Thjkt-39-Naskel Thiopulus Baharsyah Timotius
Thjkt-39-Naskel Thiopulus Baharsyah Timotius
Diajukan oleh
NPM : 19/448170/PHK/10679
JAKARTA
2019/2020
pg. 1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................... I
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A. Latar Belakang............................................................................................. 3
B. Tujuan dari hukum...................................................................................... 7
C. Identifikasi Masalah…................................................................................. 9
D. Metode Penelitian........................................................................................ 9
BAB II PEMBAHASAN 10
A. Asas Kelangsungan Usaha …………........................................................... 10
B. Tujuan Hukum Memandang Asas Kelangsungan Usaha............................. 17
BAB III PENUTUP 24
A. Kesimpulan ………………………………………....................................... 24
B. Saran………………………………………………………………………… 24
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 25
pg. 2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Utang adalah kata yang sering terdengar atau didengar dalam suatu masyarakat,
terutama di dalam dunia usaha, lazimnya berkaitan dengan pelaku usaha perorangan maupun
badan usaha. Utang tersebut kadangkala dalam proses pembayarannya tidak selalu berjalan
dengan baik dan lancar, bahkan seringkali keadaan keuangan pelaku usaha pada titik terendah
dari kemampuannya untuk membayar utang, sehingga sampai pada suatu keadaan berhenti
membayar.
1
Kartini Mulajadi, Pengertian Prinsip-Prinsip Umum Hukum Kepailitan, dalam Penyelesaian UtangPiutang
melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Rudy A. Lontoh dkk (editor),2001, Alumni :
Bandung, hal. 78
2
Jatuh tempo diartikan sebagai sebagai utang yang telah lampaunya waktu penjadwalan yang ditentukan di
dalam suatu perjanjian, menjadi jatuh waktu dan karena itu pula kreditor berhak menagihnya. (Sutan Remy
Sjahdeini, “Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan”, Grafiti,
Jakarta, hlm. 57).
3
“Reformasi hukum” adalah perubahan secara drastis untuk tujuan perbaikan di bidang hukum dalam suatu
masyarakat atau negara, sedangkan istilah “kepailitan” menunjuk pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 4
Tahun 1998 yang berarti: “debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas
permohonan debitor sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya” setelah berlaku UU
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pengertian kepailitan
disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 sebagai “sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan
dan pemberesannya, dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur
dalam undangundang kepailitan,” sedangkan menurut Black’s Law Dictionary pailit atau bankrupt adalah “the
state or conditional of a person (individual, partnership, corporation, municipality, who is unable to pays its
dept as they are, or became due the term includes a person against whom am involuntary petition has been
field or who has field a voluntary petition or who has been adjudged a bankrupt”.
pg. 3
pertengahan tahun 2008, rupiah sempat anjlok hingga menyentuh ke level terendah di kisaran
Rp.16.000/US Dollar. Pertumbuhan ekonomi terus merosot hingga minus 13 sampai dengan
minus 14 dan tingkat inflasi membumbung tinggi dari angka 10% menjadi sekitar 70%. 4
Kondisi perekonomian tersebut menimbulkan kelumpuhan total pada hampir seluruh sektor
usaha dan perdagangan, terlebih bagi perusahaan yang menggunakan US Dollar sebagai
sistem pembayarannya. Masalah lainnya karena nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS
terperosok, utang pemerintah dan swasta (yang memakai standar Dolar AS menjadi
5
membengkak). Maka dari pihak pemberi bantuan Finansial kepada Indonesia antara lain
IMF (International Monetery Fund) diharapkan supaya sarana hukum yang mengatur soal
pemenuhan kewajiban oleh Debitor kepada Kreditor diperbaiki jika dianggap masih kurang
6
memadai yang diharapkan oleh berbagai pihak/ Kreditor aturan hukum yang digunakan
mampu menyelesaikan perkara – perkara bisnis, khususnya masalah utang piutang secara
adil, terbuka dan efektif.7
Pengertian Kepailitan itu sendiri dalam Undang –undang Negara Republik Indonesia
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU
Kepailitan) adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawasan
sebagaimana diatur dalam undang – undang ini.
Pailit berasal dari kosa kata bahasa Perancis yaitu Faillete yang berarti pemogokan
atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam
bahasa Perancis disebut Le failli. Kata kerja failir berarti gagal; dalam bahasa Inggris dikenal
dengan kata to fail yang mempunyai arti sama dalam bahasa latin yaitu failure. Negara-
negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan mempergunakan istilah-
4
Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (Civil Law System) dengan Amerika
Serikat (Common Law System), 2004, Medan, USU Reprositori Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
hal. 2.
5
Bernard, Nainggolan. Perlindungan hukum seimbang debitor, kreditor, dan pihak-pihak berkepentingan
dalam kepailitan. Alumni, 2011. Hal.1
6
Sudargo, Gautama. Komentar atas peraturan kepailitan baru untuk Indonesia, Citra Aditya Bakti, 1998. Hal. 1
7
Bernard, Nainggolan. Op.Cit. Hlm. 2
pg. 4
istilah bankrupt dan bankruptcy.8 Pengertian kepailitan diungkapkan pula oleh para ahli
berdasarkan berbagai sudut yang berbeda, perbedaan tersebut tampak dalam narasi yang
tercantum dalam setiap pengertiannya, akan tetapi patut dipahami bahwa perbedaan narasi
terebut tidak mengurangi dari substansi akan pengertian pailit, yang menunjukkan adanya
persamaan bahwa pailit merupakn kewajiban Debitor yang harus dibayarkan kepada kreditor
sebagai haknya. Pengertian-pengertian tersebut antara lain pandang yang berbeda, perbedaan
tersebut tampak dalam narasi yang tercantum dalam setiap pengertiannya, akan tetapi patut
dipahami bahwa perbedaan narasi terebut tidak mengurangi dari substansi akan pengertian
pailit, yang menunjukkan adanya persamaan bahwa pailit merupakn kewajiban debitor yang
harus dibayarkan kepada Kreditor sebagai haknya. Pengertian-pengertian tersebut antara
lain :
8
Sunarmi, Op. cit
9
R.Surayatin, Hukum Dagang I, dan II, Jakarta, Pradnya Paramita, 1983, hal.264.
10
Fred B.G. Tumbuan, Pokok-pokok Undang-undang Tentang Kepailitan Sebagaimana diubah oleh PERPU
No/1998, dalam Rudhy A.Lontoh, Denny Kailimang dan Benny Pontoh (ed.), Hukum Kepailitan : Penyelesaian
Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran,Ed.1., Cet.1, Bandung, Alumni, 2001,
hal.125.
11
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Jakarta, Pradnya Paramita, 1985, hal.7.
pg. 5
harta kekayaan debitor untukkepentingan semua Kreditor yang bersangkutan,
yang dijalankan dengan pengawasan pemerintah”12
12
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan, Perseroan dan Asuransi, Bandung, Alumni, 2007, hal. 15.
13
Berita Hukumonline.com, “Hakim Karier Menilai Proses Kepailitan Terlalu Mudah”
pg. 6
insolvensi,14 perseroan yang hendak dipailitkan harus merugi secara terus menerus dan
modalnya tergerus hingga melebihi 50% (persen). Melihat kondisi tersebut, Indonesia hanya
menganut asumsi tidak mampu bayar. Asumsi ini dibangun dengan persangkaan hukum yang
tercermin dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan.15
B. Tujuan Hukum
Menurut Gustav Radbruch , tujuan hukum adalah untuk mencapai keadilan, kepastian
hukum dan memberikan manfaat bagi masyarakat, dan oleh karena itulah hukum harus
dinamis dan sesuai dengan perkembangan pada masa ini agar tercapailah tujuan hukum yang
dimaksud yaitu bermanfaat bagi masyarakat dalam rangka pencapaian ketertiban dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat.
14
Insolvensi diartikan sebagai ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban financial ketika jatuh waktu
seperti layaknya dalam bisnis, atau kelebihan kewajiban dibandingkan dengan asetnya dalam waktu tertentu.
(Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 135.)
15
Sri Rahayu, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Opini Audit Going Concern Pada Perseroan
Manufaktur Publik”, Jurnal Kajian Akuntansi, Desember, 2009, hal. 148.
pg. 7
Pertanyaan mengenai apa keadilan itu meliputi dua hal, yaitu yang menyangkut hakikat
keadilan dan menyangkut isi atau norma untuk berbuat secara konkret dalam keadaan
tertentu. Hakikat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan
mengkajinya dengan suatu norma yang menurut pandangan subjektif (Subjektif untuk
kepentingan kelompoknya, golongannya dan sebagainya) melebihi norma – norma lain.
Dalam hal ini ada dua pihak yang menerima perlakuan: orangtua dan anaknya, majikan dan
buruh, hakim dan yustisiabel, pemerintah dan warganya, serta Kreditor dan Debitor.16
Aristoteles dalam tulisannya Retorica membedakan keadilan dalam dua macam yaitu
keadilan distributif (justitia distributiva) sebagai keadilan yang memberikan kepada setiap
orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-masing, serta
keadilan komulatif (justitia cummulativa) sebagai keadilan yang diterima oleh masing-
masing anggota tanpa memperdulikan jasa masing-masing. Keadilan komulatif ini didasarkan
pada transaksi (sunallagamata) baik yang sukarela atau pun tidak.17
Menurut Utrecht, Kepastian Hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau
tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui
apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.18
16
Bernard Nainggolan. Perlindungan hukum seimbang debitor, kreditor, dan pihak-pihak berkepentingan
dalam kepailitan. Alumni, 2011
17
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum, Pemikiran Menuju
Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta, Rajawali Pers, 2012, hal. 367-368.
18
Syahrani Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum , Bandung, Penerbit Citra Aditya Bakti, , 1999, hal. 23.
pg. 8
bahwa tujuan hukum menurut Bentham adalah untuk mencapai the greatest happiness of the
greatest number (kebahagiaan sebesar-besarnya dari jumlah manusia sebanyak-banyaknya).19
C. Identifikasi Masalah
D. Metode Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan
yuridis normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan, yaitu
penelitian terhadap data sekunder atau data kepustakaan. Penelitian ini mengkaji data
sekunder mengenai perlindungan terhadap Debitor melalui asas kelangsungan usaha (going
concern) dalam persyaratan permohonan pailit.
19
Admin Panduan Hukum “Teori Tentang Tujuan Hukum Lebih dalam (1)” http://panduanhukum.com/teori-
tentang-tujuan-hukum-lebih-dalam/ diakses pada tanggal 10 Desember 2019
pg. 9
BAB II
PEMBAHASAN
20
Perkara-perkara kepailitan dan PKPU kualitasnya lebih dan bervariasi, bukan hanya berupa utang debitor
yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, melainkan antara lain berupa penerbitan surat berharga promissory
note, obligasi, surat sanggup, pemberian modal kerja, pemberian jaminan baik personal guaranty maupun
corporate guaranty, purchasing order, kartu kredit, penerbitan L/C, kredit pembiayaan, sewa menyewa, anjak
piutang, pinjaman sindikasi, perjanjian keagenan, factoring, penerbitan surat sanggup, perjanjian asuransi,
perjanjian jual beli. (Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Edisi ke-2, Jakarta,
PT Sofmedia, 2010, hal. 292.)
21
Sri Redjeki Hartono, Hukum Ekonomi Indonesia, cetakan ke-2, Malang, Bayumedia Publishing, 2007, hal. 122.
22
Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Bandung, Alumni, 1980, hal. 107.
23
Mukti Arto, Mencari Keadilan, Kritik dan Sosial Terhadap Praktik Peradilan Perdata, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2001, hal. 12-13.
pg. 10
Dalam kepailitan, perusahaan tidak selalu secara otomatis menyebabkan perseroan
berhenti melakukan segala perbuatan hukumnya termasuk melakukan kegiatan usaha.
Terdapat pihak-pihak tertentu antara lain Hakim Pengawas dan Kurator yang akan menilai
dan mempertimbangkan berlakunya akibat hukum kepailitan, antara lain menentukan
kelangsungan usaha perusahaan.
Kurator, pada prinsipnya mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan pengurusan
harta pailit dari perusahaan tersebut. Pasal 69 Ayat (1) UU Kepailitan antara lain secara tegas
menyatakan kurator harus meminta persetujuan terhadap hakim pengawas, misalnya dalam
meneruskan jalannya usaha perseroan. Rasio dari proporsisi tersebut, ketika perusahaan
dalam pailit masih melanjutkan usahanya (going concern), perseroan pailit akan banyak
melakukan transaksi dalam lalu lintas hukum seperti menjaminkan aset perseroan dan
melepas aset perseroan.
Tujuan UU Kepailitan terutama berkaitan dengan perlindungan yang ditujukan kepada
debitor, tidak secara eksplisit dinyatakan dalam setiap pasal-pasalnya, akan tetapi
perlindungan itu dapat dilihat dari penjelasan terhadap asas-asas sebagai berikut:
1) Asas Keseimbangan, Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang
merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat
ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga
kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat
mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor
yang tidak beritikad baik;
2) Asas kelangsungan usaha, dalam Undang-undang ini, terdapat ketentuan yang
memungkinkan perseroan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan;
3) Asas Keadilan, dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa
ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang
berkepentingan. Kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan
pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor, dengan tidak
mempedulikan kreditor lainnya;
4) Asas Integrasi, dalam Undang-undnag ini mengandung pengertian bahwa sistem
hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem
hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
Going concern atau asas kelangsungan usaha, merupakan prinsip kelangsungan hidup
suatu entitas (badan usaha). Going concern menunjukkan suatu entitas (badan usaha)
dianggap akan mampu mempertahankan kegiatan usahanya dalam jangka panjang, tidak akan
dilikuidasi dalam jangka waktu pendek. Bukti akan potensi dan kemampuan bertahan suatu
pg. 11
badan usaha atau perseroan yang termasuk dalam kategori, dibuktikan dalam bentuk laporan
auditor selaku pihak yang memiliki kompetensi dalam menilai apakah suatu perseroan dapat
tepat melangsungkan usahanya atau layak untuk dipailitkan.
Erman Rajagukguk, memberikan pendapat bagaimana going concern, memegang peranan
penting dalam suatu proses permohonan pailit terutama suatu putusan permohonan pailit,
walaupun telah memenuhi persyaratan permohonan pailit sebagaiman diatur di dalam Pasal 2
Ayat (1) junto Pasal 8 Ayat (4) UU Kepailitan, hakim pengadilan niaga hendaknya
mempertimbangkan kondisi debitor, adapun pendapat Erman Rajagukgugk tersebut, adalah
sebagai berikut24 :
“Hakim perlu mempertimbangkan kondisi Debitur dalam memutuskan perkara
kepailitan, manakala Debitur yang bersangkutan masih mempunyai harapan untuk
bangkit kembali, mampu membayar utangnya kepada Kreditur, apabila ada waktu yang
cukup dan besarnya jumlah tenaga kerja yang menggantungkan nasibnya pada perseroan
yang bersangkutan. Dalam kasus-kasus tertentu kesempatan untuk terus berusaha perlu
diberikan kepada Debitur yang jujur dan dengan putusan itu pula sekaligus kepentingan
Krediturdan kebutuhan masyarakat dapat dilindungi”
Asas kelangsungan usaha (going concern) merupakan salah satu asas hukum dalam UU
25
Kepailitan. Sebagai asas hukum yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-
undangan, maka asas kelangsungan usaha telah melalui proses penilaian etis dari pembentuk
undang-undang. Dengan demikian, asas kelangsungan hidup suatu badan usaha merupakan
asumsi dalam pelaporan keuangan suatu entitas sehingga jika suatu entitas mengalami
kondisi yang sebaliknya, entitas tersebut menjadi bermasalah (Petronela, 2004 dalam Santosa
dan Wedari 2007). Going concern disebut juga sebagai kontinuitas yang merupakan asumsi
akuntansi yang memperkirakan suatu bisnis akan berlanjut dalam jangka waktu yang tidak
terbatas (Syahrul, 2000 dalam Rahman dan Siregar, 2012).
Pertimbangan utama untuk melanjutkan kegiatan usaha terhadap perusahaan yang telah
dinyatakan pailit adalah bahwa nilai ekonomis (economic value) perusahaan jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai aset fisik dari perusahaan tersebut. M. Hadi Shubhan memberikan
contoh dari proposisi ini adalah perusahaan asuransi, perusahaan sekuritas, perusahaan
pengembang (developer) dan perusahaan pembiayaan (multifinance). Perusahaan-perusahaan
tersebut ini seringkali memiliki aset yang positif, melainkan sering terjadi negative cash flow.
Perusahaan yang mempunyai masalah cash flow yang negatif akan jauh berbeda
24
Erman Rajagukguk, “Latar Belakang dan Ruang Lingkup Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang
Kepailitan”, dalam dalam Rudhy A.Lontoh, Denny Kailimang dan Benny Pontoh (ed.), Hukum Kepailitan:
Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran, Ed.1, Cet.1,Bandung,
Alumni, 2001, hal. 200.
25
Penjelasan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyebutkan terdapat empat asas, yakni asas
keseimbangan, asas keadilan, dan asas kelangsungan usaha serta asas integras
pg. 12
penanganannya dengan perusahaan yang mempunyai masalah aset yang negatif. Kepailitan
sebenarnya diperuntukan terhadap perusahaan yang mempunyai aset negatif dan tidak
ditujukan kepada perusahaan yang hanya sekedar masalah dengan kinerja cash flow-nya.
Perusahaan didirikan dengan tujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup (going
concern). Kelangsungan hidup usaha selalu dihubungkan dengan kemampuan manajemen
dalam mengelola perusahaan agar bertahan hidup. Salah satu bentuk pertanggungjawaban
manajemen kepada masyarakat, khususnya para pemegang saham adalah berupa laporan
keuangan. Laporan keuangan memberikan gambaran mengenai posisi keuangan, kinerja
perusahaan, dan perubahan posisi keuangan.
Pengertian asas kelangsungan usaha sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum
UU Kepailitan adalah dimungkinkannya perusahaan Debitor yang prospektif tetap
dilangsungkan. Norma tersebut dalam Pasal 104 ayat (1) dan (2), Pasal 179 ayat (1) dan Pasal
184 ayat (2) yang dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 104
“(1) Berdasarkan persetujuan panitia kreditor sementara, Kurator dapat
melanjutkan usaha Debitor yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan
pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.”
“(2) Apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditor, Kurator
memerlukan izin Hakim Pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)”.
Pasal 179
“(1) Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana
perdamaian atau jika rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima,
kurator atau kreditor yang hadir dalam rapat dapat mengusulkan supaya
perusahaan debitor pailit dilanjutkan“
Pasal 184
“(2)” Dalam hal perusahaan dilanjutkan dapat dilakukan penjualan
benda yang termasuk harta pailit, yang tidak diperlukan untuk meneruskan
perusahaan”
Black's Law Dictionary, memaknai kelangsungan usaha atau going concern adalah : 26
“Going Concern’s An enterprise which is being carried on as a whole, and
with some particular object in view. The term refers to an existing solvent business,
which is being conducted in the usual and ordinary way for which it was organized.
26
Henry Campbell Black, M. A., “Black's Law Dictionary :Definitions of the Terms and Phrases of American and
English Jurisprudence, Ancient and Modern”, Fifth Edition ST. Paul Minn., West Publishing Co.1979.
pg. 13
When applied to a corporation, it means that it continues to transact its ordinary
business. A firm or corporation which, though financially embarrassed, continues to
transact its ordinary business.”
( “Going concern adalah suatu perseroan yang sedang dijalankan secara keseluruhan,
dan dengan memperhatikan beberapa hal. Istilah ini mengacu pada sebuah kemampuan
menyelesaikan permasalahan bisnis yang ada, yang dijalankan secara biasa dan wajar. Ketika
diterapkan pada sebuah perusahaan, itu berarti bahwa perseroan tersebut terus bertransaksi
bisnis secara wajar. Sebuah perseroan perseroan atau yang, meskipun secara finansial
mengalami permasalahan, terus bertransaksi bisnis secara wajar.”)
Munir Fuady27 menyatakan bahwa biasanya program-program restrukturisasi utang
antara
lain: 1) Moratorium, yakni merupakan penundaan pembayaran yang sudah jatuh tempo; 2)
Haircut, merupakan pemotongan pokok pinjaman dan bunga; 3) Pengurangan tingkat suku
bunga; 4) Perpanjangan jangka waktu pelunasan; 5) Konversi utang kepada saham; 6) Debt
forgiveness
(pembebasan utang); 7) Bailout, yakni pengambilaalihan utangutang, misalnya
pengambilalihan utang-utang swasta oleh pemerintah; 8) Write-off, yakni penghapusbukuan
utang-utang.
Harapan-harapan yang sedemikian besar ditujukan terhadap eksistensi kelangsungan
usaha. Secara nyata kelangsungan usaha berpotensi memberikan nilai tambah berupa laba
yang pada gilirannya didistribusikan untuk membiayai perusahaan, dibagikan kepada tenaga
kerja sebagai upah, sebagai penerimaan negara berupa pajak maupun membiayai kegiatan
yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan. Secara lebih rinci dapat
digambarkan sumber keuntungan (profit) oleh perusahaan adalah sebagai berikut ; a) untuk
mendesaian produk-produk yang lebih baik sesuai dengan keinginan pelanggan, b) membayar
upah dan keuntungan yang adil kepada para pegawainya, c) membayar para pemasok dengan
harga yang pantas dengan jangka waktu yang layak, d) mendanai kegiatan yang berkenaan
dengan tanggung jawab sosial perusahaan, dan e) membayar para direksi dan pemegang
saham perusahaan atas penggunaan modal mereka.
Manfaat lain dari pelanjutan usaha perusahaan yang pailit sebagaimana dikemukakan oleh
J.B. Huizink bahwa nilai suatu perusahaan sering lebih tinggi dari pada jumlah nilai dari
masing-masing unitnya. Jika suatu perusahaan dibekukan, karyawannya diberhentikan serta
aktiva-nya
27
Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Edisi Revisi (Disesuaikan dengan UU Nomor 37
Tahun 2004), Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005, hal. 200.
pg. 14
dilikuidasi, maka hasil yang diperoleh jelas akan lebih sedikit daripada jika perusahaan itu
dijual sebagai suatu on going concern28. Lebih lanjut Huizink menyatakan bahwa pelanjutan
kegiatan usaha dapat didorong juga oleh berbagai alasan, misalnya karena kurator melihat
kemungkinan kemungkinan untuk meneruskan perusahaan pailit itu dalam bentuk yang lebih
ramping, baik oleh si pailit (setelah penawaran suatu perdamaian) atau yang lebih sering, oleh
pihak lain. Alasan kedua, yang lebih umum, adalah untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan
yang sedang berjalan atau untuk mewujudkan tercapainya hasil yang lebih besar dalam
rangka pencairan perusahaan tersebut.29
Penormaan ini bermakna penting terutama dalam penerapan hukum oleh hakim, dengan
adanya ketentuan asas kelangsungan usaha, maka para hakim seyogyanya senantiasa
memperhatikan ketentuan asas kelangsungan usaha, yang berarti tetap memperhatikan
potensi dan prospektif perusahaan Debitor, dan kepailitan merupakan ultimum remedium.
Seandainya, terhadap perusahaan pailit, Kurator dengan persetujuan Kreditor dan Hakim
Pengawas tetap memberi kemungkinan perusahaan Debitor on going concern dalam rangka
meningkatkan harta pailit yang barang tentu menguntungkan para Kreditornya.
Sebagai contoh, pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam putusan
Nomor : 024/PK/N/1999 dalam perkara PT Citra Jimbaran Indah Hotel melawan Sangyong
Engineering& ConstructionCo.Ltd, yang dalam hal ini mengabulkan permohonan Peninjauan
Kembali dengan pertimbangan sebagai berikut :
“Potensi dari prospek usaha Debitor harus pula dipertimbangkan secara baik. Jika
Debitor masih mempunyai potensi dan prospek, sehingga merupakan tunas-tunas yang
masih dapat berkembang seharusnya masih dapat diberi kesempatan untuk hidup dan
berkembang. Oleh karena itu penjatuhan pailit merupakan ultimum remedium”.
28
J.B. Huizink, Insolventie, Terjemahan Linus Doludjawa, Jakarta, Penerbit Pusat Studi Hukum dan Ekonomi
Fakultas Hukum UI, 2004, hal . 10-11.
29
Ibid. hal. 70
pg. 15
permohonan pernyataan pailit Debitor yang masih memiliki potensi dan prospek usaha
untuk berkembang sehingga dikemudian hari akan dapat melunasi utang-utangnya kepada
Kreditor.30
30
Sutan Remy Sjahdeini, Ibid, hal.29.
pg. 16
B. Tujuan Hukum memandang asas kelangsungan usaha (going concern)
Nilai dasar hukum yang berupa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum telah
mendapat pengaturannya secara seimbang dalam UUK dan PKPU khususnya mengenai asas
kelangsungan usaha sebagai landasan filosofis perlindungan hukum bagi Debitor pailit
sehubungan tidak adanya insolvency test dalam penyelesaian sengketa kepailitan yaitu
sebagai berikut :
1. Teori keadilan
Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti: tidak berat sebelah, tidak
memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak sewenang-wenang (Eko Hadi
Wiyono, 2007: 10). Adil mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan
atas norma-norma yang berlaku sesuai aturan hukum, dengan tetap memperhatikan
kepentingan masyarakat, serta keberlakuannya mempunyai kedudukan yang sama bagi semua
pihak (M. Agus Santoso, 2012: 85). Aristoteles dalam bukunya “Rhetorica” menyatakan
bahwa keadilan ialah memberikan kepada tiap-tiap orang apa yang berhak ia terima yang
memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus. Oleh karenanya hukum harus membuat
apa yang dinamakan “Algemeene Regels” (peraturan umum). Berdasarkan ketentuan ini
menunjukan bahwa aturan hukum bertujuan untuk menciptakan suatu keteraturan dalam
kehidupan masyarakat teratur demi kepentingan kepastian hukum, meskipun suatu waktu
dapat menimbulkan ketidakadilan (Aristoteles, dalam R. Soeroso, 2007: 58). Berdasarkan hal
ini menunjukan bahwa hukum harus menentukan peraturan umum, harus menyamaratakan
(L.J. Van Apeldoorn, 1968: 22). Pengertian keadilan sebagaimana dijelaskan oleh Aristoteles
menunjukan bahwa sesuatu dikatakan adil apabila setiap orang mendapatkan bagiannya yang
oleh orang Romawi diterjemahkan dalam bahasa Latin ius suum cuique tribuere Peter
(Mahmud Marzuki, 2009: 151).
Berdasarkan pendapat John Rawls menyatakan bahwa cara yang adil untuk
mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda adalah melalui keseimbangan
kepentingan itu sendiri, tanpa adanya perlakuan istimewa terhadap suatu kepentingan
sehingga tercipta keadilan bagi masing-masing pihak (John Rawls, dalam Karen Leback,
2012: 53). Berdasarkan konsep pengertian keadilan yang diajarkan oleh Aristoteles dan John
Rawls dalam hubungannya dengan mekanisme kepailitan, asas keadilan perlu menjadi
pertimbangan dan menjadi pedoman dalam tahap pengurusan dan pemberesan harta debitor
pailit (Adriani Nurdin, 2012: 318)
Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa pengertian keadilan adalah semua hal
yang berkenan dengan sikap dan tindakan dalam hubungan antar manusia, keadilan berisi
pg. 17
sebuah tuntutan agar orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan hak dan kewajibannya,
perlakukan tersebut tidak pandang bulu atau pilih kasih; melainkan, semua orang
diperlakukan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya.31
2. Asas Kelayakan untuk Dinyatakan Pailit, asas ini menghendaki bahwa permohonan
pailit hanya dapat diajukan terhadap Debitor yang insolven yaitu Debitor yang tidak
membayar utang-utangnya kepada para kreditor mayoritas. Dalam UU Kepailitan
tidak ada ketentuan yang mensyaratkan kelayakan debitor untuk dinyatakan pailit,
kalau syarat untuk dinyatakan pailit sudah terpenuhi, hakim dapat saja menyatakan
Debitor pailit walaupun misalnya utang debitor sangat kecil dibandingkan asetnya.
Jadi UU Kepailitan tidak menganut asas kelayakan untuk dinyatakan pailit.
pg. 22
3. Asas ultimum remedium, asas ini menghendaki bahwa pernyataan pailit merupakan
pilihan terakhir dalam menyelesaikan permasalahan utang piutang. UU Kepailitan
menganut asas ini dengan melihat bahwa sebelum pernyataan pailit diucapkan,
diberikan kesempatan kepada debitor untuk mengajukan usulan perdamaian dan
permohonan PKPU. Maksud daripada asas ini sejalan dengan asas pengayoman.
Ketentuan mengenai perdamaian terdapat dalam Pasal 145 sampai dengan Pasal 177
UU Kepailitan, sedangkan mengenai PKPU terdapat pada keseluruhan BAB III UU
Kepailitan.
pg. 23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam hal permohonan Kepailitan yang diajukan oleh dua atau lebih Kreditor
sebagaimana syarat Kepailitan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dirasa Penulis terlalu
sederhana dalam menentukan Debitor pailit dengan diajukan oleh minimal dua Kreditor.
Karena diketahui bahwa apabila syarat – syarat ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UUK terpenuhi,
dan Debitor dijatuhkan putusan pailit maka akibatnya berlaku ketentuan kepailitan
sebagaimana dalam UU Kepailitan bagi Kreditor dan Debitor. Menjadi tidak adil bagi
Debitor apabila usaha Debitor masih memungkinkan untuk menghasilkan keuntungan dan
kemampuan untuk melunasi utang-utang Debitor.
B. Saran
Dengan tidak adanya Incolvency test dalam UU Kepailitan di Indonesia, sebaiknya syarat
permohonan pailit seperti di dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan, diubah dan dipersulit
dengan mempertimbangkan kemampuan Debitor untuk menjalankan usahanya. Sehingga
Kreditor dapat menggunakan upaya hukum lainnya seperti Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU). Agar tujuan hukum meliputi dan melindungi seluruh pihak yang
berkepentingan.
pg. 24
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
A.Lontoh, Rudhy dan Denny Kailimang dan Benny Pontoh (ed.) 2001, Hukum Kepailitan :
Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban
Pembayaran,Ed.1.,
Cet.1, Alumni, Bandung.
Arto, Mukti. 2001, Mencari Keadilan, Kritik dan Sosial Terhadap Praktik Peradilan
Perdata,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Asyhadie, H . Zaeni. 2013, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrapindo Persada, Jakarta.
Black, Henry Campbell, M. A., 1979. “Black's Law Dictionary :Definitions of the Terms and
Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern”, Fifth Edition
ST.
Paul Minn., West Publishing Co
Black Law Dictionary
Fuady, Munir. 2005, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Edisi Revisi (Disesuaikan
dengan
UU Nomor 37 Tahun 2004), Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hartono, Sri Redjeki. 2007, Hukum Ekonomi Indonesia, cetakan ke-2, Bayumedia Publishing,
Malang.
Huizink, J.B. 2004, Insolventie, Terjemahan Linus Doludjawa, Penerbit Pusat Studi Hukum
dan
Ekonomi Fakultas Hukum UI, Jakarta.
Irawan, Bagus. 2007, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan, Perseroan dan Asuransi, Alumni,
Bandung.
Kansil, Cst, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit Kamus
Istilah
Hukum, Jala Permata Aksara, Jakarta.
Kartono, 1985. Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Pradnya Paramita, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud. 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group,
Jakarta.
Nainggolan, Bernard. 2011, Perlindungan hukum seimbang debitor, kreditor, dan pihak-
pihak
berkepentingan dalam kepailitan. Alumni.
Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Teguh. 2012, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum,
Pemikiran
Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Rajawali Pers, Jakarta.
pg. 25
Rahayu, Sri. 2009, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Opini Audit Going
Concern Pada Perseroan Manufaktur Publik”, Jurnal Kajian Akuntansi, Desember
Rahardjo, Satjipto. 1980, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung.
Rajagukguk, Erman. “Latar Belakang dan Ruang Lingkup Undang-Undang No. 4 Tahun
1998
tentang Kepailitan”, dalam dalam Rudhy A.Lontoh, Denny Kailimang dan Benny Pontoh
(ed.),
2001. Hukum Kepailitan: Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan
Kewajiban Pembayaran, Ed.1, Cet.1, Alumni, Bandung.
Rato, Dominikus. 2010, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,
Laksbang
Pressindo, Yogyakarta.
Riduan, Syahrani. 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum , Penerbit Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Sjahdeini, Sutan Remy . “Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun
2004
Tentang Kepailitan”, Grafiti, Jakarta.
Sudargo, Gautama. 1998. Komentar atas peraturan kepailitan baru untuk Indonesia, Citra
Aditya
Bakti, Rudy A. Lontoh dkk (editor),2001, Alumni, Bandung.
Wantu, Fence M. 2007, Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, Jurnal Berkala
Mimbar
Hukum, Vol. 19 No. 3 Oktober, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
B. Internet
http://www.pengertianahli.com/2014/01/pengertian-keadilan-apa-itu-keadilan.html#_
diakses pada tanggal 10 Desember 2019
Admin Panduan Hukum “Teori Tentang Tujuan Hukum Lebih dalam (1)”
http://panduanhukum.com/teori-tentang-tujuan-hukum-lebih-dalam/
pg. 26