Anda di halaman 1dari 105

SKRIPSI

STATUS HUKUM PENGUASAAN TANAH PERHUTANAN


SOSIAL DI KECAMATAN BULUKUMPA OLEH
MASYARAKAT KELURAHAN JAWI-JAWI

Disusun dan diajukan oleh

NANDINI AULIA FARADILLA


B011181028

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM / DEPARTEMEN KEPERDATAAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
HALAMAN JUDUL

STATUS HUKUM PENGUASAAN TANAH PERHUTANAN


SOSIAL DI KECAMATAN BULUKUMPA OLEH
MASYARAKAT KELURAHAN JAWI–JAWI

OLEH

NANDINI AULIA FARADILLA


B011181028

SKRIPSI

Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana pada


Departemen Hukum Hukum Perdata Program Studi Ilmu Hukum

PEMINATAN HUKUM KEPERDATAAN


DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022

i
ii
iii
ABSTRAK

Nandini Aulia Faradilla (B011181028) dengan judul “Status Hukum


Penguasaan Tanah Perhutanan Sosial Di Kecamatan Bulukumpa Oleh
Masyarakat Kelurahan Jawi – Jawi” di bawah bimbingan bapak Abrar
Saleng dan bapak Muhammad Ilham Arisaputra.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis bukti hak


yang dimiliki oleh masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi dalam melakukan
penguasaan terhadap tanah perhutanan sosial di Bulukumpa. Serta untuk
mengetahui dan menganalisis status hukum tanah perhutanan sosial
Bulukumpa yang dikuasai oleh masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi.

Metode penelitian yang digunakan, yaitu Empiris. Metode


pengumpulan data dilakukan melalui studi lapangan dan studi
kepustakaan. Data yang digunakan adalah data primer dan data
sekunder. Lokasi yang dipilih penulis adalah di Kabupaten Bulukumba
khususnya pada Kecamatan Bulukumpa Kelurahan Jawi-Jawi. Data-data
yang diperoleh baik itu data primer maupun data sekunder diolah dan
dianalisis secara sistematis, faktual dan akurat kemudian disajikan secara
deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai
dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) bukti hak yang dimiliki oleh
sebagian masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi dalam melakukan penguasaan
terhadap tanah perhutanan sosial di Bulukumpa adalah berupa sertifikat
hak milik. Sertifikat hak milik telah diterbitkan sebanyak 35 kepada
sebagian masyarakat yang menduduki wilayah perhuatanan sosial
tersebut. (2) Status hukum tanah perhutanan sosial Bulukumpa yang
dikuasai oleh masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi adalah terjadi dualisme
hak yakni berstatus sebagai hak milik oleh 35 (tiga puluh lima orang) yang
diterbitkan pada tahun 1991 dan sekaligus pada objek yang sama juga
berstatus sebagai tanah hutan yang ditetapkan pada tahun 2009. Tanah
tersebut seharusnya tidak dapat ditetapkan sebagai wilayah hutan pada
tahun 2009 karena sudah terlebih dahulu diterbitkan SHM atas nama 35
(tiga puluh lima) orang.

Kata Kunci: Status Hukum; Perhutanan Sosial; Masyarakat Kelurahan


Jawi – Jawi.

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i


PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................... Error! Bookmark not defined.
PERNYATAAN KEASLIAAN ................................................................... iii
ABSTRAK .............................................................................................. ivv
DAFTAR ISI ............................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 9
D. Kegunaan Penelitian ....................................................................... 9
E. Keaslian Penelitian ........................................................................ 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 15
A. Hak Menguasai Negara ................................................................. 15
B. Hak Atas Tanah ............................................................................. 20
C. Jenis-Jenis Hutan dan Fungsinya ................................................. 27
D. Perhutanan Sosial ......................................................................... 34
BAB III METODE PENELITIAN............................................................... 41
A. Tipe Penelitian............................................................................... 41
B. Lokasi Penelitian ........................................................................... 41
C. Jenis dan Sumber Data ................................................................. 42
D. Populasi dan Sampel .................................................................... 42
E. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 43
F. Analisis Data ................................................................................. 44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS ........................................ 45
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .............................................. 45
B. Bukti Hak Masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi Dalam Melakukan
Penguasaan Terhadap Tanah Perhutanan Sosial di Kecamatan
Bulukumpa .................................................................................... 48

v
C. Status Hukum Tanah Perhutanan Sosial Kecamatan Bulukumpa
yang Dikuasai Oleh Masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi .................. 63
BAB V PENUTUP .................................................................................... 74
A. Kesimpulan.................................................................................... 74
B. Saran ............................................................................................. 74
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 76
LAMPIRAN .............................................................................................. 79

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hak menguasai negara merupakan hak mendasar yang diamanatkan

oleh Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 diamanatkan bahwa “Bumi

dan air kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Pasal 33 ayat (3) telah mengatribusikan kewenangan kepada subjek

hukum, dalam hal ini “negara” untuk melakukan perbuatan hukum

terhadap sumber daya alam (bumi, air, serta kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya).1 Ketentuan ini merupakan konsekuensi logis

bahwa Negara Republik Indonesia menganut paham negara hukum

kesejahteraan dengan dikuasainya bumi, air, dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya tersebut oleh negara, pemerataan atas hasil-hasil

pengelolaan terhadap bumi, air, dan kekayaan alam ini akan dapat

tercapai.2

Sehubungan dengan hal tersebut, maka negara sebagai organisasi

kekuasaan bukanlah pemilik, akan tetapi menguasai dengan seperangkat

wewenang menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Kedudukan

negara senantiasa dikaitkan dengan eksistensinya sebagai organisasi

kekuasaan negara. Berkenaan dengan itulah sehingga R. Susanto,


1
Muhammad Ilham Arisaputra. 2015. Reforma Agraria di Indonesia. Jakarta. Sinar
Grafika. Hal. 92.
2
Hasni. Op. cit. Hal. 14-15.

1
mengungkapkan bahwa “kata kuasai dalam hal ini diartikan sebagai diatur

dan diselengarakan untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan

rakyat pada umumnya.”3 Hal ini Bersesuaian dengan pidato Menteri

Agraria, Sudjarwo di hadapan DPR-GR 12 September 1960, bahwa kata

dikuasai maksudnya mengatur peruntukan, penggunaan dan

pemeliharaan tanah untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.4

Mohammad Hatta sebagai salah satu pendiri negara (founding


fathers) menyatakan bahwa cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33
UUD NRI Tahun 1945 ialah produksi yang besar sedapat-dapatnya
dilaksanakan oleh pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman luar
negeri. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan
kepada pengusaha asing menanamkan modalnya di Indonesia
dengan syarat yang ditentukan pemerintah. Cara begitulah dahulu
kita memikirkan untuk melaksanakan pembangunan ekonomi
dengan dasar Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Apabila tenaga
nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, pinjam tenaga asing
dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing
tidak bersedia meminjamkan kapitalnya maka diberikan kesempatan
kepada mereka untuk menanamkan modalnya di tanah air kita
dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia
sendiri.5

Tanah memiliki fungsi yang sangat banyak dan menunjang

kehidupan manusia. Dalam bukunya yang berjudul Reforma Agraria di

Indonesia, Muhammad Ilham Saputra Menjelaskan bahwa:

Tanah adalah salah satu sumber daya alam yang merupakan


kebutuhan hakiki bagi manusia dan berfungsi sangat esensial bagi
kehidupan dan penghidupan manusia, bahkan dapat menentukan
peradaban suatu bangsa. Tanah dalam kehidupan manusia
mempunyai arti yang sangat penting oleh karena sebagian besar dari
kehidupan manusia adalah bergantung pada tanah. Tanah dapat
dinilai sebagai suatu harta yang mempunyai sifat permanen dan
dapat dicadangkan untuk kehidupan pada masa mendatang. Tanah

3
Syamsuddin Pasamai. 2010. Hukum Agraria dan Hukum Tanah Indonesia.
Makassar. Umitoha Ukhuwah Grafika. Hal. 57.
4
Ibid.
5
Muhammad Ilham Arisaputra. Op. cit. Hal. 83.

2
adalah tempat bermukim dari sebagian besar umat manusia di
samping sebagai sumber penghidupan bagi mereka yang mencari
nafkah melalui usaha pertanian dan atau perkebunan sehingga pada
akhirnya tanah pula lah yang menjadi tempat peristirahatan terakhir
bagi manusia.6

Salah satu bentuk penguasaan dan pemanfaatan tanah adalah tanah

perhutanan sosial. Adapun yang dimaksud Perhutanan Sosial menurut

Pasal 1 angka 64 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 Tentang

Penyelenggaraan Kehutanan:

Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang


dilaksanakan dalam Kawasan Hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan
Adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau Masyarakat
Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan
kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial
budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan
Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan kemitraan Kehutanan.7

Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan telah berkembang

sejak Tahun 1960, khususnya pada hutan di Pulau Jawa yang dikelola

oleh Perum Perhutani melalui pembuatan hutan sistem tumpang sari.

Sejak tahun 1972, Perum Perhutani terus mengembangkan beragam

pendekatan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan seperti

pendekatan kesejahteraan (prosperity approach), Pembangunan

Masyarakat Desa Hutan/PMDH (1982), Perhutanan Sosial (1984),

Pembinaan Masyarakat Desa Hutan Terpadu/PMDHT (1994), dan

6
Ibid. Hal. 55.
7
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan
Kehutanan. Pasal 1 angka 64.

3
Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat/PHBM sejak 2001 hingga saat

ini.8

Pada tataran kebijakan, pengaturan perhutanan sosial telah

berevolusi sejak Tahun 1990-an melalui skema Hutan Kemasyarakatan

(HKm) yang dikenalkan pertama kali pada Tahun 1995 melalui Keputusan

Menteri Kehutanan No. 622 Tahun 1995 tentang Pedoman Hutan

Kemasyarakatan. Pedoman ini memberikan peluang kepada masyarakat

sekitar hutan untuk ikut memanfaatkan hutan sesuai dengan fungsinya.

Dua tahun kemudian, pelibatan masyarakat ini diperkuat dengan

peningkatan status pengelolaan hutan berupa Hak Pengusahaan Hutan

Kemasyarakatan (HPHKm) melalui Keputusan Menteri Kehutanan dan

Perkebunan No. 677 Tahun 1997 tentang Hutan Kemasyarakatan.

Pengaturan ini kemudian disempurnakan lagi pada 1999 sejalan dengan

diundangkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan yang selanjutnya diubah melalui Undang-Undang No. 19

Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (UU

Kehuatanan).9

Dalam konteks perhutanan sosial, pada ketentuan UU Kehutanan,

belum ada satupun Pasal yang secara eksplisit menyebutkan atau

8
Rosadi. Perkembagan Kebijakan Perhutanan Sosial di Indonesia.
http://prcfindonesia.org/perkembangan-kebijakan-perhutanan-sosial-di-indonesia/.
diakses pada tanggal 31 Januari 2022 Pukul 10.00 WITA.
9
Ibid.

4
menggunakan istilah “Perhutanan Sosial”. Ketentuan yang mengatur

terkait fungsi hutan untuk dimanfaatkan dan diberdayakan untuk

masyarakat adalah “Hutan Kemasyarakatan”. Selanjutnya pada Tahun

2016, dalam rangka percepatan pelaksanaan perhutanan sosial, semua

pengaturan skema pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan

digabung dan disederhanakan dalam satu pengaturan mengenai

Perhutanan Sosial yang diatur di dalam Peraturan Menteri Lingkungan

Hidup dan Kehutanan No. P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang

Perhutanan Sosial. Berdasarkan ketentuan tersebut maka hutan

kemasyarakatan menjadi bagian dari perhutanan sosial, dalam hal ini

konsep pengaturan perhutanan sosial mencakup Hutan Desa, Hutan

Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan

Kehutanan.10

Selanjutnya, Pada Tahun 2020, setelah diundangkannya Undang-

Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja),

perhutanan sosial telah diatur secara eksplisit yang mana sebelumnya

dalam UU Kehutanan belum diatur secara eksplisit mengenai perhutanan

sosial. Berdasarkan Pasal 36 UU Cipta Kerja bahwa beberapa ketentuan

dalam UU kehutanan diubah dan ditambahkan. Salah satu ketentuan yang

ditambahkan terkait kehutanan adalah pada Pasal 36 angka 8 UU Cipta

Kerja yang menambahkan Pasal 29A dalam UU Kehutanan bahwa:

10
Lihat Ketentuan Pasal 1 angka 64 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021
Tentang Penyelenggaraan Kehutanan.

5
(1) Pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 28 dapat dilakukan
kegiatan Perhutanan sosial.
(2) Perhutanan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diberikan kepada:
a. perseorangan;
b. kelompok tani hutan; dan
c. koperasi.

Ketentuan dalam Pasal 36 angka 8 UU Cipta Kerja yang

menambahkan Pasal 29A dalam UU Kehutanan selanjutnya diatur lebih

lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 Tentang

Penyelenggaraan Kehutanan (PP No. 23 Tahun 2021). Pasal 206 PP No.

23 Tahun 2021 mengatur bahwa Kegiatan pengelolaan perhutanan sosial

meliputi:

1. Penataan areal dan penyusunan rencana;


2. Pengembangan usaha;
3. Penanganan konflik tenurial;
4. Pendampingan; dan
5. Kemitraan lingkungan.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 210 PP No. 23 Tahun

2021 bahwa:

“Akses legal berupa persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial


dalam Kawasan Hutan diberikan oleh Menteri. Jangka waktu
pengelolaan Perhutanan Sosial selain Hutan Adat diberikan paling
lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang. Persetujuan
pengelolaan Perhutanan Sosial bukan merupakan hak kepemilikan
atas Kawasan Hutan.”

Berdasarkan PP No. 23 Tahun 2021, selanjutnya Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri

Lingkungan Hidup Dan Kehutanan No. 9 Tahun 2021 Tentang

6
Pengelolaan Perhutanan Sosial (Permen LHK No. 9 Tahun 2021).

Berdasarkan Pasal 6 Permen LHK No. 9 Tahun 2021 bahwa:

(1) Akses legal Pengelolaan Perhutanan Sosial diberikan oleh


Menteri dalam bentuk persetujuan atau penetapan.
(2) Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Persetujuan Pengelolaan Hutan Desa (HD);
b. Persetujuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm);
c. Persetujuan Pengelolaan Hutan Tanamana Rakyart
(HTR); dan
d. Persetujuan kemitraan kehutanan

Selanjutnya ketentuan pada Pasal 8 ayat (1) Permen LHK No. 9

Tahun 2021 mengatur bahwa

Persetujuan Pengelolaan HD, Persetujuan Pengelolaan HKm, dan


Persetujuan Pengelolaan HTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (2) diberikan untuk jangka waktu 35 (tiga puluh lima) tahun
dan dapat diperpanjang.

Berdasarkan uraian ketentuan tersebut di atas, terdapat

ketidaksesuaian dalam penguasaan perhutanan sosial khususnya yang

terdapat pada Kabupaten Bulukumba. Bahwa pada Kabupaten

Bulukumba, wilayah perhutanan sosial khususnya yang berada pada

Kecamatan Bulukumpa, Kelurahan Jawi-Jawi telah dikuasai oleh

masyarakat sejak tahun 1979 dengan izin penguasaan selama 35 tahun.

Penguasaan perhutanan sosial tersebut dilakukan oleh kelompok tani di

Kelurahan Jawi-Jawi.

Akan tetapi timbul permasalahan yang dalam hal ini terdapat

beberapa masyarakat yang membuat sertifikat hak milik atas tanah

perhutanan sosial tersebut, padahal berdasarkan Pasal 210 Peraturan

Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan

7
yang telah diuraiakan di atas pengelolaan tanah perhutanan bukan

merupakan hak kepemilikan tetapi hanya pengelolaan untuk

dimanfaatkan. Menurut informasi awal yang penulis peroleh bahwa

masyarakat yang melakukan penguasaan terhadap tanah perhutanan

sosial tersebut sebagian memiliki sertifikat hak milik dan sebagian pula

memiliki Pajak Bumi dan Bangunan.

Sekalipun penguasaan dan pengelolaan yang dilakukan oleh

masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi telah dilakukan sejak tahun 1979, yang

artinya telah melebihi 20 tahun berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Peraturan

Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 24

Tahun 1997), akan tetapi pendaftaran tanah tersebut seyogiayanya tidak

dapat serta merta dapat dilakukan. Hal tersebut dikarenakan, status

penguasaan yang dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi

adalah diperuntukkan untuk perhutanan sosial yang berarti status

penguasaannya adalah terbatas selama 35 tahun dan bukan

diperuntukkan untuk kepemilikan.

Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis akan melakukan

pengkajian secara mendalam dalam melalui suatu penelitian skripsi.

Adapun judul penelitian yang akan dilakukan penulis adalah “Status

Hukum Penguasaan Tanah Perhutanan Sosial Di Kabupaten Bulukumba

Oleh Masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi”.

8
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan

masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana bukti hak yang dimiliki oleh masyarakat Kelurahan Jawi-

Jawi dalam melakukan penguasaan terhadap tanah perhutanan

sosial di Bulukumpa?

2. Bagaimana status hukum tanah perhutanan sosial Bulukumpa yang

dikuasai oleh masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian yang

hendak dicapai adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bukti hak yang dimiliki oleh

masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi dalam melakukan penguasaan

terhadap tanah perhutanan sosial di Bulukumpa.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis status hukum tanah perhutanan

sosial Bulukumpa yang dikuasai oleh masyarakat Kelurahan Jawi-

Jawi.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan atau manfaat

secara teoritis dan praktis, yaitu sebagai berikut:

9
1. Kegunaan Teoretis

Kegunaan teoretis penelitian ini diharapkan dapat menambah acuan

bagi pengembangan penelitian terkait hukum agraria, khususnya di

bidang tanah perhutanan sosial.

2. Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan

bagi para pihak yang terkait tanah perhutanan sosial.

E. Keaslian Penelitian

Keaslian penelitian ini memuat uraian yang berbeda dengan hasil

karya-karya oleh penulis terdahulu yang telah lebih dulu membuat

penelitian karya ilmiah mengenai status hukum penguasaan tanah

perhutanan sosial di Kabupaten Bulukumba oleh masyarakat Kelurahan

Jawi-Jawi. Berkaitan dengan tema judul skripsi yang penulis teliti, maka

penulis melakukan penelusuran terhadap penelitian lain sebagai

pembanding dari penelitian yang penulis lakukan yakni antara lain:

1. Skripsi oleh Andi Puji Ayu, Departemen Hukum Keperdataan

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, Tahun 2021,

dengan judul “Analisis Sengketa Tanah Yang Timbul Dari Kegiatan

Pengadaan Tanah Dalam Pembangunan Bendungan Paselloreng Di

Gilireng Kabupaten Wajo”. Skripsi ini membahas terkait (1)

Bagaimana proses pelepasan tanah dalam pembangunan

bendungan Paselloreng di Gilireng, Kabupaten Wajo; dan (2)

Kenapa terjadi sengketa kepemilikan tanah dalam kegiatan

10
pengadaan tanah pembangunan bendungan Paselloreng di Gilireng,

Kabupaten Wajo.

Hasil penelitian menunjukkan yaitu pertama pelaksanaan pelepasan

tanah untuk pembangunan bendungan Paselloreng di Gilireng

Kabupaten Wajo telah sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Kedua, penyebab terjadinya sengketa

kepemilikan tanah dalam kegiatan pengadaan tanah pembangunan

bendungan Paselloreng di Gilireng, Kabupaten Wajo yaitu objek

tanah yang tidak dikuasai secara fisik oleh pemilik tanah, batas-batas

tanah tidak diperihara dengan baik, pemilik tanah tidak mengetahui

secara tepat letak tanahnya, adanya sengketa warisan, pengakuan

kepemilikan yang dilandasi oleh penemuan surat-surat lama, proses

terbitnya sertifikat tanah atau alas hak kepemiliakan tanah lainnya

yang tidak sempurna, dan pelaksanaan pengukuran yang dilakukan

mengabaikan ketentuan yang berlaku. Adapun terkait dengan

penyelesaian sengketa dalam pengadaan tanah untuk pembangunan

bendungan Paselloreng di Gilireng terlebih dahulu dilakukan secara

musyawarah, jika musyawarah tidak tercapai maka sengketa

diselesaikan melalui jalur pengadilan.

2. Skripsi oleh Ananda Muhammad Risqullah, Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar,

Tahun 2019 dengan judul “Tinjauan Hukum Terhadap Sertipikat Hak

Milik Atas Tanah Dikawasan Hutan Mangrove Teluk Kendari”. Skripsi

11
ini membahas terkait (1) Bagaimanakah dasar pemberian hak milik

atas tanah di kawasan hutan mangrove Teluk Kendari; dan (2)

Bagaimanakah kesesuaian pemberian hak milik di Kawasan Hutan

Mangrove Teluk Kendari dengan Peraturan Menteri Negara Agraria

Nomor 9 tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Hak atas Tanah

Negara dan Hak Pengelolaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Dasar pemberian hak milik

dikawasan hutan mangrove Teluk Kendari berasal dari permohonan

pemilik sertipikat berdasarkan surat keterangan tanah yang ditanda

tangani oleh Lurah serta Camat. 2) Penerbitan sertipikat dikawasan

hutan mangrove Teluk Kendari sudah sesuai dengan Peraturan

Menteri Negara Agraria Nomor 9 tahun 1999 Tentang Pemberian

Hak Atas Tanah Negara dan Hak pengelolaan, serta tidak adanya

penetapan status kawasan hutan oleh kementertian Kehutanan di

kawasan Hutan Mangrove Teluk Kendari.

3. Skripsi oleh Dea Aprillia Kesuma Nasution, Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, Medan, Tahun 2020, dengan judul

“Perlindungan Hukum Terhadap Masyarakat Yang Menguasai Tanah

Di Dalam Kawasan Hutan”. Skripsi ini membahas mengenai (1) Apa

dasar hukum penguasaan tanah oleh masyarakat di dalam kawasan

hutan; (2) Apa keterkaitan antara hak-hak masyarakat di dalam

kawasan hutan dengan reforma agrarian; dan (3) Bagaimana

12
perlindungan hukum terhadap masyarakat yang menguasai tanah di

dalam kawasan hutan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat menguasai tanah di

dalam kawasan hutan secara turun temurun dan mendapatkan

pengakuan secara konstitusional oleh negara. Keterkaitan antara

hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan dengan reforma agraria

ialah penataan struktur penguasaan pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatan tanah di dalam kawasan hutan secara tepat

menciptakan suatu keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat

yang berada di dalam kawasan hutan. Perlindungan hukum terhadap

masyarakat yang menguasai tanah di dalam kawasan hutan

dilakukan dengan menerbitkan beberapa kebijakan secara yuridis

dari pemerintah. Namun, meskipun aturan penguasaan tanah di

dalam kawasan hutan telah terbit, namun konflik di dalam kawasan

hutan masih belum dapat diredam. Saran dalam skripsi ini adalah

kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat dalam

menetapkan suatu wilayah kawasan hutan sebagai bentuk fungsi

kontrol terhadap pemerintah

Berbeda dengan penelitian diatas, penelitian ini difokuskan pada

status hukum penguasaan tanah perhutanan sosial di Kabupaten

Bulukumba oleh masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi. Pada penelitian ini,

penulis akan mengkaji dengan 2 (dua) pokok permasalahan yaitu: (1)

Bagaimana bukti hak yang dimiliki oleh masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi

13
dalam melakukan penguasaan terhadap tanah perhutanan sosial di

Bulukumpa; dan (2) Bagaimana status hukum tanah perhutanan sosial

Bulukumpa yang dikuasai oleh masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi.

14
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hak Menguasai Negara

Sumber daya alam tertentu harus dianggap sebagai common

heritage of mankind (warisan bersama umat manusia) seperti air, laut,

udara, dan hutan. Sebagai suatu norma kewenangan (bevoegdheids

norm), Pasal 33 ayat (3) telah mengatribusikan kewenangan kepada

subjek hukum, dalam hal ini “negara” untuk melakukan perbuatan hukum

terhadap sumber daya alam (bumi, air, serta kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya).11 UUPA disusun berdasarkan delapan prinsip

dasar, yaitu:

a. Prinsip kenasionalan (Pasal 1 jo. Pasal 9 ayat (1) UUPA);


b. Prinsip hak menguasai negara dan penghapusan pernyataan
domain (Pasal 2 UUPA);
c. Prinsip pengakuan hak ulayat (Pasal 3 UUPA) dan dasar
pengakuan hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional
(Pasal 5 UUPA);
d. Prinsip fungsi sosial hak atas tanah (Pasal 6 UUPA);
e. Prinsip bahwa hanya warga negara Indonesia saja yang dapat
mempunyai hak milik (Pasal 9 jo. Pasal 21 ayat (1) UUPA);
f. Dasar persamaan derajat antara laki-laki dan wanita (Pasal 9
ayat (2) UUPA);
g. Asas agrarian reform dan landreform (Pasal 7, 10, dan 17
UUPA);
h. Asas perencanaan atas tanah (Pasal 14 UUPA).12

Mohammad Hatta sebagai salah satu pendiri negara (founding

fathers) menyatakan bahwa cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD

NRI 1945 ialah produksi yang besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh

11
Muhammad Ilham Arisaputra. Op.cit. Hal. 92.
12
Ibid. Hal. 94.

15
pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman luar negeri. Apabila siasat

ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing

menanamkan modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan

pemerintah. Cara begitulah dahulu kita memikirkan untuk melaksanakan

pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD NRI 1945. Apabila

tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, pinjam tenaga

asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa

asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya maka diberikan kesempatan

kepada mereka untuk menanamkan modalnya di tanah air kita dengan

syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri.13

Selanjutnya Kuntana Magnar, Inna Junaenah, dan Giri Ahmad Taufik

menjelaskan pula bahwa UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa sumber

daya alam (bumi, air, dan ruang angkasa) dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Prinsip

“dikuasai negara” adalah logis sebagai penegasan bahwa sumber daya

alam tidak boleh dikuasai oleh orang perorangan, badan hukum atau

kelompok orang tertentu, melainkan oleh negara sebagai organisasi

kekuasaan seluruh rakyat yang berdaulat. Dalam konteks sumber daya

alam secara umum, hal tersebut tetap berlaku. Dalam hal ini perlu

penegasan lebih lanjut, sumber daya alam mana yang tidak dapat

dikuasai oleh perorangan. Penegasan ini penting untuk memberikan

kepastian hukum dan rangsangan kepada investor. Implementasinya

13
Ibid. Hal. 83.

16
adalah berupa penegasan mengenai bentuk hak-hak penguasaan

(pemilikan) dan hak-hak pemanfaatan (penggunaan). Hak pemanfaatan

tersebut hanya berhubungan dengan penggunaan atau pemanfaatan

sumber daya alam tertentu karena terdapat perbedaan karakteristik

sumber daya alam yang tidak memungkinkan konsep “hak milik”, seperti

halnya hak milik atas tanah diberlakukan.14

Di dalam batang tubuh UUD 1945, tidak ada satu Pasal pun yang

secara langsung mengungkapkan eksistensi hak menguasai dari negara.

Akan tetapi asas hukum ini tersurat dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, yang

terkandung wewenang untuk:15

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,


persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.

Dengan dasar pemikiran tersebut, UUPA Pasal 2 ayat (1) menganut

asas bahwa tanah pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai

organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Pengertian bahwa tanah pada

tingkatan yang tertinggi “dikuasai” negara bukanlah “dimiliki” oleh negara,

tetapi memberi wewenang kepada negara pada tingkatan yang tertinggi

untuk menentukan kebijaksanaan dan mengatur hak-hak yang dapat

dipunyai, hubungan-hubungan hukum dan perbuatan-perbuatan hukum

14
Ibid. Hal. 92.
15
Syamsuddin Pasamai. Op.cit. Hal. 56.

17
mengenai tanah serta mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,

penggunaan, persediaan pemeliharaannya, sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA. Semua itu ditujukan untuk mencapai

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang

adil dan makmur.16

Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana dimaksud

Pasal 2 ayat (1) UUPA ditentukan ada bermacam-macam hak atas tanah

yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang atau badan hukum dengan

ketentuan antara lain sebagai berikut:17

a. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial;


b. Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan;
c. Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai
hubungan hukum yang sepenuhnya dengan tanah;
d. Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak
atas pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan sendiri
atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah
cara-cara pemerasan;
e. Melakukan pengendalian pemanfaatan tanah melalui kegiatan
pengawasan dan penertiban pemanfaatan tanah sesuai dengan
kondisi tanah dan rencana peruntukannya;
f. Menertibkan peraturan-peraturan sebagai pelaksanaan UUPA.

Dengan demikian, menjadi lebih jelas bahwa kata dikuasai

hendaknya dikaitkan dengan tujuan negara, yakni untuk mencapai dan

meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tidak

dimaksudkan, untuk kesejahteraan pejabat atau orang-orang yang ada

dalam organisasi pemerintahan negara.

16
Muhammad Ilham Arisaputra. Op.cit. Hal. 93.
17
Ibid. Hal. 94.

18
Pada hakikatnya tanah memang memiliki nilai-nilai filosofis yang

sangat bermanfaat bagi hajat hidup orang banyak apabila dikelola secara

baik, adil, dan merata. Untuk mengelola nilai tanah yang meliputi nilai

produksi, nilai ekonomi, nilai sosial, nilai budaya, nilai lokasi, nilai politik,

nilai hukum, serta nilai pertahanan dan keamanan, maka diperlukan

peranan pemerintah untuk mengelolanya dengan baik demi kesejahteraan

masyarakat sesuai yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Nilai-nilai tanah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.18

a. Nilai Produksi
Nilai Produksi pada tanah merupakan nilai yang dapat berupa
sumber daya alam, seperti minyak bumi, batu bara dan lain
sebagainya yang dihasilkan dari dalam tanah.
b. Nilai Lokasi
Lokasi merupakan suatu tempat di mana terjadi interaksi antar
manusia di tempat tersebut dan lokasi ini tidak akan lepas dari
tanah.
c. Nilai Ekonomi
Secara ekonomi tanah merupakan sumber mata pencaharian
karena di atas tanah tersebut merupakan sumber penghidupan
sehari-hari, sehingga kehilangan tanah dapat diartikan sebagai
kehilangan mata pencahariannya. Dengan kehilangan mata
pencaharian tersebut, maka dapat mempengaruhi
perekonomian seseorang.
d. Nilai Sosial
Secara sosial, tanah bagi pemiliknya memiliki nilai sosial seperti
ikatan dengan leluhur mereka yang harus dijaga, identitas
sosial yang harus dipertahankan, serta sudah lama, nyaman,
atau aman dengan lingkungan sekitarnya karena bagi para
pemiliknya mereka dilahirkan di tanah tersebut dan besar di
tanah tersebut, sehingga mereka dengan lingkungan di
sekitarnya sudah biasa berinteraksi.
e. Nilai Budaya
Tanah memiliki nilai budaya, yaitu tempat lahirnya suatu
kebudayaan dari masyarakat setempat.

18
Ibid. Hal. 87-90.

19
f. Nilai Politik
Politik pada dasarnya identik dengan kekuasaan. Kekuasaan
tersebut memerlukan adanya suatu wilayah untuk mendukung
kekuasaan tersebut.
g. Nilai Hukum
Tanah memiliki nilai hukum karena berkaitan erat terhadap
kepemilikan atas tanah tersebut.
h. Nilai Pertahanan dan Keamanan
Tanah juga memiliki nilai pertanahan dan keamanan, seperti
kegiatan pembangunan pertanahan dan keamanan dengan
menjaga lingkungan sekitar yang pada dasarnya harus
memberikan kesempatan kepada setiap warga negara untuk
berperan aktif karena kegiatan tersebut merupakan kewajiban
setiap warga negara, seperti memelihara tempat tinggal,
memelihara lingkungan, meningkatkan kemampuan disiplin,
dan mendukung upaya keamanan.

B. Hak Atas Tanah

Tanah adalah lapisan permukaan atau lapisan bumi yang diatas

sekali.19 Pada ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi,

yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan

mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur

salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut

hak.20 Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang

berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi

pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.

Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan

isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok pembeda

19
Mohamad Hatta. 2005. Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara
Kesatuan. Media Abadi. Yogyakarta. Hal. 24.
20
Urip Santoso (selanjutnya disebut Urip Santoso I). 2012. Hukum Agraria: Kajian
Komprehensif. Kencana Prenamedia Group. Jakarta. Hal. 9.

20
diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum

tanah.21

Hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi,

yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang lebar. Dengan

demikian maka yang dipunyai dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya,

dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi. Tetapi wewenang

menggunakan dengan sumber pada hak tersebut diperluas hingga

meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan

air serta ruang yang ada diatasnya. Hak atas tanah merupakan hak yang

memberi wewenang kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan

atau mengambil manfaat dari tanah tersebut.22

Negara menguasai tanah dan dipergunakan untuk kesejahteraan

rakyat. Hal tersebut didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3)

UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, pemerintah memiliki tugas untuk

memastikan setiap masyarakat mendapatkan manfaat atas kekayaan

alam Indonesia khususnya tanah.

Selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)

UUPA bahwa:

Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 juncto
Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1960 bermaksud bumi, air dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu
pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat.

21
Boedi Harsono. 2007. Hukum Agrarian Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaanya. Jakarta. Djambatan. Hal. 283.
22
Urip Santoso (selanjutnya disebut Urip Santoso II). 2010. Pendaftaran dan
Peralihan Hak Atas Tanah. Jakarta. Kencana Prenamedia Group. Hal. 49.

21
Hak menguasai dari negara ini memberi wewenang kepada Negara

melalui pemerintah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2)

UUPA yakni:23

1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,


persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut;
2) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UUPA dapat

dikatakan bahwa hak menguasai tanah oleh negara bukan berarti memiliki

tetapi mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan, pemeliharaan atas

tanah dan mengatur hubungan-hubungan hukum dan perbuatan-

perbuatan hukum mengenai tanah. Lebih lanjut Pasal 4 ayat (1) dan (2)

UUPA mengatur bahwa.

1) Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud


dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai orang-orang lain serta badan-badan
hukum.
2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang
yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam
batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-
peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

Negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi bangsa Indonesia

mengatur sehingga membuat peraturan, kemudian

23
Ibid.

22
menyelenggarakannya, artinya menyelenggarakan penggunaan dan

peruntukan, persediaan dan pemeliharaan dari bumi, air, ruang angkasa,

diantara kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Demikian juga

negara mempunyai kewenangan menentukan dan mengatur hak-hak apa

saja yang dapat dikembangkan dari hak menguasai negara tersebut dan

selanjutnya menentukan dan mengatur, bagaimana seharusnya hubungan

antara orang atau badan hukum dengan bumi, air, ruang angkasa yang

terkandung di dalamnya.24

Dalam transaksi jual beli bahwa bukti kepemilikan tanah adalah

sertipikat, akan tetapi dalam proses penerbitan sertipikat ada alat bukti

yang dapat dijadikan pegangan seperti, “Akta Pemindahan Hak yang

dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala

Desa/Kelurahan, Pethuk Pajak Bumi/Landrente dan Verponding Indonesia

sebelum berlakunya UUPA”. Sertipikat yang dikeluarkan merupakan surat

tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat

mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya. Selain

sertipikat terdapat pula bukti surat lainnya yang biasa dikenal dengan

nama Kekitir, Pethuk, Letter C, IPEDA, SPPT (PBB), untuk tanah-tanah

milik adat, namun dokumen tersebut bukanlah tanda bukti kepemilikan,

tetapi tanda bukti pembayaran pajak.25

Hal ini dapat membuktikan bahwa pemegang dokumen tersebut

adalah orang yang menguasai atau memanfaatkan tanah yang patut


24
Urip Santoso II. Op. cit. Hal. 49.
25
Adrian Sutedi. 2018. Peralihan Hak Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta. Sinar
Grafika. Hal. 7-8.

23
diberikan hak atas tanah. Bukti kepemilikan tanah sebelum UUPA dikenal

dengan sebutan Letter C, sedangkan bukti kepemilikan sesudah UUPA

adalah sertipikat, sertipikat inilah merupakan tanda bukti kepemilikan

tanah yang kuat. “Di Indonesia, sertipikat hak atas tanah berlaku sebagai

alat pembuktian yang kuat sebagaimana ditegaskan dalam pasal 19 ayat

(2) huruf c UUPA dan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah”.26

Sifat pembuktian sertipikat sebagai tanda bukti hak dimuat dalam

Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah (PP No. 24 Tahun 1997), yaitu:

(1) Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku


sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan
data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan
data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat
ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
(2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat
secara sah atas nama orang atau badan hukum yang
memperoleh tanda tersebut dengan itikad baik dan secara
nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai
hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak
tersebut apabila dalam waktu 5 tahun sejak diterbitkannya
sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada
pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke
Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan
sertipikat tersebut.
Berdasarkan Pasal 1 angka 20 PP No. 24 Tahun 1997 bahwa:

Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam


pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak
pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan
hak tanggungan yag masing-masing sudah dibukukan dalam buku
tanah yang bersangkutan.
26
Ibid. Hal. 1.

24
Pengertian sertifikat juga diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Dan Tata

Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 6

Tahun 2018 tentang sertifikat dapat diartikan sebagai berikut:

Sertipikat Hak atas Tanah adalah surat tanda bukti hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria untuk
Hak atas Tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, yang masing-masing
sudah dibukukan dala m buku tanah yang bersangkutan.

Selain sertifikat, bukti kepemilikan tanah juga dapat dibuktikan dalam

bentuk letter C. letter C merupakan tanda bukti dalam kepemilikan atas

tanah yang berupa catatan secara turun-temurun dengan diterbitkan oleh

Lurah ataupun Kepala Desa. Surat letter C Desa yang memiliki fungsi

sebagai catatan penarikan pajak dan keterangan yang memuat identitas

tanah pada zaman penjajahan dengan berbentuk buku. Namun pada

masa sekarang letter C masih digunakan sebagai identitas sebagai

kepemilikan tanah. Data-data tanah yang diperoleh dalam buku letter C ini

disebut kurang lengkap sebab pemeriksaannya dilakukan kurang teliti dan

hati-hati.27

Pihak yang berwenang melakukan pencatatan buku letter C tersebut

adalah Kelurahan ataupun Desa, dimana pihak perangkat Kelurahan

ataupun Desa yang mencatat peristiwa hukum yang terjadi pada tanah,

misalnya dalam melakukan jual beli, ahli waris, bagi hasil, hibah dan

27
Maziyyatul Fitria. 2021. Bukti Kepemilikan Sertifikat Tanah Dalam Putusan
Nomor 23/PDT.G/2017/ Pengadilan Negeri Mejayan Berdasarkan PP Nomor 24 Tahun
1997 Dan Konsep Tamlik. Malang. Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas
Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Hal. 33.

25
seterusnya. Proses pembuatan sertifikat, maka harus memiliki surat

kelengkapan atas tanah yang dimiliki. Sebagaimana ketentuan yang

mengenai letter C sebagai bukti pendaftaran tanah yang diatur dalam

Pasal 3 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962

tentang surat pajak hasil bumi (Verponding) Indonesia bahwasannya sifat

yang dimiliki letter C adalah hanya sebagai bukti permulaan bertujuan

untuk memperoleh tanda bukti hak atas tanah secara yuridis yaitu

sertifikat.28

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 19 UUPA,

pemerintah mewajibkan untuk mengadakan pendaftaran tanah

disebabkan masih minimnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat

tentang bukti kepemilikan tanah. Sebagian masyarakat masih

menganggap bukti kepemilikan yang berupa letter C merupakan bukti

kepemilikan yang sah.

Bukti kepemilikan tanah dari kantor desa atau kelurahan disebut

dengan Letter C, adapun Isi dari letter C adalah sebagai berikut:29

1. Nama pemilik
2. Nomor urut pemilik
3. Nomor bagian persil
4. Kelas desa yaitu kelas tanah yang dapat membedakan antara
darat dan tanah sawah yang produktif dan non produktif yang
terjadi pada saat menentukan pajak yang akan dipungut.
5. Menurut daftar pajak bumi yang terdiri atas:
a. Luas tanah, hektare (Ha) dan are (da);
b. Pajak, R (Rupiah) dan S (Sen)

28
Maziyyatul Fitria. 2021. Bukti Kepemilikan Sertifikat Tanah Dalam Putusan
Nomor 23/PDT.G/2017/ Pengadilan Negeri Mejayan Berdasarkan PP Nomor 24 Tahun
1997 Dan Konsep Tamlik. Malang. Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas
Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Hal. 33.
29
Adrian Sutedi. Op.cit. Hal. 98.

26
6. Sebab dan hal perubahan
7. Mengenai Kepala Desa/Kelurahan yaitu, tanda tangan dan
stempel desa.

Berdasarkan UUPA, letter C bukan merupakan bukti penguasaan

tanah setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (letter C yang

terbit sebelum Tahun 1960 masih merupakan bukti kepemilikan yang sah),

namun kekuatan Pembuktiannya di dalam Hukum Perdata tidak hapus

atau kekuatan pembuktian Letter c tidak bersifat sempurna, letter C tidak

bisa dijadikan sebagai Alat Bukti tunggal harus ada bukti-bukti yang lain

sebagai berikut:30

1. Patok Tanah

2. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta bukti pembayarannya

3. Surat Keterangan Riwayat Tanah dari Kelurahan.

C. Jenis-Jenis Hutan dan Fungsinya

Kata hutan dalam bahasa inggris disebut forest, sementara untuk

hutan rimba disebut jungle. Tetapi pada umumnya persepsi umum tentang

hutan adalah penuh pohon-pohonan yang tumbuh tak beraturan. Hutan

merupakan karunia dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa, merupakan

harta kekayaan yang diatur oleh pemerintah, memberikan kegunaan bagi

umat manusia, oleh sebab itu wajib dijaga, ditangani dan digunakan

maksimal sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat secara

berkesinambungan. Hutan merupakan salah satu penentu penyangga

30
Ibid.

27
kehidupan dan sumber kesejahteraan rakyat, semakin menurun

keadaannya, oleh sebeb itu eksistensinya harus juga secara terus

menerus, agar tetap abadi, dan ditangani dengan budi pekerti yang luhur,

berkeadilan, berwibawa, transparan, dan professional serta bertanggung

jawab.31

Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat erat hubungannya

dengan manusia, oleh sebab itu kita wajib untuk menjaga dan

melestarikannya. Hutan mempunyai peranan penting bagi kehidupan

manusia, manusia memerlukan produk yang dihasilkan dari hutan. Hutan

memberikan perlindungan, naungan dan produk-produk yang dibutuhkan

manusia untuk kelangsungan hidupnya. Demikian pula hutan merupakan

tempat hidup binatang liar dan sumber plasma nutfah yang semuanya

juga berguna bagi kelangsungan kehidupan manusia di jagad raya ini.

Manusia memperoleh produk seperti makanan, obat-obatan, kayu untuk

bangunan dan kayu bakar dan juga menikmati manfaat adanya pengaruh

dari hutan yaitu iklim mikro serta mencegah erosi dan memelihara

kesuburan tanah, menampung air, memberikan udara segar dan berbagai

manfaat lainya.32

Pengertian hutan sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 2

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU

Kehutanan) adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan

31
Abdul Muis Yusuf. 2011. Hukum Kehutanan di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta.
Hal. 1.
32
Aman Gane. “Penegakan Hukum Secara Integratif Alih Fungsi Lahan Dalam
Tindak Pidana Kehutanan”. Jurnal Poros Hukum Padjajaran. Volume 1. Nomor 2. Mei
2020. Hal. 317.

28
berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam

persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak

dapat dipisahkan. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU

Kehutanan, Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan

atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya

sebagai hutan tetap disebut sebagai kawasan hutan. Berdasarkan unsur

pokok yang terkandung di dalam definisi kawasan hutan, dijadikan dasar

pertimbangan ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan

hutan, kemudian untuk menjamin diperolehnya manfaat yang sebesar-

besarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan sosial ekonomi

masyarakat.33

Tipe hutan di Indonesia berkisar dari hutan-hutan Dipterocarpaceae

dataran rendah yang selalu hijau di Sumatera dan Kalimantan, sampai

hutan-hutan Monsum musiman di padang savanna Nusa Tenggara, serta

hutan-hutan Non-Dipterocarpaceae dataran rendah dikawasan Alpin di

Irian Jaya (Papua). Indonesia juga memiliki hutan mangrove yang terluas

di dunia. Luasnya diperkirakan 4.25 Juta haktare pada awal tahun 1990-

an. walaupun luas daratan Indonesia hanya 1.3 persen dari luas

permukaan bumi, keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya luar

33
Jimmy Henry. “Aspek Hukum Perlindungan Hutan Dan Masyarakat Adat
Terhadap Pertambangan Batu Bara Di Kampung Tukul Kecamatan Tering Kabupaten
Kutai Barat Kalimantan Timur”. Jurnal Serviens In Lumine Vertatis Fakultas Hukum
Universitas Atmajaya Yogyakarta. Maret 2015. Hal. 4.

29
biasa tinggi meliputi 11 persen spesies tumbuhan dunia, 10 persen

spesies mamalia, dan 16 persen spesies burung.34

Indonesia merupakan negara yang dikarunia total luas kawasan

hutan mencapai kurang lebih 120 juta Ha. Artinya hampir 70% wilayah

darat Indonesia adalah kawasan hutan. Namun, akibat tekanan populasi

penduduk, pertumbuhan ekonomi, membuat sisa wilayah darat non-

kawasan hutan tidak cukup mengakomodasi kebutuhan. Kondisi ini turut

memperparah tumpang tindihnya berbagai kepentingan atas kawasan

kehutanan dengan sektor-sektor non-kehutanan.35

Ada dua manfaat hutan yaitu:36

1. Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat


dirasakan/dinikmati secara langsung oleh masyarakat, yaitu
masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan hasil
hutan, antara lain kayu yang merupakan hasil utama hutan,
serta berbagai hasil hutan ikutan, seperti rotan, getah, buah-
buahan, madu dan lain-lain;
2. Manfaat tidak langsung adalah manfaat yang tak langsung
dinikmati oleh masyarakat, tetapi yang dapat dirasakan adalah
keberadaan hutan itu sendiri, seperti dapat mengatur tata air,
dapat mencegah terjadinya erosi, dan lain-lain.

Pada Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 UU Kehutanan, ditentukan

empat jenis hutan, yaitu berdasarkan: (1) Hutan berdasarkan statusnya,

(2), Hutan berdasarkan fungsinya, (3) Hutan berdasarkan tujuan khusus,

dan (4) Hutan berdasarkan pengaturan iklim mikro, estetika, dan resapan

34
Abdul Muis Yusuf. Op.cit., Hal. 11.
35
Aman Gane. Op.cit., Hal. 317.
36
Salim H.S. 2003. Dasar-dasar Hukum Kehutanan. Sinar Grafika. Jakarta. Hal.
46.

30
air.37 Adapun uraian terkait jenis-jenis hutan tersebut di atas adalah

sebagai berikut:

1. Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:38

a. Hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara

yang diserahkan pengelolannya kepada masyarakat hukum

adat (rechtsgemeenschap). Hutan adat tersebut sebelumnya

disebut hutan rakyat, hutan marga, hutan pertuanan, atau

sebutan lainnya. Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat

dimasukkan di dalam pengertian hutan negara sebagai

konsekuensi adanya hak menguasai oleh Negara sebagai

organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan yang

tertinggi dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan

negara, tidak meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat

sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya,

untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan. Hutan negara

yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan

desa disebut hutan desa. Hutan negara yang pemanfaatan

utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat disebut

hutan kemasyarakatan. Hutan adat ditetapkan sepanjang

menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang

bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila


37
Jimmy Henry. Op.cit., Hal. 4.
38
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 5 dan
Penjelasan Pasal 5.

31
dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang

bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat

kembali kepada Pemerintah.

b. Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik

lazim disebut hutan rakyat.

2. Hutan berdasarkan fungsinya terdiri dari:39

a. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas

tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan

keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

b. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi

pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan

untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,

mencegah instrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

c. Hutan produksi adalah kawasan hidup yang mempunyai fungsi

pokok memperoduksi hasil hutan.

3. Hutan untuk tujuan tertentu khusus

adalah penggunaan hutan untuk keperluan penelitian dan

pengembangan, pendidikan dan latihan, serta kepentingan-

kepentingan religi dan budaya setempat. Kawasan hutan dengan

tujuan khusus tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan.40

4. Hutan untuk pengaturan iklim mikro estetika dan resapan air

39
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 6 ayat (2)
dan Pasal 1 angka 7, 8 dan 9.
40
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 8 dan
Penjelasan Pasal 8.

32
Untuk kepentingan pengaturan iklim mikro estetika, dan resapan air,

di setiap kota ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota. Hutan

kota dapat berada pada tanah negara maupun tanah hak di wilayah

perkotaan dengan luasan yang cukup dalam suatu hamparan lahan.

Wilayah perkotaan merupakan kumpulan pusat-pusat permukiman

yang berperan di dalam suatu wilayah pengembangan dan atau

wilayah nasional sebagai simpul jasa atau suatu bentuk ciri

kehidupan kota. Dengan demikian wilayah perkotaan tidak selalu

sama dengan wilayah administratif Pemerintahan kota. Ketentuan

teknis terkait hutan kota ditetapkan berdasarkan Peraturan

Pemerintah yang selanjutnya akan menjadi pedoman dalam

penetapan Peraturan Daerah.41 Adapun Peraturan Pemerintah

tentang kebijaksanaan teknis pembangunan hutan kota memuat

aturan antara lain:

a. tipe hutan kota,

b. bentuk hutan kota,

c. perencanaan dan pelaksanaan,

d. pembinaan dan pengawasan,

e. luas proporsional hutan kota terhadap luas wilayah, jumlah

penduduk, tingkat pencemaran, dan lain-lain.42

41
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 9 dan
Penjelasan Pasal 9.
42
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 9 dan
Penjelasan Pasal 9.

33
D. Perhutanan Sosial

Prinsip utama dalam program perhutanan sosial adalah

menempatkan masyarakat sebagai pemegang peran sentral dalam

pengelolaan hutan. Penempatan masyarakat sebagai titik sentral dalam

pengelolaan hutan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat yang

bermukim di dalam maupun di sekitar hutan. Pelibatan masyarakat secara

tidak langsung ikut serta membantu pemerintah dalam upaya menjaga

kelestarian hutan yang berkelanjutan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 64 Peraturan Pemerintah

Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan (PP No. 23

Tahun 2021) bahwa Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan Hutan

lestari yang dilaksanakan dalam Kawasan Hutan Negara atau Hutan

Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat setempat atau

Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan

kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya

dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman

Rakyat, Hutan Adat, dan kemitraan Kehutanan.43 Pengelolaan Perhutanan

Sosial dapat diberikan kepada:44

1. Perseorangan;

2. kelompok tani Hutan; dan

3. Koperasi.

43
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan
Kehutanan. Pasal 1 angka 64.
44
Ibid. Pasal 209.

34
Perhutanan Sosial atau social forestry adalah satu jenis program

pembangunan dan pengamanan hutan yang khas, baik ditinjau dari sudut

dasarnya (rationale), cara pelaksanaannya (procedures), maupun

tujuannya (objectives). Menurut Wirjodarmodjo & Perum Perhutani

mengemukakan bahwa program perhutanan sosial dilancarkan atas suatu

kenyataan yang muncul di Indonesia dan Negara-negara dunia ketiga

secara umum, yaitu begitu berat tekanan sosial dan ekonomi yang

dibebankan oleh masyarakat desa terhadap hutan. Di berbagai tempat di

Indonesia, terlihat pembukaan dan penanaman tanah hutan negara

secara ilegal oleh penduduk desa. Sementara itu manajemen kehutanan

yang dijalankan selama ini dirasakan masih bersifat umum, belum

menggunakan strategi khusus untuk menangani kawasan hutan rawan. 45

Prosedur yang khas dari program perhutanan sosial terletak pada

pengikutsertaan masyarakat dalam program tersebut yang populer pada

masa kini disebut dengan istilah pendekatan Participatory Rural Appraisal.

Partisipatory Rural Appraisal memugkinkan masyarakat setempat mampu

untuk melaksanakan analisis tentang diri mereka sendiri serta dapat

memiliki kemampuan untuk merencanakan dan mengambil keputusan.

Adapun tujuan khas dari perhutanan sosial adalah memberikan pelayanan

terhadap keperluan ekonomi masyarakat setempat, dengan tetap

memperhatikan pemenuhan fungsi-fungsi kehutanan dankepentingan

45
Muslimin. 2020. Perhutanan Sosial: Respons Dan Dampak Sosial Budaya
Masyarakat Desa Kahayya Terhadap Perubahan Pengelolaan Hutan Di Kabupaten
Bulukumba. Skripsi. Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin. Makassar. Hal. 18.

35
negara akan hutan. Program perhutanan sosial di Indonesia

mengalokasikan 12,7 juta Ha untuk perhutanan sosial melalui 5 kategori

yaitu:46

Tabel 1: Kategori dan Status Perhutanan Sosial47

Kategori Lokasi Bentuk Pemberi Pemohon Status dan


Perhutanan Hak / Hak / Izin Jangka
Sosial Izin Waktu
Hutan Adat Wilayah Hutan Menteri Masyarakat Hak
Adat di Hak LHK Adat Menguasai /
Luar Hak Milik
Hutan
Negara
Hutan Desa HP & HPHD Menteri Koperasi Desa 35 Tahun
HL LHK / / BUMDes dan dapat
Gurbernur diperpanjang
Hutan HP & IUPHK Menteri Kelompok
Kemasyarakatan HL m LHK / Masyarakat /
Gurbernur Koperasi
Hutan Tanaman HP IUPHK- Menteri Perseorangan
Rakyat HTR LHK / / Kelompok /
Gurbernur Koperasi
Kemitraan HP, HL Kesepa - Masyarakat
Kehutanan & HK katan Setempat /
Kelompok
Walaupun demikian menurut Sumanto, perhutanan sosial sebagai

salah satu kebijakan pengelolaan hutan pada dasarnya sangat berpotensi

terjadinya konflik vertikal maupun horizontal, seperti dikotomi ruang

lingkup pengelolaan kawasan hutan. Selain itu potensi konflik tersebut

juga dapat disebabkan oleh fakta historis pengelolaan hutan di pulau jawa

maupun di luar pulau jawa seperti klaim lahan ulayat, kelangkaan sumber

daya alam serta adanya perbedaan kepentingan antara aktor yang terlibat

dalam pelaksanaan program perhutanan sosial. 48

46
Ibid. Hal. 19.
47
Ibid.
48
Ibid. Hal. 19-20.

36
Program pemberdayaan melalui skema perhutanan sosial pada

dasarnya merupakan salah satu strategi untuk meresolusi konflik dalam

masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya justru terdapat unsur konflik

yang disebabkan oleh, kebijakan program yang bersifat sentralistik,

tahapan pemberdayaan masyarakat yang masih sangat prosedural dan

penerapan batas-batas kawasan hutan yang dapat dikelola dan yang

tidak, serta aturan dan penetapan stakeholders hingga saat ini belum juga

menjadi prioritas dalam perencanaan dan dalam kerangka program

pemberdayaan melalui skema perhutanan sosial.49

Berdasarkan ketentuan Pasal 203 PP No. 23 Tahun 2021 bahwa

Pemanfaatan Hutan melalui pengelolaan Perhutanan Sosial di dalam

Kawasan Hutan Negara dan Hutan Adat dilaksanakan untuk mewujudkan

kelestarian Hutan, kesejahteraan Masyarakat, keseimbangan lingkungan,

dan menampung dinamika sosial budaya, diperlukan pemberian

persetujuan, pengakuan, dan peningkatan kapasitas kepada Masyarakat.

Adapun menurut ketentuan Pasal 204 PP No. 23 Tahun 2021 bahwa

Pengelolaan perhutanan sosial terdiri atas:

1. Hutan Desa adalah Kawasan Hutan yang belum dibebani izin,


yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan
desa (Pasal 1 angka 68 PP No. 23 Tahun 2021).
2. Hutan Kemasyarakatan adalah Kawasan Hutan yang
pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan
Masyarakat (Pasal 1 angka 66 PP No. 23 Tahun 2021).
3. Hutan Tanaman Rakyat adalah Hutan tanaman pada Hutan
Produksi yang dibangun oleh kelompok Masyarakat untuk
meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan

49
Ibid. Hal. 20.

37
menerapkan silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian
sumber daya Hutan (Pasal 1 angka 67 PP No. 23 Tahun 2021).
4. Hutan Adat adalah Hutan yang berada dalam wilayah
Masyarakat Hukum Adat (Pasal 1 angka 7 PP No. 23 Tahun
2021).
5. Kemitraan Kehutanan diberikan dalam bentuk kemitraan
konservasi [Pasal 204 ayat (2) PP No. 23 Tahun 2021].

Jangka waktu pengelolaan Perhutanan Sosial selain Hutan Adat

berdasarkan ketentuan Pasal 210 ayat (2) PP No. 23 Tahun 2021

diberikan paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang.

Kegiatan pengelolaan Perhutanan Sosial berdasarkan Pasal 207 ayat (1)

PP No. 23 Tahun 2021 meliputi:

1. Penataan areal dan penyusunan rencana;


2. Pengembangan usaha;
3. Penanganan konflik tenurial;
4. Pendampingan; dan
5. Kemitraan lingkungan.

Pemegang persetujuan Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan

Hutan Tanaman Rakyat memiliki kewajiban berdasarkan Pasal 212 ayat

(1) PP No. 23 Tahun 2021:

1. Melaksanakan pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip


pengelolaan hutan lestari yang dituangkan dalam peraturan
desa;
2. Menjaga arealnya dari perusakan dan pencemaran lingkungan;
3. Memberi tanda batas areal kerjanya;
4. Menyusun rencana pengelolaan hutan, rencana kerja usaha,
dan rencana kerja tahunan, serta menyampaikan laporan
pelaksanaannya kepada pemberi persetujuan pengelolaan
hutan desa;
5. Melakukan penanaman dan pemeliharaan hutan di areal
kerjanya;
6. Melaksanakan penatausahan hasil hutan;
7. Membayar pnbp dari hasil kegiatan pengelolaan perhutanan
sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
8. Melaksanakan perlindungan hutan.

38
Pemegang persetujuan Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan

Hutan Tanaman Rakyat memiliki pantangan atau larangan berdasarkan

Pasal 212 ayat (2) PP No. 23 Tahun 2021:

1. Memindahtangankan persetujuan pengelolaan perhutanan


sosial;
2. Menanam kelapa sawit pada areal persetujuan pengelolaan
perhutanan sosial;
3. Mengagunkan areal persetujuan pengelolaan perhutanan
sosial;
4. Menebang pohon pada areal persetujuan pengelolaan
perhutanan sosial dengan fungsi hutan lindung;
5. Menggunakan peralatan mekanis pada areal persetujuan
pengelolaan perhutanan sosial dengan fungsi hutan lindung;
6. Membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang
alam pada areal persetujuan pengelolaan perhutanan sosial
dengan fungsi hutan lindung;
7. Menyewakan areal persetujuan pengelolaan perhutanan sosial;
dan/atau
8. Menggunakan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial
untuk kepentingan lain.

Model perhutanan sosial yang diterapkan oleh pemerintah menurut

Alfitri setidaknya melibatkan tiga unsur yaitu, (1) pemerintah desa dan

pemerintah kabupaten, (2) kelembagaan terkait seperti kelompok tani

hutan serta, (3) unsur masyarakat sebagai pelaksana program perhutanan

sosial. Pengembangan perhutanan sosial dalam pengelolaan hutan

sejatinya harus dapat mengubah paradigm berpikir dalam pemberdayaan

yang pada awalnya bersifat top down menjadi bottom up dan

mengutamakan partisipasi masyarakat setempat. Berikut strategi pokok

pengembangan perhutanan sosial (social forestry) yaitu:50

50
Muslimin. Op.cit. Hal. 20-21.

39
1. Kelola kawasan merupakan kegiatan prakondisi yang dilakukan
sebagai rangkaian untuk mendukung pelaksanaan program
perhutanan sosial dengan tujuan optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya hutan dengan tetap menjaga kelestariannya.
2. Kelola kelembagaan yang bertujuan untuk mengoptimalisasi
pelaksanaan program perhutanan sosial melalui serangkaian
kegiatan seperti penguatan peran organisasi, peningkatan
kapasitas sumber daya manusia (SDM) serta penetapan aturan
yang ketat.
3. Kelola usaha dalam areal kerja perhutanan sosial dimaksudkan
untuk mendukung pertumbuhan dan pengembangan usaha
untuk kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar
kawasan hutan melalui kemitraan dengan tetap bertanggung
jawab terhadap kesejahteraan masyarakat.

40
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Adapun Tipe penelitian yang digunakan penulis dalam penyusunan

skripsi ini adalah penelitian empiris. Metode penelitian hukum empiris

ialah suatu mtode penelitian yang berfungsi untuk dapat melihat hukum

dalam artian nyata serta meneliti bagaimana bekerjanya hukum di

lingkungan masyarakat.51 Adapun sifat penelitian yang digunakan adalah

penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan

secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok

tertentu, atau utuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk

menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala

lain dalam masyarakat.52

B. Lokasi Penelitian

Pada penyusunan skripsi ini, penelitian dilakukan dengan mengambil

lokasi penelitian di Kabupaten Bulukumba khususnya pada Kecamatan

Bulukumpa Kelurahan Jawi-Jawi. Adapun alasan penulis mengambil

lokasi penelitian tersebut dikarenakan tanah perhutanan sosial yang

hendak diteliti berada ditempat tersebut.

51
Irwansyah. 2020. Penelitian Hukum. Pilhan Metode & Prktik Penulisan Artikel.
Edisi Revisi. Yogyakarta. Mirra Buana Media. Hal. 174.
52
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2014. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Jakarta. Rajawali Pers. Hal. 25.

41
C. Jenis dan Sumber Data

Adapun jenis dan sumber data yang penulis gunakan dalam

penelitian ini yakni:

1. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh lansung dari sumber

pertama.53

2. Data Sekunder

Data sekunder yakni mencakup dokumen-dokumen resmi.54

Dokumen resmi yang dimaksud adalah dokumen-dokumen yang

ditemukan di lapangan yang terkait dengan isu penelitian.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang

bermukim di atas kawasan hutan di kelurahan jawi-jawi.

2. Sampel

Sampel pada penulisan ini di lakukan dengan mengambil

subjek dengan tujuan tertentu, yang dianggap dapat

memberikan informasi melalui teknik wawancara. Adapun

sampel dari penelitian ini terdiri dari:

1) Pejabat Badan Pertanahan Nasional

53
Ibid. Hal. 30.
54
Ibid.

42
2) Pejabat Pemerintah Kelurahan Jawi-jawi, Kecamatan

Bulukumpa. Terdiri dari lurah Kelurahan Jawi-jawi serta

Kepala Lingkungan Bunga Harapan.

3) Masyarakat yang bermukim dalam kawasan hutan

lindung.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah

Penelitian Kepustakaan (library research) dan peelitian lapangan (field

research).

1. Penelitian Lapangan (field research)

Dalam melakukan Penelitian Lapangan (field research) penulis

menggunakan metode wawancara secara lansung kepada para

pihak informan terkait yakni pada Kantor Badan Pertanahan Nasional

dan masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi. Adapun pihak yang terkait

yang diwawancarai adalah:

1) Koordinator Subseksi Pemeliharaan Data Hak Tanah &

Pembinaan PPAT Kantor Pertanahan Nasional Bulukumba;

2) Muh. Ali selaku Ketua Kelompok Tani Hutan Bunga Harapan

Pada Kelurahan Jawi-Jawi; dan

2. Penelitian Kepustakaan (library research)

Dalam melakukan penelitian kepustakaan (library research) penulis

melakukan pengkajian dan mengolah data-data tersebut dalam

dokumen-dokumen resmi, peraturan perundang-undangan, jurnal

43
dan kajian-kajian ilmiah serta buku-buku yang berhubungan dengan

permasalahan termasuk mengumpulkan data melalui media

elektronik dan media-media informasi lainnya.

F. Analisis Data

Data-data yang diperoleh baik itu data primer maupun data sekunder

diolah dan dianalisis secara sistematis, faktual dan akurat kemudian

disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan

menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya

dengan penelitian ini.

44
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 21

Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bulukumba

Tahun 2012-2032 jumlah luas kawasan hutan lindung yang ada di

Kabupaten Bulukumba mencapai 7.849,89 Ha. Hutan Lindung tersebut

terdiri dari Hutan Lindung Lompobattang dengan luas kawasan 3.392,58

Ha, hutan lindung Sungai Bijawang 337,48 Ha, Hutan Lindung Balang

Pesoang seluas 648,88 Ha, kawasan hutan Bontobahari seluas 802,00

Ha, dan Kawasan Pengembangan hutan lindung seluas 2.666,95 Ha.

Hutan lindung tersebut terletak di beberapa Kecamatan yang kemudian

tersebar di wilayah tingkat Kelurahan dan Desa.55

Hutan Lindung yang terdapat pada Kecamatan Bulukumpa

dinamakan Hutan Lindung Balang Pesoang dengan luas sekitar 648,88

Ha, terletak pada beberapa wilayah kelurahan/desa, yakni di Kelurahan

Jawi-jawi, Desa Tibona, dan Desa Balang Pesoang. Untuk kawasan

Hutan Lindung yang terletak di Kelurahan Jawi-jawi, pada tanggal 19

Agustus 2019 diberikan Izin Hutan Kemasyarakatan (HKM) oleh

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan SK Menteri LHK

No. SK. 6877/MENLHK- PSKL/PKPS/PSL.0/8/2019 tentang Pemberian

IUPHKm kepada Kelompok Tani Hutan (KTH) Bunga Harapan seluas ±


55
Lampiran II.10 Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 21 Tahun 2012
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bulukumba Tahun 2012-2032.

45
153 Ha pada kawasan Hutan Lindung di Kelurahan Jawi-Jawi Kecamatan

Bulukumpa Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan.

Namun, pada kawasan hutan lindung dengan izin HKm ini, terdapat

pemukiman bernama kampung Bunga Harapan atau saat ini disebut

dengan jalan Bunga Harapan yang mana permukiman tersebut masuk

pada wilayah administrasi Kecamatan Bulukumpa, Kelurahan Jawi-Jawi,

Lingkungan Kampung Baru, RT 003, RW 002. Berdasarkan pendataan

rutin yang sementara dilakukan oleh Kepala Lingkungan Kampung Baru,

saat ini jumlah masyarakat Kampung Bunga Harapan diperkirakan

berjumlah 300 jiwa, yang terdiri dari 100 kepala keluarga. Masyarakat

merasa berhak untuk bermukim, karena hampir seluruh masyarakat yang

bermukim dikenakan PBB-P2.56 Adapun yang dimaksud PBB-P2

merupakan pajak yang dipungut atas tanah dan atau bangunan karena

adanya kedudukan sosial ekonomi atau badan yang mempunyai hak atas

manfaat bumi dan atau bangunan.57

Tercatat terdapat 340 objek pajak PBB-P2 yang terdaftar dalam

kawasan tersebut. PBB-P2 merupakan pajak daerah yang masuk ke kas

daerah melalui Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Bulukumba yang

56
Aqila. 2022. “Pengenaan Pajak Bumi Dan Bangunan Terhadap Hutan
Kemasyarakatan (Studi Kasus Di Kecamatan Bulukumpa)”. Skripsi. Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin. Makassar. Hal. 74.
57
Nanik Ermawati dan Amin Kuncoro. “Analisis Efektivitas dan Kontribusi Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) terhadap Pendapatan Asli
Daerah (PAD) Kabupaten Jember”. Jurnal STIE Semarang. Vol. 9. Nomor 1 Februari
2017. Hal. 83.

46
saat ini telah dilebur ke Badan Pengelolaan Keuangan daerah pada

Bidang Pendataan dan Pengembangan Pendapatan Daerah.58

Gambar 1.

Peta Kawasan Hutan Jawi-Jawi59

58
Aqila, 2022, “Pengenaan Pajak Bumi Dan Bangunan Terhadap Hutan
Kemasyarakatan (Studi Kasus Di Kecamatan Bulukumpa)”, Skripsi, Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin Makassar, Hal. 74.
59
Ibid. Hal 74.

47
B. Alas Hak Masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi Dalam Melakukan

Penguasaan Terhadap Tanah Perhutanan Sosial di Kecamatan

Bulukumpa

Tanah pada konteks pembahasan ini bukan mengatur tanah dalam

segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu

tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak.60 Hak atas tanah adalah

hak atas bagian tertentu permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua

dengan ukuran panjang dan lebar. Dengan demikian, maka yang dipunyai

dengan hak atas tanah itu adalah tanahnya, dalam arti bagian tertentu dari

permukaan bumi. Namun, wewenang menggunakan tanah pada hak

tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan sebagian tubuh bumi

yang ada di bawahnya, air dan ruang yang ada di atasnya. Hak atas tanah

merupakan hak yang memberi wewenang kepada yang mempunyai hak

untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah tersebut.61

Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang

berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi

pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki.

Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan

isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok pembeda

diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum

60
Urip Santoso I. Op.cit. Hal. 9.
61
Urip Santoso II. Op.cit. Hal. 49.

48
tanah.62 Untuk dapat membuktikan hak atas tanah, maka diperlukan suatu

bukti hak atas tanah.

Bukti hak atas suatu tanah adalah hal yang sangat penting bagi

masyarakat, karena merupakan dokumen sebagai pembuktian atas

kepemilikan suatu tanah yakni sertifikat. Kepemilikan atas suatu tanah

telah diatur pada Pasal 4 ayat (1) UUPA bahwa:

“Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud


dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada
dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain serta badan-badan hukum.”

Adapun macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada

setiap orang dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA terdiri dari:

a. Hak milik;
b. Hak guna-usaha;
c. Hak guna-bangunan;
d. Hak pakai;
e. Hak sewa;
f. Hak membuka tanah;
g. Hak memungut hasil hutan;
h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di
atas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-
hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam
Pasal 53.

Macam-macam hak atas tanah berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UUPA

memiliki perbedaan karakteristik masing-masing. Perbedaan tersebut

dapat terlihat dari subjek, objek, jangka waktu penguasaan, dan

kewenangan penggunaan atas objek tanah tersebut.

62
Boedi Harsono. 2007. Hukum Agrarian Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaanya. Djambatan. Jakarta. Hal. 283.

49
Berdasarkan ketentuan Pasal 54 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria

Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia

No. 18 Tahun 2021 tenang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan Dan

Hak Atas Tanah diatur terkait syarat permohonan hak milik yang berasal

dari tanah negara, yakni:

1. Mengenai pemohon:
a. Identitas pemohon, atau identitas pemohon dan kuasanya
serta surat kuasa apabila dikuasakan;
b. Dalam hal pemohon badan hukum yang ditetapkan oleh
pemerintah:
1) Akta pendirian dan perubahan terakhir beserta
pengesahannya dari instansi yang berwenang atau
peraturan pendirian perusahaan;
2) Nomor induk berusaha dari online single submission
(oss)/tanda daftar perusahaan (tdp)/tanda daftar
yayasan (tdy);
3) Surat keputusan penunjukan sebagai badan hukum
yang dapat mempunyai hak milik, untuk badan
keagamaan dan badan sosial yang ditunjuk oleh
pemerintah; dan/atau
4) Izin perolehan tanah;
2. Mengenai tanahnya:
a. Dasar penguasaan atau bukti haknya berupa:
1) Sertipikat, akta pemindahan hak, akta/surat bukti
pelepasan hak, surat penunjukan atau pembelian
kaveling, surat bukti pelunasan tanah dan rumah
dan/atau tanah yang telah dibeli dari pemerintah,
risalah lelang, putusan pengadilan atau surat bukti
perolehan tanah lainnya; atau
2) Dalam hal bukti kepemilikan tanah sebagaimana
dimaksud dalam huruf
3) Tidak ada maka penguasaan fisik atas tanah dimuat
dalam surat pernyataan penguasaan fisik bidang
tanah yang disaksikan paling sedikit 2 (dua) orang
saksi dari lingkungan setempat yang mengetahui
riwayat tanah dan tidak mempunyai hubungan
keluarga serta diketahui kepala desa/lurah setempat
atau nama lain yang serupa dengan itu;
b. Peta bidang tanah;
c. Bukti perpajakan yang berkaitan dengan tanah yang
dimohon, apabila ada;

50
d. Surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah dan
bertanggung jawab secara perdata dan pidana yang
menyatakan bahwa:
1) Tanah tersebut adalah benar milik yang
bersangkutan bukan milik orang lain dan statusnya
merupakan tanah negara;
2) Tanah tersebut telah dikuasai secara fisik;
3) Penguasaan tanah dilakukan dengan iktikad baik
dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai
yang berhak atas tanah;
4) Perolehan tanah dibuat sesuai data yang
sebenarnya dan apabila ternyata di kemudian hari
terjadi permasalahan menjadi tanggung jawab
sepenuhnya yang bersangkutan dan tidak akan
melibatkan kementerian;
5) Tidak terdapat keberatan dari pihak lain atas tanah
yang dimiliki atau tidak dalam keadaan sengketa;
6) Tidak terdapat keberatan dari pihak kreditur dalam
hal tanah dijadikan/menjadi jaminan sesuatu utang;
7) Tanah tersebut bukan aset Pemerintah Pusat/
Pemerintah Daerah atau aset BUMN/BUMD;
8) Tanah yang dimohon berada di luar kawasan hutan
dan/atau di luar areal yang dihentikan perizinannya
pada hutan alam primer dan lahan gambut;
9) Bersedia untuk tidak mengurung/menutup
pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas
umum, akses publik dan/atau jalan air; dan bersedia
melepaskan tanah untuk kepentingan umum baik
sebagian atau seluruhnya.

Dari ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa bukti hak untuk

melakukan penguasaan atas tanah dapat didasarkan pada Sertipikat, akta

pemindahan hak, akta/surat bukti pelepasan hak, surat penunjukan atau

pembelian kaveling, surat bukti pelunasan tanah dan rumah dan/atau

tanah yang telah dibeli dari pemerintah, risalah lelang. Bukti hak dalam hal

ini menjadi alat bukti dasar seseorang terkait hubungan hukum antara

dirinya dengan hak yang melekat atas tanah. Oleh karenanya sebuah

bukti hak setidak-tidaknya harus mampu menjabarkan kaitan hukum

51
antara subjek hak (individu atau badan hukum) dengan suatu objek hak

(satu atau beberapa bidang tanah) yang dikuasai secara jelas agar tidak

terjadi ketimpangan antara bukti hak yang satu dengan bukti hak lain.

Seperti yang banyak terjadi saat ini, yakni dalam suatu objek tanah

terdapat beberapa bukti hak atau sertifikat, sehingga terjadi ketidakpastian

terhadap subjek hukum selaku pemilik bukti hak. Dalam artian sebuah

bukti hak sudah seharusnya dapat menceritakan secara lugas, jelas, dan

tegas tentang detail kronologis bagaimana seseorang dapat menguasai

suatu bidang tanah sehingga jelas riwayat atas kepemilikan terhadap

tanah tersebut.63

Bukti kepemilikan pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas

nama pemegang hak pada waktu berlakunya UUPA dan apabila hak

tersebut kemudian beralih, bukti peralihan hak berturut-turut sampai ke

tangan pemegang hak pada waktu dilakukan pembukuan hak. Bukti hak

berfungsi sebagai dokumen legal untuk pembuktian atas hak suatu

tanah.64 Adapun regulasi yang menjadi dasar untuk memperoleh suatu

bukti hak atas tanah adalah Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah yang telah diubah oleh Peraturan Pemerintah

No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan

Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.

63
Nadika Riski Afiah. 2022. “Alas Hak Pemanfaatan Pulau Khayangan Di Kota
Makassar Oleh PT Putra Putra Nusantara”. Skripsi. Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin. Hal. 17.
64
Ibid.

52
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Penulis berpandangan

bahwa bukti hak merupakan dasar yang dimiliki setiap subjek hukum

untuk dapat melakukan perbuatan hukum terhadap objek tanah. bukti hak

berfungsi sebagai dasar pembuktian terhadap penguasaan objek tanah

oleh subjek hukum baik orang perorangan maupun badan hukum serta

berfungsi sebagai dasar hubungan hukum antara subjek hukum dengan

tanah yang dikuasainya.

Pada penelitian ini, bukti hak merupakan objek kajian utama, yakni

berkaitan dengan bukti hak yang dimiliki oleh masyarakat Kelurahan Jawi-

Jawi dalam melakukan penguasaan terhadap tanah perhutanan sosial di

Kecamatan Bulukumpa. Hal tersebut sejalan dengan permasalahan yang

telah diuraikan pada latar belakang masalah yakni terdapat

ketidaksesuaian dalam penguasaan perhutanan sosial khususnya yang

terdapat pada Kabupaten Bulukumba. Bahwa pada Kabupaten

Bulukumba, wilayah perhutanan sosial khususnya yang berada pada

Kecamatan Bulukumpa, Kelurahan Jawi-Jawi telah dikuasai oleh

masyarakat sejak tahun 1979. Penguasaan perhutanan sosial tersebut

dilakukan oleh kelompok tani di Kelurahan Jawi-Jawi.

Akan tetapi timbul permasalahan yang dalam hal ini terdapat

beberapa masyarakat yang telah membuat sertifikat hak milik atas tanah

perhutanan sosial tersebut, padahal berdasarkan Pasal 210 Peraturan

Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan

yang telah diuraiakan di atas pengelolaan tanah perhutanan bukan

53
merupakan hak kepemilikan tetapi hanya pengelolaan untuk

dimanfaatkan.

Berdasarkan permasalahan tersebut, Penulis telah melakukan

penelitian berupa wawancara dan pengumpulan data kepada pihak terkait

yakni Kantor Pertanahan Nasional Kabupaten Bulukumba dan Ketua

Kelompok Tani Hutan Bunga Harapan yang berada pada Kelurahan Jawi-

Jawi, dan Kepala Kelurahan Jawi-Jawi. Pada penelitian tersebut, Muh. Ali

menyatakan bahwa pada awalnya wilayah tersebut adalah kawasan

hutan, kemudian pada tahun 1979 masyarakat melakukan pembukaan

hutan dengan cara dibabat. Selanjutnya, pada tahun 1980 masyarakat

mulai menduduki hutan yang telah dibabat, hingga akhirnya sampai

dengan saat ini telah terdapat 100 kepala keluarga yang bermukim di atas

tanah kawasan hutan.65

Selanjutnya, Muh. Ali juga menyampaikan bahwa masyarakat yang

bermukim di atas tanah hutan tersebut melakukan pengurusan sertifikat

hak milik atas bagian tanah hutan tersebut. Pembuatan sertifikat hak milik

tersebut dilakukan oleh 35 (tiga puluh lima) pemohon di atas bagian tanah

kawasan hutan seluas 153 Ha. Oleh karena itu, saat ini telah ada 35 (tiga

puluh lima) sertifikat hak milik yang diterbitkan pada tahun 1991 di atas

sebagian tanah hutan tersebut.66

Muh. Ali mengungkapkan bahwa pendaftaran sertifikat hak milik atas

tanah hutan tersebut dilakukan melalui program Proyek Operasi Nasional


65
Wawancara. Muh. Ali selaku Ketua Kelompok Tani Hutan Bunga Harapan Pada
Kelurahan Jawi-Jawi. 12 Mei 2022.
66
Ibid.

54
Agraria (PRONA).67 PRONA adalah legalisasi aset tanah atau proses

administrasi pertanahan, mulai dari ajudikasi, pendaftaran tanah, hingga

penerbitan sertifikat tanah. Program ini diselenggarakan oleh Kementerian

ATR/BPN.68 Pendaftaran sertifikat tanah melalui PRONA tersebut juga

dibenarkan oleh Nurul Muhlisah MS.69

Kepemilikan sertifikat hak milik oleh 35 (tiga puluh lima) orang di atas

tanah hutan tersebut dijamin kebenarannya oleh Muh. Ali dikarenakan ia

juga merupakan salah satu dari 35 (tiga puluh lima) orang yang memiliki

sertifikat di atas tanah hutan tersebut. Namun, demi kerahasiaan informasi

kepada publik, termasuk kerahasiaan kepada pemerintah, Penulis tidak

diperlihatkan secara fisik terkait keberadaan sertifikat tersebut. Hal itu

dikarenakan masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan

Bunga Harapan telah sepakat agar tidak ada pihak yang mengungkapkan

sertifikat yang telah dibuat secara bersama melalui program PRONA pada

tahun 1991.

Berdasarkan informasi dari Muh. Ali bahwa 35 (tiga puluh lima)

masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi sepakat untuk tidak mengungkapkan

dan memperlihatkan kepada pemerintah (Kementerian Lingkungan Hidup

dan Kehutanan) terhadap sertifikat hak milik yang telah terbit di atas tanah

sebagian wilayah perhutanan sosial tersebut. Muh. Ali menjelaskan bahwa

67
Ibid.
68
CNN Indonesia. Mengenal Perbedaan Prona dan PTSL.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20211001114159-537-701986/mengenal-
perbedaan-prona-dan-ptsl. Diakses pada tanggal 25 Agustus 2022.
69
Wawancara. Nurul Muhlisah MS selaku Koordinator Subseksi Pemeliharaan
Data Hak Tanah & Pembinaan PPAT Kantor Pertanahan Nasional Bulukumba. 14 Mei
2022.

55
tujuan dari 35 (tiga puluh lima) masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi tidak

mengungkapkan terkait penerbitan sertifikat hak milik tersebut agar dapat

memperoleh bantuan berupa bibit dan pupuk dari pemerintah melalui

program izin pemanfaatan hutan kemasyarakatan (perhutanan sosial)

untuk ditanam di atas lahan tersebut.

Oleh karena itu, 35 (tiga puluh lima) masyarakat Kelurahan Jawi-

Jawi yang telah memiliki sertifikat hak milik juga masih ikut

bertandatangan dan terdaftar dalam bagian masyarakat yang memohon

untuk memperoleh izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan.

Padahal sebelum tanah tersebut ditetapkan sebagai wilayah hutan, 35

(tiga puluh lima) orang telah memiliki alas berupa sertifikat hak milik di

atas tanah tersebut. Artinya, 35 (tiga puluh lima) masyarakat Kelurahan

Jawi-Jawi seolah-olah tidak memiliki sertifikat untuk dapat memohon izin

pemanfaatan hutan kemasyarakatan (perhutanan sosial) kepada

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Hal ini dapat dilihat dari terbitnya Surat Keputusan Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK.6877/MENLHK-

PKPS/PSL.0/8/2019 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hutan

Kemasyarakatan Kepada Kelompok Tani Hutan Bunga Harapan Seluas

±153 Ha (Seratus Lima Puluh Tiga) pada Kawasan Hutan Lindung (HL) di

Kelurahan Jawi-Jawi Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bulukumba

Provinsi Sulawesi Selatan (SK Menteri LHK No. SK.6877/MENLHK-

PKPS/PSL.0/8/2019). Pada SK Menteri LHK No. SK.6877/MENLHK-

56
PKPS/PSL.0/8/2019 terdaftar sebanyak 67 (enam puluh tujuh) orang

anggota Kelompok Tani Hutan Bunga Harapan dengan Ketua adalah

Muh. Ali telah memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hutan

Kemasyarakatan, padahal pada faktanya, 35 (tiga puluh lima) orang dari

67 (enam puluh tujuh) orang tersebut telah memiliki sertifikat hak milik di

atas sebagian wilayah hutan tersebut.

Adapun salah satu sertifikat hak milik atas tanah dalam wilayah

perhutanan sosial yang dapat ditemukan dalam penelitian Penulis adalah

Sertifikat Hak Milik No. 801 atas nama Mappiare yang diterbitkan pada

tanggal 4 Februari tahun 1991. Sertifikat hak milik tersebut merupakan

salah satu bukti nyata bahwa di atas tanah hutan, sebagian wilayah

benar-benar telah diterbitkan sertifikat hak milik. Sertifikat Hak Milik No.

801 tersebut meliputi luas 10.240 M2 dengan keadaan tanah yaitu

“sebidang tanah untuk kebun”.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa bukti

hak yang dimiliki oleh 35 (tiga puluh lima) masyarakat Kelurahan Jawi-

Jawi dalam melakukan penguasaan terhadap tanah perhutanan sosial di

Kecamatan Bulukumpa adalah berupa sertifikat hak milik. Artinya, selain

dari 35 sertifikat tersebut, masyarakat yang bermukim di atas tanah

perhutanan sosial tidak memiliki bukti hak kepemilikan, melainkan

berstatus sebagai tanah perhutanan sosial atau izin usaha pemanfaatan

hutan kemasyarakatan.

57
Jika ditinjau dari kasus tersebut, maka hal ini merupakan konflik yang

akan berkepanjangan karena telah terjadi dualisme status hak. Dualisme

tersebut karena tanah tersebut telah didaftarkan dan diterbitkan sertifikat

hak milik atas nama 35 (tiga puluh lima) masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi

pada tahun 1991, sementara itu, pada objek yang sama yakni pada tahun

2009, tanah tersebut juga telah ditetapkan sebagai wilayah hutan

berdasarkan SK.434/Menhut-II/2009 tanggal 23 Juli 2009 terkait Kawasan

Hutan dan Konservasi Perairan di Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan,

seluas 3.879.771 Ha (tiga juta delapan ratus tujuh puluh sembilan ribu

tujuh ratus tujuh puluh satu hektare) termasuk wilayah hutan di Kelurahan

Jawi-Jawi seluas 153 Ha yang merupakan bagian wilayah hutan lindung di

Provinsi Sulawesi Selatan.70

Berdasarkan uraian di atas, maka Penulis berpandangan bahwa

terbitnya sertifikat hak milik di atas tanah wilayah perhutanan sosial

disebabkan oleh pemerintah yang belum pernah menetapkan wilayah

hutan pada Kelurahan Jawi-Jawi. Oleh karena itu masyarakat yang pada

saat itu telah membuka hutan pada tahun 1979, kemudian menduduki

pada tahun 1980, mengajukan pendaftaran hak milik atas tanah wilayah

hutan tersebut melalui program PRONA.

Sebagaimana fakta yang telah ada, bahwa penerbitan sertifikat hak

milik atas tanah dilakukan oleh 35 (tiga puluh lima) masyarakat pada

tahun 1991, sehingga untuk melihat dasar dari pendaftaran tersebut,

70
Ibid.

58
penulis akan melakukan analisis berdasarkan regulasi yang berlaku pada

saat itu, yakni Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang

Pendaftaran Tanah (PP No. 10 Tahun 1961).

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 PP No. 10 Tahun 1961 bahwa

“pendaftaran tanah diselenggarakan desa demi desa atau daerah-daerah

yang setingkat dengan itu”. Artinya, pendaftaran tanah diselenggarakan

secara serentak atau bersama-sama dalam 1 (satu) wilayah desa. Hal ini

sejalan dengan keterangan dari Muh. Ali bahwa pendaftaran tanah yang

dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi dilakukan melalui

program PRONA sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.

Selanjutnya, dalam Pasal 3 PP No. 10 Tahun 1961 diatur bahwa:

(1) Dalam daerah-daerah yang ditunjuk menurut Pasal 2 ayat (2)


semua bidang tanah diukur desa demi desa.
(2) Sebelum sebidang tanah diukur, terlebih dulu diadakan
a) penyelidikan riwayat bidang tanah itu; dan
b) penetapan batas-batasnya.

Dari ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa tanah hutan yang

didaftarkan oleh 35 (tiga puluh lima) masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi

belum memiliki status hak apapun termasuk ditetapkan oleh Pemerintah

sebagai tanah wilayah hutan. Oleh karena itu, setelah masyarakat

melakukan pembukaan hutan pada tahun 1979 kemudian melakukan

penguasaan pada tahun 1980, maka selama 11 (sebelas) tahun tersebut

masyarakat telah membangun pemukiman secara bersama-sama dan

membentuk sebuah desa, yang sebelumnya bernama Desa Tanete

59
(sebagaimana yang termuat pada sertifikat hak milik atas nama Mappiare

(terlampir) (saat ini disebut sebagai Kelurahan Jawi-Jawi).

Artinya, penerbitan sertifikat hak milik pada lahan hutan yang telah

menjadi pemukiman penduduk tersebut didasarkan pada penguasaan fisik

oleh masyarakat. Dalam hal ini sebelum sertifikat tersebut diterbitkan pada

tahun 1991, telah dilakukan pengukuran oleh Kantor Pertanahan Nasional

yang dilakukan pada 20 Februari 1989 yang termuat dalam Surat

Ukur/Gambar Situasi No. 245 tahun 1989 sebagai dasar penerbitan

sertifikat hak milik atas nama Mappiare (terlampir).

Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 4 PP No. 10 Tahun

1961 bahwa:

(1) Setelah pengukuran sesuatu desa selesai, maka dibuat peta-


peta pendaftaran yang memakai perbandingan.
(2) Peta itu memperlihatkan dengan jelas segala macam hak atas
tanah di dalam desa dengan batas-batasnya, baik yang
kelihatan maupun yang tidak.
(3) Selain batas-batas tanah pada peta itu dimuat pula nomor
pendaftaran, nomor buku tanah, nomor surat-ukur, nomor pajak
(jika mungkin), tanda batas dan sedapat-dapatnya juga
gedung-gedung, jalan-jalan, saluran air dan lain-lain benda
tetap yang penting.
Dari ketentuan Pasal 4 PP No. 10 Tahun 1961 tersebut di atas

bahwa setelah diukur, kemudian diterbitkan peta pendaftaran hak atas

tanah dalam desa Tanete (saat ini menjadi Kelurahan Jawi-Jawi) untuk

persiapan penerbitan sertifikat hak milik. Namun, sebelum penerbitan

sertifikat hak milik, diberikan kesempatan kepada pihak lain untuk

mengajukan keberatan jika di ia dapat membuktikan bahwa ia berhak atas

60
tanah yang didaftarkan tersebut. Hal tersebut diatur dalam Pasal 6 PP No.

10 Tahun 1961 bahwa:

(1) Setelah pekerjaan yang dimaksud dalam Pasal 3 dan 4 selesai,


maka semua peta dan daftar isian yang bersangkutan
ditempatkan di kantor Kepala Desa selama tiga bulan, untuk
memberi kesempatan kepada yang berkepentingan
mengajukan keberatan-keberatan mengenai penetapan batas-
batas tanah dan isi daftar-daftar isian itu.
(2) Mengenai keberatan yang diajukan dalam waktu yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dan yang oleh Panitia
dianggap beralasan, diadakan perubahan dalam peta maupun
daftar-isian yang bersangkutan.
(3) Setelah perubahan-perubahan yang dimaksud dalam ayat (2) di
atas selesai dikerjakan atau jika di dalam waktu tersebut dalam
ayat (1) tidak diajukan keberatan maka peta-peta dan daftar-
daftar isian itu disahkan oleh Panitia dengan suatu berita acara,
yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria.
Berdasarkan Pasal 6 PP No. 10 Tahun 1961 tersebut, diatur bahwa

tersedia waktu selama tiga bulan yang diberikan kepada pihak yang

berkepentingan untuk mengajukan keberatan atas pendaftaran tanah oleh

35 (tiga puluh lima) masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi. Menurut Penulis,

keberatan tersebut juga harusnya termasuk pada Kementerian yang

membidangi kehutanan pada saat itu, untuk mengklaim bahwa tanah yang

didaftarkan oleh masyarakat adalah tanah hutan. Namun, karena tidak

adanya keberatan dari pihak Kementerian yang membidangi kehutanan

pada saat itu, maka Kantor Pertanahan Nasional menerbitkan sertifikat

hak milik atas nama 35 (tiga puluh lima) orang masyarakat Kelurahan

Jawi-Jawi.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, masyarakat telah melakukan

proses pendafataran tanah sesuai dengan prosedur yakni dilaksanakan

61
secara bersama-sama dalam satu desa. Namun, karena pada saat itu,

wilayah hutan di Kelurahan Jawi-jawi belum ditetapkan, sehingga

masyarakat mendaftarkan tanah yang mereka kuasai dari hasil

pembukaan hutan pada tahun 1979.

Hal tersebut tentu berbeda jika diperbandingkan dengan ketentuan

saat ini, yakni tanah tersebut telah didaftarkan sebagai wilayah hutan.

Namun, problematikanya adalah bahwa tanah tersebut berstatus hak milik

perorangan sekaligus juga terdaftar sebagai wilayah hutan, sehingga perlu

adanya penyelesaian secara litigasi untuk mencapai titik keadilan agar

mengetahui siapa pihak yang benar-benar berhak atas tanah tersebut.

Hal ini tentu berbeda jika disandingkan dengan regulasi yang ada

saat ini bahwa tanah perhutanan sosial yang memperoleh izin pemafaatan

hutan kemasyarakatan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan adalah tidak dapat didaftarkan sebagai hak milik, karena izin

pemanfaatan memiliki jangka waktu, yakni berdasarkan ketentuan Pasal

210 PP No. 23 Tahun 2021 bahwa:

“Akses legal berupa persetujuan pengelolaan Perhutanan Sosial


dalam Kawasan Hutan diberikan oleh Menteri. Jangka waktu
pengelolaan Perhutanan Sosial selain Hutan Adat diberikan paling
lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang. Persetujuan
pengelolaan Perhutanan Sosial bukan merupakan hak kepemilikan
atas Kawasan Hutan”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 210 PP No. 23 Tahun 2021, dapat

dikatakan bahwa 35 sertifikat yang telah diterbitkan tersebut adalah

bertentangan dengan konsep pengelolaan perhutanan sosial yang bukan

merupakan kepemilikan atas kawasan hutan. Wilayah perhutanan sosial

62
pada dasarnya hanya diperuntukkan untuk meningkatkan kesejahteraan,

keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk

hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat,

dan kemitraan kehutanan. Pemanfaatan perhutanan sosial yang diberikan

kepada masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi bukanlah untuk dikonversi

menjadi hak milik.

C. Status Hukum Tanah Perhutanan Sosial Kecamatan Bulukumpa

yang Dikuasai Oleh Masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi

Konsep yang digagas dalam program perhutanan sosial adalah

memposisikan masyarakat sebagai pemeran sentral dalam pengelolaan

hutan. Masyarakat sebagai titik sentral dalam pengelolaan hutan bertujuan

untuk memberdayakan masyarakat yang bermukim di dalam maupun di

sekitar hutan. Pelibatan masyarakat secara tidak langsung ikut serta

membantu pemerintah dalam upaya menjaga kelestarian hutan yang

berkelanjutan.

Pengelolaan perhutanan sosial harus memperhatikan beberapa

prinsip yakni keadilan, keberlanjutan, kepastian hukum, partisipatif dan

bertanggung gugat. Kegiatan Perhutanan Sosial (social forestry)

didefinisikan sebagai bentuk kehutanan industrial (konvensional) yang

dimodifikasi untuk memungkinkan distribusi keuntungan kepada

masyarakat lokal. Konsep perhutanan sosial dapat dilaksanakan pada

lahan hutan tradisional, yaitu kawasan hutan negara maupun lahan-lahan

lainnya, seperti pekarangan, tegalan, atau kebun. Oleh karena itu, tujuan

63
pengembangan perhutanan sosial adalah melibatkan masyarakat yang

mendiami sekitar dan di dalam kawasan hutan untuk turut serta

memberdayakan sumber daya hutan yang ada.71

Perhutanan sosial yang diterapkan oleh pemerintah setidaknya

melibatkan tiga unsur yaitu: 72

1. Pemerintah desa dan pemerintah kabupaten;

2. Kelembagaan terkait seperti kelompok tani hutan serta; dan

3. Unsur masyarakat sebagai pelaksana program perhutanan sosial.

Pengembangan perhutanan sosial dalam pengelolaan hutan

sejatinya harus dapat mengubah paradigma berpikir dalam pemberdayaan

yang pada awalnya bersifat top down menjadi bottom up dan

mengutamakan partisipasi masyarakat setempat. Adapun strategi pokok

pengembangan perhutanan sosial (social forestry) yaitu:73

1. Kelola kawasan merupakan kegiatan prakondisi yang dilakukan


sebagai rangkaian untuk mendukung pelaksanaan program
perhutanan sosial dengan tujuan optimalisasi pemanfaatan
sumber daya hutan dengan tetap menjaga kelestariannya.
2. Kelola kelembagaan yang bertujuan untuk mengoptimalisasi
pelaksanaan program perhutanan sosial melalui serangkaian
kegiatan seperti penguatan peran organisasi, peningkatan
kapasitas sumber daya manusia (SDM) serta penetapan aturan
yang ketat.
3. Kelola usaha dalam areal kerja perhutanan sosial dimaksudkan
untuk mendukung pertumbuhan dan pengembangan usaha
untuk kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar

71
Muslimin. 2020. “Perhutanan Sosial: Respons Dan Dampak Sosial Budaya
Masyarakat Desa Kahayya Terhadap Perubahan Pengelolaan Hutan Di Kabupaten
Bulukumba”. Skripsi. Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin. Makassar. Hal. 18.
72
Muslimin. Op.cit. Hal. 20-21.
73
Ibid.

64
kawasan hutan melalui kemitraan dengan tetap bertanggung
jawab terhadap kesejahteraan masyarakat.

Pengelolaan perhutanan sosial dapat diberikan kepada pihak (1)

perseorangan, (2) kelompok tani hutan, dan (3) koperasi.74 Pada konteks

penelitian ini, perhutanan sosial diberikan kepada Kelompok Tani Hutan

Bunga Harapan yang berada di Kelurahan Jawi-Jawi, Kecamatan

Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Nurul Muhlisah MS selaku Koordinator Subseksi Pemeliharaan Data

Hak Tanah & Pembinaan PPAT Kantor Badan Pertanahan Nasional

Bulukumba menjelaskan bahwa luas tanah kawasan hutan pada

Kelurahan Jawi-Jawi Kecamatan Bulukumpa adalah 153 Ha. Kawasan

tersebut ditetapkan berdasarkan SK.434/Menhut-II/2009 tanggal 23 Juli

2009 terkait Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di Wilayah Provinsi

Sulawesi Selatan, seluas 3.879.771 Ha (tiga juta delapan ratus tujuh puluh

sembilan ribu tujuh ratus tujuh puluh satu hektare). SK.434/Menhut-II/2009

merupakan dasar penetapan secara serentak untuk semua wilayah hutan

di Sulawesi Selatan termasuk wilayah hutan di Kelurahan Jawi-Jawi

seluas 153 Ha yang merupakan bagian wilayah hutan lindung di Provinsi

Sulawesi Selatan.75

Berdasarkan SK.434/Menhut-II/2009, selanjutnya pada tanggal 19

Agustus 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

74
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan
Kehutanan. Pasal 209.
75
Wawancara. Nurul Muhlisah MS selaku Koordinator Subseksi Pemeliharaan
Data Hak Tanah & Pembinaan PPAT Tata Kantor Pertanahan Nasional Bulukumba. 12
Mei 2022.

65
menerbitkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Republik Indonesia Nomor: SK. 6877/MENLHK-

PSKL/PKPS/PSL.0/8/2019 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan

Hutan Kemasyarakatan Kepada Kelompok Tani Hutan Bunga Harapan

Seluas ± 153 Ha (Seratus Lima Puluh Tiga hektare) pada Kawasan Hutan

Lindung (HL) di Kelurahan Jawi-Jawi Kecamatan Bulukumpa Kabupaten

Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan (selanjutnya disingkat SK.

6877/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/8/2019).76 SK tersebut diterbitkan

dengan objek lahan yang dikuasai oleh 67 masyarakat Kelurahan Jawi-

Jawi. Namun, faktanya sebagaimana diuraikan pada pembahasan

sebelumnya, bahwa 35 orang dari 67 tersebut sebelumnya telah memiliki

sertifikat hak milik di atas tanah tersebut yang diterbitkan pada tahun

1991.

SK. 6877/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/8/2019 pada intinya berisi:

Memutuskan:
Menetapkan:
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hutan
Kemasyarakatan Kepada Kelompok Tani Hutan Bunga Harapan
Seluas ± 153 (Seratus Lima Puluh Tiga) Ha Pada Kawasan Hitan
Lindung (HL) di Kelurahan Jawi-Jawi Kecamatan Bulukumpa
Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan.

76
Terlampir Surat Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
menerbitkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia Nomor: SK. 6877/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/8/2019 tentang Pemberian Izin
Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan Kepada Kelompok Tani Hutan Bunga
Harapan Seluas ± 153 (Seratus Lima Puluh Tiga) Ha Pada Kawasan Hutan Lindung (HL)
di Kelurahan Jawi-Jawi Kecamatan Bulukumpa Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi
Selatan.

66
Kesatu:
Memberikan izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan
(IUPHKm) kepada Kelompok Tani Hutan Bunga Harapan seluas ±
153 (seratus lima puluh tiga) Ha pada kawasan Hutan Lindung (HL)
di Kelurahan Jawi-Jawi Kecamatan Bulukumpa Kabupaten
Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan, untuk 67 (enam puluh tujuh)
kepala keluarga terdiri dari laki-laki sebanyak 51 (lima puluh satu)
orang dan perempuan sebanyak 16 (enam belas) orang
sebagaimana daftar anggota terlampir.

Kedua:
Letak dan batas areal kerja izin usaha pemanfaatan hutan
kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam amar Kesatu
tergambar pada lampiran Keputusan Menteri ini.

Ketiga:
Pemberian izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan
sebagaimana dimaksud dalam Amar Kesatu dengan ketentuan:
1. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan tidak dapat
diwariskan;
2. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan bukan
merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan;
3. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan dilarang
dipindahtangankan;
4. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan tidak boleh
mengubah status dan fungsi kawasan hutan;
5. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan dilarang
digunakan untuk kepentingan lai diluar rencana usaha
pemanfaatan;
6. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatantidak dapat
diagunkan kecuali tanamannya;
7. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan tidak
melakukan usaha pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan
kayu dan/atau kegiatan yang bertengtangan dengan fungsi
kawasan hutan; dan
8. Dilarang menanam sawit di areal Izin usaha pemanfaatan hutan
kemasyarakatan.

Keempat:
Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan sebagaimana
dimaksud dalam Amar Kesatu meliputi:
1) Usaha pemanfaatan kawasan;
2) Usaha pemungutan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu;
dan
3) Usaha pemanfaatan jasa lingkungan.

67
Kelima:
Terhadap areal kerja Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan
yang berada dalam wilayah peta indikatif penundaan pemberian izin
baru dan di kawasan hutan lindung dilarang melakukan usaha
pemungutan dan pemanfaatan hasil hutan kayu.

Keenam:
Setelah diberikan Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan
berhak:
1) Mendapat perlindungan dari gangguan perusahakan dan
pencemaran lingkungan atau pengambilalihan secara sepihak
oleh pihak lain;
2) Melaksanakan usaha pemanfaatan sebagaimana dimaksud
dalam amar Keempat sesuai dengan kearifan lokal;
3) Mendapat manfaat dari sumber daya genetic yang ada di dalam
areal Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan;
4) Mengembangkan ekonomi produktif berbasis kehutanan;
5) Mendapat pendampingan dalam pengelolaan hutan
kemasyarakatan serta penyelesaian konflik;
6) Mendapat pendampingan kemitraan dalam pengembangan
usahanya;
7) Mendapat pendampingan penyusunan rencana kerja usaha
hutan kemasyarakatan dan rencana kerja tahunan; dan
8) Mendapat perlakuan yang adil atas dasar gender ataupun
bentuk lainnya.

Ketujuh:
Setelah diberikan Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan
berkewajiban:
1) Menjaga arealnya dari perusakan dan pencemaran lingkungan;
2) Memberi tanda batas areal kerjanya;
3) Menyusun rencana kerja usaha dan rencana kerja tahunan;
4) Menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada pemberi hak
atau izin;
5) Melakukan penanaman dan pemeliharaan hutan di areal
kerjanya;
6) Melaksanakan tata usaha hasil hutan;
7) Membayar provisi sumber daya hutan;
8) Mempertahankan fungsi hutan; dan
9) Melaksanakan perlindungan hutan.

Kedelapan:
Terhadap areal kerja Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan
sebagaimana dimaksud dalam amar Kedua yang terdapat tanaman
sawit masyarakat, dapat dilakukan pengelolaannya sampai berumur
12 (dua belas) tahun sejak masa tanam dan diantara tanaman sawit

68
ditanam pohon berkayu paling sedikit 100 (seratus) pohon per Ha
dan dilarang menambah atau memperluas tanaman sawit di areal
IUPHKm.

Kesembilan:
Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan diberikan untuk
jangka waktu 35 (tiga puluh lima) tahun dan dievaluasi setiap 5 (lima)
tahun.

Kesepuluh:
Dalam hal pemanfaatan hutan dilarang melakukan aktivitas dengan
metode pembakaran.

Kesebelas:
Apabila pemegang Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan
melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam amar Ketujuh
dikenakan sanksi sesuai ketentuan Peraturan Perundang-Undangan
yang berlaku.

Keduabelas:
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dengan
ketentuan apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan akan
diperbaiki sebagaimana mestinya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

status hukum tanah perhutanan sosial Bulukumpa yang dikuasai oleh

masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi adalah izin usaha pemanfaatan hutan

kemasyarakatan (IUPHKm) yang ditetapkan berdasarkan SK.

6877/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/8/2019 pada tanggal 19 Agustus 2019.

Penetapan IUPHKm tersebut diberikan kepada masyarakat Kelurahan

Jawi-Jawi yang berjumlah 67 (enam puluh tujuh) orang dengan masa

keberlakuan selama 35 (tiga puluh lima) tahun.

Jika dikaitkan dengan pembahasan sebelumnya, bahwa sebagian

masyarakat yang bermukim di wilayah perhutanan sosial Kelurahan Jawi-

Jawi telah memiliki sertifikat hak milik, maka pada dasarnya hal tersebut

69
telah bertentangan dengan SK. 6877/MENLHK-

PSKL/PKPS/PSL.0/8/2019. Namun, mengingat hukum tidak dapat berlaku

surut, yakni diketahui bahwa sertifikat hak milik tersebut diterbitkan pada

tahun 1991, sedangkan penetapan kawasan tersebut sebagai wilayah

hutan diterbitkan pada tanggal 23 Juli 2009 berdasarkan SK.434/Menhut-

II/2009. Artinya dapat dikatakan bahwa penerbitan sertifikat hak milik di

atas tanah tersebut dilakukan sebelum wilayah tersebut ditetapkan

sebagai wilayah hutan.

Selain itu, penerbitan sertifikat hak milik atas nama 35 (tiga puluh

lima) orang telah dilakukan sesuai dengan prosedur berdasarkan PP No.

10 Tahun 1961. Oleh karena itu, menurut Penulis saat ini telah terjadi

dualisme status hak di atas tanah tersebut, sehingga untuk menentukan

status hak yang paling valid atas tanah tersebut maka harus diajukan

melalui gugatan baik oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan sebagai penggugat yang hendak membatalkan

sertifikat hak milik yang telah dimiliki oleh 35 (tiga puluh lima) orang

masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi ataupun sebaliknya, 35 (tiga puluh lima)

orang masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi mengajukan gugatan kepada

Pengadilan Tata Usaha Negara untuk membatalkan SK. 6877/MENLHK-

PSKL/PKPS/PSL.0/8/2019 terkait penetapan wilayah hutan di Sulawesi

Selatan termasuk meliputi perhutanan sosial di Kelurahan Jawi-Jawi,

untuk dikeluarkan sebagai bagian dari wilayah hutan.

70
Terkait dengan pengajuan gugatan pembatalan sertifikat kepada

Pengadilan Negeri Bulukumba oleh Pemerintah Daerah Kabupaten

Bulukumba dengan berkordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup

dan Kehutanan beserta Badan Pertanahan Nasional adalah. Menurut

Penulis, sertifikat yang telah diterbitkan kepada 35 orang hanya dapat

dibatalkan melalui gugatan. Hal tersebut di dasarkan karena wilayah hutan

tersebut merupakan kekayaan negara yang tidak dapat diberikan hak milik

karena merupakan bagian dari hutan lindung yang difungsikan sebagai

perhutanan sosial untuk masyarakat. Oleh karena itu, pemanfaatan hutan

tersebut hanya dapat diberikan untuk izin usaha pemanfaatan hutan

kemasyarakatan, bukan untuk peralihan menjadi hak milik perorangan.

Hal tersebut juga sejalan dengan amar Kegita SK. 6877/MENLHK-

PSKL/PKPS/PSL.0/8/2019 yang telah diterbitkan oleh Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang telah menegaskan beberapa poin

ketentuan dalam pemanfaatan hutan yakni sebagai berikut:

1. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan tidak dapat

diwariskan;

2. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan bukan merupakan

hak kepemilikan atas kawasan hutan;

3. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan dilarang

dipindahtangankan;

4. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan tidak boleh

mengubah status dan fungsi kawasan hutan;

71
5. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan dilarang digunakan

untuk kepentingan lai diluar rencana usaha pemanfaatan;

6. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatantidak dapat

diagunkan kecuali tanamannya;

7. Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan tidak melakukan

usaha pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan kayu dan/atau

kegiatan yang bertengtangan dengan fungsi kawasan hutan; dan

8. Dilarang menanam sawit di areal Izin usaha pemanfaatan hutan

kemasyarakatan.

Namun, disisi lain bahwa pemerintah telah lamban dalam

menetapkan wilayah hutan, sehingga masyarakat yang telah menguasai

tanah hutan, justru lebih dahulu memiliki sertifikat hak milik. Artinya

selama ini terjadi komunikasi yang tidak efektif antara Badan Pertanahan

Nasional dengan Kementerian yang membidangi kehutanan.

Berdasarkan pembahasan di atas, Penulis berpandangan bahwa

tidak seharusnya terdapat dua status hak atas tanah tersebut, yakni

berstatus hak milik 35 (tiga puluh lima) orang masyarakat dan sekaligus

berstatus tanah hutan. Berdasarkan uraian di atas, Penulis berpandangan

bahwa tanah tersebut seharusnya berstatus hak milik, karena sertifikat

hak milik tersebut diterbitkan lebih dahulu pada tahun 1991, sedangkan

penetapan wilayah hutan baru diterbitkan pada tahun 2009. Oleh karena

itu, jika didasarkan pada waktu penerbitan SHM, maka SHM tersebut

seharusnya dianggap sah dan merupakan bukti otentik 35 (tiga puluh

72
lima) orang masyarakat terhadap kepemilikan tanah. Artinya, tanah yang

telah diterbitkan SHM tidak dapat ditetapkan sebagai wilayah hutan, atau

dengan kata lain harus dikeluarkan dari wilayah hutan.

73
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dalam pembahasan skripsi

ini adalah sebagai berikut:

1. Bukti hak yang dimiliki oleh sebagian masyarakat Kelurahan Jawi-

Jawi dalam melakukan penguasaan terhadap tanah perhutanan

sosial di Bulukumpa adalah berupa sertifikat hak milik. Sertifikat hak

milik telah diterbitkan sebanyak 35 kepada sebagian masyarakat

yang menduduki wilayah perhuatanan sosial tersebut.

2. Status hukum tanah perhutanan sosial Bulukumpa yang dikuasai

oleh masyarakat Kelurahan Jawi-Jawi adalah terjadi dualisme hak

yakni berstatus sebagai hak milik oleh 35 (tiga puluh lima orang)

yang diterbitkan pada tahun 1991 dan sekaligus pada objek yang

sama juga berstatus sebagai tanah hutan yang ditetapkan pada

tahun 2009. Tanah tersebut seharusnya tidak dapat ditetapkan

sebagai wilayah hutan pada tahun 2009 karena sudah terlebih

dahulu diterbitkan SHM atas nama 35 (tiga puluh lima) orang.

B. Saran

Adapun saran yang direkomendasikan Penulis dalam pembahasan

skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah setempat,

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus melakukan

74
kordinasi dengan baik agar tidak terjadi peristiwa yang serupa yakni

terjadi pendaftaran hak milik di atas tanah hutan..

2. Status hukum tanah perhutanan sosial harus dipertegas oleh

pemerintah kepada masyarakat, agar kedepannya tidak ada lagi

tindakan serupa yakni mengajukan permohonan penerbitan sertifikat

di atas wilayah perhutanan sosial.

75
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdul Muis Yusuf. 2011. Hukum Kehutanan di Indonesia. Rineka Cipta.


Jakarta.

Adrian Sutedi. 2008. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam


Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Jakarta. Sinar Grafika.

___________. 2018. Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya.


Jakarta. Sinar Grafika.

Amiruddin dan Zainal Asikin. 2014. Pengantar Metode Penelitian Hukum.


Jakarta. Rajawali Pers.

Boedi Haarsono. 2007. Hukum Agrarian Indonesia Sejarah Pembentukan


Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaanya. Jakarta.
Djambatan.

Hasni. 2010. Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah dalam


Konteks UUPA. UUPR. UUPLH. Jakarta. Rajawali Pers.

Irwansyah. 2020. Penelitian Hukum. Pilhan Metode & Prktik Penulisan


Artikel. Edisi Revisi. Yogyakarta. Mirra Buana Media.

Kartini Muljadi. Gunawan Widjaja. 2005. Hak-hak Atas Tanah. Jakarta.


Prenada Media.

Maziyyatul Fitria. 2021. Bukti Kepemilikan Sertifikat Tanah Dalam Putusan


Nomor 23/PDT.G/2017/ Pengadilan Negeri Mejayan Berdasarkan
PP Nomor 24 Tahun 1997 Dan Konsep Tamlik. Malang. Program
Studi Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Mohamad Hatta. 2005. Hukum Tanah Nasional Dalam Perspektif Negara


Kesatuan. Media Abadi. Yogyakarta.

Muhammad Ilham Arisaputra. 2015. Reforma Agraria di Indonesia.


Jakarta. Sinar Grafika.

Muslimin. 2020. Perhutanan Sosial: Respons Dan Dampak Sosial Budaya


Masyarakat Desa Kahayya Terhadap Perubahan Pengelolaan
Hutan Di Kabupaten Bulukumba. Skripsi. Departemen Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
Makassar.

76
Salim H.S. 2003. Dasar-dasar Hukum Kehutanan. Sinar Grafika. Jakarta.

Syahruddin Nawi. 2001. Dasar-Dasar Hak Pengelolaan Tanah Negara.


Umitoha Ukhuwah Grafika. Makassar.

Syamsuddin Pasamai. 2010. Hukum Agraria dan Hukum Tanah


Indonesia. Makassar. Umitoha Ukhuwah Grafika.

Urip Santoso. 2006. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta.
Kencana.

___________. 2008. Hukum Agraria & hak-hak Atas Tanah. Jakarta.


Kencana Prenada Media Group.

___________. 2010. Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah. Jakarta.


Kencana Prenamedia Group.

___________. 2012. Hukum Agraria: Kajian Komprehensif. Jakarta.


Kencana Prenamedia Group..

___________. 2015. Perolehan Hak Atas Tanah. Jakarta. Kencana.

Jurnal dan Skripsi:

Aman Gane. “Penegakan Hukum Secara Integratif Alih Fungsi Lahan


Dalam Tindak Pidana Kehutanan”. Jurnal Poros Hukum
Padjajaran. Volume 1. Nomor 2. Mei 2020.

Aqila. “Pengenaan Pajak Bumi Dan Bangunan Terhadap Hutan


Kemasyarakatan (Studi Kasus Di Kecamatan Bulukumpa)”.
Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Makassar.

Jimmy Henry. “Aspek Hukum Perlindungan Hutan Dan Masyarakat Adat


Terhadap Pertambangan Batu Bara Di Kampung Tukul
Kecamatan Tering Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur”.
Jurnal Serviens In Lumine Vertatis Fakultas Hukum Universitas
Atmajaya Yogyakarta. Maret 2015.

Nanik Ermawati dan Amin Kuncoro. “Analisis Efektivitas dan Kontribusi


Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2)
terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Jember”.
Jurnal STIE Semarang. Vol. 9. Nomor 1 Februari 2017.

77
Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Jo. Undang-


Undang No. 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan


Kehutanan.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.


P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan No. 9 Tahun 2021


Tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.

Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan


Nasional Republik Indonesia No. 18 Tahun 2021 tenang Tata
Cara Penetapan Hak Pengelolaan Dan Hak Atas Tanah

Wawancara:
Wawancara. Muh. Ali selaku Ketua Kelompok Tani Hutan Bunga Harapan
Pada Kelurahan Jawi-Jawi. 12 Mei 2022.

Wawancara. Nurul Muhlisah MS selaku Koordinator Subseksi


Pemeliharaan Data Hak Tanah & Pembinaan PPAT Kantor
Pertanahan Nasional Bulukumba. 14 Mei 2022.

78
LAMPIRAN

Lampiran 1: Sertifikat No. 801 atas nama Mappiare

79
Lampiran 2: Surat Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hutan
Kemasyarakatan kepada Kelompok Tani Hutan Bunga Harapan

80
81
82
83
84
85
86
87
88
Lampiran 3 : Surat keterangan Wawancara dan Persetujuan menjadi
informan

89
90
91
92
93
94
95
96
Lampiran 4 : Dokumentasi Penelitian

97
98

Anda mungkin juga menyukai