Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka memenuhi tugas pengumpulan makalah tentang materi

bertemakan “Sejarah dan Tokoh Filsafat Zaman Romawi Kuno (0-500 Masehi)”

Mata kuliah Filsafat Ilmu Universitas Islam negeri Surabaya fakultas Psikologi dan

Kesehatan Jurusan Psikologi, Makalah ini berkedudukan untuk memahamkan

siapapun yang membaca isi dari makalah ini agar dapat memahami dinamika yang

terjadi tentang Sejarah dan Tokoh Filsafat Zaman Romawi Kuno (0-500 Masehi)

yang tercatat dalam sejarah.

Data yang terterapun juga dibatasi oleh ketersediaan ruang dalam makalah ini

yang terikat waktu pengumpulan dan ruang untuk menuliskan secara singkat

Bagaimana ,apa dan kenapa proses-proses yang menjadi judul diatas itu akan dibahas

pada tulisan ini.

1.2 Rumusan masalah

 Bagaimana Kondisi Romawi kuno (0-500M)?

 Siapa saja tokoh filsuf dalam masa Romawi Kuno?

 Bagaimana Pemikiran-pemikiran para filsuf tersebut pada masa Romawi

Kuno?

1
1.3 Tujuan

 Mengetahui Kondisi Romawi kuno (0-500M)

 Mengetahui berbagai tokoh filsuf dalam masa Romawi Kuno

 Mengetahui bentuk Pemikiran-pemikiran para filsuf pada masa Romawi

Kuno

1.4 Manfaat

 Dapat menjelaskan Kondisi romawi kuno yang melingkupi para filsuf

Romawi Kuno (0-500 M)

 Dapat mengetahui berbagai tokoh sebagai pijakan referensi

 Dapat mengidentifikasi pemikiran diluar yang mungkin terwarnai akan

pemikiran para filsuf zaman romawi kuno

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Kondisi Romawi Kuno (0-500M) yang melingkupi para Filsuf.

Romawi berasal dari negara kota Roma di pedalaman Italia. Mereka

memiliki kemiripan dalam masalah kepercayaan dengan bangsa Yunani Kuno. Orang

Romawi juga menganut kepercayaan politheisme dengan memberikan sifat

antropomorfis terhadap dewa-dewi. Sifat dan tugas dewa-dewi bangsa Yunani Kuno

diambil alih oleh bangsa Romawi dengan mengganti nama dewa-dewi ke dalam

bahasa Romawi,misalnya Zeus menjadi Jupiter, Hera menjadi Juno, Aphrodite

menjadi Venus,Apollon menjadi Apollo, Artemis menjadi Diana, Poseidon menjadi

Neptunus,dan Athena menjadi Minerva.

Manusia setengah dewa seperti Heracles dalam legenda Yunani Kuno

diubah menjadi Hercules dalam legenda Romawi. Hubungan persaudaraan antara

Romawi dengan Yunani Kuno digambarkan dalam syair Aeneas karya Virgilius yang

merupakan gubahan syair Odyssea karya penyair terkemuka Yunani Kuno, Homeros.

Syahdan dikisahkan bahwa ada seorang pahlawan Troya yang berhasil

menyelamatkan diri dalam Perang Troya yang telah menghancurkan Kota Troya.

Pahlawan Troya itu bernama Aeneas. Ia adalah manusia setengah dewa dari pasangan

Dewi Venus dengan Anchises.

3
Aeneas menyelamatkan diri bersama putranya, Askianos dan ayahnya

yang sudah tua, Anchiseske Hesperia(negara menjelang malam), yakni Italia. Ayah

Aeneas (Anchises,suami Dewi Venus) meninggal dunia dalam pelarian. Aeneas

mengubur jenazah ayahnya di Eryx, dekat pemujaan Dewi Venus, setelah itu Aeneas

pergi mengembara hingga ke Afrika dan menikah dengan Dido, Ratu Karthago.

Penyair Virgilius mengisahkan asal mula Dido dari Siprus yang mengembara ke

Afrika. Di sana Dido membelitanah dari raja setempat yang bernama Yarbas. Ia

kemudian membangun benteng Byrsa. Dido sangat mencintai Aeneas. Namun

Aeneas tidak bisa hidup selamanya dengan Dido, karena ia diperintahkan oleh Dewa

Zeus untuk kembali ke Italia. Aeneas meminta petunjuk dari roh-roh sebagaimana

yang telah dilakukan Odysseus dalam perjalanan pulang dari Troya ke Attica.

Akhirnya Aeneas tiba di daerah Laurentium, dekat muara sungai Tiber. Ia menikah

dengan Latvinia, putri Raja Latinus, setelah mengalahkan Raja Turnus. Aeneas

mendirikan kota dengan nama

Lavinium sebagai ungkapan rasa cintanya terhadap Lavina, sedangkan

putra Aeneas yakni Askanios mendirikan kota Alba Longa yang menjadi cikal bakal

Kota Roma.Askanios mempunyai anak kembar bernama Romulus dan Romus.

Gubahan syair Homeros oleh Virgilius diatas menjelaskan hubungan saudara antara

Yunani Kuno dengan Romawi,dan hak bangsa Romawi untuk mengambil kembali

wilayah Kerajaan Karthago yang pernah diberikan Ratu Dido kepada Aeneasse belum

4
kembali ke Italia.Selama 118tahun (264–146sm) terjadi perang berkepanjangan

antara bangsa Romawi dengan Khartago.

Bangsa Romawi yang berhasil mengalahkan bangsa Khartago dalam

PerangPhunitersebutmenjadipewaris kekuasaan Imperium Macedonia. Tujuan utama

gubahan syair Homeros adalah untuk memberi citra posistif tentang bangsa Romawi

bahwa kekuasaan mereka di wilayah Yunani Kuno merupakan kelanjutan dari raja

raja bangsa Yunani Kuno yang terpecah akibat Perang Troya. Jadi,persaudaraan

Romawi – Yunani Kuno bukan karena hellenisme sebagaimana penyatuan antara

Yunani Kuno dengan bangsa Macedonia, tetapi lantaran mereka berasal dari nenek

moyang yang sama, yakni keturunan DewaZeus(Jupiter).1

2.2 Tokoh dan Pemikiran Filsuf Romawi Kuno

2.2.1 Seneca (Stoaisme)

Seneca adalah salah satu tokoh intelektual utama di Roma pada abad

pertama Masehi. Ia memiliki kemampuan untuk mengamati segala sesuatu secara

jelas, berpengetahuan luas, dan mampu merumuskan pemikirannya secara lugas. Ia

lahir di Cordoba, Spanyol, pada abad 4 M. Ia adalah salah satu tokoh filsafat Stoa

yang paling terkemuka. Baginya, inti terdasar aliran Stoa adalah bahwa manusia yang

bahagia adalah manusia yang sepenuhnya menyesuaikan dirinya dengan hukum

kodrat. Cita-cita tertinggi Stoa adalah mencapai kebebasan. Manusia memang tidak

dapat melepaskan diri dari hukum alam. Akan tetapi, ia dapat menyesuaikan diri
1
Abdul Syukur, “PERKEMBANGAN HISTORIOGRAFI BARAT PASCA HERODOTUS” 4 (2008).

5
dengan hukum alam. Dan dengan begitu, manusia dapat menjalankan hal-hal yang

sesuai dengan kehendaknya. Manusia pun mencapai autarkia, yakni suatu keadaan di

mana ia tidak tergantung lagi pada apapun yang ada di luarnya. Hanya orang yang

bijak dan berkeutamaanlah yang mampu sampai pada tahap ini. Orang yang

berkeutamaan tidak akan mengijinkan dirinya untuk dikuasai oleh nafsu dan emosi.

“Orang bijaksana”, demikian tulis Seneca, “menguasai dirinya sendiri.

Siapa yang menguasai dirinya sendiri memiliki watak yang kuat. Siapa yang memiliki

watak yang kuat tidak dapat dibingungkan. Siapa yang tidak dibingungkan tidak bisa

sedih. Siapa yang tidak bisa sedih adalah bahagia. Maka orang bijaksana adalah

bahagia, dan 6k ebijaksanaan cukup untuk hidup bahagia.”

Ia akan dengan tenang melaksanakan semua kewajibannya dalam

situasi apapun. Segala sesuatu yang terjadi dihadapinya dengan tenang hati. Nasib

apapun tidak akan membuatnya resah. Dalam penyiksaan dan penderitaan apapun, ia

tetap bebas. Itulah cita-cita tertinggi Stoa, yakni ataraxia ; kebebasan dari keresahan

dan penderitaan.

Di dalam tulisan-tulisannya, Seneca menekankan setidaknya tiga

argumen. Pertama, orang bijak tidak akan pernah dapat dibingungkan. Kedua, orang

bijak tidaklah mengenal rasa takut. Tiga, penderitaan dan penyiksaan juga bukan

merupakan ancaman bagi orang bijak semacam ini. Setelah memaparkan dan

menjelaskan tiga argumen ini, Seneca berupaya menjawab berbagai kritik yang

diajukan pada argumen-argumennya. Jika mau disederhanakan, inti ajaran Stoa

6
sebenarnya dapat dilihat pada argumen pertama, bahwa manusia dapat membangun

watak yang kuat. Jika ia dapat membangun watak tersebut, maka ia tidak dapat

dibingungkan lagi. Nah, untuk mendapatkan karakter yang kokoh dan watak yang

kuat itu, orang harus menolak semua bentuk kompromi. Semua bentuk sikap yang

tidak dapat dibenarkan tidaklah boleh dilakukan, bahkan yang paling kecil sekalipun.

Jika sikap salah dibiarkan sedikit saja, maka akal budi tidak lagi dapat

mengontrolnya. Dengan demikian, sikap-sikap salah sama sekali tidak boleh diberi

ruang.

Di balik argumen itu, ada satu pengandaian yang nantinya akan sangat

mempengaruhi filsafat moral Adam Smith, bahwa kebahagiaan terdalam manusia

hanyalah dapat diraih, jika ia hidup berkeutamaan. Keutamaan adalah satu-satunya

syarat untuk mencapai kebahagiaan. Di samping itu, orang yang berkeutamaan

jugalah orang yang memiliki keberanian. “Orang pemberani”, demikian Seneca,

“hidup tanpa ketakutan. Yang hidup tanpa ketakutan hidup tanpa perasaan sedih, dan

siapa hidup tanpa perasaan sedih 8 dialah bahagia.” Orang yang berani bukanlah

orang yang mampu mengatasi rasa takut, tetapi orang yang tidak mengenal rasa takut.

Orang semacam ini menolak untuk tunduk pada ancaman ataupun

penderitaan. Segala sesuatu dihadapinya dengan tenang. Ancaman dari luar tidak

menggetarkan orang itu. Bagi Seneca, dan ini yang menjadi ciri dari filsafat Stoanya,

hal terburuk yang mungkin terjadi pada manusia adalah ketika ia membiarkan

kehendaknya tunduk pada tekanan ataupun paksaan dari luar. Akan tetapi, orang yang

7
berkeutamaan dapat menjaga jarak dari perasaan sakit, kemiskinan hati, dan segenap

keburukan lainnya. Lebih dari itu, siksaan yang berat pun tidak akan dapat

mematahkan orang yang memiliki keutamaan. Ketika mengalami penderitaan, orang

yang memiliki keutamaan akan mampu mengambil jarak sekaligus mempertahankan

kebebasannya. Orang yang memiliki keutamaan (virtue) akan tetap bersikap tenang

dan bahagia, walaupun keadaannya tidak menguntungkan.2

2.2.2 Cicero

Cicero menyebut dirinya seorang filsuf dari Akademi (Platonis). Namun hal

tersebut diragukan oleh banyak pihak terkait karya-karyanya yang kontradiktif dan

tidak murni. Dalam hal etika, Cicero cenderung memakai prinsip dogmatis Stoa yang

sangat dipengaruhi Socrates. Dalam beragama, Cicero dapat diceritakan nyaris

agnostik, walaupun dia memiliki pengalaman religius mendalam, yaitu ketika dia

berkunjung ke Eleusis, pada saat kematian saudarinya, Tullia pada tahun 45 SM.

Sebagai penulis, dia memosisikan diri sebagai seorang ateis, kecuali dalam karyanya

yang berjudul Somnium Scipionis (mimpi-mimpi Scipio) ada intinya luapan perasaan

religius, tepatnya terdapat pada bagian kesudahan de Republica.

Sebagai seorang filsuf, Cicero mulai serius menulis karya-karya filsafatnya

pada tahun 54 SM. Karya awal mulanya berjudul de Republica dan disertai de

Legibus pada tahun 52 SM. Tulisan tersebut ada intinya artian tentang sejarah

Romawi yang diteropong dengan sudut pandang teori politik Yunani. Dalam kondisi
2
Reza A.A. Wattimena, “ANTARA KEUTAMAAN DAN KEPANTASAN ADAM SMITH DAN FILSAFAT STOA”
2 (2007).

8
politik yang carut-marut dan yang membuat setiap orang menderita, yaitu ketika

perang sipil terjadi, perang yang juga merenggut nyawa saudari tercintanya, Cicero

mencurahkan seluruh energinya demi menghibur diri atas duka dengan aktivitas

menulis secara radikal. Banyak karya yang dia selesaikan selama dua tahun masa

kehilangan tersebut, di selangnya ialah:

de Academia; de Fibinus; de Tusculan Disputations; de Natura Deorum; de

Divinatione; de Fato; de Officiis; dan de Amicitia.

Kecuali karyanya yang berjudul de Officiis, Cicero tidak pernah mengklaim

bahwa tulisan-tulisannya yaitu tulisan otentik dari dirinya, dalam suratnya kepada

Atticus, dia mengatakan, "Karya-karyaku yaitu transkrip, aku secara sederhana hanya

menyumbang kata-kata, dan aku mencukupkan diri dengan hal itu". Tujuan Cicero

yaitu menyediakan ensiklopedi filsafat bagi Romawi, negara yang dia cintai. Wujud

yang dia pakai yaitu dialog dengan gaya yang semakin tidak jauh kepada Aristoteles

daripada Plato.

Secara personal, Cicero yaitu orang yang sangat tajam pikiran dalam bernalar,

bahkan mampu memakai peristiwa-peristiwa dalam hidupnya sebagai pemacu karya-

karya filsafatnya. Bukan hanya gagasan personal yang membuat dia merampungkan

sejumlah karya, namun kutipan dari de Natura berikut memperlihatkan

keprihatinannya yang lain.

9
Jika ada yang terheran-heran mengapa aku mempercayakan setiap refleksi

menjadi tulisan pada tahap hidup saya ini, aku dapat menjawabnya secara sederhana.

Tanpa aktivitas publik yang aku tanggung (jabatan atau tugas resmi kemasyarakatan),

dan dalam situasi politik diktatorial yang tak terelakkan, aku berpikir bahwa tindakan

patriotisme dengan menjelaskan secara rinci filsafat kepada para sesama warga

negara sebagai tindakan evaluasi yang sungguh-sungguh kepada negara terhormat

dan suci, yaitu demi sebuah ekspresi subjek (warga negara) yang luhur melewati

literatur Latin.

Di kesudahan masa hidupnya, Cicero dalam bagian etika mengkritik tradisi

doktrin Epikuros, Stoa, dan Peripatetik (pengikut Aristoteles) dalam karya On Ends,

yang cakap tentang pandangan mereka terhadap kematian, penderitaan, dan emosi

yang tidak masuk akal. Kemudian dalam pandangan tentang kebahagiaan, Cicero

menulisnya dalam karya Tusculan Disputations. Pada masa kesudahan hidupnya

dalam karya On Duties, Cicero berpijak pada prinsip Stoa. Pada akhirnya, Cicero

berseberangan dengan pandangan filsafat Epikureanisme.3

3
James E. Goulka and Jacob E. Safra, “The New Encyclopǽdia Brittanica” 3 (n.d.).

10
BAB 3

PENUTUP

Adanya penjelasan diatas dapat diharapkan mampu memahamkan pembaca

sesuai dengan rumusan yang ada pada maakalah ini berkaitan dengan Kondisi, tokoh

dan pemikiran Filsuf zaman romawi kuno. Harapanya setelah paham akan materi

diatas dapat memnuhi target pemahaman pada Mata kuliah Filsafat Ilmu berkaitan

dengan Masa Romawi kuno.

11
DAFTAR PUSTAKA

E. Goulka, James, and Jacob E. Safra. “The New Encyclopǽdia Brittanica” 3 (n.d.).

Syukur, Abdul. “PERKEMBANGAN HISTORIOGRAFI BARAT PASCA

HERODOTUS” 4 (2008).

Wattimena, Reza A.A. “ANTARA KEUTAMAAN DAN KEPANTASAN ADAM

SMITH DAN FILSAFAT STOA” 2 (2007).

12

Anda mungkin juga menyukai