Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PROSES PENANGANAN VIRUS COVID-19 DI


INDONESIA

NAMA MAHASISWA : HARDIN LADIA


NOMOR INDUK MAHASISWA/ NIM : 030754872
KODE/NAMA MATA KULIAH : ADPU4410/KEBIJAKAN PUBLIK
KODE/NAMA UPBJJ : 10/SORONG
MASA UJIAN : 2020/21.2 (2022.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gelombang pandemi Covid-19 yang telah menjangkit secara luas di wilayah Indonesia
setidaknya sejak maret 2020 lalu pasca pengumuman kasus pertama oleh Presiden Jokowi,saat
ini telah pada tahap yang cukup mengkhawatir. Penyebaran yang begitu massif dari virus
Covid-19 tentu memiliki dampak yang bersifat multidimensional. Beberapa diantaranya,
misalnya pada sektor perekonomian pandemi telah menghambat pertumbuhan ekonomi negara.
Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia
pada Kuartal II 2020 mengalami minus 5,32%, sedangkan sebelumnya pada Kuartal I 2020
perekonomian Indonesia hanya tumbuh 2,97% (kompas.com, 2020). Kondisi semacam ini
secara langsung berimbas terutama pada sektor ketenagakerjaan, dimana tingkat pengangguran
yang semakin tinggi. Kementerian Ketenagakerjaan melaporkan per 8 April lalu, jumlah
pekerja dan buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan sudah
sebanyak 1,2 juta orang dari sekitar 74.430 perusahaan (kompas.id, 2020). Tak pelak lagi,
angka pengangguran yang meningkat ini juga berimplikasi pada semakin meningkatnya angka
kemiskinan. Selain itu, Kementerian Keuangan juga menyatakan bahwa dengan skenario
terburuk penambahan jumlah penduduk miskin imbas corona bisa mencapai 3,78 juta orang
(cnn.com, 2020).
The World Health Organization (WHO) mendeklarasikan wabah Covid-19 yang di
awali di Wuhan Cina pada tanggal 30 Januari 2020 sebagai sebuah "Public Health Emergency
of International Concern", dan meningkatkan status keadaannya menjadi pandemi pada tanggal
11 Maret 2020 (Nikos, Konstantinos, & Bertrand, 2020) untuk seluruh kota di dunia termasuk
Indonesia. Dampak adanya pandemi Covid-19 mempengaruhi segala aspek kehidupan, di
antaranya aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, kesejahteraan
masyarakat serta mobilitas. (Hawryluck, 2004) Efeknya pun membuat segala bentuk mobilitas,
baik itu mobilitas manusia, barang maupun jasa yang sebelumnya sudah biasa dilakukan,
sekarang menjadi serba terbatas dikarenakan pandemi Covid-19. Seorang ahli virologi di
Amerika Serikat mencatat bahwa menghentikan perjalanan adalah cara terbaik untuk
menghentikan penyebaran virus (Upton, 2020).
Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar keempat di dunia, respons Pemerintah
Indonesia terhadap krisis sangat lamban dan berpotensi menjadi episentrum dunia setelah
Wuhan (Sari, 2020). Kebijakan yang tidak responsif dan keliru tentu membahayakan jutaan
rakyat Indonesia. Hal ini tampak, misalnya pada bulan Januari dan Februari 2020, ketika virus
itu melumpuhkan beberapa kota di Cina, Korea Selatan, Italia, dan lainnya; beberapa negara
mengambil kebijakan untuk menutup migrasi manusia lintas negara. Sebaliknya, Pemerintah
Indonesia mengambil kebijakan lain yang berupaya menarik wisatawan dan bisnis dari negara-
negara yang tengah menutup negara mereka untuk dikunjungi. Sejak Januari 2020, Corona
Virus Disease-19 (COVID-19) telah menginfeksi lebih dari 2.245.872 jiwa di seluruh dunia
(WHO, 2020). Lebih dari 152.000 orang telah terkonfirmasi meninggal dunia karena virus ini
(WHO, 2020). Oleh karena itu, tidak heran apabila pemimpin-pemimpin pemerintahan di
banyak negara berjuang untuk keluar dari wabah COVID-19 dengan pendekatannya masing-
masing.
Menghadapi kondisi tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengupayakan sejumlah hal
untuk memutus mata rantai penyebaran virus ini sekaligus mengurangi resiko sosial, ekonomi
dan politik yang ditimbulkannya. Selain diperlukan suatu keputusan politik yang kuat,
instrumen kebijakan yang efektif juga menjadi prasyarat utama yang tidak bisa diabaikan.Oleh
karenanya, pemerintah Indonesia, melalui Presiden mengeluarkn setidaknya 9 (sembilan)
produk hukum yang mejadi acuan dari kebijakan penanganan covid-19. Kesembilan instrumen
itu berupa 1(satu) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), 1 (satu)
Peraturan Pemerintah (PP), 1(satu) 100 Instruksi Presiden (Inpres), 2 (dua) Peraturan Presiden
(Perpres) dan 4 (empat) Keputusan Presiden (Keppres). Semua instrumen kebijakan tersebut
ditujukan untuk merespon eskalasi masalah yang disebakan oleh pandemi pada aspek yang
berbeda-beda, baik pada aspek kesehatan masyarakat secara umum, administrasi pemerintahan,
keuangan, maupun politik dan penguatan kewenangan birokrasi pemerintahan. Produk-produk
hukum semacam ini mengacu pada UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
(UU Kekarantinaan Kesehatan) yang memuat beberapa pilihan kebijakan yang dapat diambil
oleh pemerintah pusat dan daerah dalam menghadapi pandemi Covid-19. Dari kesembilan
kebijakan tersebut, fokus dari pembahasan artikel ini adalah mengenai kebijakan Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) yang terdapat pada PP No21 Tahun 2020 tentang Pembatasan
Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Diseas 2019 (Covid-
19).
Presiden Jokowi mengadakan Konferensi Pers pada tanggah 31 Maret 2020, dengan
tujuan untuk mengumumkan kepada publik mengenai kebijakan yang dipilihnya guna
menyikapi Covid-19 sebagai pandemi global yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia
saat ini. Pada konferensi pers tersebut, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan bahwa
kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan kebijakan yang dipilih dalam
merespon adanya Kedaruratan Kesehatan. Masifnya berita yang beredar membuat masyarakat
menyadari begitu gentingnya masalah virus tersebut. Sehingga berbagai reaksi ditunjukkan oleh
warga negara Indonesia, salah satunya kekhawatiran melalui laman media sosial. Dengan
demikian, media massa online pun berperan penting dalam menyampaikan informasi terkait
Covid-19 terutama pada masa orang bekerja dari rumah (work from home) dan masa sekolah
diliburkan.
Pemerintah juga menyarankan masrayakat untuk tetap dirumah saja. Terkait aktifitas
yang dirumahkan sudah menjadi kebijakan dalam kondisi khusus yang harus dilakukan.
Kebijakan ini diharapkan mampu mengatasi masalah yang terjadi di masyarakat. Kebijakan ini
ditetapkan oleh beberapa pihak terutama pemerintah yang diorientasikan pada pemenuhan
kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Makna dari pelaksanaan kebijakan publik merupakan
suatu hubungan yang memungkinkan pencapaian tujuan-tujuan atau sasaran sebagai hasil akhir
dari kegiatan yang dilakukan pemerintah. Kekurangan atau kesalahan kebijakan publik akan
dapat diketahui setelah kebijakan publik tersebut dilaksanakan. Keberhasilan pelaksanaan
kebijakan publik dapat dilihat dari dampak yang ditimbulkan sebagai hasil evaluasi atas
pelaksanaan suatu kebijakan.

B. Rumusan Masalah
1. Pilihan Kebijakan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan Di Indonesia ?
2. Bagaimana Penerapan Kebijakan Pemerintah Dalam Penyelesaian Covid-19 Di
Indonesia?

C. Tujuan
Agar Kita Dapat Mengetahui Bagaimana Penerapan Kebijakan Pemerintah Dalam
Menghadapi Masalah Kesehatan Pandemik Covid-19 Di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebijakan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan di Indonesia


Pada 2018, Indonesia menerbitkan UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan yang menjadi dasar utama bagi penanangan bukan hanya pandemi global melainkan
juga bioterorisme, bencana ledakan nuklir dan kontaminasi kimia berbahaya d yang berdampak
pada kesehatan manusia. UU ini bertujuan untuk melindungi hak setiap orang dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan dan kondisi medis, pangan dan
kebutuhan kehidupan sehari-hari selama masa karantina. Mengikuti International Health
Regulation (IHR) yang diadopsi pada 2005, UU mendefinisikan kekarantinaan kesehatan
sebagai suatu ‘upaya mencegah atau menangkal keluar atau masuknya penyakit dan faktor
resiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan
masyarakat.’ UU memberikan kewenangan yang kuat kepada pemerintah pusat untuk
menetapkan dan mencabut status darurat kesehatan publik, memenuhi kebutuhan logistik warga
selama karantina diberlakukan dan membatasi dan menutup akses keluar dan masuk dari luar
negeri maupun antar daerah regional guna mengurangi resiko transmisi
penyakit(Mahendradhata, 2017: 135).
Dasar hukum inilah yang menginisiasi penetapan kondisi luar biasa oleh Presiden Joko
Widodo melalui Keppres No 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Salah satu fitur penting yang perlu
dicermati dalam UU Kekarantinaan Kesehatan adalah tindakan karantina kesehatan yang dapat
di ambil oleh pemerintah pusat dan daerah untuk memutus rantai penyebaran virus. Pasal 15
ayat (2) mengkategorisasi tindakan karantina kesehatan secara fakultatif yang dapat berupa: (a)
karantina, isolasi, pemberian vaksin atau profilaksis, rujukan, disinfeksi, dan/atau
dekontaminasi terhadap orang sesuai indikasi; (b) pembatasan sosial berskala besar (PSBB);
(c) disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi dan/atau deratisasi terhadap alat angkut dan barang;
dan/atau; (d) penyehatan, pengamanan dan pengendalian terhadap media lingkungan.
Secara umum, karantina wilayah (lockdown) saat ini tengah dipraktikkan banyak negara
guna mengendalikan penularan Covid-19 dengan memutus kontak langsung dunia luar dari
episentrum penyebaran penyakit. Karantina wilayah menjadi salah satu pilihan kebijakan
strategis yang sangat penting untuk mengamankan populasi diluar wilayah episentrum sehingga
memungkinkan pengendalian dan penanganan efektif pasien lewat tindakan medis yang
direkomendasikan oleh komunitas profesi medis dan WHO. Pasal 55 ayat (1) UU tersebut
membebankan kewjiban pemenuhan kebutuhan hidup bagi setiap orang dan hewan hewan
ternak diwilayah karantina kepada pemerintah pusat yang dapat melibatkan pemerintah daerah
dan pihak-pihak terkait. Ketentuan semacam ini menimbulkan kewajiban hukum kepada
pemerintah pusat untuk mere-alokasikan sumber daya keuangan negara ketika pandemi tengah
terjadi karena status darurat kesehatan publik yang diberlakukan mengharuskan masyarakat
membatasi aktivitas di luar rumah guna mengurangi resiko transmisi virus(Bogdandy and
Villarreal, 2020: 3). Selain itu, karantina wilayah juga berarti pembatasan kebebasan dan
pengurangan hak warga untuk bergerak bebas yang pelaksanaannya harus di dasarkan pada
prinsip siracusa dalam hukum hak asasi manusia internasional. Prinsip ini menekankan bahwa
pembatasan kebebasan harus bersifat legal, proporsional dan dilakukan dengan cara yang paling
wajar guna mencegah pelanggaran dan tindakan sewenang-wenang(Gostin, 2012: 172).
Meskipun demikian, tindakan karantina wilayah sebagaimana yang dipraktikkan
banyak negara tidak dipilih dengan mempertimbangkan besarnya alokasi sumber daya yang
harus dikeluarkan untuk memastikan kebutuhan-kebutuhan dasar terpenuhi. Banyak 104 daerah
secara sporadis mengambil kebijakan PSBB dengan tingkatan tindakan yang beragam yang
dipandang lebih sesuai dengan kondisi keuangan dan masyarakat(Wadi, 2020: 621). Pasal 59
ayat (3) UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan bahwa PSBB meliputi paling sedikit
penghentian sementara kegiatan sekolah dan pertemuan di tempat kerja untuk menghindari
kerumunan, pembatasan kegiatan keagaamaan dan pembatasan kegiatan di tempat umum. Pada
31 Maret 2020, Pemerintah menerbitkan PP No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial
Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
dimana Pemerintah Daerah, termasuk Kota Surabaya, dapat melakukan PSBB yang harus
didasarkan pada pertimbangan epidemologis, besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber
daya, teknis operasional, pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan
keamanan.
Sejak Januari 2020, Corona Virus Disease-19 (COVID-19) telah menginfeksi lebih dari
2.245.872 jiwa di seluruh dunia (WHO, 2020). Lebih dari 152.000 orang telah terkonfirmasi
meninggal dunia karena virus ini (WHO, 2020). Oleh karena itu, tidak heran apabila pemimpin-
pemimpin pemerintahan di banyak negara berjuang untuk keluar dari wabah COVID-19 dengan
pendekatannya masing-masing. Di China, misalnya, pemerintah merespons wabah Covid-19
dengan menyediakan fasilitas kesehatan khusus pasien virus korona, mengubah gedung
olahraga, aula, sekolah, dan juga hotel menjadi rumah sakit sementara, melalukan rapid-test
ataupun polymerase chain reaction (PCR) pada banyak warga, hingga mengimplementasikan
metode mengisolasi kota (lockdown) (Aida, 2020a: 1- 2).
Khususnya di Indonesia, Dampak pandemi Covid-19 sangat mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi. Adanya kebijakan karantina kesehatan, sosial distancing, maupaun
Pembatasan Sosial Berskala Besar PSBB) sangat berpengaruh terhadap aktifitas sektor
pariwisata dan manufaktur sehingga menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat. Tenaga
kerja berkurang, pengangguran dan kemiskinan meningkat akan menyebabkan penerimaan
negara berupa pajak penghasilan (PPh) berkurang. Kelangkaan dan terlambatnya bahan baku
dari China dapat menyebabkan kenaikan harga produk dan memicu inflasi.
Salah satu tantangan mendasar yang dihadapi seluruh Pemerintah di berbagai level
adalah mengkoordinasikan penegakan hukum sedemikian rupa guna menekan laju penyebaran
Covid-19. Penegakan hukum yang lemah dan terfragmentasi pada berbagai sektor akan
menimbulkan kondisi penanganan yang lambat yang membuat kondisi perekonomian semakin
jatuh pada stagnasi. Memang, sejak bertahun-tahun Indonesia masih dihadapkan pada kondisi
pelayanan kesehatan yang kurang memadai yang—untuk sebagian—disebabkan oleh kendala
kecepatan kerangka regulasi dalam menghadapi suatu krisis. Penanganan yang semakin cepat
mungkin akan memukul basis perekonomian seperti transportasi, logistik, pariwisata dan
sektor-sektor non esensial lain sementara waktu, tetapi hal ini dapat dikatakan efektif dalam
jangka panjang. Pendekatan penegakan hukum yang moderat atau tidak terlalu agresif
dipandang tidak terlalu berhasil dalam mengurangi dampak Covid-19. Dalam hal ini, UU
Kekarantinaan Kesehatan telah menyediakan kerangka kerja hukum untuk mendukung
tanggapan Pemerintah Daerah yang tepat waktu terhadap penularan Covid-19. Kunci utama
dalam penegakan hukum untuk penanganan Covid-19 terletak pada keputusan politik yang
bertindak secara optimal yang memprioritaskan penyelamatan nyawa(Johnsonand Bailey,
forthcoming 2020: 3)
Perkembangan kebijakan PSBB diubah menjadi kebijakan Pelaksanaan Pembatasan
Kegiatan Masyarakat (PPKM 1), yang diperkuat oleh Surat Edaran Gubernur Jawa Barat
Nomor 72/KS.13/HUKHAM tertanggal 8 januari 2021 tentang Pelaksanaan Pembatasan
Kegiatan Masyarakat di Provinsi Jawa Barat. Terdapat 20 kabupaten/kota yang harus
melakukan PPKM sesuai Imendagri No 1 Tahun 2001 diantaranya kabupaten Sukabumi,
kabupaten Sumedang, kabupaten Garut, kota Depok, kabupaten Karawang, kota Tasikmalaya,
Kabupaten kuningan, kota Banjar, kabupaten Ciamis, kota Bandung, kota Bogor, kota Cimahi
dan lainnya. Kebijakan PPKM 1 di Provinsi Jawa Barat juga didukung oleh Keputusan
Gubernur Jawa Barat Nomor 443/Kep.10-Hukham/2021 Tentang Pemberlakuan PSBB
Proporsional di 20 (duapuluh) Kabupaten/Kota di Jawa Barat dan Keputusan Gubernur Jawa
Barat Nomor 443/Kep.TI-Hukham/2021 tentang pemberlakuan Adaptasi kebiasaan Baru di 7
(tujuh) Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Kebijakan PPKM 1 berakhir kemudian dilanjutkan
dengan PPKM 2, di Provinsi Jawa Barat PPKM 2 dilaksanakan serentak di 27 Kabupaten/Kota
periode tanggal 26 Januari-8 Februari 2021. Kebijakan PPKM 2 di Jawa Barat dituangkan
dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 15/KS.01/Hukham tentang perpanjangan
pelaksanaan pembatasan kegiatan Masyarakat dalam Penanganan Covid-19 di Provinsi Jawa
Barat

B. Penerapan Kebijakan Pemerintah Dalam Penyelesaian Covid-19 DiIndonesia


Seiring dengan berjalannya waktu, penyebaran Covid-19 telah mengalami peningkatan
yang signifikan dan paling banyak terjadi di pulau Jawa. Data yang diperoleh per tanggal 27
Mei 2020 bahwa ada 23.851 pasien positif, 6.057 pasien sembuh, dan sebanyak 1.473 yang
meninggal dunia (covid.go.id, 2020). Dampak Pandemi Covid-19 atau penyebaran virus corona
memberikan dampak yang cukup luas terhadap kegiatan perekonomian yang dilakukan
masyarakat maupun para pelaku ekonomi khusunya di sektor pariwisata dan manufaktur. Di
Indonesia, penyebaran virus ini dimulai sejak tanggal 02 Maret 2020. Pernyataan tersebut
diumumkan oleh bapak Presiden Joko Widodo.
Semakin hari semakin bertambah jumlah orang yang terinfeksi virus corona membuat
pemerintah menerapkan berbagai himbauan untuk menjaga jarak antara masyarakat atau yang
disebut dengan istilah social distancing hingga melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) di berbagai daerah yang dimulai pada Kota Jakarta pada tanggal 10 April 2020. Kondisi
ini tentu berdampak pada perputaran roda perekonomian di dalam negeri. Tak hanya itu,
perekonomian secara global otomatis juga terganggu. Peranan pemerintah dalam meningkatkan
pembangunan ekonomi serta memacu pertumbuhan ekonomi terutama di negara yang sedang
berkembang dilakukan melalui kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
Kebijakan fiskal diartikan tindakan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah,
yang berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran uang (Syamsi, 1983). Kebijakan fiskal
Negara Indonesia tercermin dalam Anggaran Pendapat Belanja Negara (APBN). Dalam APBN
tersebut, terdapat penetapan pemerintah mengenai alokasi dan distribusi keuangan negara.
Mengingat urgennya bidang ini dalam pembangunan perekonomian negara. Kebijakan fiskal
juga berpengaruh terhadap inflasi. Berdasarkan hasil penelitian (Surjaningsih, N., Utari, G. A.
D., & Trisnanto, B., 2012) bahwa dampak kebijakan fiskal terhadap output dan inflasi adalah
suatu kondisi kenaikan pengeluaran pemerintah berdampak positif terhadap PDB sementara
kondisi kenaikan pajak berdampak menurunkan PDB. Dampak positif dari pengeluaran
pemerintah dan dampak negatif dari pajak terhadap PDB tersebut sejalan dengan teori Keynes
tentang peran pemerintah dalam menggerakkan perekonomian serta sesuai dengan penelitian
empiris di beberapa negara maju. Pengaruh pengeluaran pemerintah lebih dominan terhadap
PDB dibandingkan dengan pajak menunjukkan masih cukup efektifnya kebijakan ini untuk
menstimulasi pertumbuhan ekonomi khususnya dalam masa resesi dibandingkan dengan pajak.
Melalui kebijakan fiskal, pemerintah dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nasional,
kesempatan kerja, investasi nasional, dan distribusi penghasilan nasional. Mengacu pada
dampak buruk dari Covid-19 ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi turunnya
pendapatan negara sebesar 10 persen di tahun ini (tirto.id, 2020). Penurunan pendapatan akibat
wabah Covid-19 itu terutama akan terjadi di sisi penerimaan perpajakan. Penerimaan
Perpajakan turun akibat kondisi ekonomi melemah, dukungan insentif pajak dan penurunan
tarif PPh. PNBP turun dampak jatuhnya harga komoditas pandemi Covid-19 telah mengancam
sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestik.
Dari sisi pengeluaran, dampak yang diakibatkan Covid-19 ini sangat besar. Mengatasi
permasalahan yang timbul akibat Covid-19 ini diharapkan tidak terlalu menekan defisit APBN.
Oleh sebab itu, dibutuhkan strategi yang dapat membantu mengatur perekonomian saat ini.
Kebijakan fiskal dari sisi penerimaan dan pengeluaran pemerintah ternyata sangat besar
perananannya dalam menanggulangi dampak Covid-19.
Pemerintah sudah 3 kali meluncuran stimulus fiskal ( pengeluaran pemerintah) yaitu :
a. Pada Februari, pemerintah memberikan stimulus Rp 8,5 triliun untuk memperkuat
ekonomi dalam negeri melalui sektor pariwisata.
b. Pada pertengahan Maret, pemerintah kemudian meluncurkan stimulus lanjutan senilai
Rp 22,5 triliun. Stimulus ini berupa kebijakan fiskal dan nonfiskal untuk menopang
sektor industri dan memudahkan ekspor-impor.
c. Pada akhir Maret, pemerintah menetapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB)
untuk menangani penyebaran virus. Stimulus Rp 405,1 triliun juga dikeluarkan
mendampingi kebijakan kesehatan itu. Dana tersebut akan dialokasi untuk :
1. Sekitar Rp 150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional
seperti restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan
dunia usaha. Menurut (Ika, 2020). bahwa pemerintah perlu mengambil kebijakan
fiskal yang agresif untuk menghadapi virus corona ini. Sebab, kebijakan moneter
konvensional dinilai tidak mungkin cukup memitigasi penurunan ekonomi.
Ditambah dengan adanya friksi dalam pasar kredit dan suku bunga yang cenderung
turun.
2. Rp75 triliun untuk bidang kesehatan, meliputi perlindungan tenaga kesehatan,
pembelian alat kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan, dan insentif dokter
3. Rp110 triliun untuk jaring pengaman sosial (social safety net), untuk menambah
manfaat bantuan sosial, pembebasan biaya listrik, dan dukungan kebutuhan pokok.
4. Rp70,1 Triliun untuk pengurangan tarif pajak penghasilan dan penundaan
pembayaran KUR. Menurut (Nainggolan, 2020) bahwa kebijakan moneter yang
diambil harus selaras dengan kebijakan fiskal dalam meminimalisir dampak
Covid-19 terhadap perekonomian nasional. Oleh sebab itu otoritas moneter harus
dapat menjaga nilai tukar rupiah, mengendalikan inflasi dan memberikan stimulus
moneter untuk dunia usaha. Diharapkan ada relaksasi pemberian kredit perbankan
dan mengintensifkan penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa secara umum
penanganan covid-19 oleh Pemerintah sebenarnya telah sesuai dengan sejumlah instrumen
peraturan perundang-undangan yang ditetapkan baik pemerintah pusat maupun daerah. Hal itu
tereflesksikan dari sejumlah aspek, baik dari struktur anggaran yang digunakan maupun
beberapa program kerja unggulan yang telah terpenuhi dan dilaksanakan. Hal ini tentu
merupakan langkah progresif dalam penangangan pengendalian wabah covid-19 yang
dilakukan pemerintah di level kota/kabupaten. Namun demikian, meskipun secara formal
sejumlah aspek kelembagaan telah dilakukan, masih terdapat sejumlah catatan yang membuat
pelaksanaan penanganan terganggu dan berpotensi berjalan kurang efektif.
Kebijakan fiskal pemerintah untuk mencapai target penerimaan negara yaitu merevisi
target penerimaan pajak, menyusun ulang alokasi penerimaan negara dalam APBN 2020 dan
menerapkan pajak digital untuk kegiatan melalui media elektronik. Dari sisi pengeluaran,
pemerintah akan melakukan refocusing dan revisi anggaran untuk menekan angka defisit
APBN untuk membantu pembiayaan pemerintah yang telah melakukan 3 kali stimulus
Anggaran yaitu Februari sebesar Rp 8,5 triliun untuk memperkuat ekonomi dalam negeri
melalui sektor pariwisata, Maret sebesar Rp 22,5 triliun. berupa kebijakan fiskal dan nonfiskal
untuk menopang sektor industri dan memudahkan eksporimpor dan akhir bulan Maret sebesar
Rp 405,1 triliun untuk kebijakan kesehatan.

B. Rekomendasi
Pemerintah harusnya melakukan modifikasi manfaat dari kebijakan, sehingga targetnya
harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat saat ini. Berbagai program bantuan pemerintah
diharapkan dapat diberikan merata kepada masyarakat yang terkena dampak Covid-19 ini. Serta
masih adanya Realisasi penggunaan anggaran yang masih kurang efektif. Pemerintah mungkin
telah menetapkan rencanaa struktur anggaran dan distribusinya secara sangat baik, namum
dalam realisasi hal itu belum dilaksanakan secara maksimal. Hal itu membuat sejumlah
tindakan yang seharusnya dapat dijalankan secara maksimal mendapati hambatan.
DAFTAR PUSTAKA

Agustino, Leo, and Jl Raya-jakarta Km. 2020. “ANALISIS KEBIJAKAN PENANGANAN


WABAH COVID-19 : PENGALAMAN INDONESIA ANALYSIS OF COVID-19
OUTBREAK HANDLING POLICY : THE EXPERIENCE OF INDONESIA.”
16(2):253–70.
Fitrianingrum, Lia, Biro Administrasi Pimpinan, Pemerintah Provinsi, and Jawa Barat. 2021.
“JPSI ( Journal of Public Sector Innovations ) Evaluasi Kebijakan Penanganan Covid-19
Pemerintah Provinsi Jawa Barat.” 06(1):39–50.
Nasution, Zamzam Isnan. 2021. “Evaluasi Kebijakan Penanganan Covid-19 Di Kota Surabaya :
Studi Kasus Kebijakan PSBB.” 4(1):98–115.
Pemerintah, Kebijakan, Dalam Penyelesaian, and Covid-D. I. Indonesia. 2021. “No Title.”
(162300003).

Anda mungkin juga menyukai