Anda di halaman 1dari 13

DINAMIKA PENEMUAN HUKUM DALAM PUTUSAN MAKHAMAH

KONSTITUSI NO.98/PUU-XXI/2023 – PERUBAHAN KETENTUAN


SYARAT BATAS USIA CAPRES DAN CAWAPRES DI INDONESIA

Dean Alfons Rahamis


2008010127

Fakultas Hukum Universital Islam Kalimantan


Jl. Salak No.44, Loktabat Selatan, Banjarbaru,
Kalimantan Selatan

Abstrak

Masyarakat juga mengalami kesulitan mendapatkan informasi tentang hukum. Pemilihan


umum (Pemilu) 2024 akan segera dilakukan, meski demikian terdapat dinamika yang kuat
terutama berkaitan dengan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau
kembali penerapan sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2024. Tulisan pendek ini hendak
melihat sejauh mana sistem proporsional terbuka maupun sistem proporsionaltertutup
akan memperkuat kualitas representasi politik dalam pemilu di Indonesia? Menggunakan
pendekatan penelitian kualitatif dan menggunakan data sekunder sebagai sumber data utama.
Terlepas dari perdebatan antara sistem proporsional terbuka dan tertutup, dengan kondisi
bahwa masih banyak praktik politik uang, lemahnya representasi politik, serta tidak jelasnya posisi
ideologi partai politik. Sistem campuran dengan menggabungkan sistem proporsional tertutup
di tingkat nasional dan sistem proporsional terbuka di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota
dapat menjadi jawaban untuk mengatasi dua isu sekaligus, mengenai kualitas representasi
politik sembari memperkuat kontrol publik.
Kata kunci : Sistem Campuran, Representasi Politik, Kontrol Publik.

PENDAHULUAN

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan instrumen penting dalam negara


demokrasi. Pemilu merupakansalah satu usaha untuk memengaruhi rakyat
secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatanretorik, hubungan
publik, komunikasi massa, lobi dan kegiatan lain-lain.

1
Pemilu merupakan pranata terpenting bagi pemenuhan tiga prinsip pokok
demokrasi dalam pemerintahan yang berbentuk republik, yakni kedaulatan
rakyat, keabsahan pemerintah dan pergantian pemerintah secara teratur.

Pemilu sebagai perwujudan demokrasi dianggap sebagai sarana atau


mekanisme ideal dalam rangka proses peralihan kekuasaan secara damai dan
tertib. Dengan penyelenggaraan pemilu, maka diharapkan proses peralihan
kekuasaan dalam suatu negara akan dapat berjalan dengan baik.1

Berbeda dengan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) sebelumnya.


Pemilu 2024 memiliki dua hal penting yang menjadi sorotan utama terkait dengan
pelaksanaan dan substansi pelaksanaan sirkulasi kepemimpinan tersebut. Pertama,
Pemilu 2024 menggunakan landasan hukum yang sama dengan Pemilu 2019 lalu,
yakni berpegang pada Undang-Undang (UU) nomor 7 tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum. Dasar hukum UU tersebut yang kemudian mendorong Komisi
Pemilihan Umum (KPU) menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU)
sebagai dasar pelaksanaan Pemilu 2024. Penggunaan UU yang sama tidak terlalu
lazim dalam peta politik nasional, mengingat hampir setiap akan dilakukan
pemilu, terdapat revisi besar terhadap pengaturan kontestasi pemilu oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Hal ini kerap dikenal dengan
paket UU politik,2 fase ketika partai-partai politik membahas bagaimana pemilu
mendatang dilakukan.

Kedua, disadari maupun tidak, pelaksanaan Pemilu 2024 ditandai dengan


beragam dinamika politik, mulai dari isu terkait dengan perpanjangan masa
jabatan presiden, isu terkait tiga periode, hingga terakhir terkait dengan gugatan
kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penerapan sistem proporsional terbuka

1
Ansori, L. (2017). Telaah Terhadap Presidential Threshold Dalam Pemilu Serentak
2019. Jurnal Yuridis, 4(1), 15-27.
2
Paket UU politik biasanya berkaitan dengan UU krusial yang menyangkut UU Pemilu
maupun UU Pilkada. Pada tahun 2020, telah terdapat usulan untuk melakukan revisi terhadap UU
politik, termasuk diantaranya UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik yang diajukan oleh
Perludem (Perludem, 20/02/2020). Pada akhirnya pelaksanaan pemilu tetap menggunakan UU
7/2017 sebagai landasan hukum pelaksanaan Pemilu 2024.

2
atau tertutup,3 dan gugatan terkait batas usia minimal dari calon presiden
(capres) dan calon wakil presiden (cawapres).4 Dinamika politik ini menjadikan
pemilu 2024 mendatang meletakkan dinamisasi politik tepat pada saat proses
pemilu sedang berjalan, dan bukan sebelum pemilu dilakukan, seperti layaknya
ketika dinamika UU Politik sebelum pemilu 2004, 2009, maupun 2014.

Dari banyaknya fragmen dalam pemilu tersebut, tulisan ini hendak


melihat salah satu persoalan penting yang berkaitan denganpelaksanaan pemilu
mendatang, yakni terkait dengan gugatan penerapan sistem proporsional terbuka
atau tertutup hingga tulisan ini ditulis pada bulan April 2023 masih dalam
pembahasan MK. Secara singkat, gugatan mengenai penerapan sistem
proporsional terbuka yang selama ini digunakan dalam pemilu di Indonesia dan
diatur pada UU no 7/2017 digugat oleh 6 (enam) orang pemohon, yakni Demas
Brian Wicaksono yang merupakan kader PDI Perjuangan, Yuwono Pintadi,
Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono (Mahkamah
Konstitusi, 23/02/2023). Gugatan yang terdaftar dengan nomor registrasi
114/PPU/XX/2022 tersebut mendapatkan atensi publik, mengingat pelaksanaan
pemilu sudah berlangsung dan para calon anggota legislatif (caleg) akan
mendaftarkan diri pada tanggal 1 hingga 14 Mei 2023.

Artikel pendek ini hendak melakukan elaborasi terkait debat mengenai


penerapan sistem proporsional terbuka dan tertutup terhadap kuat atau tidaknya
kontrol publik dalam pemilu. Mengingat pelaksanaan sistem pemilu sangat
ditentukan oleh kondisi masyarakat sebuah negara yang menerapkan sistem
pemilu tersebut. Oleh karenanya terlepas dari persoalan sistem pemilu terbuka
dan sistem pemilu tertutup, fokus perhatian yang paling perlu untuk diperhatikan

3
Persoalan mengenai pemilu yang tidak kalah krusial berkisar pada persoalan gugatan sistem
proporsional terbuka ke Mahkamah Konstitusi. Secara singkat, sistem ini digugat karena tidak
ada pembahasan secara spesifik bahwa sistem pemilu yang diterapkan di Indonesia menggunakan
sistem proporsional terbuka dalam UUD (Antara, 22/02/2023).
4
Terdapat gugatan kepada MK terhadap batas usia capres dan cawapres agar sesuai
dengan batas usia pada pemilu-pemilu sebelumnya. Gugatan dilakukan oleh Partai Solidaritas
Indonesia (PSI) dengan argumentasi utama bahwa anak muda harus diberikan kesempatan untuk
dapat menjadi pemimpin nasional (Liputan 6, 04/04/2023).

3
ada pada sistem apa yang memungkinkan menghasilkan tata kelola pemerintahan
yang lebih baik.

RUMUSAN PERMASALAHAN

Rumusan masalah yang dapat diambil dari latar belakang di atas adalah :

1. Bagaimana Pertimbangan MK dalam memutus perkara ?


2. Apa yang menjadi amar putusan?

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian


hukum normatif, yaitu suatu jenis penelitian hukum yang diperoleh dari studi
kepustakaan, dengan menganalisis suatu permasalahan hukum melalui peraturan
perundang-undangan, literaturliteratur dan bahan-bahan referensi lainnya yang
berhubungan dengan pembatalan putusan arbitrase internasional.

Pendekatan melalui metode penelitian hukum normatif yang digunakan


dalam menyusun artikel ini dilakukan dengan cara mempelajari ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku dan ajaran-ajaran para ahli hukum melalui bahan-
bahan hukum yang dikumpulkan dengan melakukan studi kepustakaan.

PEMBAHASAN

1. Pertimbangan MK dalam Memutus Perkara

Adapun pertimbangan MK Dalam mempertimbangkan putusan mereka,


MK menyebut telah merunut pengaturan syarat usia capres-cawapres sejak era
kemederkaan, berakhirnya Orde Lama, dan pemilu pada masa Orde Baru.

Menjelang batas akhir pendaftaran capres-cawapres, publik dikejutkan oleh


putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai kontroversial nomor 90/PUU-
XXI/2023. Dalam putusan tersebut, MK memutuskan bahwa kepala daerah di

4
bawah usia 40 tahun dapat mengajukan diri sebagai calon presiden atau calon wakil
presiden, asalkan mereka pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.

Selain itu, MK juga melacak risalah perdebatan dalam pembahasan


perubahan UUD 1945, terutama mengenai persyaratan presiden yang tertuang
dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945.

Atas putusan MK ini, Pasal 169 huruf q pada UU 7/2017 tentang Pemilu
yang dipersoalkan oleh PSI akan tetap berlaku. Pasal ini menentukan bahwa capres
dan cawapres harus berusia setidaknya 40 tahun. “Dalil para pemohon tidak
beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” kata Hakim Konstitusi, Saldi Isra,
saat membacakan putusan. Pun MK juga menolak dalil yang diajukan PSI bahwa
batas usia 40 tahun bagi capres-cawapres bertentangan dengan moralitas,
rasionalitas dan menimbulkan ketidakadilan. Menurut MK, sebagaimana
diutarakan Hakim Saldi Isra, kalaupun syarat umur itu diturunkan menjadi 35 tahun,
syarat tersebut akan tetap menimbulkan persoalan.

Tidak cuma mengenai batas usia minimal, MK juga menolak permohonan


sejumlah kepala daerah yang meminta agar setiap orang di bawah 40 tahun tetap
bisa menjadi capres-cawapres asalkan pernah menjabat sebagai penyelenggara
Negara (Pernah menjabat sebagai kepada daerah provinsi dan kabupaten atau kota).

Lebih lanjut, putusan ini tentu menguntungkan salah satu paslon (pasangan
calon). Melihat indikator dan rasionalitas pertimbangan hukum yang dibangun oleh
MK rasa-rasanya cukup sulit menolak anggapan tersebut. Karena faktanya, MK
menunjukkan sikap inkonsistensi yang jelas terlihat. Apalagi dengan objek JR dan
petitium yang kurang lebih sama dan diajukan dalam waktu yang relatif tidak
berjarak. Yaitu putusan No.29/PUU-XXI/2023,51/PUU-XXI/2023 dan perkara
55/PU-XXI/2023 yang diajukan oleh beberapa kepala daerah terkait batas usia yang
berakhir dengan penolakan.

Putusan soal batas usia capres-cawapres ini dinilai King akan sangat
berdampak bagi tatanan demokrasi di Indonesia. Pertaruhan terhadap eksistensi dan
marwah MK sebagai lembaga penegak hukum yang harus memerankan diri sebagai

5
lembaga yang independen dan imparsial akan dipertanyakan. Dimana hal ini dapat
memengaruhi tingkat kepercayaan terhadap MK.

Menurut MK, sebuah pasal yang memuat batas usia minimal tapi membuka
peluang untuk mengabaikan batasan tersebut dengan aturan lain berpotensi memicu
kontradiksi hukum. “Melarang sekaligus membolehkan yang seseorang di bawah
40 tahun untuk dicalonkan sebagai capres-cawapres sepanjang yang bersangkutan
adalah atau pernah menjabat sebagai pejabat negara memicu kontradiksi. Sifat
kontradiktif akan memicu kebingungan dan ketidakpastian hukum, yang
bertentangan dengan UUD 1945,” kata MK dalam putusannya.5

MK menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q pada UU 7/2017 “tidak


bertentangan dengan perluakuan adil dan diskriminatif, dan tidak melanggar Pasal
28D ayat (1) dan ayat (4) serta 28I ayat (2) UUD 1945.

2. Amar Putusan

Perkara ini disebut sebagai indikasi kuatnya kepentingan politik di belakang


peraturan pemilu yang selalu berubah setiap lima tahun. Dalam permohonannya
kepada MK, PSI meminta MK mengubah batas usia capres-cawapres dari 40
menjadi 35 tahun. Batas usia itu tertuang dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilu. Permohonan ini dianggap politis karena PSI dan
koalisi Prabowo Subianto disebut-sebut berniat mengusung Gibran Rakabuming
yang kini berusia 36 tahun.

Sejumlah pakar hukum tata negara menilai MK tidak semestinya


mengabulkan permohonan tersebut. Mereka merujuk prinsip kebijakan hukum
terbuka (open legal policy) yang selama ini telah dijalankan MK dalam berbagai
perkara pengujian undang-undang sebelumnya. Aoa bila putusan tersebut di

5
Anak Muda Punya Hak, https://www.liputan6.com/news/read/5251403/gugat-
batasminimal-usia-capres-dan-cawapres-ke-mk-psi-sebut-ingin-anak-muda-punya-hak

6
kabulkan akan timbulnya konflik kepentingan. Dengan adanya konflik kepentingan
maka daoat dikatakan hal tersebut akan menimbulkan oligarki politik.

Berikut amar putusan lengkap yang dibacakan:

Mengadili

1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian


2. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6109) yang menyatakan "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun"
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang
tidak dimaknai "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau
pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum
termasuk pemilihan kepala daerah". Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya
berbunyi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang
menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk
pemilihan kepala daerah"
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.

MK menyatakan permohonan sebelumnya seperti yang diajukan Partai


Garuda berbeda dengan permohonan yang diajukan mahasiswa UNS ini.
Perbedaannya ada pada norma pasal yang dimohonkan.

"Terhadap petitum permohonan dalam perkara-perkara dimaksud dapat


dikatakan mengandung makna yang bersifat 'ambiguitas' dikarenakan sifat jabatan
sebagai penyelenggara negara tata cara perolehannya dapat dilakukan dengan cara
diangkat/ditunjuk maupun dipilih dalam pemilihan umum. Hal ini berbeda dengan
yang secara tegas dimohonkan dalam petitum permohonan a quo di mana pemohon
memohon ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 17 Tahun 2017 dimaknai

7
'Berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di
tingkat provinsi maupun kabupaten/kota'," kata hakim MK.6

"Dalam rangka mewujudkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas


dan berpengalaman, Mahkamah menilai bahwa pejabat negara yang berpengalaman
sebagai anggota DPR, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota
sesungguhnya layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional in
casu sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilu meskipun
berusia di bawah 40 tahun," imbuhnya.

Sebagaimana diketahui, permohonan uji materi terhadap Pasal 169 c UU


Pemilu ini diajukan oleh sejumlah pihak. Mereka di antaranya Partai Solidaritas
Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan sejumlah kepala daerah.

Permohonan ini teregistrasi dalam perkara nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-


XXI/2023, 55/PUU-XXI/2023, 90/PUU-XXI/2023, 91/PUU-XXI/2023, 92/PUU-
XXI/2023, dan 105/PUU-XXI/2023. Tiga gugatan di atas sudah diputus dan
ditolak.

Sedangkan gugatan dari mahasiswa UNS ini dinilai berbeda oleh MK


meskipun berkaitan juga dengan Pasal 169 huruf q UU Nomor 17 Tahun 2017.

Kampanye diperbolehkan dilingkungan sekolah dan dikampus?

Keberadaan Mahkamah Konsitusi (MK) dalam sistem hukum indonesia


dimaksudkan untuk memperkuat sistem check and balances dalam rangka
mewujudkan serta menjamin demokrasi. Kampanye merupakan hak bagi segala
peserta pemilu untuk menyuarakan pendapatnya berupa visi dan misi dari program
yang akan dibawakan ketika terpilih. Wujud dari kampanye pemilu berdasarkan
pernyataan piagam DUHAM yang memuat atas penyelenggaraan pemilu sebagai
sarana penyampaian keinginan rakyat sebagai dasar kewenangan pemerintah.
Secara tidak langsumg kampanye sudah dinyatakan melalui Pasal 21 ayat (3)
DUHAM bahwa “ Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah;

6
Liputan 6, 4 April 2023, Gugat Batas Minimal Usia Capres dan Cawapres ke MK.

8
kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara
berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan
pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin
kebebasan memberikan suara”.(Didi.Nazmi.2023). Mahkamah Konsitusi (MK)
mengetok putusan larangan total kampanye di tempat ibadah, namun membolehkan
kampanye disekolah dan kampus meski dengan berbagai aspek.

Bayangan suram mulai terpikir. Lembaga pendidikan berkubang dalam


politik praktis. Bakal ada sekolahan yang mengundang salah satu capres saja,
sementara sekolahan lain mengundang capres lainnya. Sekolah satu dan sekolahan
lain saling beda pilihan. Siswa-siswinya juga terdampak polarisasi pemilu 2024.
Koordinator jaringan Pemantau Pendidikan (JPPI), Ubaid Matraji, mempunyai
kekhawatiran yang sama. Putusan MK itu akan diprediksi bakal berdampak buruk
bagi ekosistem pendidikan. Konflik kepentingan akan bersemi bagaikan jamur pada
musim penghujan di bangku sekolah dan gedung perguruan tinggi.

Pengujian ketentuan larangan kampanye

1. Merujuk PMK
2. Pemohon untuk bisa memahami dalam menguji pertimbangan dalam
putusan MK 65/PUU-XXI 2023.
3. Pakar pendidikan mengkritik putusan mk kampanye agar sekolah dan
lembaga kampus untuk menggelar forum yang lebih baik daripada sekedar
kampanye.

Pakar pendidikan mengkritik untuk dirumuskan menjaga aktivitas politik


praktis kampanye di institusi pendidikan, dan dikaitkan dengan aturan KPU,
Bawaslu, atau kemendikbudristekdikti, regulasi turunan diperlukan supaya marwah
pendidikan tidak tercoreng oleh ulah politikus yang ingin memenangkan pemilu.
Melibatkan pelajar dalam dunia politik tentu saja merupakan cara yang efektif
untuk mengajarkan tentang pentingnya partisipasi dan demokrasi.

Netralisasi Pendidikan

9
Lingkungan sekolah seharusnya menjadi tempat siswa dapat belajar dan
berkembang tanpa adanya pengaruh politik yang meresahkan. Keputusan MK yang
mengizinkan untuk kampanye politik di sekolah membuka pintu bagi terganggunya
suasana belajar yang seharusnya bebas dari pola politik. Sekolah seharusnya
menjadi wilayah netral, siswa dapat mengeksplorasi berbagai gagasan dan
pandangan tanpa tekanan dari kampanye politik. Dengan membawa politik
langsung pada lingkungan sekolah, berisiko mengabaikan ruang berharga untuk
pengembangan pemikiran mandiri dan pemaparan pada keragaman pandangan.
Pendidikan yang berkualitas memerlukan ruang yang aman bagi siswa untuk
belajar, berdiskusi, dan mengembangkan pemikiran independen. Kampanye politik
di lingkungan sekolah berpotensi menggangu proses belajar-mengajar. Kehadiran
materi politik yang intens dapat mengalihkan perhatian siswa dari pelajaran inti dan
kurikulum yang seharusnya menjadi fokus utama. Seharusnya tidak ada ruang bagi
distraksi politik di dalam kelas karena ini bisa merugikan pendidikan serta
pengembangan akademik siswa.

Risiko siswa yang memiliki pandangan berbeda, merasa terpinggirkan, atau


bahkan diintimidasi dapat meningkat. Kemungkinan terbesar yang muncul dari
keputusan yakni perpecahan. Ketika siswa dihadapkan kepada pandangan politik
yang beragam, tanpa arahan yang baik bagaimana berdiskusi dengan baik dan
hormat, lingkungan sekolah berisiko berubah menjadi medan perang tempat
pandangan saling bentrok dan konflik muncul.

Risiko penyalahgunaan politik

Dengan diizinkan kampanye politik di sekolah, terbuka peluang besar bagi


penyalahgunaan tujuan pendidikan demi keuntungan politik, partai atau kelompok
tertentu dapat mencoba memanfaatkan situasi kini untuk mengiring opini dan
pandangan siswa sesuai dengan kepentingan mereka dengan memberi stimulus
yang kurang sesuai. Remaja kini cenderung lebih mudah terpengaruh atau
terdoktrin dan kurang mampu melihat manipulasi dibalik argumen politik. Hal ini
sesuai dengan teori belajar behavioristik yang dikemukakan edward thorndike.
Menurutnya, belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur,dan

10
dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui stimulan yang menimbulkan
hubungan perilaku reaktif atau respons. Putusan ini membuka pintu bagi
penyusupan agenda politik ke dalam kurikulum, mengancam integritas pendidikan
dan mengorbankan pembentukan karakter siswa. Setelahnya, putusan mk ini
meninggalkan pertanyaan penting tentang tujuan utama pendidikan. Apakah kita
ingin menghasilkan generasi yang terdidik secara holistik, mampu berpikir kritis,
dan memiliki pandangan yang independen? Penting bagi kami untuk merenungkan
implikasi jangka panjang dari keputusan ini.

PENUTUP

KESIMPULAN

1. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terkait batas usia minimal capres
cawapres pada tanggal 16 Oktober 2023. Berikut adalah kesimpulan MK dalam
sidang putusan batas usia capres-cawapres:
2. MK menolak gugatan Partai Garuda yang mengajukan agar batas usia minimal
capres cawapres diturunkan menjadi 35 tahun.
3. MK juga menolak gugatan PSI yang mengajukan uji materi Pasal 169 huruf q
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menetapkan batas usia minimal
35 tahun untuk calon presiden dan wakil presiden.
4. Selain itu, MK juga menolak gugatan dari tiga kepala daerah terkait batas usia
minimal capres cawapres.
5. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa batas usia minimal 40 tahun tidak
bertentangan dengan UUD 1945
6. Dari kesimpulan MK tersebut, dapat disimpulkan bahwa MK menolak gugatan
terkait batas usia minimal capres cawapres dan menyatakan bahwa batas usia
minimal 40 tahun tidak bertentangan dengan UUD 1945.

11
7. Memutus norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 17 Tahun 2017 dimaknai
'Berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah
baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota'.

12
DAFTAR PUSTAKA

Antara, 22 Februari 2023, Ihwal Pemilu 2024, sistem proporsional terbuka atau
tertutup lagi?,
Anak Muda Punya Hak, https://www.liputan6.com/news/read/5251403/gugat-
batasminimal-usia-capres-dan-cawapres-ke-mk-psi-sebut-ingin-anak-
muda-punya-hak
Ansori, L. (2017). Telaah Terhadap Presidential Threshold Dalam Pemilu
Serentak 2019. Jurnal Yuridis, 4(1), 15-27.
https://www.antaranews.com/berita/3408174/ihwal-pemilu-2024-sistem-
proporsionalterbuka-atau-tertutup-lagi
BBC Indonesia, 15 April 2019, Pemilu 2019: Pemungutan suara Indonesia paling
'rumit' dan 'menakjubkan' di dunia,
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-47879833
Chalik, A. (2017). Pertarungan elite dalam politik lokal. Pustaka Pelajar
Yogyakarta.
CNBC Indonesia, 5 januari 2023, Protes Perppu Cipta Kerja, Ini Alasan Pengusaha
dan Buruh,
https://www.cnbcindonesia.com/news/20230105201912-4-403208/protes-perppu-
ciptakerja-ini-alasan-pengusaha-dan-buruh
Kompas, 16 Februari 2023, Agar Kompetisi Pemilu Sehat, Sumber Dana
Ilegal Perlu Diawasi Ketat,
https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/02/16/agar-kompetisi-pemilu-
sehat-sumber-dana-ilegal-perlu-diawasi-ketat
Liputan 6, 4 April 2023, Gugat Batas Minimal Usia Capres dan Cawapres ke MK,
PSI Sebut Ingin
Lukmajati, D. (2016). Praktek Politik Uang Dalam Pemilu Legislatif 2014 (Studi
Kasus di Kabupaten Blora). Politika: Jurnal Ilmu Politik, 7(1), 138-159.
Mahkamah Konstitusi, 23 Februari 2023, PKS dan PSI Dukung Sistem Pemilu
Proporsional Terbuka, https://www.mkri.id/
index.php?page=web.Berita&id=18955

Mayrudin, Y. M. A. (2017). Dinamika Partai Politik Dan Positioning Ideologi:


Studi Tentang Pergeseran Positioning Ideologi Partai-Partai Politik Peserta
Pemilu 2014. JournalofGovernance, 2(2).

13

Anda mungkin juga menyukai