Sintesis Membran Poliuretan Berbasis Bahan Alam
Sintesis Membran Poliuretan Berbasis Bahan Alam
net/publication/351694793
CITATIONS READS
5 421
7 authors, including:
All content following this page was uploaded by Sitti Saleha on 16 February 2022.
Marlina
Saiful
Mustanir
Sitti Saleha
Fathur Rahmi
Murniana
Khairan
Penyusun:
Marlina
Saiful
Mustanir
Sitti Saleha
Fathurrahmi
Murniana
Khairan
Narasumber:
Prof. Dr. lng. Cynthia. L. Radiman
Salfauqi Nurman, M. Si
tutia Farida, S. Pd.l, M. Si
Fitriani, S. Pd:1, M. Si
lmam Tanthawi, S.Si
Siti Wahidah. S.Si
Editor:
Prof. Dr. Mustanir, ii. Sc
Mutia Farida, S. Pd.l, M. Si
Desain Gover:
iiahmudi, M. Si.
Di Cetak Oleh :
Syiah Kuala University Press Telp
(065r) 801222.
uptpercetakan@gmail.com 201 7
SINTESIS MEMBRAN POLIURETAN BERBASIS BAHAN ALAM
Penyusun :
Marlina
Saiful
Mustanir
Sitti Shaleha
Murniana
Fathur Rahmi
Khairan
Narasumber :
Salfauqi Nurman, M. Si
Mutia Farida, S. Pd.I, M. Si
Fitriani, S. Pd.I, M. Si
Imam Tanthawi, S.Si
Siti Wahidah, S.Si
Cyntia
Editor :
Mutia Farida, S. Pd.I, M. Si
Desain Cover :
Mahmudi, M. Si.
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa telah
memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada umat-Nya sehingga buku yang
berjudul “Sintesis Membran poliuretan Berbasis Bahan Alam” telah dapat
diselesaikan. Shalawat beriring salam kita sanjungkan kepangkuan Nabi Besar
Muhammad SAW beserta keluarga dan parasahabatnya sekalian yang karena
beliaulah kita dapat merasakan betapa bermaknanya alam yang penuh dengan
ilmu pengetahuan seperti saat ini.
Buku ini merupakan penjabaran tentang buku merupakan hasil penelitian tentang
sintesa membran poliuretan dari berbagai bahan alam aceh, khususnya minyak
nabati dan rumput laut.
Ucapan terima kasih kepada Tim Penyusun danpihak – pihak yang membantu
terselesaikannya buku ini. Semoga amalnya diterima Allah sebagai amal jariyah
dan buku ini dapat bermanfaat.
BandaAceh,Oktober 2017
Penulis
v
DAFTAR ISI
1.1 Definisi
umpan permeat
Gaya dorong
1
Tabel 1.1 Gaya dorong pada berbagai proses sistem pemisahan membran
Proses Gaya Dorong Model
Perpindahan
Mikrofiltrasi Tek. hidrostatik, P konveksi
Ultrafiltrasi Tek. hidrostatik, P konveksi
Osmosa balik Tek.hidrostatik, potensial kimia, difusi
Dialisa P(μi) difusi
Pemisahan gas Konsentrasi, aktivitas, C(a) difusi
Pervaporasi Tek. hidrostatik, fugasitas, P(fi) difusi
Elektrodialisa migrasi
Tek. parsial, gugasitas, Pi(fi)
Potensial listrik, f
1.2.1 Asal
Berdasarkan asalnya membran dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu membran alamiah dan membran sintetik. Membran alamiah, yaitu
membran yang terdapat dalam sel tubuh manusia, hewan dan tumbuhan.
Sedangkan membran sintetik dibuat berdasarkan reaksi-reaksi kimia, dan
merupakan fasa antara yang memisahkan dua fasa, yaitu umpan dan
permeat, serta dapat membatasi perpindahan dengan cara yang spesifik.
2
(i) membran rapat ( dense membran) yaitu berupa lapisan film tipis
dengan ukuran pori < 0,001 m dan kerapatan pori rendah. Membran ini
mampu memisahkan molekul-molekul yang memiliki ukuran sangat kecil
yang tidak dapat dipisahkan dengan membran berpori. Prinsip
pemisahan dengan membran ini yaitu berdasarkan kelarutan antara
membran dengan umpan. Membran jenis ini biasanya digunakan untuk
pervaporasi dan pemisahan gas.
(ii) membran berpori mempunyai ukuran pori yang lebih besar dan
kerapatan pori yang lebih tinggi. Prinsip pemisahan membran ini
didasarkan pada perbedaan ukuran partikel dengan ukuran pori
membran. Selektivitas pemisahan ditentukan oleh ukuran pori dan
hubungannya dengan ukuran partikel yang akan dipisahkan. Membran
jenis ini biasanya digunakan untuk proses ultrafiltrasi dan mikrofiltrasi.
(iii) Membran cair, yaitu membran di mana proses pemisahannya tidak
ditentukan oleh membrannya atau bahan pembentuk membran
tersebut, tetapi oleh sifat molekul pembawa yang sangat spesifik. Media
pembawa merupakan cairan yang terdapat dalam pori-pori membran.
Permselektivitas terhadap suatu komponen terutama bergantung pada
kespesifikan molekul pembawa.
3
Gambar 1.2 Skema pemisahan berdasarkan struktur membran
Sumber : Mulder, 1996
1.2.3 Fungsi
a. Mikrofiltrasi
b. Ultrafiltrasi
c. Nanofiltrasi
Osmosa balik atau reverse osmosis (RO) yaitu proses pemisahan dengan
memberikan tekanan pada sisi larutan, sehingga pelarut mengalir melintasi
membran semipermiabel ke sisi yang encer. Hal ini merupakan proses
fisis di mana membran hanya dapat dilalui oleh pelarut yang disebut
permeat, sedangkan zat terlarut baik elektrolit maupun organik akan ditolak
(rejeksi) yang disebut retentat (Mulder, 1991; Winston & Kamalesh, 1992;
Bhattacharyya, 1992; Ray, 1992). Difusi penetran dalam polimer sangat
tergantung pada konsentrasi umpan dan jenis bahan yang akan dipisahkan,
7
karena bukan hanya refleksi dari kinetikanya tetapi juga ikatan hidrogen
yang terjadi antara umpan dan bahan polimer.
= (n.R.T) / V (I.2)
Suatu membran osmosa balik yang ideal adalah membran yang tahan
terhadap bahan kimia, tahan serangan mikroba, serta mempunyai
karakteristik yang tidak berubah setelah pemakaian dalam waktu yang lama
(Winston & Kamalesh, 1992; Bhattacharyya dan Williams, 1992; Ray, 1992
). Pada saat ini pengembangan dilakukan agar membran yang dihasilkan
tahan terhadap pH, temperatur dan klorida (Bhattacharyya dan Williams,
1992; Ray, 1992).
8
1. Osmosa balik pada tekanan tinggi (5,6 – 10,5 MPa), biasanya
digunakan untuk desalinasi air laut.
2. Osmosa balik pada tekanan rendah (1,4 – 4,2 MPa), digunakan untuk
desalinasi air payau.
3. Nanofiltrasi atau loose reverse osmosis (0,3 – 1,4 MPa), digunakan
untuk demineralisasi parsial.
Osmosa balik tekanan tinggi dan tekanan rendah biasanya digunakan untuk
rejeksi yang sangat tinggi (95 – 99 %), dan juga untuk rejeksi yang rendah
sampai tinggi dari bahan-bahan organik yang mempunyai bobot molekul
rendah. Sedangkan nanofiltrasi digunakan untuk rejeksi yang rendah (20
%).
dan
Js = B (C2 - C3) (I.4)
dengan:
Jw = Fluks pelarut
Js = Fluks zat terlarut
P = Perbedaan tekanan hidrostatik
= Perbedaan tekanan osmosa
A dan B = koefisien permeabilitas pelarut dan zat terlarut
C2 dan C3 = konsentrasi zat terlarut pada fasa umpan dan
permeat
9
Kedua persamaan di atas dapat dimodifikasikan berdasarkan jumlah
volum permeat yang dihasilkan, yaitu:
J = V / At (I.5)
di mana:
J = fluks (L/m2 jam)
V = volum permeat (L)
A = luas permukaan (m2)
t = waktu (jam)
e. Pervaporasi
Kata pervaporasi diciptakan oleh Kober pada tahun 1917, dan proses
pertama adalah menghilangkan air sebagai permeat, dan menghasilkan
residu etanol murni yang mengandung air kurang dari 1%. Aplikasi
komersial pervaporasi adalah penghilangan sejumlah kecil senyawa organik
volatil (VOC) dari air yang terkontaminasi. Pemisahan ini relatif mudah
karena pelarut organik dan air memiliki polaritas yang sangat berbeda dan
sifat permeasi membran yang berbeda. Teknologi membran saat ini
berkembang denga pesat, dan membuat aplikasi pervaporasi untuk
sejumlah industri adalah sangat mungkin, terutama untuk aplikasi
pemisahan organik-organik. Contoh pemisahan dengan menggunakan
teknik pervaporasi adalah pemisahan metanol dari campuran metil tert-butyl
10
ether / isobutene, adalah dilaporkan oleh Separex pada tahun 1988 dan
Marlina dkk (1998), dengan menggunakan membran selulosa asetat.
1.2.6. Struktur
11
layer) dengan ketebalan < 0,5 m, dan lapisan pendukung berpori dengan
ketebalan 50 - 200 m.
Simetri Asimetri
Poli silindris
`
Gambar 1.5 Morfologi membran simetri dan asimetri
Sumber : Mulder, 1996
b. Ikatan silang
Salah satu teknik yang dapat digunakan dalam pembuatan membran rapat
yaitu dengan membuat ikatan silang antara polimer dengan zat pengikat
silang. Proses ini dapat dilakukan dengan mencampurkan polimer dan zat
pengikat silang dalam pelarut yang sesuai dalam keadaan basah, atau
dengan pemanggangan (proses kering) menggunakan uap pengikat silang.
Ikatan silang dapat juga dihasilkan dengan cara film yang didapatkan
dengan cara inversi fasa dipaparkan dalam medan radiasi (misalnya sinar
12
UV) untuk membuat pusat-pusat aktif, kemudian dicelupkan dalam wadah
yang berisi monomer yang akan ditempelkan, maka membran rapat bisa
dihasilkan.
Pada dasarnya proses ikatan silang adalah proses pembentukan ikatan
kovalen yang mempunyai energi ikatan besar, sehingga sulit untuk diputus.
Suatu ikatan silang mengikat tiap molekul yang akan menghasilkan
struktur tiga dimensi (3D) yang mempunyai sifat tidak dapat larut dan kuat.
c. Polimerisasi Plasma
Lapisan yang didapatkan sangat tipis dengan ketebalan 50 nm, konsentrasi
monomer dan tekanan tinggi dikontrol dengan cermat untuk mendapatkan
ketebalan yang merata. Beberapa faktor yang penting dalam mengontrol
ketebalan membran yaitu waktu polimerisasi, tekanan vakum, kecepatan
aliran gas, tekanan gas. Struktur polimer yang dihasilkan umumnya sulit
untuk dikontrol dan sering berikatan silang.
13
BAB 2 POLIURETAN
2.1 Definisi
Poliuretan (PU) dihasilkan dari reaksi antara alkohol yang mengandung dua
atau lebih gugus hidroksil yang reaktif per molekul (diol atau poliol) dan
isosianat yang mempunyai lebih dari satu gugus isosianat yang reaktif per
molekul (diisosianat atau poliisosianat). Reaksi polimerisasi yang terjadi
adalah polimerisasi adisi karena tidak terbentuk produk samping (Lee et al.,
1995) Mekanisme reaksi pembuatan PU adalah sebagai berikut:
H H H H O H
H
O C N C N C O + HO C OH C N C N C O C O
R O R R'
R' n
Reaksi pembuatan poliuretan sudah dikenal baik pada abad ke-19, tetapi
hanya pada skala laboratorium. Pada tahun 1937-1940 Otto Bayer dan
kawan-kawan membuat poliuretan jenis serat, adhesif, pelapis dan busa
secara komersil dengan proses poliadisi dari berbagai jenis poliisosianat
dengan glikol dan diamin (Zhang, 1997).
15
Produk berupa padatan dapat diperoleh setelah lima menit dari awal
pengadukan, di mana laju reaksi dapat divariasikan dengan cara pemilihan
katalis dan konsentrasi. Reaksinya adalah eksotermis, di mana panas yang
dihasilkan dapat digunakan untuk menguapkan cairan pembentuk busa
seperti flourokarbon pada proses polimerisasi.
Membran PU baru dipelajari oleh Akabori dan Fujimoto (dalam Ashida dan
Frisch) pada tahun 1980, yaitu tentang ketebalan membran dan metoda
pengukurannya serta hubungan kedua parameter tersebut dengan sifat-sifat
fisiknya. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa ketebalan sel membran
busa PU yang kaku rata-rata adalah 1,06 m dan berbentuk lonjong,
metoda penentuannya adalah menggunakan metoda mikroskop optik
sederhana.
Pada tahun 1996 ada 2 (dua) laporan penelitian yang mempelajari tentang
membran PU. Huang dan Lain (1996) menyatakan bahwa membran yang
berasal dari hidroksil terminasi polibutadien (HTPB) dan 4,4’-
disikloheksilmetan diisosianat (H12MDI) berdasarkan PU yang diikat silang
dengan benzoil peroksida (BPO) yang dibentuk dalam interpenetrating
network (IPN) dengan 4-vinil piridin (4-VP) telah digunakan untuk
pemisahan campuran air dan etanol dengan proses pervaporasi. Membran
IPN dengan kandungan 4-VP 8,44 % mempunyai permeabilitas tertinggi,
yaitu sebesar 1184 g/m2 jam dan faktor pemisahan 4,11 terhadap larutan
etanol 90 %, lebih besar daripada membran tanpa ikatan silang.
16
baik mono maupun polimer dan isosianat (Goddard & Cooper, 1995;
Goddard & Cooper, 1995; Eisenbach & Heinemann, 1995; Huang & Juin,
1996; Lee et al., 1995; Billmeyer, 1984), di antaranya adalah polietilen glikol
(PEG), asam laktat, sejumlah asam nukleat, fenol, karbonimida, dan residu
gula. Bahan dasar tersebut direaksikan dengan berbagai jenis isosianat,
antara lain tolulen diisosianat (TDI), metilendipenil isosianat (MDI), dan
polimer isosianat (PMDI).
Poliol adalah polieter atau poliester yang disintesis pada kondisi tertentu
untuk menghasilkan 2 (dua) atau lebih gugus –OH (Odian, 1991, Dombro,
1963). Hampir 90 % poliol yang digunakan pada pembuatan PU adalah
polieter dengan gugus fungsi hidroksi. Adanya polieter akan meningkatkan
fleksibilitas rantai utama polimer (Mahkam & Sanjani, 2003). Sedangkan
poliester jarang digunakan karena lebih mahal dibandingkan dengan
polieter, dan sering digunakan pada pembuatan busa kaku PU (Dombro,
1963; Woods, 1987).
17
Alkohol primer bereaksi 3 kali lebih cepat dibandingkan dengan alkohol
sekunder, dan alkohol tersier bereaksi sangat lambat dan cenderung
terhidrasi. Reaksi uretan didasarkan pada reaksi katalitik, dan pada alkohol
dapat diperlambat oleh asam, di mana sejumlah kecil asam mineral bersifat
sebagai inhibitor lemah terhadap senyawa hidroksil alifatik. Fenol dapat
bereaksi membentuk uretan, tetapi tidak memuaskan walaupun dengan
pemanasan. Katalis digunakan untuk menambah hasil, beberapa
diantaranya adalah amina tersier dan piridin.
Sifat akhir dari poliuretan yang dihasilkan sangat bergantung pada jenis
isosianat yang digunakan. Isosianat dapat dimodifikasi dengan berbagai
cara untuk memberikan hasil dengan sifat kimia dan fisika yang berbeda.
Beberapa isosianat aromatik dan alifatik terdapat secara komersial, tetapi
sekitar 95 % PU yang dihasilkan menggunakan tolulen diisosianat (TDI) dan
difenilmetan-diisosianat (MDI) sebagai bahan dasarnya. Kedua bahan
tersebut dibuat dari bahan antara petrokimia dengan proses kimia
(Kroschwitz, 1990; Dombro, 1963; Woods, 1987).
CH3 CH 3
Cl
NH2 + NCO + 4 HCl
C O
Cl
N H2 NCO
Skema pembuatan TDI dapat dilihat pada Gambar 2.3, di mana 2,6 TDI
bersifat lebih lemah (kurang reaktif) dibandingkan 2,4 TDI, hal ini
disebabkan oleh halangan ruang 2,6 TDI lebih besar dari pada 2,4 TDI.
18
Tolulen Nitrat
isomer
mononitrotoluen
kristalisasi kristalisasi
ortonitrotoluen paranitrotoluen
nitrat
nitrat nitrat
19
Selain dengan senyawa-senyawa yang mempunyai gugus fungsi hidroksi,
diisosianat juga akan bereaksi dengan komponen kimia yang mempunyai
hidrogen aktif, yaitu senyawa-senyawa yang mempunyai gugus amino,
asam karboksilat dan hidrogen pada beberapa metil aktif seperti ester.
R = alkil, benzil
X = biasanya halogen
b. Dengan amina
Amina baik primer maupun sekunder adalah komponen dengan hidrogen
aktif, yang bereaksi dengan isosianat menghasilkan urea sebagai berikut :
R 1
H N
R 2
R [N C O ] + H N R 1R 2 R N C O
R1
H N O H
R2
R N C O + R [N CO ] R N C N R
C O
R1
N
R2
Poliurea dan poliuretan terbentuk oleh reaksi adisi sederhana tanpa produk
samping, namun dua reaksi berikut penting karena dilengkapi dengan
pembentukan produk samping berupa gas karbon dioksida, yaitu:
20
NCO yang digunakan, maka gas CO2 yang terbentuk semakin banyak dan
produknya berupa busa poliuretan (Ashida, 1980).
O O
R1 C OH + RN C O R1 C O
C O
RNH
O O H
R1 C O R1 C N R + CO 2
C O
RNH
Gambar 2.4 Interaksi asam karboksilat dan isosianat
Reaksi yang terjadi sebenarnya lebih kompleks dari yang dituliskan di atas.
Reaksi antara air dan isosianat akan membentuk asam karbamat (urea)
yang tidak stabil sehingga terdekomposisi menjadi amina dan
karbondioksida. Amina bereaksi lebih lanjut dengan isosianat membentuk
urea (Odian, 1991, Billmeyer, 1984, Dombro, 1963). Dengan poliisosianat,
air akan membentuk senyawa polimer yang tidak dapat meleleh dan tidak
larut.
Air dapat berfungsi sebagai bahan pengikat silang karena atom H-nya
dapat digunakan sebagai pembentuk cabang, sebagai pembentuk
gelembung gas pada pembuatan busa, dan dapat menjaga kelembaban
PU.
H O
RN C O + HOH RN C OH
H O
RN C OH RN H 2 + CO 2
H O H
RN H 2 + RN C O RN C N R
21
BAB 3 KARAKTERISASI
Membran poliuretan padat baik yang berasal dari bahan organik maupun
anorganik, baik murni maupun hasil perlakuan, penentuan spektrum IR-nya
dapat dilakukan secara langsung tanpa perlakuan awal, yaitu dengan
menempatkan membran pada holder dan identifikasi puncak dapat
dilakukan secara langsung. Berbeda dengan penentuan struktur dari
membran cair, maka pengkuran dilakukan dengan cara pembuatan pelet
KBr.
Dari spektrum IR juga dapat ditentukan indeks ikatan hidrogen (HBI) dari
membran, yaitu dari perbandingan absorbansi puncak karbonil ikatan
hidrogen pada bilangan gelombang 1700 cm-1 terhadap puncak karbonil
bebas pada 1720 cm-1 yang diamati dengan FTIR. Pita karbonil ikatan
hidrogen terdapat pada bagian keras poliuretan, sedangkan pita karbonil
bebas dapat terjadi pada bagian keras, bagian lunak atau pada antarmuka
(Huang dan Lain, 1997; Lee et al., 1999; Lee et al., 1995). Bagian lunak
(soft block/soft segment) terdiri dari eter atau ester, sedangkan bagian keras
(hard block/hard segment) terdiri dari gugus –NCO dari isosianat. Nilai
HBI besar menunjukkan partisipasi gugus karbonil berikatan hidrogen pada
hard segment juga besar.
23
3.1.3 Analisis kekuatan mekanik (uji tarik)
Beberapa polimer pada saat didinginkan dengan cepat dari keadaan leleh
membentuk struktur yang tidak teratur, yang disebut dengan keadaan
amorf, sebaliknya bila didinginkan perlahan-lahan dapat membentuk
struktur kristal. Pada temperatur ruang polimer amorf mempunyai modulus
yang tinggi, sedangkan kristal tidak (Woods, 1987; Ward, 1983).
25
Gambar 3.3 Cara menentukan Tg
Sumber: Dodd, 1987; Haines, 1995
Gambar 3.2 menunjukkan cara membedakan Tg, Tm, dan Td yang diperoleh
dari termogram DTA, sedangkan Tg sampel ditentukan dengan
menggunakan metode seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.3.
Analisa sampel dan hasil meliputi parameter kimia dan fisik, dan konsentrasi
sebelum dan setelah dilewati membran PU. Sedangkan .terhadap membran
yang telah digunakan akan dikarakterisasi struktur dan morfologinya (IR
dan SEM).
3.2.1 Isolasi
26
(i) Rendering
Prinsip dari proses ekstraksi adalah melarutkan minyak atau lemak dalam
pelarutnya, misalnya petroleum eter, karbon disulfida, karbon tetraklorida,
benzen dan n-heksan. Hasil yang diperoleh dari proses ini hampir sama
dengan yang dihasilkan dari teknik pengepresan berulir, karena sebagian
fraksi bukan minyak ikut terekstraksi. Ekstraksi tidak berpengaruh terhadap
komposisi dari trigliserida, tetapi berpengaruh terhadap jumlah dan sifat
alami dari beberapa komponen yang terdapat dalam jumlah kecil. Minyak
yang dihasilkan dengan cara ekstraksi pelarut dapat mencapai 99 % dari
total kandungan minyak.
27
3.2.2 Karakterisasi
(b – a) . N . 12,69 (III.6)
Bilangan iod (g/g) =
28
m
di mana:
b = mL natrium tiosulfat yang digunakan untuk menitrasi blanko
a = mL natriun tiosulfat untuk menitrasi sampel
N = konsentrasi natrium tiosulfat
m = berat sampel (gram)
Bilangan hidroksi adalah jumlah mg gugus –OH bebas yang terdapat dalam
1 gram sampel. Sampel minyak jarak atau asam lemak sebanyak 2 gram
ditambahkan 4 mL reagen asetilasi, kemudian dipanaskan sampai suhu 98
o
C selama 2 jam, didinginkan pada temperatur kamar. Aquadest
ditambahkan sebanyak 6 mL, dibilas tutup dan dinding botol, kemudian
didiamkan selama 24 jam. Indikator pp 1% sebanyak 3-4 tetes ditambahkan
dan dititrasi dengan larutan KOH 0,5 N. Bilangan hidroksi (OH) ditentukan
dengan menggunakan persamaan III.7.
(b – a) . N . 56,1
Bilangan OH (mg/g) = ( III.7)
m
di mana:
b = mL KOH yang digunakan untuk menitrasi blanko
a = mL KOH untuk menitrasi sampel
N = konsentrasi KOH
m = berat sampel (gram)
29
Sifat-sifat lainnya kadangkala juga dibutuhkan dan juga mempengaruhi sifat
dan kinerja membran yang dihasilkan, diantaranya:
Berat jenis adalah perbandingan berat minyak dengan air pada volume
yang sama pada suhu tersebut. Penentuan berat jenis adalah sebagai
berikut: piknometer dicuci dan dibersihkan, kemudian dicuci berturut-turut
dengan etanol dan etil eter. Bagian dalam piknometer tersebut dikeringkan
dan ditimbang beratnya (Wo). Berat piknometer yang ditambahkan dengan
aquadest ditimbang sebagai (W1) sambil menghindari adanya gelembung-
gelembung udara. Piknometer dicelupkan ke dalam penangas air pada suhu
25 oC ± 2 oC selama 30 menit, kemudian ditimbang kembali. Piknometer
tersebut dikosongkan, dicuci dengan etanol dan etil eter, kemudian
dikeringkan. Sampel minyak dimasukkan ke dalam piknometer dan hindari
adanya gelembung udara. Piknometer kembali dicelupkan ke dalam
penangas air pada suhu 25 oC ± 2 oC selama 30 menit, dikeringkan dan
ditimbang (W2). Setelah itu piknometer kosong setelah dibersihkan dan
dikeringkan, ditambahkan sampel minyak dan aquadest. Piknometer
tersebut kembali dicelupkan ke dalam penangas air pada suhu 25 oC ± 2 oC
selama 30 menit, dikeringkan dan ditimbang (W3). Untuk setiap
penimbangan berat dicatat. Penentuan berat jenis minyak dan asam lemak
digunakan persamaan III.8.
W2 – W 0
D = (DL – Da) + Da (III.8)
(W 1 - W 0) (W 3 – W 1)
30
(iv) Penentuan Indeks Bias
Metode ini didasarkan pada pengukuran langsung sudut bias minyak yang
dipertahankan pada suhu yang tetap. Penentuan dilakukan pada temperatur
20 oC, di mana air dari penangas termometerstatik disirkulasi melalui jacket
yang mengelilingi 2 prisma sampai stabil selama 10 menit. Suhu tidak boleh
berbeda lebih dari ± 2 oC dari suhu referensi dan tetap dipertahankan. Satu
tetes sampel diletakkan pada permukaan suatu prisma dan prisma dikunci.
Pengamatan dilakukan melalui kaca teleskop pertama dan tombol
disesuaikan agar bagian gelap dan terang tampak jelas melalui kaca
teleskop kedua. Perhitungan terhadap indeks bias dilakukan dengan
menggunakan persamaan III.9 :
Indeks bias:
nd’ = nd” + 0,0004 (t1 – t) (III.9)
Pengukuran titik didih minyak didasarkan pada titik didih air pada tekanan 1
atm. Digunakan dua tabung yang tertutup pada salah satu bagiannya, di
mana salah satunya adalah kapiler titik didih yang mempunyai panjang 90 –
110 mm dan diameter 1 mm dan lainnya dengan panjang 80 – 100 mm dan
diameter 4-5 mm. Sampel sebanyak 0,25 – 0,5 mL ditambahkan ke dalam
tabung yang besar, pipa kapiler dimasukkan ke dalam cairan (sampel).
Termometer direkatkan pada dinding tabung dan kemudian dicelupkan
dalam penangas minyak yang temperaturnya dinaikkan secara teratur dan
perlahan-lahan. Titik didih ditandai dengan keluarnya gelembung secara
cepat dan kontinu pada ujung pipa kapiler, dan pembacaan dilakukan pada
termometer.
(a – b) . N . 56,1 (III.10)
Bilangan Asam (mg/g) = =
m
di mana:
a = mL KOH untuk menitrasi sampel
b = mL KOH yang digunakan untuk menitrasi blanko
N = konsentrasi KOH
m = berat sampel (gram)
32
(viii) Bilangan Penyabunan
(b – a) . 28,85
Bilangan Penyabunan (mg/g) = (III.11)
m
di mana:
b = mL H2SO4 yang digunakan untuk menitrasi blanko
a = mL H2SO4 untuk menitrasi sampel
m = berat sampel (gram)
33
(b) Gas Kromatografi – Spektroskopi Masa (GC-MS)
Sampel yang terdiri dari minyak yang murni dianalisa untuk setiap rentang
waktu dengan menggunakan alat kromatografi gas yang dihubungkan
dengan alat spektroskopi massa melalui suatu interfase. Sampel sebanyak
1 μL disuntik pada alat GC, kemudian dibawa oleh gas pembawa (carrier
gas ) helium (He) dengan kecepatan 12 cc/menit, dan terjadi pemisahan
pada kolom yang berdimensi 30 x 0,25 mm x 0,25 μm.. Fasa diam berupa
fenil metil siloksan 5 % dengan temperatur inlet 250 oC. Dalam waktu yang
sangat cepat, spektroskopi massa dapat mengelusi puncak tunggal dari
sampel yang keluar dari GC dan pengamatan lewat komputer dapat
dilakukan. Persen kelimpahan dan jenis senyawa
ditentukan dari data hasil analisis GC-MS, yaitu dari luas puncak-puncak
yang ada. Pada puncak-puncak tersebut tampak waktu retensinya, dari
waktu retensi tersebut didapat pola fragmentasinya, kemudian dicocokkan
dengan pola fragmentasi senyawa standar yang ada pada data base.
34
BAB 4 CASTOR OIL
35
4.2 Castor Oil
Kebutuhan minyak jarak dunia terus meningkat sesuai dengan kemajuan
industri. Dari tahun 1995 sampai tahun 2000 kenaikan kebutuhannya
sebesar 3,75 % per tahun. Persentasi ini akan terus meningkat jika
mempertimbangkan ketersediaan gas bumi yang semakin berkurang.
Indonesia telah memproduksi minyak jarak sejak zaman penjajahan
Belanda yang diekspor sebagai bahan baku pelumas. Pada masa
penjajahan Jepang, rakyat Indonesia dipaksa menanam jarak untuk
produksi pelumas kebutuhan Jepang. Konsumen minyak pelumas dunia
cenderung menggunakan minyak pelumas nabati karena meskipun
harganya mahal namun kinerjanya lebih baik dibanding minyak pelumas
dari minyak bumi (Anonimous, 2002 dan Adjid dkk., 1999). Minyak jarak
pada umumnya digunakan sebagai minyak pelumas pesawat terbang,
peluncur roket, mesin-mesin berat dan otomotif (ASTM, 1976).
Hasil analisa terhadap minyak jarak (castor oil) yaitu minyak hasil
pemecahan (crushing) biji jarak didapatkan bahwa minyak tersebut
mengandung asam-asam risinolein, dihidroksi stearat, oleat, linoleat dan
stearat. Kandungan minyak dalam biji jarak mencapai 45 – 54,6 %,
senyawa atsiri 5,1 – 5,6 % dan protein 12 – 16 % (ASTM, 1976) . Minyak
jarak mengandung trigliserida atau ester gliserin dari asam risinolein (80 –
36
90%) yang berfungsi sebagai bahan aktif dalam obat (Eduardo, 1951; Rizk
& Al-Nowaihi, 1989). Struktur kimia minyak jarak dapat dilihat pada Gambar
4.3 (ASTM, 1976).
Minyak jarak (kastor) tidak larut dalam petroleum dan minyak mineral
lainnya, namun larut sempurna dalam alkohol pada temperatur kamar dan
pelarut polar lainnya. Minyak jarak mempunyai warna yang bervariasi
tergantung pada cara mendapatkannya, biasanya berwarna kuning pucat,
sangat kental dan mempunyai bau khas. Bila dipanaskan sekitar 300 oC
selama beberapa jam, maka minyak tersebut akan terpolimerisasi dan
akan larut dalam minyak mineral serta dapat digunakan sebagai minyak
pelumas (ASTM, 1976).
37
H H H
H C C C H
O O O
O C C O C O Gugus Ester
H C H H C H H C H
H C H H C H H C H
H C H H C H H C H
H C H H C H H C H
H C H H C H H C H
H C H H C H H C H
H C H H C H H C H
HC HC HC
Ikatan rangkap
HC HC HC
H C H H C H H C H
HC OH HC OH HC OH
H C H H C H H C H
H C H H C H H C H
Gugus Hidroksil
H C H H C H H C H
H C H H C H H C H
H C H H C H H C H
H C H H C H H C H
H H H
38
3156
1759
2898
1565
Tabel 4.2 Puncak serapan terhadap gugus fungsi dari minyak jarak
Bil. Gelombang (cm-1) Gugus Fungsi Intesitas Serapan
3156 -OH Tajam
2898 -CH ulur Tajam
1759 -C=O Tajam
1565 -C=C- Tajam
39
Gambar 4.5 Kromatogram minyak jarak hasil sokletasi
40
palmitat mempunyai persen kelimpahan sebesar 8,1 dengan m/z 256,
asam linoleat sebesar 8,78 dengan m/z 280, dan asam oleat sebesar 2,3
dengan m/z 282. Data spektroskopi massa dari asam risinoleat yang
terkandung dalam minyak jarak, yang dihasilkan pada waktu retensi 20,27
detik dengan m/z 280 dapat dilihat pada Gambar 4.6.
Dari hasil analisis terhadap minyak jarak hasil sokhletasi di atas dapat
disimpulkan bahwa minyak jarak campuran tersebut mempunyai kualitas
yang sesuai seperti yang disyaratkan oleh standard AOAC dan ASTM.
Dari sifat fisiko-kimianya, yaitu dari bilangan iod dan bilangan hidroksi yang
cukup besar, maka dapat diketahui bahwa minyak jarak hasil sokletasi
tersebut dapat digunakan sebagai bahan dasar pada pembuatan membran
poliuretan.
41
Tabel 4.4 Kinerja dan sifat kualitatif membran PU dari minyak jarak
Kinerja
Komposisi
OH : TDI
Fluks Faktor Sifat Kualitatif Membran
(mol/mol)
(L/m2 jam) Rejeksi
(%)
Lembut, transparan, kurang
1 : 0.5
15,34 27,17 homogen
Elastis, transparan, kurang
1 : 0.75 16,13 31,87 homogen
1: 1.0 17,81 23,78 Elastis, transparan, homogen
Kaku, transparan, kurang
1 : 1.25 9,23 47,12 homogen
OH CH 3
3 H 3C O +
OCN NCO
O
OH
TDI
O H CH 3
H O
O C N N C O
O
H 3C O
O C N N C OH
CH 3H
O H O
42
Membran yang dihasilkan dari minyak jarak hasil sokletasi pada berbagai
komposisi di atas kemudian disintesis berdasarkan pengaruh temperatur
dan waktu reaksi. Tujuan dari tahap ini adalah untuk meningkatkan sifat
mekanik dan kinerja membran, karena pada tahap di atas membran yang
dihasilkan pada berbagai komposisi belum mempunyai kekuatan yang
memadai untuk diaplikasikan pada proses osmosa balik. Tabel 4.5
menunjukkan sifat membran PU yang dihasilkan dari berbagai variasi
temperatur dan waktu reaksi.
Dari Tabel 4,5 tampak bahwa membran yang dihasilkan pada temperatur
di bawah 100 oC bersifat rapuh, tidak homogen dan kaku untuk membran
yang disintesis pada komposisi OH : NCO > 1 mol/mol. Larutan dope yang
dihasilkan pada temperatur di bawah temperatur tersebut masih encer
sehingga agak sulit untuk dicetak. Pada temperatur ini diperkirakan proses
polimerisasi belum berlangsung dengan sempurna, karena membran yang
dihasilkan tidak bersifat homogen. Warna coklat yang dihasilkan oleh
membran ini disebabkan karena perubahan yang tidak sempurna dari
minyak jarak dan TDI.
43
membran tipis lagi, tetapi berupa busa yang kekerasannya meningkat
dengan meningkatnya temperatur dan waktu reaksi. Pada waktu
pengadukan 10 menit langsung membentuk busa lembut, sedangkan pada
waktu pengadukan 15 menit busa yang terbentuk padat, keras dan kaku
karena semakin banyak oksigen yang terperangkap.
Dari Tabel 4.5 juga dapat dilihat bahwa temperatur transisi gelas (Tg) naik
dengan naiknya kandungan –NCO dan waktu polimerisasi, hal ini
disebabkan karena semakin banyak cincin aromatis yang diberikan oleh
isosianat maka semakin tinggi temperatur yang dibutuhkan untuk
mengubah fasa polimer. Tetapi kenaikan kandungan gugus –NCO tidak
signifikan dengan sifat mekanik yang dihasilkan, karena pada tahap awal
penambahan gugus –NCO menaikkan sifat mekanik, tetapi kelebihan
gugus tersebut membuat sifat mekaniknya menurun pada saat membentuk
busa lembut, meningkat pada saat membentuk film keras, dan kembali
turun pada saat membentuk busa keras (bersifat getas).
Tabel 4.5: Variasi temperatur dan waktu pada pembuatan membran PU dari
minyak jarak
T t
o
( C) (men) Karakteristik OH : NCO (mol/mol)
Sifat Kualitatif E E L L
o
10 Tg ( C) * 45,2 47,9 61,1
Sifat Kualitatif E SL L L
o
15 Tg ( C) 44,1 46,5 48 69,7
Sifat Kualitatif SL L L BL
o
80 5 Tg ( C) * 45,8 48,6 63,2
Sifat Kualitatif E L L BL
o
10 Tg ( C) * 48,6 56,8 70,6
Sifat Kualitatif SL L L BK
o
15 Tg ( C) 55,7 57 58,1 81,1
44
Sifat Kualitatif L L L BK
o
100 5 Tg ( C) 63,4 66,2 68,4 73,6
Sifat Kualitatif TH TH TH BK
o
10 Tg ( C) 68,7 7,1 72,3 76.2
Sifat Kualitatif KH KH KH BK
o
15 Tg ( C) 71,7 72,6 74,4 88,3
Sifat Kualitatif HH H H BK
o
120 5 Tg ( C) 74,2 75,9 77,8 79,8
Sifat Kualitatif E, K E, K E, H BK
o
140 5 Tg ( C) 83,2 86,9 91,4 98,3
Sifat Kualitatif BL BL BK R
o
10 Tg ( C) 84,9 87,3 93,8 101,3
Sifat Kualitatif F, K F, K BK R
o
15 Tg ( C) 85,1 89,8 94,2 103,7
Keterangan:
BK : Busa keras
BL : Busa lembut
E : Encer, untuk larutan dope
EL : Elastis
F : Film
G : Getas
H : Homogen
HH : Hampir homogen
K : Kuat
45
Kk : Kurang kuat
R : Rapuh
* : Tidak dianalisis
Semakin lama waktu reaksi maka semakin banyak ikatan yang terbentuk,
sehingga semakin tinggi temperatur yang dibutuhkan untuk memutuskan
ikatan-ikatan tersebut, dengan kata lain sifat mekaniknya juga semakin
meningkat.
%T
46
(b)
3119
3357
1704
3191 (a)
1587
3351
1721
1598
4000 3000 2000 1000 cm-1
Dari spektrum tersebut tampak bahwa uretan telah terbentuk, yaitu dengan
terbentuknya ikatan N-H pada bilangan gelombang 3400 dan 1500-an cm-1,
dan hilangnya gugus -NCO dari TDI pada bilangan gelombang 2280 cm-1 .
Spektra IR dari membran tersebut di atas hampir mirip dari spektrum IR
dari PU standard (lihat Gambar 4.8b).
47
Tabel 4.6 Puncak serapan gugus fungsi pada membran PU dari minyak
jarak
Bil. Gelombang Gugus Intesitas
Membran -1
(cm ) Fungsi Serapan
3146 -OH lemah
- -NCO -
dari minyak jarak
3306/1531 -NH tajam
1721 -C=O tajam
48
yang menerapkan tekanan tinggi. Namun membran untuk proses RO,
persen kristlalinitasnya tidak boleh terlalu tinggi karena aplikasi pada
tekanan yang lebih tinggi dapat menyebabkan keretakan, namun tidak
boleh juga terlalu fleksibel karena pada tekanan tinggi polimer akan
menjadi lembut akibat kenaikan temperatur lokal, sehingga terjadi lelehan
local (Ward, 1983).
Hasil uji tarik terhadap membran PU dari minyak jarak (Gambar 4.9)
mempunyai regangan yang besar dan tegangan lebih kecil, hal ini
disebabkan oleh gugus –OH aktif dan rantai karbon dari minyak jarak
berjumlah sangat banyak. Dari hasil pengukuran, sifat mekanik membran
PU dari minyak jarak tersebut dapat disimpulkan bahwa membran PU dari
minyak jarak bersifat lebih elastis, fleksibel, dan lebih.
Tegangan (MPa)
300 a
250
200
150
49
100
50
0 1 2 3 4 5 6
Regangan (%)
Gambar 4.9 Kurva tegangan-regangan membran PU dari minyak jarak
Dari Gambar 4.10 tampak permukaan membran PU dari minyak jarak (a)
dan (b) adalah penampang lintangnya sebelum diaplikasikan pada proses
RO. Sedangkan (c) dan (d) adalah permukaan dan penampang lintang
membran setelah pemakaian pada proses RO, setelah pemakaian ulang
sebanyak 5 kali masing-masing 1 jam, dan setelah aplikasi 100 jam. Pada
gambar-gambar tersebut dapat dilihat bahwa sebelum dan setelah proses
RO permukaan membran tetap rata, homogen dan halus tanpa pori. Hal ini
menunjukkan tidak tejadinya deformasi permukaan membran selama
penerapan tekanan tinggi dalam waktu yang pada proses RO, sehingga
dapat disimpulkan bahwa membran PU dari minyak jarak mempunyai
ketahanan yang baik terhadap tekanan dan dapat diaplikasikan pada
proses RO. Hal ini sama dengan membran PU yang didapatkan oleh Zhou
et al., 2003. Dari morfologi penampang lintangnya dapat disimpulkan
bahwa membran PU ini mempunyai struktur simetri, di mana bagian atas
permukaan dan bagian bawahnya mempunyai struktur yang sama.
(a) (b)
50
b
(c) (d)
Gambar 4.10 Morfologi membran PU dari minyak jarak (a) permukaan (b)
penampang lintang sebelum aplikasi pada RO, (c) permukaan
penampang lintang setelah 5 x aplikasi pada RO selama waktu 1
jam dan 100 jam
Pada tahap awal di atas (poin 4.3), membran PU yang dihasilkan dari
minyak jarak dengan berbagai perlakuan diaplikasikan pada proses
ultrafiltrasi dengan menggunakan aqua DM sebagai umpan pada tekanan
3, 5 dan 7 atm. Hasil pengujian dilakukan selama 30 menit menunjukkan
bahwa permeabilitas membran terhadap air dan faktor rejeksinya secara
umum sangat rendah, yaitu < 50 % (tabel 4.4). Dari hasil tersebut
disimpulkan bahwa membran-membran tersebut tidak cocok digunakan
pada proses ultrafiltrasi karena pori-pori membran terlalu kecil, oleh
karenanya membran PU tersebut akan diterapkan pada proses RO karena
tekanan yang dapat diaplikasikan lebih besar.
Pada penelitian ini yang digunakan sebagai gaya dorong (driving force)
adalah perbedaan tekanan yaitu 10, 15 dan 20 kgf/cm2 pada temperatur
ruang menggunakan umpan aqua DM dan larutan NaCl 2500 ppm,
sedangkan untuk air laut dilakukan pada tekanan 20 kgf/cm2 yang
merupakan tekanan maksimum.
51
46
44
Fluks (L/m2Jam)
42
40
38
36
0 5 10
Gambar 4.11 Fluks membran PU dari minyak jarak
15 20
Tekanan (kgf/cm2)
Fluks (L/m2Jam)
Rejeksi (%)
70
60
50
Rejeksi (%)
40
30
Rejek
20
10 4.12 Faktor rejeksi membran PU dari minyak jarak
Gambar
0
0
Gambar 4.11 menunjukkan 10 membran20
permeabilitas PU dari minyak30
jarak
terhadap umpan aqua DM, sedangkan Gambar 4.12 adalah persen rejeksi
membran PU tersebut terhadap larutan Tekanan (kgf/cm 2)
garam NaCl 2500 ppm. Dari
gambar tersebut tampak bahwa fluks membran naik dengan naiknya
tekanan operasi, demikian juga faktor rejeksi yang meningkat dengan
52
meningkatnya tekanan yang diterapkan. Namun pada suatu keadaan,
peningkatan beda tekanan tidak lagi meningkatkan fluks. Fluks pada
keadaan ini disebut fluks pembatas.
53
BAB 5 JATROPHA OIL
Minyak jarak dapat dihasilkan dengan cara mengekstrak biji jarak dengan
menggunakan pelarut organik. Hasil ekstraksi tersebut dapat mencapai 50
% dari total berat biji. Seperti jenis minyak lainnya, minyak jarak juga
merupakan trigliserida yang mengandung tiga gugus fungsi, yaitu ester,
hidroksil dan ikatan rangkap (Marlina, 2007).
54
Gambar 5.2. Biji dan minyak jarak (Jatropha oil)
Minyak jarak ini dikenal sebagai curcas oil, oil of Palma Christi, tangan-
tangan oil, dan neoloid. Minyak jarak merupakan trigliserida dari berbagai
asam lemak yang terdiri atas oleat, linoleat, palmitat, stearat, dan sejumlah
kecil dihidroksistearat (James, 1985).
55
Struktur kimia minyak jarak jatropha oil ditunjukkan pada Gambar 5.3.
O
O
O
Minyak jarak yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak jarak
komersial jenis Jatropha oil. Berdasarkan hasil karakterisasi sifat fisiko-
kimia dari minyak jarak ini diperoleh bilangan iod sebesar 88,65 g/g dan
bilangan hidroksi sebesar 161,755 mg/g. Jelas terlihat bahwa minyak jarak
komersial yang digunakan pada penelitian ini memiliki kualitas yang baik
sesuai dengan standar ASTM.
56
Hasil analisis gugus fungsi terhadap minyak jarak ditunjukkan pada Gambar
5.4 di atas, yang mana pada bilangan gelombang 3408 cm-1 terdapat
serapan yang kuat terhadap gugus -OH. Serapan lemah pada bilangan
gelombang 1654,8 cm-1 merupakan serapan dari ikatan rangkap C=C yang
ada dalam struktur minyak jarak. Serapan C=O dari minyak jarak terlihat
pada bilangan gelombang 1745,5 cm-1 dan CO tunggal berada pada 1166,9
cm-1. Dengan demikian jelas dibuktikan bahwa minyak jarak komersial yang
berasal dari biji jarak pagar mengandung gugus hidroksil dan ikatan
rangkap.
57
dengan TDI dan MDI, hal ini kemungkinan disebabkan karena HMDI
mempunyai rantai lurus sehingga halangan rintangnya lebih kecil
dibandingkan dengan TDI dan MDI. Membran PU yang dihasilkan lebih
homogen dan transparan, dan analog dengan membran
poly(oxytetramethylene) (PTMO) berbasis PU menggunakan berbagai
jenis isosianat (Wolińska, 2006).
Pencetakan larutan ini (dope) dapat dilakukan dalam cawan petri atau
dalam plat kaca dan dilanjutkan dengan proses curing. Tahap ini diperlukan
dalam pembentukan polimer yaitu untuk membentuk ikatan tiga dimensi
pada membran. Suhu curing berkisar antara 190oC-195oC selama 72 jam,
yaitu di atas temperatur gelasnya. Setelah proses curing, membran
direndam dalam air es selama 48 jam. Perendaman berfungsi untuk
menghentikan proses curing. Membran dilepas dengan bantuan air mengalir
agar lebih memudahkan proses pelepasannya.
OH OH
O O
O
O HO HO
+ O
HO HO
produk
Minyak
HMDI
No. Jarak Sifat Kualitatif Membran
(gram)
(mL)
1 25 1 Tidak homogen, tidak mengeras
Tidak homogen, tidak mengeras,
2 25 2
masih agak lengket
Tidak homogen, bergelombang,
3 25 3,5
lengket
4 25 5 Tidak lengket, permukaan rata
5 25 6 Tidak lengket, permukaan rata
6 25 >6 Mengeras sebelum dicetak
59
Membran PU 25:5 v/b Membran PU 25:6 v/b
Dari serapan yang ditunjukkan pada Gambar 5.8. dapat disimpulkan bahwa
reaksi pembentukan membran poliuretan dari jatropha oil dengan HMDI
telah berlangsung dengan baik, yang ditunjukkan oleh adanya perubahan
pada serapan gugus-gugus dari minyak jarak (Gambar 5.5.).
61
Gambar 5.8 Spektrum FTIR membran poliuretan dari Jatropha oil
62
demikian diharapkan membran akan memiliki selektifitas yang tinggi
terhadap air payau.
Temperatur (oC)
63
Gambar 5.11. menunjukkan hasil karakterisasi membran PU dari minyak
jarak dan HMDI menggunakan SEM-EDX, di mana hasilnya menunjukkan
bahwa komponen penyusun polimer tersebut adalah C dan O, tanpa
adanya pengotor, sehingga dapat disimpulkan bahwa reaksi polimerisasi
telah berlangsung sempurna.
64
.
65
BAB 6 MINYAK KARET
Tanaman karet dapat menghasilkan 800 biji karet untuk setiap pohonnya
pertahun. Pada lahan seluas 1 hektar, dapat ditanami sebanyak 400 pohon
karet. Maka untuk lahan seluas 1 hektar diperkirakan dapat menghasilkan
5.050 kg biji karet per tahunnya (Siahaan et al., 2011). Biji karet berukuran
besar dan memiliki kulit atau cangkang yang keras, berwarna cokelat
kehitaman dengan bercak-bercak berpola yang khas (lihat Gambar 6.2). Biji
66
karet merupakan hasil samping dari tanaman karet yang kurang
dimanfaatkan.
Biji karet berpotensi menjadi produk samping dari perkebunan karet yang
tersebar luas di Indonesia. Biji karet mengandung minyak nabati yang dapat
dimanfaatkan menjadi input yang berharga pada berbagai industri. Minyak
biji karet termasuk semi drying oil dan mudah teroksidasi. Minyak dari biji
karet sangat baik digunakan sebagai bahan industri seperti: alkil resin,
linoleum, vernis, tinta cetak, cutting oils, minyak lumas dan gemuk (Siahaan
et al., 2011).
biji karet masak terdiri dari 70 % kulit buah dan 30% biji karet. Biji karet
mengandung 40% sampai 50% minyak yang terdiri dari 17-22% asam
lemak jenuh dan 77-82% asam lemak tak jenuh. Minyak biji karet
mengandung 17-21% asam oleat, 35-38% asam linoleat, 21-24% asam
linolenat, 1% asam arachidic, 5-12% asam stearat, 9-12% asam palmitat,
dan 2-20% asam lemak bebas lainnya.
Menurut Bakare et al.(2010), sifat dan komposisi asam lemak dari minyak
biji karet, asam lemak jenuh (17,51% asam palmitat, 4,82% asam stearat ),
asam lemak tak jenuh (25,33% asam oleat, 37,50% asam linoleat, 14,21%,
asam linolenat) dan 0,63% asam lainnya, warna (lovinbond) 22R;23,2Y,
berat jenis (30°C) 0,916, bilangan asam 43,62 mgKOH/g, asam lemak
bebas 21,4, bilangan penyabunan 202,91 mg/KOH g, bilangan iodin 136,21
gI2/100g.
67
6.2. Minyak Biji Karet
Biji karet yang digunakan diperoleh dari perkebunan warga, yang berada di
Desa Gunong Kleng, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh Barat,
Provinsi Aceh. Pengumpulan biji karet secara manual yaitu dengan cara
memilih atau mengutip biji karet yang sudah jatuh dari pohonnya dengan
memilih biji yang masih bagus, karena biji karet yang sudah tua akan jatuh
dengan sendirinya, biji karet yang sudah tua memiliki kandungan minyak
lebih banyak (Novia et al., 2009). Biji karet yang digunakan tidak
dikhususkan pada genus atau spesies tertentu.
Proses ekstraksi minyak biji karet (MBK) dimulai dengan pengupasan biji
karet. Satu kg biji karet menghasilkan 612,40 gram daging biji dan 387,60
gram kulit biji karet. Setelah pengeringan pada ruang terbuka tanpa terkena
sinar matahari selama 2 hari, untuk mengurangi kadar air dalam daging biji,
maka daging biji karet berkurang menjadi 411,85 gram, yang menghasilkan
minyak sebanyak 167,86 gram atau 40,76% (g/g). Penelusuran literatur
menyebutkan bahwa kandungan minyak dalam biji karet sebanyak 40-50%
(Noviaet al., 2009). MBK yang dihasilkan dari proses sokletasi berwarna
kuning kental seperti yang terlihat pada Gambar 6.3 dengan berat jenis
0,9108 g/cm3.
Tabel 6.1 menunjukkan hasil analisis bilangan iod dan bilangan hidroksi dari
MBK penelitian ini dan dibandingkan dengan literatur. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bilangan iod dan bilangan hidroksi pada penelitian ini
tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya.
68
Tabel 6.1. Bilangan iod dan bilangan hidroksi dari minyak biji karet
Bilangan iod Bilangan hidroksi
No Sampel
g I2/g mg KOH/g
1
1 Minyak biji karet 136,210 43,620
2
2 Minyak biji karet 148,567 38,625
3
3 Minyak biji karet 154,052 40,333
1
Bakare et al. (2010), 2Wildanet al. (2014), 3Hasil penelitian
69
Gambar 6.5. Spektrum FTIR dari MBK
Tabel 6.3 menunjukkan data analisis GC-MS untuk sampel MBK terdapat
empat puncak kromatogram dengan waktu retensi yang berdekatan, untuk
hasil MS dengan berat molekul (m/z) dan pola fragmentasi (lihat Gambar
6.7) yang disesuaikan dengan data base menunjukkan bahwa komponen
senyawa yang terdapat pada MBK adalah asam palmitat, asam linoleat,
asam oleat dan asam stearat. Asam linoleat pada MBK memiliki persen
kelimpahan yang terbanyak yaitu 41,06%. Hal ini sesuai dengan penelitian
lain yang juga menyebutkkan bahwa kandungan terbesar minyak biji karet
adalah asam linoleat yang mencapai 35-40% (Novia et al., 2009; Bakare et
al., 2010).
70
Tabel 6.3. Data hasil analisis GC-MS MBK
Waktu Berat
Kelimpahan
Sampel Puncak retensi molekul Senyawa
%
menit m/z
1 40,791 270 9,92 Asam palmitat
2 44,356 294 41,06 Asam linoleat
MBK
3 44,474 264 38,59 Asam oleat
4 44,853 298 10,43 Asam stearat
Gambar 6.7. Kromatogram MS MBK dari puncak (a) pertama (b) kedua
(c) ketiga (d) keempat pada kromatogram GC
71
Tabel 6.4 menunjukkan komposisi membran PU yang disintesis dengan
variasi komposisi HMDI, penentuan komposisi HMDI secara trial and error
karena belum diketahui secara pasti perbandingan untuk membuat
membran PU dari MBK dengan HMDI. Secara visual terlihat bahwa
membran PU dengan komposisi HMDI 5 gram memiliki hasil yang lebih
baik, yaitu tercampur secara homogen antara MBK dengan HMDI, membran
yang dihasilkan kering tidak ada sisa minyak, elastis, berwarna kuning
kecoklatan dan bergelombang seperti yang terlihat pada Gambar 6.8.
Membran PU yang disintesis dengan HMDI 1 gram atau 3 gram
menghasilkan membran yang tidak kering ada sisa minyak yang berlebih
yang tidak bereaksi dengan HMDI, sedangkan membran PU yang disintesis
dengan HMDI 7 gram menghasilkan membran yang kering tetapi sedikit
kaku, tingkat elastisitasnya menurun dengan bertambahnya HMDI yang
digunakan. Membran PU yang dihasilkan memiliki ketebalan rata-rata 0,500
- 0,800 ± 0,005 mm.
72
Gambar 6.8. Membran PU dengan variasi komposisi HMDI (1) 1 gram, (2) 3
gram, (3) 4 gram, (4) 5 gram dan (5) 7 gram
73
Tabel 6.5. Sintesis membran PU dengan variasi suhu curing
MBK HMDI Polimerisasi Curing Keterangan visual
No
ml gram °C °C membran PU
homogen, sedikit tidak kering,
1a 5 3 90-100 165-170 sedikit elastis, kuning
kecoklatan, bergelombang
homogen, tidak kering, sedikit
1b 5 3 90-100 185-190 elastis, mudah sobek, coklat,
bergelombang
homogen, kering, elastis,
2a 5 4 90-100 165-170 kuning kecoklatan,
bergelombang
homogen, tidak kering, sedikit
2b 5 4 90-100 185-190
elastis, coklat, bergelombang
homogen, kering, elastis,
3a 5 5 90-100 165-170 kuning kecoklatan,
bergelombang
homogen, tidak kering, sedikit
3b 5 5 90-100 185-190
elastis, coklat, bergelombang
Gambar 6.9. Membran PU dengan variasi suhu curing (1a, 2a dan 3a) 165-
170°C, (1b, 2b dan 3b) 185-190°C
74
Tabel 6.6. Sintesis membran PU dengan variasi suhu polimerisasi
MBK HMDI Polimerisasi Curing Keterangan visual
No
ml gram °C °C membran PU
homogen, sedikit tidak kering, sedikit
1a 5 3 90-100 165-170 elastis, kuning kecoklatan,
bergelombang
homogen, sedikit tidak kering, sedikit
1b 5 3 110-120 165-170 elastis, kuning kecoklatan,
bergelombang, bergelembung
homogen, kering, elastis, kuning
2a 5 4 90-100 165-170
kecoklatan, bergelombang
homogen, kering, sedikit elastis,
2b 5 4 110-120 165-170 kuning kecoklatan, bergelombang,
bergelembung
homogen, kering, elastis, kuning
3a 5 5 90-100 165-170
kecoklatan, bergelombang
homogen, kering, kurang elastis,
3b 5 5 110-120 165-170
kecoklatan, bergelombang
Sampel yang digunakan sebagai umpan adalah air sumur, yang di ambil
dari salah satu sumur warga yang berdekatan dengan tempat pengolahan
emas di Desa Datar Luas, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh. Proses
75
filtrasi menggunakan modul membran, luas membran yang digunakan
22,051 cm2, tekanan 20 bar dan waktu filtrasi 20 menit. Hasil fluks dan
faktor rejeksi dapat dilihat pada Tabel 6.9.
Tabel 6.9. Hasil fluks dan faktor rejeksi untuk membran PU dari MBK
Fluks Faktor
N MBK HMDI Polimerisasi Curing
L/m².h.ba rejeksi
o ml gram °C °C
r %
1 5 1 90-100 165-170 * *
2 5 3 90-100 165-170 - -
3 5 4 90-100 165-170 0,6803 *
4 5 5 90-100 165-170 0,5442 100,00
5 5 7 90-100 165-170 0,6122 *
6 5 3 90-100 185-190 * *
7 5 4 90-100 185-190 * *
8 5 5 90-100 185-190 * *
9 5 3 110-120 165-170 0,7483 *
10 5 4 110-120 165-170 0,6122 *
11 5 5 110-120 165-170 0,6803 *
* Tidak dianalisis - Rusak (sobek)
76
Dari hasil fluks dan faktor rejeksi menunjukkan bahwa membran PU yang
disintesis dapat digunakan untuk menyaring merkuri pada air.Tipe membran
yang dihasilkan adalah membran ROdengan melihat hubungan linier antara
tekanan yang digunakan dan fluks yang dihasilkan (lihat Tabel 6.11).
Membran PU optimum dari proses filtrasi selanjutnya akan dilakukan
karakterisasi untuk melihat sifat fisiko-kimia dari membran tersebut.
Tabel 6.11. Perbandingan tekanan, fluks dan faktor rejeksi hasil penelitian
dan literatur
Faktor
Tekanan Fluks
Proses rejeksi
bar L/m2.h.bar
%
Penelitian MPU-MBK 20 0,5442-0,7483 100
Literatur1 - 20-40 0,4800-1,7400 -
MPU-MBK = Membran poliuretan dari minyak biji karet
1
Bhattacharyya and Williams, 1992
Perbandingan spektrum FTIR dari MBK, HMDI (NIST, 2011) dan membran
PU terlihat pada Gambar 6.11, spektrum tersebut menunjukkan bahwa
ikatan uretan telah terbentuk. Ikatan uretan ditandai dengan adanya
serapan terhadap ikatan -N-H pada bilangan gelombang 3300-3500 dan
1500-an cm-1, -C-N pada bilangan gelombang 900-1300 cm-1, -C=O pada
bilangan gelombang 1738 cm-1 serta tidak adanya serapan -NCO pada
bilangan gelombang 2280 cm-1 untuk spektrum membran PU.
77
Gambar 6.11. Spektrum FTIR MBK, HMDI dan membran PU
78
Morfologi membran PU dilihat secara cross sectional dengan pembesaran
100x dan 500x seperti pada Gambar 6.12. Dari hasil SEM tersebut terlihat
bahwa membran PU dari MBK memiliki morfologi yang padat. Hal tersebut
disebabkan oleh membran PU dari MBK memiliki struktur yang linier dengan
sedikit ikatan silang.
Hasil EDX membran menunjukkan bahwa atom karbon lebih dominan, hal
tersebut jelas bahwa komposisi utama dalam pembuatan membran PU ini
adalah minyak, sehingga karbon lebih dominan.
79
Gambar 6.13. Kurva TGA membran PU dari MBK
Tabel 6.13 dan Gambar 6.13 menunjukkan bahwa analisis TGA membran
PU dari MBK tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada suhu
degradasi pertama maupun suhu degradasi kedua. Poliuretan pada
umumnya memiliki suhu degradasi yang tinggi, hal itu disebabkan oleh
ikatan silang uretan yang terbentuk.
80
Gambar 6.14. Kurva DTA membran PU dari MBK
Gambar 6.14 dan Tabel 6.14 menunjukkan hasil DTA dari membran PU
yang disintesis dari MBK, dari kurva tersebut terlihat bahwa membran PU
dari MBK memiliki Tm 338°C.
Kekuatan mekanik membran diuji dengan alat uji tarik. Kekuatan membran
sangat berpengaruh terhadap kinerja membran, untuk hasil uji tarik
membran PU dari MBK terlihat pada Gambar 6.15 dan Tabel 6.15.
81
Tabel 6.15. Kekuatan-regangan dari membran PU
Young's Tensile
Sampel modulus strength Elongastion
kgf/mm² kgf/mm² %
-3
MPU-MBK 2,07 x 10 1,03 497,14
82
Gambar 6.15. Grafik ketahanan kimia membran PU dari MBK
Ketahanan kimia membran PU dari MBK setelah hari ke-14 sampai hari ke-
28 tidak jauh berbeda dengan hari sebelumnya, terjadi kehilangan berat
yang stabil. Hal tersebut disebabkan oleh ikatan silang yang terbentuk
sehingga dapat mempertahankan struktur membran.
83
BAB 7 MINYAK ALPUKAT
84
untuk mengobati kencing batu, darah tinggi, sakit kepala, nyeri saraf, nyeri
lambung, saluran napas membengkak. Daging buahnya dapat dijadikan
hidangan serta menjadi bahan dasar untuk beberapa produk kosmetik dan
kecantikan. Selain itu, daging buah alpukat untuk mengobati sariawan dan
melembabkan kulit yang kering. Daging buah ini juga menjadi minuman jus
yang sangat digemari masyarakat, akan tetapi biji yang dihasilkan menjadi
limbah karena merupakan produk yang belum dimanfaatkan. Biji buah
alpukat ini ternyata memiliki nilai ekonomis yang tinggi, dan juga
pemanfaatan biji alpukat bisa mengurangi limbah bagi lingkungan.
Sampel biji alpukat yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari Desa
Teleden, Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh.
Sampel diambil secara acak terkontrol (random), di mana biji alpukat yang
diambil berasal dari buah yang sudah matang, dan sebagian diambil dari
buah yang masih muda. Sampel biji alpukat sebelum digunakan dikeringkan
terlebih dahulu, bertujuan untuk menurunkan kadar air dalam biji alpukat.
Sampel kemudian dihaluskan menggunakan blender, agar kelenjar minyak
dapat terbuka sebanyak mungkin supaya minyak dapat terekstrak dengan
baik. Prasetyowati et al. (2010), menyatakan bahwa kandungan minyak
dalam biji alpukat berkisar antara 4-20 % (berat kering). Prasetyowati juga
menyatakan bahwa kandungan air sangat mempengaruhi proses ekstraksi
minyak dalam biji alpukat. Disamping itu, dalam penentuan kadar
lemak/minyak, bahan yang diuji harus cukup kering, jika bahan masih basah
maka selain memperlambat proses ekstraksi, air juga dapat mempersulit
85
penentuan berat dari minyak. Ekstraksi biji alpukat menggunakan pelarut n-
heksan.
Minyak biji alpukat bersifat nonpolar karena memiliki rantai karbon yang
cukup panjang, bersifat hidrofobik dan mengandung asam lemak.
Prasetyowati et al. (2010), mengekstrak minyak biji alpukat menggunakan
pelarut n-heksan, didapatkan minyak sebesar 17,88 %, dengan waktu
ekstraksi selama 2 jam, massa biji alpukat 50 g (berat kering), dan volume
pelarut 200 mL. Proses ekstraksi biji alpukat dalam penelitian ini
berlangsung pada kondisi operasi yaitu pada suhu 70-80oC, diharapkan
pada kondisi tersebut n-heksan dapat menguap dan minyak dapat
terekstraksi secara maksimal.
Minyak biji alpukat mengandung asam lemak berupa asam oleat (70,54 %),
asam palmitat (11,85 %), dan asam linoleat (9,45 %) (Prasetyowati et al.,
2010), Struktur asam lemak tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.4 berikut
ini.
86
O
OH
Asam oleat
O
OH
Asam linoleat
O
OH
Asam palmitat
Hasil analisis FTIR menunjukkan bahwa minyak biji alpukat memiliki gugus
fungsi -OH yang ditandai dengan serapannya pada bilangan gelombang
3393,819 cm-1 (Gambar 7.5.). Gugus -OH ini diduga berasal dari asam
lemak yang terdapat dalam minyak biji alpukat. Serapan pada bilangan
gelombang 2923,072 cm-1 merupakan serapan yang berasal dari -CH
alkana. Adanya serapan pada bilangan gelombang 2853,778 cm-1 yang
merupakan serapan yang berasal dari gugus metilen (-CH2-). Dan pada
bilangan gelombang 1739,616 cm-1 merupakan serapan yang berasal dari
gugus C=O ester. Adanya serapan gugus -OH, -CH2-, dan C=O
membuktikan bahwa gugus ini merupakan gugus-gugus fungsi yang
terdapat dalam struktur asam lemak. Hasil ini menyimpulkan bahwa minyak
biji alpukat mengandung asam lemak (Gambar 7.5). untuk data hasil FTIR
dapat dilihat pada Tabel 7.1
87
Tabel 7.1 Data gugus fungsi spektrum FTIR minyak biji alpukat
No Bilangan gelombang (cm-1) Gugus fungsi
1 3393,819 O-H
2 2923,072 CH3 alkana
3 2853,778 metilen (-CH2-)
4 1739,616 C=O ester
88
Tabel 7.2 Data kandungan senyawa di dalam minyak biji alpukat
Puncak Waktu Retensi Luas Puncak Senyawa dugaan
(Menit) (%)
1 40,839 28,05 Asam Palmitat
2 44,376 35,19 Asam Linoleat
3 44,478 28,11 Asam Oleat
4 44,851 7,08 Asam Stearat
Gambar 7.7. Kromatogram MS minyak hasil ekstraksi (a) asam palmitat (b)
asam linoleat (c) asam oleat (d) asam stearat
89
dari kedua penelitian tersebut. Terbukti dari komposisi asam lemak tak
jenuh hasil GC-MS yaitu sebesar 63,3 %, masing-masing berasal dari asam
linoleat (35,19 %) dan asam oleat (28,11 %). Sedangkan hasil penelitian
Pramudono et al. (2008), memiliki asam tak jenuh sebesar 84,85 %.
Semakin tinggi derajat ketidak jenuhan suatu minyak, maka berat jenisnya
makin besar. Dengan kata lain, berat jenis minyak berbanding lurus dengan
ketidak jenuhan asam lemak.
Hasil perhitungan bilangan hidroksil (-OH) minyak biji alpukat hasil ekstraksi
didapatkan sebesar 2,38 mg/g. Hal ini dibuktikan dengan hasil analisis FTIR
yaitu adanya serapan pada bilangan gelombang 3393,819 cm-1 (Gambar
4.4). Bilangan (-OH) minyak biji alpukat hasil ekstraksi lebih tinggi jika
dibandingkan dengan hasil penelitian Pramudono et al (2008). Namun hasil
tersebut belum sesuai dengan nilai yang ditetapkan oleh ASTM (1961) yaitu
162 mg/g. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti yang
diungkapkan oleh Santiyo (2005), kondisi biji, perlakuan sampel dan suhu
ekstraksi dapat mempengaruhi sifat kimia minyak.
Selain bilangan hidroksil (-OH), sifat fisiko-kimia lainnya pada minyak biji
alpukat hasil ekstraksi adalah bilangan iod. Semakin tinggi nilai bilangan
iod maka semakin tinggi konsentrasi asam lemak tak jenuh yang
terkandung dalam minyak tersebut. Dari hasil penelitian, diperoleh
bilangan iod minyak ekstraksi sebesar 50,76 g/g. Jumlah ini lebih kecil
dibandingkan dengan penelitian Pramudono et al. (2008), dan Prasetyowati
et al. (2010), yaitu 120,567 g/g dan 78,232 g/g. Perbedaan ini disebabkan
oleh jumlah kandungan asam lemak tidak jenuh pada minyak biji alpukat
hasil ekstraksi lebih sedikit.
90
untuk pembuatan membran poliuretan (PU). Rohaeti. (2003), membuktikan
bahwa semakin tinggi bilangan hidroksil yang dimiliki polioksietilen glikol
sebagai sumber poliol dalam sintesis poliuretan semakin tinggi pula sifat
termal dan sifat mekanik poliuretan yang dihasilkan.
91
5 1,6 I1,6 Berwarna coklat, transparan,
3
homogen, kuat
5 1,8 I1,8 Berwarna coklat, transparan,
4
homogen, kuat
5 2,0 I2,0 Berwarna coklat, transparan,
5
keras, rapuh, kaku
Soft segment
Hard Hard
segment segment
Gambar 7.8. Sintesis poliuretan (Rohaeti, 2011)
a b c
d e
92
Larutan dope yang dihasilkan jika menggunakan suhu tinggi yaitu 80-90°C
akan berwarna hitam dan terlalu kental, sehingga membran yang dihasilkan
juga tidak baik. Apabila larutan dope yang dihasilkan dalam keadaan
berbusa, maka membran yang terbentuk juga akan berbusa, bergelembung
sehingga mengakibatkan besarnya pori-pori membran. Variasi suhu dan
waktu polimerisasi dapat dilihat pada tabel 7.5 berikut. Temperatur
polimerisasi yang baik digunakan dalam penelitian ini adalah 27-30°C
dengan waktu 15 menit. Jika waktu yang digunakan saat polimerisasi >15
menit, maka menghasilkan larutan dope yang berbusa. Namun, hasil
penelitian Ameri et al. (2015), mendapatkan hasil polimerisasi optimum
pada suhu 60-80°C dengan waktu 2 jam, mereka mensintesis membran
poliuretan (PU) dari politetrametilen glikol (PTMG) dengan HMDI. Begitu
juga Morteza et al. (2011), mensintesis membran poliuretan (PU) dari
Polipropilen glikol (PPG) dengan HMDI, menggunakan suhu 85 - 90°C
untuk polimerisasi larutan dope. Rahmi (2014) juga mendapatkan suhu
60°C untuk polimerisasi larutan dope dari minyak biji jarak dengan HMDI.
Maka dapat disimpulkan bahwa sumber poliol dapat mempengaruhi suhu
dan waktu polimerisasi larutan dope, walaupun dengan menggunakan
sumber isosianat yang sama. Namun, memiliki kondisi optimum polimerisasi
yang berbeda.
93
Selain kondisi polimerisasi, kondisi proses curing juga sangat
mempengaruhi sifat membran yang terbentuk, penelitian ini menvariasi
suhu dan waktu curing (Tabel 7.6) untuk mengetahui kondisi optimum.
94
dan waktu curing, maka kondisi terbaik secara visual didapatkan yaitu pada
jumlah HMDI sebanyak 1,6 dan 1,8 gram, temperatur polimerisasi 30°C
dengan waktu 15 menit, temperatur curing 70°C dengan waktu 48 jam.
Semua membran yang terbentuk akan diuji kinerjanya, yaitu meliputi fluks
dan rejeksi. Hasil optimum yang didapatkan selanjutnya akan dilakukan
karakterisasi.
95
Proses operasi filtrasi menggunakan tekanan 10 bar, dikarenakan membran
tidak mampu bekerja dengan tekanan <10 bar. Hal ini kemungkinan
dikarenakan pengaruh waktu curing yang lama, sehingga mengakibatkan
peningkatan konsentrasi polimer pada bagian atas lapisan membran yang
mengakibatkan pori membran menjadi lebih kecil yang akhirnya
menghasilkan fluks yang kecil (Li, 2009; Soroko, 2011). Hal tersebut
dibuktikan dengan data pengujian fluks (Tabel 7.7) bahwa membran yang
dicuring dalam waktu 24 jam (I1,6B1X2) memiliki nilai fluks yang paling besar,
yaitu 1400 L/m2.jam.bar. Itu artinya membran tersebut memiliki pori yang
lebih besar dari yang lainnya. Membran I1,8A1X3 memiliki nilai fluks yang
paling kecil yaitu 88 L/m2.jam.bar, hal ini dikarenakan membran tersebut
memiliki pori yang lebih kecil daripada membran lainnya.
Semakin tinggi fluks membran, maka nilai rejeksi akan semakin kecil, dan
sebaliknya. Semakin rendah fluks membran, maka rejeksi akan semakin
tinggi. Membran yang dihasilkan dalam penelitian ini diharapkan mampu
merejeksi merkuri (Hg) sebesar mungkin. Maka dengan itu membran yang
menghasilkan fluks rendah dianggap sebagai membran yang optimum
dalam penelitian ini, yaitu membran I1,8A1X3 memiliki nilai fluks 88
L/m2.jam.bar.
Hasil nilai fluks yang didapatkan tidak jauh berbeda dengan penelitian
Cahya (2012), yaitu 34,416 L/m2.jam.bar, dengan luas membran sebesar
10,75 x 10-4 m2. Penelitiannya yaitu membuat dan mengkarakterisasi
membran nanofiltrasi dari bahan dasar limbah kulit nenas untuk pengolahan
air.
96
Tabel 7.8 dapat disimpulkan bahwa membran PU hasil sintesis berhasil
menurunkan kadar merkuri dalam air sumur dengan nilai rejeksi 98,87 %.
Jika dilihat dari proses filtrasi dengan menggunakan tekanan 10 bar, maka
membran PU hasil sintesis dapat digolongkan ke dalam jenis membran
nanofiltrasi. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Barakat et al. (2011); Feng
et al. (2014); Ren et al. (2011), bahwa membran nanofiltrasi beroperasi
pada tekanan antara 5-35 bar dan memiliki pori yang kecil sehingga dapat
memisahkan air dari padatan terlarut, bakteri, virus, ion multivalensi seperti
Ca2+, Mg2+ , Hg2+, dan lain-lain.
97
Gambar 7.11 FTIR minyak, HMDI, dan membran PU
98
Tabel 7.8 Data perbandingan spektrum FTIR minyak biji alpukat, HMDI dan
membran PU
No Minyak biji alpukat HMDI Membran PU
Gambar 7.11 dan tabel 7.8 menunjukkan perbedaan antara minyak, HMDI
dan membran PU. Hal ini terbukti bahwa membran PU telah berhasil
berhasil disintesis dari minyak biji alpukat dengan HMDI. Hilangnya gugus -
NCO setelah terbentuknya membran PU yang ditandai dengan tidak
munculnya serapan pada daerah 2270 cm-1. Sebagaimana hasil penelitian
Ameri et al. (2015), bahwa tidak ada puncak pada daerah 2270 cm-1
menunjukkan penyelesaian reaksi secara sempurna. Hal ini membuktikan
bahwa isosianat telah habis bereaksi melalui ikat silang dengan gugus
hidroksil.
99
Uretan yang terbentuk ditandai dengan serapan khasnya yaitu adanya
regangan vibrasi N-H uretan pada panjang gelombang 3314,996 cm-1, tidak
jauh berbeda dengan hasil penelitian Ameri et al. (2015), yaitu muncul
disekitar 3300 cm-1. Hasil ini diperkuat dengan munculnya serapan C-N-H di
1526,268 cm-1. Hampir sama dengan hasil penelitian Gultekin et al. (2009),
menyatakan bahwa spektrum khas uretan menunjukkan adanya pita
serapan untuk C-N-H di 1533 cm-1. Selain itu, adanya uretan eter, dan C-
O-C eter ditandai dengan munculnya serapan 1134,562 cm-1 dan 1038,999
cm-1. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Ameri et al. (2015), yaitu
munculnya puncak 1112 cm-1 dan 1100 cm-1. Mehdi et al. (2012),
menyatakan bahwa munculnya serapan kelompok karbonil dalam poliuretan
pada 1699,965 cm-1 dapat memberikan informasi tentang pemisahan fasa
yang dihasilkan dari soft segmen dan hard segmen. Hal ini diperkuat oleh
Hassanajil et al. (2014) dalam penelitiannya bahwa karbonil terikat
didapatkan pada serapan sekitar 1690 cm-1. Maka dari data FTIR jelas
bahwa minyak biji alpukat hasil ekstraksi yang direaksikan dengan HMDI
sudah terbentuk poliuretan (PU).
Gambar 7.12 menunjukkan bahwa kuat tarik membran poliuretan (PU) hasil
sintesis sebesar 1,31 kgf/mm2, dengan nilai elongasi 41,34 %. Nilai ini lebih
rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Rohaeti. (2003), yaitu
mendapatkan nilai kuat tarik 6,69 kgf/mm2 dan nilai elongasi 72,58 %. Jika
nilai elongasi tinggi dan kuat tarik rendah, maka polimer tersebut bersifat
elastis. Namun, jika polimer memiliki nilai elongasi yang rendah dan kuat
tarik tinggi, polimer tersebut bersifat kaku. Maka membran poliuretan (PU)
hasil sintesis dapat dikatakan bersifat kaku jika dibandingkan dengan film
poliuretan (PU) hasil penelitian Rohaeti. (2003).
100
Gambar 7.12 Kurva uji tarik
101
Tm 359,33oC
102
Dalam penelitian ini dilakukan analisa morfologi penampang melintang pada
membran poliuretan (PU) yang memiliki kondisi optimum. Pengujian
dilakukan pada membran sebelum filtrasi dan sesudah filtrasi.
a b
Gambar 7.14 Hasil SEM membran PU I1,8A1X3 (a) sebelum filtrasi (b)
sesudah filtrasi
103
a
Gambar 7.15 Spektrum EDX membran PU (a) sebelum filtrasi (b) sesudah
filtrasi
Hasil spektrum EDX (Gambar 7.15 dan Tabel 7.10 ) didapatkan bahwa
membran PU sebelum filtrasi hanya terdapat komponen N,C,dan O. hal ini
jelas bahwa N,C,O adalah komponen utama penyusun membran PU.
Namun spektrum EDX pada membran yang sesudah filtrasi terdeteksi
104
logam-logam yang terdapat di dalam air, salah satunya adalah merkuri. Ini
terbukti bahwa membran PU sudah berhasil menyaring merkuri yang ada di
dalam air sumur.
H2SO4 3%
105
BAB 8
MINYAK NYAMPLUNG
Buah nyamplung berbentuk bulat dengan biji tunggal yang besar dan
diameternya 2-4 cm. Ketika sudah masak, buahnya akan keriput dan
warnanya akan berubah dari kuning kemerahan menjadi kecoklatan. Biji
nyamplung berwarna kuning pucat dan tidak berbau ketika masih segar.
Gambar 8.2 menunjukkan buah nyamplung segar, biji sebelum dan sesudah
proses pengupasan, biji segar dan biji kering. (Sanjid et al., 2013).
105
Gambar 8.1. Tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum)
Gambar 8.2. (a). Buah nyamplung segar, (b). Buah nyamplung kering, (c).
Biji nyamplung dan cangkangnya, (d). Biji nyamplung segar
dan kering.(Atabani et al., 2014)
Bahan baku yang digunakan adalah buah nyamplung yang berasal dari
Ujong Pancu, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Biji nyamplung
terlebih dahulu dikeluarkan dari tempurung, kemudian dikeringkan selama 7
hari sampai warnanya berubah menjadi merah kecoklatan. Selanjutnya biji
nyamplung tersebut digiling sampai halus sampai berbentuk serbuk. Satu
Kg buah nyamplung kering setara dengan kira-kira 600 gram biji
nyamplung, dan setelah pengeringan berat biji nyamplung menjadi ± 400
gram. Ekstraksi minyak dari biji nyamplung dilakukan melalui proses
sokletasi menggunakan pelarut n-heksana. Ekstrak kasar minyak biji
106
nyamplung dipisahkan dengan pelarut menggunakan rotary evaporatory
untuk mendapatkan ekstrak murni minyak biji nyamplung.
107
Gambar 8.3. Spektrum FTIR minyak biji nyamplung
108
Gambar 8.4 : Kromatogram minyak biji nyamplung
109
Tabel 8.2. Hasil analisi spektrum massa kromatogram sampel minyak biji
nyamplung
No Waktu Kelimpaha Fragmentasi (m/z) Senyawa dugaan
punca retensi n (berdasarkan library
k (menit) (%) MS)
2 40,808 17,94 270 (M+), 239, 227, asam palmitat
199, 185, 171, 157, (Hexadecenoic acid,
143, 129, 115, 101, 87, methyl ester)
74, 57, 41
3 44,347 23,12 294 (M+), 150, 136, asam linoleat (9,12-
109, 95, 81, 67, 41 Hexadecadienoic
acid, methyl ester)
4 44,499 42,54 296 (M+), 264, 222, asam oleat (11-
180, 123, 98, 74, 69, Octadecenoic acid,
56, 41 methyl ester)
5 44,864 15,33 298 (M+), 267, 255, asam stearat
213, 199, 185, 157, (Octadecanoic acid,
143, 129, 115, 101, 87, methyl ester)
74, 57, 43,41
Asam oleat yang memiliki massa 296 m/z merupakan komponen terbesar
yang terkandung pada ekstrak minyak biji nyamplung. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh Ong et al (2014), Adewuyi et al (2014)
dan Hasibuan et al (2013). Namun, kandungan asam oleat pada ekstrak
minyak biji nyamplung hasil analisis lebih besar dibandingkan dengan
penelitian-penelitian terdahulu. Ong et al (2014) mendapatkan kelimpahan
asam oleat sebesar 39,8%, linoleat 28,1%, stearat 15,9%, palmitat 14,2 %,
sedangkan dalam penelitian ini kelimpahan asam oleat sebesar 42,54%,
asam linoleat 23,12%, asam stearat 15,33% dan asam palmitat 17,94%,
sehingga sangat potensial untuk dijadikan bahan dasar pembuatan
membran poliuretan. Kandungan minyak dari biji nyamplung sekitar 40-73%
(Atabani et al., 2014). Minyak nyamplung mengandung jumlah asam lemak
tak jenuh yang lebih tinggi (70,8%) dari pada asam lemak jenuh (29,2%).
Namun, komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuh bervariasi dengan
tahap kematangan buah (Hathurusingha et al., 2011). Sanjid et al (2013)
juga menyatakan bahwa biji nyamplung memiliki kandungan minyak yang
sangat tinggi dan sebagian besar dari mereka adalah asam lemak tak jenuh
yaitu oleat (C18:1) mencapai 34,09 %, linoleat(C18:2) mencapai 38,26 %,
linolenat (C18:3) 0,3%, sedangkan asam lemak jenuhnya yaitu palmitat
110
(C16:0) 12,01%, stearat (C18:0) 12,95 %. Struktur asam lemak dari minyak
biji nyamplung dapat dilihat pada Gambar 8.6.
111
berikatan dengan N pada gugus –NCO dari HMDI. Proses curing dilakukan
untuk menghasilkan ikat silang antara isosianat dengan gugus OH pada
minyak. Banyaknya ikat silang yang terbentuk tergantung dari banyaknya
jumlah gugus OH dari minyak yang berikatan dengan gugus –NCO,
Semakin banyak jumlah gugus OH yang berikatan dengan isosianat maka
semakin banyak ikat silang yang dihasilkan (Kothandaraman et al., 1989).
Banyaknya ikatan uretan dapat mempengaruhi ukuran pori membran,
semakin banyak ikatan uretan maka pori diantara ikatan-ikatan uretan
semakin rapat, sehingga untuk mendapatkan membran dengan ukuran pori
nano maka diperlukan banyak gugus OH untuk berikatan dengan isosianat.
112
Tabel 8.4. Sifat kualitatif membran poliuretan pada variasi suhu curing
MBN HMDI curing Keterangan visual membran
0
(mL) (g) Suhu ( C)
5 5 70-75 Cair, kuning kecoklatan
5 5 90-95 Lunak, kuning kecoklatan
5 5 110-115 Lunak, kuning kecoklatan
5 5 130-135 Tidak kering, mudah putus, kuning kecoklatan
5 5 150-155 Homogen, berminyak, mudah putus, kuning cokelat
5 6 70-75 Homogen, lunak, kuning kecoklatan
5 6 90-95 Homogen, lunak, kuning kecoklatan
5 6 110-115 Homogen, mudah putus, kuning transparan
5 6 130-135 Homogen, elastis, kuning transparan
5 6 150-155 Homogen, elastis, kering, kuning transparan
5 7 70-75 Homogen, lunak, kuning kecoklatan
5 7 90-95 Homogen, lunak, kuning kecoklatan
5 7 110-115 Homogen, mudah putus, kuning transparan
5 7 130-135 Homogen,sedikit keras, elastis, kuning transparan
5 7 150-155 Homogen,sedikit keras, elastis, kering, kuning
transparan
MBN = minyak biji nyamplung
HMDI= heksan metilen-1,6-diisosianat
113
Ujeun Aceh Jaya, Provinsi Aceh yang telah difiltrasi menggunakan
membran poliuretan minyak biji nyamplung. Luas membran yang digunakan
25,5 x 10-4 m2 dan waktu filtrasi 5 menit. Hasil fluks dan faktor rejeksi dapat
dilihat pada Tabel 8.5.
114
reaksi adisi yang melibatkan nitrogen dari gugus uretan (Howard, 2002).
Pembentukan allofanat dapat terjadi dengan bantuan panas, terutama
panas pada saat curing. Beberapa reaksi sekunder yang mungkin terjadi
pada saat polimerisasi membran poliuretan, yaitu reaksi pembentukan urea,
biuret, allofanat, reaksi pembentukan dimer dan trimerisasi.
115
Gambar 8.8 Termogram DTA membran poliuretan minyak biji nyamplung
116
Gambar 8.10. SEM membran minyak biji nyamplung
117
Element Weight % Weight % σ Atomic %
Carbon 47.588 5.875 52.647
Nitrogen 42.117 6.668 39.954
Oxygen 8.320 3.302 6.910
Magnesium 0.137 0.277 0.075
Phosphorus 0.079 0.221 0.034
Sulfur 0.039 0.113 0.016
Iron 0.472 0.588 0.112
Arsenic 0.415 0.501 0.074
Cadmium 0.252 0.507 0.030
Mercury 0.367 0.454 0.024
Gambar 8.12. Grafik EDX pada SEM membran sesudah filtrasi
118
magnesium yang tertahan sebesar 0,137 %, besi 0,472%, arsen 0,415%,
cadmium 0,252% dan merkuri 0,367%.
119
BAB 9 RUMPUT LAUT
Rumput laut adalah tumbuhan yang tidak dapat dibedakan antara bagian
akar, batang dan daun. Semua bagian tumbuhannya disebut thallus. Karena
bentuknya seperti rumput terutama yang berukuran besar dan hidupnya di
laut, maka orang awam terutama kaum usahawan sering menyebutnya
rumput laut, sedangkan kalangan ilmuwan rumput laut dikenal dengan
nama algae. Berdasarkan kandungan pigmen yang terdapat dalam thallus
rumput laut, maka rumput laut dapat digolongkan menjadi : rumput laut
hijau, rumput laut merah dan rumput laut coklat.
Produk industri terpenting dari rumput laut adalah phycocolloid dari rumput
laut merah dan coklat. Phycocolloid dari ke dua kelompok rumput laut
tersebut sangat dibutuhkan industri sebagai larutan emulsi, gelling,
stabilisator, suspensi dan bahan pembeku/perekat. Phycocolloid
didefinisikan sebagai polisakarida yang kompleks, yang membentuk sistem
colloidal ketika dilarutkan dalam air. Bentuk water-soluble-polysaccharida
merupakan bagian utama dari polisakarida pada rumput laut. Polisakarida
yang utama dan penting dari golongan rumput laut merah adalah Agar dan
Karagenan. Ke dua polisakarida ini banyak dimanfaatkan di berbagai bidang
industri, tetapi belum dimanfaatkan sebagai membran poliuretan (PU) .
9.2 Karagenan
Karagenan merupakan molekul besar galaktan yang terdiri dari 100 lebih
unit-unit utamanya. Residu-residu galaktosa tersebut berikatan dengan
ikatan α (13) dan ikatan β (14) secara tukar-tukar. Menurut Guiseley
karagenan adalah polisakarida dengan rantai lurus (linier) yang terdiri dari
D-glukosa 3.6 anhidrogalaktosa dan ester sulfat. Berdasarkan struktur
tersebut, maka karagenan mengandung gugus –OH yang tinggi, sehingga
diharapkan dapat membentuk membran PU yang kuat, karena semakin
banyak gugus –OH semakin banyak kesempatan berinteraksi dengan
gugus –NCO dari TDI, dan semakin kuat ikatan yang tebentuk.
120
sebagai bahan baku karagenan adalah Chondrus crispus. Jenis rumput laut
lain yang juga digunakan sebagai sumber karagenan adalah Euheuma
cottoni, Gracilaria sp (Gambar 9.1) dan Euhema spinosum.
(a). k-Karagenan
121
(b).λ-Karagenan
(c). γ-Karagenan.
122
9.3 Isolasi Karagenan dari Rumput Laut Merah
(a) (b)
Gambar 9.3 (a) Rumput laut merah sebelum dibersihkan dan (b) setelah di
bersihkan.
Rumput laut yang telah bersih dikeringkan untuk menghilangkan kadar air
(Gambar 9.3b), agar dapat disimpan untuk waktu yang lama. Pengeringan
dapat dilakukan di bawah sinar matahari atau menggunakan oven pada
suhu 60 0C. Pencucian dan pengeringan dilakukan beberapa kali untuk
memperoleh rumput laut kering yang bersih dan putih. Rumput laut yang
sudah bersih dan kering sebelum digunakan dilakukan pencucian kembali
dengan air untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang mungkin terikut
selama penyimpanan. Rumput laut yang telah bersih, selanjutnya
diekstraksi menggunakan air sebanyak 40 – 50 kali berat rumput
lautkering, dengan cara perebusan selama 15 menit. Fungsi perebusan
disini untuk mempermudah ekstraksi karagenan pada saat dihancurkan
dengan blender.
Rumput laut yang lunak diblender menggunakan air panas yaitu untuk
membantu ekstraksi polisakarida menjadi lebih sempurna dan
mempercepat eliminasi 6-sulfat dari unit monomer menjadi 3,6-anhidro-D-
galaktosa, sehingga dapat meningkatkan kekuatan gel (Winarno, 1996).
123
Pemisahan larutan (ekstrak) dan residu (kotoran-kotoran yang terdiri dari
rumput laut yang tidak larut) dilakukan dengan penyaringan menggunakan
kain saring dalam keadaan panas untuk menghindari pembentukan gel.
Ekstrak yang diperoleh diendapkan dengan menambahkan metanol untuk
mendapatkan karagenan murni.
(a) (b)
Gambar 9.4. Tepung karagenan dengan pemanasan (a) sinar matahari
dan (b) oven
124
Gambar 9.5. Analisa kualitatif dari karagenan
2368,9
3516,4
2969,6
1664,9
3113,8
125
Gambar 9.7. Kromatogram dari karagenan
126
9.4 Pembuatan Membran Poliuretan
Larutan dope adalah larutan yang dibuat dari campuran bahan polimer,
aditif dan pelarut sebagai bahan dasar pembentukan membran.
Karakteristik dari larutan ini sangat ditentukan dari bahan-bahan yang
digunakan, misalnya warna dan kekentalan. Proses pembuatan larutan
dope PU dari karagenan dan TDI dapat dilihat pada Gambar 9.9.
Pada penelitian ini larutan dope dibuat dari tepung karagenan dengan
variasi konsentrasi 5 – 35 % (b/v) dengan interval 2,5 gram, serta TDI
sebagai reagen pembentuk poliuretan (PU) pada temperatur 60 – 90 oC.
Semakin banyak konsentrasi karagenan yang diberikan maka semakin
kental larutan dope yang dihasilkan. Hal ini dapat dipahami bahwa semakin
banyak karagenan maka kesempatan pembentukan gugus uretan dari
gugus gugus –OH (karagenan) dengan –NCO (TDI) akan semakin besar,
dan molekul PU yang dihasilkan semakin besar.
127
membentuk ikatan silang dalam PU, yang menyebabkan udara
terperangkap di dalamnya sehingga membentuk busa.
128
Gambar 9.11 Proses pencetakan membran PU
129
(a) (b) (c)
(g)
Gambar 9.13. Membran PU yang disintesis pada 60 oC : (a) 5; (b) 7,5; (c)
10; (d) 12,5; (e) 15, (f) 17,5 dan (g) 20 % (b/v)
130
membran (lembaran ) lagi tetapi berbentuk busa PU. Sifat membran yang
dihasilkan dari berbagai konsentrasi karagenan disimpulkan pada tabel 9.1.
Dari tabel 9.1 tampak bahwa membran yang dihasilkan dari variasi
konsentrasi 12,5 – 20 % (b/v) merupakan membran yang mempunyai sifat
yang homogen dan elastis, sehingga dapat diuji pada proses desalinasi air
payau.
131
70 C=12.5 % (b/v)
60 C = 15 % (b/v)
C = 17.5 % (b/v)
Fluks (L/m2 jam)
50
c = 20 % (b/v)
40
30
20
10
0
0 30 60 90 120
Waktu filtrasi (menit)
132
9.5.2 Sifat Kimia
Kekuatan tarik diuji untuk menentukan sifat dari bahan polimer pembentuk
membran. Hasil analisis data pengujian terhadap membran PU optimum
dari karagenan didapatkan bahwa sifat membran yang dihasilkan bersifat
sedikit elastis, di mana persen elongasinya hanya 9 %. Membran ini juga
mempunyai kekuatan tarik yang besar, yaitu 340 kgf/mm2, dengan yiels
strength 69,17 kgf/mm2. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa
membran ini dapat diaplikasikan diaplikasikan pada proses pemisahan
menggunakan tekanan yang lebih tinggi (hiperfiltrasi atau osmosa balik).
Kurva kekuatan tarik terhadap % elongasi dapat dilihat pada Gambar 9.16.
133
Gambar 9.16 Kurva kekuatan tarik vs persen elongasi dari membran PU
134
Gambar 9.17. Kurva temperatur transisi gelas membran
135
DAFTAR PUSTAKA
Andrew S., Clayton H.H., Edward M.K., 1992, Introduction to Organic Chemistry,
Macmillan Publishing Company, New York, 322-378.
Ashida K., Saiki K., Goto J., and Sasaki K. (1980), Polyisocyanurates Foam
Modified by Thermally Stable Linkages, in International Progress In
Urethanes, volume 2, Technomic Publishing Co., Inc., Westport, USA.
Barakat, M. A., 2011, New Trends in Removing Heavy Metals from Industrial
Wastewater, Arabian Journal of Chemistry, 4, 361-371.
Billmeyer F.W. (1984), Textbook of Polymer Science, third ed., John Wiley &
Son, New York, 416 -417.
137
Callister, W.D., 2003, Materials Science and Engineering: An Introduction, John
Wiley & Sons PTe.Ltd., India, 54(56), 108 -112.
Cheng L.P., Huang Y.S., and Young T.H. (2003), Effect of the Temperature of
Polyurethane Dissolution on the Mechanism of Wet-casting Membrane
Formation, European Polymer Journal, Volum 39, 601-607.
Das, B., Konwar, U., Mandal, M., Karak, N., 2012, Sunflower Oil Based
Biodegradable Hyperbranched Polyurethane As a Thin Film Material,
Industrial Crop and Products, 44, 396-404.
David F., 1995, Oil and Fat in Official Methods of Analysis of AOAC
International, 16 th Edition, volume II, USA.
Dombro B.A. (1963), Polyurethanes, The Guinn Co. Inc., New York.
Eli Rohaeti, N. M., 2003, Pengaruh Variasi Berat Molekul PEG Terhadap Sifat
Mekanik Poliuretan,Jurnal Matematika & Sains, 89: 63 – 66.
Feng, C., Xu, J., Li, M., Tang, Y., Gao, C., 2014, Studies on a Nanofiltration
Membrane Prepared by Cross-linking of Polyethyleneimine on
Polyacrylonitrile Substrate, Journal of Membrane Science,451, 103-110.
Furmiss B.S. et al. (1989), Vogel’s Textbook of Practical Organic Chemistry New
Edition, Fifth Edition, Longman Scientific and Technical, Joh Wiley and
Sons Inc., New York.
138
Goddard R.J. and S.L. Cooper (1995), Polyurethane Cationomers with Pendant
Trimethylammonium Groups. Fourier Transform Infrared Temperature
Studies, Macromolecules, Volum28, 1390-1400.
Gurunathan, T., Mohanty, S., Nayak, S. k., 2014, Isocyanate Terminated Castor
Oil-Based Polyurethane Prepolymer: Synthesis and Characterization,
Journal Progress in Organic Coatings, 80, 39-48.
Hathurusingha, S., Ashwath, N., Subedi, P., 2011, Variation in oil content and
fatty acid profile of CalophylluminophyllumL.With fruit maturity and its
implications on resultant biodiesel quality, Industrial Crops and Products
33, 629–632.
Huang, S.L. and Lain, J. Y., 1996, HTPB-H12MDI Based Polyurethane IPN
Membranes forPervaporasi, Journal of Membrane Science, 115, 1-10.
James A.D. (1985), CRC Handbook of Medicinal Herbs, CRC Press Inc., Florida,
USA.
139
Jouquieres A., R. Clement, D. Roizad, and P. Lochon (1996), Pervaporation
Transport Modelling in Ternary System : Ethyltertiarybuthylether/
ethanol/polyurethaneimide, J. of Membrane Science, Volum 109, 65 – 76.
Ketaren S., 1986, Pengantar teknologi minyak dan lemak pangan. Ed ke-1.
Jakarta, UI-Press.
Lee K.R., M.Y. Teng, T.N. Hsu, J.Y. Lai (1999), A Study on Pervaporation of
Aqueous Ethanol Solution by Modified Polyurethane Membrane, J. of
Membrane Science, Volum 162, 173 – 180.
Manzoor, M., Anwar, F., dan Iqbal, T., 2007, Physico-chemical Characterization
of Moringa concanensis Seeds and Seeds Oil. JAOCS,84:413-419
Marlina., 2003, Studi Awal Pembuatan Film Poliuretan dari Minyak Biji Jarak
(Castor Oil) dan 4,4 Difenilmetan Diisosianat (MDI),Prosiding Seminar
Sehari 70 Tahun Noermandsjoeriah Surdia, ITB (pp. 4-57 – 4-62.),
Bandung, ITB.
140
Marlina., 2007,
PemanfaatanAsamLemakBebasTeroksidasidariMinyakJarakuntukSintesisM
embranPoluretan, JurnalRekayasa Kimia danLingkungan, 6(2), 67-70.
Marsidi, R., 2001. Zeolit untuk Mengurangi Kesadahan Air. Jurnal Teknologi
Lingkungan, Vol 2, No.1, Bandung.
Mehdi, T. M., Sadeghi, M., Pourafshari, C. M., Khosravi, A., 2012, Gas
Separation Properties of Poly(Ethylene Glycol)/Poly(Tetramethylene Glycol)
Based Polyurethane Membrane, Journal of Membrane Science, 415-416,
469-477.
141
Mulder, M. 1996. Basic Principle of Membranes Technology. Kluwer Academics
Publisher, Netherlands.
Nicholson J.W. (1994), The Chemistry of Polymer, second Ed., The Royal
Society of Chemistry, Cambridge, UK.
Odian, G., 1991, Principles of Polymerization, John Wiley & Son, Inc., USA, 1-37.
Ong, H. C., Masjuki, H.H., Mahlia, T.M.I., Silitonga, A.S., Chong, W.T., Leong,
K.Y., 2014, Optimization of biodiesel production and engine performance
from high free fatty acid Calophylluminophyllumoil in CI diesel engine,
Energy Conversion and Management, 81, 30–40.
Ray R.J. (1992), Cost Estimates, in Membrane Hand book, Chapman & Hall,
New York – London, 355 – 390.
Rizk A.M. and A.S. Al- Nowaihi (1989), The Phytochemistry of The Horticultural
Plants of Qatar, The Scientific and Applied Research Center, University of
Qatar, The Alden Press, Ltd., Qatar.
Rohaeti, E.,2003. Pengaruh Variasi Berat Molekul Polietilen Glikol terhadap Sifat
Mekanik Poliuretan. Jurnal Matematika dan Sains.8(2).63-66.
142
Roheti, E dan Senam., 2010, Biodegradasi Poliuretan Hasil Sintesis dari Minyak
Kedelai, Polioksietilen Glikol, dan Metilen-4,4-Difenildiisosianat,
JurnalPenelitian Saintek, Vol. 15, No. 2.
Saalah, S., Chuah, L. A., Min, M. A., Zah, M. A., Zah, M. S., Radiah, D. A. B.,
Basri, M., Rose, E. J., 2014, Waterborne Polyurethane Dispersions
Synthesized from Jatropha Oil, Journal Industrial Crops and Products, 64,
194-200.
Sanjid, A., Masjuki, H.H., Kalam, M.A., AshrafurRahman, S.M., Abedin, M.J.,
Palash, S.M., 2013, Impact of palm, mustard, waste cooking oil and
Calophylluminophyllum biofuels on performance and emission of CIengine,
Renewable and Sustainable Energy Reviews, 27, 664–682.
Souchon I., V. Athes, F.X. Pierre, M. Marin (2004), Liquid-liquid Extraction and
Air Stripping in Membrane Contactor : Application to Aroma Coumpounds
Recovery, Desalination, Volum 163, 39-46.
Teo L.S., C.Y. Chen, J.F. Kuo (1998), The Gas Transport Properties of Amine-
containing Polyurethane and Poly (urethane-urea) Membranes, J. of
Membrane Science, Volum 141, 91-98.
Ward, I.M., 1983, Mechanical Properties of Solid Polymers, Second Ed., John
Wiley & Son Ltd., New York, 329 – 398.
143
Winston W.S. & Kamalesh K.S. (1992). Membran Handbook, Chapman & Hall,
New York-London.
Woods, G., 1987, The ICI Polyurethanes Book, ICI Polyurethanes & John Wiley
& Son, Netherlands, 7(41), 249-284.
Zhang, M., Pan, H., Zhang, L., Hu, L., Zhou, Y., 2014, Study of the Mechanical,
Thermal Properties and Flam Retardancy of Rigid Polyurethane Foams
Prepared From Modified Castor-Oil-Based Polyols, Journal Industrial Crops
and Products, 59, 135-143.
144