Anda di halaman 1dari 6

Diskusi Ekonomi

Analisis dan Diskusi Ekonomi-Politik Indonesia

19 Mei 2008
Debat BBM (3) -- Ari A. Perdana

Berikut adalah komentar Ari A. Perdana atas beredarnya sebuah surat elektronik tentang
subsidi dan BBM, yang antara lain menggunakan argumen Kwik Kian Gie bahwa "[adanya]
subsidi adalah sebuah kebohongan". Ari menulis ini di blog pribadinya, Gallery of Mind. Kita
muat kembali di sini.

Mengapa Kwik Keliru?

Oleh Ari A. Perdana

Menjelang pengumuman kenaikan harga BBM, sebuah artikel lama yang ditulis oleh Kwik
Kian Gie kembali menjadi wacana. Artikel itu bertajuk “Menaikkan Harga Bensin Premium,”
dimuat di harian Kompas hampir dua tahun lalu (1/8/06). Poin dari artikel itu: subsidi BBM
sesungguhnya tidak pernah ada (linknya sudah ditutup oleh Kompas).

Landasan argumen Kwik adalah sebuah perhitungan akuntansi. Biaya yang diperlukan untuk
menghasilkan satu liter bensin premium, mulai dari pengeboran, pengilangan hingga
pengangkutan ke pompa bensin sama dengan 10 Dolar AS per barel (159 liter). Dengan nilai
tukar Rp8.600 per Dolar AS, dua tahun lalu Kwik mengatakan bahwa biaya produksi per liter
premium sama dengan Rp540. Kwik menambahkan, tidak ada subsidi karena dengan harga
jual premium sebesar Rp1.810 per liter, sebenarnya untuk setiap liter premium yang dijual
pemerintah mendapat surplus.

Menurut Kwik, “pemerintah merasa memberi subsidi kepada rakyat yang membeli bensin
premium karena seandainya bensin premium itu dijual di luar negeri, [saat itu] harganya 50
dollar AS per barel … Pemerintah merasa memberi subsidi karena tidak bisa menjual bensin
dengan harga dunia, gara-gara adanya kewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya akan
bensin premium dengan harga yang rendah … Pemerintah jengkel, merasa sial benar tidak
dapat menjual bensinnya di luar negeri … kesempatan itulah yang hilang [menjadi subsidi],
bukan uang tunai.”

Dengan dasar logika dan perhitungan serupa, sebuah artikel yang sekarang ini berdar lewat
media surat elektronik dan blog menyesuaikan perhitungan itu dengan angka-angka terbaru.
Kesimpulannya sama, subsidi adalah sebuah kebohongan. Menurut artikel itu, “Jika harga
minyak Internasional 125 Dolar AS/barel dan biaya 15 Dolar AS/barel serta impor 200 ribu
barel/hari maka pemerintah Indonesia dengan harga Rp4.500/liter (77 Dolar AS/barel) untung
49,4 juta Dolar AS per hari atau Rp165,8 trilyun dalam setahun (1 Dolar AS = Rp 9.200).”

Yang benar dan yang keliru


Kwik (dan Agusnizami) benar, secara akuntansi harga jual domestik sekarang masih lebih
besar dari biaya produksi. Artinya, untuk per liter premium pemerintah masih mendapat
surplus. Kwik benar, yang disebut sebagai subsidi memang selisih antara harga internasional
(harga yang akan diterima oleh penjual minyak, dalam hal ini pemerintah) dengan harga
domestik. Sampai di sini Kwik benar, 'subsidi' memang terjadi karena adanya 'kesempatan
yang hilang' (opportunity cost) -- pemerintah kehilangan pendapatan potensial dengan
menjual bensin dengan harga di bawah harga internasional.

Tapi Kwik salah ketika ia mengatakan 'tidak ada subsidi.' Kwik salah ketika melihat bahwa
masalahnya hanya sekedar "pemerintah jengkel benar" (karena tidak bisa mengambil untung
lebih besar dari harga internasional karena harus melayani rakyatnya). Kwik lupa bahwa
pendapatan yang hilang itu adalah dana yang bisa digunakan untuk mendanai pembangunan
sekolah, jalan desa, jembatan, irigasi, Puskesmas dll. Dengan mengatakan bahwa BBM itu
"milik pemerintah yang bisa didapat dengan gratis" ia sama saja dengan mengatakan "potensi
pendapatan Rp120 triliun dari menjual di harga internasional juga bukan milik pemerintah."
Lupa, atau pura-pura lupa?

Justru di sinilah terjadi subsidi -- dari konsumen BBM ke konsumen barang publik yang lain.
Siapa konsumen (penikmat subsidi) BBM? Menurut Sakernas 2006, hampir 3/4 subsidi BBM
dinikmati oleh 30% penduduk terkaya. Hanya kurang dari 5% dinikmati oleh 20% penduduk
termiskin.

Saya tidak percaya Kwik tidak paham konsep opportunity cost. Yang lebih mungkin adalah ia
pura-pura tidak paham. Kwik betul, memang terjadi pembodohan. Sayangnya, ia juga
berkontribusi pada pembodohan ini.

Catatan: Arya Gaduh sudah pernah membahas hal ini ketika pertama kali artikel Kwik
keluar. Teguh Dartanto menyajikan analisis lebih dalam berikut perhitungan-perhitungan
tentang produksi dan konsumsi minyak Indonesia.
Diposkan oleh blog-epi di 15.20
Label: BBM

5 komentar:

riau mengatakan...

mas saya fikir persoalan yang terpenting adalah mengapa tidak ada alternatif lain yang
memiliki resiko atau dampak multivariat efek terhadap masyarakat terhadap persoalan
BBM ini, saya fikir pemerintah punya opsi lain tanpa menaikkan BBM sperti
memungut winfall profit terhadap KKS namum pemerintah takut kalau mambuat
iklim investasi tidak baik dengan kata lain pemerintah lebih mementingkan Orang
asing daripada rakyatnya sendiri

sori bos...ya nama chatib basri sekarangkan orang pemerintah jadi omong kosng versi
pemerintahpun muncul, jadi benar yang menghancurkan indonesia ini kebanyakan
alumni UI karena banyak orang UI jadi menteri kerjanya menghanmcurkan negara,
ketika mahasiswa idealis jadi pejabat jadi penjilat
salam
http://riaumengugugat.blogspot.com
27 Mei 2008 09.31

Backpacker mengatakan...

Bung Riau, wah tendensius juga ya,,,komentarnya, Tapi mungkin ini bisa jadi
pencerahan...tulisan dari seorang teman.
Adilkah Subsidi BBM?

Oleh Arief Anshory Yusuf

Keadilan adalah konsep yang subjektif. Adil buat seseorang belum tentu adil buat
orang lain. Adil di mata sekelompok orang atau golongan, belum tentu adil di mata
kelompok lain. Para ekonom aliran arus utama umumnya sering menghindar
bersentuhan dengan konsep keadilan, karena sifatnya yang susah diukur dan subjektif.

Keadilan ekonomi (equity) yang merupakan bagian dari keadilan secara umum
(justice) biasanya diukur dari distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan dapat
menunjukkan apakah suatu masyarakat itu "timpang" (dalam artian kesenjangan
antara si kaya dan si miskin itu sangat tinggi), ataukah "merata" (tidak terjadi
kesenjangan yang berarti).

Ketika para ekonom harus "turun gunung" dari berbagai exercise teoretisnya dan
terjun ke dalam realitas pengambilan kebijakan, mau tidak mau mereka akan
bersentuhan dengan aspek keadilan. Suatu kebijakan yang dirumuskan seorang
ekonom, jika menurut sebagian besar orang "tidak adil", bukan hanya akan dicaci oleh
mereka yang dirugikan, tetapi juga akan menghambat implementasinya.

Pelajaran penting dari mengaplikasikan teori ekonomi dalam proses formulasi


kebijakan adalah bahwa dalam realitas dunia nyata yang kompleks, aspek keadilan
suatu kebijakan tidak bisa diabaikan. Para ekonom yang enggan bersentuhan dengan
konsep keadilan, hanya punya dua pilihan: kembali ke menara gading exercise teoretis
atau melatih diri bergelut dengan analisis-analisis dampak distribusi pendapatan, suka
atau tidak.

Subsidi BBM adalah contoh suatu kebijakan ekonomi yang banyak disebut tidak adil.
Disebutkan misalnya bahwa pemilik mobil pribadi rata-rata disubsidi 1,2 juta per
bulan, sangat tidak sebanding dengan subsidi yang dinikmati oleh masyarakat yang
tidak punya kendaraan bermotor. Karena golongan kaya menikmati jauh lebih banyak
subsidi BBM, maka subsidi BBM disebut sebagai kebijakan yang tidak adil.

Bank Dunia, dalam laporan rutin ekonomi Indonesia bulan April 2008, mengalkulasi
bahwa 45% dari Rp 130 triliun subsidi BBM dinikmati oleh kelompok 10% terkaya,
sementara kelompok 10% termiskin hanya menikmati sekitar 1% saja. Semakin kaya,
semakin besar porsi subsidi yang dinikmatinya, semakin miskin semakin sedikit.
Subsidi BBM lagi-lagi disebut sebagai kebijakan yang tidak adil. Dengan demikian,
kebijakan yang adil justru adalah sebaliknya, mengurangi atau bahkan menghapus
subsidi BBM.

Alur logika di atas sah-sah saja karena seperti dibahas di awal tulisan ini, konsep
keadilan adalah konsep yang subjektif. Alur berpikir tersebut, akan tetapi, layak untuk
dikritisi karena mengandung beberapa kelemahan mendasar dan konseptual, tetapi
kerap disuarakan oleh pemerintah maupun para pengamat yang mendukung kebijakan
penghapusan subsidi BBM.

Walaupun keadilan sifatnya subjektif, dalam ilmu ekonomi atau cabang ilmu ekonomi
sektor publik, ada pendekatan arus utama (atau "pakem"-nya) dalam mengevaluasi
adil tidaknya suatu kebijakan. Suatu kebijakan disebut adil (atau dalam bahasa
ekonomi disebut "progresif"), kalau dampaknya cenderung mengurangi ketimpangan.
Sebaliknya, kebijakan disebut tidak adil kalau cenderung menambah ketimpangan.
Kebijakan yang tidak mengubah ketimpangan disebut sebagai kebijakan yang
proporsional. Cara menentukannya sederhana.

Sebagai contoh, pajak pendapatan disebut progresif (adil) kalau orang kaya persentase
pendapatan kena pajaknya lebih tinggi dari orang miskin. Misalkan orang kaya
dibebani pajak 35%, sementara orang miskin 5% dari pendapatannya. Pajak seperti ini
akan mengurangi ketimpangan. Kalau orang kaya dipajak sama besar dengan orang
miskin (misal 10%), maka pajak seperti ini disebut proporsional karena ketimpangan
pendapatan tidak akan berubah. Intinya, semuanya relatif terhadap ukuran
kesejahteraan awalnya, yang dalam hal ini diukur dari pendapatannya.

Pendekatan ini justru malah tidak banyak dikemukakan dalam debat publik subsidi
BBM. Seringnya orang hanya melihat proporsi dari nilai nominal subsidi tersebut
jatuh ke tangan siapa. Kalau kita mengadopsi logika berpikir serupa, kita akan
cenderung memvonis, hampir semua kebijakan subsidi terhadap barang-barang apa
pun (bukan hanya BBM) sebagai kebijakan yang tidak adil. Subsidi terhadap sepatu,
sikat gigi, odol dan lain sebagainya, akan cenderung dinikmati oleh golongan kaya
karena memang kelompok miskin mengonsumsi barang tersebut jauh lebih sedikit.
Cara berpikir seperti ini kurang fair dan cenderung menyederhanakan permasalahan.
Dalam analisis kebijakan sektor publik seharusnya basisnya adalah relatif terhadap
kesejahteraan awalnya.

Kalau menggunakan pendekatan ini, adilkah subsidi BBM? Data survei konsumsi
rumah tangga menunjukkan bahwa kelompok masyarakat 10% terkaya
membelanjakan 27% dari total pengeluarannya untuk membeli bensin, sementara 10%
termiskin hanya membelanjakan 1%. Dengan demikian, subsidi untuk bensin selama
ini memang tidak adil. Kebijakan pemerintah mengurangi subsidi bensin dengan
menaikkan harga bensin sebesar 33% boleh dibilang kebijakan yang sifatnya
progresif, cenderung mengurangi ketimpangan. Kebijakan ini kebijakan yang "adil".

Akan tetapi, ceritanya menjadi lain kalau menyangkut minyak tanah. Data memang
menunjukkan subsidi minyak tanah sebagian besar dinikmati golongan kaya.
Kelompok 10% terkaya menikmati 9%, sementara kelompok 10% termiskin
menikmati 5% dari total nilai subsidi minyak tanah. Akan tetapi, tidak serta-merta
mengurangi subsidi BBM sifatnya progresif (adil). Relatif terhadap total belanjanya,
kelompok 10% termiskin membelanjakan 22% dari total pengeluarannya untuk
membeli minyak tanah, sementara kelompok 10% terkaya hanya 6%.

Berdasarkan kriteria ini, kebijakan mengurangi subsidi minyak tanah atau menaikkan
harga minyak tanah dengan demikian sifatnya regresif, akan cenderung menambah
ketimpangan. Kebijakan ini tidak adil. Berbagai analisis evaluasi kebijakan
pemerintah bulan Oktober tahun 2005 yang menaikkan harga minyak tanah hampir
tiga kali lipat, menjadikan kebijakan tersebut (walaupun sudah ditambah kompensasi
BLT) cenderung menambah ketimpangan di perkotaan, dan tidak cukup
mengompensasi kelompok miskin kota.

Jadi, adilkah subsidi BBM? Adilkah kebijakan pemerintah pada Jumat malam
kemarin yang menaikkan harga BBM rata-rata 28%? Kita harus hati-hati
menjawabnya. Kelengkapan jawaban harus memperhitungkan berbagai faktor lain.
Yang pertama, dampak berantai dari kenaikan harga BBM ini. Walaupun pengaruh
kenaikan harga BBM-nya sendiri lebih dirasakan golongan kaya, tetapi harga-harga
barang lain yang banyak dikonsumsi orang miskin (misalnya makanan dan
transportasi publik) naik juga secara berarti, kebijakan menaikkan harga BBM akan
cenderung tidak adil karena cenderung menambah ketimpangan.

Faktor kedua adalah kompensasi BLT. Jika distribusi BLT efektif dan besarannya
cukup untuk mengompensasi berkurangnya kesejahteraan orang miskin, paket
kebijakan menaikkan harga BBM akan bersifat progresif, cenderung mengurangi
ketimpangan (adil).

Dengan demikian, jawaban pertanyaan apakah subsidi BBM itu adil, atau adilkah
kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM baru-baru ini belum bisa ditentukan
hitam di atas putih. Biar waktu dan analisis yang lebih komprehensif menjawabnya.
Yang pasti, mari kita berharap pemerintah memang melakukan kalkulasi yang hati-
hati dan bijaksana.***

Penulis, dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran, Bandung.


http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=23897

30 Mei 2008 10.34

Udin mengatakan...

Kalau ngeliat judulnya sih, sepertinya sesuatu dosa besar yang dilakukan KKG,
sesuatu yang bersifat substantial dan besar, ternyata hanya kealphaan KKG tentang
konsep opportunity cost (dalm arti ekonomi). Mungkin karena Bung Ari itu dosen,
jadi boleh menilai kalau itu salah/benar. Sayangnya, Bung Ari cuman mengoreksi
konsep opportunity cost aja, tidak memberikan pencerahan lain dari hitung2an
akuntansi KKG. Oh ya, KKG adalah akuntan, dan anda tahu kan konsep opportunity
cost antara akuntan dan ekonom adalah beda. Atau Bung Ari pura2 lupa?

Bolehlah Anda ingin menunjukkan kalau Anda pintar dan memberikan pencerahan
melalui tulisan ini dengan mengatakan KKG berkontribusi terhadap pembodohan.

Salam

4 Juni 2008 17.15

Anonim mengatakan...
Maaf, sepertinya ada sesuatu yg dilupakan oleh Bung Ari atau hanya pura2
lupa,dimana Pertamina dibentuk untuk mensejahterakan masyarakat,bukan hanya
untuk kepentingan profit semata, atau opportunity loss yg anda katakan itu. Ada hal
aneh pada fenomena kenaikan BBM dunia dewasa ini, pada rezim orla dan orba
dimana pada saat terjadi lonjakan harga BBM pada saat itu pemerintah dapat
mengeruk keuntungan yg sgt besar, pembangunan sangat pesat dan tingkat
kesejahteraan pun sangat tinggi, hal ini dilihat dengan melonjaknya GDP riil dan
nominal Indonesia pada saat itu. Namun, hal itu sangatlah kontras dgn kondisi
ekonomi rakyat Indonesia pada sekarang ini, pemerintah banyak melakukan
pengambilan2 keputusan yg praktis dan cenderung konyol tanpa memperhitungkan
efek dominonya, dan pembangunan2 multi sektoral yg digadang2 oleh pemerintah
hanya sekedar dongeng tidur saja, lalu kemanakah larinya profit dari migas itu?. Ada
pernyataan menarik oleh pertamina pada saat menaikkan harga gas baru2 ini, lagi2 dg
alasan sama yaitu naiknya hrga gas dunia, pertamina dg arogannya mengatakan
bahwa pemerintah tidak berhak ikut campur pada harga tabung ukuran 12kg dan
50kg, lagi2 pertamina melupakan perannya sebagai perusahaan yg dibentuk dg "uang
rakyat" utk mensejahterakan rakyat bukan utk menyengsarakan rakyat seperti yg
diamanatkan pada UUD 45 pasal 33. Bukalah mata hati kalian, masalah ini bukan
hanya sekedar profit semata yg tidak tahu kmana rimbanya, harga BBM dunia naik tpi
rakyat Indonesia tdk dpt merasakan dampak keuntungannya sebagaimana lazimnya
negara2 pengekspor BBM lainnya. Sekali lagi saya tekankan, ini bukan masalah profit
ataupun opportunity loss semata, namun ada kemelekatan dg hajat hidup rakyat
Indonesia.

3 Juli 2008 11.32

Doni mengatakan...

Memang pemerintah sepertinya selalu membebankan semua masalah pada rakyat


miskin.Masa Indonesia yang kaya akan minyak terpengaruh harga minyak.Mengapa
hasil dari negeri sendiri musti kita beli.Dimana sebenarnya pemrintah selama ini?
( www.Aspirasirakyat.com )

3 Juli 2008 14.29

Anda mungkin juga menyukai