Makalah Klp.6
Makalah Klp.6
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 6
1. Amalia Ramadani
NIM. D071231079
2. Dzauqiyah Azzahra
NIM. D071231085
3. Najwa Putri
Larasati NIM.
D071231035
4. Oktaviani Binti
Arrang NIM.
D071231031
5. Qhalil Ayyilah
Azzahwa NIM.
D071231023
6. Sertiani Rekalina
NIM. D071231003
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen mata
kuliah Wawasan Sosial dan Budaya Maritim yang telah memberikan tugas terhadap kami. Kami juga
ingin berterima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam pembuatan makalah ini.
Tak ada gading yang tak retak, karenanya kami sebagai tim penulis menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baik dari sisi materi maupun penulisannya. Kami dengan
rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima berbagai masukan maupun saran yang bersifat
membangun untuk kedepannya.
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR iv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan Penulisan 1
BAB II PEMBAHASAN 2
2.1 Konsep Masyarakat 2
2.2 Kebudayaan Maritim 5
2.3 Kelembagaan Masyarakat Maritim 11
BAB III PENUTUP 8
3.1 Hasil Penelitian 8
3.2 Pembahasan 12
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN 16
4.1 Simpulan 16
4.2 Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 17
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas rahmat-Nya dan karunianya
kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun tema dari makalah ini adalah
“Kebudayaan Maritim Indoensia”.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen mata
kuliah Wawasan Sosial dan Budaya Maritim yang telah memberikan tugas terhadap kami. Kami juga
ingin berterima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam pembuatan makalah ini.
Tak ada gading yang tak retak, karenanya kami sebagai tim penulis menyadari bahwa dalam penulisan
makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baik dari sisi materi maupun penulisannya. Kami dengan
rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima berbagai masukan maupun saran yang bersifat
membangun untuk kedepannya.
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Pulau-pulau besar dan kecil yang tersebar di nusantara ini telah banyak dihuni oleh masyarakat adat
secara turun temurun sehingga mengembangkan budaya khas nusantara. Luasnya pulau-pulau ini
secara alami dikelilingi oleh air laut. Oleh karena itu, kebudayaan nusantara ini seringkali bercirikan
keterikatan yang erat dengan laut, sehingga muncul semboyan “nenek moyangku adalah pelaut”.
Kebudayaan ini sendiri juga dapat dianggap sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat maritim.
Penduduk nusantara sejak memproklamirkan diri sebagai negara merdeka pada tanggal 17 Agustus
1945, secara nasional penduduk nusantara ini telah menjadi bangsa yang besar yaitu masyarakat
nusantara suku indonesia. Masyarakat negeri ini merupakan salah satu masyarakat dunia yang tinggal
dan berkembang di banyak pulau besar maupun kecil di Indonesia, karena letaknya yang berada di
tengah lautan. Sejarah juga telah membuktikan bahwa masyarakat yang tinggal di pulau-pulau
tersebut tetap dapat menjalani kehidupannya, bahkan mereka yang tinggal di pulau-pulau kecil yang
terisolasi sekalipun berada jauh di tengah lautan. Jadi setidaknya keunikan negeri ini perlu ditemukan
dan diketahui (fenomena kehidupan dari sudut pandang ekonomi dan sosial).
Indonesia adalah negara kepulauan, sehingga ribuan pulau besar dan kecil menyatu dan menjadi satu
kesatuan negara ini, walaupun pulau-pulau tersebut dipisahkan oleh lautan dan bermil-mil dari pulau
ke pulau yang memberikan kebebasan kepada anak-anak negara ini untuk hidup rukun dengan
masyarakat Indonesia. Adapun pulau-pulau kecil yang tersebar di nusantara banyak juga yang dihuni
oleh masyarakat adat yang sudah hidup turun temurun, sehingga mampu mengembangkan budaya
khas laut, sehingga semakin mengukuhkan semboyan “Nenek moyang saya adalah pelaut". Penegasan
tersebut kemudian dapat mempertegas bahwa budaya masyarakat maritim memang hadir dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk mengetahui penjelasan terkait konsep masyarakat maritim, kebudayaan maritim, dan
kelembagaan masyarakat maritim.
1
BAB 2
PEMBAHASAN
B. Masyarakat Maritim
Masyarakat laut dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari 3 kesatuan kehidupan
manusia yang berupa 3 kelompok kerja, yaitu masyarakat desa atau perkampungan, suku bangsa,
satuan administrasi berupa kabupaten, provinsi, bahkan komunitas negara atau kerajaan, yang
didalamnya sebagian besar atau kehidupan ekonominya bergantung seluruhnya, langsung atau
tidak langsung, pada pemanfaatan sumber daya kelautan dan jasa maritim yang berorientasi dan
bercirikan lautnya.
2
a) Hubungan ketergantungan pada kondisi lingkungan
Keberlanjutan atau keberhasilan usaha tersebut sangat bergantung pada kondisi
lingkungan, khususnya air. Keadaan ini mempunyai implikasi yang sangat penting bagi
kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat bahari. Kehidupan masyarakat maritim
menjadi sangat bergantung pada kondisi lingkungan itu dan sangat rentan terhadap
kerusakan lingkungan, khususnya pencemaran, karena limbah industry maupun
tumpahan minyak, misalnya dapat menggoncang sendi-sendi kehidupan sosial
ekonomi masyarakat maritim.
b) Hubungan ketergantungan kepada musim
Karakteristik lain yang sangat menyolok di kalangan pesisir, khususnya masyarakat
nelayan adalah ketergantungan mereka pada musim. Pada musim penangkapan para
nelayan sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim peceklik kegiatan melaut
menjadi berkurang sehingga banyak nelayan terpaksa menganggur. Secara umum
pendapatan nelayan memang sangat ber(luktuasi dari hari ke hari. Pada satu hari
mungkin memperoleh tangkapan yang ssangat tinggi, tapi pada hari berikutnya bisa
saja kosong.
c) Hubungan ketergantungan secara fisik dan psiko-sosio-budaya pada lingkungan alamnya
Masyarakat maritim terutama nelayan dan pelayar akan terbentuk hubungan menyatu dengan
lingkungan alam laut yang dimanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan secara
fisik atau fisiologi berupa penyesuaian pemandangan, penciuman, pendengaran. Adaptasi
psiko-sosio-budaya berupa penyesuaian dengan kondisi laut, 5badai, ombak, arus, keteduhan,
ketenangan, iklim, suhu, keluasan ruang, serta perilaku biota laut) yang mereproduksi
perasaan dan sikap menyatu dengan laut.
d) Pemanfaatan lingkungan dan sumber daya laut secara bersama
Meskipun lingkungan laut dan sumber daya perikanan dikandungnya dimanfaatkan dengan
berbagai model, pengelolaan dan penguasaan mulai dari pemilikan keluarga atau individual,
pemilikan perusahaan, serta penguasaan negara, namun menjadi kenyataan bahwa dalam
sistem pemilikan dan kontrol wilayah laut yang berlapis-lapis itu justru ditemukan secara
meluas praktik pemanfaatan secara bebas dan terbuka yang akhirnya telah memicu persaingan
terbuka yang menjurus pada konflik antar pemangku kepentingan dari berbagai asal dan suku
bangsa, terutama antar nelayan sendiri. Hal tersebut berdampak pada kemiskinan pihak-pihak
yang kalah dalam persaingan dan di sisi lain kerusakan lingkungan serta kemerosotan
sumberdaya perikanan.
e) Hubungan kebutuhan secara mutlak pada kelembagaan sosial
Memasuki lingkungan laut dan meman(aatkan sumber daya yang dikandungnya diperlukan
membangun kerja sama dan melembagakan kehidupan kolekti(. Kondisi laut yang berbahaya,
3
pola perilaku spesies biota tangkapan yang berbeda-beda, berat dan rumitnya pekerjaan,
kebutuhan akan modal dan biaya-biaya yang setiap saat mendesak dan tidak dapat ditanggung
sendiri menjadi (actor utama diperlukannya kelembagaan dan kehidupan kolekti( masyarakat
maritimhal ini untuk meringankan pekerjaan yang berat, menyederhanakan pekerjaan yang
rumit, mengurangi ketegangan jiwa, serta resiko kerugian ekonomi.
f) Hubungan ketergantungan pada pasar lokal, rregional, dan global
Bagi masyarakat nelayan, hasil laut haruslah dipertukarkan atau dipasarkan, kemudian uang
hasil penjualan digunakan membeli berbagai macam kebutuhan pokok sandang, pangan,
papan, kesehatan) dan kebutuhan sekunder atau sosial. Kondisi ini menunjukkan
ketergantungan komunitas nelayan pada segmen masyarakat kota dan pedalaman
untuk memperoleh hamper seluruh kompenen kebutuhannya.
g) Hubungan ketergantungan pada berbagai pihak berkepentingan dari luar
Ketergantungan ini sebagai sumber perolehan modal dan biaya-biaya, kebutuhan
pokok, keamanan politik, perlindungan lingkungan dan sumberdaya laut yang
dimanfaatkan.
h) Mobilitas geografi yang tinggi dan jaringan kesukubangsaan yang luas
Melalui pengembaraan yang jauh dan lama, kelompok-kelompok nelayan dan pelayar
dapat bertransaksi dan bergaul dengan orang-orang dari berbagai asal dan suku bangsa
di laut, pelabuhan dan kota-kota pantai. Bagi kelompok nelayan dan pelayar
diasumsikan bahwa akumulasi pegalaman yang melimpah telah menumbuhkan
wawasan kelautan dan kepulauan yang luas, wawasan kebinekaan dan kebangsaan
serta pandangan dunia internasional.
Beberapa ciri dari pengelolaan sumberdaya alam secara tradisional antara lain.
1) Pengelolaan sumberdaya alam cenderung berkelanjutan.
2) Struktur pihak yang terlibat masih sederhana.
3) Bentuk peman(aatannya terbatas dan termasuk skala kecil.
4) Tipe masyarakat dan kegiatannya relati( homogen.
5) Komponen pengelolaannya 5manajemen) berasala dan berakar pada masyarakat.
6) Rasa kepemilikan dan ketergantungan terhadapa sumberdaya alam tinggi.
7) Rasa untuk melindungi dan menjaga juga tinggi.
4
Aturan-aturan yang digunakan umumnya timbul dan berakar dari permasalahan yang dihadapi
masyarakat. Aturan-aturan dan kebijakan ini kemudian ditetapkan, dikukuhkan dan disepakati
bersama oleh masyarakat sebagai suatuundang-undang atau hokum yang lebih dikenal sebagai
hukum adat.
Sistem pengelolaan diatas dapat berjalan dengan baik di dalam struktur masyarakat yang masih
sederhana dan belum banyak dimasuki oleh pihak luar.
5
Hasil analisis A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn menunjukkan banyak aspek dan elemen
pemahaman budaya ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kebudayaan banyak fungsi, banyak
aspek, banyak unsur, ada fungsi normatif, ada aspek struktural, ada aspek psikologis. Lebih jauh
lagi, benar juga bahwa kebudayaan terdiri dari banyak unsur yang berbeda, kebudayaan adalah
warisan sosial, kebudayaan adalah hasil belajar, dan sebagainya. Menurut C.A van Pearlen
(1976:10 – 12) berpendapat bahwa ada dua pengertian kebudayaan:
1) Kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang.
Kebudayaan meliputi segala perbuatan manusia, seperti misalnya cara ia menghayati
kematian dan membuat upacara-upacara untuk menyambut peristiwa itu; demikian juga
mengenai kelahiran, seksualitas, cara-cara mengolah makanan, sopan santun waktu makan,
pertanian, perburuan, cara ia membuat alat-alat, bala pecah pakaian, cara-cara untuk
menghiasi rumah dan badannya. Itu semua termasuk kebudayaan, seperti juga kesenian, ilmu
pengetahuan dan agama.
2) Dulu kata “Kebudayaan” diartikan sebagai sebuah kata benda, kini lebih sebagai sebuah kata
kerja. Kebudayaan bukan lagi mengenai sebuah koleksi barang-barang kebudayaan. Kini
kebudayaan terutama dihubungkan dengan kegiatan manusia, yang membuat alat-alat dan
senjata-senjata, dengan tata upacara tarian-tarian dan mantera-mantera yang menenteramkan.
Memang, dalam pengertian kebudayaan yang termasuk tradisi tersebut bukanlah suatu yang
dapat dirubah; tradisi justru diperpadukan dengan aneka ragam perbuatan manusia dan
diangkat dalam keseluruhannya. Jadi, konsep kebudayaan diperluas dan dinamisir.
Perkembangan kehidupan kita yang makin cepat tentu saja mempengaruhi perubahan
tersebut.
B. Konsep Pemberdayaan
Secara etimologis, kata “Kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta, Buddhayah, bentuk jamak
dari kata buddhi yang berarti akal atau budi. Kebudayaan adalah suatu cara hidup yang
berkembang, dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Kata maritim sendiri berasal dari bahasa latin maritimus atau mare yang berarti laut. Di sini dapat
dikatakan bahwa susunan kata yang mengandung kata maritim mempunyai kaitan dengan laut,
sehingga dapat dipahami bahwa budaya maritim adalah suatu pandangan hidup dan pembangunan
sosial melalui pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan. Berikut beberapa definisi para
ahli mengenai budaya maritime, yaitu:
1) Kebudayaan maritime merupakan salah satu bagian yang termasuk dalam kebudayaan.Karena
kebudayaan maritim berasal dari hasil pemikiran yang berasal dari masyarakat yang hidup di
wilayah perairan dan pesisir pantai. Kebudayaan maritim dapat juga dikatakan sebagai
kebudayaan kelautan. Marzali, (2003) dalam Baiquni (2014) dalam (Kembey, Aling, dan
Dien, 2020).
6
2) Pada Konsep (Wijaya 2015), dalam (Siswanto, 2018) Budaya maritim itu adalah budaya yang
mengedepankan keberanian, kecakapan, keterampilan menghadapi ber- bagai masalah,
budaya yang pandai membaca tanda kehidupan, tanda-tanda zaman, dengan ke-uhuran budi
dan kearifan jiwa dan budaya melayani dan mendahulukan rakyat dan kaum yang lemah baik
dalam kondisi yang baik ataupun darurat, dan budaya rela berkorban demi kepentingan
umum. (Kembey, Aling, dan Dien, 2020)
Dengan fungsinya, budaya maritime menjadi landasan bagi pengembangan budaya dan tradisi
masyarakat pesisir. Selain itu, bagi masyarakat tersebut, laut juga difungsikan sebagai objek
budaya, seperti halnya berbagai ritual di wilayah laut. Tujuannya untuk menunjukkan rasa syukur
masyarakat atas anugerah yang mereka terima dari laut. Penciptaan peralatan kelautan seperti
perahu merupakan salah satu bukti karya pemikiran yang berakar pada budaya bahari atau
kelautan. Namun selain itu juga terdapat berbagai jenis perahu yang berasal dari budaya ini,
diantaranya adalah kano, pinisi, tongkang, dan lain-lain. Beragamnya jenis produk kapal
tradisional menunjukkan bahwa masyarakat pesisir cukup terampil dalam menciptakan mahakarya
kelautan. Bentuk lain dari budidaya laut adalah metode penangkapan ikan yang diubah dari
bentuk tradisional menjadi modern. Hal ini dapat terjadi melalui pengembangan konsep dan
kemampuan para pelaku dan masyarakat. Selain itu, kemajuan ini juga dimaksudkan untuk
meningkatkan pendapatan entitas dan komunitasnya. Contohnya termasuk nelayan dan produsen
di industri maritim.
Lingkungan pertemuan antara Selat Makassar, Laut Jawa, dan Laut Flores merupakan salah satu
pusat kebudayaan maritim Indonesia. Alimuddin (2013) menyebut wilayah ini sebagai Segitiga
Emas Nusantara. Tidak berlebihan kiranya apabila wilayah ini disetarakan dengan emas. Enam
suku yang memiliki kebudayaan berorientasi laut banyak beraktifitas di wilayah ini, yaitu: Bajo,
Bugis, Buton, Madura, Mandar, dan Makassar (Alimuddin, 2013). Lebih lanjut lagi, Segitiga
Emas Nusantara memang layak disebut sebagai pusat kebudayaan maritim karena adanya empat
hal seperti berikut:
1) Terjadinya akulturasi budaya antara keenam suku yang berorientasi maritim. Pertemuan ini
tidak dapat dijumpai di wilayah lain Indonesia. Akulturasi budaya ini dapat dijumpai dalam
hal pembuatan perahu, peralatan menangkap ikan, terminologi kebaharian, dan perdagangan.
2) Jalur tersibuk aktivitas maritim Indonesia sejak saat itu adalah Segitiga Emas Kepulauan.
3) Daerah ini merupakan persimpangan perairan dalam (Laut Flores dan Selat Makassar) dan
perairan dangkal (Laut Jawa). Hal ini tentu menimbulkan keunikan dan keragaman dalam
beradaptasi dengan lingkungan tersebut.
4) Garis imajiner Wallace dan Webber terdapat pada segitiga ini. Hal ini menciptakan
keanekaragaman flora dan fauna, khususnya spesies laut.
7
E. Unsur-Unsur Budaya Maritim
Kebudayaan maritim terdiri dari komponen/aspek yang saling berhubungan dan membentuk satu
kesatuan. Aspek-aspek tersebut hadir dalam bentuk sistem budaya (gagasan/gagasan,
pengetahuan, kepercayaan, nilai dan norma/aturan), bahasa, kelompok/organisasi sosial, ekonomi,
teknologi, seni dan agama maritim.
Berikut ini secara singkat dapat diperkenalkan perspektif budaya bahari dengan menggunakan
budaya nelayan dan pelaut sebagai berikut:
1) Sistem Budaya
Dalam budaya maritim gagasan/ide terkait pemanfaatan sumber daya dan perencanaan pelayanan
maritim secara alamiah sangat luas, dalam budaya maritim Bugis, Bajo dan Makassar, Mandarin
dan Buton ditanamkan sejumlah gagasan dasar yang saling berkaitan, yang berfungsi misalnya.
pedoman pengambilan keputusan/pilihan perilaku dalam industri perikanan.
Selama dua dekade terakhir, terlihat jelas bahwa beberapa nelayan telah berubah pikiran tentang
kenyataan yang berbeda, seperti populasi teripang, mutiara dan beberapa organisme sepsis yang
bernilai ekonomi yang terancam oleh eksploitasi manusia. Kemudian diketahui pula, khususnya di
kawasan timur Indonesia, masih banyak tempat-tempat milik masyarakat setempat yang tidak
boleh dimasuki oleh para nelayan.
Sistem pengetahuan, sistem pengetahuan kelautan dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu
pengetahuan kelautan dan pengetahuan perikanan. Data navigasi digunakan pelaut yang terlibat
dalam kegiatan maritim mencakup informasi tentang musim, kondisi cuaca dan suhu, kondisi
dasar dan isyarat alam lainnya yang menentukan permulaan navigasi, kelancaran, keberhasilan
dan keselamatan. Masyarakat laut khususnya para nelayan dan pelaut nusantara mengenal dua
musim utama yaitu musim barat dan musim timur yang menentukan padat atau sepinya aktivitas
eksploitasi sumber daya laut dan pelayaran.
Dalam hal musim, perubahan cuaca dan suhu, kondisi air laut, kondisi dasar yang mempengaruhi
(positif dan negatif) kegiatan pelayaran dan pemanfaatan sumber daya laut atau perikanan,
misalnya pelayaran dan nelayan Bugis dan Makassar berpedoman pada pengetahuan mereka
mengenai tanda- tanda di laut dan di langit berupa petir, awan hitam, suara kemudi perahu,
peristiwa yang berkaitan dengan datangnya cahaya laut atau angin kencang, angin puting beliung,
adanya batu, makhluk berbahaya seperti gurita, dll. Dalam hal ini nelayan mengandalkan
pengetahuannya berupa indra pakkita (penglihatan), parengkaling (pendengaran), paremmau
(penciuman), panedding (punuk), dan lupang (iman). Berdasarkan warisan pengalaman dan
pengetahuan, para pelaut dan nelayan memiliki perangkat pengetahuan untuk tempat-tempat
berbahaya seperti selat yang banyak pusarannya.
8
Suatu sistem Religi dan kepercayaan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut
khususnya penangkapan ikan di banyak tempat di dunia, kepercayaan, keyakinan agama yang
dianut oleh para nelayan (kelompok atau individu) yang ia ikuti sebagai mekanisme untuk
memecahkan permasalahan lingkungan fisik dan sosial ekonomi yang ia temui sehari-hari.
Suatu sistem norma/aturan dalam suatu kebudayaan, termasuk budaya bahari, tentu saja berfungsi
mengatur secara spesifik tindakan suatu kelompok atau individu. Pembagian produk, bea cukai,
dan peraturan lainnya diperlukan untuk pelayaran dan penangkapan ikan.
Sistem nilai suatu kebudayaan erat kaitannya dengan sistem gagasan, pengetahuan, kepercayaan,
aturan, dan lain-lain dari kebudayaan itu. Sistem nilai juga menjadi pedoman bagi anggota
masyarakat dalam menentukan sikap, tindakan, permasalahan atau objek yang berkaitan dengan
hubungan masyarakat dengan lingkungan, masyarakat, perekonomian, kepercayaan, teknologi,
yang dianggap baik, pantas dan sebaliknya. seni dan lain-lain.
2) Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh komunitas maritim tertentu tidak berbeda dengan bahasa yang
digunakan oleh kelompok etnis yang sama yang beroperasi di sektor ekonomi berbeda.
Perbedaannya terletak pada kosa kata atau istilah yang digunakan dalam klasifikasi informasi,
sosial ekonomi, sistem perilaku dan interaktif, pengalaman dan ekspresi perasaan terhadap
lingkungan dan sumber daya alam yang digunakan di dalamnya.
9
G. Sistem Teknologi dan Seni Kemaritiman
Sistem Teknologi dan Seni Kemaritiman dalam kebudayaan maritim merujuk pada gabungan
antara pengetahuan teknis tentang navigasi, perahu, dan peralatan maritim dengan unsur-unsur
seni, seperti seni rupa, musik, dan cerita rakyat yang berkaitan dengan kehidupan di laut. Sistem
teknologi maritim mencakup teknik navigasi, pembuatan kapal, serta alat tangkap ikan, sementara
seni kemaritiman melibatkan seni ukir pada perahu, tarian laut, dan lagu-lagu tradisional yang
menggambarkan hubungan masyarakat dengan lautan. Keduanya saling berinteraksi dan
mencerminkan hubungan yang mendalam antara manusia dan laut dalam budaya maritim.
Teknologi kemaritiman bisa dikategorikan atas faktor-faktor Internal/lokal dan eksternal, berupa
konteks sosial budaya, ekonomi, demografi, politik, lingkungan fisik, dan sumber daya alam/laut.
Berbagai tipe/bentuk perahu tradisional milik kelompok-kelompok etnis di Indonesia, antara lain :
P. Patorani (Makassar), Lambo (Mandar), Phinisi (Bugis), Sandeq, Pangkur, Bago (Mandar),
Bagang (Bugis), Padewakang (Makassar) sedangkan Bodi-tipe kapal kayu baru 1980an (Bugis,
Makassar, Bajo, Sulawesi Selatan), Jelloro-tipe perahu Terbaru akhir n1980an (Bugis, Bajo,
Sulawesi Selatan), Lambo (Buton), Janggolan (Madura), Mayang ( Jawa), Prahu jarring (Madura),
Lis-alis, Golekan, Leti-leti ( Jawa), Jukung ( Jawa), Janggolan (Bali) dan Nade (Sumatra).
Perahi Jawa dan Bali dicirikan dengan ukiran dan gambar-gambar binatang dengan kombinasi
warna cet. Gambar-gambar tersebut selain berfungsi sebagai seni juga memuat makna gagasan
dan keyakinan-keyakinan religius. Phinisi adalah salah satu pipe perahu Bugis dengan kontruksi
yang bagus, namun kurang dari segi seni ukiran, warna dan motifmotif bermakna. Kontruksi ini
rupanya lebih mengutamakan nilai praktis berupa fungsi keseimbangan, daya muat, dan
kecepatan.
1
sektor ekonomi ini meningkat dari produksi subsistensi ke produksi pasar, yang berkorelasi dan
seiring dengan perkembangan dari fungsinya sebagai aktivitas ekonomi Sampingan ke usaha
ekonomi dan sumber pendapatan utama, maka komponen modal menjadi mutlak tidak dapat
dielakkan lagi kepentingannya bagi masyarakat nelayan.Sungguhpun usaha produksi masih
semata diperuntukan bagi pemenuhan kebutuhan pokok dan sosial sehari-hari. Keperluan akan
alat-alat produksi dan besarnya biaya operasional serta pemeliharaan alat-alat produksi yang
rentan terhadap resiko hilang atau kerusakan, menjadikan pedagang dan pengelola modal usaha
perikanan mutlak dilakukan secara terus menerus. Tenaga kerja/pekerja merupakan salah satu
faktor produksi menentukan bagi suatu usaha ekonomi, tidak terkecuali sektor perikanan laut.
Untuk memahami aspek dan kondisi ketenagakerjaan perikanan rakyat di Indonesia, khususnya
yang Sulawesi Selatan perlu dilihat karakteristik sosial budayanya yang meliputi asal usul,
kelamin, usia dan kondisi fisik. Pengetahuan dan keterampilan teknis seperti halnya sumber daya
laut, modal, tenaga kerja, pengetahuan dan keterampilan kerja merupakan faktor-faktor penggerak
usaha ekonomi, termasuk perikanan rakyat. Berbeda dengan usaha pertanian atau perikanan
modern yang pengusaha dan tenaga kerjanya dibekali pengetahuan dan keterampilan formal dan
non formal, dalam perikanan rakyat Indonesia, terutama yang di KTI, aspek pengetahuan dan
keterampilan, baik berkaitan manajemen usaha maupun dalam proses-proses kerja di laut, pada
umumnya bersifat tradisional yang diperolehnya melalui warisan dari generasi ke generasi, dan
yang tak kalah penting akumulasi pengalaman dan adopsi inovaswi dari luar. Berbagai hasil
survey sosial ekonomi desa-desa nelayan di Sulawesi Selatan misalnya menunjuk rendahnya
pendidikan dan ketrampilan frormal dan non formal dimiliki penduduk nelayan.
Pembedaan antara lembaga dan organisasi masih sangat kabur. Terdapat kebelumsepahaman
tentang arti “kelembagaan” di kalangan ahli. Istilah lembaga dan organisasi secara umum
penggunaannya dapat dipertukarkan dan hal tersebut menyebabkan keambiguan dan kebingungan
diantara keduanya. Bahkan lebih jauh Uphoff (1986), memberikan gambaran yang jelas tentang
keambiguan antara lembaga dan organisasi, “What contstitutes an ‘institution’ is a subject of
continuing debate among social scientist. The term institution and organixation are commonly
used interchangeably and this contributes to ambiguityand confusion” (Norman Uphoff, 1986).
Israel (1990) memberikan penjelasan mengenai konsep umum tentang lembaga yang meliputi
pada semua tingkatan lokal atau masyarakat, unit manajemen proyek, badan atau departemen
pusat dan sebagainya. Dalam kamus ilmiah dikatakan bahwa organisasi adalah Penyusunan dan
pengaturan bagian-bagian hingga menjadi satu kesatuan, susunan dan aturan dari berbagai
bagian sehingga merupakan kesatuan yang teratur untuk tujuan bersama, sedangkan lembaga
disebutkan merupakan sesuatu (badan) yang bergerak secara sistematis yang menyangkut
1
kemasyarakatan.
1
Organisasi yang telah mendapatkan kedudukan khusus dan legitimasi dari masyarakat karena
keberhasilannya memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat dalam waktu yang panjang dapat
dikatakan bahwa organisasi tersebut telah “melembaga”. Simpelnya, lembaga dan organisasi
adalah hal yang sama ditinjau dari gerakan yang terorganisir dan sistimatis.
Lembaga kemasyarakatan merupakan asing socialinstitution dan dapat dilukiskan sebagai suatu
organ yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Lembaga-lembaga ini mulanya terbentuk dari
suatu kebiasaan yang dilakukan terus-menerus sampai menjadi adat istiadat dan kemudian
berkembang menjadi tata kelakuan yang dalam bahasa latin disebut mores. Lembaga social selalu
menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur perilaku masyarakat. Koentjaraningrat dalam
Selo Sumarjan (2005:197) mengartikannya sebagai pranata social yang merupakan suatu system
tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-
kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Hal ini menunjuk pada suatu bentuk,
sekaligus juga mengandung pengertian abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-
peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut.
R.M Mac Iver dan Charles H. Page dalam Abdulsyani (2002:75) mengatakan bahwa lembaga
merupakan bentukbentuk atau kondisi-kondisi prosedur yang mapan, yang menjadi karakteristik
bagi aktivitas kelompok. Selanjunya oleh Polak JBAF menyatakan bahwa lembaga atau social
institution adalah suatu kompleks atau system peraturanperaturan dan adat istiadat yang
mempertahankan nilai-nilai penting. W Hamilton mengemukakan pendapatnya bahwa lembaga
adalah merupakan tata cara kehidupan kelompok, yang apabila dilanggar akan dijatuhi pelbagai
derajat sanksi. Kemudian Soerjono Soekanto menyimpulkan dari sudut pandang sosiologis
dengan meletakkan institusi sebagai lembaga kemasyarakatan, yaitu sebagai suatu jaringan
daripada proses-proses hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia yang berfungsi
untuk memelihara hubungan-hubungan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengankepentingan-
kepentinganmanusia dankelompoknya, sedangkan Summner melihatnya dari sudut pandang
kebudayaan, mengartikan lembaga kemasyarakatan sebagai perbuatan, cita-cita, sikap dan
perlengkapan kebudayaan yang bersifat kekal serta bertujuan untuk memenuhi
kebutuhankebutuhan masyarakat. Dari uraian tersebut di atas dapat disampaikan bahwa lembaga
kemasyarakatan terdapat di dalam setiap masyarakat tanpa memperdulikan apakah masyarakat
tersebut mempunyai taraf kebudayaan bersahaja atau modern. Karena setiap masyarakat tertentu
mempunyai kebutuhankebutuhan pokok yang apabila dikelompok-kelompokan, terhimpun
menjadi lembaga kemasyarakatan atau pun dapat dikatakan bahwa lembaga kemasyarakatan
merupakan himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhaqn pokok
di dalam kehidupan masyarakat dan sebagai wujud nyatanya adalah asosiasi.
1
B. Kelembagaan Kekerabatan
Lembaga-lembaga kekerabatan seperti kelompokkelompok keluarga inti (nuclear family) dan luas
(extended family), kelompok-kelompok persepupuan terdekat (kindred groups) yang berarti
bahwa kekerabatan masih tetap merupakan unsure penting dalam segala aspek kehidupan
manusia. Kelompok patrineal dan system hubungan perkawinan yang merupakan sendi daripada
system kekerabatan mereka yang kemudian kita kenal dengan istilah klen atau faam (marga) dan
masih terbagi lagi dalam sub-sub marga. Marga-marga ini diketuai oleh seorang yang dianggap
bijak dan terpandang dalam masyarakat dari marga tersebut. Mereka ini mempunyai hubungan
emosional tertentu dengan cerita-cerita tentang nenek moyangnya bahkan sampai pada pantangan-
pantangan yang sama pula. Dalam penggolongan di atas para janda digolongkan kedalam
kelompok patrineal dari mendiang suaminya sesuai dengan status dalam adat istiadat masyarakat
tersebut. Begitu pula dengan seorang gadis yang baru menikah, akan sendirinya tergolong dalam
kelompok patrinela ikut suaminya. Dalam kelompok patrineal bila seorang pria (suami)
meninggal tidak akan merubah dan mempengaruhi kedudukan seorang perempuan dalam
kelompok tersebut, dan hak serta kewajibannya menurut adat berlangsung seperti biasa dan
bertanggung jawab penuh atas anak-anak dan kehidupannya. Ada pula garis keturunan ibu atau
matrineal. Di Indonesia ada juga kelompok ini namun sangat terbatas seperti yang terjadi di
daerah Padang. Di Padang kelompok matrineallah yang berkuasa, kebalikan dari kelompok
patrineal yang hampir menguasai daerah-daerah di Indonesia ini. Hubungan kekerabatan tersebut
menunjuk pada hubungan saudara, sepupu maupun kelompok keluarga suami maupun istrinya.
Kadang-kadang istilah tersebut seolah-olah menjadi nama kelompok, hal mana sebenarnya
menunjuk pada hubungan pu kelompok-kelompok tertentu terhadap orang atau kelompok tertentu
pula. Hal ini berlaku pula pada kekerabatan kelompok masyarakat nelayan. Terdapat sebagian
masyarakat nelayan di mana kelompok-kelompok kerja samanya cenderung dari anggota-anggota
keluarga inti kalau bukan keluarga luas. Terdapat juga sebagian masyarakat nelayan dimana
nakhodanakhoda lebih suka merekrut kerabat atau saudara (sepupu atau pun ipar) atau bahkan
tetangga yang telah di anggap saudara secara luas. Rekrutmen sering didasarkan pada pengaruh
organisasi kekerabatan yang didasarkan pada garis keturunan baik dari kelompok patrineal
maupun matrineal dan bahkan bilateral. Di Indonesia sebagian besar mengikuti garis keturunan
dari kelompok bilateral tentu mewarnai bentuk-bentuk kelompok kerja nelayan atau pelayar
sehingga anggotaanggotanya direkrut dari keluarga dan sepupu dari kedua garis keturunan ayah
dan ibu, hal ini hanyalah suatu kecenderungan belaka bukan sesuatu yang mutlak sifatnya.
1
C. Kelembagaan Politik
Menjadi kenyataan dalam masyarakat bahari dimana lembaga-lembaga politik formal belum
banyak bermain memainkan peranan meyolok khususnnya dalam kehidupan ekonomi nelayan.
Ada kecenderungan munnculnnya sikap acuh tak acuh dan menghindar dari sebagian besar
masyarakat nelayan terhadap berbagai kebijakan politik formal, kecuali dianggapnya
menguntungkan. Sikap ini menjadi salah satu cirri khas yang lagi berkembang dalam masyarakat
nelayan. Peraturan- peraturan formal seperti ijin dan larangan mmengambil ataupun menangkap
biota-biota langkah bernilai ekonomi, larangan-larangan menggunakan alat-alat tangkap tertentu
yang sudah akrab dengan para nelayan, penyetoran pajak, bagi sebagian besar nelayan, kal ini
dialaminya sebagai factor penghambat. Sebaliknya mereka cenderung memantapkan
lembagalembaga dan pranata- pranata tradisionalnya sebagai lembaga-lembaga yang bersifat
ganda, termasuk didalamnya fungsi politik. Di Indonesia masih kuat dan bertahannya fungsi
politik dari lembaga-lembaga ekonomi, kekerabatan, atau agama local menggantikan peranan
lembaga-lembaga formal dan non formal baru terutama disebabkan oleh belum ada atau masih
kurangnya prestasi ditunjukkan oleh lembagalembaga tersebutdalam pengembangan berbagai
aspek kehidupan masyarakat nelayan pesisir dan pulau-pulau.
D. Kelembagaan Keagamaan
Religi atau agama kepercayaan mengandung arti adanya hubungan manusia dengan kekuasaan
yang berada di luar kekuasaan atau jangkauan manusia. Adanya hubungan manusia dengan
kekuasaan yang gaib dikarenakan manusia mempunyai kepercayaan atau keyakinan terhadap
kekuasaan yang luar biasa di alam sekelilingnya. H.M. Yamin yang dikutip oleh H. Hadikusuma
(2004 : 32) menyatakan bahwa sampai tahun 1931 Van Vollenhoven hanya menyangka, bahwa
beberapa tatanan hokum adat seperti hak lingkungan desa dan negara adalah penjelmaan pikiran
atau kepercayaan luhur, sedangkan hokum adat itu berasal dari zaman jahiliyah purbakala Malaio-
Polinesia. Baru dalam tahun 1931 beliau berkata bahwa hokum adat itu berdasarkan kepercayaan
istimewa kepada kesaktian. Selanjutnya H.M. Yamin mengemukakan bahwa ada lima sifat
kesaktian dala masyarakat tradisional, yaitu : Benda Kesaktian adalah benda halus yang dianggap
dan dirasakan mengisi segala ruangan atau barang yang juga disebut zat kesaktian atau mujizat
sakti. Paduan Kesaktian adalah zat kesaktian yang lepas atau terikat dalam keadaan terpadu, yang
lepas tidak terikat terdapat di goa, mata air, gunung, pohon beringin dan candi, sedangkan
kesaktian yang lepas bebas seperti Penunggu Nagari, Ratu Lara Kidul, Sang Hyang Desa dan
sebagainya. Kesaktian yang terikat terdapat pada benda atau bagian badan manusia, rambut,
kepala, kuku, air ludah dan sebagainya. Sari Kesaktian terikat misalnya dalam tubuh manusia yang
disebut semangat, nyawa, hawa, misalnya pada raja, dukun-dukun yang tingkatannya berbeda-
beda. Sang Hyang Kesaktian merupakan kesatuan kesaktian, yang dikuasai hanya satu tenaga
sakti yang disebut Sang
1
Hyang Widhi, Tuhan, Allah, dan sebagainya. Pengantara Kesaktian ialah seperti dukun, datu,
wali, yogiswara dan lainnya. Dalam perkembangannya manusia percaya bahwa adanya alam
semesta dan segenap isinya, karena kekuasaan kesaktian yang mengadakan dan menentukannya.
Wujud dari kepercayaan itu nampak manusia melaksanakan acara pemujaan, permohonan, dan
upacara keagamaan lainnya dengan berbagai cara. Ada yang dilakukan manusia orang perorang,
ada yang bersama dalam kelompok dan ada yang memakai perantara. Ada yang nampak sebagai
sikap perilaku yang berwujud hormat dan khidmat dalam berhubungan dengan yang suci atau
supra natural yang disebut religi (latin : religio) yang merupakan kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berdasarkan ajaran-ajaran yang disampaikan para Nabi dan Rasul yang mempunyai
mujizat, kemudian dilanjutkaqn oleh para Wali, guru agama, yang sesudah meninggal
dikeramatkan atau dimuliakan. Ada pula yang sifatnya karena kagum terhadap sesuatu yang aneh
atau Mirakel (latin : Miraculum) lalu timbul perilaku pemujaan, misalnya terhadap bangunan
kuno yang indah, yang besar dan megah, termasuk penghormatan kepada alat-alat senjata,
peralatan adat dan juga pakaian kuno yang mempunyai kesaktian. Ada pula yang disebut Magi
(Yunani : Mageia) yang merupakan ilmu sihir (sihir : tipuan) dikarenakan seseorang mempunyai
daya piker dan perilaku yang diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib, dengan menggu nakan
benda atau tanpa benda yang disebut jimat. Kalau bertujuan baik disebut magi putih dan kalau
bertujuan tidak baik disebut magi hitam. Bidang-bidang ekonomi kebaharian menunjuk secara
nyata aktivitas-aktivitas pemanfaatan sumber daya laut dan jasa-jasa laut yang berat, rumit dan
berbahaya. Dalam mengelola usaha-usaha kebaharian, terutama perikanan dan pelayaran,
masyarakat nelayan dimana-mana banyak menggunakan keyaninan-keyakinan dan praktek-
praktek religious dan magic dalam mengatasi persoalan-persoalan fisik di laut dan perolehan
keuntungan. Keyakinan dan praktekpraktek tersebut biasanya diwadah dalam lembaga-lembaga
agama dan kepercayaan tradisional. Bagi mereka, aspek keyakinan, praktek upacara, bacaan
mantra, pantangan, dan lain-lain sekurang-kurangnya dipraktekan secara individual ataupun
kelopok di rumah ataupun di tempat-tempat dimana para nelayan tersebut beraktivitas. Di
Indonesia berdasarkan berbagai hasil penelitian dan cerita terdapat kecenderungan bahwa unsure
upacara religius banyak dipraktekkan nelayan dan pelaut dimana praktekpraktek keyakinan agama
dan kepercayaannya diterapkan dengan harapan mendapat restu, hasil dan keselamatan.
1
BAB III
PENUTUP
Berbagai masalah yang muncul dalam mengelola dan memanfaatkan lingkungan laut menjadi dasar
dari tumbuh dan berkembangnya organisasi dan kelembagaan masyarakat maritim guna memenuhi
fungsi spesifik yang berkaitan dengan masalah tersebut. Karasteristik kemaritiman terlihat jelas dalam
pola- pola kelembagaan yang ada karena secara determinan dipengaruhi oleh lingkungan laut. Salah
satu unsur kelembagaan dan organisasi masyarakat matitim yang menonjol dapat kita lihat di
Sulawesi Selatan terdapat ponggawa sawi. cepat atau lambat setiap kebudayaan dan masyarakat di
dunia akan mengalami suatu perubahan atau perkembangan, tak terkecuali masyarakat dan
kebudayaan maritim dimana lingkungan laut dengan sumber daya potensial dan melimpah yang
berperan sebagai perangsang terhadap pertumbuhan dan perkembangan budaya kemaritiman
masyarakat daerah pantai dan pulau- pulau terkhusus di indonesia. Sebaliknya, masyarakat manusia
memberi respons budaya dengan aktif, arif, dan bijak terhadap lingkungan beserta potensi sumber
daya lautnya dengan berbagai gagasan dan wawasan, Tindakan, teknik-teknik pemanfaatan bagi
kehidupannya. Dengan melalui perjalanan waktu yang Panjang dan proses pembentukan yang lambat
maupun cepat, maka akan membentuk suatu sistem budaya, social, serta teknologi masyarakat
manusia yang berbeda-beda yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya perairan dan jasa-
jasa laut yang disebut dengan budaya kemaritiman.
3.1 Keesimpulan
Kebudayaan dan masyarakat maritim Indonesia sangat kompleks dan melibatkan berbagai aspek
kehidupan. Dengan berbagai sumber daya potensial yang menjadi awal untuk tumbuh dan
berkembangnya kebudayaan dan masyarakat maritim. Dengan kelembagaan atau komunitas
yang bergokus pada Kerjasama dan pemanfaatan sumber daya laut di sektor ekonomi. Juga
dengan penekanan Pada perlunya upaya untuk mengelola danmemanfaatkan sumber daya
potensial secara berkelanjutan guna melestarikan lingkungan, maka dengan itu peran
kelembagaan baik tradisional maupun local dianggap penting dalam pengelolaan sumber daya.
3.2 Saran
Guna terus mengembangkan budaya kemaritiman dan masyarakat kemaritiman, perlu
diadakannya pendekatan manajemen yang berbasisi masyarakat dalam pengelolaan sumber
daya laut. Tidak hanya dengan dukungan kelembagaan tradisional, tetapi juga dengan peran
Lembaga local dan pemerintah. Selain itu, penting juga untuk melestarikan pegetahuan,
kepercayaan dan pengetahuan tradisional dalam pengelolaan yang berkelanjutan.
1
DAFTAR PUSTAKA
Naping Hamka. (2017). Laut, Manusia, dan Kebudayaan. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara
Novi. Budaya Maritim: Konsep, 7 Unsur, Hingga Contoh. Beritaku.id. Diakses 29 Agustus 2023 dari
https://beritaku.id/budaya-maritim-konsep-7- unsur-hingga-contoh/
Jayanti, Irma Dwi, Isrina Siregar, and Budi Purnomo. "SUKU MANDAR: MENGENAL
KEBUDAYAAN MARITIM DARI PROVINSI SULAWESI BARAT." KRINOK| Jurnal Pendidikan
Sejarah dan Sejarah 2.1 (2023)
Studi Sosial Budaya untuk Peningkatan Mutu Sumberdaya Manusia di Pedesaan. Departemen Dalam
Negeri RI. Tahun 1994.