Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

NILAI SUMBER DAYA INSANI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Evaluasi Akhir Semester pada Mata

Kuliah Manajemen Sumber Daya Insani

Dosen Pengampu:
Maman Suryaman S.E., M.E

Disusun Oleh:
NANDA MARYADI PRAYOGA
20122004

PROGRAM STUDI S1 EKONOMI SYARIAH

SEKOLAH TINGGI EKONOMI MANAJEMEN BISNIS ISLAM

STEMBI BANDUNG
2024

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan saya panjatkan kepada tuhan yang maha
esa, Karena berkat rahmat –nya, saya dapat meyelesaian makalah ini. Penulisan
makalah ini dilakukan dalam rangka memenuhi tugas eas manajemen sumber
daya insani
Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan sampai pada penyusan makalah ini. Oleh karena itu saya
mengucapkan terima kasih kepada MAMAN SURYAMAN S.E M .E Sebagai
dosen mata kuliah MANAJEMEN SUMBER DAYA INSANI
Akhir kata, saya berharap kepada tuhan yang maha esa berkenan
membalas segala
Kebaikan kepada pihak yang telah membantu. Semoga pembuatan makalah ini
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

BANDUNG , 1 JANUARI 2024

PENULIS

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................

DAFTAR ISI...................................................................................................................

BAB I................................................................................................................................

PENDAHULUAN............................................................................................................

A. Latar Belakang.....................................................................................................

B. Rumusan Masalah................................................................................................

C . Tujuan

BAB II...............................................................................................................................

PEMBAHASAN...............................................................................................................

BAB III.............................................................................................................................

A. Kesimpulan...........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................

3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber daya insani dipandang sebagai aset yang sangat penting
dari suatu perusahaan, terutama untuk membantu perusahaan
mencapai tujuannya. Semakin banyak tantangan bisnis yang
dihadapi perusahaan maka kedudukan pegawai menjadi semakin
sangat strategis. Keunggulan kompetitif suatu perusahaan sangat
bergantung pada mutu sumber daya insaninya. Untuk itu dibutuhkan
peranan manajemen sumber daya insani dalam rangka mengelola,
mengatur dan menggunakan sumber daya insani sehingga dapat
berfungsi secara produktif, efektif dan efisien untuk mencapai tujuan
perusahaan. Tujuan perusahaan dapat dicapai apabila kinerja
perusahaan baik, ukurannya dapat dilihat dari berbagai aspek
misalnya aspek keuangan dan aspek operasional. Kinerja yang baik
merupakan syarat mutlak bagi perusahaan jika ingin memenangkan
kompetisi. Kinerja dapat menentukan kelangsungan sebuah
perusahaan, karena kinerja yang baik dapat meningkatkan
keuntungan perusahaan dan membantu perusahaan mempertahankan
kelangsungan usahanya. Kinerja perusahaan dicerminkan melalui
kinerja pegawainya, dan berbagai upaya dilakukan oleh perusahaan
dalam rangka meningkatkan kinerja para pegawai, salah satunya
dengan memberikan pelatihan kepada para mereka. Program
pelatihan kerja pegawai dinilai sangat penting dilakukan, terutama
dalam melatih pegawai untuk mengubah sikap dan perilakunya agar
menjadi lebih baik secara teknis maupun praktis. Melalui program
pelatihan diharapkan pegawai akan memiliki pengetahuan,
keterampilan dan kemampuan kerja yang memadai sehingga
pegawai dapat menyelesaikan pekerjaannya secara profesional dan
pada akhirnya kinerja pegawai akan terpenuhi sesuai dengan
harapan dan tujuan perusahaan.1 Berbagai penelitian terdahulu telah

4
membuktikan bahwa ada keterkaitan antara kualitas pelatihan dan
kinerja pegawai. Morin dan Renaud dalam jurnalnya “Participation
in Corporation University Training: Its Effect on Individual Job
Performance” menunjukkan 1Mangkunegara, A. A. Anwar Prabu,
Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan (Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2011), 49. bahwa ada efek interaktif yang signifikan
dari pelatihan di universitas, perusahaan dengan kinerja individu.2
Menurut Jackson, pelatihan bertujuan meningkatkan kinerja dalam
jangka pendek dan dalam suatu pekerjaan tertentu dengan
meningkatkan kompetensi pegawai.3 Sedangkan kompetensi
merupakan karakteristik dasar dari seseorang yang mampu
membawanya menuju kinerja superior atas pekerjaan, peran dan
situasi yang diberikan kepadanya. Dari penjelasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa selain kualitas pelatihan, kompetensi juga dapat
menjadi faktor yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai.
Sebenarnya, hubungan antara kompetensi dengan kinerja sangat erat
sekali, hal ini tampak pada hubungan dari keduanya, yaitu hubungan
sebab akibat (causally related). Oleh karena itu, menurut Spencer,
hubungan antara kompetensi pegawai dengan kinerja adalah sangat
erat dan penting sekali, relevansinya ada dan kuat, akurat, bahkan
mereka (pegawai) apabila ingin meningkatkan kinerjanya,
seharusnya mempunyai kompetensi yang sesuai dengan tugas
pekerjaannya (the right man on the right job). Oleh karenanya, ia
mengatakan bahwa pengelolaan sumber daya insani memang harus
dikelola secara benar dan seksama agar tujuan dan sasaran
organisasi dapat dicapai melalui pengelolaan sumber daya insani
yang optimal. Ada beberapa tindakan manajemen yang harus
dilakukan dalam proses mengelola sumber daya insani yang meliputi
beberapa proses, antara lain organisasi harus mengidentifikasi dan
mengembangkan kompetensi individu ke arah kinerja pegawai.
Berdasarkan kegiatan tersebut, maka pengelolaan sumber daya

5
insani, khususnya pada kompetensi harus mengacu dan mengarah
pada visi dan misi, strategi serta sasaran organisasi. Beberapa hasil
penelitian terdahulu yang menunjukkan adanya hubungan antara
kompetensi dan kinerja antara lain adalah hasil dari penelitian yang
dilakukan oleh Asree, et al., terhadap para responden yang meliputi
seluruh hotel berbintang di Malaysia, dalam jurnalnya “Influence of
Leadership Competency and Organizational Culture on
Responsiveness and Performance of Firms” dengan kesimpulan
bahwa kompetensi kepemimpinan dan budaya 2Morin, Lucie &
Stéphane Renaud, Participation in Corporate University, 2004. 3
Jackson, Susan E., Randall S. Schuler & Steve Werner, Managing
Human Resources (Jakarta : Salemba Empat, 2010), 87. organisasi
dalam merespon mempengaruhi kinerja organisasi secara
keseluruhan dari perusahaan jasa. BJB Syariah merupakan anak
perusahaan dari PT. Bank Jabar Banten. Sebelum beroperasi sebagai
Bank Umum Syariah (BUS) yang berdiri secara independen, BJB
Syariah telah beroperasi sebagai unit bisnis BJB selama 10 tahun
(tahun 2000 Unit Usaha Syariah ini berdiri) dan telah menjadi BUS
sejak 2010 dengan menawarkan berbagai produk perbankan syariah.
Dalam upaya meningkatkan asset Bank Umum Syariah, BJB
Syariah telah membuka banyak Kantor Cabang, Cabang Pembantu,
gerai maupun kantor kas.4 Tabel 1.1 Jaringan Kerja Bank BJB
Syariah Jaringan 2012 2013 2014 Kantor Cabang 5 7 8 Kantor
Cabang Pembantu 26 31 55 Kantor Kas 1 1 1 Gerai 3 3 3 Sumber:
Annual Report BJB Syariah, 2014 PT. Bank BJB Syariah dituntut
bukan hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan masyarakat akan
pemberian pembiayaan, penempatan dan pengelolaan dana secara
syariah akan tetapi juga untuk memberikan kenyamanan, keamanan,
ketepatan waktu juga kualitas pelayanan yang dapat memuaskan
nasabah yaitu masyarakat sebagai pemakai jasa perbankan.5
Kepuasan nasabah merupakan sesuatu yang sangat penting,

6
mengingat semakin ketatnya persaingan dalam bisnis jasa
perbankan, dengan semakin banyaknya pilihan perbankan.
Masingmasing perbankan berusaha dengan maksimal memberikan
pelayanan dan fitur produk yang menggiurkan dengan bagi hasil
yang sangat kompetitif. Namun sampai saat ini, masih banyak
keluhan masyarakat atau nasabah atas kinerja jasa layanan yang
diberikan kepada pegawai BJB Syariah khususnya cabang Jakarta,
seperti keluhan kurang ramah, tidak tepat waktu, penguasaan produk
perbankan yang minim, dan lain sebagainya. Keluhan dan kritikan
ini kalau tidak segera disikapi dan dicarikan solusinya maka
kedepannya akan menumbuhkan citra jelek dimata nasabah,
sehingga tidak menutup kemungkinan nasabah kecewa dan beralih
menggunakan jasa 4 Sumber Anual Report BJB Syariah 2014. 5
Ibid, Hal. 19. perbankan syariah yang lainnya. Hal ini merupakan
kerugian besar dan tentunya pada akhirnya akan menghasilkan
profitabilitas yang jelek buat perusahaan. Menyikapi fenomena
tersebut maka pelatihan pegawai dijadikan salah satu solusi untuk
menjawab permasalahan tersebut. Harapannya adalah sesudah
pegawai mendapatkan pelatihan yang maksimal maka keluhan-
keluhan nasabah akan teratasi. Alasan yang mendesak diadakan
pelatihan adalah kinerja yang kurang atau di bawah standar.
Menurut Kaswan kinerja yang kurang ditandai oleh keluhan
pelanggan, tingkat kinerja yang rendah, dan lain-lain. 6Berdasarkan
pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pegawai BJB
Syariah cabang Jakarta membutuhkan program pelatihan yang
efektif, sebab menurut hasil analisis dari data-data kinerja keuangan
yang telah dijelaskan sebelumnya, perusahaan belum mampu
mencapai program yang telah ditetapkan, dan juga masih banyaknya
keluhan pelanggan yang dilayangkan. Untuk itu, penulis tertarik
untuk menelaah lebih lanjut fenomena diatas dalam sebuah
penelitian yang diberi judul “Pengaruh Kualitas Pelatihan dan

7
Kompetensi terhadap Kinerja Pegawai di BJB Syariah Cabang
Jakarta”. Penelitian ini diawali dengan adanya ketidaksesuaian
antara teori yang seharusnya dengan kenyataan yang sebenarnya,
sehingga harus dicari solusi yang efektif guna mendapatkan format
pelatihan yang baik dan menciptakan kompetensi pegawai sesuai
dengan keahlian yang dimiliki dengan harapan dapat meningkatkan
kinerja pegawai

B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Rumusan Masalah

8
A. Pengertian Kaidah Al-Masyaqqah Tajlibut Taysir
Secara etimologi Al-Masyaqqah adalah al-ta‟ab yang
berarti kelelahan, kesulitan, dan kesukaran.1 Sedangkan al-taysir
secara etimologis berarti kemudahan. Jadi makna kaidah tersebut
adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya
adalah hukum-hukum syariah didasarkan atas kenyamanan,
keringanan, dan menghilangkan kesulitan. Hukum-hukum yang
dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi
mukallaf, maka syariah meringankannya agar mukallaf dapat
melaksanakan hukum tersebut tanpa kesulitan dan kesukaran.

B. Sumber Hukum Kaidah


Sumber hukum dalam kaidah ini terdapat pada ayat Al-
qur‟an dan hadist. Ayat-ayat yang menjadi dasar hukum sudah
dipastikan saling melengkapi dan menguatkan dalam syariah Islam
yang ingin menghilangkan kesulitan dari umatnya. Prinsip ayat
tersebut juga meniscayakan bahwa hukum syar‟i tidak pernah
menuntut kesulitan melewati natas kemampuan hamba-Nya.
Adapun sumber hukum kaidah :

1. Sumber hukum Al-qur‟an :


a. QS. Al-Ma‟idah : 6

‫وَٰلكِن يِري د لِيطهرك م ولِيتِ م نِع مته َ ع َلْي ُك ْم‬ ِ


ُ َ َ ْ َّ ُ َ ْ ُ َ َِّ ُ ُ ُ َ َ ‫َ ما ُيِري ُد ا لَُّه لَي ْج َعلَ َعلَْي ُمك ِّ َح‬
َ ‫م‬
‫ن ٍر‬
‫ْ ج‬
(٦) ‫عل ُك ْم َت ْش ُُكرو َن‬ َّ ‫ََل‬
Artinya : “Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

9
1
Tim, Kamus Al-Munir (Kamus Lengkap Arab-Indonesia), (Surabaya: Kashiko, 2000), 302

10
b. QS. Al-Baqarah : 185
ِ
َ‫راو اللَّه‬.ُ‫ُيِري ُد ا لَُّه بِ ُك ُم الُْي َْسر َ َوَل ُيِري ُد بِ ُك ُم اْلعُ َْسر َوِلُت ْك َ ولُت َِّكب‬
‫ِمُلوا اْلعِ َّدَة‬
)٥٨١( ‫عل َٰى َما َه َ اد ُك ْم َ لََوَّعل ُك ْم َت ْش‬ َ َ
‫ُُكرو َن‬
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya
dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.”
c. QS. An-Nisaa : 28

(٨٨) ‫ۚ“ و خِل ق ا ِْلن َ ضعًِياف‬ ‫يُِري ُد اللَّهُ َأن ُُيَِّف َ عن‬
َ ُ َ
‫َسا ُن‬ ‫َف ُك ْم‬
Artinya : “Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat
lemah.”

2. Sumber hukum Hadist :

a. Sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam :

‫َفرا َوَتطََاو َ اع َََول‬.َِّ‫ن‬.ُ ‫ َع َِّس ار ََوب َِّش ار ََوَل ت‬.ُ ‫يَ َِّس ار ََوَل ت‬
‫َْتَتلَِفا‬
Artinya : “Mudahkanlah, janganlah mempersulit dan
membuat manusia lari (dari kebenaran) dan
saling membantulah (dalam melaksanakan
tugas) dan jangan berselisih.” (HR. Bukhari
dan Muslim).

b. Sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam :

‫ِإ َّن الِّدي َن ِع ْن َداهلل َالَنَِفيةُ ال َس‬

11
ُ‫ْم َحة‬
Artinya : “Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah yang
ringan dan mudah.”(HR. Al-Bukhari).

C. Macam-macam Masyaqqah
Al-Masyaqqah sendiri bersifat individual. Maksudnya, bagi
seseorang mungkin masyaqqah tetapi bagi orang lain tidak merasa
masyaqqah. Akan tetapi, ada standar umum yang sesunggguhanya
buka masyaqqah dan karenanya tidak menyebabkan
keringanan di dalam

12
pelaksanaan ibadah, seperti merasa berat ketika berwudhu di
musim dingin, dan merasa berat puasa pada musim panas.
Masyaqqah seperti ini tidak menyebabkan keringanan dalam
ibadah , sebab apabila dibolehkan keringanan dalam masyaqqah
akan menyebabkan lalainya manusia dalam melaksanakan ibadah.
Dalam hukum Islam, ada hukum azimah dan hukum
rukhsah. Hukum azimah adalah hukum yang berlaku secara umum
kepada semua mukallaf tanpa adanya kesulitan. Sedangkan, hukum
rukhsah adalah hukum tentang keringanan yang dilakukan oleh
karena adanya kesulitan. Masyaqqah menimbulkan hukum rukhsah
pada kondisi darurat dan kebutuhan hajat. 2 Oleh karena itu, para
ulama membagi masyaqqah menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. Al-Masyaqqah al-„Azhimmah (kesulitan yang sangat berat),
seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa atau rusaknya
anggota badan yang menyebabkan tidak bisa melaksanakan
ibadah dengan sempurna.
2. Al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan,
tidak sangat berat juga tidak sangat ringan). Masyaqqah seperti
ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada
masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan. Apabila
lebih dekat kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada
kemudahan.
3. Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesulitan yang ringan), seperti
merasa lapar waktu puasa, letih ketika tawaf dan sai, dan lain
sebagainya. Masyaqqah seperti ini dapat ditanggulangi dengan
cara sabar dan tabah dalam melaksanakan ibadah. Alasannya,
kemaslahatan dunia dan akhirat yang tercermin dalam ibadah
lebih utama daripada masyaqqah ringan ini.3

13
2
Imam Musbikin, Qawa‟id Al-Fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), 83
3
A Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah- Masalah yang Praktis), (Jakarta: Kencana, 2007), 58-59

14
Adapun rukhsah (kemudahan) karena adanya masyaqqah
ada tujuh macam, yaitu:
1. Takhfif isqath, yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan
seperti tidak shalat bagi wanita yang sedang menstruasi atau
nifas. Tidak wajib haji bagi yang tidak mampu.
2. Takhfif tanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan seperti
shalat
Qashar.
3. Takhfif ibdal, yaitu keringanan yang berupa penggantian,
seperti wudhu diganti tayamum, atau berdiri waktu shalat
diganti duduk karena sakit.
4. Takhfif taqdim, keringanan dengan cara didahulukan, seperti
mendahulukan mengeluarkan zakat fitrah di bulan ramadhan,
jama‟ taqdim bagi yang sedang berpergian.
5. Takhfif ta‟khir, yaitu keringanan dengan cara diakhirkan,
seperti bayar puasa Ramadhan bagi yang sakit, melakukan
sholat jama‟ ta‟khir bagi yang sedang berpergian.
6. Takhfif tarkhis, yaitu keringanan karena rukhsah, seperti makan
dan minum yang diharamkan dalam keadaan terpaksa, sebab
bila tidak, bisa membawa kematian.
7. Takhfif taghyir, yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya
cara yang dilakukan, seperti shalat pada waktu khauf
(kekhawatiran), misalnya pada waktu perang.

Qaidah tersebut dapat diterapkan pada semua ketetapan


hukum setidaknya pada tujuh kondisi, yaitu:4
1. Sedang dalam perjalanan (al-safar). Misalnya, boleh qasar
shalat, buka puasa, dan meninggalkan shalat Jumat.
2. Keadaan sakit. Misalnya, boleh tayamum ketika sulit memakai
air atau shalat fardhu sambil duduk.

15
4
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, (Banjarmasin : Lembaga
Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU), 2015), 86

16
3. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan
hidupnya. Misalnya jual beli, ijarah, hibah, dan lain-lain yang
dilakukan dengan terpaksa karena mendapat paksaan atau
ancaman dari orang lain yang bisa mengancam jiwa
dibolehkan meralat atau membatalkan transaksinya tersebut
setelah hilang paksaannya.5
4. Lupa (al-nisyan). Misalnya, seseorang lupa makan dan minum
pada waktu puasa, lupa membayar utang tidak diberi sanksi,
akan tetapi bukan pura-pura lupa.
5. Ketidaktahuan (al-jahl). Misalnya, orang yang baru masuk
Islam karena tidak tahu, kemudian makan makanan yang
diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi. Seorang wakil tidak
tahu bahwa yang mewakilkan kepadanya dalam keadaan
dilarang bertindak hukum, misalnya pailit, maka tindakan
hukum si wakil adalah sah sampai dia tahu bahwa yang
mewakilkan kepadanya dalam keadaan mahjur 'alaih (dilarang
melakukan tindakan hukum oleh hakim).
6. Kesulitan umum atau Umum al-Balwa (kesulitan yang sangat
sulit dihindari karena sudah lumrah dilakukan orang banyak).
Misalnya, anak kecil membeli sesuatu seperti jajan tanpa seizin
walinya, padahal diantara syarat sah jual beli adalah kedua
belah pihak yang bertransaksi harus sudah balig (dewasa).
7. Kekurangmampuan bertindak hukum (al-naqsh), seperti anak
kecil, orang gila, orang dalam keadaan mabuk, dan lain-lain.
Misalnya orang gila yang merusak barang orang lain, maka ia
tidak ada kewajiban untuk menggantinya.6

17
5
Abbas Arfan, 99 Kaidah Fiqh Muamalah Kulliyyah, (Malang : UIN Maliki Press, 2013),
157
6
Ibid., 158

18
D. Cabang Kaidah Al-Masyaqqah Tajibut Taysir
Dari kaidah-kaidah tersebut, dimuncul kaidah cabangnya dan
bisa disebut dhabit karena hanya berlaku pada bab-bab tertentu,
diantaranya:

َّ ‫ت َس َع َو َِإذا ِإ‬
‫ت َس َع َضا َق‬ َّ ‫َ ِإذا َضا َق اأ َْلُمر ِإ‬
.1
Artinya: “Apabila suatu perkara menjadi sempit maka
hukumnya meluas dan apabila suatu perkara
menjadi meluas maka hukumnya menyempit”
Misalnya, boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan
karena sakit atau berpergian jauh. Sakit dan berpergian jauh
merupakan kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu
kebolehan berbuka. Akan tetapi, bila sudah sembuh, maka
hukum wajib melaksanakan puasa kembali lagi.

‫ َع َّذ َر اأَل ْصلُ يُ َصُار َِإَل البَ َدِل‬.‫َ ِإذا َت‬


.2
Artinya: “Apabila yang asli sukar dikerjakan maka
berpindah penggantinya”
Misalnya, seseorang yang kesulitan mendapatkan air,
maka diperbolehkan bertayamum.

‫منُه َم ُْعفو َعنُْه‬ ِ ِ


ْ ‫الت َُحر ْز‬
َ ‫َ ما ََل ُ ْيك ْن‬
.3
Artinya: “Apa yang tidak mungkin menjaganya
(menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan”
Misalnya, seorang pedagang laki-laki apabila
pembelinya wanita, dan sedang terbuka auratnya, maka dalam
kondisi demikian akan dimaafkan karena tidak mungkin
terhindar.

‫ِ صى‬ ‫ُ ط بِاْل‬
‫َ م َ عا‬
‫ُص‬
.4

19
‫نَا‬.‫ََل ُت‬
‫ُالر َخ‬
Artinya: “Kemudahan (rukhsah) itu tidak boleh dihubungkan
dengan kemaksiatan.”

20
Misalnya, orang yang menggunakan rukhsah puasa
dengan membatalkannya dengan niat apabila staminanya
kembali kuat akan membunuh orang lain.

‫قة ُي َصُار إََِل اجملَا ِز‬ ِ


ُ ‫ َع ََّذر ْت َالَقي‬.‫ِإَذا َت‬
.5
Artinya : “Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti
sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah
artinya kepada arti kiasannya.”

Misalnya, seseorang berkata: “saya wakafkan tanah


saya ini kepada anak Kyai Ahmad”. Padahal semua tahu
bahwa anak kyai Ahmad sudah lama meninggal, yang ada
hanya cucunya. Maka dalam hal ini, kata anak a\harus diganti
cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan sesungguhnya. Sebab,
tidak mungkin mewakafkan kepada yang sudah meninggal
dunia.

‫ُفر ِ ِْف ا ِْل ْبتِ َداِء‬.َ‫ْغَت‬.‫فر ِِف ال َ َ ما ََل ُي‬.َ‫غت‬.ْ‫ي‬


َُ ُ
.6
‫َّد وِا‬
‫م‬
Artinya : “Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak
bisa dimaafkan pada permulaannya.”

Misalnya, mahasiswa yang menyewa kost maka


diharuskan membayar uang muka oleh pemilik kost. Apabila
sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin
melanjutkan sewaan berikutnya, maka dia tidak perlu
membayar uang muka lagi.

.7 ‫ُفر ِ ِْف ال َّد َو ِام‬.َ‫غَْت‬.ُ‫ُفر ِِف ا ِْْلبتِ َداَِءما ََل ي‬.َ‫غَْت‬.ُ‫ي‬


Artinya : “Dimaafkan pada permulaan tapi tidak
dimaafkan pada kelanjutannya.”

21
Misalnya, seseorang yang baru masuk Islam dan tidak
tahu bahwa judi, berzinah atau minuman keras itu dilarang
atau haram, maka orang tersebut dimaafkan untuk
permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah
dia mengetahui bahwa judi,

22
berzinah atau minuman keras hukumnya haram, maka ia
harus menghentikan perbuatan haram tersebut.

‫غِ َيها‬
ْْ َ ‫ُفر ِِف‬.َ‫غَت‬.ْ‫وابِع َ ما َل ُي‬.َ ‫ُفر ِِف الَّت‬.َ‫غَت‬.ْ‫ُي‬
.8
Artinya : “Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan
tidak dimaafkan pada yang lainnya.”

Misalnya, seseorang boleh mewaqafkan kebun yang


sudah rusak tanamannya karena tanaman mengikuti tanah yang
diwaqafkan.

D. Penerapan Kaidah dalam Bidang Muamalah

1. Dibolehkan hanya melihat apa yang mungkin dapat dilihat,


seperti menjual apa yang ada dalam kaleng/botol, dan lain-lain.
Maka pendapat yang benar adalah dibolehkan jual beli seperti
itu disertai adanya gharar yasir (ketidakjelasan yang sedikit),
karena jual beli ini membawa maslahat bagi manusia.
Berkenaan dengan makanan yang ada dalam kaleng atau botol
jika dibuka tutup kalengnya, atau tutup botolnya, tentu
makanan atau minuman yang ada di dalamnya akan menjadi
rusak. Untuk kemaslahatan agar makanan itu tidak rusak, maka
dibolehkan (sah) jual beli hanya melihat apa yang dapat dilihat,
yaitu yang di luarnya saja, dengan tulisan, label dan lain-lain,
dengan tidak melihat langsung makanan atau minuman itu.

2. Kontrak Istisna‟. Dalam kontrak ini, seorang produsen setuju


untuk memproduksi produk tertentu dengan karakteristik
tertentu yang disepakati sebelumnya. Dengan istisna‟,
seseorang dapat menghubungi seorang pembuat sepatu dengan
kesepakatan harga tertentu. Kontrak ini sama seperti Salam,

23
yaitu membeli barang yang belum tidak ada keberadaanya.
Kontrak istisna‟ mengikat pihak-pihak yang terlibat jika syarat-
syarat tertentu dipenuhi, termasuk spesifikasi jenis,
bentuk,

24
kualitas dan kuantitas barang harus diketahui, jika diperlukan
maka waktu pengiriman harus ditentukan.
3. Jika barang yang yang diterima tidak sesuai dengan permintaan
maka konsumen memiliki hak untuk menerima atau menolak
barang tersebut. Karena sifatnya yang mengikat, maka pihak-
pihak yang terlibat dalam kontrak terikat dengan semua
kewajiban dan konsekuensi yang timbul dari kesepakatan
mereka.
4. Bay‟ bil Wafa‟ (jual beli dengan tebusan). Bay‟ bil Wafa‟
merupakan suatu jual beli barang dengan hutang pada kreditur
dengan syarat kapan saja si penjual (yang menjadi peminjam
uang dalam transaksi ini) membayar harga barang atau
membayar hutangnya, maka si pembeli berkewajiban
mengembalikan barangnya itu kepada pemilik barang.
5. Kafalah bil-dark. Ketentuan Syariah lainnya yang didasarkan
pada kebutuhan Kafalah bil dark. Itu merupakan jaminan dari
penjual, bahwa dia akan mengembalikan harga barang jika
barang itu diambil alih oleh orang lain. Misalnya, seseorang
membeli suatu barang dan meminta agar penjualnya menjamin
pengembalian harga barang itu jika ada orang lain yang
mengklaim sebagai pemilik barang itu, dan sebagai
konsekuensinya orang tersebut mengambil barangnya dari si
pembeli
6. Penggantian harta wakaf. Prinsip umum dari harta wakaf
adalah tidak dapat dijual, dihadiahkan, ataupun diganti, namun
dalam kasus jika harta wakaf telah kehilangan manfaatnya dan
bahkan menyusahkan penerima wakaf karena harta itu tidak
memiliki sumber ekonomi untuk merevitalisasi ataupun
merahibilitasinya. Dalam kasus tersebut, ulama mazhab Hanafi
atas dasar kebutuhan dan maslahat, membolehkan penjualan

25
harta wakaf itu sesuai harga pasar dan membeli lahan lain yang
lebih bernilai untuk tujuan wakaf.

26
BA
B
III
PE
NU
TU
P

A. Kesimpulan
Kaidah Al-Masyaqqah Tajlibut Taysir adalah hukum-
hukum syariah didasarkan atas kenyamanan, keringanan, dan
menghilangkan kesulitan. Hukum-hukum yang dalam
penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi
mukallaf, maka syariah meringankannya agar mukallaf dapat
melaksanakan hukum tersebut tanpa kesulitan dan kesukaran.
Dasar hukum kaidah ini terdapat pada Al-qur‟an salah satunya
dalam QA. Al- Baqarah : 185, juga ada pada HR. Bukhari dan
Muslim.
Masyaqqah dibagi menjadi tiga tingkat yaitu kesulitan
tingkat tinggi, kesulitan tingkat pertengahan, dan kesulitan tingkat
rendah. Dalam kaidah ini dapat diterapkan pada tujuh kondisi
yaitu, dalam keadaan sakit, sedang dalam perjalanan, keadaan yang
dapat membahayakan keberlangsungan hidup, kesulitan, lupa,
ketidaktahuan, dan kekurang mampuan bertindak hukum.
Penerapan kaidah dalam bidang muamalah sebagai mana
contohnya diperbolehkan menjual barang apa yang hanya dapat
dilibat dari luarnya saja. Seperti menjual makanan dalam
kemasan/kotak yang memungkinkan konsumen tidak dapat melihat
bagian dalamnya, tetapi apabila kemasan dibuka dapat merusak
makanan tersehut.

27
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah di atas banyak sekali
kesalahan
dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah
tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan
di atas.

28
DAFTAR PUSTAKA

Tim. 2000. Kamus Al-Munir (Kamus Lengkap Arab-Indonesia).


Surabaya: Kashiko

Musbikin, Imam . 2001. Qawa‟id Al-Fiqhiyah. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada

Djazuli, A. Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam


dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis). Jakarta:
Kencana

Azhari, Fathurrahman. 2015. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah.


Banjarmasin : Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU)

Arfan, Abbas. 2013. 99 Kaidah Fiqh Muamalah Kulliyyah. Malang : UIN


Maliki Press

29

Anda mungkin juga menyukai