
dalam air
4 Reverse < 2 nm Air payau :15-25 Memisahkan
osmosis bar komponen terlarut
(RO) Air laut: 40-80 bar dengan berat
molekul rendah
4
Gambar 1.3 Karakteristik proses membran (Wenten, 1996)

a. Mikrofiltrasi

Proses mikrofiltrasi merupakan salah satu proses berbasis membran yang


berkembang sangat pesat di awal perkembangan teknologi membran.
Pertumbuhan dan perkembangannya pada tahun-tahun tcrakhir hanya
mampu disaingi oleh reverse osmosis, akibat adanya permintaan yang
sangat besar terutama untuk aplikasi proses desalinasi. Secara umum,
miktofiltrasi diaplikasikan dalam proses pemisahan unsur-unsur partikulat
dari larutannya. Membran ini dapat menahan koloid, mikroorganisme, dan
padatan tersuspensi.

Mikrofiltrasi adalah proses membran dengan menggunakan tekanan


sebagai gaya dorong, menggunakan membran umumnya dengan ukuran
pori berkisar antara 0,01 sampai 1 mu m. Ada dua jenis utama membran
mikrofiltrasi, yaitu lapisan pada bagian dalam (depth filter) dan lapisan
permukaan (screen filter). Depth filter memiliki pori-pori yang relatif besar di
bagian atas permukaan, sehingga partikel melintas ke bagian dalam
membran. Partikel itu kemudian ditangkap pada pori-pori membran atau
dengan cara adsorpsi ke pori-pori. Depth filter memiliki luas permukaan
yang jauh lebih besar untuk koleksi partikel, memberikan kapasitas
menahan yang lebih besar sebelum terbentuk fouling atau polarisasi.
Screen filter memiliki pori-pori kecil di permukaan atas, untuk
mengumpulkan partikel lebih besar dari diameter pori di atas permukaan
membran. Dinding screen filter dengan cepat tersumbat oleh akumulasi
partikel yang tertinggal di permukaan atas.
5
Bila partikel terjebak dalam membran, permeabilitas turun, dan tekanan
yang dibutuhkan untuk mempertahankan aliran filtasi meningkat sampai
pada titik tertentu membran harus diganti Masa pakai membran yang
sebanding dengan muatan partikel larutan umpan.

Membran mikro sering digunakan dalam aplikasi yang penetrasinya hanya


satu partikel atau bakteri, dan cocok untuk melakukan fraksionasi atau
penyisihan makromolekul dari suspensi atau emulsi. Kemampuan
membran untuk menahan bakteri dari larutan tergantung pada ukuran pori
membran, ukuran bakteri yang tersaring, dan jumlah organisme yang
digunakan . Membran dengan pori-pori yang relatif besar benar-benar dapat
menyaring bakteri dari larutan umpan dan menghasilkan filtrat steril. Jika
konsentrasi organisme telah meningkat, maka migrasi bakteri ke filtrate
terjadi. Namun, jika ukuran pori membran cukup kecil, maka migrasi bakteri
ke filtrat tidak terjadi,

Kinerja membran untuk pengujian larutan umpan bakteri sering di


kuantifikasi dengan nilai reduksi log (LRV), yang didefinisikan sebagai:

LRV = log10 (Cf/Cp) (I.1)

Dimana Cf = konsentrasi bakteri dalam lautan umpan


Cp = konsentrasi bakteri dalam permeat

Membran mikrofiltrasi (MF) dapat dibedakan dari membran reverse osmosis


(RO) dan ultrafiltrasi (UF) berdasarkan ukuran partikel yang dipisahkannya.
Pada membran mikrofiltrasi, garam-garam tidak dapat direjeksi oleh
membran. Proses filtrasi dapat dilaksanakan pada tekanan relatif rendah
yaitu di bawah 2 bar. Membran mikrofiltrasi dapat dibuat dari berbagai
macam material baik organik maupun anorganik. Membran anorganik
banyak digunakan karena ketahananya pada suhu tinggi.

b. Ultrafiltrasi

Ultrafiltrasi (UF) merupakan proses penggunaaan membran yang memiliki


gaya dorong (driving force) tekanan untuk memisahkan partikel,
mikroorganisme, molekul-molekul besar (large molecule) dan emulsi minyak
dalam air. Membran ultrafiltrasi berada diantara mikrofiltrasi dan nanofiltrasi,
yang berbeda dari ketiga membran tersebut adalah ukuran partikel yang
tertahan. Ultrafiltrasi memiliki membran macropores dengan kemampuan
memisahkan partikel yang berukuran antara 0,0001-0,02 μm. Membran ini
6
beroperasi pada tekanan antara 1-5 bar dengan batasan permeabilitas
adalah 10-60 L/m2.jam.bar (Mulder,1996).

Ultrafiltrasi menjadi teknik pemisahan yang menarik pada pengolahan


limbah emulsi minyak-air karena mudah dalam pengoperasian, dan
ekonomis dibandingkan dengan proses pemisahan lainnya seperti
sentrifugasi, sedimentasi, filtrasi konvensional. Selain itu pengolahan limbah
emulsi minyak-air secara konvensional atau secara proses kimia sangat
sulit dilakukan karena mengandung konsentrasi suspended solid, COD,
kandungan logam dan minyak yang tinggi. Kadar COD dari limbah emulsi
minyak yang umumnya sangat tinggi (>50000 mg/L), akan menyulitkan
proses pengolahan biologis konvensional.

c. Nanofiltrasi

Proses nanofiltrasi adalah proses pemisahan dari material pengotor di


dalam air dengan teknologi membran secara mekanis. Nanofiltrasi berada
diantara ultrafiltrasi dan reverse osmosis, sehingga nanofiltrasi dapat
digunakan untuk memisahkan kontaminan berupa partikel, makromolekul
dan ion multivalent dalam air (Barakat., 2011; Feng et et al., 2014).
Membran nanofiltrasi memiliki ukuran pori < 2 nm, MWCO > 250 Da dan
beroperasi pada tekanan antara 10-35 bar dengan permeabilitas 1,4-12
L.m-2.hr-1.bar-1. Prinsip pemisan menggunakan membran nanofiltrasi yaitu
solution-diffution (Mulder., 1996). Membran nanofiltrasi sering terbuat dari
polimer poliamida. Membran nanofiltrasi banyak digunakan pada
perusahaan desalinasi air payau, penyisihan mikropolutan, wastewater
treatment, dan retensi pewarna (industri tekstil) (Mulder., 1996; Feng et al.,
2014)

d. Proses Osmosa Balik

Osmosa balik atau reverse osmosis (RO) yaitu proses pemisahan dengan
memberikan tekanan pada sisi larutan, sehingga pelarut mengalir melintasi
membran semipermiabel ke sisi yang encer. Hal ini merupakan proses
fisis di mana membran hanya dapat dilalui oleh pelarut yang disebut
permeat, sedangkan zat terlarut baik elektrolit maupun organik akan ditolak
(rejeksi) yang disebut retentat (Mulder, 1991; Winston & Kamalesh, 1992;
Bhattacharyya, 1992; Ray, 1992). Difusi penetran dalam polimer sangat
tergantung pada konsentrasi umpan dan jenis bahan yang akan dipisahkan,
7
karena bukan hanya refleksi dari kinetikanya tetapi juga ikatan hidrogen
yang terjadi antara umpan dan bahan polimer.

Proses osmosa dapat berlangsung spontan (lihat Gambar 1.4), sedangkan


osmosa balik tidak. Hal ini dapat dipahami dari aspek termodinamika yaitu
dari potensial kimia. Osmosa balik dapat terjadi apabila larutan yang lebih
pekat diberikan tekanan yang lebih besar dari tekanan osmosanya.
Besarnya tekanan osmosa () dapat ditentukan dari persamaan van’t Hoff
(Mulder, 1996; Winston & Kamalesh, 1992)

 = (n.R.T) / V (I.2)

dengan: n = jumlah mol ion zat terlarut


R = tetapan gas ideal
T = temperatur
V = volume larutan

Gambar 1.4 Skema proses osmosa (Mulder, 1996)

Suatu membran osmosa balik yang ideal adalah membran yang tahan
terhadap bahan kimia, tahan serangan mikroba, serta mempunyai
karakteristik yang tidak berubah setelah pemakaian dalam waktu yang lama
(Winston & Kamalesh, 1992; Bhattacharyya dan Williams, 1992; Ray, 1992
). Pada saat ini pengembangan dilakukan agar membran yang dihasilkan
tahan terhadap pH, temperatur dan klorida (Bhattacharyya dan Williams,
1992; Ray, 1992).

Menurut Bhattacharyya dan Williams (1992), proses osmosa balik dapat


dibagi dalam 3 (tiga) jenis yaitu:

8
1. Osmosa balik pada tekanan tinggi (5,6 – 10,5 MPa), biasanya
digunakan untuk desalinasi air laut.
2. Osmosa balik pada tekanan rendah (1,4 – 4,2 MPa), digunakan untuk
desalinasi air payau.
3. Nanofiltrasi atau loose reverse osmosis (0,3 – 1,4 MPa), digunakan
untuk demineralisasi parsial.

Osmosa balik tekanan tinggi dan tekanan rendah biasanya digunakan untuk
rejeksi yang sangat tinggi (95 – 99 %), dan juga untuk rejeksi yang rendah
sampai tinggi dari bahan-bahan organik yang mempunyai bobot molekul
rendah. Sedangkan nanofiltrasi digunakan untuk rejeksi yang rendah (20
%).

Namun dari semua membran yang diaplikasikan, kelayakan kerja membran


sangat penting ditunjukkan oleh parameter selektivitas dan permeabilitas.
Membran dengan kinerja yang baik mempunyai permeabilitas pelarut dan
selektivitas zat terlarut yang besar. Di samping itu sifat kimia membran juga
harus diperhatikan seperti polaritas dan ikatan hidrogen.

1.2.4. Fluks Membran

Fluks membran didefinisikan sebagai volum permeat yang melewati


membran per satuan luas permukaan per satuan waktu. Jumlah pelarut
maupun zat terlarut yang melewati membran osmosa balik dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan perpindahan berikut:

Jw = A (P - ) (I.3)

dan
Js = B (C2 - C3) (I.4)

dengan:
Jw = Fluks pelarut
Js = Fluks zat terlarut
P = Perbedaan tekanan hidrostatik
 = Perbedaan tekanan osmosa
A dan B = koefisien permeabilitas pelarut dan zat terlarut
C2 dan C3 = konsentrasi zat terlarut pada fasa umpan dan
permeat

9
Kedua persamaan di atas dapat dimodifikasikan berdasarkan jumlah
volum permeat yang dihasilkan, yaitu:
J = V / At (I.5)

di mana:
J = fluks (L/m2 jam)
V = volum permeat (L)
A = luas permukaan (m2)
t = waktu (jam)

Disamping ke empat jenis membran di atas berdasarkan proses


pemisahannya, maka ada satu lagi jenis membran yang merupakan
pengembangan dan inovasi dari proses yang sudah ada, yaitu

e. Pervaporasi

Proses pervaporasi digunakan untuk memisahkan campuran cair-cair.


Campuran cairan merupakan umpan yang kontak pada satu sisi membran;
yang meresap dan dilepas sebagai uap dari sisi yang lain. Transportasi
melalui membran disebabkan oleh perbedaan tekanan uap antara larutan
umpan dan uap yang meresap. Perbedaan tekanan uap ini bisa dijaga
dengan beberapa cara, misal di laboratorium pompa vakum biasanya
digunakan untuk menunjukkan proses vakum pada sisi permeate dari
sistem. Pada industri, vakum permeat paling banyak digunakan yaitu
dengan mendinginkan uap yang meresap dan menyebabkannya
mengembun; kondensasi secara spontan menciptakan vakum parsial.

Kata pervaporasi diciptakan oleh Kober pada tahun 1917, dan proses
pertama adalah menghilangkan air sebagai permeat, dan menghasilkan
residu etanol murni yang mengandung air kurang dari 1%. Aplikasi
komersial pervaporasi adalah penghilangan sejumlah kecil senyawa organik
volatil (VOC) dari air yang terkontaminasi. Pemisahan ini relatif mudah
karena pelarut organik dan air memiliki polaritas yang sangat berbeda dan
sifat permeasi membran yang berbeda. Teknologi membran saat ini
berkembang denga pesat, dan membuat aplikasi pervaporasi untuk
sejumlah industri adalah sangat mungkin, terutama untuk aplikasi
pemisahan organik-organik. Contoh pemisahan dengan menggunakan
teknik pervaporasi adalah pemisahan metanol dari campuran metil tert-butyl

10
ether / isobutene, adalah dilaporkan oleh Separex pada tahun 1988 dan
Marlina dkk (1998), dengan menggunakan membran selulosa asetat.

1.2.5. Faktor Rejeksi (R)

Membran osmosa balik umumnya digunakan untuk pemisahan zat terlarut


dengan berat molekul kecil seperti garam (proses desalinasi), gula dan
dapat juga digunakan untuk pemisahan zat organik dalam jumlah yang
kecil. Pada prinsipnya membran yang digunakan untuk proses osmosa balik
adalah membran yang mempunyai ketahanan yang sangat baik terhadap
tekanan tinggi (Mulder, 1996; Winston & Kamalesh, 1992).

Faktor rejeksi (R) adalah faktor yang menentukan efisiensi proses


pemisahan, di mana faktor ini sangat menentukan kemurnian dari suatu
produk pemisahan.

Karena perbedaan konsentrasi pada kedua sisi membran sangat besar


sehingga konsentrasi tidak dapat dirata-ratakan, maka Spiegler dan Kedem
(dalam Mulder, 1996) kemudian menyempurnakan persamaan di atas
dalam bentuk koefisien rejeksi, yaitu:

Ro = [C2 - C3] / C2 = 1 - C3 / C2 (I.6)

Karena membran mengalami polarisasi konsentrasi pada permukaan (C1),


maka selama proses pemisahan terdapat dua jenis koefisien rejeksi, yaitu
rejeksi nyata (Ro) dan rejeksi terukur (R).

R = [C1 - C3] / C1 = 1 - C3 / C1 (I.7)

di mana: C1 = konsentrasi pada fasa umpan akibat polarisasi konsentrasi


Pada umumnya dalam penelitian digunakan koefisien rejeksi terukur untuk
menentukan selektivitas.

1.2.6. Struktur

Struktur membran dapat dibentuk menjadi membran simetri yang


mempunyai struktur pori homogen dan relatif sama, serta membran
asimetri yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan kulit tipis dan rapat (skin

11
layer) dengan ketebalan < 0,5 m, dan lapisan pendukung berpori dengan
ketebalan 50 - 200 m.

Perbedaan morfologi atau struktur membran simetri dan asimetri dapat


dilihat pada Gambar 1,5.

Simetri Asimetri

Poli silindris
`
Gambar 1.5 Morfologi membran simetri dan asimetri
Sumber : Mulder, 1996

1.3 Pembuatan Membran

Teknik yang banyak digunakan dalam pembuatan membran yaitu (Mulder,


1996) sebagai berikut:
a. Inversi fasa
Metode ini diperkenalkan oleh Loeb-Sourirajan dengan cara penguapan
pelarut setelah proses pencetakan yang dilakukan pada plat kaca. Prosedur
pencetakan membran ini dilakukan pada ruang tertutup yang bebas debu
dan aliran udara. Faktor-faktor yang berpengaruh pada proses ini adalah
komposisi polimer dan pelarut, bahan aditif (swelling agent), temperatur
inversi, dan waktu curing.

b. Ikatan silang
Salah satu teknik yang dapat digunakan dalam pembuatan membran rapat
yaitu dengan membuat ikatan silang antara polimer dengan zat pengikat
silang. Proses ini dapat dilakukan dengan mencampurkan polimer dan zat
pengikat silang dalam pelarut yang sesuai dalam keadaan basah, atau
dengan pemanggangan (proses kering) menggunakan uap pengikat silang.

Ikatan silang dapat juga dihasilkan dengan cara film yang didapatkan
dengan cara inversi fasa dipaparkan dalam medan radiasi (misalnya sinar
12
UV) untuk membuat pusat-pusat aktif, kemudian dicelupkan dalam wadah
yang berisi monomer yang akan ditempelkan, maka membran rapat bisa
dihasilkan.
Pada dasarnya proses ikatan silang adalah proses pembentukan ikatan
kovalen yang mempunyai energi ikatan besar, sehingga sulit untuk diputus.
Suatu ikatan silang mengikat tiap molekul yang akan menghasilkan
struktur tiga dimensi (3D) yang mempunyai sifat tidak dapat larut dan kuat.

c. Polimerisasi Plasma
Lapisan yang didapatkan sangat tipis dengan ketebalan 50 nm, konsentrasi
monomer dan tekanan tinggi dikontrol dengan cermat untuk mendapatkan
ketebalan yang merata. Beberapa faktor yang penting dalam mengontrol
ketebalan membran yaitu waktu polimerisasi, tekanan vakum, kecepatan
aliran gas, tekanan gas. Struktur polimer yang dihasilkan umumnya sulit
untuk dikontrol dan sering berikatan silang.

d. Proses Pengeringan Beku (Freeze Drying)


Dalam proses pengeringan beku, membran yang telah didapatkan dengan
proses inversi fasa dimasukkan ke dalam cairan dingin seperti heksana
(60 oC), dibekukan dengan cepat dalam garam dan es. Pelarut
disublimasikan pada tekanan di bawah titik triple dengan menaikkan
temperatur dan tekanan dengan perlahan. Kondisi pada saat proses
pengeringan beku berlangsung merupakan faktor yang penting untuk
mendapatkan membran dengan fluks yang tinggi.

13
BAB 2 POLIURETAN

2.1 Definisi

Poliuretan (PU) merupakan polimer yang telah dikenal luas oleh


masyarakat, yaitu sebagai busa tempat tidur, sofa, asesoris mobil, serat,
elastomer, dan pelapis (coating). Produk PU mempunyai bentuk yang
beragam yaitu dari plastik elastomer linier lembut sampai busa termoset
yang keras dan kaku (Ramanathan, 1999; Woods, 1987).

Poliuretan (PU) dihasilkan dari reaksi antara alkohol yang mengandung dua
atau lebih gugus hidroksil yang reaktif per molekul (diol atau poliol) dan
isosianat yang mempunyai lebih dari satu gugus isosianat yang reaktif per
molekul (diisosianat atau poliisosianat). Reaksi polimerisasi yang terjadi
adalah polimerisasi adisi karena tidak terbentuk produk samping (Lee et al.,
1995) Mekanisme reaksi pembuatan PU adalah sebagai berikut:

H H H H O H
H
O C N C N C O + HO C OH C N C N C O C O
R O R R'
R' n

Gambar 2.1 Reaksi pembentukan PU

Reaksi pembuatan poliuretan sudah dikenal baik pada abad ke-19, tetapi
hanya pada skala laboratorium. Pada tahun 1937-1940 Otto Bayer dan
kawan-kawan membuat poliuretan jenis serat, adhesif, pelapis dan busa
secara komersil dengan proses poliadisi dari berbagai jenis poliisosianat
dengan glikol dan diamin (Zhang, 1997).

Menurut Brydson, 1995; Chatterjee, 1997; Nicholson, 1994 dan Cheng


(2003), reaksi pembentukan poliuretan adalah reaksi antara senyawa
poliisosianat yang mengandung gugus –NCO dan poliol yang mengandung
gugus -OH, sehingga dapat membentuk ikatan hidrogen yang kuat. Soft
segment bersifat fleksibel dan rantainya lebih panjang, sedangkan hard
segment lebih keras, kaku dan rantai pendek. Kekakuan dari poliuretan
karena kristalinitas dan ikatan hidrogen (Odian, 1991). Inklusi dan panjang
poliol dikontrol agar menghasilkan PU lebih kuat dan fleksibel (Odian, 1991
dan Teo, 1998).

15
Produk berupa padatan dapat diperoleh setelah lima menit dari awal
pengadukan, di mana laju reaksi dapat divariasikan dengan cara pemilihan
katalis dan konsentrasi. Reaksinya adalah eksotermis, di mana panas yang
dihasilkan dapat digunakan untuk menguapkan cairan pembentuk busa
seperti flourokarbon pada proses polimerisasi.

2.2 Membran Poliuretan

Membran PU baru dipelajari oleh Akabori dan Fujimoto (dalam Ashida dan
Frisch) pada tahun 1980, yaitu tentang ketebalan membran dan metoda
pengukurannya serta hubungan kedua parameter tersebut dengan sifat-sifat
fisiknya. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa ketebalan sel membran
busa PU yang kaku rata-rata adalah 1,06 m dan berbentuk lonjong,
metoda penentuannya adalah menggunakan metoda mikroskop optik
sederhana.

Pada tahun 1996 ada 2 (dua) laporan penelitian yang mempelajari tentang
membran PU. Huang dan Lain (1996) menyatakan bahwa membran yang
berasal dari hidroksil terminasi polibutadien (HTPB) dan 4,4’-
disikloheksilmetan diisosianat (H12MDI) berdasarkan PU yang diikat silang
dengan benzoil peroksida (BPO) yang dibentuk dalam interpenetrating
network (IPN) dengan 4-vinil piridin (4-VP) telah digunakan untuk
pemisahan campuran air dan etanol dengan proses pervaporasi. Membran
IPN dengan kandungan 4-VP 8,44 % mempunyai permeabilitas tertinggi,
yaitu sebesar 1184 g/m2 jam dan faktor pemisahan 4,11 terhadap larutan
etanol 90 %, lebih besar daripada membran tanpa ikatan silang.

Enneking dan Lichtenthaler (1996) mengukur kelarutan sistem tiga


komponen benzen/sikloheksena/sikloheksana menggunakan membran
polimer PU dan PEBA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelarutan
benzen lebih besar dari pada sikloheksena dan sikloheksana terhadap
membran PU. Sampai saat ini, membran PU umumnya digunakan untuk
pemisahan bahan-bahan organik, aromatik, alifatik dengan pervaporasi,
sedangkan pemisahan buangan industri digunakan hollow fiber (Kusakabe,
1998; Souchon, 2004), pemisahan gas dengan pervaporasi (Teo, 1998).

Membran poliuretan dapat dibuat dengan mereaksikan bahan dasar polimer


poliuretan dengan pelarut yang mempunyai parameter kelarutan yang sama
atau hampir sama dengan polimer PU, atau dengan pencetakan langsung
dari bahan polimer. Sedangkan polimer PU poliadisi berbagai bahan baku

16
baik mono maupun polimer dan isosianat (Goddard & Cooper, 1995;
Goddard & Cooper, 1995; Eisenbach & Heinemann, 1995; Huang & Juin,
1996; Lee et al., 1995; Billmeyer, 1984), di antaranya adalah polietilen glikol
(PEG), asam laktat, sejumlah asam nukleat, fenol, karbonimida, dan residu
gula. Bahan dasar tersebut direaksikan dengan berbagai jenis isosianat,
antara lain tolulen diisosianat (TDI), metilendipenil isosianat (MDI), dan
polimer isosianat (PMDI).

2.3 Bahan Pembentuk PU


2.3.1 Poliol

Poliol adalah polieter atau poliester yang disintesis pada kondisi tertentu
untuk menghasilkan 2 (dua) atau lebih gugus –OH (Odian, 1991, Dombro,
1963). Hampir 90 % poliol yang digunakan pada pembuatan PU adalah
polieter dengan gugus fungsi hidroksi. Adanya polieter akan meningkatkan
fleksibilitas rantai utama polimer (Mahkam & Sanjani, 2003). Sedangkan
poliester jarang digunakan karena lebih mahal dibandingkan dengan
polieter, dan sering digunakan pada pembuatan busa kaku PU (Dombro,
1963; Woods, 1987).

Poliol yang digunakan pada pembuatan PU dibuat agar mempunyai


reaktivitas yang sesuai dengan isosianat, untuk menghasilkan PU dengan
sifat-sifat khusus. Pemilihan poliol, khususnya ukuran dan fleksibilitas
struktur molekulnya dan kontrol dari gugus fungsinya (jumlah isosianat
terhadap gugus hidroksil reaktif per molekul poliol), ditentukan oleh derajat
ikatan silang dalam polimer tersebut. Ikatan silang tersebut mempunyai
pengaruh yang dominan terhadap kekakuan polimer, yaitu untuk
membentuk busa yang kaku harus mendapatkan jaringan polimer yang
kaku dengan derajat ikatan silang yang tinggi, sebaliknya untuk
mendapatkan busa yang fleksibel derajat ikatan silang yang dibutuhkan
lebih sedikit (Billmeyer, 1984; Woods, 1987; Kroschwitz, 1990). Karakteristik
dari poliol untuk menghasilkan dua kelas PU yang berbeda dapat dilihat
pada tabel 2.1
.
Tabel 2.1 Karakteristik poliol
Karakteristik Busa Fleksibel dan Busa, padatan
Elastomer dan pelapis kaku
Massa molekul relatif rata-rata 1.000 - 6.500 400 - 1.200
Gugus fungsi 2-3 3–8

17
Alkohol primer bereaksi 3 kali lebih cepat dibandingkan dengan alkohol
sekunder, dan alkohol tersier bereaksi sangat lambat dan cenderung
terhidrasi. Reaksi uretan didasarkan pada reaksi katalitik, dan pada alkohol
dapat diperlambat oleh asam, di mana sejumlah kecil asam mineral bersifat
sebagai inhibitor lemah terhadap senyawa hidroksil alifatik. Fenol dapat
bereaksi membentuk uretan, tetapi tidak memuaskan walaupun dengan
pemanasan. Katalis digunakan untuk menambah hasil, beberapa
diantaranya adalah amina tersier dan piridin.

2.3.2 Isosianat dan reaksi pembentukan senyawa turunannya

Sifat akhir dari poliuretan yang dihasilkan sangat bergantung pada jenis
isosianat yang digunakan. Isosianat dapat dimodifikasi dengan berbagai
cara untuk memberikan hasil dengan sifat kimia dan fisika yang berbeda.
Beberapa isosianat aromatik dan alifatik terdapat secara komersial, tetapi
sekitar 95 % PU yang dihasilkan menggunakan tolulen diisosianat (TDI) dan
difenilmetan-diisosianat (MDI) sebagai bahan dasarnya. Kedua bahan
tersebut dibuat dari bahan antara petrokimia dengan proses kimia
(Kroschwitz, 1990; Dombro, 1963; Woods, 1987).

TDI mempunyai nama lain yaitu toluen diisosianat dan metil-fenilen


diisosianat. TDI adalah diisosianat komersial yang sangat penting, oleh
karenanya menarik untuk dipelajari proses pembuatannya. Rreaksi
pembentukan TDI dari fosgen dan amina dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Metoda ini mempunyai keuntungan (mencapai 90 %), yaitu dapat mencegah
reaksi samping yang berlebihan antara diamin yang tidak bereaksi dengan
diisosianat yang baru terbentuk , yang akan menghasilkan urea.

CH3 CH 3
Cl
NH2 + NCO + 4 HCl
C O
Cl
N H2 NCO

meta-tolulen diamin fosgen m-tolulen diisosianat hidrogen klorida

Gambar 2.2 Reaksi pembentukan TDI

Skema pembuatan TDI dapat dilihat pada Gambar 2.3, di mana 2,6 TDI
bersifat lebih lemah (kurang reaktif) dibandingkan 2,4 TDI, hal ini
disebabkan oleh halangan ruang 2,6 TDI lebih besar dari pada 2,4 TDI.

18
Tolulen Nitrat

isomer

mononitrotoluen

kristalisasi kristalisasi

ortonitrotoluen paranitrotoluen

nitrat

nitrat nitrat

65 % 2,4 dinitrotoluen 80 % 2,4 dinitrotoluen 2,4 dinitrotoluen

35 % 2,6 dinitrotoluen 20 % 2,6 dinitrotoluen

diamin diamin diamin

fosgenasi fosgenasi fosgenasi

TDI TDI TDI

Isomer 65/35 Isomer 80/20 Isomer 2,4


o o o
FP : -46 F FP : -57 F FP : -72 F

Gambar 2.3 Proses pembuatan tolulen diisosianat


Sumber : Dombro, 1963

19
Selain dengan senyawa-senyawa yang mempunyai gugus fungsi hidroksi,
diisosianat juga akan bereaksi dengan komponen kimia yang mempunyai
hidrogen aktif, yaitu senyawa-senyawa yang mempunyai gugus amino,
asam karboksilat dan hidrogen pada beberapa metil aktif seperti ester.

Contoh reaksi gugus isosianat dengan senyawa-senyawa yang mempunyai


gugus hidrogen aktif adalah sebagai berikut:

a. Dengan reagen monofungsional


H X
R [NCO] + HX R N C O

R = alkil, benzil
X = biasanya halogen

b. Dengan amina
Amina baik primer maupun sekunder adalah komponen dengan hidrogen
aktif, yang bereaksi dengan isosianat menghasilkan urea sebagai berikut :

R 1
H N
R 2
R [N C O ] + H N R 1R 2 R N C O

di mana R1 dan R2 dapat berupa H. Hal ini memungkinkan satu tahap


reaksi lanjutan karena hidrogen dari urea cukup untuk bereaksi dengan
isosianat lainnya membentuk biuret.

R1
H N O H
R2
R N C O + R [N CO ] R N C N R
C O
R1
N
R2

Poliurea dan poliuretan terbentuk oleh reaksi adisi sederhana tanpa produk
samping, namun dua reaksi berikut penting karena dilengkapi dengan
pembentukan produk samping berupa gas karbon dioksida, yaitu:

a. Interaksi asam karboksilat dan isosianat


PU dapat disintesis menggunakan amida dari asam karbosilat dan isosianat
membentuk reaksi samping gas karbon dioksida, di mana semakin banyak

20
NCO yang digunakan, maka gas CO2 yang terbentuk semakin banyak dan
produknya berupa busa poliuretan (Ashida, 1980).

O O
R1 C OH + RN C O R1 C O
C O
RNH

O O H
R1 C O R1 C N R + CO 2
C O
RNH
Gambar 2.4 Interaksi asam karboksilat dan isosianat

Reaksi yang terjadi sebenarnya lebih kompleks dari yang dituliskan di atas.

b. Reaksi dengan air

Reaksi antara air dan isosianat akan membentuk asam karbamat (urea)
yang tidak stabil sehingga terdekomposisi menjadi amina dan
karbondioksida. Amina bereaksi lebih lanjut dengan isosianat membentuk
urea (Odian, 1991, Billmeyer, 1984, Dombro, 1963). Dengan poliisosianat,
air akan membentuk senyawa polimer yang tidak dapat meleleh dan tidak
larut.

Air dapat berfungsi sebagai bahan pengikat silang karena atom H-nya
dapat digunakan sebagai pembentuk cabang, sebagai pembentuk
gelembung gas pada pembuatan busa, dan dapat menjaga kelembaban
PU.
H O
RN C O + HOH RN C OH

H O

RN C OH RN H 2 + CO 2

H O H
RN H 2 + RN C O RN C N R

Gambar 2.5 Reaksi isosianat dengan air

21
BAB 3 KARAKTERISASI

Tujuan dari karakterisasi suatu membran adalah untuk mengetahui kinerja


yang baik dari suatu membran terhadap suatu larutan umpan tertentu. Hal
utama yang menentukan karakteristik suatu membran adalah
permselektivitas dan permeabilitas yang ditentukan oleh nilai fluks dan
selektivitas membran terhadap suatu senyawa standard tertentu.

Disamping itu, karakterisasi terhadap bahan penyusun membran juga


dilakukan, hal ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dan kimia bahan
tersebut, yang selajutnya akan menentukan sifat dan kinerja membran.

3.1 Karakterisasi Membran

3.1.1 Spektroskopi inframerah (IR)

Spektroskopi yaitu metoda pengukuran dari jumlah radiasi yang diserap


oleh senyawa pada berbagai panjang gelombang. Dari spektrum IR didapat
informasi yang berguna tentang gugus fungsi di dalam struktur suatu
molekul (Andrew, 1992; Gunzler, 2002).
Hubungan antara panjang gelombang dan frekuensi radiasi adalah :
υ = c/λ (III.1)
di mana: υ = frekuensi, Hertz
λ = panjang gelombang, cm
c = kecepatan cahaya, 2.998 x 1010 cm sec-1
Panjang gelombang dalam daerah IR adalah dalam satuan mikron (μ), di
mana 104 μ = 1 cm.
Hubungan energi dan frekuensi adalah:
E = h υ (III.2)
di mana: E = energi foton, Joule
h = konstanta Planck, 6.624 x 10-2 erg sec
Dalam teknik spektroskop, sering dikenal pengukuran bilangan gelombang,
yaitu besarnya energi per satuan panjang gelombang dengan satuan cm-1.
ϋ = 1/ λ (III.3)
Analisis secara kuantitatif dilakukan dengan hukum Lambert-Beer, yaitu:
A = log10 (Io / I) = a c l (III.4)
di mana A = absorbansi
Io = intensitas sinar masuk
I = intensitas sinar yang ditransmisikan
22
a = koefisien absorbsi
c = konsentrasi zat
l = panjang lintasan

Membran poliuretan padat baik yang berasal dari bahan organik maupun
anorganik, baik murni maupun hasil perlakuan, penentuan spektrum IR-nya
dapat dilakukan secara langsung tanpa perlakuan awal, yaitu dengan
menempatkan membran pada holder dan identifikasi puncak dapat
dilakukan secara langsung. Berbeda dengan penentuan struktur dari
membran cair, maka pengkuran dilakukan dengan cara pembuatan pelet
KBr.

Dari spektrum IR juga dapat ditentukan indeks ikatan hidrogen (HBI) dari
membran, yaitu dari perbandingan absorbansi puncak karbonil ikatan
hidrogen pada bilangan gelombang 1700 cm-1 terhadap puncak karbonil
bebas pada 1720 cm-1 yang diamati dengan FTIR. Pita karbonil ikatan
hidrogen terdapat pada bagian keras poliuretan, sedangkan pita karbonil
bebas dapat terjadi pada bagian keras, bagian lunak atau pada antarmuka
(Huang dan Lain, 1997; Lee et al., 1999; Lee et al., 1995). Bagian lunak
(soft block/soft segment) terdiri dari eter atau ester, sedangkan bagian keras
(hard block/hard segment) terdiri dari gugus –NCO dari isosianat. Nilai
HBI besar menunjukkan partisipasi gugus karbonil berikatan hidrogen pada
hard segment juga besar.

3.1.2 Scanning elektron Microscope (SEM)

SEM merupakan suatu metode untuk membentuk bayangan daerah


mikroskopis permukaan sampel (Callister, 2003). Pengamatan
menggunakan SEM diperlukan untuk melihat struktur penampang lintang
maupun permukaan membran. Jika seberkas elektron ditembakkan pada
permukaan spesimen, maka sebagian dari elektron itu akan dipantulkan dan
sebagian lagi akan diteruskan. Jika permukaan spesimen tidak rata atau
terdapat lubang-lubang, maka tiap-tiap bagian tersebut akan memantulkan
elektron dengan jumlah dan arah berbeda. Gambar permukaan spesimen
akan diperoleh bila elektron yang dipantulkan di atas ditangkap oleh
detektor dan diteruskan ke sistem layar (Vaughan, 1993).

23
3.1.3 Analisis kekuatan mekanik (uji tarik)

Beberapa polimer pada saat didinginkan dengan cepat dari keadaan leleh
membentuk struktur yang tidak teratur, yang disebut dengan keadaan
amorf, sebaliknya bila didinginkan perlahan-lahan dapat membentuk
struktur kristal. Pada temperatur ruang polimer amorf mempunyai modulus
yang tinggi, sedangkan kristal tidak (Woods, 1987; Ward, 1983).

Modulus Young adalah suatu besaran yang menyatakan perbandingan


tegangan (stress) terhadap regangan (strain), di mana tegangan adalah
gaya yang bekerja per satuan luas , sedangkan strain adalah perubahan
bentuk akibat deformasi.
σ = E e (III.5)
di mana:
σ = tegangan
E = modulus Young
e = deformasi regangan uniaksial
Beberapa jenis polimer dapat dibedakan dari sifat mekaniknya seperti
tampak pada Gambar 3.1.

A = polimer keras dan rapuh


B = polimer keras dan kuat
C = polimer sangat elastis
D = polimer lunak dan kuat
E = polimer lunak dan lemah

Gambar 3.1 Kurva tegangan-regangan beberapa jenis polimer


Sumber: Woods, 1987

Polimer A mempunyai tegangan yang besar dan regangan yang kecil,


sehingga pada saat gaya diterapkan menyebabkan polimer tersebut
langsung terputus, polimer ini mempunyai modulus yang tinggi. Polimer B
24
mengalami pelumeran terlebih dahulu sebelum putus, di mana polimer ini
mempunyai modulus yang sedang. Polimer C mempunyai sifat sangat
elastis, di mana pada tegangan yang besar menghasilkan regangan yang
besar pula, sehingga untuk memutuskannya dibutuhkan tegangan yang
sangat besar. Pada keadaan seperti karet, polimer mengalami deformasi
besar, dan masih menunjukkan recovery yang komplit yang dikenal dengan
yield, yaitu polimer akan menjadi lembut karena kenaikan temperatur lokal
sehingga terjadi lelehan local (polimer D). Sedangkan polimer E bersifat
sangat rapuh, sehingga sulit ditarik. Untuk menghindari terjadinya
deformasi dan untuk mengembalikan rantai polimer ke bentuk semula
setelah deformasi, maka dilakukan reaksi ikatan silang (cross link) (Odian,
1991).

Menurut Ward (1983), besarnya beban yang diberikan kepada bahan


polimer sebanding dengan regangan yang terjadi, tetapi akan mengurangi
luas penampang sampel. Stress-strain (tegangan dan regangan) ditentukan
dengan standard method ASTM D 412-80.

3.1.4 Analisa termal

Analisa termal dilakukan dengan menggunalkan alat differential thermal


analysys (DTA), yaitu suatu teknik analisis dengan menentukan perbedaan
temperatur (ΔT) antara sampel dan bahan pembanding selama pemanasan
(Dodd, 1987; Haines, 1995). Teknik ini digunakan untuk penentuan
temperatur transisi gelas (Tg), temperatur leleh (Tm) dan temperatur
dekomposisi (Td).

Gambar 3.2 Perbedaan Tg, Tm, dan Td


Sumber: Dodd, 1987; Haines, 1995

25
Gambar 3.3 Cara menentukan Tg
Sumber: Dodd, 1987; Haines, 1995

Gambar 3.2 menunjukkan cara membedakan Tg, Tm, dan Td yang diperoleh
dari termogram DTA, sedangkan Tg sampel ditentukan dengan
menggunakan metode seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.3.

3.1.5 Penentuan permeabilitas dan permselektivitas membran

Nilai fluks dan faktor pemisahan membran ditentukan berdasarkan pada


persamaan (II.4) dan (II.6). Penentuan kedua parameter tersebut dilakukan
menggunakan alat/modul tertentu pada tekanan dan suhu yang bervariasi,
menggunakan senyawa standard dekstran untuk ultrafiltrasi dan larutan
NaCl untuk proses RO.

Analisa sampel dan hasil meliputi parameter kimia dan fisik, dan konsentrasi
sebelum dan setelah dilewati membran PU. Sedangkan .terhadap membran
yang telah digunakan akan dikarakterisasi struktur dan morfologinya (IR
dan SEM).

3.2 Isolasi dan Karakterisasi Bahan Penyususn Membran

3.2.1 Isolasi

Beberapa cara isolasi yang dapat digunakan untuk menghasilkan minyak


atau lemak (ASTM, 1976; Jayant, 2003; Furmiss, 1989; Ketaren, 1986),
antara lain:

26
(i) Rendering

Rendering adalah suatu cara ekstraksi dari bahan yang diduga


mengandung minyak atau lemak dengan kadar air tinggi dengan
menggunakan panas, di mana panas tersebut dapat memecahkan dinding
sel bahan dan menggumpalkan protein yang berada di dalamnya, sehingga
dinding tersebut mudah ditembus oleh minyak atau lemak di dalamnya.
Pemanasan biasanya dilakukan pada temperatur di atas 300 oC. Ada 2
(dua) jenis teknik rendering yang dikenal yaitu wet rendering dan dry
rendering, di mana ada penambahan air selama pengerjaan pada teknik wet
rendering, sedangkan dry rendering tidak. Hasil dari wet rendering harus
diuapkan lebih lanjut sebelum pemakaian sehingga kurang ekonomis,
sedangkan hasil dari dry rendering dapat langsung digunakan, namun
hasilnya lebih sedikit daripada wet rendering.

(ii) Pengepresan mekanik

Pengepresan mekanik merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak


terutama untuk bahan dari biji-bijian, di mana sebelum dilakukan
pengepresan terlebih dahulu biji-bijian harus dibersihkan dan ukurannya
diperkecil. Ada 2 (dua) macam pengepresan mekanik yaitu pengepresan
hidraulik dan pengepresan berulir. Pengepresan secara hidraulik
menggunakan tekanan tinggi yaitu 136 atm, di mana jumlah minyak atau
lemak yang dihasilkan bergantung pada lamanya pengepresan, tekanan
dan kandungan minyak dalam bahan tersebut. Cara berulir diawali dengan
proses pemasakan terhadap biji-bijian pada temperatur 120 oC dan tekanan
15 -20 atm.

(iii) Ekstraksi dengan pelarut

Prinsip dari proses ekstraksi adalah melarutkan minyak atau lemak dalam
pelarutnya, misalnya petroleum eter, karbon disulfida, karbon tetraklorida,
benzen dan n-heksan. Hasil yang diperoleh dari proses ini hampir sama
dengan yang dihasilkan dari teknik pengepresan berulir, karena sebagian
fraksi bukan minyak ikut terekstraksi. Ekstraksi tidak berpengaruh terhadap
komposisi dari trigliserida, tetapi berpengaruh terhadap jumlah dan sifat
alami dari beberapa komponen yang terdapat dalam jumlah kecil. Minyak
yang dihasilkan dengan cara ekstraksi pelarut dapat mencapai 99 % dari
total kandungan minyak.
27
3.2.2 Karakterisasi

Karakterisasi terhadap sifat fisik dan kimia bahan dasar penyusun


membran, yang pada umumnya berupa minyak dilakukan berdasarkan
standard yang diberikan oleh AOAC (David, 1995 dan Anonym, 1990).
Sedangkan yang berupa padatan tidak ada perlakuan khusus dan mengikuti
standar untuk minyak.
Dua sifat bahan penyusun membran yang sangat mempengaruhi kinerja
membran poliuretan adalah:

(i) Bilangan Iod

Didefinisikan sebagai jumlah gram I2 yang dapat mengadisi pada ikatan


rangkap, sehingga ikatan rangkap pecah. Tahapan kerjanya adalah sebagai
berikut:

a. Pembuatan larutan Hannus

Ke dalam labu Erlenmeyer 250 mL dimasukkan asam asetat glasial


sebanyak 41,25 mL, ditambahkan I2 sebanyak 0,68 gram, kemudian
dipanaskan, lalu didinginkan. Sebanyak 1,25 mL larutan ini dititrasi dengan
larutan Na2S2O3 0,1 N, sedangkan sisanya ditambahkan 10 mL larutan
asam asetat dan 0,3 mL Br2. Sebanyak 0,25 mL larutan ini ditambahkan
larutan KI 15% dan kembali dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N.

b. Penentuan bilangan iod

Sampel ditimbang sekitar 0,03 – 0,04 gram, kemudian dimasukkan ke


dalam labu Erlenmeyer. Ditambahkan 10 mL kloroform dan 30 mL larutan
Hanus. Sampel disimpan selama 30 menit di tempat gelap. Setelah itu
ditambahkan 10 mL larutan KI 15 % dan 100 mL aquadest. Larutan ditritrasi
dengan larutan natrium sulfat 0,1 N sampai terjadi perubahan warna
kekuning-kuningan. Ditambahkan 1-2 mL larutan amilum dan ditritrasi
kembali dengan larutan natrium sulfat 0,1 N sampai warna berubah menjadi
jernih. Cara yang sama dilakukan untuk blanko. Bilangan iod ditentukan
dengan menggunakan persamaan III.6.

(b – a) . N . 12,69 (III.6)
Bilangan iod (g/g) =
28
m

di mana:
b = mL natrium tiosulfat yang digunakan untuk menitrasi blanko
a = mL natriun tiosulfat untuk menitrasi sampel
N = konsentrasi natrium tiosulfat
m = berat sampel (gram)

(ii) Bilangan Hidroksi

Tahapan kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Pembuatan reagen asetilasi

Ke dalam labu Erlenmeyer 500 mL dimasukkan asam asetat anhidrat


sebanyak 44,5 mL, kemudian ditambahkan piridin sebanyak 350 mL,
diaduk sampai homogen.

b. Penentuan bilangan hidroksi

Bilangan hidroksi adalah jumlah mg gugus –OH bebas yang terdapat dalam
1 gram sampel. Sampel minyak jarak atau asam lemak sebanyak 2 gram
ditambahkan 4 mL reagen asetilasi, kemudian dipanaskan sampai suhu 98
o
C selama 2 jam, didinginkan pada temperatur kamar. Aquadest
ditambahkan sebanyak 6 mL, dibilas tutup dan dinding botol, kemudian
didiamkan selama 24 jam. Indikator pp 1% sebanyak 3-4 tetes ditambahkan
dan dititrasi dengan larutan KOH 0,5 N. Bilangan hidroksi (OH) ditentukan
dengan menggunakan persamaan III.7.

(b – a) . N . 56,1
Bilangan OH (mg/g) = ( III.7)
m

di mana:
b = mL KOH yang digunakan untuk menitrasi blanko
a = mL KOH untuk menitrasi sampel
N = konsentrasi KOH
m = berat sampel (gram)
29
Sifat-sifat lainnya kadangkala juga dibutuhkan dan juga mempengaruhi sifat
dan kinerja membran yang dihasilkan, diantaranya:

(iii) Penentuan Berat Jenis

Berat jenis adalah perbandingan berat minyak dengan air pada volume
yang sama pada suhu tersebut. Penentuan berat jenis adalah sebagai
berikut: piknometer dicuci dan dibersihkan, kemudian dicuci berturut-turut
dengan etanol dan etil eter. Bagian dalam piknometer tersebut dikeringkan
dan ditimbang beratnya (Wo). Berat piknometer yang ditambahkan dengan
aquadest ditimbang sebagai (W1) sambil menghindari adanya gelembung-
gelembung udara. Piknometer dicelupkan ke dalam penangas air pada suhu
25 oC ± 2 oC selama 30 menit, kemudian ditimbang kembali. Piknometer
tersebut dikosongkan, dicuci dengan etanol dan etil eter, kemudian
dikeringkan. Sampel minyak dimasukkan ke dalam piknometer dan hindari
adanya gelembung udara. Piknometer kembali dicelupkan ke dalam
penangas air pada suhu 25 oC ± 2 oC selama 30 menit, dikeringkan dan
ditimbang (W2). Setelah itu piknometer kosong setelah dibersihkan dan
dikeringkan, ditambahkan sampel minyak dan aquadest. Piknometer
tersebut kembali dicelupkan ke dalam penangas air pada suhu 25 oC ± 2 oC
selama 30 menit, dikeringkan dan ditimbang (W3). Untuk setiap
penimbangan berat dicatat. Penentuan berat jenis minyak dan asam lemak
digunakan persamaan III.8.
W2 – W 0
D = (DL – Da) + Da (III.8)
(W 1 - W 0) (W 3 – W 1)

di mana : D = berat jenis sampel


W2 = berat piknometer + sampel
W3 = berat piknometer + sampel + aquadest
W1 = berat piknometer + air
W0 = berat piknometer kosong
DL = berat jenis air
Da = berat jenis udara pada temperatur percobaan

30
(iv) Penentuan Indeks Bias

Metode ini didasarkan pada pengukuran langsung sudut bias minyak yang
dipertahankan pada suhu yang tetap. Penentuan dilakukan pada temperatur
20 oC, di mana air dari penangas termometerstatik disirkulasi melalui jacket
yang mengelilingi 2 prisma sampai stabil selama 10 menit. Suhu tidak boleh
berbeda lebih dari ± 2 oC dari suhu referensi dan tetap dipertahankan. Satu
tetes sampel diletakkan pada permukaan suatu prisma dan prisma dikunci.
Pengamatan dilakukan melalui kaca teleskop pertama dan tombol
disesuaikan agar bagian gelap dan terang tampak jelas melalui kaca
teleskop kedua. Perhitungan terhadap indeks bias dilakukan dengan
menggunakan persamaan III.9 :
Indeks bias:
nd’ = nd” + 0,0004 (t1 – t) (III.9)

di mana: nd’ = pembacaan yang dilakukan pada suhu pengerjaan t1


nd’” = indeks bias sampel pada suhu 20 oC
t = suhu referensi (20 oC)
0,0004 = faktor koreksi

(v) Penentuan Titik Didih

Pengukuran titik didih minyak didasarkan pada titik didih air pada tekanan 1
atm. Digunakan dua tabung yang tertutup pada salah satu bagiannya, di
mana salah satunya adalah kapiler titik didih yang mempunyai panjang 90 –
110 mm dan diameter 1 mm dan lainnya dengan panjang 80 – 100 mm dan
diameter 4-5 mm. Sampel sebanyak 0,25 – 0,5 mL ditambahkan ke dalam
tabung yang besar, pipa kapiler dimasukkan ke dalam cairan (sampel).
Termometer direkatkan pada dinding tabung dan kemudian dicelupkan
dalam penangas minyak yang temperaturnya dinaikkan secara teratur dan
perlahan-lahan. Titik didih ditandai dengan keluarnya gelembung secara
cepat dan kontinu pada ujung pipa kapiler, dan pembacaan dilakukan pada
termometer.

(vi) Putaran Optik

Sampel ditambahkan Na2SO4 agar kering, kemudian disaring dan


dimasukkan ke dalam tabung polarimeter 100 mm serta diletakkan di antara
polarizer dan analiser. Secara perlahan-lahan analiser diputar sampai
31
setengahnya dapat dilihat melalui teleskop, dan intensitas sinarnya sama
dengan penerangan. Pada pengaturan yang sesuai, dapat dilihat arah rotasi
ke kanan atau ke kiri berdasarkan intensitas penerangan dari kedua bagian
bidang.
Arah rotasi kemudian ditentukan, apabila analiser berputar berlawanan
arah dengan jarum jam dari titik nol disebut laevo (-), sedangkan jika searah
dengan jarum jam disebut dekstro (+). Jika arah rotasi telah ditentukan,
analiser diatur kembali sampai didapatkan intensitas penerangan yang
sama dari kedua bagian bidang. Kemudian diamati lewat teleskop sambil
memutar tombol analiser, sehingga garis antara kedua bidang tersebut
menjadi jelas dan tajam, dan selanjutnya dapat dibaca nilai derajat dan
menitnya. Pembacaan yang ke dua dapat dilakukan dengan syarat
penyimpangan tidak boleh lebih dari ± 5’ dari pembacaan pertama.

(vii) Bilangan Asam

Bilangan asam didefinisikan sebagai jumlah mg KOH yang dibutuhkan


untuk menetralkan asam lemak bebas dalam 1 gram minyak atau lemak.

Minyak sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 mL.


Etanol 95% sebanyak 50 mL ditambahkan ke dalam sampel, kemudian
larutan fenoftalein 1% dalam alkohol diteteskan sebanyak 2- 3 tetes. Asam
lemak bebas dititrasi dengan larutan standar KOH 0,1 N sambil digoyang
agar homogen. Warna merah yang timbul pertama kali dan tidak hilang
selama 100 detik menunjukkan titik akhir titrasi. Perhitungan dapat
dilakukan dengan menggunakan persamaan III.10.

(a – b) . N . 56,1 (III.10)
Bilangan Asam (mg/g) = =
m

di mana:
a = mL KOH untuk menitrasi sampel
b = mL KOH yang digunakan untuk menitrasi blanko
N = konsentrasi KOH
m = berat sampel (gram)

32
(viii) Bilangan Penyabunan

Bilangan penyabunan adalah banyaknya KOH yang dinyatakan dalam mg,


yang diperlukan untuk menyabunkan 1 gram minyak atau lemak.

Minyak sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 mL.


Larutan KOH 0,5 N sebanyak 50 mL di tambahkan ke dalam etanol 95%,
dipanaskan selama 1,5 sampai 2 jam, didinginkan, dan ditambahkan
aquadest sebanyak 10 mL serta 2-3 tetes larutan fenoftalein 1% dalam
alkohol. Sampel kemudian dititrasi dengan larutan standar HCl 0,5 N sambil
digoyang agar homogen sampai warna merah yang timbul hilang yang
menunjukkan titik akhir titrasi. Bilangan penyabunan dapat ditentukan
dengan menggunakan persamaan III.11.

(b – a) . 28,85
Bilangan Penyabunan (mg/g) = (III.11)
m

di mana:
b = mL H2SO4 yang digunakan untuk menitrasi blanko
a = mL H2SO4 untuk menitrasi sampel
m = berat sampel (gram)

(ix) Bilangan Ester

Bilangan yang menyatakan jumlah mg KOH yang diperlukan untuk


menyabunkan ester netral dalam 1 gram lemak/minyak, atau sama dengan
bilangan penyabunan dikurangi bilangan asam.

(x) Penentuan Struktur Minyak dan Karagenan

(a) Spektrum Infra Merah

Penentuan struktur minyak atau bahan dasar lainnya dengan menggunakan


alat FTIR dapat dilakukan secara langsung, yaitu dengan cara meneteskan
sampel setipis mungkin (0,01 – 0,05 mm) pada permukaan holder.
Kemudian holder dimasukkan ke dalam compartement dan pengamatan
spektrum IR dapat dilakukan.

33
(b) Gas Kromatografi – Spektroskopi Masa (GC-MS)
Sampel yang terdiri dari minyak yang murni dianalisa untuk setiap rentang
waktu dengan menggunakan alat kromatografi gas yang dihubungkan
dengan alat spektroskopi massa melalui suatu interfase. Sampel sebanyak
1 μL disuntik pada alat GC, kemudian dibawa oleh gas pembawa (carrier
gas ) helium (He) dengan kecepatan 12 cc/menit, dan terjadi pemisahan
pada kolom yang berdimensi 30 x 0,25 mm x 0,25 μm.. Fasa diam berupa
fenil metil siloksan 5 % dengan temperatur inlet 250 oC. Dalam waktu yang
sangat cepat, spektroskopi massa dapat mengelusi puncak tunggal dari
sampel yang keluar dari GC dan pengamatan lewat komputer dapat
dilakukan. Persen kelimpahan dan jenis senyawa
ditentukan dari data hasil analisis GC-MS, yaitu dari luas puncak-puncak
yang ada. Pada puncak-puncak tersebut tampak waktu retensinya, dari
waktu retensi tersebut didapat pola fragmentasinya, kemudian dicocokkan
dengan pola fragmentasi senyawa standar yang ada pada data base.

34
BAB 4 CASTOR OIL

4.1 Tumbuhan Jarak Ricinus communis L.


Minyak jarak didapatkan dari biji tumbuhan jarak Ricinus communis L.yang
merupakan salah satu famili Euphorbiaceae. Tumbuhan ini merupakan
tumbuhan yang berbentuk perdu dengan tinggi pohon 3 –5 m, serta
berbunga majemuk (lihat Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Tumbuhan jarak Ricinus communis L.


Biji tumbuhan jarak bersifat keras, berbentuk lonjong, berwarna cokelat dan
berbintik hitam, sedangkan minyak yang dihasilkan berwarna kuning pucat
(lihat Gambar 4.2). Biji jarak yang dalam bidang farmasi dikenal sebagai
semen risin, berkasiat sebagai obat urus-urus, furgative, sakit kepala,
telinga, kulit, anti reumatik dan sebagainya. Sedangkan dalam industri
besar minyak jarak banyak digunakan sebagai pelumas, pembersih, tekstil,
kosmetik, pelapis dan plastik (ASTM, 1976; James, 1985; Eduardo, 1951;
Rizk & Al-Nowaihi, 1989).
Semua bagian tumbuhan ini khusus bijinya adalah racun bagi manusia
dan hewan, karena mengandung fitotoksin yaitu suatu jenis protein globulin
dan alkoloid ricinin (ASTM, 1976; James, 1985, Jayant, 2003). Racun ini
bekerja sangat kuat dan memiliki kemampuan koagulasi yang luar biasa
serta dapat menyebabkan trombosis, sehingga tidak mempunyai rasa dan
lebih ganas dari arsenit, namun racun ini akan hilang bila dipanaskan
(ASTM, 1976).

35
4.2 Castor Oil
Kebutuhan minyak jarak dunia terus meningkat sesuai dengan kemajuan
industri. Dari tahun 1995 sampai tahun 2000 kenaikan kebutuhannya
sebesar 3,75 % per tahun. Persentasi ini akan terus meningkat jika
mempertimbangkan ketersediaan gas bumi yang semakin berkurang.
Indonesia telah memproduksi minyak jarak sejak zaman penjajahan
Belanda yang diekspor sebagai bahan baku pelumas. Pada masa
penjajahan Jepang, rakyat Indonesia dipaksa menanam jarak untuk
produksi pelumas kebutuhan Jepang. Konsumen minyak pelumas dunia
cenderung menggunakan minyak pelumas nabati karena meskipun
harganya mahal namun kinerjanya lebih baik dibanding minyak pelumas
dari minyak bumi (Anonimous, 2002 dan Adjid dkk., 1999). Minyak jarak
pada umumnya digunakan sebagai minyak pelumas pesawat terbang,
peluncur roket, mesin-mesin berat dan otomotif (ASTM, 1976).

Gambar 4.2 Biji dan minyak jarak (castor oil)

Hasil analisa terhadap minyak jarak (castor oil) yaitu minyak hasil
pemecahan (crushing) biji jarak didapatkan bahwa minyak tersebut
mengandung asam-asam risinolein, dihidroksi stearat, oleat, linoleat dan
stearat. Kandungan minyak dalam biji jarak mencapai 45 – 54,6 %,
senyawa atsiri 5,1 – 5,6 % dan protein 12 – 16 % (ASTM, 1976) . Minyak
jarak mengandung trigliserida atau ester gliserin dari asam risinolein (80 –

36
90%) yang berfungsi sebagai bahan aktif dalam obat (Eduardo, 1951; Rizk
& Al-Nowaihi, 1989). Struktur kimia minyak jarak dapat dilihat pada Gambar
4.3 (ASTM, 1976).

Berdasarkan berbagai varietas yang diteliti, komposisi minyak jarak dapat


dikatakan konstan. Menurut American Oil Standard Chemical Society
(AOSCS) dan Oil and Fat in Official Methods of Analysis of AOAC
International karakteristik minyak jarak adalah seperti yang tampak pada
tabel 4. 1.

Tabel 4.1 Karakteristik sifat fisiko-kimia minyak jarak (Castor Oil)

Sifat Fisiko Kimia Nilai


Berat jenis, 25oC/25oC 0,945 - 0,965
Indeks Bias, 25 oC 1,473 – 1,477
Angka Iodin (Wijs), g/g 81 -91
Angka Penyabunan, mg/g 178 - 187
Bahan tak tersabunkan, mg/g < 1,0
Angka Asetil, mg/g 144 - 150

Minyak jarak (kastor) tidak larut dalam petroleum dan minyak mineral
lainnya, namun larut sempurna dalam alkohol pada temperatur kamar dan
pelarut polar lainnya. Minyak jarak mempunyai warna yang bervariasi
tergantung pada cara mendapatkannya, biasanya berwarna kuning pucat,
sangat kental dan mempunyai bau khas. Bila dipanaskan sekitar 300 oC
selama beberapa jam, maka minyak tersebut akan terpolimerisasi dan
akan larut dalam minyak mineral serta dapat digunakan sebagai minyak
pelumas (ASTM, 1976).

37
H H H

H C C C H
O O O

O C C O C O Gugus Ester
H C H H C H H C H

H C H H C H H C H

H C H H C H H C H

H C H H C H H C H

H C H H C H H C H

H C H H C H H C H

H C H H C H H C H

HC HC HC
Ikatan rangkap
HC HC HC

H C H H C H H C H

HC OH HC OH HC OH

H C H H C H H C H

H C H H C H H C H
Gugus Hidroksil
H C H H C H H C H

H C H H C H H C H

H C H H C H H C H

H C H H C H H C H

H H H

Gambar 4.3 Struktur kimia minyak jarak


Sumber: ASTM, 1976

Gambar 4.4 menunjukkan spektrum inframerah minyak jarak hasil sokletasi


biji jarak jenis Ricinnus Communis L. Puncak serapan dari beberapa gugus
fungsi dalam minyak jarak hasil sokletasi disimpulkan pada Tabel 4.2.
Serapan kuat IR dari asam lemak bebas dalam minyak jarak yaitu
serapan terhadap gugus karbonil C=O yang terjadi pada bilangan
gelombang 1759 cm-1.

38
3156
1759
2898
1565

Gambar 4.4 Spektrum IR minyak jarak (Castor Oil) hasil sokletasi

Tabel 4.2 Puncak serapan terhadap gugus fungsi dari minyak jarak
Bil. Gelombang (cm-1) Gugus Fungsi Intesitas Serapan
3156 -OH Tajam
2898 -CH ulur Tajam
1759 -C=O Tajam
1565 -C=C- Tajam

Bilangan iod yang menunjukkan jumlah ikatan rangkap dalam minyak


mempunyai harga yang sesuai dengan harga yang ditetapkan, yaitu 87,1
g/g. Dari Gambar 4.4 tampak adanya intensitas absorpsi yang tajam dari
ikatan rangkap yaitu pada bilangan gelombang 1500 - 1600 cm-1. Dari hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa minyak jarak hasil sokhletasi memiliki
jumlah ikatan rangkap yang sama dengan minyak standard.

Minyak jarak hasil sokletasi mempunyai bilangan hidroksi yang masih


termasuk dalam daerah yang ditetapkan, yaitu 162,2 mg/g. Spektrum
inframerah (IR) dari minyak jarak hasil sokletasi menunjukkan hasil yang
signifikan untuk nilai bilangan hidroksil tersebut, yaitu adanya serapan
spesifik yang tajam terhadap gugus hidroksil pada bilangan gelombang
3100 - 3300 cm-1.

39
Gambar 4.5 Kromatogram minyak jarak hasil sokletasi

Gambar 4.5 menunjukkan kromatogram minyak jarak hasil sokletasi yang


dianalisa menggunakan alat khromatografi gas-spektroskopi masa (GC-
MS). Hasil analisa kromatogram memperlihatkan adanya 4 (empat) puncak
tertinggi yang terjadi pada waktu retensi 18,4; 19,12; 20,3; 21,2 detik,
yang mana dari spektroskopi massanya diketahui sebagai asam-asam
lemak bebas, seperti asam oleat, linoleat, risinoleat dan palmitat. Hal ini
dapat dimengerti karena minyak jarak memang mengandung sebagian
bahan-bahan tersebut.

Gambar 4.6 Data spektroskopi massa asam risinoleat dalam minyak


jarak hasil sokletasi

Asam risinoleat yang merupakan komponen utama dalam minyak jarak


jenis ini seharusnya mempunyai jumlah yang besar yaitu 87%, akan tetapi
dalam penelitian ini rendemen kelimpahannya hanya sekitar 77,9 %
dengan m/z 280, sedangkan asam-asam lemak lainnya seperti asam

40
palmitat mempunyai persen kelimpahan sebesar 8,1 dengan m/z 256,
asam linoleat sebesar 8,78 dengan m/z 280, dan asam oleat sebesar 2,3
dengan m/z 282. Data spektroskopi massa dari asam risinoleat yang
terkandung dalam minyak jarak, yang dihasilkan pada waktu retensi 20,27
detik dengan m/z 280 dapat dilihat pada Gambar 4.6.

Hasil analisis kromatografi GC-MS minyak jarak campuran disimpulkan


pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Data hasil analisis kromatografi GC-MS minyak jarak

Waktu Retensi (detik) m/z % Kelimpahan Senyawa

18,4 282 2,3 Asam Oleat

19,12 280 8,78 Asam Linoleat

20,3 280 77,9 Asam Risinoleat

21,2 256 8,1 Asam Palmitat

22,1 - 3 Tidak dikenal

Dari hasil analisis terhadap minyak jarak hasil sokhletasi di atas dapat
disimpulkan bahwa minyak jarak campuran tersebut mempunyai kualitas
yang sesuai seperti yang disyaratkan oleh standard AOAC dan ASTM.
Dari sifat fisiko-kimianya, yaitu dari bilangan iod dan bilangan hidroksi yang
cukup besar, maka dapat diketahui bahwa minyak jarak hasil sokletasi
tersebut dapat digunakan sebagai bahan dasar pada pembuatan membran
poliuretan.

4.3 Pembuatan Membran Poliuretan

Menurut Dombro (1963) dan Kusakabe (1998), diketahui bahwa


perbandingan komposisi bahan dasar dan TDI adalah 1:1 (bagian/bagian)
dan direaksikan pada temperatur kamar. Sebelum diterapkan pada proses
desalinasi air laut, maka pengujian kinerja dan sifat kualitatif membran PU
yang dihasilkan dilakukan dengan proses ultrafiltrasi dengan menggunakan
aqua DM dan laurutan gula, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.4.

41
Tabel 4.4 Kinerja dan sifat kualitatif membran PU dari minyak jarak

Kinerja
Komposisi
OH : TDI
Fluks Faktor Sifat Kualitatif Membran
(mol/mol)
(L/m2 jam) Rejeksi
(%)
Lembut, transparan, kurang
1 : 0.5
15,34 27,17 homogen
Elastis, transparan, kurang
1 : 0.75 16,13 31,87 homogen
1: 1.0 17,81 23,78 Elastis, transparan, homogen
Kaku, transparan, kurang
1 : 1.25 9,23 47,12 homogen

Tabel 4.4 menunjukkan membran PU yang dihasilkan dari minyak jarak


hasil sokletasi pada komposisi 1 : 1 (mol/mol) mempunyai sifat yang
elastis, transparan dan homogen, namun masih mudah sobek (tidak kuat),
kinerja yang dihasilkan adalah fluks sebesar 17,8 L/m2 jam dan faktor
rejeksi 23,8 %. Pada konsentrasi TDI > 1 membran yang dihasilkan kaku,
transparan dan kurang homogen, hal ini menyebabkan kinerja membran
menurun. Sedangkan bila konsentrasi TDI < 1 maka membran PU yang
dihasilkan lembut dan kurang homogen, serta mempunyai kinerja yang
kurang baik. Hasil ini menunjukkan bahwa minyak komersial dapat
digunakan sebagai bahan dasar pembuatan membran PU.

Mekanisme reaksi polimerisasi pembuatan membran PU dari minyak jarak


dapat dilihat pada Gambar 4.7..

OH CH 3
3 H 3C O +
OCN NCO
O
OH

TDI

O H CH 3
H O

O C N N C O
O
H 3C O

O C N N C OH
CH 3H
O H O

Gambar 4.7 Mekanisme reaksi pembuatan membran PU dari minyak jarak


dan TDI

42
Membran yang dihasilkan dari minyak jarak hasil sokletasi pada berbagai
komposisi di atas kemudian disintesis berdasarkan pengaruh temperatur
dan waktu reaksi. Tujuan dari tahap ini adalah untuk meningkatkan sifat
mekanik dan kinerja membran, karena pada tahap di atas membran yang
dihasilkan pada berbagai komposisi belum mempunyai kekuatan yang
memadai untuk diaplikasikan pada proses osmosa balik. Tabel 4.5
menunjukkan sifat membran PU yang dihasilkan dari berbagai variasi
temperatur dan waktu reaksi.

Dari Tabel 4,5 tampak bahwa membran yang dihasilkan pada temperatur
di bawah 100 oC bersifat rapuh, tidak homogen dan kaku untuk membran
yang disintesis pada komposisi OH : NCO > 1 mol/mol. Larutan dope yang
dihasilkan pada temperatur di bawah temperatur tersebut masih encer
sehingga agak sulit untuk dicetak. Pada temperatur ini diperkirakan proses
polimerisasi belum berlangsung dengan sempurna, karena membran yang
dihasilkan tidak bersifat homogen. Warna coklat yang dihasilkan oleh
membran ini disebabkan karena perubahan yang tidak sempurna dari
minyak jarak dan TDI.

Membran yang dihasilkan pada temperatur 120 oC dan waktu reaksi 15


menit bersifat elastis, homogen dan kuat, pada temperatur ini diperkirakan
reaksi polimerisasi telah berlangsung dengan sempurna, karena membran
yang dihasilkan homogen, sehingga membran yang dihasilkan bersifat kuat
dan tidak rapuh. Warna coklat yang timbul akibat pengaruh panas hilang
bersamaan dengan saling melarutnya monomer sampai reaksi berlangsung
sempurna selama 15 menit. Membran yang dihasilkan bersifat bening dan
transparan, berbeda dengan membran yang dihasilkan pada temperatur di
bawah 100 oC. Dari Tabel 4.5 tampak bahwa membran yang disintesis
pada komposisi 1 : 1 (mol/mol), menunjukkan penurunan sifat mekanik,
sebaliknya membran yang dihasilkan dengan komposisi 1,0 : 0,5 (mol/mol)
menghasilkan sifat mekanik yang baik. Kondisi ini merupakan kondisi
optimum pada pembuatan membran PU dari minyak jarak dari semua
perlakuan.

Pada temperatur 140 oC dan pada waktu pengadukan 5 menit, poliuretan


yang terbentuk berupa film keras dan kaku. Hal ini disebabkan karena
semakin tinggi temperatur maka gugus –NCO dari TDI semakin reaktif
sehingga semakin banyak ikatan silang yang terbentuk. Pada waktu
pengadukan 10 dan 15 menit, PU yang dihasilkan bukan berupa film atau

43
membran tipis lagi, tetapi berupa busa yang kekerasannya meningkat
dengan meningkatnya temperatur dan waktu reaksi. Pada waktu
pengadukan 10 menit langsung membentuk busa lembut, sedangkan pada
waktu pengadukan 15 menit busa yang terbentuk padat, keras dan kaku
karena semakin banyak oksigen yang terperangkap.

Dari Tabel 4.5 juga dapat dilihat bahwa temperatur transisi gelas (Tg) naik
dengan naiknya kandungan –NCO dan waktu polimerisasi, hal ini
disebabkan karena semakin banyak cincin aromatis yang diberikan oleh
isosianat maka semakin tinggi temperatur yang dibutuhkan untuk
mengubah fasa polimer. Tetapi kenaikan kandungan gugus –NCO tidak
signifikan dengan sifat mekanik yang dihasilkan, karena pada tahap awal
penambahan gugus –NCO menaikkan sifat mekanik, tetapi kelebihan
gugus tersebut membuat sifat mekaniknya menurun pada saat membentuk
busa lembut, meningkat pada saat membentuk film keras, dan kembali
turun pada saat membentuk busa keras (bersifat getas).

Tabel 4.5: Variasi temperatur dan waktu pada pembuatan membran PU dari
minyak jarak
T t
o
( C) (men) Karakteristik OH : NCO (mol/mol)

1,0 : 0,5 1,0 : 0,8 1,0 : 1,0 1,0 : 1,2


o
60 5 Tg ( C) * * 47,3 60,2

Sifat Kualitatif E E L L
o
10 Tg ( C) * 45,2 47,9 61,1

Sifat Kualitatif E SL L L
o
15 Tg ( C) 44,1 46,5 48 69,7

Sifat Kualitatif SL L L BL
o
80 5 Tg ( C) * 45,8 48,6 63,2

Sifat Kualitatif E L L BL
o
10 Tg ( C) * 48,6 56,8 70,6

Sifat Kualitatif SL L L BK
o
15 Tg ( C) 55,7 57 58,1 81,1

44
Sifat Kualitatif L L L BK
o
100 5 Tg ( C) 63,4 66,2 68,4 73,6

Sifat Kualitatif TH TH TH BK
o
10 Tg ( C) 68,7 7,1 72,3 76.2

Sifat Kualitatif KH KH KH BK
o
15 Tg ( C) 71,7 72,6 74,4 88,3

Sifat Kualitatif HH H H BK
o
120 5 Tg ( C) 74,2 75,9 77,8 79,8

Sifat Kualitatif H H EL,K BK


o
10 Tg ( C) 77,4 78,6 80,1 92,4

Sifat Kualitatif H EL, Kk EL, K BK


o
15 Tg ( C) 84,7 92,3 96,2 101,6

Sifat Kualitatif E, K E, K E, H BK
o
140 5 Tg ( C) 83,2 86,9 91,4 98,3

Sifat Kualitatif BL BL BK R
o
10 Tg ( C) 84,9 87,3 93,8 101,3

Sifat Kualitatif F, K F, K BK R
o
15 Tg ( C) 85,1 89,8 94,2 103,7

Sifat Kualitatif BK BK, G G G

Keterangan:
BK : Busa keras
BL : Busa lembut
E : Encer, untuk larutan dope
EL : Elastis
F : Film
G : Getas
H : Homogen
HH : Hampir homogen
K : Kuat

45
Kk : Kurang kuat
R : Rapuh
* : Tidak dianalisis

Semakin lama waktu reaksi maka semakin banyak ikatan yang terbentuk,
sehingga semakin tinggi temperatur yang dibutuhkan untuk memutuskan
ikatan-ikatan tersebut, dengan kata lain sifat mekaniknya juga semakin
meningkat.

Proses polimerisasi pada pembuatan membran poliuretan sangat


dipengaruhi oleh konsentrasi monomer, dalam hal ini minyak jarak serta
TDI sebagai sumber isosianat. Dari tahap tahap ini dapat disimpulkan
bahwa kondisi optimum untuk sintesis membran PU dari minyak jarak
dengan TDI pada komposisi 1,0 : 0,5 (mol/mol) yaitu pada temperatur 120
o
C dan waktu reaksi 15 menit, Membran optimum tersebut selanjutnya
digunakan untuk penentuan sifat termal, mekanik dan kimia (dari analisis
spectrum IR).

4.4 Karakterisasi Membran PU

4.4.1 Sifat Kimia

Sifat kimia yang dihasilkan dari minyak jarak dikarakterisasi menggunakan


alat spektroskopi inframerah. Gambar 4.8 merupakan spektrum IR
membran PU dari minyak jarak.

%T

46
(b)

3119

3357

1704

3191 (a)
1587
3351

1721
1598
4000 3000 2000 1000 cm-1

Gambar 4.8 Spektrum IR membran PU dari minyak jarak(a) dan PU


standar (b)

Hasil analisis spektra IR menunjukkan bahwa serapan untuk gugus fungsi


–NCO pada bilangan gelombang 2280 cm-1 telah hilang, sehingga
membran ini aman untuk digunakan pada proses osmosa balik.

Dari spektrum tersebut tampak bahwa uretan telah terbentuk, yaitu dengan
terbentuknya ikatan N-H pada bilangan gelombang 3400 dan 1500-an cm-1,
dan hilangnya gugus -NCO dari TDI pada bilangan gelombang 2280 cm-1 .
Spektra IR dari membran tersebut di atas hampir mirip dari spektrum IR
dari PU standard (lihat Gambar 4.8b).

47
Tabel 4.6 Puncak serapan gugus fungsi pada membran PU dari minyak
jarak
Bil. Gelombang Gugus Intesitas
Membran -1
(cm ) Fungsi Serapan
3146 -OH lemah
- -NCO -
dari minyak jarak
3306/1531 -NH tajam
1721 -C=O tajam

Gambar 4.8a memperlihatkan spektrum IR membran PU dari minyak jarak,


di mana reaksi masih kurang sempurna karena serapan gugus –OH pada
3200 cm-1 masih muncul walaupun gugus –NCO telah hilang pada 2280
cm-1.

Membran PU yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan hasil


polimerisasi satu tahap, artinya proses sintesis dilakukan dengan cara
mencampurkan monomer-monomer tanpa proses perpanjangan rantai
terlebih dahulu dengan menggunakan chain extender (Huang dan Zhang,
2002). Akibat adanya ikatan hidrogen antar molekul gugus uretan di atas
maka terjadi pergeseran bilangan gelombang ke bilangan gelombang yang
kecil.

4.4.2 Sifat Fisik

Membran yang diperoleh di atas dikarakterisasi sifat fisiknya yaitu


penentuan titik transisi gelasnya (Tg) menggunakan alat DTA, derajat
kristalinitas menggunakan alat XRD, uji tarik serta morfologi membran.
o
Nilai Tg dan Td membran Pu dari minyak jarak adalah 86,5 ( C) dan
453,1 (oC).

Persen kristalinitas dari membran PU dari minyak jarak adalah sebesar


67,8 %, dan dapat disimpulkan bahwa membran bersifat semi kristalin.
Membran dengan persen kristalinitas yang relatif besar bersifat lebih keras
dan kurang fleksibel, sehingga cocok untuk digunakan pada proses RO

48
yang menerapkan tekanan tinggi. Namun membran untuk proses RO,
persen kristlalinitasnya tidak boleh terlalu tinggi karena aplikasi pada
tekanan yang lebih tinggi dapat menyebabkan keretakan, namun tidak
boleh juga terlalu fleksibel karena pada tekanan tinggi polimer akan
menjadi lembut akibat kenaikan temperatur lokal, sehingga terjadi lelehan
local (Ward, 1983).

Hasil uji tarik terhadap membran PU dari minyak jarak (Gambar 4.9)
mempunyai regangan yang besar dan tegangan lebih kecil, hal ini
disebabkan oleh gugus –OH aktif dan rantai karbon dari minyak jarak
berjumlah sangat banyak. Dari hasil pengukuran, sifat mekanik membran
PU dari minyak jarak tersebut dapat disimpulkan bahwa membran PU dari
minyak jarak bersifat lebih elastis, fleksibel, dan lebih.

Pengamatan dengan menggunakan alat scanning electron microscope


(SEM) dilakukan untuk mengetahui morfologi dari membran PU yang
berasal dari minyak jarak (Gambar 4.10). Karakterisasi ini dilakukan pada
pembesaran yang kecil karena ketahanan membran terhadap energi
elektron rendah. Mengingat membran yang dihasilkan adalah membran
RO, maka pori-pori membran tidak terlihat pada foto SEM.

Tegangan (MPa)

300 a

250

200

150

49
100

50

0 1 2 3 4 5 6
Regangan (%)
Gambar 4.9 Kurva tegangan-regangan membran PU dari minyak jarak

Dari Gambar 4.10 tampak permukaan membran PU dari minyak jarak (a)
dan (b) adalah penampang lintangnya sebelum diaplikasikan pada proses
RO. Sedangkan (c) dan (d) adalah permukaan dan penampang lintang
membran setelah pemakaian pada proses RO, setelah pemakaian ulang
sebanyak 5 kali masing-masing 1 jam, dan setelah aplikasi 100 jam. Pada
gambar-gambar tersebut dapat dilihat bahwa sebelum dan setelah proses
RO permukaan membran tetap rata, homogen dan halus tanpa pori. Hal ini
menunjukkan tidak tejadinya deformasi permukaan membran selama
penerapan tekanan tinggi dalam waktu yang pada proses RO, sehingga
dapat disimpulkan bahwa membran PU dari minyak jarak mempunyai
ketahanan yang baik terhadap tekanan dan dapat diaplikasikan pada
proses RO. Hal ini sama dengan membran PU yang didapatkan oleh Zhou
et al., 2003. Dari morfologi penampang lintangnya dapat disimpulkan
bahwa membran PU ini mempunyai struktur simetri, di mana bagian atas
permukaan dan bagian bawahnya mempunyai struktur yang sama.

(a) (b)

50

b
(c) (d)

Gambar 4.10 Morfologi membran PU dari minyak jarak (a) permukaan (b)
penampang lintang sebelum aplikasi pada RO, (c) permukaan
penampang lintang setelah 5 x aplikasi pada RO selama waktu 1
jam dan 100 jam

4.5. Proses Osmosis Balik (Reverse Osmosis)

Pada tahap awal di atas (poin 4.3), membran PU yang dihasilkan dari
minyak jarak dengan berbagai perlakuan diaplikasikan pada proses
ultrafiltrasi dengan menggunakan aqua DM sebagai umpan pada tekanan
3, 5 dan 7 atm. Hasil pengujian dilakukan selama 30 menit menunjukkan
bahwa permeabilitas membran terhadap air dan faktor rejeksinya secara
umum sangat rendah, yaitu < 50 % (tabel 4.4). Dari hasil tersebut
disimpulkan bahwa membran-membran tersebut tidak cocok digunakan
pada proses ultrafiltrasi karena pori-pori membran terlalu kecil, oleh
karenanya membran PU tersebut akan diterapkan pada proses RO karena
tekanan yang dapat diaplikasikan lebih besar.

Pada penelitian ini yang digunakan sebagai gaya dorong (driving force)
adalah perbedaan tekanan yaitu 10, 15 dan 20 kgf/cm2 pada temperatur
ruang menggunakan umpan aqua DM dan larutan NaCl 2500 ppm,
sedangkan untuk air laut dilakukan pada tekanan 20 kgf/cm2 yang
merupakan tekanan maksimum.

51
46

44
Fluks (L/m2Jam)
42

40

38

36
0 5 10
Gambar 4.11 Fluks membran PU dari minyak jarak
15 20
Tekanan (kgf/cm2)

Fluks (L/m2Jam)
Rejeksi (%)
70
60
50
Rejeksi (%)

40
30
Rejek
20
10 4.12 Faktor rejeksi membran PU dari minyak jarak
Gambar
0
0
Gambar 4.11 menunjukkan 10 membran20
permeabilitas PU dari minyak30
jarak
terhadap umpan aqua DM, sedangkan Gambar 4.12 adalah persen rejeksi
membran PU tersebut terhadap larutan Tekanan (kgf/cm 2)
garam NaCl 2500 ppm. Dari
gambar tersebut tampak bahwa fluks membran naik dengan naiknya
tekanan operasi, demikian juga faktor rejeksi yang meningkat dengan

52
meningkatnya tekanan yang diterapkan. Namun pada suatu keadaan,
peningkatan beda tekanan tidak lagi meningkatkan fluks. Fluks pada
keadaan ini disebut fluks pembatas.

Dari fenomena pemisahan, dapat diperkirakan faktor rejeksi akan konstan


atau bahkan menurun pada tekanan yang lebih tinggi setelah nilai
optimum dicapai, hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena membran
telah mengalami kejenuhan, di mana pori-pori membran telah terisi oleh
molekul-molekul garam, sehingga terjadi polarisasi konsentrasi pada
permukaan membran. Bila dibandingkan dengan membran selulosa asetat
(CA) yang sudah sering digunakan untuk desalinasi air laut dengan proses
RO, maka faktor rejeksi dari membran PU ini lebih kecil, hal ini disebabkan
oleh ukuran dan distribusi pori membran yang tidak merata, sehingga
masih ada molekul garam yang melewati membran. Menurut
Bhattacharyya dan Williams (1992), proses desalinasi larutan NaCl 50.000
ppm pada tekanan 8 MPa menggunakan membran CA dengan proses
osmosa balik mempunyai fluks sebesar 9,17 x 104 cm3/cm2 detik dan
koefisien rejeksi sebesar 98 %.

Hasil penelitian menunjukkan kondisi optimum didapatkan pada tekanan 20


kgf/cm2 untuk membran yang berasal dari komposisi 1:0,5 (mol/mol), di
mana fluks optimumnya adalah 45 L/m2 jam dengan faktor rejeksi terhadap
larutan NaCl 2500 ppm adalah sebesar 63 %.

Penerapan membran PU optimum dari minyak jarak untuk desalinasi


larutan NaCl menunjukkan bahwa membran ini mempunyai sifat yang
relatif stabil, artinya fluks dan faktor rejeksinya tidak berubah setelah
aplikasi pada proses RO untuk jangka waktu yang lama (100 jam) dan
tekanan yang tinggi (20 kgf/cm2).

53
BAB 5 JATROPHA OIL

5.1. Tumbuhan Jarak Jatropha curcas


Jarak pagar (Jotropha curcas) merupakan tanaman tahunan yang tahan
kekeringan dan termasuk dalam family Euphorbiaceae. Jarak pagar
termasuk dalam tipe tanaman perdu besar, dengan tinggi dapat mencapai 4
meter. Batang tanaman ini mempunyai percabangan yang tidak beraturan.
Batang tanaman yang masih muda bergetah jernih. Warna batang muda
hijau, sedangkan warna batang tua cokelat. Daunnya lebar berbentuk
jantung, bertangkai panjang. Bunganya berbentuk cawan, terdiri atas bunga
jantan dan bunga betina, berwarna hijau kekuningan. Buahnya berwarna
hijau ketika muda dan akan menjadi kehitaman kalau sudah tua dan kering.
Buahnya mengadung tiga rongga, di mana setiap rongganya berisi satu biji.
Bijinya berbentuk bundar lonjong dan berwarna hitam.

Gambar 5.1. Tumbuhan jarak (Jatropha curcas L).

5.2 Jatropha Oil

Minyak jarak dapat dihasilkan dengan cara mengekstrak biji jarak dengan
menggunakan pelarut organik. Hasil ekstraksi tersebut dapat mencapai 50
% dari total berat biji. Seperti jenis minyak lainnya, minyak jarak juga
merupakan trigliserida yang mengandung tiga gugus fungsi, yaitu ester,
hidroksil dan ikatan rangkap (Marlina, 2007).

54
Gambar 5.2. Biji dan minyak jarak (Jatropha oil)

Minyak jarak ini dikenal sebagai curcas oil, oil of Palma Christi, tangan-
tangan oil, dan neoloid. Minyak jarak merupakan trigliserida dari berbagai
asam lemak yang terdiri atas oleat, linoleat, palmitat, stearat, dan sejumlah
kecil dihidroksistearat (James, 1985).

Berdasarkan berbagai varietas yang diteliti, komposisi minyak jarak dapat


dikatakan konstan. Menurut ASTM, karakteristik minyak jarak adalah seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Karakteristik sifat fisiko-kimia minyak jarak Jatropha oil)


Sifat Fisiko Kimia Nilai
Berat jenis, 25oC/25oC 0,957 - 0,961
Indeks Bias, 25 oC 1,4764 – 1,4778
Bilangan Iod, g/g 81 -91
Bilangan asam, mg/g 176-187
Angka Asetil, mg/g 144 – 150
o
Titik Didih, C 256
Bilangan Hidroksi, mg/g 161-169
Bilangan penyabunan, mg/g 176-187

Sumber: ASTM, 1976.

55
Struktur kimia minyak jarak jatropha oil ditunjukkan pada Gambar 5.3.

O
O
O

Gambar 5.3. Struktur minyak jarak

Minyak jarak (Jatropha oil) dapat digunakan sebagai bahan dasar


pembuatan membran poliuretan (PU) karena strukturnya mengandung
gugus -OH. Minyak jarak mengandung trigliserida atau ester gliserol dan
asam-asam lemak bebas. Asam lemak bebas ini mengandung dua gugus
fungsi yaitu gugus hidroksil dan ikatan rangkap yang dapat digunakan
sebagai sumber –OH sehingga asam lemak dari minyak biji jarak ini dapat
diolah menjadi PU (Rizk dan Nowaihi, 1989).

Minyak jarak yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak jarak
komersial jenis Jatropha oil. Berdasarkan hasil karakterisasi sifat fisiko-
kimia dari minyak jarak ini diperoleh bilangan iod sebesar 88,65 g/g dan
bilangan hidroksi sebesar 161,755 mg/g. Jelas terlihat bahwa minyak jarak
komersial yang digunakan pada penelitian ini memiliki kualitas yang baik
sesuai dengan standar ASTM.

Gambar 5.4 Spektrum FTIR minyak jarak komersial

56
Hasil analisis gugus fungsi terhadap minyak jarak ditunjukkan pada Gambar
5.4 di atas, yang mana pada bilangan gelombang 3408 cm-1 terdapat
serapan yang kuat terhadap gugus -OH. Serapan lemah pada bilangan
gelombang 1654,8 cm-1 merupakan serapan dari ikatan rangkap C=C yang
ada dalam struktur minyak jarak. Serapan C=O dari minyak jarak terlihat
pada bilangan gelombang 1745,5 cm-1 dan CO tunggal berada pada 1166,9
cm-1. Dengan demikian jelas dibuktikan bahwa minyak jarak komersial yang
berasal dari biji jarak pagar mengandung gugus hidroksil dan ikatan
rangkap.

5.3. Pembuatan Membran Poliuretan

Proses polimerisasi membran poliuretan terjadi pada suhu 100oC selama 60


menit, kondisi ini diambil dari penelitian sebelumnya (Marlina dkk, 2007 dan
Marlina dkk, 2010), dan menggunakan HMDI sebagai sumber gugus –NCO.

Heksa metilen diisosianat (HMDI) adalah senyawa diisosianat alifatik,


berupa cairan tidak berwarna dengan rumus molekul C8H12N2O2 (Mr = 168,2
g/mol), densitas sebesar 1,047 g/cm3, titik didih = 225oC dan titik lebur = -
67oC.
Struktur heksa metilen diisosianat ditunjukkan pada Gambar 5.5.

Gambar 5.4. Struktur heksa metilen diisosianat

Pada temperatur polimerisasi tersebut, tampak bahwa larutan yang


terbentuk mulai mengental dan membentuk gel. Pada penelitian ini tampak
bahwa reaksi antara minyak jarak dengan HMDI lebih cepat dibandingkan

57
dengan TDI dan MDI, hal ini kemungkinan disebabkan karena HMDI
mempunyai rantai lurus sehingga halangan rintangnya lebih kecil
dibandingkan dengan TDI dan MDI. Membran PU yang dihasilkan lebih
homogen dan transparan, dan analog dengan membran
poly(oxytetramethylene) (PTMO) berbasis PU menggunakan berbagai
jenis isosianat (Wolińska, 2006).

Pencetakan larutan ini (dope) dapat dilakukan dalam cawan petri atau
dalam plat kaca dan dilanjutkan dengan proses curing. Tahap ini diperlukan
dalam pembentukan polimer yaitu untuk membentuk ikatan tiga dimensi
pada membran. Suhu curing berkisar antara 190oC-195oC selama 72 jam,
yaitu di atas temperatur gelasnya. Setelah proses curing, membran
direndam dalam air es selama 48 jam. Perendaman berfungsi untuk
menghentikan proses curing. Membran dilepas dengan bantuan air mengalir
agar lebih memudahkan proses pelepasannya.

OH OH

O O
O

O HO HO
+ O

HO HO

HMDI minyak jarak komersial

produk

Gambar 5.6. Reaksi minyak jarak dengan HMDI


58
Membran poliuretan dibuat dengan memvariasikan konsentrasi HMDI
seperti ditunjukkan pada tabel 5.2 dengan mekanisme reaksi diperkirakan
seperti Gambar 5.6 . Data pada tabel 5.2. menunjukkan bahwa variasi
konsentrasi HMDI sangat mempengaruhi membran yang terbentuk.
Konsentrasi HMDI yang terlalu kecil menyebabkan gugus -OH pada minyak
jarak tidak habis bereaksi, sehingga menghasilkan larutan dope yang encer
dan membran yang lengket. Bahkan dalam konsentrasi HMDI yang sangat
kecil, membran tidak terbentuk. Sebaliknya, konsentrasi HMDI yang terlalu
besar (> 6 gram) dapat menyebabkan larutan dope mengeras sebelum
dicetak (kental). Konsentrasi HMDI yang optimum dapat dilihat dari tabel
5.2. yaitu sebesar 6 gram HMDI dalam 25 mL minyak jarak (Gambar 5.7).

Tabel 5.2. Sifat kualitatif membran dengan berbagai variasi konsentrasi


HMDI

Minyak
HMDI
No. Jarak Sifat Kualitatif Membran
(gram)
(mL)
1 25 1 Tidak homogen, tidak mengeras
Tidak homogen, tidak mengeras,
2 25 2
masih agak lengket
Tidak homogen, bergelombang,
3 25 3,5
lengket
4 25 5 Tidak lengket, permukaan rata
5 25 6 Tidak lengket, permukaan rata
6 25 >6 Mengeras sebelum dicetak

59
Membran PU 25:5 v/b Membran PU 25:6 v/b

Gambar 5.7. Membran PU dengan variasi komposisi minyak jarak :HMDI

5.4 Karakterisasi Membran

5.4.1 Kinerja membran

Membran yang dihasilkan pada kondisi optimum di atas diharapkan adalah


membran reverse osmosis (RO), yang diaplikasikan untuk menyaring air
sumur yang berada di Desa Cadek Permai, Kecamatan Baitussalam,
Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pengukuran fluks dilakukan menggunakan sampel sebanyak 50 mL dengan


waktu filtrasi selama 30 detik, tekanan dinaikkan secara perlahan-lahan
sampai sesuai dengan tekanan proses RO yaitu 1,4-30 atm. Hasil penelitian
menunjukkan membran poliuretan yang dihasilkan pada tahap di atas tidak
tahan terhadap tekanan tinggi yaitu mengalami kerusakan pada tekanan di
atas 12,5 atm, oleh karenanya penentuan fluks membran dilakukan pada
tekanan 12,5 atm.

Hasil filtrasi selama 30 detik menghasilkan permeat rata-rata (3 kali


pengukuran) sebesar 11,3 mL yang melewati membran dengan luas
permukaannya 2x10-2 m2, maka dapat ditentukan fluks membran yaitu 67,66
Lm-2 jam-1. Nilai fluks merupakan ukuran aliran energi atau partikel per
satuan luas. Nilai fluks ini lebih tinggi dari nilai fluks yang dihasilkan oleh
membran PU dari TDI dan MDI, yaitu masing-masing sebesar 62,7 Lm-2 jam-
60
1
dan 29,94 Lm-2 jam-1 (Marlina dkk, 2010). Hal ini kemungkinan disebabkan
oleh soft segment lebih banyak dari pada hard segment yang mengingkat
HMDI dibandingkan bila menggunakan MDI dan TDI (Wolińska, 2006).

Penentuan faktor rejeksi menggunakan salinitas dari umpan dan permeat.


Salinitas merupakan tingkat keasinan atau kadar garam terlarut dalam air.
Pengukuran salinitas digunakan alat konduktimeter. Dari hasil pengukuran
didapat salinitas untuk umpan 1,2 % dan untuk permeat 1,07%, sehingga
didapat faktor rejeksi dari membran yaitu 10,8%. Faktor rejeksi dari
membran di atas lebih rendah dari pada yang dihasilkan oleh TDI dan MDI,
hal ini sesuai dengan hasil penelitian Mehdi dkk (2012) tentang penurunan
faktor rejeksi bila fluks meningkat.

Hasil perhitungan faktor rejeksi dari membran tersebut memberikan


informasi bahwa membran ini dapat diaplikasikan pada proses RO, karena
membran ini menghasilkan kinerja yang baik tetapi tidak tahan pada
tekanan terlalu tinggi. Namun untuk memperoleh membran yang maksimal,
maka proses polimerisasi membran untuk membentuk ikatan antara –OH
dengan –NCO harus terus dicoba, sehingga pembentukan pori pada
membran dapat optimal.

5..4.2 Sifat Kimia

Hasil karakterisasi membran poliuretan dengan komposisi optimum dengan


menggunakan spektroskopi FTIR menunjukkan adanya pita serapan yang
lebar dan tajam pada 3419 cm-1 untuk gugus N-H dari ikatan uretan.
Serapan C=O dari NCO terlihat pada 1740,5 cm-1. Bilangan gelombang
1234 cm-1 merupakan serapan C-N dan pita tajam pada bilangan
gelombang 1560,3 cm-1 diperkirakan serapan untuk ikatan rangkap yang
berasal asam lemak bebas dalam Jatropha oil.

Dari serapan yang ditunjukkan pada Gambar 5.8. dapat disimpulkan bahwa
reaksi pembentukan membran poliuretan dari jatropha oil dengan HMDI
telah berlangsung dengan baik, yang ditunjukkan oleh adanya perubahan
pada serapan gugus-gugus dari minyak jarak (Gambar 5.5.).

61
Gambar 5.8 Spektrum FTIR membran poliuretan dari Jatropha oil

5.4.3 Sifat Fisik

Berdasarkan analisis (Gambar 5.9.), temperatur transisi gelas membran


poliuretan yang diperoleh sebesar 150 oC dan temperatur leleh sebesar 400
o
C. Membran poliuretan ini teroksidasi pada temperatur 420 oC dan
terdekomposisi pada temperatur 530 oC. Temperatur dekomposisi dari
membran poliuretan ini jauh lebih rendah dari penelitian oleh Marlina dkk
(2010). Hal ini dikarenakan bahan penyusun membran (HMDI) mempunyai
rantai lurus sehingga lebih mudah terdekomposisi dibandingkan dengan TDI
dan MDI yang mempunyai cincin benzen. Menurut Rohaeti dkk. (2003),
poliuretan dapat terdekomposisi menjadi senyawa isosianat dan alkohol
atau menjadi senyawa amina bebas, gas CO2 dan olefin. Produk
dekomposisi termal dari poliuretan merupakan hasil pemutusan ikatan
kovalen.

Morfologi membran dilihat dengan menggunakan alat scanning electron


microscope (SEM). Karakterisasi ini dilakukan untuk melihat pori-pori
membran. Gambar 5.10. menunjukkan bahwa pori-pori membran yang
dihasilkan tidak terlihat begitu jelas atau rapat, sehingga membran yang
dihasilkan dapat digunakan pada proses reverse osmosis (RO). Hasil
analisis permukaan membran PU yang berasal dari Jatropha oil dengan
HMDI menggunakan SEM-EDX ini, berbeda dengan membran dari minyak
yang sama menggunakan TDI dan MDI, di mana dari ke dua membran
tersebut tampak adanya distribusi pori (Marlina dkk, 2010). Dengan

62
demikian diharapkan membran akan memiliki selektifitas yang tinggi
terhadap air payau.

Diferensial Temperatur ( C/mg)


o

Temperatur (oC)

Gambar 5.9 Grafik DTA membran poliuretan

Gambar 5.10. Morfologi membran PU dari minyak jarak

63
Gambar 5.11. menunjukkan hasil karakterisasi membran PU dari minyak
jarak dan HMDI menggunakan SEM-EDX, di mana hasilnya menunjukkan
bahwa komponen penyusun polimer tersebut adalah C dan O, tanpa
adanya pengotor, sehingga dapat disimpulkan bahwa reaksi polimerisasi
telah berlangsung sempurna.

Gambar 5.11. Grafik EDX pada scanning electron microscope (SEM)

Hasil karakterisasi permukaan dan kandungan membran menggunakan


SEM-EDX setelah penerapan pada proses RO (Gambar 5.8.) terlihat tidak
adanya perubahan struktur permukaan dan pori membran, hanya ada
pengotor pada permukaan membran. Pengotor yang berupa garam
diperkirakan berasal dari sampel air payau atau pada saat proses
pelepasan membran yang menggunakan air mengalir dari kran yang
diperkirakan juga mengandung garam NaCl. Hal ini didukung oleh hasil
analisis membran yang diperlihatkan pada Gambar 5.12.

64
.

Gambar 5.12. Morfologi membran PU dari minyak jarak setelah aplikasi RO

Gambar 5.13. Grafik EDX pada scanning electron microscope (SEM)


setelah aplikasi RO

65
BAB 6 MINYAK KARET

6.1. Tumbuhan Karet

Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) merupakan tanaman yang memiliki


pohon besar yang banyak terdapat di negara–negara tropis yang subur.
Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup
besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter, yang ditunjukkan pada
Gambar 6.1.

Dalam dunia tumbuhan, tanaman karet memiliki taksonomi sebagai berikut:


Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Hevea
Spesies : Hevea brasiliensis

Gambar 6.1. Tanaman karet (Hevea brasiliensis)

Tanaman karet dapat menghasilkan 800 biji karet untuk setiap pohonnya
pertahun. Pada lahan seluas 1 hektar, dapat ditanami sebanyak 400 pohon
karet. Maka untuk lahan seluas 1 hektar diperkirakan dapat menghasilkan
5.050 kg biji karet per tahunnya (Siahaan et al., 2011). Biji karet berukuran
besar dan memiliki kulit atau cangkang yang keras, berwarna cokelat
kehitaman dengan bercak-bercak berpola yang khas (lihat Gambar 6.2). Biji

66
karet merupakan hasil samping dari tanaman karet yang kurang
dimanfaatkan.

Biji karet berpotensi menjadi produk samping dari perkebunan karet yang
tersebar luas di Indonesia. Biji karet mengandung minyak nabati yang dapat
dimanfaatkan menjadi input yang berharga pada berbagai industri. Minyak
biji karet termasuk semi drying oil dan mudah teroksidasi. Minyak dari biji
karet sangat baik digunakan sebagai bahan industri seperti: alkil resin,
linoleum, vernis, tinta cetak, cutting oils, minyak lumas dan gemuk (Siahaan
et al., 2011).

Gambar 6.2.Buah dan biji karet (Novia et al., 2009)

biji karet masak terdiri dari 70 % kulit buah dan 30% biji karet. Biji karet
mengandung 40% sampai 50% minyak yang terdiri dari 17-22% asam
lemak jenuh dan 77-82% asam lemak tak jenuh. Minyak biji karet
mengandung 17-21% asam oleat, 35-38% asam linoleat, 21-24% asam
linolenat, 1% asam arachidic, 5-12% asam stearat, 9-12% asam palmitat,
dan 2-20% asam lemak bebas lainnya.

Menurut Bakare et al.(2010), sifat dan komposisi asam lemak dari minyak
biji karet, asam lemak jenuh (17,51% asam palmitat, 4,82% asam stearat ),
asam lemak tak jenuh (25,33% asam oleat, 37,50% asam linoleat, 14,21%,
asam linolenat) dan 0,63% asam lainnya, warna (lovinbond) 22R;23,2Y,
berat jenis (30°C) 0,916, bilangan asam 43,62 mgKOH/g, asam lemak
bebas 21,4, bilangan penyabunan 202,91 mg/KOH g, bilangan iodin 136,21
gI2/100g.

67
6.2. Minyak Biji Karet

Biji karet yang digunakan diperoleh dari perkebunan warga, yang berada di
Desa Gunong Kleng, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat,
Provinsi Aceh. Pengumpulan biji karet secara manual yaitu dengan cara
memilih atau mengutip biji karet yang sudah jatuh dari pohonnya dengan
memilih biji yang masih bagus, karena biji karet yang sudah tua akan jatuh
dengan sendirinya, biji karet yang sudah tua memiliki kandungan minyak
lebih banyak (Novia et al., 2009). Biji karet yang digunakan tidak
dikhususkan pada genus atau spesies tertentu.

Proses ekstraksi minyak biji karet (MBK) dimulai dengan pengupasan biji
karet. Satu kg biji karet menghasilkan 612,40 gram daging biji dan 387,60
gram kulit biji karet. Setelah pengeringan pada ruang terbuka tanpa terkena
sinar matahari selama 2 hari, untuk mengurangi kadar air dalam daging biji,
maka daging biji karet berkurang menjadi 411,85 gram, yang menghasilkan
minyak sebanyak 167,86 gram atau 40,76% (g/g). Penelusuran literatur
menyebutkan bahwa kandungan minyak dalam biji karet sebanyak 40-50%
(Noviaet al., 2009). MBK yang dihasilkan dari proses sokletasi berwarna
kuning kental seperti yang terlihat pada Gambar 6.3 dengan berat jenis
0,9108 g/cm3.

Gambar 6.3. Biji dan minyak biji karet

Tabel 6.1 menunjukkan hasil analisis bilangan iod dan bilangan hidroksi dari
MBK penelitian ini dan dibandingkan dengan literatur. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bilangan iod dan bilangan hidroksi pada penelitian ini
tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya.

68
Tabel 6.1. Bilangan iod dan bilangan hidroksi dari minyak biji karet
Bilangan iod Bilangan hidroksi
No Sampel
g I2/g mg KOH/g
1
1 Minyak biji karet 136,210 43,620
2
2 Minyak biji karet 148,567 38,625
3
3 Minyak biji karet 154,052 40,333
1
Bakare et al. (2010), 2Wildanet al. (2014), 3Hasil penelitian

Analisis gugus fungsi MBK menggunakan fourier transform infrared (FTIR).


Hasil analisis FTIR MBK terlihat pada Gambar 6.5, di mana gugus -OH
muncul pada bilangan gelombang 3400 cm-1 untuk MBKt terlihat melebar,
tetapi gugus –O-H karboksilat pada MBK tidak terlihat Hal ini menunjukkan
bahwa minyak yang dihasilkan berupa ester yang ditunjukkan oleh serapan
gugus -C-O pada bilangan gelombang 1159cm-1 dan serapan ikatan -C=O
pada bilangan gelombang 1742 cm-1. Serapan ikatan -C-H alkena yang
terjadi pada 3009 cm-1 memiliki intensitas yang tinggi. Dari spektrum
tersebut tampak juga gugus fungsi lainnya seperti yang terlihat pada Tabel
6.2.

Tabel 6.2. Karakterisasi FTIR dari MBK


-1
Posisi puncak (cm ) Karakteristik
untuk MBK serapan
3400 O-H
3009 (intensitas tinggi) C-H alkena
2922, 2853 (intensitas tinggi) C-H alkana (CH2,
CH3)
1742 (intensitas tinggi) C=O
1236-1097(intensitas tinggi C-O
dan melebar)
778 (intensitas tinggi) C-H alkena
1458-1376 (intensitas tinggi C-H alkana
dan melebar)
MBK = Minyak biji karet

69
Gambar 6.5. Spektrum FTIR dari MBK

Analisis komponen MBK menggunakan alat gas chromatography-mass


spectrometry (GC-MS). Gambar 6.6 menunjukkan kromatogram GC untuk
MBK. Hasil analisis GC memperlihatkan adanya 4 (empat) puncak tertinggi
pada kromatogram, hasil tersebut diperjelas dengan MS, sehingga didapat
bahwa kandungan asam lemak jenuh pada MBK 20,35% dan kandungan
asam lemak tak jenuh pada MBK 79,65%.

Tabel 6.3 menunjukkan data analisis GC-MS untuk sampel MBK terdapat
empat puncak kromatogram dengan waktu retensi yang berdekatan, untuk
hasil MS dengan berat molekul (m/z) dan pola fragmentasi (lihat Gambar
6.7) yang disesuaikan dengan data base menunjukkan bahwa komponen
senyawa yang terdapat pada MBK adalah asam palmitat, asam linoleat,
asam oleat dan asam stearat. Asam linoleat pada MBK memiliki persen
kelimpahan yang terbanyak yaitu 41,06%. Hal ini sesuai dengan penelitian
lain yang juga menyebutkkan bahwa kandungan terbesar minyak biji karet
adalah asam linoleat yang mencapai 35-40% (Novia et al., 2009; Bakare et
al., 2010).

Gambar 6.6.Kromatogram GC MBK

70
Tabel 6.3. Data hasil analisis GC-MS MBK
Waktu Berat
Kelimpahan
Sampel Puncak retensi molekul Senyawa
%
menit m/z
1 40,791 270 9,92 Asam palmitat
2 44,356 294 41,06 Asam linoleat
MBK
3 44,474 264 38,59 Asam oleat
4 44,853 298 10,43 Asam stearat

Gambar 6.7. Kromatogram MS MBK dari puncak (a) pertama (b) kedua
(c) ketiga (d) keempat pada kromatogram GC

6.3. Sintesis Membran Poliuretan

Sintesis membran PU dari MBK dengan memvariasikan komposisi


heksametilen-1,6-diisosianat (HMDI), suhu curing dan suhu polimerisasi.
Sedangkan untuk waktu polimeriasi (60 menit) dan waktu curing (480
menit) dibuat tetap.

71
Tabel 6.4 menunjukkan komposisi membran PU yang disintesis dengan
variasi komposisi HMDI, penentuan komposisi HMDI secara trial and error
karena belum diketahui secara pasti perbandingan untuk membuat
membran PU dari MBK dengan HMDI. Secara visual terlihat bahwa
membran PU dengan komposisi HMDI 5 gram memiliki hasil yang lebih
baik, yaitu tercampur secara homogen antara MBK dengan HMDI, membran
yang dihasilkan kering tidak ada sisa minyak, elastis, berwarna kuning
kecoklatan dan bergelombang seperti yang terlihat pada Gambar 6.8.
Membran PU yang disintesis dengan HMDI 1 gram atau 3 gram
menghasilkan membran yang tidak kering ada sisa minyak yang berlebih
yang tidak bereaksi dengan HMDI, sedangkan membran PU yang disintesis
dengan HMDI 7 gram menghasilkan membran yang kering tetapi sedikit
kaku, tingkat elastisitasnya menurun dengan bertambahnya HMDI yang
digunakan. Membran PU yang dihasilkan memiliki ketebalan rata-rata 0,500
- 0,800 ± 0,005 mm.

Tabel 6.4. Sintesis membran PU dengan variasi komposisi HMDI


MBK HMDI Polimerisasi Curing Keterangan visual
No
ml gram °C °C membran PU
homogen, tidak kering, mudah
1 5 1 90-100 165-170 sobek, kuning kecoklatan,
bergelombang
homogen, sedikit tidak kering,
2 5 3 90-100 165-170 sedikit elastis, kuning kecoklatan,
bergelombang
homogen, kering, elastis, kuning
3 5 4 90-100 165-170
kecoklatan, bergelombang
homogen, kering, elastis, kuning
4 5 5 90-100 165-170
kecoklatan, bergelombang
homogen, kering, kaku, kuning
5 5 7 90-100 165-170
kecoklatan, bergelombang
MBK = Minyak biji karet HMDI = Heksametilen-1,6-diisosianat

72
Gambar 6.8. Membran PU dengan variasi komposisi HMDI (1) 1 gram, (2) 3
gram, (3) 4 gram, (4) 5 gram dan (5) 7 gram

Suhu curing merupakan suhu oven setelah membran PU dicetak, curing


dilakukan untuk memaksimalkan pembentukan ikatan silang uretan pada
membran PU. Variasi suhu curing juga dilakukan untuk melihat pengaruh
suhu terhadap proses pembentukan ikatan uretan. Tabel 6.5 dan Gambar
6.9 menunjukkan hasil visual membran PU dengan variasi suhu curing, dari
tabel tersebut terlihat bahwa suhu curing yang optimum yaitu 165-170°C.
Suhu curing 185-190°C akan menghasilkan membran yang tidak kering
pada semua variasi komposisi HMDI (3, 4, atau 5 gram) dan menghasilkan
membran dengan warna kecoklatan, hal tersebut menunjukkan bahwa suhu
185-190°C akan mempercepat penguapan HMDI dan mempercepat
terbentuknya ikatan silang pada permukaan membran saja, sehingga
bagian bawah membran tidak kering (berminyak). Sedangkan suhu curing
dibawah 160°C membran yang disintesis tidak kering setelah 8 jam,
sehingga variasi tersebut tidak ditampilkan. Variasi suhu polimerisasi tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan pada membran PU yang
dihasilkan, hal tersebut dapat dilihat pada hasil variasi suhu polimerisasi
pada Tabel 6.6 dan Gambar 6.10, hanya saja membran PU yang dihasilkan
pada suhu polimerisasi 110-120°C memiliki warna lebih terang dan
terbentuk sedikit gelembung udara yang terperangkap dalam membran.

73
Tabel 6.5. Sintesis membran PU dengan variasi suhu curing
MBK HMDI Polimerisasi Curing Keterangan visual
No
ml gram °C °C membran PU
homogen, sedikit tidak kering,
1a 5 3 90-100 165-170 sedikit elastis, kuning
kecoklatan, bergelombang
homogen, tidak kering, sedikit
1b 5 3 90-100 185-190 elastis, mudah sobek, coklat,
bergelombang
homogen, kering, elastis,
2a 5 4 90-100 165-170 kuning kecoklatan,
bergelombang
homogen, tidak kering, sedikit
2b 5 4 90-100 185-190
elastis, coklat, bergelombang
homogen, kering, elastis,
3a 5 5 90-100 165-170 kuning kecoklatan,
bergelombang
homogen, tidak kering, sedikit
3b 5 5 90-100 185-190
elastis, coklat, bergelombang

Gambar 6.9. Membran PU dengan variasi suhu curing (1a, 2a dan 3a) 165-
170°C, (1b, 2b dan 3b) 185-190°C

74
Tabel 6.6. Sintesis membran PU dengan variasi suhu polimerisasi
MBK HMDI Polimerisasi Curing Keterangan visual
No
ml gram °C °C membran PU
homogen, sedikit tidak kering, sedikit
1a 5 3 90-100 165-170 elastis, kuning kecoklatan,
bergelombang
homogen, sedikit tidak kering, sedikit
1b 5 3 110-120 165-170 elastis, kuning kecoklatan,
bergelombang, bergelembung
homogen, kering, elastis, kuning
2a 5 4 90-100 165-170
kecoklatan, bergelombang
homogen, kering, sedikit elastis,
2b 5 4 110-120 165-170 kuning kecoklatan, bergelombang,
bergelembung
homogen, kering, elastis, kuning
3a 5 5 90-100 165-170
kecoklatan, bergelombang
homogen, kering, kurang elastis,
3b 5 5 110-120 165-170
kecoklatan, bergelombang

Gambar 6.10. Membran PU dengan variasi suhu polimerisasi (1a, 2a dan


3a) 90-100°C, (1b, 2b dan 3b) 110-120°C

6.4 Karakterisasi Membran Poliuretan

6.4.1 Kinerja Membran

Sampel yang digunakan sebagai umpan adalah air sumur, yang di ambil
dari salah satu sumur warga yang berdekatan dengan tempat pengolahan
emas di Desa Datar Luas, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh. Proses

75
filtrasi menggunakan modul membran, luas membran yang digunakan
22,051 cm2, tekanan 20 bar dan waktu filtrasi 20 menit. Hasil fluks dan
faktor rejeksi dapat dilihat pada Tabel 6.9.

Tabel 6.9. Hasil fluks dan faktor rejeksi untuk membran PU dari MBK
Fluks Faktor
N MBK HMDI Polimerisasi Curing
L/m².h.ba rejeksi
o ml gram °C °C
r %
1 5 1 90-100 165-170 * *
2 5 3 90-100 165-170 - -
3 5 4 90-100 165-170 0,6803 *
4 5 5 90-100 165-170 0,5442 100,00
5 5 7 90-100 165-170 0,6122 *
6 5 3 90-100 185-190 * *
7 5 4 90-100 185-190 * *
8 5 5 90-100 185-190 * *
9 5 3 110-120 165-170 0,7483 *
10 5 4 110-120 165-170 0,6122 *
11 5 5 110-120 165-170 0,6803 *
* Tidak dianalisis - Rusak (sobek)

Ada beberapa membran yang tidak dilakukan proses filtrasi karena


membran tersebut tidak bagus (rusak) sebelum dilakukan proses filtrasi,
dan ada juga membran yang rusak pada saat proses filtrasi karena
membran yang digunakan tidak sanggup menahan tekanan yang diberikan.
Sedangkan untuk faktor rejeksi dilakukan hanya pada nilai fluks yang kecil,
karena nilai fluks dan faktor rejeksi berbanding terbalik. Membran dengan
fluks yang besar akan memiliki faktor rejeksi yang kecil, begitu juga
sebaliknya, membran dengan fluks yang kecil memiliki faktor rejeksi yang
besar (Mulder, 1996).

Proses filtrasi menggunakan membran PU dari MBK menunjukkan hasil


fluks berkisar antara 0,5442–0,7483L/m2.h.bar. Faktor rejeksi untuk
membran PU dari MBK dengan fluks 0,5442L/m2.h.bar adalah 100%.
Nilai faktor rejeksi tersebut diambil dari konsentrasi merkuri pada umpan
dan permeat yang dianalisis menggunaan atomic absorption
spectrophotometry(AAS), dimana umpan yang digunakan yaitu berupa air
sumur di sekitar penambangan emas yang memiliki konsentrasi merkuri
sebesar 0,0703 ppb, sedangkan untuk permeat dari membran PU dari MBK
konsentrasi merkurinya tidak terdeteksi.

76
Dari hasil fluks dan faktor rejeksi menunjukkan bahwa membran PU yang
disintesis dapat digunakan untuk menyaring merkuri pada air.Tipe membran
yang dihasilkan adalah membran ROdengan melihat hubungan linier antara
tekanan yang digunakan dan fluks yang dihasilkan (lihat Tabel 6.11).
Membran PU optimum dari proses filtrasi selanjutnya akan dilakukan
karakterisasi untuk melihat sifat fisiko-kimia dari membran tersebut.

Tabel 6.11. Perbandingan tekanan, fluks dan faktor rejeksi hasil penelitian
dan literatur
Faktor
Tekanan Fluks
Proses rejeksi
bar L/m2.h.bar
%
Penelitian MPU-MBK 20 0,5442-0,7483 100
Literatur1 - 20-40 0,4800-1,7400 -
MPU-MBK = Membran poliuretan dari minyak biji karet
1
Bhattacharyya and Williams, 1992

6.4.2 Sifat Kimia

Perbandingan spektrum FTIR dari MBK, HMDI (NIST, 2011) dan membran
PU terlihat pada Gambar 6.11, spektrum tersebut menunjukkan bahwa
ikatan uretan telah terbentuk. Ikatan uretan ditandai dengan adanya
serapan terhadap ikatan -N-H pada bilangan gelombang 3300-3500 dan
1500-an cm-1, -C-N pada bilangan gelombang 900-1300 cm-1, -C=O pada
bilangan gelombang 1738 cm-1 serta tidak adanya serapan -NCO pada
bilangan gelombang 2280 cm-1 untuk spektrum membran PU.

77
Gambar 6.11. Spektrum FTIR MBK, HMDI dan membran PU

Tabel 6.12.Karakteristik FTIR dari poliuretan


-
Posisi puncak(cm -1
1 Posisi puncak(cm )
) Karakteristik serapan
Pada penelitian
Pada literatur*
3050 – 3720 Regangan vibrasi N-H 3480
Regangan vibrasi CH [regangan
2800 – 3000
asymetri CH3 + regangan 2923
[2972+2920+2885+
asymetri CH2 + regangan symetri 2853
2869]
CH3 + regangan symetri CH2]
1665 – 1780 Regangan vibrasi C=O (amida I) 1620
Terdiri dari δN-H + νC-N + νC-C ;
sensitif terhadap rantai
1528 1540
konformasi dan ikatan hidrogen
antarmolekul (amida II)
Scissoring (guntingan) CH2 dan
1455 – 1460 1457
deformasi CH3
1372 – 1381 νC-N 1374
Terdiri dari νC-N dan bending
1252 – 1256 1237
(pembengkokan) N-H (amida III)
Deformasi CH3.-O-C-NH- (uretan,
1040 1096
urea)
Tidak ada –NCO (isosianat sudah
Tidak ada 2270 Tidak ada
bereaksi semua)
* Sumber: Das et al., 2012; Saalah et al., 2014; Gurunathan et al., 2014;
Humberto et al., 2013

78
Morfologi membran PU dilihat secara cross sectional dengan pembesaran
100x dan 500x seperti pada Gambar 6.12. Dari hasil SEM tersebut terlihat
bahwa membran PU dari MBK memiliki morfologi yang padat. Hal tersebut
disebabkan oleh membran PU dari MBK memiliki struktur yang linier dengan
sedikit ikatan silang.

Struktur linier memiliki derajat kristalinitas yang tinggi sehingga strukturnya


tersusun secara teratur, keteraturan tersebut membuat morfologi membran
PU menjadi padat, sedangkan banyaknya ikatan silang yang terbentuk
membuat struktur tersusun secara acak atau amorf, ketidak teraturan
tersebut membuat morfologi membran PU menjadi berongga.

Hasil EDX membran menunjukkan bahwa atom karbon lebih dominan, hal
tersebut jelas bahwa komposisi utama dalam pembuatan membran PU ini
adalah minyak, sehingga karbon lebih dominan.

Gambar 6.12. SEM-EDX membran PU dari MBK dengan pembesaran 100x


dan 500x

Analisis termal membran PU menggunakan thermogravimetric analysis


(TGA). TGA digunakan untuk mengukur perubahan berat sampel yang
dipengaruhi oleh suhu. Suhu degradasi awal tergantung pada stabilitas
termal dari titik terlemah dalam struktur makromolekul, suhu degradasi
berikutnya karena degradasi ikatan uretan dan unit yang paling termostabil,
gugus aromatik dan kelompok ester dari segmen lunak dalam struktur
makromolekul, dan degradasi ketiga pada ikatan poliuretan yang terbentuk
atau beberapa struktur yang tersisa lainnya (Das et al., 2014; Gurunatan et
al., 2014; Saalah et al., 2014). Hasil TGA membran PU dari MBK terlihat
pada Gambar 6.13 Tabel 6.13.

79
Gambar 6.13. Kurva TGA membran PU dari MBK

Tabel 6.13. Hasil TGA untuk membran PU dari MBK


Sisa residu
Sampel T1on T1end T2on T2end T50% T90%
pada 500°C
MPU-MBK 210 332 392 464 413 478 2,2%

Tabel 6.13 dan Gambar 6.13 menunjukkan bahwa analisis TGA membran
PU dari MBK tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada suhu
degradasi pertama maupun suhu degradasi kedua. Poliuretan pada
umumnya memiliki suhu degradasi yang tinggi, hal itu disebabkan oleh
ikatan silang uretan yang terbentuk.

Penelitian lain juga menunjukkan bahwa poliuretan memiliki suhu degradasi


yang tinggi seperti: Das et al.(2012) dalam mensintesis film tipis poliuretan
hyperbranched (HBPU) dan poliuretan linear (LPU) dari minyak biji bunga
matahari, menghasilkan polimer yang memiliki suhu degradasi pertama
untuk HBPU adalah 250ºC dan untuk LPU 239ºC, sedangkan suhu
degradasi kedua untuk HBPU pada 363ºC dan untuk LPU 342ºC. Saalah et
al.(2014) water borne poliuretan yang disintesis dari minyak jarak
menunjukkan bahwa degradasi pertama (JPU 161=286,69ºC, JPU
188=290,80ºC, JPU 217=296,38ºC) dan degradasi kedua (JPU
161=361,18ºC, JPU 188=361,32ºC, JPU 217=39920ºC).

Analisis termal membran PU menggunakandifferential thermal analysis


(DTA). Analisis termal menggunakan DTA merupakan suatu teknik analisis
dengan menentukan perbedaan temperatur (ΔT) antara sampel dan bahan
pembanding.

80
Gambar 6.14. Kurva DTA membran PU dari MBK

Tabel 6.14. Hasil DTA untuk membran PU dari MBK


Sampel Tg Tm Td
MPU-MBK 65 338 484

Gambar 6.14 dan Tabel 6.14 menunjukkan hasil DTA dari membran PU
yang disintesis dari MBK, dari kurva tersebut terlihat bahwa membran PU
dari MBK memiliki Tm 338°C.

Kekuatan mekanik membran diuji dengan alat uji tarik. Kekuatan membran
sangat berpengaruh terhadap kinerja membran, untuk hasil uji tarik
membran PU dari MBK terlihat pada Gambar 6.15 dan Tabel 6.15.

Gambar 6.15. Kurva kekuatan-regangan membran PU dari MBK

81
Tabel 6.15. Kekuatan-regangan dari membran PU
Young's Tensile
Sampel modulus strength Elongastion
kgf/mm² kgf/mm² %
-3
MPU-MBK 2,07 x 10 1,03 497,14

Gambar 6.15 menunjukkan bahwa membran PU dari MBK memiliki sifat


yang kuat dan elastis dengan tensile strength 1,03 kgf/mm² dan elongastion
497,14%. Nilai tensile strength untuk membran PU dari MBK kecil dan nilai
elongastion membran PU dari MBK relatif besar. Hal ini dikarenakan oleh
membran PU dari MBK memiliki struktur penyusun yang linier dengan
sedikit ikatan silang, sehingga pada saat ditarik akan mengalami kemuluran
(elastis). kemuluran tersebut didukung juga oleh panjangnya rantai minyak
sebagai soft segmen yang dapat memanjang jika ditarik. Sedangkan
struktur penyusun ikatan silang uretan (hardsegment) lebih sedikit. Ikatan
silang mengakibatkan tensile strength tinggi, sehingga modulus young juga
tinggi, polimer amorf mempunyai modulus Young yang tinggi, sedangkan
kristal tidak (Woods, 1987).

Ketahanan kimia membran PU diuji dengan menggunakan beberapa larutan


kimia, yaitu NaCl 10%, KOH 3%, aquades, air sumur, H2SO4 3% dan
metanol 25%,. Ketahanan membran dilihat dari kehilangan berat dan
perubahan visual membran selama proses perendaman, untuk hasil uji
ketahanan membran dapat dilihat pada Gambar 6.15.

Membran PU dalam beberapa bahan kimia pada hari ke-7 perendaman


mengalami kehilangan berat ± 1%, hal ini berhubungan dengan adannya
berbagai jenis interaksi yang kuat dalam struktur membran PU, sedangkan
pada larutan KOH 3% membran PU mengalami kehilangan berat yang
besar, untuk membran PU dari MBK mengalami kehilangan berat
0,0456±0,00005 gram (15,1495%)dan membran PU dari MBKt mengalami
kehilangan berat 0,0415±0,00005 gram (12,0081%), hal tersebut
disebabkan karena pada larutan KOH 3% terjadi perlawanan dari alkali
terhadap ikatan ester terhidrolisa dalam struktur minyak pada membran
atau terjadinya proses saponifikasi (Das et al., 2012), proses tersebut
ditandai dengan adanya perubahan warna larutan KOH 3%, dari bening
menjadi berwarna kuning dan berbusa (sabun) setelah 7 hari perendaman.

82
Gambar 6.15. Grafik ketahanan kimia membran PU dari MBK

Hari ke-14 ketahanan membran PU terhadap bahan kimia tidak jauh


berbeda dengan hari ke-7, terjadi peningkatan kehilangan berat yang kecil
untuk setiap larutan, tetapi pada larutan KOH 3% membran PU mengalami
peningkatan kehilangan berat, Membran PU dari MBK ini mengalami
kehilangan berat 0,0801±0,00005 gram (26,6113%). Setelah perendeman
14 hari membran PU dari MBK dalam larutan KOH 3% mengalami
perubahan visual, menjadi berwarna cokelat kehitaman dan menggulung,
sedangkan dalam larutan kimia lainnya tidak mengalami perubahan visual.
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa poliuretan cenderung tahan
terhada bahan kimia (Das et al., 2012).

Ketahanan kimia membran PU dari MBK setelah hari ke-14 sampai hari ke-
28 tidak jauh berbeda dengan hari sebelumnya, terjadi kehilangan berat
yang stabil. Hal tersebut disebabkan oleh ikatan silang yang terbentuk
sehingga dapat mempertahankan struktur membran.

83
BAB 7 MINYAK ALPUKAT

7.1 Tumbuhan Alpukat (Persea americana mill)

Tumbuhan alpukat memiliki batang mencapai tinggi 20 m dengan daun


sepanjang 12 hingga 25 cm. Bunganya tersembunyi dengan warna hijau
kekuningan dan bijinya memiliki berat 100 hingga 1000 gram, ukuran biji
yang besar, 5 hingga 6,4 cm. Buahnya memiliki kulit lembut tak rata yang
berwarna hijau tua hingga ungu kecoklatan, tergantung pada varietasnya.
Daging buah alpukat berwarna hijau muda dekat kulit dan kuning muda
dekat biji, dengan tekstur lembut.

Gambar 7.1 Tumbuhan alpukat

Klasifikasi Tumbuhan Alpukat sebagai berikut (Del, 2003):


Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Laurales
Familia : Lauraceae
Genus : Persea
Species : P. American

Tumbuhan alpukat memiliki banyak manfaat. Batang pohonnya dapat


digunakan sebagai bahan bakar. Kulit pohonnya digunakan sebagai
pewarna cokelat pada produk dari bahan kulit. Daun alpukat digunakan

84
untuk mengobati kencing batu, darah tinggi, sakit kepala, nyeri saraf, nyeri
lambung, saluran napas membengkak. Daging buahnya dapat dijadikan
hidangan serta menjadi bahan dasar untuk beberapa produk kosmetik dan
kecantikan. Selain itu, daging buah alpukat untuk mengobati sariawan dan
melembabkan kulit yang kering. Daging buah ini juga menjadi minuman jus
yang sangat digemari masyarakat, akan tetapi biji yang dihasilkan menjadi
limbah karena merupakan produk yang belum dimanfaatkan. Biji buah
alpukat ini ternyata memiliki nilai ekonomis yang tinggi, dan juga
pemanfaatan biji alpukat bisa mengurangi limbah bagi lingkungan.

Gambar 7.2 Biji alpukat

7.2 Minyak Biji Alpukat (Avocado Seed Oil)

Sampel biji alpukat yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari Desa
Teleden, Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh.
Sampel diambil secara acak terkontrol (random), di mana biji alpukat yang
diambil berasal dari buah yang sudah matang, dan sebagian diambil dari
buah yang masih muda. Sampel biji alpukat sebelum digunakan dikeringkan
terlebih dahulu, bertujuan untuk menurunkan kadar air dalam biji alpukat.
Sampel kemudian dihaluskan menggunakan blender, agar kelenjar minyak
dapat terbuka sebanyak mungkin supaya minyak dapat terekstrak dengan
baik. Prasetyowati et al. (2010), menyatakan bahwa kandungan minyak
dalam biji alpukat berkisar antara 4-20 % (berat kering). Prasetyowati juga
menyatakan bahwa kandungan air sangat mempengaruhi proses ekstraksi
minyak dalam biji alpukat. Disamping itu, dalam penentuan kadar
lemak/minyak, bahan yang diuji harus cukup kering, jika bahan masih basah
maka selain memperlambat proses ekstraksi, air juga dapat mempersulit

85
penentuan berat dari minyak. Ekstraksi biji alpukat menggunakan pelarut n-
heksan.

Minyak biji alpukat bersifat nonpolar karena memiliki rantai karbon yang
cukup panjang, bersifat hidrofobik dan mengandung asam lemak.
Prasetyowati et al. (2010), mengekstrak minyak biji alpukat menggunakan
pelarut n-heksan, didapatkan minyak sebesar 17,88 %, dengan waktu
ekstraksi selama 2 jam, massa biji alpukat 50 g (berat kering), dan volume
pelarut 200 mL. Proses ekstraksi biji alpukat dalam penelitian ini
berlangsung pada kondisi operasi yaitu pada suhu 70-80oC, diharapkan
pada kondisi tersebut n-heksan dapat menguap dan minyak dapat
terekstraksi secara maksimal.

Rendemen minyak yang dihasilkan sebanyak 3 % dari setiap sampel 50 g


(berat kering). Hasil minyak yang diperoleh dari penelitian ini relatif rendah.
Penelitian Pramudono et al. (2008), dan Prasetyowati et al. (2010), masing-
masing mendapatkan minyak biji alpukat sebesar 18,11 % dan 17,88 % dari
berat sampel 50 g (berat kering) dengan menggunakan metode dan pelarut
yang sama, yaitu metode ekstraksi dan pelarut n-heksan. Namun, dalam
penelitiannya menggunakan sampel yang homogen, berupa biji alpukat dari
buah yang sudah matang, sehingga dapat menghasilkan kandungan minyak
yang lebih tinggi. Rendemen minyak biji alpukat dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu tempat tumbuhnya, tingkat kematangan biji, jenis dan
varietas buah alpukat.

Gambar 7.3. Biji dan minyak biji alpukat hasil ekstraksi

Minyak biji alpukat mengandung asam lemak berupa asam oleat (70,54 %),
asam palmitat (11,85 %), dan asam linoleat (9,45 %) (Prasetyowati et al.,
2010), Struktur asam lemak tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.4 berikut
ini.

86
O
OH
Asam oleat
O
OH
Asam linoleat
O

OH
Asam palmitat

Gambar 7.4. Asam lemak di dalam minyak biji alpukat

Hasil analisis FTIR menunjukkan bahwa minyak biji alpukat memiliki gugus
fungsi -OH yang ditandai dengan serapannya pada bilangan gelombang
3393,819 cm-1 (Gambar 7.5.). Gugus -OH ini diduga berasal dari asam
lemak yang terdapat dalam minyak biji alpukat. Serapan pada bilangan
gelombang 2923,072 cm-1 merupakan serapan yang berasal dari -CH
alkana. Adanya serapan pada bilangan gelombang 2853,778 cm-1 yang
merupakan serapan yang berasal dari gugus metilen (-CH2-). Dan pada
bilangan gelombang 1739,616 cm-1 merupakan serapan yang berasal dari
gugus C=O ester. Adanya serapan gugus -OH, -CH2-, dan C=O
membuktikan bahwa gugus ini merupakan gugus-gugus fungsi yang
terdapat dalam struktur asam lemak. Hasil ini menyimpulkan bahwa minyak
biji alpukat mengandung asam lemak (Gambar 7.5). untuk data hasil FTIR
dapat dilihat pada Tabel 7.1

Gambar 7.5 Spektrum FTIR minyak biji alpukat

87
Tabel 7.1 Data gugus fungsi spektrum FTIR minyak biji alpukat
No Bilangan gelombang (cm-1) Gugus fungsi
1 3393,819 O-H
2 2923,072 CH3 alkana
3 2853,778 metilen (-CH2-)
4 1739,616 C=O ester

Identifikasi kandungan di dalam minyak biji alpukat dengan GC-MS


dilakukan untuk meyakinkan bahwa minyak yang diperoleh dari hasil
ekstraksi adalah asam lemak. Dalam pembuatan membran poliuretan, asam
lemak digunakan sebagai sumber -OH. Berdasarkan hasil tersebut diduga
bahwa minyak biji alpukat hasil ekstraksi mengandung empat senyawa,
dengan kelimpahan yang paling tinggi dimiliki oleh puncak 2, sedangkan
kelimpahan paling kecil dimiliki oleh puncak 4. Kromatogram hasil analisis
dapat dilihat pada Gambar 7.6 berikut.

Gambar 7.6. Kromatogram minyak biji alpukat

Gambar 7.6 di atas menunjukkan bahwa terdapat empat puncak


kromatogram dengan waktu retensi yang berdekatan. Dari hasil MS
(Gambar 7.7) yang disesuaikan dengan data base. menunjukkan bahwa
senyawa yang terdapat di dalam minyak biji alpukat hasil ekstraksi adalah
asam linoleat (35,19 %), asam oleat (28,11 %), asam palmitat (28,05 %)
dan asam stearat (7,08 %). Waktu retensi dan luas puncak yang dihasilkan
dari hasil analisis GC-MS dapat dilihat Tabel 7.2.

88
Tabel 7.2 Data kandungan senyawa di dalam minyak biji alpukat
Puncak Waktu Retensi Luas Puncak Senyawa dugaan
(Menit) (%)
1 40,839 28,05 Asam Palmitat
2 44,376 35,19 Asam Linoleat
3 44,478 28,11 Asam Oleat
4 44,851 7,08 Asam Stearat

Gambar 7.7. Kromatogram MS minyak hasil ekstraksi (a) asam palmitat (b)
asam linoleat (c) asam oleat (d) asam stearat

Hasilnya penentuan sifat fisik-kimia minyak alpukat tercantum dalam tabel


7.3. Minyak biji alpukat hasil ekstraksi memiliki berat jenis 0,6872 g/mL, jika
dibandingkan dengan hasil penelitian Pramudono et al. (2008), dengan nilai
0,922 g/mL dan Prasetyowati et al. (2010) dengan nilai 0,6951 g/mL, hal ini
berarti derajat ketidak jenuhan minyak biji alpukat hasil ekstraksi lebih kecil

89
dari kedua penelitian tersebut. Terbukti dari komposisi asam lemak tak
jenuh hasil GC-MS yaitu sebesar 63,3 %, masing-masing berasal dari asam
linoleat (35,19 %) dan asam oleat (28,11 %). Sedangkan hasil penelitian
Pramudono et al. (2008), memiliki asam tak jenuh sebesar 84,85 %.
Semakin tinggi derajat ketidak jenuhan suatu minyak, maka berat jenisnya
makin besar. Dengan kata lain, berat jenis minyak berbanding lurus dengan
ketidak jenuhan asam lemak.

Tabel 7.3 Sifat fisiko-kimia minyak


No Parameter Minyak Hasil penelitian Hasil penelitian
hasil Pramudono et Prasetyowati et
ekstraksi al. (2008) al. (2010)
1 Berat jenis 0,6872 0,922 g/mL 0,6951 g/mL
g/mL
2 Bilangan hidroksil 2,38 mg/g 0,249 mg/g 5,41 mg/g
(-OH)
3 Bilangan iod 50,76 g/g 78,232 g/g 120,567 g/g

Hasil perhitungan bilangan hidroksil (-OH) minyak biji alpukat hasil ekstraksi
didapatkan sebesar 2,38 mg/g. Hal ini dibuktikan dengan hasil analisis FTIR
yaitu adanya serapan pada bilangan gelombang 3393,819 cm-1 (Gambar
4.4). Bilangan (-OH) minyak biji alpukat hasil ekstraksi lebih tinggi jika
dibandingkan dengan hasil penelitian Pramudono et al (2008). Namun hasil
tersebut belum sesuai dengan nilai yang ditetapkan oleh ASTM (1961) yaitu
162 mg/g. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti yang
diungkapkan oleh Santiyo (2005), kondisi biji, perlakuan sampel dan suhu
ekstraksi dapat mempengaruhi sifat kimia minyak.

Selain bilangan hidroksil (-OH), sifat fisiko-kimia lainnya pada minyak biji
alpukat hasil ekstraksi adalah bilangan iod. Semakin tinggi nilai bilangan
iod maka semakin tinggi konsentrasi asam lemak tak jenuh yang
terkandung dalam minyak tersebut. Dari hasil penelitian, diperoleh
bilangan iod minyak ekstraksi sebesar 50,76 g/g. Jumlah ini lebih kecil
dibandingkan dengan penelitian Pramudono et al. (2008), dan Prasetyowati
et al. (2010), yaitu 120,567 g/g dan 78,232 g/g. Perbedaan ini disebabkan
oleh jumlah kandungan asam lemak tidak jenuh pada minyak biji alpukat
hasil ekstraksi lebih sedikit.

Hasil karakterisasi minyak dapat disimpulkan bahwa minyak biji alpukat


mempunyai gugus -OH yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber poliol

90
untuk pembuatan membran poliuretan (PU). Rohaeti. (2003), membuktikan
bahwa semakin tinggi bilangan hidroksil yang dimiliki polioksietilen glikol
sebagai sumber poliol dalam sintesis poliuretan semakin tinggi pula sifat
termal dan sifat mekanik poliuretan yang dihasilkan.

7.3 Sintesis Membran Poliuretan (PU)

Jenis dan ukuran setiap monomer pembentuk poliuretan (PU) akan


memberikan konstribusi terhadap sifat poliuretan yang dihasilkan. Hal ini
membuat poliuretan dapat disintesis dengan massa jenis dan kekakuan
bervariasi mulai dari yang sangat fleksibel hingga plastik kaku dan rigid,
sehingga produk poliuretan (PU) dapat dipakai dalam berbagai aplikasi
(Rohaeti, 2005).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi isosianat <1,6 gram


menghasilkan larutan dope yang cair dan tidak dapat dibentuk menjadi
membran. Hal ini disebabkan karena konsentrasi isosianat yang sedikit
sehingga tidak terdistribusi secara sempurna untuk proses ikat silang
dengan gugus -OH. Sama halnya dengan penelitian Mehdi et al. (2012),
membutuhkan 1,5 g isosianat untuk direaksikan dengan tetrametilen glikol
untuk membuat membran poliuretan (PU). Tabel 7.4 menunjukkan bahwa
bila membran PU menggunakan komposisi isosianat >1,8 gram, maka
menghasilkan membran yang keras, rapuh dan mudah sobek. Hal ini
disebabkan karena hard segment yang terbentuk dari membran lebih
banyak dibandingkan dengan bagian soft segment (Marlina, 2007).
Poliuretan (PU) terbentuk dari hard segment yang mengandung uretan, dan
soft segment yaitu polieter/poliester. Sifat luar biasa utama polimer ini
merupakan sifat mekanik yang baik (Mehdi et al., 2012).

Tabel 7.4 Variasi komposisi isosianat pada sintesis membran PU


Sumber Sumber Kode
-OH -NCO (g) membran
dari dari
No Sifat Membran
asam isosianat
lemak (gram)
(ml)
1 5 1,2 I1,2 Cair, berbusa, tidak homogen
5 1,4 I1,4 Berwarna coklat, transparan,
2
lengket

91
5 1,6 I1,6 Berwarna coklat, transparan,
3
homogen, kuat
5 1,8 I1,8 Berwarna coklat, transparan,
4
homogen, kuat
5 2,0 I2,0 Berwarna coklat, transparan,
5
keras, rapuh, kaku

Soft segment

Hard Hard
segment segment
Gambar 7.8. Sintesis poliuretan (Rohaeti, 2011)

Hasil penelitian menunjukkan komposisi isosianat optimum untuk sintesis


membran poliuretan (PU) adalah 1,6-1,8 gram, dimana membran yang
dihasilkan kuat, homogen dan berwarna coklat transparan. Komposisi ini
hampir sama dengan penelitian Mehdi et al. (2012) dan Ameri et al. (2015),
mereka menggunakan masing-masing 1,5 g dan 1.6 g isosianat untuk
pembuatan membran poliuretan (PU). Gambar 7.9 berikut merupakan
membran poliuretan (PU) dari minyak biji alpukat dari berbagai komposisi
HMDI.

a b c

d e

Gambar 7.9 Membran PU dengan berbagai variasi komposisi HMDI a. I1,2,


b. I1,4, c. I1,6, d. I1,8, e. I2,0

92
Larutan dope yang dihasilkan jika menggunakan suhu tinggi yaitu 80-90°C
akan berwarna hitam dan terlalu kental, sehingga membran yang dihasilkan
juga tidak baik. Apabila larutan dope yang dihasilkan dalam keadaan
berbusa, maka membran yang terbentuk juga akan berbusa, bergelembung
sehingga mengakibatkan besarnya pori-pori membran. Variasi suhu dan
waktu polimerisasi dapat dilihat pada tabel 7.5 berikut. Temperatur
polimerisasi yang baik digunakan dalam penelitian ini adalah 27-30°C
dengan waktu 15 menit. Jika waktu yang digunakan saat polimerisasi >15
menit, maka menghasilkan larutan dope yang berbusa. Namun, hasil
penelitian Ameri et al. (2015), mendapatkan hasil polimerisasi optimum
pada suhu 60-80°C dengan waktu 2 jam, mereka mensintesis membran
poliuretan (PU) dari politetrametilen glikol (PTMG) dengan HMDI. Begitu
juga Morteza et al. (2011), mensintesis membran poliuretan (PU) dari
Polipropilen glikol (PPG) dengan HMDI, menggunakan suhu 85 - 90°C
untuk polimerisasi larutan dope. Rahmi (2014) juga mendapatkan suhu
60°C untuk polimerisasi larutan dope dari minyak biji jarak dengan HMDI.
Maka dapat disimpulkan bahwa sumber poliol dapat mempengaruhi suhu
dan waktu polimerisasi larutan dope, walaupun dengan menggunakan
sumber isosianat yang sama. Namun, memiliki kondisi optimum polimerisasi
yang berbeda.

Tabel 7.5 Variasi temperatur dan waktu pembuatan larutan dope

Kondisi polimerisasi Kode


No Membran Sifat Membran
T (°C) t (menit)
1 27-30 15 A1 Cair, tidak berbusa
2 27-30 60 A2 kental, berbusa
3 40-50 15 B1 Cair, tidak berbusa
4 40-50 60 B2 Kental, berbusa
5 60-70 15 C1 Cair, tidak berbusa
6 60-70 60 C2 Kental, berbusa
7 80-90 15 D1 Hitam, cair
8 80-90 60 D2 Kental, hitam, berbusa

93
Selain kondisi polimerisasi, kondisi proses curing juga sangat
mempengaruhi sifat membran yang terbentuk, penelitian ini menvariasi
suhu dan waktu curing (Tabel 7.6) untuk mengetahui kondisi optimum.

Tabel 7.6. Variasi temperatur dan waktu curing


Kondisi
N curing
Sifat Membran
o T t
(°C) (jam)
1 70 10 Berwarna coklat, transparan, cair
2 70 24 Berwarna coklat, transparan, lengket
70 48 Berwarna coklat, transparan, homogen,
3
keras
4 100 10 Berwarna hitam, lengket
5 100 24 Hangus, lengket
6 120 10 Berwarna hitam, hangus, lengket
7 120 24 Berwarna hitam, hangus, lengket

Tabel 7.6 menunjukkan bahwa temperatur optimum digunakan untuk proses


curing membran poliuretan (PU) adalah 70°C dengan waktu 48 jam. Jika
menggunakan suhu 100°C dan 120°C, hanya dalam waktu 10 jam
membran yang dihasilkan sudah berwarna hitam dan hangus, namun masih
lengket. Hal ini dikarenakan belum terjadinya ikat silang secara sempurna,
sehingga lembaran membran belum terbentuk dengan baik dan homogen.
Jika dibandingkan dengan penelitian Ameri et al. (2015), dan Morteza et al.
(2011), suhu optimum untuk proses curing tidak jauh berbeda, mereka
menggunakan suhu 60°C dan 65°C, namun waktu yang digunakan selama
24 jam.

Penelitian ini membutuhkan waktu yang lama untuk proses curing


dikarenakan saat proses polimerisasi larutan dope hanya dalam waktu 15
menit. Maka belum terjadi ikat silang secara sempurna, hal ini terbukti
larutan dope masih cair (belum mengental). Waktu 48 jam untuk proses
curing merupakan proses terjadinya ikat silang secara sempurna, sehingga
membran yang dihasilkan keras, kuat, homogen dan transparan.
Membran poliuretan (PU) yang dihasilkan dari berbagai variasi konsentrasi
HMDI, variasi temperatur dan waktu polimerisasi serta variasi temperatur

94
dan waktu curing, maka kondisi terbaik secara visual didapatkan yaitu pada
jumlah HMDI sebanyak 1,6 dan 1,8 gram, temperatur polimerisasi 30°C
dengan waktu 15 menit, temperatur curing 70°C dengan waktu 48 jam.
Semua membran yang terbentuk akan diuji kinerjanya, yaitu meliputi fluks
dan rejeksi. Hasil optimum yang didapatkan selanjutnya akan dilakukan
karakterisasi.

7.4 Karakterisasi Membran PU

7.4.1 Kinerja Membran Poliuretan (PU)

Setelah proses kompaksi selesai dilakukan selama 30 menit menggunakan


aquades, maka dilakukan pengukuran fluks membran setiap 60 detik pada
tekanan 10 bar. Pengukuran fluks hanya dapat dilakukan dalam waktu 60
detik dikarenakan modul filtrasi yang digunakan berukuran kecil, yaitu 500
ml. Luas membran sebesar 0,0025 m2, dengan jari-jari masing membran
4,06 cm. Data pengukuran fluks dapat dilihat pada Tabel 7.7.

Tabel 7.7. Data pengukuran fluks membran PU


Volume Permeat (ml) Fluks
No Membran
tiap 60 detik L/m2.jam.bar
1 I1,6A1X3 37 148
2 I1,6B1X2 350 1400
3 I1,6B1X3 300 1200
4 I1,8A1 X3 22 88
5 I1,8B1 X3 240 960
6 I1,8C1 X3 57 228
* I1,6A1X3 (isosianat 1,6 g; polimerisasi 27-30°C,waktu 15 menit; curing 70°C,
waktu 48 jam)
* I1,6B1X2 (isosianat 1,6 g; polimerisasi 40-50°C,waktu 15 menit; curing 70°C,
waktu 24 jam)
* I1,6B1X3 (isosianat 1,6 g; polimerisasi 40-50°C,waktu 15 menit; curing 70°C,
waktu 48 jam)
* I1,8A1X3 (isosianat 1,8 g; polimerisasi 27-30°C,waktu 15 menit; curing 70°C,
waktu 48 jam)
* I1,8B1X3 (isosianat 1,8 g; polimerisasi 40-50°C,waktu 15 menit; curing 70°C,
waktu 48 jam)
* I1,8C1X3 (isosianat 1,8 g; polimerisasi 60-70°C,waktu 15 menit; curing
70°C, waktu 48 jam)

95
Proses operasi filtrasi menggunakan tekanan 10 bar, dikarenakan membran
tidak mampu bekerja dengan tekanan <10 bar. Hal ini kemungkinan
dikarenakan pengaruh waktu curing yang lama, sehingga mengakibatkan
peningkatan konsentrasi polimer pada bagian atas lapisan membran yang
mengakibatkan pori membran menjadi lebih kecil yang akhirnya
menghasilkan fluks yang kecil (Li, 2009; Soroko, 2011). Hal tersebut
dibuktikan dengan data pengujian fluks (Tabel 7.7) bahwa membran yang
dicuring dalam waktu 24 jam (I1,6B1X2) memiliki nilai fluks yang paling besar,
yaitu 1400 L/m2.jam.bar. Itu artinya membran tersebut memiliki pori yang
lebih besar dari yang lainnya. Membran I1,8A1X3 memiliki nilai fluks yang
paling kecil yaitu 88 L/m2.jam.bar, hal ini dikarenakan membran tersebut
memiliki pori yang lebih kecil daripada membran lainnya.

Semakin tinggi fluks membran, maka nilai rejeksi akan semakin kecil, dan
sebaliknya. Semakin rendah fluks membran, maka rejeksi akan semakin
tinggi. Membran yang dihasilkan dalam penelitian ini diharapkan mampu
merejeksi merkuri (Hg) sebesar mungkin. Maka dengan itu membran yang
menghasilkan fluks rendah dianggap sebagai membran yang optimum
dalam penelitian ini, yaitu membran I1,8A1X3 memiliki nilai fluks 88
L/m2.jam.bar.

Hasil nilai fluks yang didapatkan tidak jauh berbeda dengan penelitian
Cahya (2012), yaitu 34,416 L/m2.jam.bar, dengan luas membran sebesar
10,75 x 10-4 m2. Penelitiannya yaitu membuat dan mengkarakterisasi
membran nanofiltrasi dari bahan dasar limbah kulit nenas untuk pengolahan
air.

Pengukuran rejeksi membran dilakukan dengan menggunakan umpan


berupa air sumur yang tercemar merkuri. Untuk pengukuran rejeksi, air
sumur sebelum dan sesudah dilewatkan membran diukur kadar merkuri.
Proses filtrasi dengan membran dianggap berhasil jika mampu merejeksi
>60 %. Data hasil pengukuran rejeksi tercantum dalam Tabel 7.8.

Tabel 7.8 Data pengukuran rejeksi membran PU


Sampel Konsentrasi Konsentrasi permeat Rejeksi (%)
umpan (ppb) (ppb)
Air sumur 5,8226 0,0658 98,87

96
Tabel 7.8 dapat disimpulkan bahwa membran PU hasil sintesis berhasil
menurunkan kadar merkuri dalam air sumur dengan nilai rejeksi 98,87 %.
Jika dilihat dari proses filtrasi dengan menggunakan tekanan 10 bar, maka
membran PU hasil sintesis dapat digolongkan ke dalam jenis membran
nanofiltrasi. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Barakat et al. (2011); Feng
et al. (2014); Ren et al. (2011), bahwa membran nanofiltrasi beroperasi
pada tekanan antara 5-35 bar dan memiliki pori yang kecil sehingga dapat
memisahkan air dari padatan terlarut, bakteri, virus, ion multivalensi seperti
Ca2+, Mg2+ , Hg2+, dan lain-lain.

Hasil penelitian didapatkan bahwa membran poliuretan yang menghasilkan


kinerja yang terbaik yaitu pada komposisi HMDI 1,8 g, suhu polimerisasi
30°C selama 15 menit, suhu curing 70°C selama 48 jam, membran optimum
diberi kode I1,8A1 X3, selanjutnya membran optimum akan disebutkan
dengan kode membran. Membran poliuretan (PU) tersebut dikarakterisasi
gugus fungsi, sifat kimia, mekanik, termal serta sifat morfologinya.

7.4.2 Sifat Kimia

Analisa gugus fungsi dari membran PU dengan kinerja terbaik diperlihatkan


pada Gambar 7.10.

Gambar 7.10. Spektrum FTIR membran PU

Untuk membuktikan bahwa membran poliuretan berhasil direaksikan dari


minyak biji alpukat dengan HMDI, maka dapat dilihat perbandingan hasil
spektrum FTIR pada Gambar 7.11 dan data perbandingan pada Tabel 7.8 .

97
Gambar 7.11 FTIR minyak, HMDI, dan membran PU

98
Tabel 7.8 Data perbandingan spektrum FTIR minyak biji alpukat, HMDI dan
membran PU
No Minyak biji alpukat HMDI Membran PU

Bilangan Gugus Bilangan Gugus Bilangan Gugus


gelomban fungsi gelomban fungsi gelomban fungsi
g (cm-1) g (cm-1) g (cm-1)
1 3393,819 O-H - - 3314,996 Regangan
N-H uretan
2 2923,072 CH3 2937,449 CH3 2920,455 CH3 alkana
alkana alkana
3 2853,778 metilen 2861,300 Metilen 2851,713 Metilen
(-CH2-) (-CH2-) (-CH2-)
4 - - 2270 -NCO - -
5 1739,616 C=O 1699,965 Karbonil
ester
6 1609,192 Metilen 1697,728 Metilen 1526,268 C-N-H
(-CH2-) (-CH2-)
7 1457,840 C=C 1458,940 C=O 1458,321 C=O dalam
aromatik allofanat
Metilen
(-CH2-)
8 1374,962 metil - - 1236,507 C-N
(CH3)
9 1236,848 C-O eter - - 1134,562 Uretan eter,
& C-O-C eter
1038,999

Gambar 7.11 dan tabel 7.8 menunjukkan perbedaan antara minyak, HMDI
dan membran PU. Hal ini terbukti bahwa membran PU telah berhasil
berhasil disintesis dari minyak biji alpukat dengan HMDI. Hilangnya gugus -
NCO setelah terbentuknya membran PU yang ditandai dengan tidak
munculnya serapan pada daerah 2270 cm-1. Sebagaimana hasil penelitian
Ameri et al. (2015), bahwa tidak ada puncak pada daerah 2270 cm-1
menunjukkan penyelesaian reaksi secara sempurna. Hal ini membuktikan
bahwa isosianat telah habis bereaksi melalui ikat silang dengan gugus
hidroksil.

99
Uretan yang terbentuk ditandai dengan serapan khasnya yaitu adanya
regangan vibrasi N-H uretan pada panjang gelombang 3314,996 cm-1, tidak
jauh berbeda dengan hasil penelitian Ameri et al. (2015), yaitu muncul
disekitar 3300 cm-1. Hasil ini diperkuat dengan munculnya serapan C-N-H di
1526,268 cm-1. Hampir sama dengan hasil penelitian Gultekin et al. (2009),
menyatakan bahwa spektrum khas uretan menunjukkan adanya pita
serapan untuk C-N-H di 1533 cm-1. Selain itu, adanya uretan eter, dan C-
O-C eter ditandai dengan munculnya serapan 1134,562 cm-1 dan 1038,999
cm-1. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Ameri et al. (2015), yaitu
munculnya puncak 1112 cm-1 dan 1100 cm-1. Mehdi et al. (2012),
menyatakan bahwa munculnya serapan kelompok karbonil dalam poliuretan
pada 1699,965 cm-1 dapat memberikan informasi tentang pemisahan fasa
yang dihasilkan dari soft segmen dan hard segmen. Hal ini diperkuat oleh
Hassanajil et al. (2014) dalam penelitiannya bahwa karbonil terikat
didapatkan pada serapan sekitar 1690 cm-1. Maka dari data FTIR jelas
bahwa minyak biji alpukat hasil ekstraksi yang direaksikan dengan HMDI
sudah terbentuk poliuretan (PU).

7.4.3 Sifat Fisik

Analisa kekuatan mekanik pada membran poliuretan (PU) dilakukan dengan


uji tarik. Sangat penting bagi membran PU diketahui sifat kekuatan tarik,
apalagi jika membran bekerja dengan menggunakan tekanan yang tinggi.

Gambar 7.12 menunjukkan bahwa kuat tarik membran poliuretan (PU) hasil
sintesis sebesar 1,31 kgf/mm2, dengan nilai elongasi 41,34 %. Nilai ini lebih
rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Rohaeti. (2003), yaitu
mendapatkan nilai kuat tarik 6,69 kgf/mm2 dan nilai elongasi 72,58 %. Jika
nilai elongasi tinggi dan kuat tarik rendah, maka polimer tersebut bersifat
elastis. Namun, jika polimer memiliki nilai elongasi yang rendah dan kuat
tarik tinggi, polimer tersebut bersifat kaku. Maka membran poliuretan (PU)
hasil sintesis dapat dikatakan bersifat kaku jika dibandingkan dengan film
poliuretan (PU) hasil penelitian Rohaeti. (2003).

100
Gambar 7.12 Kurva uji tarik

Kuat tarik dipengaruhi oleh perpanjangan saat putus polimer poliuretan


yang berasal dari daerah soft segment, yaitu berupa rantai panjang yang
berasal dari asam lemak pada minyak. Soft segment dapat menurunkan
nilai kuat tarik dan meningkatkan elongasi. Dari nilai kuat tarik dan elongasi
maka diperoleh nilai modulus young. Berdasarkan hasil perhitungan maka
didapatkan nilai modulus young sebesar 0,031 kgf/mm2. Nilai ini lebih
rendah jika dibandingkan dengan modulus young hasil penelitian Rohaeti.
(2003) yaitu 0,092 kgf/mm2. Hal ini disebabkan ikatan hidrogen sebagai
pembentuk soft segment sehingga sifat mekaniknya turun. Namun,
membran hasil sintesis mampu beroperasi pada tekanan sampai 10 bar
yang dibuktikan saat uji filtrasi.

101
Tm 359,33oC

Gambar 7.13 Termogram DTA membran PU I1,8A1X3.

Gambar 7.13 menunjukkan bahwa membran PU berkinerja terbaik memiliki


nilai Tg 52°C. Suhu Tg pada polimer dipengaruhi oleh daerah kristal.
Munculnya puncak endotermik pada suhu 10-50°C dapat dinyatakan bahwa
kristal terbentuk di daerah soft segment (Mehdi et al., 2012). Membran PU
ini memiliki nilai kristalinitas sebesar 24,23 % serta titik leleh pada suhu
359,33°C, yang menunjukkan bahwa membran yang dihasilkan kuat, dan
kaku. Persen kristalinitas juga dapat mempengaruhi bentuk membran, yang
mana apabila derajat kristalin mendekati nol maka polimernya transparan,
namun jika derajat kristalisasi >1 maka membentuk polimer yang buram.
Membran hasil penelitian didapatkan nilai kristalisasi yaitu 0,2423°C
min/mg, sehingga membran yang dihasilkan transparan. Adanya suhu
kristalisasi juga dapat memperkuat sifat poliuretan yang dihasilkan, jika nilai
kristalinitas tinggi maka temperatur dekomposisi akan tinggi (Castonguay,
2001). Membran hasil penelitian memiliki suhu dekomposisi yaitu 500°C.
nilai ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Rohaeti (2003),
yaitu mensintesis membran PU dari minyak jarak dan TDI mendapatkan Td
pada suhu 417,64°C. Maka dapat disimpulkan bahwa membran hasil
penelitian memiliki sifat yang keras dan lebih kaku dibandingkan hasil
penelitian Rohaeti (2003).

102
Dalam penelitian ini dilakukan analisa morfologi penampang melintang pada
membran poliuretan (PU) yang memiliki kondisi optimum. Pengujian
dilakukan pada membran sebelum filtrasi dan sesudah filtrasi.

Gambar 7.14 dengan pembesaran 1000 kali, terlihat permukaan membran


poliuretan (PU) yang kurang rata. Hal ini dikarenakan proses pencetakan
membran dilakukan secara manual, sehingga ketebalan permukaan yang
terbentuk tidak sama, juga terdapat lubang menandakan larutan belum larut
sempurna pada saat pembuatan larutan dope. Terbukti bahwa waktu yang
digunakan untuk polimerisasi hanya 15 menit, sehingga larutan belum
homogen. Hal ini sama seperti yang dilaporkan oleh Cahya. (2012), jika
larutan dope tidak larut sempurna maka morfologi membran akan terlihat
tidak merata.

a b

Gambar 7.14 Hasil SEM membran PU I1,8A1X3 (a) sebelum filtrasi (b)
sesudah filtrasi

Pada Gambar 7.14 juga terlihat perbedaan antara membran sebelum


dengan sesudah digunakan pada proses filtrasi. Membran sesudah filtrasi
memperlihatkan pori-pori yang lebih banyak dan lebih besar, hal ini
dikarenakan membran sudah dilakukan uji filtrasi dengan operasi 10 bar.
Walaupun membran tahan terhadap tekanan dan tidak sobek saat diuji
filtrasi, namun pengaruh tekanan tinggi dapat mengakibatkan kerusakan di
dalam membran.

103
a

Gambar 7.15 Spektrum EDX membran PU (a) sebelum filtrasi (b) sesudah
filtrasi

Tabel 7.10. Komponen membran PU hasil EDX


Sebelum fitrasi Sesudah filtrasi
Komponen % berat Komponen % berat
Nitrogen 42.184 Karbon 44.262
Karbon 44.393 Nitrogen 43.170
Oksigen 13.422 Oksigen 9.725
Magnesium 0.340
Silicon 0.016
Phosfor 0.144
Sulfur 0.060
Iron 0.337
Copper 0.131
Cadmium 0.305
Merkuri 0.648

Hasil spektrum EDX (Gambar 7.15 dan Tabel 7.10 ) didapatkan bahwa
membran PU sebelum filtrasi hanya terdapat komponen N,C,dan O. hal ini
jelas bahwa N,C,O adalah komponen utama penyusun membran PU.
Namun spektrum EDX pada membran yang sesudah filtrasi terdeteksi

104
logam-logam yang terdapat di dalam air, salah satunya adalah merkuri. Ini
terbukti bahwa membran PU sudah berhasil menyaring merkuri yang ada di
dalam air sumur.

Uji ketahanan kimia bertujuan untuk mengetahui efek-efek kerusakan


membran seperti bengkak, erosi permukaan, atau crazing (perkembangan
fraktur-fraktur tekanan) juga dipertimbangkan (Sopyan, 2007). Ketahanan
kimia dinyatakan dengan persen retensi terhadap sifat-sifat tersebut.

H2SO4 3%

Gambar 7.16 Ketahanan kimia membran PU

Gambar 7.16 memperlihatkan bahwa membran poliuretan (PU) tahan


terhadap berbagai larutan kimia, tidak memiliki kehilangan berat yang
signifikan setelah direndam selama 4 minggu. Namun, tidak untuk larutan
KOH 3 %. Membran yang direndam dalam KOH 3 % terjadi kehilangan
berat sebesar 14,46 % pada minggu ke-II, dan 46,31 pada minggu ke-III.
Hal ini dikarenakan terjadinya perlawanan dari alkali terhadap ikatan ester
hidrolisa yang ada dalam minyak ( Das et al., 2012) atau sering disebut
dengan proses saponifikasi, terbukti dengan adanya perubahan pada
larutan KOH 3 % menjadi berbusa.

105
BAB 8
MINYAK NYAMPLUNG

8.1 Tumbuhan Nyamplung

Tumbuhan nyamplung yang memiliki nama latin Calophyllum inophyllum


adalah nama sejenis pohon tepi pantai yang rindang. Bagian tumbuhan ini
yang umum digunakan adalah kayunya untuk kebutuhan konstruksi, mebel,
kapal, dan lain-lain. Getah dari kulit kayunya bisa dijadikan obat, sedangkan
biji buah nyamplung belum dimanfaatkan dengan baik.

Tanaman nyamplung memiliki beberapa asal-usul yaitu; Afrika Timur, India,


Asia Tenggara, Australia, dan Pasifik Selatan. Tumbuhan nyamplung
tumbuh di daerah dengan curah hujan tahunan 1000-5000 mm pada
ketinggian 0-200 m. Tinggi tanaman nyamplung berkisar antara 8-20 m (25-
65 ft), kadang-kadang mencapai hingga 35 m (115 kaki) (Ong et al., 2014).
Gambar 8.1 menunjukkan bentuk tumbuhan nyamplung, yang memiliki
bentuk daun elips, mengkilap dan tebal. Panjang daun 10-20 cm dan lebar
6-9 cm. Bunganya berwarna putih dengan benang sari berwarna kuning,
berukuran lebar sekitar 25 mm dan partikulat perbungaan terdiri dari 4-15
bunga (Sanjid et al., 2013).

Dalam dunia tumbuhan, tanaman nyamplung memiliki taksonomi sebagai


berikut :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Guttiferales
Famili : Guttiferae
Genus : Callophylum
Spesies : Callophylum inophyllum

8.2. Minyak biji nyamplung

Buah nyamplung berbentuk bulat dengan biji tunggal yang besar dan
diameternya 2-4 cm. Ketika sudah masak, buahnya akan keriput dan
warnanya akan berubah dari kuning kemerahan menjadi kecoklatan. Biji
nyamplung berwarna kuning pucat dan tidak berbau ketika masih segar.
Gambar 8.2 menunjukkan buah nyamplung segar, biji sebelum dan sesudah
proses pengupasan, biji segar dan biji kering. (Sanjid et al., 2013).

105
Gambar 8.1. Tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum)

(a) (b) (c) (d)

Gambar 8.2. (a). Buah nyamplung segar, (b). Buah nyamplung kering, (c).
Biji nyamplung dan cangkangnya, (d). Biji nyamplung segar
dan kering.(Atabani et al., 2014)

Bahan baku yang digunakan adalah buah nyamplung yang berasal dari
Ujong Pancu, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Biji nyamplung
terlebih dahulu dikeluarkan dari tempurung, kemudian dikeringkan selama 7
hari sampai warnanya berubah menjadi merah kecoklatan. Selanjutnya biji
nyamplung tersebut digiling sampai halus sampai berbentuk serbuk. Satu
Kg buah nyamplung kering setara dengan kira-kira 600 gram biji
nyamplung, dan setelah pengeringan berat biji nyamplung menjadi ± 400
gram. Ekstraksi minyak dari biji nyamplung dilakukan melalui proses
sokletasi menggunakan pelarut n-heksana. Ekstrak kasar minyak biji

106
nyamplung dipisahkan dengan pelarut menggunakan rotary evaporatory
untuk mendapatkan ekstrak murni minyak biji nyamplung.

Hasil ekstraksi minyak rata-rata randemennya adalah sebesar 55,55%, yaitu


±555,5 mL dari satu Kg sampel. Hasil yang diperoleh lebih kecil
dibandingkan penelitian yang telah dilakukan oleh Suhendra (2013) yaitu
sebesar 66,58%, Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan
lamanya ekstraksi dan kematangan buah. Kondisi geografis tempat tumbuh
tanaman tersebut juga sering menjadi penyebab terjadinya perbedaan
rendemen minyak (Manzoor, 2007). Atabani et al., (2014) mengatakan
bahwa biji nyamplung memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi sekitar
40-73%. Produknya adalah cairan berwarna hijau kekuningan dengan
densitas 0,88 g/mL. Densitas ekstrak minyak biji nyamplung yang diperoleh
juga lebih kecil dibandingkan hasil penelitian Kartika et al (2012) yaitu 0,93
g/mL, hal ini mungkin disebabkan karena perbedaan bahan baku yang
digunakan dan cara penanganannya (Kartika et al., 2012). Minyak biji
nyamplung yang diperoleh cukup tinggi sehingga buah nyamplung ini bisa
dijadikan sebagai sumber minyak nabati yang selanjutnya digunakan untuk
mensintesis membran poliuretan.

Minyak biji nyamplung memiliki bilangan iod rata-rata sebesar 83,53 mg


iod/g minyak. Penentuan bilangan iod dilakukan dalam 3x pengulangan.
Bilangan iod yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan penelitian Hasibuan
et al., (2013) yaitu 86,42 mg iod/g minyak. Sementara bilangan -OH rata-
rata yang diperoleh sebesar 64,292 mg KOH/gram. Bilangan OH yang
diperoleh lebih tinggi dari penelitian sebelumnya yaitu 59,94 mg KOH/gram
(Hasibuan et al., 2013). Tingginya bilangan OH pada minyak biji nyamplung
ini nantinya akan dimanfaatkan untuk mensintesis membran poliuretan.

Hasil analisis menggunakan FTIR (Gambar 8.3), diketahui bahwa adanya


trigliserida dalam minyak nyamplung yang ditandai dengan adanya serapan
C=O pada 1742,448 cm-1, dari gambar tidak muncul serapan –OH pada
daerah 3300-3400 hal ini menunjukkan bahwa minyak yang dihasilkan
berupa ester, hal ini diperkuat dengan adanya serapan C-O pada bilangan
gelombang 1159,275 cm-1. Keberadaan asam lemak tak jenuh pada
minyak nyamplung dibuktikan dengan adanya serapan C=C pada daerah
1624,51cm-1, diperkuat adanya serapan C-H alkena pada 3000-3100 cm-1.

107
Gambar 8.3. Spektrum FTIR minyak biji nyamplung

Tabel 8.1. Gugus fungsi minyak biji nyamplung


No Bilangan gelombang (cm-1) Gugus fungsi
1 1742,448 C=O karboksilat
2 1159,275 C-O ester
3 1624,51 C=C alkena
4 3000-3100 C-H alkena

Hasil analisis GC-MS pada ekstrak minyak biji nyamplung menunjukkan


adanya 4 puncak besar (Gambar 8.4). Hasil analisis spektrum massa
dengan kromatogram sampel minyak biji nyamplung dapat dilihat pada
Tabel 8. 2. Puncak-puncak dengan waktu retensi (tR) seperti pada Tabel
8.2 memiliki spektrum massa yang dapat menjadi dasar pendugaan
senyawa pada waktu retensi tertentu apabila dibandingkan dengan
spektrum massa database MS yang memiliki nilai Simiearity Index (SI)
tinggi. kromatogram spektrum massa sampel dan spektrum massa
database MS dari puncak tertinggi pada beberapa waktu retensi dapat
dilihat pada Gambar 8.4.

108
Gambar 8.4 : Kromatogram minyak biji nyamplung

Gambar 8.5. Spektrum massa senyawa target puncak no 4 dan spektrum


massa data library senyawa 11-asam oleat, metil ester (11-
Octadecenoic acid, methyl ester) (SI= 96)

109
Tabel 8.2. Hasil analisi spektrum massa kromatogram sampel minyak biji
nyamplung
No Waktu Kelimpaha Fragmentasi (m/z) Senyawa dugaan
punca retensi n (berdasarkan library
k (menit) (%) MS)
2 40,808 17,94 270 (M+), 239, 227, asam palmitat
199, 185, 171, 157, (Hexadecenoic acid,
143, 129, 115, 101, 87, methyl ester)
74, 57, 41
3 44,347 23,12 294 (M+), 150, 136, asam linoleat (9,12-
109, 95, 81, 67, 41 Hexadecadienoic
acid, methyl ester)
4 44,499 42,54 296 (M+), 264, 222, asam oleat (11-
180, 123, 98, 74, 69, Octadecenoic acid,
56, 41 methyl ester)
5 44,864 15,33 298 (M+), 267, 255, asam stearat
213, 199, 185, 157, (Octadecanoic acid,
143, 129, 115, 101, 87, methyl ester)
74, 57, 43,41

Asam oleat yang memiliki massa 296 m/z merupakan komponen terbesar
yang terkandung pada ekstrak minyak biji nyamplung. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh Ong et al (2014), Adewuyi et al (2014)
dan Hasibuan et al (2013). Namun, kandungan asam oleat pada ekstrak
minyak biji nyamplung hasil analisis lebih besar dibandingkan dengan
penelitian-penelitian terdahulu. Ong et al (2014) mendapatkan kelimpahan
asam oleat sebesar 39,8%, linoleat 28,1%, stearat 15,9%, palmitat 14,2 %,
sedangkan dalam penelitian ini kelimpahan asam oleat sebesar 42,54%,
asam linoleat 23,12%, asam stearat 15,33% dan asam palmitat 17,94%,
sehingga sangat potensial untuk dijadikan bahan dasar pembuatan
membran poliuretan. Kandungan minyak dari biji nyamplung sekitar 40-73%
(Atabani et al., 2014). Minyak nyamplung mengandung jumlah asam lemak
tak jenuh yang lebih tinggi (70,8%) dari pada asam lemak jenuh (29,2%).
Namun, komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuh bervariasi dengan
tahap kematangan buah (Hathurusingha et al., 2011). Sanjid et al (2013)
juga menyatakan bahwa biji nyamplung memiliki kandungan minyak yang
sangat tinggi dan sebagian besar dari mereka adalah asam lemak tak jenuh
yaitu oleat (C18:1) mencapai 34,09 %, linoleat(C18:2) mencapai 38,26 %,
linolenat (C18:3) 0,3%, sedangkan asam lemak jenuhnya yaitu palmitat

110
(C16:0) 12,01%, stearat (C18:0) 12,95 %. Struktur asam lemak dari minyak
biji nyamplung dapat dilihat pada Gambar 8.6.

Gambar 8.6. struktur asam lemak (Aziz, 2016)

8.3. Pembuatan Membran Poliuretan

Proses pembuatan membran poliuretan dilakukan dengan cara


mereaksikan minyak biji nyamplung dengan heksametilen-1,6-diisosianat
(HMDI). Pada penelitian ini digunakan variasi komposisi HMDI dan suhu
curing untuk mendapatkan membran dengan kinerja dan sifat mekanik yang
baik, sedangkan faktor lain seperti waktu dan suhu polimerisasi dibuat
konstan. Pembuatan membran poliuretan dilakukan dengan cara
polimerisasi pada suhu 95-100 OC selama 60 menit, sehingga diperoleh
larutan dope poliuretan berwarna kuning bening dan sedikit kental,
kemudian dicetak di cawan petri dan dicuring selama 8 jam. Variasi suhu
curing yang digunakan 70 - 155 oC dan rasio komposisi minyak biji
nyamplung terhadap HMDI yaitu; 5:3 ; 5:5 ; 5:7 ; 5:9 (v/w). Setelah proses
curing, membran dilepas sehingga didapat membran dalam bentuk
lembaran. Komposisi optimum HMDI yang digunakan ditentukan dengan
cara trial and error, karena belum diketahui secara pasti perbandingan yang
tepat untuk menghasilkan membran poliuretan dari minyak biji nyamplung
yang memiliki kinerja optimum.

Pada saat proses polimerisasi berlangsung, temperatur diatur pada suhu


100 oC dan dicuring pada 70-155 oC. Reaksi polimerisasi yang terjadi yaitu
secara adisi, yaitu terjadi pemutusan ikatan rangkap pada atom C yang

111
berikatan dengan N pada gugus –NCO dari HMDI. Proses curing dilakukan
untuk menghasilkan ikat silang antara isosianat dengan gugus OH pada
minyak. Banyaknya ikat silang yang terbentuk tergantung dari banyaknya
jumlah gugus OH dari minyak yang berikatan dengan gugus –NCO,
Semakin banyak jumlah gugus OH yang berikatan dengan isosianat maka
semakin banyak ikat silang yang dihasilkan (Kothandaraman et al., 1989).
Banyaknya ikatan uretan dapat mempengaruhi ukuran pori membran,
semakin banyak ikatan uretan maka pori diantara ikatan-ikatan uretan
semakin rapat, sehingga untuk mendapatkan membran dengan ukuran pori
nano maka diperlukan banyak gugus OH untuk berikatan dengan isosianat.

Tabel 8.3. Bentuk visual membran poliuretan dengan variasi komposisi


HMDI
No MBN HMDI Polimerisasi Curing Keterangan visual
(mL) (g) Suhu Waktu Suhu Waktu membran
0 0
( C) (menit) ( C) (menit)
1 5 3 95-100 60 150-155 480 Tidak kering,lunak,
mudah putus, coklat
2 5 5 95-100 60 150-155 480 Homogen, Sedikit
berminyak, mudah
putus, kuning
kecoklatan
3 5 7 95-100 60 150-155 480 Homogen, keras,
elastis, kering, tidak
rapuh, kuning
transparan
4 5 9 95-100 60 150-155 480 Tidak homogen, keras,
rapuh, kering, kuning
kecoklatan
MBN = minyak biji nyamplung
HMDI= heksan metilen-1,6-diisosianat

Berdasarkan Tabel 8.3 dapat disimpulkan bahwa membran yang memiliki


visual yang baik adalah membran dengan komposisi 5:5 dan 5:7 (v/w),
selanjutnya terhadap komposisi tersebut divariasikan temperatur curing
untuk menentukan kondisi optimum.

112
Tabel 8.4. Sifat kualitatif membran poliuretan pada variasi suhu curing
MBN HMDI curing Keterangan visual membran
0
(mL) (g) Suhu ( C)
5 5 70-75 Cair, kuning kecoklatan
5 5 90-95 Lunak, kuning kecoklatan
5 5 110-115 Lunak, kuning kecoklatan
5 5 130-135 Tidak kering, mudah putus, kuning kecoklatan
5 5 150-155 Homogen, berminyak, mudah putus, kuning cokelat
5 6 70-75 Homogen, lunak, kuning kecoklatan
5 6 90-95 Homogen, lunak, kuning kecoklatan
5 6 110-115 Homogen, mudah putus, kuning transparan
5 6 130-135 Homogen, elastis, kuning transparan
5 6 150-155 Homogen, elastis, kering, kuning transparan
5 7 70-75 Homogen, lunak, kuning kecoklatan
5 7 90-95 Homogen, lunak, kuning kecoklatan
5 7 110-115 Homogen, mudah putus, kuning transparan
5 7 130-135 Homogen,sedikit keras, elastis, kuning transparan
5 7 150-155 Homogen,sedikit keras, elastis, kering, kuning
transparan
MBN = minyak biji nyamplung
HMDI= heksan metilen-1,6-diisosianat

Berdasarkan Tabel 8.4 membran dengan penampilan visual yang baik


diperoleh pada kondisi perbandingan komposisi minyak dan HMDI 5:7 (v/w),
dengan temperatur curing 150-155 oC. Membran poliuretan dari minyak biji
nyamplung yang diperoleh memiliki sifat yang homogen, sedikit keras,
elastis, kering, tidak rapuh dan berwarna kuning transparan.

8.4. Karakterisasi Membran Poliuretan

Membran yang memiliki bentuk yang paling baik dilakukan pengukuran


kinerja yang meliputi fluks dan nilai rejeksinya, kemudian dikarakterisasi
sifat fisik dan kimianya/

8.4.1. Kinerja Membran

Pengukuran fluks dilakukan dengan mengalirkan aquades menggunakan


modul nanofiltrasi sistem aliran dead end menggunakan membran yang
telah dihasilkan dengan tekanan 10 bar. Sedangkan untuk foktor rejeksi
dilakukan dengan cara menentukan konsentrasi umpan dan konsentrasi
permeat air sumur penduduk di kawasan pertambangan emas Gunong

113
Ujeun Aceh Jaya, Provinsi Aceh yang telah difiltrasi menggunakan
membran poliuretan minyak biji nyamplung. Luas membran yang digunakan
25,5 x 10-4 m2 dan waktu filtrasi 5 menit. Hasil fluks dan faktor rejeksi dapat
dilihat pada Tabel 8.5.

Tabel 8.5. Kinerja membran poliuretan dari minyak biji nyamplung


2
No MBN (mL) HMDI curing Fluks (L/m .jam.bar) Faktor rejeksi (%)
0
(g) Suhu ( C)
1 5 6 130-135 4,235 *
2 5 6 150-155 3, 294 *
3 5 7 110-115 * *
4 5 7 130-135 2,824 *
5 5 7 150-155 2,353 92,675
*tidak diuji
MBN = minyak biji nyamplung
HMDI= heksan metilen-1,6-diisosianat

Hasil filtrasi selama 5 menit untuk membran minyak biji nyamplung


menghasilkan fluks sebesar 2,353 L/m2.jam.bar. Berdasarkan nilai fluks
yang diperoleh maka membran yang dihasilkan adalah membran
nanofiltrasi. Menurut Mulder (1996), permeabilitas membran nanofiltrasi 1,4-
12 L.m-2.Jam-1.bar-1 dengan tekanan 10-35 bar. Hasil pengukuran faktor
rejeksi menunjukkan membran poliuretan minyak biji nyamplung memiliki
faktor rejeksi yang tinggi yaitu 92,675 %.

8.4.2. Sifat Kimia

Analisis gugus fungsi membran poliuretan yang dihasilkan dari reaksi


polimerisasi minyak biji nyamplung dengan HMDI dilakukan menggunakan
FTIR. Gambar 8.7 menunjukkan spektrum FTIR membran poliuretan
minyak biji nyamplung. Keberhasilan proses polimerisasi membran
poliuretan ditunjukkan oleh serapan karakteristik gugus C=O uretan pada
1742,268 cm-1. Terbentuknya ikatan uretan juga ditunjukkan oleh adanya
serapan dari vibrasi ulur N-H sekunder yang mengindikasi adanya
pembentukan ikatan uretan yaitu pada bilangan gelombang 3308,852 cm-1.
Adanya serapan pada 1458,289 cm-1 menunjukkan keberadaan gugus
allofanat pada membran poliuretan. Ikat silang antara uretan dengan
isosianat bebas menghasilkan allofanat, jaringan allofanat terbentuk melalui
reaksi lebih lanjut antara gugus uretan dan gugus isosianat berlebih yang
belum berikatan dengan gugus OH (membentuk uretan) melalui suatu

114
reaksi adisi yang melibatkan nitrogen dari gugus uretan (Howard, 2002).
Pembentukan allofanat dapat terjadi dengan bantuan panas, terutama
panas pada saat curing. Beberapa reaksi sekunder yang mungkin terjadi
pada saat polimerisasi membran poliuretan, yaitu reaksi pembentukan urea,
biuret, allofanat, reaksi pembentukan dimer dan trimerisasi.

Gambar 8.7 : Spektrum FTIR membran poliuretan minyak biji nyamplung

8.4.2 Sifat Fisik

Sifat termal membran poliuretan hasil sintesis dilakukan dengan


menggunakan teknik DTA. Berdasarkan termogram DTA yang diperoleh
maka temperatur transisi glass (Tg), dan temperatur dekomposisi (Td) dari
membran poliuretan yang telah disintesis dapat ditentukan. Gambar 8.8
menunjukkan termogram DTA membran poliuretan minyak biji nyamplung.
Data menunjukkan bahwa nilai Tg pada 63 oC dan Td pada suhu 471,84 oC.
Pada membran ini kandungan kristal nya 5,988 %. Semakin banyak ikatan
uretan yang terbentuk maka hard segment pada membran poliuretan
semakin besar.

115
Gambar 8.8 Termogram DTA membran poliuretan minyak biji nyamplung

Berdasarkan data pada tabel 8.6, membran poliuretan minyak biji


nyamplung mempunyai kekuatan sebesar 1,28 kgf/mm2 dan elongasi
sebesar 53,77 %. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa membran
tesebut bersifat elastis.

Analisis morfologi membran yang menggunakan Scanning Electron


Microscopy (SEM) pada Gambar 8.9 diketahui bahwa membran yang
dihasilkan memiliki disttribusi ukuran pori yang tidak sama besar atau tidak
seragam. Membran poliuretan minyak biji nyamplung memiliki struktur yang
rapat. Hal ini mungkin disebabkan membran dari minyak nyamplung
memiliki soft segmen lebih banyak dibandingkan hard segmen, dan
didukung oleh hasil DTA. Semakin banyak ikat silang uretan yang terbentuk
maka pori yang dihasilkan semakin banyak dan kerapatan pori semakin
rapat.

116
Gambar 8.10. SEM membran minyak biji nyamplung

Element Weight % Weight % σ Atomic %


Carbon 47.802 10.544 52.281
Nitrogen 41.612 11.993 39.026
Oxygen 10.586 8.184 8.692

Gambar 8.11. Grafik EDX pada SEM

117
Element Weight % Weight % σ Atomic %
Carbon 47.588 5.875 52.647
Nitrogen 42.117 6.668 39.954
Oxygen 8.320 3.302 6.910
Magnesium 0.137 0.277 0.075
Phosphorus 0.079 0.221 0.034
Sulfur 0.039 0.113 0.016
Iron 0.472 0.588 0.112
Arsenic 0.415 0.501 0.074
Cadmium 0.252 0.507 0.030
Mercury 0.367 0.454 0.024
Gambar 8.12. Grafik EDX pada SEM membran sesudah filtrasi

Komponen penyusun membran poliuretan yang dihasilkan dari penelitian ini


dapat ditentukan dengan menggunakan EDX (Energy Dispersion X-Ray),
yaitu detektor yang dihubungkan dengan SEM. Hasil analisis EDX dapat
dilihat pada Gambar 8.11. Spektrum EDX menunjukkan bahwa komponen
penyusun membran poliuretan adalah atom karbon dengan kelimpahan
47,82 %, nitrogen 41,61% dan oksigen 10,58%.

Gambar 8.12. menunjukkan hasil SEM-EDX untuk membran poliuretan


minyak biji nyamplung teroksidasi setelah proses filtrasi. Data EDX
menunjukkan komponen yang ada pada membran poliuretan tersebut
adalah karbon, nitrogen dan oksigen sebagai komponen penyusun
membran, sedangkan beberapa unsur logam lainnya adalah yang tertahan
pada saat melakukan proses filtrasi. Data EDX menunjukkan bahwa
membran yang dihasilkan dapat menahan beberapa logam yaitu

118
magnesium yang tertahan sebesar 0,137 %, besi 0,472%, arsen 0,415%,
cadmium 0,252% dan merkuri 0,367%.

Secara umum, hasil penelitian ini memberikan informasi bahwa membran


yang dihasilkan dapat diaplikasikan pada proses pemisahan nanofiltrasi,
yaitu untuk pemisahan merkuri yang larut dalam air. Membran nanofiltrasi
dapat digunakan untuk menghilangkan logam atau kation yang bervalensi 2
seperti Fe, Mn, Sr, Ca, Mg (Marsidi, 2001). Permeabilitas membran
nanofiltrasi 1,4-12 L.m-2.Jam-1.bar-1 dengan tekanan 10-35 bar (Mulder,
1996), fluks yang dihasilkan dari membran minyak biji nyamplung dengan
tekanan yang digunakan 10 bar berada dalam kategori membran jenis
nanofiltrasi.

119
BAB 9 RUMPUT LAUT

9.1. Rumput Laut

Rumput laut adalah tumbuhan yang tidak dapat dibedakan antara bagian
akar, batang dan daun. Semua bagian tumbuhannya disebut thallus. Karena
bentuknya seperti rumput terutama yang berukuran besar dan hidupnya di
laut, maka orang awam terutama kaum usahawan sering menyebutnya
rumput laut, sedangkan kalangan ilmuwan rumput laut dikenal dengan
nama algae. Berdasarkan kandungan pigmen yang terdapat dalam thallus
rumput laut, maka rumput laut dapat digolongkan menjadi : rumput laut
hijau, rumput laut merah dan rumput laut coklat.

Produk industri terpenting dari rumput laut adalah phycocolloid dari rumput
laut merah dan coklat. Phycocolloid dari ke dua kelompok rumput laut
tersebut sangat dibutuhkan industri sebagai larutan emulsi, gelling,
stabilisator, suspensi dan bahan pembeku/perekat. Phycocolloid
didefinisikan sebagai polisakarida yang kompleks, yang membentuk sistem
colloidal ketika dilarutkan dalam air. Bentuk water-soluble-polysaccharida
merupakan bagian utama dari polisakarida pada rumput laut. Polisakarida
yang utama dan penting dari golongan rumput laut merah adalah Agar dan
Karagenan. Ke dua polisakarida ini banyak dimanfaatkan di berbagai bidang
industri, tetapi belum dimanfaatkan sebagai membran poliuretan (PU) .

9.2 Karagenan

Karagenan merupakan molekul besar galaktan yang terdiri dari 100 lebih
unit-unit utamanya. Residu-residu galaktosa tersebut berikatan dengan
ikatan α (13) dan ikatan β (14) secara tukar-tukar. Menurut Guiseley
karagenan adalah polisakarida dengan rantai lurus (linier) yang terdiri dari
D-glukosa 3.6 anhidrogalaktosa dan ester sulfat. Berdasarkan struktur
tersebut, maka karagenan mengandung gugus –OH yang tinggi, sehingga
diharapkan dapat membentuk membran PU yang kuat, karena semakin
banyak gugus –OH semakin banyak kesempatan berinteraksi dengan
gugus –NCO dari TDI, dan semakin kuat ikatan yang tebentuk.

Nama “karagenan” dipercaya berasal dari nama kota tua, Carragheen, di


tepi pantai Irlandia, yang merupakan tempat diciptakannya puding dari
rumput laut. Rumput laut yang paling terkenal dan umum digunakan

120
sebagai bahan baku karagenan adalah Chondrus crispus. Jenis rumput laut
lain yang juga digunakan sebagai sumber karagenan adalah Euheuma
cottoni, Gracilaria sp (Gambar 9.1) dan Euhema spinosum.

Gambar 9.1 Rumput laut merah Gracilaria sp

Berbagai produk karagenan yang terdapat di pasar antara lain adalah :


1. Karagenan murni (refined carrageenan) dalam bentuk kappa, iota, dan
lambda.
2. Kombinasi karagenan murni
3. Kombinasi karagenan murni dan garam, gula atau bahan lain.
4. Karagenan semi-murni (semi refined carrageenan)
5 Kombinasi karagenan murni dan karagenan semi-murni
6. Kombinasi karagenan semi murni dan garam, gula atau bahan lain.
7. Kombinasi karagenan murni, semi murni dan garam, gula atau bahan
lainnya.(Anggraini, 2004)

Sruktur kimia karagenan dapat dilihat pada Gambar 9.2.

(a). k-Karagenan

121
(b).λ-Karagenan

(c). γ-Karagenan.

Gambar 9.2 Struktur kimia Karagenan (a) k-karagenan; (b) λ-


karagenan; (c) γ-karagenan (Kemija, 2007).

Aplikasi karagenan dalam berbagai bidang industri:


1. Beer/wine/vinegar : Mempercepat dan memperbaiki kejernihan
2. Chocolate milk drink : Stabilizer dan memperbaiki viskositas
3. Ice cream : Mencegah pembentukan kristal es dan memperbaiki rasa
4. Sauces, dressing : Mengentalkan dan memperbaiki viskositas
5. Kertas : Memperbaikipenyerapan tinta dan memperkuatdayarobek
6. Tekstil dan karpet : Mengontrol sifat-sifat rheologi tinta dalam jet
printingmachine
7. Pasta gigi : Stabilizer
8. Penyegar ruangan : Gelling agent
9. Daging dan unggas : Penstabil emulsi air/minyak selama proses
preparasi, pemasakan dan penyimpanan serta mencegah denaturasi
protein
10. Noodle : Meningkatkan daya tahan akibat over cooking dan dapat
mengurangi jumlah pemakaian telur tanpa penurunan kualitas
11. Lapisan pembungkusan : Pengontrol kelembaban.

122
9.3 Isolasi Karagenan dari Rumput Laut Merah

Rumput laut merah spesies Gracilaria sp (Gambar 9.3) terlebih dahulu


dicuci untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang menempel, seperti pasir,
karang, garam dan kotoran lainnya. Rumput laut tersebut kemudian
direndam selama 3 jam dalam air kapur untuk menghilangkan bau amis.

(a) (b)

Gambar 9.3 (a) Rumput laut merah sebelum dibersihkan dan (b) setelah di
bersihkan.

Rumput laut yang telah bersih dikeringkan untuk menghilangkan kadar air
(Gambar 9.3b), agar dapat disimpan untuk waktu yang lama. Pengeringan
dapat dilakukan di bawah sinar matahari atau menggunakan oven pada
suhu 60 0C. Pencucian dan pengeringan dilakukan beberapa kali untuk
memperoleh rumput laut kering yang bersih dan putih. Rumput laut yang
sudah bersih dan kering sebelum digunakan dilakukan pencucian kembali
dengan air untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang mungkin terikut
selama penyimpanan. Rumput laut yang telah bersih, selanjutnya
diekstraksi menggunakan air sebanyak 40 – 50 kali berat rumput
lautkering, dengan cara perebusan selama 15 menit. Fungsi perebusan
disini untuk mempermudah ekstraksi karagenan pada saat dihancurkan
dengan blender.

Rumput laut yang lunak diblender menggunakan air panas yaitu untuk
membantu ekstraksi polisakarida menjadi lebih sempurna dan
mempercepat eliminasi 6-sulfat dari unit monomer menjadi 3,6-anhidro-D-
galaktosa, sehingga dapat meningkatkan kekuatan gel (Winarno, 1996).

123
Pemisahan larutan (ekstrak) dan residu (kotoran-kotoran yang terdiri dari
rumput laut yang tidak larut) dilakukan dengan penyaringan menggunakan
kain saring dalam keadaan panas untuk menghindari pembentukan gel.
Ekstrak yang diperoleh diendapkan dengan menambahkan metanol untuk
mendapatkan karagenan murni.

Karagenan basah yang dihasilkan di atas selanjutnya dikeringkan, dan


ditumbuk menjadi tepung. Proses pengeringan akan menentukan sifat dari
tepung karagenan yang dihasilkan, yaitu tepung yang dihasilkan dengan
pengeringan di bawah sinar matahari akan berwarna putih, sedangkan
dengan menggunakan oven berwarna coklat (lihat Gambar 9.4). Hal ini
kemungkinan pemanasan dengan oven telah menyebabkan tepung
karagenan teroksidasi.

(a) (b)
Gambar 9.4. Tepung karagenan dengan pemanasan (a) sinar matahari
dan (b) oven

Rendemen (hasil) tepung karagenan kering yang diperoleh adalah 60,5 %


dari total berat karagenan kering. Secara teoritis rendemen karagenan
yang terkandung dalam rumput laut merah adalah 73 %. Kekurangan hasil
ini dapat disebabkan oleh asal rumpul laut tersebut, serta proses ektraksi
karagenan yang dilakukan tidak tepat, karena secara teori ekstraksi
karagenan dengan menggunakan garam KCl akan menghasilkan
rendeman yang lebih banyak (Murdinah dkk., 1994).

Analisa kualitatif menunjukkan hasil yang positif terhadap karagenan,


sehingga dapat dipastikan bahwa isolasi berhasil dilakukan, yang ditandai
dengan terbentuknya gel seperti pada Gambar 9.5.

124
Gambar 9.5. Analisa kualitatif dari karagenan

Karagenan hasil pengeringan dianalisis dengan spektrofotometer infra


merah (IR) merk Buck-500 yang ditunjukkan pada Gambar 9.6. Data IR
karagenan menunjukkan bahwa adanya serapan yang lebar pada bilangan
gelombang 3100 – 3600 cm-1 untuk gugus hidroksil atau OH, yang
membuktikan bahwa karagenan merupakan suatu polihidroksi dan dapat
disintesis lebih lanjut menjadi PU.

2368,9

3516,4

2969,6
1664,9
3113,8

Gambar 9.6. Spektrum IR dari karagenan

Gambar 9.7 dan 9.8 merupakan kromatogram dari karagenan yang


dianalisis menggunakan alat GC-MS. Dari Gambar 9.7 tampak bahwa
tepung karagenan yang dihasilkan sudah murni, hal ini ditunjukkan oleh
munculnya puncak tunggal dengan waktu retensi 3,87 menit.

125
Gambar 9.7. Kromatogram dari karagenan

Gambar 9.8. Spektroskopi massa dari karagenan

Gambar 9.8 merupakan spektroskopi massa dari karagenan, di mana pada


kelimpahan optimum didapatkan pada waktu retensi 4,38 menit, yang
ditandai sebagai Estra 1,3,5 (10)-trien-17-one dengan kelimpahan sebesar
25,88 %. Komponen lainnya adalah cycloheptasiloksan pada waktu retensi
5,35 menit dengan kelimpahan 23,5 %.

126
9.4 Pembuatan Membran Poliuretan

Larutan dope adalah larutan yang dibuat dari campuran bahan polimer,
aditif dan pelarut sebagai bahan dasar pembentukan membran.
Karakteristik dari larutan ini sangat ditentukan dari bahan-bahan yang
digunakan, misalnya warna dan kekentalan. Proses pembuatan larutan
dope PU dari karagenan dan TDI dapat dilihat pada Gambar 9.9.

Gambar 9.9. Larutan dope PU

Pada penelitian ini larutan dope dibuat dari tepung karagenan dengan
variasi konsentrasi 5 – 35 % (b/v) dengan interval 2,5 gram, serta TDI
sebagai reagen pembentuk poliuretan (PU) pada temperatur 60 – 90 oC.
Semakin banyak konsentrasi karagenan yang diberikan maka semakin
kental larutan dope yang dihasilkan. Hal ini dapat dipahami bahwa semakin
banyak karagenan maka kesempatan pembentukan gugus uretan dari
gugus gugus –OH (karagenan) dengan –NCO (TDI) akan semakin besar,
dan molekul PU yang dihasilkan semakin besar.

Temperatur dapat meningkatkan kecepatan reaksi antara karagenan dan


TDI, hal ini dapat dilihat pada temperatur di atas 80 oC, pembentukan dope
sangat cepat terjadi. Bila reaksi dibiarkan sampai 10 menit, maka larutan
dope akan mengental dan berwarna hitam. Bila temperatur dinaikkan terus
sampai 90 oC maka terbentuk larutan dope yang berbentuk gel, tetapi
langsung terbentuk busa PU. Kenaikan temperatur kemungkinan
menyebabkan gugus –NCO menjadi lebih reaktif, sehingga sangat cepat

127
membentuk ikatan silang dalam PU, yang menyebabkan udara
terperangkap di dalamnya sehingga membentuk busa.

Mekanisme reaksi pembentukan PU dari karagenan dan TDI dapat dilihat


pada Gambar 9.10.

Gambar 9.10. Reaksi antara karagenan dengan TDI

Membran PU dibuat dari larutan dope dengan berbagai variasi konsentrasi


karagenan, waktu dan temperatur. Pencetakan dilakukan di dalam cawan
petri dengan ketebalan kira-kira 0,1 µm. Untuk mengatur ketebalan
membran tersebut maka jumlah larutan dope yang digunakan harus
berkisar 12 mL, dan akan menghasilkan membran dengan ukuran diameter
10 cm. Proses pencetakan membran dapat dilihat pada Gambar 9.11.

128
Gambar 9.11 Proses pencetakan membran PU

Beberapa bentuk membran PU yang dihasilkan pada temperatur ≥ 70 oC


dapat dilihat pada Gambar 9.12.

(a) (b) (c)


Gambar 9.12. Membran PU dengan konsentrasi 7,5 (b/v) yang disintesis
pada temperatur (a) 70 oC, (b) 80 oC, dan (c) 90 oC

Dari Gambar 9.12 tampak bahwa semakin tinggi temperatur maka


membran yang dihasilkan berwarna hitam dan semakin mengkerut
(shrinked), sehingga tidak dapat digunakan untuk penyaringan. Hal ini
kemungkinan telah terjadi oksidasi terhadap larutan dope, oleh karenanya
proses sintesis membran selanjutnya dilakukan pada temperatur 60 oC,
dan dilakukan variasi konsentrasi dari karagenan (lihat Gambar 9.13).

129
(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g)
Gambar 9.13. Membran PU yang disintesis pada 60 oC : (a) 5; (b) 7,5; (c)
10; (d) 12,5; (e) 15, (f) 17,5 dan (g) 20 % (b/v)

Gambar 9.13 menunjukkan bahwa pada konsentrasi karagenan yang


rendah (≤ 10 %) maka membran yang dihasilkan sangat tipis, rapuh dan
tidak homogen, pada konsentrasi sedang (12,5 – 17,5 %) membran yang
dihasilkan homogen, elastis, kuat, sedangkan pada konsentrasi tinggi (≥ 20
%) maka membran yang dihasilkan kaku dan sebagian tidak membentuk

130
membran (lembaran ) lagi tetapi berbentuk busa PU. Sifat membran yang
dihasilkan dari berbagai konsentrasi karagenan disimpulkan pada tabel 9.1.

Tabel 9.1 Sifat membran PU yang dihasilkan pada t = 5 menit


Temperatur konsentrasi karagenan Membran yang
o
( C) % ( b/v) dihasilkan
60 5 sangat rapuh
7,5 rapuh
10 Hampir homogen
12,5 Homogen, lembut
15 Homogen , elastis
17,5 Homogen , elastis
20 Homogen, elastis
25 Sebagian Busa
30 Busa, kaku
35 Busa, kaku
70 7,5 Rusak, hitam
80 7,5 Rusak, hitam
90 7,5 Rusak, hitam

Dari tabel 9.1 tampak bahwa membran yang dihasilkan dari variasi
konsentrasi 12,5 – 20 % (b/v) merupakan membran yang mempunyai sifat
yang homogen dan elastis, sehingga dapat diuji pada proses desalinasi air
payau.

9.5 Karakterisasi Membran

9.5.1 Penentuan Kinerja Membran

Kinerja membran PU dari karagenan dan TDI yang disintesis pada


temperatur 60 oC dengan sifat-sifat fisik yang baik dari tabel 9.1 di atas,
kemuadian diaplikasikan pada proses ultrafiltrasi untuk desalinasi air sumur
masyarakat di daerah bekas bencana tsunami. Kinerja membran
ditentukan oleh nilai fluks dan persen rejeksi terhadap ion-ion terlarut di
dalam air.

131
70 C=12.5 % (b/v)
60 C = 15 % (b/v)
C = 17.5 % (b/v)
Fluks (L/m2 jam)

50
c = 20 % (b/v)
40
30

20

10

0
0 30 60 90 120
Waktu filtrasi (menit)

Gambar 9.14. Fluks membran terhadap waktu filtrasi

Hasil penelitian (Gambar 9.14) menunjukkan bahwa fluks membran


meningkat sampai waktu penyaringan 90 menit, kemudian menurun. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh terjadinya fouling (penumpukan) material
pada permukaan membran, sehingga fouling tersebut akan menjadi
tahanan pada proses penyaringan.

Dari hasil pengukuran terhadap fluks membran didapatkan bahwa


membran yang menghasilkan fluks tertinggi adalah membran yang
disintesis pada temperatur 60 oC dengan konsentrasi karagenan 15 % (b/v)
terhadap TDI, di mana fluks yang dihasilkan adalah 66,2 L/m2jam, yang
dikarakterisasi lebih lanjut.

Penentuan faktor rejeksi membran PU optimum di atas dilakukan terhadap


penolakan membran tersebut terhadap ion-ion yang menyebabkan
salinitas. Penentuan salinitas yaitu dengan mengukur konduktivitas ion-ion
tersebut sebelum dan setelah penyaringan menggunakan alat
konduktometer. Nilai kondutivitas ion sebelum penyaringan dari air sumur
desa Blang Krueng adalah 2.226 S/cm, sedangkan setelah penyaringan
adalah 0.98 S/cm, sehingga persen rejeksinya (R) = 56 %.

Dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa membran PU dengan


konsentrasi 15 % (b/v) merupakan membran dengan kinerja optimum pada
penyaringan selama 90 menit.

132
9.5.2 Sifat Kimia

Karakterisasi gugus fungsi dari membran PU menggunakan alat IR


(Gambar 9.15) menunjukkan bahwa serapan terhadap gugus –OH sudah
tidak tampak pada bilangan gelombang 3100 – 3400 cm-1, dan timbul
gugus fungsi baru yaitu uretan pada bilangan gelombang 3500 – 3700 cm-
1
. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi polimerisasi pembentukan membran
PU dari karagenan dan TDI telah berlangsung dengan sempurna.

9.5.3 Sifat Fisik

Kekuatan tarik diuji untuk menentukan sifat dari bahan polimer pembentuk
membran. Hasil analisis data pengujian terhadap membran PU optimum
dari karagenan didapatkan bahwa sifat membran yang dihasilkan bersifat
sedikit elastis, di mana persen elongasinya hanya 9 %. Membran ini juga
mempunyai kekuatan tarik yang besar, yaitu 340 kgf/mm2, dengan yiels
strength 69,17 kgf/mm2. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa
membran ini dapat diaplikasikan diaplikasikan pada proses pemisahan
menggunakan tekanan yang lebih tinggi (hiperfiltrasi atau osmosa balik).
Kurva kekuatan tarik terhadap % elongasi dapat dilihat pada Gambar 9.16.

Gambar 9.15. Spektrum IR dari membran PU yang berasal dari karagenan


dan TDI

133
Gambar 9.16 Kurva kekuatan tarik vs persen elongasi dari membran PU

Temperatur transisi gelas ditentukan untuk melihat sifat ketahanan termal


dari membran PU yang dihasilkan. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa
membran PU dari karagenan mempunyai temperatur transisi gelas sebesar
243,6 oC dan titik leleh 423,02 oC. Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan
bahwa polimer ini bersifat elastis karena memiliki temperatur transisi gelas,
dan mempunyai kekuatan yang tinggi karena mempunyai titik leleh yang
tinggi, sehingga membutuhkan energi yang besar untuk melepaskan ikatan-
ikatan yang ada dalam polimer tersebut. Kurva temperatur transisi gelas
membran PU dapat dilihat pada Gambar 9.17 di bawah ini.

134
Gambar 9.17. Kurva temperatur transisi gelas membran

135
DAFTAR PUSTAKA

Ameri, M. S., 2015, Enhancement of the Gas Separation Properties of


Polyurethane Membranes by Alumina Nanoparticles,Journal of Membrane
Science, 479: 11-19.

Andrew S., Clayton H.H., Edward M.K., 1992, Introduction to Organic Chemistry,
Macmillan Publishing Company, New York, 322-378.

Annual Book of ASTM Standards, 1976, D-368, Washington, D.C., USA.

Anonym (1990), MinyakBijiJarak, SNI: 01-1904-1990,


DewanStandarisasiNasional, Jakarta.

Ashida K., Saiki K., Goto J., and Sasaki K. (1980), Polyisocyanurates Foam
Modified by Thermally Stable Linkages, in International Progress In
Urethanes, volume 2, Technomic Publishing Co., Inc., Westport, USA.

Atabani, A.E., César, A.S., 2014, Calophylluminophyllum L. A prospectiven on


edible biodiesel feed stock. Study of biodiesel production,
properties,fattyacid composition, blending and engine performance,
Renewable and Sustainable Energy Reviews, 37, 644–655.

Atmadja, W. S. 2006. Apa Rumput Laut Itu Sebenarnya. http://www.Coremap.


or.id.264. Tanggal akses 2 Maret 2009.

Bakare, I. O., Okieimen, F. E., Pavithran, C., Abdul, H. P. S. K., Brahmakumar,


M., 2010, Mechanical and Thermal Properties of Sisal Fiber-Reinforced
Rubber Seed Oil-Based Polyurethane Composites, Material and Design,
31, 4274-4280.

Barakat, M. A., 2011, New Trends in Removing Heavy Metals from Industrial
Wastewater, Arabian Journal of Chemistry, 4, 361-371.

Bhattacharyya D. and M.E. Williams (1992), Reverse Osmosis, Introduction and


Definition, dalamMembrane Handbook, Chapman & Hall, New York –
London, 265 – 354.

Billmeyer F.W. (1984), Textbook of Polymer Science, third ed., John Wiley &
Son, New York, 416 -417.

Plastic Material, Hartnolds, Great Britain, 756 – 782.

Cahya, E. M. 2012. Pembuatan dan Karakterisasi Membran Nanofiltrasi untuk


Pengolahan Air. Tesis. Universitas Diponegero, Semarang.

137
Callister, W.D., 2003, Materials Science and Engineering: An Introduction, John
Wiley & Sons PTe.Ltd., India, 54(56), 108 -112.

Cheng L.P., Huang Y.S., and Young T.H. (2003), Effect of the Temperature of
Polyurethane Dissolution on the Mechanism of Wet-casting Membrane
Formation, European Polymer Journal, Volum 39, 601-607.

Das, B., Konwar, U., Mandal, M., Karak, N., 2012, Sunflower Oil Based
Biodegradable Hyperbranched Polyurethane As a Thin Film Material,
Industrial Crop and Products, 44, 396-404.

David F., 1995, Oil and Fat in Official Methods of Analysis of AOAC
International, 16 th Edition, volume II, USA.

Del, M., 2003,InPhitocemical Analysis of Avocado Seeds (Persea Americana


Mill., c.v. Hass), Bogor: ebook.

Dodd, J. W., Kenneth H. T., 1987, Thermal Methods: Analytical Chemistry by


Open Learning, John Wiley & Sons, New York, 1(12), 123, 165 – 166.

Dombro B.A. (1963), Polyurethanes, The Guinn Co. Inc., New York.

Eduardo Q. (1951), Technical Bulletin Medicinal Plants of Philippines, Bureu of

Eisenbach C.D. and T. Heinemann (1995), Synthesis and Characterization of


Thermoplastic Graft Copolymer Elastomers with a Polyether Main Chain
and Uniform Urethane-Based Side Chains, Macromolecules, Volum 28,
2133-2139.

Eli Rohaeti, N. M., 2003, Pengaruh Variasi Berat Molekul PEG Terhadap Sifat
Mekanik Poliuretan,Jurnal Matematika & Sains, 89: 63 – 66.

Enneking L. et al. (1996), Sorption Equilibria of The Ternary Mixture


Benzene/cyclohexene/cyclohexane in Polyurethane and PEBA
Membranes Polymers, J. of Membrane Science, Volum 115, 161 –170.

Feng, C., Xu, J., Li, M., Tang, Y., Gao, C., 2014, Studies on a Nanofiltration
Membrane Prepared by Cross-linking of Polyethyleneimine on
Polyacrylonitrile Substrate, Journal of Membrane Science,451, 103-110.

Furmiss B.S. et al. (1989), Vogel’s Textbook of Practical Organic Chemistry New
Edition, Fifth Edition, Longman Scientific and Technical, Joh Wiley and
Sons Inc., New York.

Gede, I. W., 2010, Teknologi Membran untuk Pengolahan air,


http://www.igwenten. com/2013/02/teknologi-membran-untuk-pengelolaan-
air.html, 12 Mei 2015.

138
Goddard R.J. and S.L. Cooper (1995), Polyurethane Cationomers with Pendant
Trimethylammonium Groups. Fourier Transform Infrared Temperature
Studies, Macromolecules, Volum28, 1390-1400.

Gultekin, G. C. A. 2009. Fatte Acid Based Polyurethane Films for Wound


Dressing Application. Journal Mater Science. 20: 421-431

Gunzler, Helmut (2002), IR Spectroscopy: An Introduction, John Wiley & Sons,


Weinheim, 4 -6, 283 – 286.

Gurunathan, T., Mohanty, S., Nayak, S. k., 2014, Isocyanate Terminated Castor
Oil-Based Polyurethane Prepolymer: Synthesis and Characterization,
Journal Progress in Organic Coatings, 80, 39-48.

Haines, P.J., 1995, Thermal Methods of Analysis: Principles, Applications, and


Problems, Blackie, London, 22 – 65.

Hasibuan, S., Sahirman., Yudawati, N.M.A., 2013, Karakteristik Fisikokimia Dan


Antibakteri Hasil Purifikasi Minyak Biji Nyamplung (Calophyllum
Inophyllum L.), Agritech, Vol.33, No. 3.

Hassanajil, S. M., 2014, In fluence of Various Types of Silica Anoparticles on


Permeation Properties of Polyurethane/Silica mixed Matrix
Membranes,Journal of Membrane Science, 453: 369-383.

Hathurusingha, S., Ashwath, N., Subedi, P., 2011, Variation in oil content and
fatty acid profile of CalophylluminophyllumL.With fruit maturity and its
implications on resultant biodiesel quality, Industrial Crops and Products
33, 629–632.

Howard, G.T. (2002). Biodegradation of polyurethane : A Review. International


Biodeterioration and Biodegradation, volume 49, 245-252.

Huang, S.L. and Lain, J. Y., 1996, HTPB-H12MDI Based Polyurethane IPN
Membranes forPervaporasi, Journal of Membrane Science, 115, 1-10.

Humberto, J. S. A. J., Assunpcao, D. B., Meneguzzi, A., Arthur, C. F., Dani, F. R.


A., 2013, Castor Oil and Commercial Thermoplastic Polyurethan Membrane
Modified with Polyaniline: A Comparative Study, Journal Materials
Research, 16(4), 860-866.

James A.D. (1985), CRC Handbook of Medicinal Herbs, CRC Press Inc., Florida,
USA.

Jayant (2003), Word of Castor Oil ,http:/www. Indialog. Com/Jayant/uses.htm .

Jenkins, Ron, R.W. Gould, Dale Gedcke (1995), Quantitative X-Ray


Spectrometry, Marcel Dekker, Inc., New York, 6 – 12.

139
Jouquieres A., R. Clement, D. Roizad, and P. Lochon (1996), Pervaporation
Transport Modelling in Ternary System : Ethyltertiarybuthylether/
ethanol/polyurethaneimide, J. of Membrane Science, Volum 109, 65 – 76.

Kartika, I.A., Syelly, F., Desrial.,Yohanes, A.P., 2010,


PemurnianMinyakNyamplung Dan AplikasinyaSebagaiBahanBakar,
InstitutPertanian Bogor.

Ketaren S., 1986, Pengantar teknologi minyak dan lemak pangan. Ed ke-1.
Jakarta, UI-Press.

Kothandaraman, H., Venkatarao, K., and Thanoo, B.C. 1989. Preparation ,


properteis and Crosslinking studies on polyurethane elastomers. Journal
Polymer. 21(10):829-839

Kroschwitz, J. I., 1990, Concise Encyclopedia of Polymer Science and


Engineering, John Wiley & Son, New York, 890 – 897.

Kusakabe K., S. Yoneshige, S. Morooka (1998), Separation of


Benzene/cyclohexane, mixtures using Polyurethane-Silica Hybrid
Membranes, J. of Membrane Science, Volum 149, 29-37.

Lee K.R., M.Y. Teng, T.N. Hsu, J.Y. Lai (1999), A Study on Pervaporation of
Aqueous Ethanol Solution by Modified Polyurethane Membrane, J. of
Membrane Science, Volum 162, 173 – 180.

Li, G. 2009. Experimental Investigation of Evaporation Time and The Relative


Humidity On A Novel Positively Charge Ultrafiltrarion Membrane Via Dry-
Wet Phase Inversion. Journal of Membrane Science, 326: 168-177.

Mahkam M. and N.S. Sanjani., 2003, Preparation of New Biodegradable


Polyurethane as a Therapeutic agent, Polymer Degradation and Stability,
Volum 80, 199-202.

Manzoor, M., Anwar, F., dan Iqbal, T., 2007, Physico-chemical Characterization
of Moringa concanensis Seeds and Seeds Oil. JAOCS,84:413-419

Marlina., 2005. PemanfaatanAsamLemak Dari


MinyakSawitKasarSebagaiBahanDasarPembuatanPoliuretan,
LaporanPenelitian RUT XII, KRT – Jakarta.

Marlina.,2006. Risk ManagementTerhadapKelayakan Air BersihBagiMasyarakat


Aceh Pasca Tsunami, LaporanPenelitian, BRR-NAD.

Marlina., 2003, Studi Awal Pembuatan Film Poliuretan dari Minyak Biji Jarak
(Castor Oil) dan 4,4 Difenilmetan Diisosianat (MDI),Prosiding Seminar
Sehari 70 Tahun Noermandsjoeriah Surdia, ITB (pp. 4-57 – 4-62.),
Bandung, ITB.

140
Marlina., 2007,
PemanfaatanAsamLemakBebasTeroksidasidariMinyakJarakuntukSintesisM
embranPoluretan, JurnalRekayasa Kimia danLingkungan, 6(2), 67-70.

Marlina., 2010, SintesisMembranPoliuretandariKaragenandan 2,4


ToyluleneDiisosianat, JurnalRekayasa Kimia danLingkungan, 7(3), 138-
148.

Marlina, N. M. S., Radiman, C. L., Achmad, S. A., 2004, Sintesis membran


poliuretan dari asam lemak bebas teroksidasi dan tolulen diisosianat
(TDI), Prosiding Seminar MIPA IV, Institut Teknologi Bandung,
Bandung.

Marlina, N.M. Surdia, C.L. Radimandan S. Achmad. (2004).


PengaruhKonsentrasiOksidatorpada Proses HidroksilasiMinyakJarak
(Castor Oil) denganatautanpaProteksiGugusHidroksi, Proceeding ITB,
Vol. 36 A No.1, 33-43.

Marlina, N.M. Surdia, C.L. Radimandan S. Achmad. (2004).


PengaruhVariasiKonsentrasiAsamSulfatPada Proses
HidroksilasiMinyakJarak (Castor Oil), Jurnal MIPA Sciense, ITB,
Bandung.

Marlina, N.M. Surdia, C.L. Radimandan S. Achmad. (2005).


PembentukanPoliuretan Dari MinyakBijiJarak (Castor Oil), Proceeding
ITB, diterimauntukPublikasi.

Marlina, Surdia, N. M., Radiman, C. L., Achmad, S., 2004,


PengaruhVariasiKonsentrasiAsamSulfatpada Proses
HidroksilasiMinyakJarak (Castor Oil), JurnalMatematikadanSains, 9(2),
249-253.

Marlina. (2003). StudiAwalPembuatan Film PoliuretandariMinyakBijiJarak


(Castor Oil) dan 4,4 difenilmetanDiisosianat (MDI), Proceeding Seminar
Sehari 70 TahunNoermandsjoeriahSurdia, ITB, Bandung.

Marsidi, R., 2001. Zeolit untuk Mengurangi Kesadahan Air. Jurnal Teknologi
Lingkungan, Vol 2, No.1, Bandung.

Mehdi, T. M., Sadeghi, M., Pourafshari, C. M., Khosravi, A., 2012, Gas
Separation Properties of Poly(Ethylene Glycol)/Poly(Tetramethylene Glycol)
Based Polyurethane Membrane, Journal of Membrane Science, 415-416,
469-477.

Morteza, S. M., 2011, Gas Separation Properties of Polyether-Based


Polyurethane–Silica Nanocomposite Membranes,Journal of Membrane
Science, 376: 188–195.

141
Mulder, M. 1996. Basic Principle of Membranes Technology. Kluwer Academics
Publisher, Netherlands.

Nicholson J.W. (1994), The Chemistry of Polymer, second Ed., The Royal
Society of Chemistry, Cambridge, UK.

Novia, Yuliyati, H., Yuliandhika, R., 2009, PemanfaatanBijiKaretSebagai Semi


Drying Oil DenganMetodeEkstraksiMenggunakanPelarut N- Heksana,
JurnalTeknik Kimia, 16(4).

Odian, G., 1991, Principles of Polymerization, John Wiley & Son, Inc., USA, 1-37.

Ong, H. C., Masjuki, H.H., Mahlia, T.M.I., Silitonga, A.S., Chong, W.T., Leong,
K.Y., 2014, Optimization of biodiesel production and engine performance
from high free fatty acid Calophylluminophyllumoil in CI diesel engine,
Energy Conversion and Management, 81, 30–40.

Ong, H.C., Mahlia,T.M.I., Masjuk, H.H., Norhasyima, R.S., 2011, Comparison of


palm oil, Jatrophacurcas and Calophylluminophyllum for biodiesel: A
review, Renewable and Sustainable Energy Reviews 15, 3501–3515.

Pramudono, B. S. A. 2008. EkstraksiKontinyudenganSimulasi Batch


TigaTahapAliranLawanArah:
PengambilanMinyakBijiAlpukatMenggunakanPelarut n-hexane
danIsoPropilAlkohol. Reaktor, 12: 37-41.

Prasetyowati, R. P., 2010,Pengambilan Minyak Biji Alpukat dengan Metode


Ekstraksi, Malang, Jurnal Teknik Kimia.

Ramanathan, L. S., Sivaran, S., Munmaya, K. M., 1999, Polyurethanes, polymer


datahandbook, Oxford University Press Inc., USA, 870 – 877.

Ray R.J. (1992), Cost Estimates, in Membrane Hand book, Chapman & Hall,
New York – London, 355 – 390.

Ren, J. A., 2011, Preparation of Polymeric Membranes,Membrane and


Desalination, 576: 47-100.

Rizk A.M. and A.S. Al- Nowaihi (1989), The Phytochemistry of The Horticultural
Plants of Qatar, The Scientific and Applied Research Center, University of
Qatar, The Alden Press, Ltd., Qatar.

Rohaeti, E., 2005, Kajian Tentang Sintesis Poliuretan dan


Karakterisasinya,Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan
Penerapan MIPA (pp. K1 – K9.), Yogyakarta, FMIPA UNY.

Rohaeti, E.,2003. Pengaruh Variasi Berat Molekul Polietilen Glikol terhadap Sifat
Mekanik Poliuretan. Jurnal Matematika dan Sains.8(2).63-66.

142
Roheti, E dan Senam., 2010, Biodegradasi Poliuretan Hasil Sintesis dari Minyak
Kedelai, Polioksietilen Glikol, dan Metilen-4,4-Difenildiisosianat,
JurnalPenelitian Saintek, Vol. 15, No. 2.

Saalah, S., Chuah, L. A., Min, M. A., Zah, M. A., Zah, M. S., Radiah, D. A. B.,
Basri, M., Rose, E. J., 2014, Waterborne Polyurethane Dispersions
Synthesized from Jatropha Oil, Journal Industrial Crops and Products, 64,
194-200.

Sanjid, A., Masjuki, H.H., Kalam, M.A., AshrafurRahman, S.M., Abedin, M.J.,
Palash, S.M., 2013, Impact of palm, mustard, waste cooking oil and
Calophylluminophyllum biofuels on performance and emission of CIengine,
Renewable and Sustainable Energy Reviews, 27, 664–682.

Santiyo, 2005,Pengaruh Kondisi Biji, Suhu dan Lama pengempaan terhadap


Rendemen dan Sifat Kimia Minyak Biji Jarak. Bogor.

Siahaan, S., Setyaningsih, D., &Hariyadi, 2011, PotensiPemanfaatanBijiKaret


(HeveaBrasiliansisMuell.Arg) SebagaiSumberEnergiAlternatifBiokerosin,
JurnalTeknologiIndustriPertanian, 19(3), 145-151.

Sopyan, 2007,Kimia Polimer, Jakarta: Karista.

Soroko, I. 2011. The Effect of Membrane Formation Parameters on Performance


of Polyimide Membrane For Organic Solvent Nanofiltration (OSN). Part B :
Analysis of Evaporation Step and The Role of Co-Solvent. Journal of
Membrane Science, 243: 163-171.

Souchon I., V. Athes, F.X. Pierre, M. Marin (2004), Liquid-liquid Extraction and
Air Stripping in Membrane Contactor : Application to Aroma Coumpounds
Recovery, Desalination, Volum 163, 39-46.

Suhendra, D., Anggi, S., Dina, A., Erin, R.G., 2013,


SintesisPoliuretandariAsamLemakTeroksidasiMinyakIntiBuahNyamplungM
elalui Proses PolimerisasiMenggunakanToluenDiisosianat.
UniversitasMataram.

Teo L.S., C.Y. Chen, J.F. Kuo (1998), The Gas Transport Properties of Amine-
containing Polyurethane and Poly (urethane-urea) Membranes, J. of
Membrane Science, Volum 141, 91-98.

Vaughan, A. S., 1983, Polymer Microscopy, dalam Polymer Characterization,


Chapman & Hall., India, 306 – 313.

Ward, I.M., 1983, Mechanical Properties of Solid Polymers, Second Ed., John
Wiley & Son Ltd., New York, 329 – 398.

Wenten, 1996,Membrane Technology for Industry and Environmental, Bandung,


Center for Membrane Science and Technology. Kim

143
Winston W.S. & Kamalesh K.S. (1992). Membran Handbook, Chapman & Hall,
New York-London.

Wolińska, A. G., Muszynski, J., Jankowski, A., 2000, Applications of


Polyurethane Based Membranes in Perpaporation Separation, Journal
Chem, Paper, 54(6a), 389-392.

Woods, G., 1987, The ICI Polyurethanes Book, ICI Polyurethanes & John Wiley
& Son, Netherlands, 7(41), 249-284.

Zang X. D., Christipher W. M., H. I. Davis., 1997, Effect of Silicone Surfactant on


Air Flow of Flexible PU Foams, in Polymerics Foams, American Chemical
Society, Washington D. C., 130 – 142.

Zhang, M., Pan, H., Zhang, L., Hu, L., Zhou, Y., 2014, Study of the Mechanical,
Thermal Properties and Flam Retardancy of Rigid Polyurethane Foams
Prepared From Modified Castor-Oil-Based Polyols, Journal Industrial Crops
and Products, 59, 135-143.

144

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai