Anda di halaman 1dari 14

Hukum Perkawinan Beda Kewarganegaraan

Makalah
Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Perkembangan Penegakan Hukum Pidana Internasional

Nama : Vera Devi


Nim : 22151003

PASCA SARJANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ABULYATAMA
BANDA ACEH
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
A. Latar Belakang Masalah............................................................................1
B. Perumusan Masalah...................................................................................2
C. Tujuan Penelitian.......................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................
A. Pengertian Perkawinan Campuran dan Dasar Hukum Perkawinan
Campuran di Indonesia..............................................................................3
B. Dampak dari Perkawinan Campuran.........................................................5
C. Status Kewarganegaraan Anak Yang Lahir dar Perkawinan Campuran...6
BAB III PENUTUP..................................................................................................
A. Kesimpulan..............................................................................................14
B. Saran........................................................................................................14

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkawinan beda kewarganegaraan atau kebangsaan merupakan hal
yang tidak aneh lagi di Indonesia. Banyak wanita atau pria kebangsaan
Indonesia yang menikah dengan pria atau wanita yang berkebangsaan lain.
Menurut Undang-undang perkawinan no.1 tahun 1974 pernikahan campuran
adalah pernikahan antara 2 orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.

Penentuan sistem kewarganegaraan yang dianut di dunia ada dua yaitu


(Ius sanguinis) kewarganegaraan tunggal yang berdasarkan asas keturunan dan
(Ius soli) yang berdasarkan tempat kelahiran. Kedua hal tersebut dapat
menyebabkan Bipatrida atau kewarganegaraan yang ganda dan apatrida yaitu
tanpa kewarganegaraan. berada dan bertempat tinggal di wilayah negara
Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh Kewarganegaraan
Republik Indonesia dengan sendirinya berkewarganegaraan Republik
Indonesia, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin maka
anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.

Kewarganegaraan ganda terbatas yang diberikan kepada anak hasil dari


suatu perkawinan campuran dikarenakan apabila terdapat suatu perceraian
atau putusnya perkawinan karena kematian maka anak tersebut masih
memiliki status kewarganegaraan, sehingga orang tuanya tidak perlu lagi
memelihara anak asing. Jadi, Undang–undang baru ini lebih memberikan
perlindungan, dan status kewarganegaraan anak yang dilahirkan dari “
perkawinan campur” juga jadi lebih jelas.

1
2

B. Perumusan Masalah
1. Apakah Pengertian perkawinan campuran itu dan apa dasar hukum
perkawinan campuran Di Indonesia?
2. Bagaimana dampak dari perkawinan campuran?
3. Bagaimana status kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan
campuran?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui materi pokok Perkembangan Penegakan Hukum Pidana
Internasional khususnya terkait Hukum Perkawinan Beda
Kewarganegaraan.
2. Menganalisis kasus-kasus hukum dalam perkawinan beda
kewarganegaraan dan cara penyelesaiannya sesuai dengan Undang-undang
yang berlaku.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkawinan Campuran dan Dasar Hukum Perkawinan Campuran di


Indonesia.

Menurut Pasal 57 UU Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,


yang dimaksud dengan Perkawinan campuran adalah Perkawinan antara dua orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi,
Perkawinan seorang warga negara Indonesia (WNI) dengan warga negara asing
(WNA) merupakan perkawinan campuran. Namun, apabila perkawinan dilakukan
antara dua orang warga negara Indonesia yang berbeda agama, bukan merupakan
perkawinan campuran.

Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dasar hukumnya adalah


Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan (pasal 59 ayat 1). Di dalam
pasal 60 UU menyebutkan bahwa Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan
sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-
masing telah dipenuhi. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut telah
dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan
campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-
masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-
syarat telah dipenuhi.

Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan, maka
atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak
beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan
pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. Jika Pengadilan memutuskan
bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan

3
4

tersebut. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai


kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan
sesudah keterangan itu diberikan.

Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara seorang WNI dengan


seorang WNA adalah sah bilamana dilangsungkan menurut hukum yang berlaku di
negara di mana perkawinan itu dilangsungkan. Dan bagi WNI tidak melanggar
ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana diatur
dalam pasal 56 ayat 1 yang berbunyi:

“Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang


warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan
bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini”

Retno S. Darussalam, S.H. di dalam klinik hukumonline menyatakan, bila


perkawinan campuran akan dilakukan di luar Indonesia, tentunya harus mengikuti
aturan mengenai perkawinan yang berlaku di negara tersebut dan selanjutnya
dicatatkan pada institusi Catatan Sipil setempat. Selama para pihak telah
melaksanakan pencatatan perkawinan di luar negeri sesuai hukum yang berlaku di
negara di mana perkawinan tersebut dilangsungkan, maka perkawinan adalah sah
dengan segala akibat hukumnya. Akibat hukum di sini, misalnya status mengenai
anak, harta perkawinan, pewarisan, hak dan kewajiban suami-istri bila perkawinan
berakhir karena perceraian dan/atau sebagainya. Namun, untuk sahnya perkawinan
yang dilangsungkan di luar negeri tersebut menurut hukum Indonesia harus dilakukan
pencatatan dan pelaporan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Indonesia
dalam kurun waktu 1 (satu) tahun.

Apabila lewat dari waktu yang ditetapkan maka harus melalui Pengadilan Negeri
sesuai dengan domisili yang bersangkutan dan akan dikenai sanksi denda sesuai
dengan Peraturan Daerah setempat juncto pasal 107 Peraturan Presiden No. 25 Tahun
5

2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil
yang berbunyi:

1. Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2), Pasal 105
ayat (2) dan Pasal 106 diatur dalam Peraturan Daerah.

2. Penetapan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


dengan memperhatikan Ketentuan Undang-Undang dan kondisi masyarakat di
daerah masing-masing.

3. Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan


daerah Kabupaten/Kota, dan bagi Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan
penerimaan daerah Provinsi.”

B. Dampak dari Perkawinan Campuran.

Menurut artikel di dalam www.lbhmawarsaron.com, dampak dari perkawinan


campuran ini adalah mengenai status kewarganegaraan dari perempuan WNI maupun
anak-anak yang lahir kemudian hari. Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang
No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan) dinyatakan:
“Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara
asing kehilangan Kewarganegaraan Indonesia jika menurut hukum negara asal
suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti Kewarganegaraan suami sebagai akibat
perkawinan tersebut”

Namun bagi perempuan WNI yang masih ingin memegang Kewarganegaraan


Indonesia-nya, Pasal 26 (3) UU menyatakan:
”Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat
mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau
Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan
atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan
ganda”
6

Sehingga perempuan WNI yang ingin mempertahankan Kewarganegaraannya dapat


mengajukan Surat Pernyataan keinginan tetap berkewarganegaraan Indonesia kepada
Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang berwenang di tempat tinggal pihak
suami WNA. Surat pernyataan tersebut diajukan perempuan WNI setelah tiga tahun
sejak tanggal perkawinan berlangsung [pasal 26 ayat (4) UU Kewarganegaraan].
Perlu diperhatikan bahwa pengajuan tersebut tidak boleh mengakibatkan WNI
menjadi berkewarganegaraan ganda (bipatride). WNI tersebut harus melepaskan status
kewarganegaraan yang didapatkan dari perkawinan campuran tersebut, barulah
kemudian WNI dapat mengajukan Surat Pernyataan keinginan tetap
berkewarganegaraan Indonesia.

C. Status Kewarganegaraan Anak Yang Lahir dari Perkawinan Campuran.


1. Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran

Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas


kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-
Undang ini sebagai berikut:

1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara
tempat kelahiran.

2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang
diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini.

3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu


kewarganegaraan bagi setiap orang.

4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan


kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang ini.
7

Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda


(bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang
diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.
Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah
atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak
secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.

2. Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran

Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan
pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan
pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan
berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka
ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus
disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah
kawin.

Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif


bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah
pemberian kewarganegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian
hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.

Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia


Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang
antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin
lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip
nasionalitas untuk status personal.

Hal ini berati warga negara Indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang
mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya, tetap berada di bawah
lingkungan kekuasaan hukum nasional Indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi,
maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik Indonesia dipergunakan
juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status
personal mereka. Dalam jurisprudensi Indonesia yang termasuk status personal antara
8

lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan


kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang
dibawah umur.

Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga
memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang
didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada
ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan
yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada
pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status
personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila
ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.

Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat
syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum
berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat
materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum
tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi
pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil
hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun
berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut
diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.

Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum
perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis
berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka potensi
masalah yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi
kajian para ahli hukum perdata internasional.

3. Kritisi terhadap UU Kewarganegaraan yang baru

Walaupun banyak menuai pujian, lahirnya UU baru ini juga masih menuai kritik
dari berbagai pihak. Salah satu pujian sekaligus kritik yang terkait dengan status
9

kewarganegaraan anak perkawinan campuran datang dari KPC Melati (organisasi para
istri warga negara asing).

“Ketua KPC Melati Enggi Holt mengatakan, Undang-Undang Kewarganegaraan


menjamin kewarganegaraan anak hasil perkawinan antar bangsa. Enggi memuji kerja
DPR yang mengakomodasi prinsip dwi kewarganegaraan, seperti mereka usulkan, dan
menilai masuknya prinsip ini ke UU yang baru merupakan langkah maju. Sebab
selama ini, anak hasil perkawinan campur selalu mengikuti kewarganegaraan bapak
mereka. Hanya saja KPC Melati menyayangkan aturan warga negara ganda bagi anak
hasil perkawinan campur hanya terbatas hingga si anak berusia 18 tahun. Padahal KPC
Melati berharap aturan tersebut bisa berlaku sepanjang hayat si anak.

Penulis kurang setuju dengan kritik yang disampaikan oleh KPC Melati tersebut.
Menurut hemat penulis, kewarganegaraan ganda sepanjang hayat akan menimbulkan
kerancuan dalam menentukan hukum yang mengatur status personal seseorang.
Karena begitu seseorang mencapat taraf dewasa, ia akan banyak melakukan perbuatan
hukum, dimana dalam setiap perbuatan hukum tersebut, untuk hal-hal yang terkait
dengan status personalnya akan diatur dengan hukum nasionalnya, maka akan
membingungkan bila hukum nasional nya ada dua, apalagi bila hukum yang satu
bertentangan dengan hukum yang lain.

Sebagai contoh dapat dianalogikan sebagai berikut : “Joko, pemegang


kewarganegaraan ganda, Indonesia dan Belanda, ia hendak melakukan pernikahan
sesama jenis. Menurut hukum Indonesia hal tersebut dilarang dan melanggar
ketertiban hukum, sedangkan menurut hukum Belanda hal tersebut diperbolehkan.
Maka akan timbul kerancuan hukum mana yang harus diikutinya dalam hal
pemenuhan syarat materiil perkawinan khususnya.”

Terkait dengan persoalan status anak, penulis cenderung mengkritisi pasal 6 UU


Kewarganegaraan yang baru, dimana anak diizinkan memilih kewarganegaraan
setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah. Bagaimana bila anak tersebut perlu
sekali melakukan pemilihan kewarganegaraan sebelum menikah, karena sangat terkait
dengan penentuan hukum untuk status personalnya, karena pengaturan perkawinan
10

menurut ketentuan negara yang satu ternyata bertentangan dengan ketentuan negara
yang lain. Seharusnya bila memang pernikahan itu membutuhkan suatu penentuan
status personal yang jelas, maka anak diperbolehkan untuk memilih
kewarganegaraannya sebelum pernikahan itu dilangsungkan. Hal ini penting untuk
mengindari penyelundupan hukum, dan menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban
umum yang berlaku di suatu negara.

Anak dari perkawinan campuran bisa memiliki status kewarganegaraan ganda.


Menurut Dinna Sabriani di dalam artikel tanya jawab klinik hukumonline,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mempermudah proses
penyampaian pernyataan memilih kewarganegaraan bagi anak yang memiliki
kewarganegaraan ganda. Anak yang lahir dari pasangan berbeda warga negara, salah
satunya WNI, bisa memiliki kewarganegaraan ganda hingga berusia 18 tahun. Paling
lambat tiga tahun setelah mencapai usia 18 tahun atau sudah kawin, si anak harus
menyatakan memilih kewarganegaraannya.

Mau pilih WNI atau menjadi warga negara asing, negara asal ayah atau ibunya.
Lewat Peraturan Menhukham No. M.HH-19.A.H.10.01 Tahun 2011, Menteri Hukum
dan HAM Patrialis Akbar menegaskan pernyataan memilih kewarganegaraan dapat
dilakukan bukan hanya di Kementerian Hukum dan HAM, tetapi juga di kantor-kantor
wilayah keimigrasian yang tersebar di wilayah Indonesia. Bahkan, pernyataan memilih
dapat disampaikan di luar negeri, lewat kantor perwakilan Indonesia atau di tempat
lain yang ditentukan oleh Menteri.

Kantor perwakilan Indonesia yang punya kewenangan adalah kantor yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Jika memilih menjadi WNI, si anak harus
mengajukan pernyataan memilih yang formulirnya tersedia di kantor-kantor imigrasi.
Jika si anak memilih WNI atau affidavitnya dicabut maka ia berhak menyandang
status WNI, yang ditetapkan lewat Surat Keputusan Menteri.

Ada dua kategori anak yang harus memilih status kewarganegaraan. Batasannya
adalah pengesahan UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
11

 Anak yang lahir sebelum 1 Agustus 2006, adalah mereka yang sudah
mengantongi Surat Keputusan Menhukham tentang kewarganegaraan.

 Anak yang lahir sesudah 1 Agustus 2006, yang memiliki affidavit.

Dalam konteks ini, affidavit adalah surat keimigrasian yang dilekatkan atau
disatukan pada paspor asing yang memuat keterangan sebagai anak
berkewarganegaraan ganda. Pemegang affidavit mendapatkan fasilitas keimigrasian
saat keluar masuk Indonesia.

Jika anak berkewarganegaraan ganda memilih menjadi Warga Negara Asing


(WNA), maka pernyataan itu harus disampaikan kepada pejabat atau perwakilan
Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal si anak. Jika selama ini anak
tersebut sudah memegang paspor Indonesia, maka paspor itu harus dicabut. Demikian
pula jika anak tersebut memiliki affidavit, maka surat itu harus dicabut pejabat yang
menerima pernyataan memilih menjadi WNA. Sang pejabat kemudian
menyampaikannya ke Ditjen Imigrasi. Petugas akan memutakhirkan data sistem
informasi keimigrasian.

Bagi perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar Indonesia, harus


didaftarkan di kantor Catatan Sipil paling lambat 1 (satu) tahun setelah yang
bersangkutan kembali ke Indonesia. Bila tidak, maka perkawinan anda belum diakui
oleh hukum kita. Surat bukti perkawinan itu didaftarkan di Kantor Pencatatan
Perkawinan tempat tinggal anda di Indonesia (pasal 56 ayat (2) UU No 1/74).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan
hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang
memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan
campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang
positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini
mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan
campuran.
UU Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik,
termasuk terkait dengan status anak. Penulis juga menganalogikan sejumlah
potensi masalah yang bisa timbul dari kewarganegaraan ganda pada anak.
Seiring berkembangnya zaman dan sistem hukum, UU Kewarganegaraan yang
baru ini penerapannya semoga dapat terus dikritisi oleh para ahli hukum
perdata internasional, terutama untuk mengantisipasi potensi masalah.

B. Saran
Saran yang dapat diberikan pada pasangan perkawinan campuran yaitu
memahami dengan baik ketentuan ketentuan hukum kewarganegaraan,
sehingga dapat mengetahui hak-hak dan kewajiban yang menjadi
konsekkuensi atas perkawinan yang dilakukan.

12

Anda mungkin juga menyukai