Anda di halaman 1dari 26

TINJAUAN TEORI HUKUM TERHADAP ASAS KEBERLANGSUNGAN USAHA

(GOING CONCERN) DEBITOR PAILIT DALAM KETENTUAN UNDANG


UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU)

TUGAS TEORI HUKUM


Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, S.H., LL.M.

Program Studi Magister Ilmu Hukum

Konsentrasi Hukum Bisnis

Diajukan oleh

Naskel Thiopulus Baharsyah Timotius, S.H.

NPM : 19/448170/PHK/10679

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS GAJAH MADA

JAKARTA

2019/2020

pg. 1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................... I
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A. Latar Belakang............................................................................................. 3
B. Tujuan dari hukum...................................................................................... 7
C. Identifikasi Masalah…................................................................................. 9
D. Metode Penelitian........................................................................................ 9
BAB II PEMBAHASAN 10
A. Asas Kelangsungan Usaha …………........................................................... 10
B. Tujuan Hukum Memandang Asas Kelangsungan Usaha............................. 17
BAB III PENUTUP 24
A. Kesimpulan ………………………………………....................................... 24
B. Saran………………………………………………………………………… 24
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 25

pg. 2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Utang adalah kata yang sering terdengar atau didengar dalam suatu masyarakat,
terutama di dalam dunia usaha, lazimnya berkaitan dengan pelaku usaha perorangan maupun
badan usaha. Utang tersebut kadangkala dalam proses pembayarannya tidak selalu berjalan
dengan baik dan lancar, bahkan seringkali keadaan keuangan pelaku usaha pada titik terendah
dari kemampuannya untuk membayar utang, sehingga sampai pada suatu keadaan berhenti
membayar.

Utang tidak hanya diartikan dengan ketidakmampuan Debitor untuk membayar


sejumlah uang dalam bentuk perjanjian pinjam meminjam, tetapi dapat pula dalam perjanjian
lain yang timbul dari perjanjian lain atau dari transaksi yang memberikan syarat untuk
dilakukan pembayaran.1 Utang adalah suatu keadaan yang menyangkut permasalahan
keuangan pelaku usaha, yang masih beritikad baik untuk memenuhi kewajiban kepada
kreditor-kreditornya, akan tetapi tidak mampu lagi membayar utangutangnya yang telah jatuh
tempo.2

Reformasi hukum kepailitan3 merupakan sebuah agenda penting bagi pemerintah


pasca gejolak moneter yang menimpa Indonesia di pertengahan tahun 1997 hingga akhir
tahun 1998. Pada kurun waktu tersebut telah terjadi sebuah depresiasi nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing khususnya Dollar Amerika yaitu dari nilai kurs Rp.2.300/US Dolar
pada sekitar bulan Maret 1997 menjadi Rp.5.000/US Dolar di akhir tahun 1997, bahkan pada

1
Kartini Mulajadi, Pengertian Prinsip-Prinsip Umum Hukum Kepailitan, dalam Penyelesaian UtangPiutang
melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Rudy A. Lontoh dkk (editor),2001, Alumni :
Bandung, hal. 78
2
Jatuh tempo diartikan sebagai sebagai utang yang telah lampaunya waktu penjadwalan yang ditentukan di
dalam suatu perjanjian, menjadi jatuh waktu dan karena itu pula kreditor berhak menagihnya. (Sutan Remy
Sjahdeini, “Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan”, Grafiti,
Jakarta, hlm. 57).
3
“Reformasi hukum” adalah perubahan secara drastis untuk tujuan perbaikan di bidang hukum dalam suatu
masyarakat atau negara, sedangkan istilah “kepailitan” menunjuk pada ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 4
Tahun 1998 yang berarti: “debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas
permohonan debitor sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya” setelah berlaku UU
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pengertian kepailitan
disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 sebagai “sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan
dan pemberesannya, dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur
dalam undangundang kepailitan,” sedangkan menurut Black’s Law Dictionary pailit atau bankrupt adalah “the
state or conditional of a person (individual, partnership, corporation, municipality, who is unable to pays its
dept as they are, or became due the term includes a person against whom am involuntary petition has been
field or who has field a voluntary petition or who has been adjudged a bankrupt”.
pg. 3
pertengahan tahun 2008, rupiah sempat anjlok hingga menyentuh ke level terendah di kisaran
Rp.16.000/US Dollar. Pertumbuhan ekonomi terus merosot hingga minus 13 sampai dengan
minus 14 dan tingkat inflasi membumbung tinggi dari angka 10% menjadi sekitar 70%. 4
Kondisi perekonomian tersebut menimbulkan kelumpuhan total pada hampir seluruh sektor
usaha dan perdagangan, terlebih bagi perusahaan yang menggunakan US Dollar sebagai
sistem pembayarannya. Masalah lainnya karena nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS
terperosok, utang pemerintah dan swasta (yang memakai standar Dolar AS menjadi
5
membengkak). Maka dari pihak pemberi bantuan Finansial kepada Indonesia antara lain
IMF (International Monetery Fund) diharapkan supaya sarana hukum yang mengatur soal
pemenuhan kewajiban oleh Debitor kepada Kreditor diperbaiki jika dianggap masih kurang
6
memadai yang diharapkan oleh berbagai pihak/ Kreditor aturan hukum yang digunakan
mampu menyelesaikan perkara – perkara bisnis, khususnya masalah utang piutang secara
adil, terbuka dan efektif.7

Pertimbangan akan hak Kreditor terhadap utang tersebut memberikan konsekuensi


akan pentingnya pembayaran utang Debitor kepada Kreditor, sehingga pihak Kreditor akan
berupaya agar Debitor memenuhi kewajibannya. Salah satu upaya yang umumnya
berkembang dan banyak dilakukan pada saat ini berada dalam ruang lingkup peradilan, selain
mengajukan gugatan secara perdata ke pengadilan, yaitu dengan mengajukan permohonan
kepailitan terhadap Debitor ke pengadilan niaga yang berwenang.

Pengertian Kepailitan itu sendiri dalam Undang –undang Negara Republik Indonesia
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU
Kepailitan) adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawasan
sebagaimana diatur dalam undang – undang ini.

Pailit berasal dari kosa kata bahasa Perancis yaitu Faillete yang berarti pemogokan
atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam
bahasa Perancis disebut Le failli. Kata kerja failir berarti gagal; dalam bahasa Inggris dikenal
dengan kata to fail yang mempunyai arti sama dalam bahasa latin yaitu failure. Negara-
negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan mempergunakan istilah-

4
Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan Antara Indonesia (Civil Law System) dengan Amerika
Serikat (Common Law System), 2004, Medan, USU Reprositori Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
hal. 2.
5
Bernard, Nainggolan. Perlindungan hukum seimbang debitor, kreditor, dan pihak-pihak berkepentingan
dalam kepailitan. Alumni, 2011. Hal.1
6
Sudargo, Gautama. Komentar atas peraturan kepailitan baru untuk Indonesia, Citra Aditya Bakti, 1998. Hal. 1
7
Bernard, Nainggolan. Op.Cit. Hlm. 2
pg. 4
istilah bankrupt dan bankruptcy.8 Pengertian kepailitan diungkapkan pula oleh para ahli
berdasarkan berbagai sudut yang berbeda, perbedaan tersebut tampak dalam narasi yang
tercantum dalam setiap pengertiannya, akan tetapi patut dipahami bahwa perbedaan narasi
terebut tidak mengurangi dari substansi akan pengertian pailit, yang menunjukkan adanya
persamaan bahwa pailit merupakn kewajiban Debitor yang harus dibayarkan kepada kreditor
sebagai haknya. Pengertian-pengertian tersebut antara lain pandang yang berbeda, perbedaan
tersebut tampak dalam narasi yang tercantum dalam setiap pengertiannya, akan tetapi patut
dipahami bahwa perbedaan narasi terebut tidak mengurangi dari substansi akan pengertian
pailit, yang menunjukkan adanya persamaan bahwa pailit merupakn kewajiban debitor yang
harus dibayarkan kepada Kreditor sebagai haknya. Pengertian-pengertian tersebut antara
lain :

1) Penjelasan Umum (Memorie Van Toelichting)


”Kepailitan adalah suatu pensitaan berdasarkan hukum atas seluruhharta
kekayaan si berutang guna kepentingannya bersama para yang
mengutangkan”.9
2) Fred B.G. Tumbuan
”Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan debitor untuk
kepentingan semua Kreditornya”.10
3) Kartono
”Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitor
(orang yang berutang) untuk kepentingan semua Kreditor-Kreditornya (orang
yang berpiutang) besama-sama, yang pada waktu si debitor dinyatakan pailit
mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang yang masing-masing Kreditor
miliki pada saat itu”.11
4) H.M.N Purwosujipto
“Kepailitan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa
pailit, pailit itu sendiri adalah keadaan berhenti membayar utang-utangnyadan
dalam kepailitan ini terkandung sifat adanya penyitaan umum atas seluruh

8
Sunarmi, Op. cit
9
R.Surayatin, Hukum Dagang I, dan II, Jakarta, Pradnya Paramita, 1983, hal.264.
10
Fred B.G. Tumbuan, Pokok-pokok Undang-undang Tentang Kepailitan Sebagaimana diubah oleh PERPU
No/1998, dalam Rudhy A.Lontoh, Denny Kailimang dan Benny Pontoh (ed.), Hukum Kepailitan : Penyelesaian
Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran,Ed.1., Cet.1, Bandung, Alumni, 2001,
hal.125.
11
Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Jakarta, Pradnya Paramita, 1985, hal.7.
pg. 5
harta kekayaan debitor untukkepentingan semua Kreditor yang bersangkutan,
yang dijalankan dengan pengawasan pemerintah”12

Lebih lanjut, UU Kepailitan memberikan beberapa syarat untuk Debitor dinyatakan


pailit yaitu bahwa Debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya,
setidaknya dari dua utang dan salah satunya telah jatuh tempo, maka dapat dinyatakan pailit
oleh Pengadilan Niaga. Ketentuan ini dapat dilihat sebagai syarat permohonan pailit
sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 8 Ayat (4) UU Kepailitan, yang
berbunyi:

Pasal 2 ayat (2)


“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan Tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditornya.”

Pasal 8 ayat (4)


“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat
fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan
untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah
dipenuhi.”

Syarat-syarat tersebut mengisyaratkan, suatu permohonan pailit menjadi sangat


mudah untuk diajukan terhadap suatu perseroan atau badan usaha, karena tidak ditentukan
oleh syarat lain. Syarat lain yang dimaksud adalah menyangkut kondisi dan kemampuan dari
perseroan atau badan usaha sebagai debitor untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditor.
Kemampuan tersebut dapat dilihat dari berbagai segi antara lain keuangan, aset-aset dan/atau
kekayaan yang dimiliki perseroan tersebut. Pandangan senada ingkapkan pula oleh, Zahrul
Rabain13 dengan pernyataan bahwa:

“UU Kepailitan di Indonesia terlalu mudah mempailitkan perusahaan,


karena cukup ada dua kreditor, satu utang saja tidak dibayar pada tenggat
waktu, maka bisa dipailitkan, syaratnya terlalu simple dan hakim harus memutus
itu dalam waktu singkat.”

Ricardo Simanjuntak menyatakan bahwa Hukum Kepailitan Indonesia tidak bisa


menganut sistem Insolvency Test, sebab untuk dapat dikategorikan berada dalam keadaan

12
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan, Perseroan dan Asuransi, Bandung, Alumni, 2007, hal. 15.
13
Berita Hukumonline.com, “Hakim Karier Menilai Proses Kepailitan Terlalu Mudah”
pg. 6
insolvensi,14 perseroan yang hendak dipailitkan harus merugi secara terus menerus dan
modalnya tergerus hingga melebihi 50% (persen). Melihat kondisi tersebut, Indonesia hanya
menganut asumsi tidak mampu bayar. Asumsi ini dibangun dengan persangkaan hukum yang
tercermin dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Kepailitan.15

Ketiadaan insolvency test ini menunjukan bahwa UU Kepailitan sangat dominan


melindungi kepentingan Kreditor (Hikmahanto Juwana, 2004: 17). Praktek penjatuhan pailit
dalam UU Kepailitan banyak menimbulkan problematik dan debat yuridis salah satu
penyebabnya adalah karena banyakanya pengaturan yang tidak jelas sehingga memberikan
peluang untuk melakukan beragam penafsiran yang berakibat ketidakpastian hukum bagi
pencari keadilan (Surya Perdamaian, 2001: 5). Permasalahan baru akan muncul bila
kecenderungan ini tetap berlanjut, terutama jika Debitor memiliki karyawan yang cukup
banyak. Masalah yang akan muncul sebagai dampak dari pailitnya suatu badan usaha atau
perseroan seperti PHK (Peutusan Hubungan Kerja), Uang Pesangon, dan lain-lain. Landasan
inilah yang melatarbelakangi akan pentingnya suatu kaidah hukum kepailitan, tidak hanya
mengatur dan melindungi untuk kepentingan Kreditor, melainkan pula seharusnya mengatur
dan melindungi kepentingan Debitor terutama terhadap terhadap Debitor yang masih
memiliki kemampuan untuk menjalankan usahanya, sehingga terhadap Debitor yang
dimohonkan pailit menjadi penting apabila memperhatikan asas kelangsungan usaha (going
concern) melalui ketentuan incolvency test.

Berdasarkan uraian di atas menarik Penulis untuk menganalisa apakah penyelesaian


permasalahan utang piutang menggunakan UU Kepilitan secara Teori Hukum telah
memenuhi tujuan hukum itu sendiri terutama kemanfaatan, Keadilan dan Kepastian Hukum
bagi para pihak.

B. Tujuan Hukum

Menurut Gustav Radbruch , tujuan hukum adalah untuk mencapai keadilan, kepastian
hukum dan memberikan manfaat bagi masyarakat, dan oleh karena itulah hukum harus
dinamis dan sesuai dengan perkembangan pada masa ini agar tercapailah tujuan hukum yang
dimaksud yaitu bermanfaat bagi masyarakat dalam rangka pencapaian ketertiban dalam
tatanan kehidupan bermasyarakat.

14
Insolvensi diartikan sebagai ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban financial ketika jatuh waktu
seperti layaknya dalam bisnis, atau kelebihan kewajiban dibandingkan dengan asetnya dalam waktu tertentu.
(Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 135.)
15
Sri Rahayu, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Opini Audit Going Concern Pada Perseroan
Manufaktur Publik”, Jurnal Kajian Akuntansi, Desember, 2009, hal. 148.
pg. 7
Pertanyaan mengenai apa keadilan itu meliputi dua hal, yaitu yang menyangkut hakikat
keadilan dan menyangkut isi atau norma untuk berbuat secara konkret dalam keadaan
tertentu. Hakikat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakuan atau tindakan dengan
mengkajinya dengan suatu norma yang menurut pandangan subjektif (Subjektif untuk
kepentingan kelompoknya, golongannya dan sebagainya) melebihi norma – norma lain.
Dalam hal ini ada dua pihak yang menerima perlakuan: orangtua dan anaknya, majikan dan
buruh, hakim dan yustisiabel, pemerintah dan warganya, serta Kreditor dan Debitor.16

Aristoteles dalam tulisannya Retorica membedakan keadilan dalam dua macam yaitu
keadilan distributif (justitia distributiva) sebagai keadilan yang memberikan kepada setiap
orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-masing, serta
keadilan komulatif (justitia cummulativa) sebagai keadilan yang diterima oleh masing-
masing anggota tanpa memperdulikan jasa masing-masing. Keadilan komulatif ini didasarkan
pada transaksi (sunallagamata) baik yang sukarela atau pun tidak.17

Menurut Utrecht, Kepastian Hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau
tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui
apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.18

Teori Kemanfaatan/Utilitas (utilitarianisme) adalah Jeremy Bentham yang berpendapat


bahwa ada dua majikan (masters) dalam kehidupan manusia, yaitu susah (pain) dan senang
(pleasure). Dua hal ini mengusasai semua yang kita lakukan, semua yang kita katakan, dan
semua yang kita pikirkan. Semua tindakan manusia diarahkan pada upaya untuk
memaksimalkan kesenangan (pleasure) dan meminimalkan kesusahan (pain). Sehubungan
dengan itu, Bentham mengemukakan asas manfaat (principle of utility), yaitu semua hal harus
bermanfaat untuk memenuhi kecenderungan manusia menghasilkan kesenangan (pleasure,
happiness) dan mencegah kesusahan (pain, unhappiness).Oleh karena itu, Bentham
berpandangan bahwa kebahagiaan sebesar-besarnya untuk jumlah manusia sebanyak-
banyaknya merupakan dasar dari moral dan peraturan perundang-undangan. Dari tampak

16
Bernard Nainggolan. Perlindungan hukum seimbang debitor, kreditor, dan pihak-pihak berkepentingan
dalam kepailitan. Alumni, 2011
17
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum, Pemikiran Menuju
Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta, Rajawali Pers, 2012, hal. 367-368.
18
Syahrani Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum , Bandung, Penerbit Citra Aditya Bakti, , 1999, hal. 23.
pg. 8
bahwa tujuan hukum menurut Bentham adalah untuk mencapai the greatest happiness of the
greatest number (kebahagiaan sebesar-besarnya dari jumlah manusia sebanyak-banyaknya).19

C. Identifikasi Masalah

Berdasarkan hal – hal di atas maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan


berkenaan dengan keberadaan Undang – undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang:
1. Bagaimanakah filosofi asas kelangsungan usaha (going concern) dalam hukum
kepailitan dan PKPU?
2. Bagaimana tujuan hukum memandang asas kelangsungan usaha (going concern)
dalam hukum kepailitan dan PKPU?

D. Metode Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan
yuridis normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan, yaitu
penelitian terhadap data sekunder atau data kepustakaan. Penelitian ini mengkaji data
sekunder mengenai perlindungan terhadap Debitor melalui asas kelangsungan usaha (going
concern) dalam persyaratan permohonan pailit.

19
Admin Panduan Hukum “Teori Tentang Tujuan Hukum Lebih dalam (1)” http://panduanhukum.com/teori-
tentang-tujuan-hukum-lebih-dalam/ diakses pada tanggal 10 Desember 2019
pg. 9
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asas kelangsungan usaha


Kegiatan ekonomi termasuk kegiatan bisnis merupakan suatu kegiatan yang sangat
penting dalam masyarakat, karena kegiatan ekonomi pada dasarnya merupakan kegiatan yang
sengaja dilakukan dalam rangka memenuhi kegiatan masyarakat itu sendiri.
Kegiatan ekonomi yang sangat kompleks20 dan simultan tersebut bertambah dari waktu ke
waktu sesuai dengan perkembangan masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan
masyarakat yang relatif sangat banyak, baik dalam jumlah, ragam dan jenis yang
berkesinambungan. Sehingga kegiatan tersebut membutuhkan perangkat peraturan yang baik
dan tepat sekaligus mampu memberikan kepastian dan keamanan berusaha.21
Para pihak yang bersengketa membawa sengketanya melalui pengadilan niaga, karena
berbagai alasan. Satjipto Rahardjo22 mengilustrasikan alasan-alasan para pihak membawa
sengketa mereka ke pengadilan. Pertama, percaya bahwa di tempat itu mereka akan
memperoleh keadilan seperti yang mereka kehendaki; Kedua, percaya bahwa pengadilan
merupakan lembaga yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup
dan nilai-nilai utama lainnya; Ketiga, percaya bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan
tidak sia-sia; Keempat, percaya bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang yang benar-
benar memperoleh perlindungan.
Lembaga peradilan merupakan tumpuan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat yang
mendambakan keadilan. Ia merupakan tumpuan harapan terakhir para pencari keadilan atau
pihak-pihak yang bersengketa. Dalam memberikan pelayanan hukum dan keadilan kepada
masyarakat, pengadilan mempunyai tugas-tugas utama secara normatif antara lain. Pertama,
memberikan perlakuan yang adil dan manusiawi kepada pencari keadilan. Kedua,
memberikan pelayanan yang baik dan bantuan yang diperlukan bagi pencari keadilan. Ketiga,
memberikan penyelesaian perkara secara efektif, efisien, tuntas dan final, sehingga
memuaskan semua pihak dan masyarakat.23

20
Perkara-perkara kepailitan dan PKPU kualitasnya lebih dan bervariasi, bukan hanya berupa utang debitor
yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, melainkan antara lain berupa penerbitan surat berharga promissory
note, obligasi, surat sanggup, pemberian modal kerja, pemberian jaminan baik personal guaranty maupun
corporate guaranty, purchasing order, kartu kredit, penerbitan L/C, kredit pembiayaan, sewa menyewa, anjak
piutang, pinjaman sindikasi, perjanjian keagenan, factoring, penerbitan surat sanggup, perjanjian asuransi,
perjanjian jual beli. (Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Edisi ke-2, Jakarta,
PT Sofmedia, 2010, hal. 292.)
21
Sri Redjeki Hartono, Hukum Ekonomi Indonesia, cetakan ke-2, Malang, Bayumedia Publishing, 2007, hal. 122.
22
Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Bandung, Alumni, 1980, hal. 107.
23
Mukti Arto, Mencari Keadilan, Kritik dan Sosial Terhadap Praktik Peradilan Perdata, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2001, hal. 12-13.
pg. 10
Dalam kepailitan, perusahaan tidak selalu secara otomatis menyebabkan perseroan
berhenti melakukan segala perbuatan hukumnya termasuk melakukan kegiatan usaha.
Terdapat pihak-pihak tertentu antara lain Hakim Pengawas dan Kurator yang akan menilai
dan mempertimbangkan berlakunya akibat hukum kepailitan, antara lain menentukan
kelangsungan usaha perusahaan.
Kurator, pada prinsipnya mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan pengurusan
harta pailit dari perusahaan tersebut. Pasal 69 Ayat (1) UU Kepailitan antara lain secara tegas
menyatakan kurator harus meminta persetujuan terhadap hakim pengawas, misalnya dalam
meneruskan jalannya usaha perseroan. Rasio dari proporsisi tersebut, ketika perusahaan
dalam pailit masih melanjutkan usahanya (going concern), perseroan pailit akan banyak
melakukan transaksi dalam lalu lintas hukum seperti menjaminkan aset perseroan dan
melepas aset perseroan.
Tujuan UU Kepailitan terutama berkaitan dengan perlindungan yang ditujukan kepada
debitor, tidak secara eksplisit dinyatakan dalam setiap pasal-pasalnya, akan tetapi
perlindungan itu dapat dilihat dari penjelasan terhadap asas-asas sebagai berikut:
1) Asas Keseimbangan, Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang
merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat
ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga
kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat
mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor
yang tidak beritikad baik;
2) Asas kelangsungan usaha, dalam Undang-undang ini, terdapat ketentuan yang
memungkinkan perseroan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan;
3) Asas Keadilan, dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa
ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang
berkepentingan. Kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan
pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitor, dengan tidak
mempedulikan kreditor lainnya;
4) Asas Integrasi, dalam Undang-undnag ini mengandung pengertian bahwa sistem
hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem
hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
Going concern atau asas kelangsungan usaha, merupakan prinsip kelangsungan hidup
suatu entitas (badan usaha). Going concern menunjukkan suatu entitas (badan usaha)
dianggap akan mampu mempertahankan kegiatan usahanya dalam jangka panjang, tidak akan
dilikuidasi dalam jangka waktu pendek. Bukti akan potensi dan kemampuan bertahan suatu
pg. 11
badan usaha atau perseroan yang termasuk dalam kategori, dibuktikan dalam bentuk laporan
auditor selaku pihak yang memiliki kompetensi dalam menilai apakah suatu perseroan dapat
tepat melangsungkan usahanya atau layak untuk dipailitkan.
Erman Rajagukguk, memberikan pendapat bagaimana going concern, memegang peranan
penting dalam suatu proses permohonan pailit terutama suatu putusan permohonan pailit,
walaupun telah memenuhi persyaratan permohonan pailit sebagaiman diatur di dalam Pasal 2
Ayat (1) junto Pasal 8 Ayat (4) UU Kepailitan, hakim pengadilan niaga hendaknya
mempertimbangkan kondisi debitor, adapun pendapat Erman Rajagukgugk tersebut, adalah
sebagai berikut24 :
“Hakim perlu mempertimbangkan kondisi Debitur dalam memutuskan perkara
kepailitan, manakala Debitur yang bersangkutan masih mempunyai harapan untuk
bangkit kembali, mampu membayar utangnya kepada Kreditur, apabila ada waktu yang
cukup dan besarnya jumlah tenaga kerja yang menggantungkan nasibnya pada perseroan
yang bersangkutan. Dalam kasus-kasus tertentu kesempatan untuk terus berusaha perlu
diberikan kepada Debitur yang jujur dan dengan putusan itu pula sekaligus kepentingan
Krediturdan kebutuhan masyarakat dapat dilindungi”
Asas kelangsungan usaha (going concern) merupakan salah satu asas hukum dalam UU
25
Kepailitan. Sebagai asas hukum yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-
undangan, maka asas kelangsungan usaha telah melalui proses penilaian etis dari pembentuk
undang-undang. Dengan demikian, asas kelangsungan hidup suatu badan usaha merupakan
asumsi dalam pelaporan keuangan suatu entitas sehingga jika suatu entitas mengalami
kondisi yang sebaliknya, entitas tersebut menjadi bermasalah (Petronela, 2004 dalam Santosa
dan Wedari 2007). Going concern disebut juga sebagai kontinuitas yang merupakan asumsi
akuntansi yang memperkirakan suatu bisnis akan berlanjut dalam jangka waktu yang tidak
terbatas (Syahrul, 2000 dalam Rahman dan Siregar, 2012).
Pertimbangan utama untuk melanjutkan kegiatan usaha terhadap perusahaan yang telah
dinyatakan pailit adalah bahwa nilai ekonomis (economic value) perusahaan jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai aset fisik dari perusahaan tersebut. M. Hadi Shubhan memberikan
contoh dari proposisi ini adalah perusahaan asuransi, perusahaan sekuritas, perusahaan
pengembang (developer) dan perusahaan pembiayaan (multifinance). Perusahaan-perusahaan
tersebut ini seringkali memiliki aset yang positif, melainkan sering terjadi negative cash flow.
Perusahaan yang mempunyai masalah cash flow yang negatif akan jauh berbeda
24
Erman Rajagukguk, “Latar Belakang dan Ruang Lingkup Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang
Kepailitan”, dalam dalam Rudhy A.Lontoh, Denny Kailimang dan Benny Pontoh (ed.), Hukum Kepailitan:
Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran, Ed.1, Cet.1,Bandung,
Alumni, 2001, hal. 200.
25
Penjelasan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyebutkan terdapat empat asas, yakni asas
keseimbangan, asas keadilan, dan asas kelangsungan usaha serta asas integras
pg. 12
penanganannya dengan perusahaan yang mempunyai masalah aset yang negatif. Kepailitan
sebenarnya diperuntukan terhadap perusahaan yang mempunyai aset negatif dan tidak
ditujukan kepada perusahaan yang hanya sekedar masalah dengan kinerja cash flow-nya.
Perusahaan didirikan dengan tujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup (going
concern). Kelangsungan hidup usaha selalu dihubungkan dengan kemampuan manajemen
dalam mengelola perusahaan agar bertahan hidup. Salah satu bentuk pertanggungjawaban
manajemen kepada masyarakat, khususnya para pemegang saham adalah berupa laporan
keuangan. Laporan keuangan memberikan gambaran mengenai posisi keuangan, kinerja
perusahaan, dan perubahan posisi keuangan.
Pengertian asas kelangsungan usaha sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum
UU Kepailitan adalah dimungkinkannya perusahaan Debitor yang prospektif tetap
dilangsungkan. Norma tersebut dalam Pasal 104 ayat (1) dan (2), Pasal 179 ayat (1) dan Pasal
184 ayat (2) yang dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 104
“(1) Berdasarkan persetujuan panitia kreditor sementara, Kurator dapat
melanjutkan usaha Debitor yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan
pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.”
“(2) Apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditor, Kurator
memerlukan izin Hakim Pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)”.

Pasal 179
“(1) Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana
perdamaian atau jika rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima,
kurator atau kreditor yang hadir dalam rapat dapat mengusulkan supaya
perusahaan debitor pailit dilanjutkan“
Pasal 184
“(2)” Dalam hal perusahaan dilanjutkan dapat dilakukan penjualan
benda yang termasuk harta pailit, yang tidak diperlukan untuk meneruskan
perusahaan”

Black's Law Dictionary, memaknai kelangsungan usaha atau going concern adalah : 26
“Going Concern’s An enterprise which is being carried on as a whole, and
with some particular object in view. The term refers to an existing solvent business,
which is being conducted in the usual and ordinary way for which it was organized.
26
Henry Campbell Black, M. A., “Black's Law Dictionary :Definitions of the Terms and Phrases of American and
English Jurisprudence, Ancient and Modern”, Fifth Edition ST. Paul Minn., West Publishing Co.1979.
pg. 13
When applied to a corporation, it means that it continues to transact its ordinary
business. A firm or corporation which, though financially embarrassed, continues to
transact its ordinary business.”
( “Going concern adalah suatu perseroan yang sedang dijalankan secara keseluruhan,
dan dengan memperhatikan beberapa hal. Istilah ini mengacu pada sebuah kemampuan
menyelesaikan permasalahan bisnis yang ada, yang dijalankan secara biasa dan wajar. Ketika
diterapkan pada sebuah perusahaan, itu berarti bahwa perseroan tersebut terus bertransaksi
bisnis secara wajar. Sebuah perseroan perseroan atau yang, meskipun secara finansial
mengalami permasalahan, terus bertransaksi bisnis secara wajar.”)
Munir Fuady27 menyatakan bahwa biasanya program-program restrukturisasi utang
antara
lain: 1) Moratorium, yakni merupakan penundaan pembayaran yang sudah jatuh tempo; 2)
Haircut, merupakan pemotongan pokok pinjaman dan bunga; 3) Pengurangan tingkat suku
bunga; 4) Perpanjangan jangka waktu pelunasan; 5) Konversi utang kepada saham; 6) Debt
forgiveness
(pembebasan utang); 7) Bailout, yakni pengambilaalihan utangutang, misalnya
pengambilalihan utang-utang swasta oleh pemerintah; 8) Write-off, yakni penghapusbukuan
utang-utang.
Harapan-harapan yang sedemikian besar ditujukan terhadap eksistensi kelangsungan
usaha. Secara nyata kelangsungan usaha berpotensi memberikan nilai tambah berupa laba
yang pada gilirannya didistribusikan untuk membiayai perusahaan, dibagikan kepada tenaga
kerja sebagai upah, sebagai penerimaan negara berupa pajak maupun membiayai kegiatan
yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan. Secara lebih rinci dapat
digambarkan sumber keuntungan (profit) oleh perusahaan adalah sebagai berikut ; a) untuk
mendesaian produk-produk yang lebih baik sesuai dengan keinginan pelanggan, b) membayar
upah dan keuntungan yang adil kepada para pegawainya, c) membayar para pemasok dengan
harga yang pantas dengan jangka waktu yang layak, d) mendanai kegiatan yang berkenaan
dengan tanggung jawab sosial perusahaan, dan e) membayar para direksi dan pemegang
saham perusahaan atas penggunaan modal mereka.
Manfaat lain dari pelanjutan usaha perusahaan yang pailit sebagaimana dikemukakan oleh
J.B. Huizink bahwa nilai suatu perusahaan sering lebih tinggi dari pada jumlah nilai dari
masing-masing unitnya. Jika suatu perusahaan dibekukan, karyawannya diberhentikan serta
aktiva-nya

27
Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Edisi Revisi (Disesuaikan dengan UU Nomor 37
Tahun 2004), Bandung, Citra Aditya Bakti, 2005, hal. 200.
pg. 14
dilikuidasi, maka hasil yang diperoleh jelas akan lebih sedikit daripada jika perusahaan itu
dijual sebagai suatu on going concern28. Lebih lanjut Huizink menyatakan bahwa pelanjutan
kegiatan usaha dapat didorong juga oleh berbagai alasan, misalnya karena kurator melihat
kemungkinan kemungkinan untuk meneruskan perusahaan pailit itu dalam bentuk yang lebih
ramping, baik oleh si pailit (setelah penawaran suatu perdamaian) atau yang lebih sering, oleh
pihak lain. Alasan kedua, yang lebih umum, adalah untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan
yang sedang berjalan atau untuk mewujudkan tercapainya hasil yang lebih besar dalam
rangka pencairan perusahaan tersebut.29
Penormaan ini bermakna penting terutama dalam penerapan hukum oleh hakim, dengan
adanya ketentuan asas kelangsungan usaha, maka para hakim seyogyanya senantiasa
memperhatikan ketentuan asas kelangsungan usaha, yang berarti tetap memperhatikan
potensi dan prospektif perusahaan Debitor, dan kepailitan merupakan ultimum remedium.
Seandainya, terhadap perusahaan pailit, Kurator dengan persetujuan Kreditor dan Hakim
Pengawas tetap memberi kemungkinan perusahaan Debitor on going concern dalam rangka
meningkatkan harta pailit yang barang tentu menguntungkan para Kreditornya.
Sebagai contoh, pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam putusan
Nomor : 024/PK/N/1999 dalam perkara PT Citra Jimbaran Indah Hotel melawan Sangyong
Engineering& ConstructionCo.Ltd, yang dalam hal ini mengabulkan permohonan Peninjauan
Kembali dengan pertimbangan sebagai berikut :
“Potensi dari prospek usaha Debitor harus pula dipertimbangkan secara baik. Jika
Debitor masih mempunyai potensi dan prospek, sehingga merupakan tunas-tunas yang
masih dapat berkembang seharusnya masih dapat diberi kesempatan untuk hidup dan
berkembang. Oleh karena itu penjatuhan pailit merupakan ultimum remedium”.

Lebih lanjut Majelis Hakim Peninjauan Kembali mengemukakan alasan penolakan


terhadap kepailitan tersebut bahwa : ”Usaha Debitor masih mempunyai potensi dan prospek
untuk berkembang dan selanjutnya dapat memenuhi kewajibannya kepada seluruh Kreditor
dikemudian hari dan oleh karena itu Debitor/Termohon Pailit bukan merupakan a Debitor is
hopelessy in debt”.
Mengacu kepada pertimbangan putusan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
Majelis Hakim dalam putusannya berpendapat bahwa tidak dibenarkan untuk mengabulkan
suatu

28
J.B. Huizink, Insolventie, Terjemahan Linus Doludjawa, Jakarta, Penerbit Pusat Studi Hukum dan Ekonomi
Fakultas Hukum UI, 2004, hal . 10-11.
29
Ibid. hal. 70
pg. 15
permohonan pernyataan pailit Debitor yang masih memiliki potensi dan prospek usaha
untuk berkembang sehingga dikemudian hari akan dapat melunasi utang-utangnya kepada
Kreditor.30

30
Sutan Remy Sjahdeini, Ibid, hal.29.
pg. 16
B. Tujuan Hukum memandang asas kelangsungan usaha (going concern)
Nilai dasar hukum yang berupa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum telah
mendapat pengaturannya secara seimbang dalam UUK dan PKPU khususnya mengenai asas
kelangsungan usaha sebagai landasan filosofis perlindungan hukum bagi Debitor pailit
sehubungan tidak adanya insolvency test dalam penyelesaian sengketa kepailitan yaitu
sebagai berikut :
1. Teori keadilan
Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata “adil” yang berarti: tidak berat sebelah, tidak
memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak sewenang-wenang (Eko Hadi
Wiyono, 2007: 10). Adil mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan
atas norma-norma yang berlaku sesuai aturan hukum, dengan tetap memperhatikan
kepentingan masyarakat, serta keberlakuannya mempunyai kedudukan yang sama bagi semua
pihak (M. Agus Santoso, 2012: 85). Aristoteles dalam bukunya “Rhetorica” menyatakan
bahwa keadilan ialah memberikan kepada tiap-tiap orang apa yang berhak ia terima yang
memerlukan peraturan tersendiri bagi tiap-tiap kasus. Oleh karenanya hukum harus membuat
apa yang dinamakan “Algemeene Regels” (peraturan umum). Berdasarkan ketentuan ini
menunjukan bahwa aturan hukum bertujuan untuk menciptakan suatu keteraturan dalam
kehidupan masyarakat teratur demi kepentingan kepastian hukum, meskipun suatu waktu
dapat menimbulkan ketidakadilan (Aristoteles, dalam R. Soeroso, 2007: 58). Berdasarkan hal
ini menunjukan bahwa hukum harus menentukan peraturan umum, harus menyamaratakan
(L.J. Van Apeldoorn, 1968: 22). Pengertian keadilan sebagaimana dijelaskan oleh Aristoteles
menunjukan bahwa sesuatu dikatakan adil apabila setiap orang mendapatkan bagiannya yang
oleh orang Romawi diterjemahkan dalam bahasa Latin ius suum cuique tribuere Peter
(Mahmud Marzuki, 2009: 151).

Berdasarkan pendapat John Rawls menyatakan bahwa cara yang adil untuk
mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda adalah melalui keseimbangan
kepentingan itu sendiri, tanpa adanya perlakuan istimewa terhadap suatu kepentingan
sehingga tercipta keadilan bagi masing-masing pihak (John Rawls, dalam Karen Leback,
2012: 53). Berdasarkan konsep pengertian keadilan yang diajarkan oleh Aristoteles dan John
Rawls dalam hubungannya dengan mekanisme kepailitan, asas keadilan perlu menjadi
pertimbangan dan menjadi pedoman dalam tahap pengurusan dan pemberesan harta debitor
pailit (Adriani Nurdin, 2012: 318)

Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa pengertian keadilan adalah semua hal
yang berkenan dengan sikap dan tindakan dalam hubungan antar manusia, keadilan berisi
pg. 17
sebuah tuntutan agar orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan hak dan kewajibannya,
perlakukan tersebut tidak pandang bulu atau pilih kasih; melainkan, semua orang
diperlakukan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya.31

Black Law Dictionary memberi pengertian prinsip sebagai :

“A fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule or doctrine which furnishes a


basis or origin for others; a settled rule of action, procedure, or legal determination. A thruth or
proposition so clear that it cannot be proved or contradicted unless by proposition which is still
clearer. That which constituent the essence of a body or its constituent parts. That which pertain
to the theoretical part of a science”32
(Prinsip adalah suatu dasar kebenaran atau doktrin sebagai hukum; atau sebuah
pengertian peraturan atau doktrin yang mana melengkapi sebuah dasar atau keaslian, atau
sebuah keteraturan peraturan dalam tindakan, prosedur, atau kepastian yang legal).
Berkaitan dengan pengertian asas, Paton memberikan rumusan asas sebagai: “A
principle is the board reason, which lies at the base of a rule of law”. 33(Asas ialah suatu
alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan yang mendasari adanya suatu norma hukum).
Asas hukum adalah unsur yang penting dan pokok dari peraturan hukum. Asas hukum
adalah jantungnya peraturan hukum karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi
lahirnya peraturan hukum34. Sebagai intisari dari hukum, asas merupakan landasan yang
paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini bermakna peraturan-peraturan hukum itu
pada akhirnya dapat dikembalikan kepada asas-asas tersebut.
Berdasarkan pengertian asas hukum, beberapa rumusan pengertian asas-asas hukum di
atas, ternyata bahwa asas-asas hukum adalah dasar-dasar yang terkandung dalam peraturan
hukum, 35maka dapat dinyatakan bahwa asas hukum itu berfungsi: 1) sebagai tali pengikat
antara berbagai kaidah hukum, yang akan menjamin keterkaitan kaidah dalam satu ikatan
sistem; 2) menjamin kaidah hukum dibentuk dan dilaksanakan sesuai dengan tujuan hukum
(keadilan dan kepastian hukum); 3) menjamin keluwesan (fleksibel) penerapan kaidah hukum
pada suatu situasi konkret; dan 4) sebagai instrumen untuk mengarahkan penerapan kaidah
hukum yang akan bertentangan dengan asas-asas hukum umum yang berlaku.

2. Teori kepastian hukum


31
Diakses dari http://www.pengertianahli.com/2014/01/pengertian-keadilan-apa-itu-keadilan.html#_ pada
tanggal 10 Desember 2019
32
Black Law Dictionary, hal. 1074.
33
Mahadi, ibid, hal. 120
34
Satjipto Rahardjo, hal. 45.
35
H . Zaeni Asyhadie, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT Rajagrapindo Persada, 2013,hal. 135.
pg. 18
Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan. Hukum secara
hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakukan dan adil karena pedoman
kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil
dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Kepastian hukum
merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi.36
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan
secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan
keragu-raguan (multi tafsir) dan logis. Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem norma
dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian
hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen
yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.
Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara factual
mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum
yang buruk.37
Fence M. Wantu berpendapat bahwa kepastian Hukum adalah jaminan bahwa hukum
dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa
putusan dapat dilaksanakan. Kepastian hukum juga berarti perlindungan yustisiabel terhadap
tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu
yang diharapkan dalam keadaan tertentu.38
Asas kelangsungan usaha sebagai perwujudan perlindungan hukum bagi debitor pailit
sehubungan tidak adanya insolvency test dalam penyelesaian sengketa kepailitan tercermin
dalam prinsip keadilan pemeriksaan perkara dan dalam tahap pengurusan dan pemberesan
harta debitor pailit oleh kurator yang dalam hal ini diharapkan kurator dapat meningkatkan
nilai harta pailit sehingga apabila semua utang debitor telah dibayarkan lunas dan terdapat
sisa hasil penjualan harta debitor pailit tersebut dapat dipergunakan debitor untuk
melanjutkan usahanya.
Peter Mahmud Marzuki juga memberikan pendapatnya mengenai Teori mengenai
Kepastian Hukum, yaitu: Kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu (a) Aturan
yang bersifat umum membuat individu mengetahui apa yang boleh atau tidak boleh
dilakukan; (b) Keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan
adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
36
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Yogyakarta, Laksbang
Pressindo, 2010, hal.59.
37
Cst Kansil, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit, Kamus Istilah Hukum,
Jakarta, Jala Permata Aksara, 2009, hal. 385.
38
Fence M. Wantu, “Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim”, Jurnal Berkala Mimbar Hukum, Vol. 19
No. 3 Oktober, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2007, hal. 193.
pg. 19
dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya
berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan
hakim antara putusan hakim satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus serupa yang
telah diputuskan sebelumnya39. Nilai kepastian hukum dalam kaitannya dengan asas
kelangsungan usaha sebagai landasan filosofis perlindungan hukum bagi Debitor pailit
sehubungan tidak adanya insolvency test dalam penyelesaian sengketa kepailitan tercermin
dalam prinsip penyelesaian sengketa kepailitan yang secara proseduralnya telah diatur dalam
UU Kepailitan dalam menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan
efektif.

3. Teori Kemanfaatan Hukum


Teori Kemanfaatan/Utilitas (utilitarianisme) adalah Jeremy Bentham yang berpendapat
bahwa ada dua majikan (masters) dalam kehidupan manusia, yaitu susah(pain) dan senang
(pleasure). Dua hal ini mengusasai semua yang kita lakukan, semua yang kita katakan, dan
semua yang kita pikirkan. Semua tindakan manusia diarahkan pada upaya untuk
memaksimalkan kesenangan (pleasure) dan meminimalkan kesusahan (pain). Sehubungan
dengan itu, Bentham mengemukakan asa manfaat (principle of utility), yaitu semua hal harus
bermanfaat untuk memenuhi kecenderungan manusia menghasilkan kesenangan (pleasure,
happiness) dan mencegah kesusahan (pain, unhappiness).Oleh karena itu, Bentham
berpandangan bahwa kebahagiaan sebesar-besarnya untuk jumlah manusia sebanyak-
banyaknya merupakan dasar dari moral dan peraturan perundang-undangan. Dari tampak
bahwa tujuan hukum menurut Bentham adalah untuk mencapai the greatest happiness of the
greatest number (kebahagiaan sebesar-besarnya dari jumlah manusia sebanyak-banyaknya).
Teori Kemanfaatan, dalam nilai kemanfaatan yang terpenting ialah kenyataan apakah
hukum tersebut bermanfaat atau berguna bagi masyarakat. Nilai kemanfaatan dalam
kaitannya dengan asas kelangsungan usaha sebagai landasan filosofis perlindungan hukum
bagi debitor pailit sehubungan tidak adanya insolvency test dalam penyelesaian sengketa
kepailitan tercermin dalam prinsip penjatuhan pailit sebagai cara yang paling akhir dalam
penyelesaian utang piutang (ultimum remedium) antara debitor dan kreditor sebagai bentuk
perlindungan hukum bagi debitor serta tercermin juga dalam prinsip yang dapat diketahui
oleh masyarakat umum.
Kita tidak dapat menilai sahnya suatu aturan hukum dari sudut peraturannya saja, tetapi
harus juga memperhatikan nilai atau kaidah hukum lainnya seperti kaidah yuridis, sosiologis
dan filosofis. Kaedah hukum merupakan pedoman tentang bagaimana seyogyanya manusia
39
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana Pranada Media Group, 2008,hal.158.
pg. 20
bertingkah laku di dalam masyarakat. Kaedah hukum merupakan ketentuan tentang perilaku.
Pada hakekatnya apa yang dinamakan kaedah adalah nilai, karena berisi apa yang
seyogyanya harus dilakukan, sehingga harus dibedakan dari peraturan konkret yang dapat
dilihat dalam bentuk kalimat-kalimat. Kaedah hukum dapat berubah sementara undang-
undangnya (peraturan konkritnya) tetap.

4. Asas hukum yang mendasari asas kelangsungan usaha


Hukum yang telah memenuhi ketiga nilai dasar hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum maka keabsahannya dapat diuji. Dalam situasi hukum, nilai tersebut
diturunkan kembali menjadi suatu asas dengan bentuk pilihan seperti asas hukum. Apabila
kata asas digabungkan dengan kata hukum, yakni menjadi asas hukum, maka maknanya
adalah kebenaran yang digunakan sebagai tumpuan berfikir dan alasan berpendapat, terutama
dalam penegakan dan pelaksanaan hukum (Mohammad Daud Ali, 1990: 113). Pemaknaan
sederhana terhadap asas hukum tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa asas
hukum merupakan landasan atau dasar segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum, baik ia
merupakan materi, penegakan, maupun pelaksanaanya (Abdul Rachmad Budiono, 2005: 90).
Asas hukum inilah memberi makna etis kepada peraturan-peraturan hukum dari nilai-nilai
etis yang dijunjung tinggi. Sehingga masyarakat mampu mengkorelasikan antara peraturan
hukum dengan pandangan etis yang kemudian menjunjung suatu yang dkehendaki
masyarakat tersebut (Arief Sidharta, 1999: 124). Asas hukum tidak akan habis kekuatannya
karena telah melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap ada dan akan
melahirkan peraturan-peraturan lainnya. Paton menyebut bahwa asas hukum sebagai sarana
yang membuat hukum itu hidup, tumbuh dan berkembang sehingga hukum bukan sekedar
sebagai kumpulan peraturan melainkan dengan mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan
etis (Paton dalam Satjipto Rahardjo, 2000: 45).
Menurut Sutan Remy Syahdeini, UUK dan PKPU seharusnya memuat asas-asas, baik
yang dinyatakan secara tegas maupun secara tersirat termasuk Undang-Undang Kepailitan
yang berlaku di Indonesia yang seyogyanya memuat asas-asas yaitu sebagai berikut:
a) Asas Mendorong Investasi dan Bisnis
b) Asas "Memberikan Manfaat dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Kreditor dan
Debitor"
c) Asas "Putusan Pernyataan Pailit Tidak Dapat Dijatuhkan terhadap Debitor yang
Masih
Solven"
d) Asas "Persetujuan Putusan Pailit Harus Disetujui oleh Para Kreditor Mayoritas"
pg. 21
e) Asas "Keadaan Diam (Standstill atau Stay)"
f) Asas "Mengakui Hak Separatis Kreditor Pemegang Hak Jaminan"
g) Asas "Proses Putusan Pernyataan Pailit Tidak Berkepanjangan"
h) Asas "Proses Putusan Pernyataan Pailit Terbuka untuk Umum
i) Asas "Pengurus Perusahaan Debitor yang Mengakibatkan Perusahaan Pailit Harus
Bertanggung Jawab Pribadi"
j) Asas "Memberikan Kesempatan Restrukturisasi Utang Sebelum Diambil Putusan
Pernyataan Pailit kepada Debitor yang Masih Memiliki Usaha yang Prospektif"
k) Asas "Perbuatan-perbuatan yang Merugikan Harta Pailit Adalah Tindak Pidana"

Berdasarkan kajian Penulis mengenai tinjauan teori hukum terhadap asas


keberlangsungan usaha (going concern) debitor pailit dalam ketentuan undang undang nomor
37 tahun 2004 tentang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
sehubungan tidak adanya insolvency test hanya tiga asas yang sesuai dengan kajian penulis
yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Asas Perlindungan Yang Seimbang
a) Pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU mengenai hak kreditor mengajukan
permohonan pailit atas debitornya dan hak debitor mengajukan permohonan
pailit atas dirinya sendiri (perlindungan kepentingan kreditor dan debitor);
b) Pasal 8 ayat 1 huruf a UUK dan PKPU mengenai hak debitor untuk dipanggil
dan untuk didengar keterangannya dalam hal ada permohonan pailit atas
dirinya;
c) Pasal 11 ayat 3 UUK dan PKPU mengenai hak debitor dan kreditor juga
kurator lain yang bukan para pihak dalam suatu kepailitan untuk mengajukan
permohonan kasasi;
d) Pasal 14 ayat 1 UUK dan PKPU mengenai hak para pihak dalam suatu
kepailitan untuk mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung;

2. Asas Kelayakan untuk Dinyatakan Pailit, asas ini menghendaki bahwa permohonan
pailit hanya dapat diajukan terhadap Debitor yang insolven yaitu Debitor yang tidak
membayar utang-utangnya kepada para kreditor mayoritas. Dalam UU Kepailitan
tidak ada ketentuan yang mensyaratkan kelayakan debitor untuk dinyatakan pailit,
kalau syarat untuk dinyatakan pailit sudah terpenuhi, hakim dapat saja menyatakan
Debitor pailit walaupun misalnya utang debitor sangat kecil dibandingkan asetnya.
Jadi UU Kepailitan tidak menganut asas kelayakan untuk dinyatakan pailit.

pg. 22
3. Asas ultimum remedium, asas ini menghendaki bahwa pernyataan pailit merupakan
pilihan terakhir dalam menyelesaikan permasalahan utang piutang. UU Kepailitan
menganut asas ini dengan melihat bahwa sebelum pernyataan pailit diucapkan,
diberikan kesempatan kepada debitor untuk mengajukan usulan perdamaian dan
permohonan PKPU. Maksud daripada asas ini sejalan dengan asas pengayoman.
Ketentuan mengenai perdamaian terdapat dalam Pasal 145 sampai dengan Pasal 177
UU Kepailitan, sedangkan mengenai PKPU terdapat pada keseluruhan BAB III UU
Kepailitan.

pg. 23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dalam hal permohonan Kepailitan yang diajukan oleh dua atau lebih Kreditor
sebagaimana syarat Kepailitan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dirasa Penulis terlalu
sederhana dalam menentukan Debitor pailit dengan diajukan oleh minimal dua Kreditor.
Karena diketahui bahwa apabila syarat – syarat ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UUK terpenuhi,
dan Debitor dijatuhkan putusan pailit maka akibatnya berlaku ketentuan kepailitan
sebagaimana dalam UU Kepailitan bagi Kreditor dan Debitor. Menjadi tidak adil bagi
Debitor apabila usaha Debitor masih memungkinkan untuk menghasilkan keuntungan dan
kemampuan untuk melunasi utang-utang Debitor.

Untuk memberikan kemanfaatan UU Kepailitan di Indonesia pada masa yang akan


datang, maka diperlukan adanya Insolvency test untuk menilai apakah Debitor masih layak
diberi kesempatan untuk melanjutkan usahanya.

B. Saran
Dengan tidak adanya Incolvency test dalam UU Kepailitan di Indonesia, sebaiknya syarat
permohonan pailit seperti di dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan, diubah dan dipersulit
dengan mempertimbangkan kemampuan Debitor untuk menjalankan usahanya. Sehingga
Kreditor dapat menggunakan upaya hukum lainnya seperti Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU). Agar tujuan hukum meliputi dan melindungi seluruh pihak yang
berkepentingan.

pg. 24
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku

A.Lontoh, Rudhy dan Denny Kailimang dan Benny Pontoh (ed.) 2001, Hukum Kepailitan :
Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban
Pembayaran,Ed.1.,
Cet.1, Alumni, Bandung.
Arto, Mukti. 2001, Mencari Keadilan, Kritik dan Sosial Terhadap Praktik Peradilan
Perdata,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Asyhadie, H . Zaeni. 2013, Pengantar Ilmu Hukum, PT Rajagrapindo Persada, Jakarta.
Black, Henry Campbell, M. A., 1979. “Black's Law Dictionary :Definitions of the Terms and
Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern”, Fifth Edition
ST.
Paul Minn., West Publishing Co
Black Law Dictionary
Fuady, Munir. 2005, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Edisi Revisi (Disesuaikan
dengan
UU Nomor 37 Tahun 2004), Citra Aditya Bakti, Bandung.
Hartono, Sri Redjeki. 2007, Hukum Ekonomi Indonesia, cetakan ke-2, Bayumedia Publishing,
Malang.
Huizink, J.B. 2004, Insolventie, Terjemahan Linus Doludjawa, Penerbit Pusat Studi Hukum
dan
Ekonomi Fakultas Hukum UI, Jakarta.
Irawan, Bagus. 2007, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan, Perseroan dan Asuransi, Alumni,
Bandung.
Kansil, Cst, Christine , S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit Kamus
Istilah
Hukum, Jala Permata Aksara, Jakarta.
Kartono, 1985. Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Pradnya Paramita, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud. 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group,
Jakarta.
Nainggolan, Bernard. 2011, Perlindungan hukum seimbang debitor, kreditor, dan pihak-
pihak
berkepentingan dalam kepailitan. Alumni.
Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Teguh. 2012, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum,
Pemikiran
Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Rajawali Pers, Jakarta.

pg. 25
Rahayu, Sri. 2009, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Opini Audit Going
Concern Pada Perseroan Manufaktur Publik”, Jurnal Kajian Akuntansi, Desember
Rahardjo, Satjipto. 1980, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung.

Rajagukguk, Erman. “Latar Belakang dan Ruang Lingkup Undang-Undang No. 4 Tahun
1998
tentang Kepailitan”, dalam dalam Rudhy A.Lontoh, Denny Kailimang dan Benny Pontoh
(ed.),
2001. Hukum Kepailitan: Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan
Kewajiban Pembayaran, Ed.1, Cet.1, Alumni, Bandung.
Rato, Dominikus. 2010, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,
Laksbang
Pressindo, Yogyakarta.
Riduan, Syahrani. 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum , Penerbit Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Sjahdeini, Sutan Remy . “Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun
2004
Tentang Kepailitan”, Grafiti, Jakarta.
Sudargo, Gautama. 1998. Komentar atas peraturan kepailitan baru untuk Indonesia, Citra
Aditya
Bakti, Rudy A. Lontoh dkk (editor),2001, Alumni, Bandung.
Wantu, Fence M. 2007, Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, Jurnal Berkala
Mimbar
Hukum, Vol. 19 No. 3 Oktober, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

B. Internet

http://www.pengertianahli.com/2014/01/pengertian-keadilan-apa-itu-keadilan.html#_
diakses pada tanggal 10 Desember 2019
Admin Panduan Hukum “Teori Tentang Tujuan Hukum Lebih dalam (1)”
http://panduanhukum.com/teori-tentang-tujuan-hukum-lebih-dalam/

Berita Hukumonline.com, “Hakim Karier Menilai Proses Kepailitan Terlalu Mudah”, (

pg. 26

Anda mungkin juga menyukai