Anda di halaman 1dari 16

ARTIKEL

IMPLEMENTASI ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN


MODEREN DALAM PEMBELAJARAN

0leh:

KETUT ERAWATI
Nim : 222413101036
Kelas : B

FAKULTAS DHARMA ACARYA UHN


I GUSTI BAGUS SUGRIWA DENPASAR
2023
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pendidikan merupakan komponen yang sangat penting dalam kehidupan


dan kehidupan manusia. Gagasan dan pelaksaan Pendidikan selalu dinamis sesuai
dengan dinamika manusia dan masyarakat. Dari dahulu sampai nanti pun
Pendidikan akan selalu mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan
social budaya dan perkembangan IPTEK. Pemikiran - pemikiran yang membawa
pembaharuan Pendidikan inilah yang disebut aliran - aliran Pendidikan. Aliran -
aliran ini harus di pahami oleh setiap calon tenaga kependidikan, terutama calon
pakar Pendidikan agar mereka mampu menagkap makna setiap gerak dinamika
pemikiran - pemikiran dalam Pendidikan itu.

Pemahaman itu akan membekali tenaga Pendidikan dengan wawasan


kesejarahan, yakni kemampuan memahami kaitan antara pengalaman -
pengalaman masa lampau, tuntutan dan kebutuhan masa kini, serta
peekiraa/antisipasi masa datang. Berkenan dengan itu dalam wawasan
kependidikan dijelaskan bahwa berbagai macam aliran - aliran Pendidikan baik
aliran - aliran Pendidikan klasik maupun modern, sehingga esensi dari aliran -
aliran tersebut dapat dijadikan landasan dalam pengembangan dan memecahkan
masalah - masalah Pendidikan.

Filsafat pendidikan, tidak semua orang mendapatkan kesempatan untuk


mempelajarinya, namun ternyata dalam praktiknya memiliki dampak dan juga
manfaat yang banyak. Filsafat pendidikan menjadi salah satu landasan dalam
perkembangan ilmu pendidikan, karena pendidikan sendiri merupakan sebuah
ilmu yang terus berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Keberadaan
filsafat pendidikan memberikan kesempatan dan membantu setiap peneliti yang
berkecimpung dan pengamat bidang pendidikan untuk lebih mengembangkan
ilmu pendidikan yang ada, berawal dari pertanyaan mengenai apa, mengapa, dan
juga bagaimana, yang merupakan dasar utama dari filsafat. Hal ini juga akan
dapat membantu para peneliti dan juga mereka yang terlibat dalam dunia
pendidikan untuk menyempurnakan ilmu pendidikan yang sudah ada.

Berkenaan dengan kebijakan mengenai program pendidikan. Filsafat


pendidikan dapat memberikan landasan, karena segala sesuatu yang diwajibkan
dan juga merupakan hak warga negara harus diatur dalam sebuah undang-undang
atau aturan tertentu yang jelas. Peraturan mengenai pendidikan ini dibuat dengan
menggunakan prinsip filsafat pendidikan. Melalui penggunaan prinsip filsafat
pendidikan, dapat diketahui di antaranya: (1) apa yang harus dilakukan untuk
memajukan pendidikan, (2) mengapa pendidikan itu perlu, dan (3) bagaimana
melaksanakan pendidikan. Jadi dengan demikian dapat dibuat suatu peraturan atau
undang-undang yang melandasi bidang pendidikan sehingga pendidikan dapat
berjalan dengan baik tanpa adanya kebingungan bagi para pendidik maupun yang
terdidik.

Filsafat Pendidikan juga dapat menjadi landasan untuk berkarya dan


mengabdi di bidang pendidikan. Pertanyaan filosofis mengenai pendidikan,
seperti mengapa pendidikan itu penting dapat memberikan jawaban kepada
mereka yang ingin mengabdi menjadi tenaga pendidik. Dengan adanya filsafat
pendidikan, maka tujuan pengabdian dari setiap insan pendidik akan menjadi
jelas. Hal ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh pemahaman dan juga
pengimplementasian filsafat Pendidikan.
PEMBAHASAN

A. Implementasi aliran filsafat Pendidikan modern dalam proses pembelajaran

Pendidikan modern merupakan pendidikan yang sejalan dengan usaha


manusia sepanjang hayatnya yang dilakukan secara sadar untuk membimbing dan
menuntun khususnya kondisi jiwa, agar dapat menumbuhkan akhlak dan
kebiasaan yang baik sejak awal pertumbuhan dan perkembangannya, hingga
mencapai masa pubertas, sehingga terbentuk kepribadian yang sesuai dengan
tujuan pendidikan. Sejalan dengan itu maka pendidikan mengalami perubahan
(inovasi), sebab proses pendidikan yang tidak sesuai dengan tuntutan
perkembangan zaman hanya akan membuat manusia stagnan. Oleh karena itu,
pemahaman atau pandangan orang mengenai hakikat pendidikan itu pun berubah-
ubah, yang secara sederhana dapat dikategorikan sebagai pandangan pendidikan
tradisional dan pendidikan modern.

Aliran pendidikan modern dapat diklasifikasikan menjadi: aliran progresivisme,


aliran esensialisme, aliran perennialisme, aliran rekonstruksionalisme, dan aliran
idealisme (Mudyahardjo, 2001).

B. Pendidikan ditinjau dari Filsafat positivitisme

Positivisme secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa
filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat
dialami sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif
bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian), atau
terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk
berpikir dari akal manusia. Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara
terminologis merupakan suatu paham yang dalam 'pencapaian kebenaran'-nya
bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal di
luar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme.

Para ilmuwan dalam bidang eksakta (kimia, fisika, biologi, dan lainnya)
cenderung menggunakan posisi ontologi, yang memandang dunia secara objektif.
Hal ini menyebabkan epistimologi untuk memperoleh kebenaran adalah
menggunakan metode objektif dengan hasil yang dapat digeneralisasikan
(Positivisme). Sejalan dengan itu, para ilmuwan di bidang noneksakta (Pendidikan
agama, kewarganegaraan, ilmu pengetahuan sosial, dan sebagainya) juga
mengikuti pemikiran para ilmuwan bidang eksakta. Hal ini disebabkan pendapat
para ilmuwan eksakta telah mengakar dan sangat populer. Namun, hal ini pula
yang pada akhirnya membawa implikasi yang kurang baik terhadap pendidikan di
Indonesia. Aliran positivisme telah menjadikan ilmu pengetahuan lain, seperti
ilmu pengetahuan sosial menjadi ilmu pengetahuan yang dinomorduakan bahkan
sering dipandang sebelah mata.

Fenomena itu, sampai sekarang dapat dilihat pada institusi pendidikan


yang juga melakukan hal yang sama. Seorang siswa akan bebas memilih jurusan
apapun di perguruan tinggi apabila ia berlatar belakang pendidikan sains,
sebaliknya bagi mereka yang berlatar belakang ilmu-ilmu sosial tidak dapat
memilih jurusan di luar latar belakang keilmuannya. Para ilmuwan sosial yang
peduli, seyogianya berbeda dengan mereka yang ada dalam posisi logical
positivism, yaitu dengan mengambil posisi ontologi hermeneutik (hermeneutics)
atau fenomenologi (phenomenology) dengan titik tolak bahwa dunia itu bersifat
subjektif, dan karena itu diperlukan usaha epistemologi dengan menafsirkan dunia
yang subjektif tersebut.
Menurut penganut aliran ini, dunia tidak terorganisasikan secara objektif
sesuai dengan prakonsepsi sebagian orang. Jika dikaitkan dengan pendidikan
maka salah satu tujuan pendidikan bangsa Indonesia, yaitu membentuk manusia
seutuhnya. Maksud dari manusia seutuhnya itu adalah tidak hanya cerdas dari segi
kognitif saja melainkan juga cerdas secara emosi dan cerdas spiritual. Manusia
yang diharapkan dalam sistem pendidikan Indonesia ialah yang mampu berolah
pikir, berolahraga, olah hati, dan berolah rasa.
Jika dikaji lebih lanjut aliran Filsafat Positivisme mengarahkan agar
pendidikan ini berkembang menuju kepada hal yang baik, baik dari segi
intelektual dan memiliki daya analisis dari sesuatu. Contoh ketika dalam sebuah
materi pelajaran menjelaskan terjadinya hujan maka akan menuntut siswa berpikir
kenapa hujan itu terjadi? Siswa mampu mengembangkan pikirannya, mereka
sampai pada pemikiran pasti ada sebab atau bukti kenapa hujan itu terjadi,
sehingga dari hal ini akan mewujudkan generasi kritis-kreatif.
Konsep Pendidikan menekankan akan penting keterpaduan dan
kebersamaan dalam suatu sistem Pendidikan upaya Pendidikan. Upaya
Pendidikan tidak cukup hanya didasarkan pada sikap, pengetahuan, dan
keterampilan saja. Namun harus juga disertai dengan atmosfir dengan tujuan
pendidikannya. Pendidikan di awali:

1. Lingkungan keluarga
Alam keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan utama. Ki Hadjar
Dewantara (1926) menyatakan bahwa sejak kehidupan manusia di alam fana
ini adab kemanusiaan hingga kini, kehidupan keluarga selalu memengaruhi
perkembangan budi pekerti setiap manusia. Pendidikan dalam lingkungan
keluarga muncul karena manusia mempunyai naluri asli untuk memperoleh
dan mempertahankan eksistensi keturunan, dan oleh karena itu setiap manusia
akan selalu mendidik keturunannya (anak-anaknya) dengan sesempurna
mungkin baik dalam aspek rohani maupun jasmani. Setiap manusia
mempunyai dasar kecakapan dan keinginan untuk mendidik anak-anaknya,
sehingga hakikat keluarga itu adalah semata-mata pusat pendidikan;
walaupun acapkali berlangsung secara amat sederhana dan tanpa kesadaran.
Rasa cinta, rasa bersatu dan lain-lain perasaan dan keadaan jiwa
yang pada umumnya sangat berfaedah untuk berlangsungnya pendidikan,
teristimewa pendidikan budi pekerti terdapat di dalam kehidupan keluarga.
Perasaan ini tumbuh dalam sifat yang kuat dan murni, sehingga tidak ada
pusat-pusat pendidikan lain yang menyamainya. Pendidikan kesosialan juga
berawal dan lingkungan keluarga; misalnya tolong- menolong, menjaga
saudara yang sakit, menjaga ketertiban, kesehatan, kedamaian, dan keberesan
segala urusan hidup.
Kepentingan keluarga sebagai pusat pendidikan tidak hanya disebabkan
karena adanya kesempatan yang sebaik-baiknya untuk menyelenggarakan
pendidikan diri dan sosial, akan tetapi juga karena orang tua (ibu dan ayah)
dapat menanamkan segala benih kehidupan batiniah di dalam jiwa anak yang
sesuai dengan kehidupan batiniah dirinya. Inilah hak orang tua yang terutama
dan tidak bisa digantikan oleh orang lain. Apabila sistem pendidikan dapat
memasukkan alam keluarga ke dalamnya, maka orang tua terbawa oleh segala
keadaan pendidikan sehingga dia akan dapat berperan sebagai guru, sebagai
pengajar, dan sebagai teladan.
Demikianlah pendidikan yang diberikan orang tua kepada anak
ketika masih kecil memberikan landasan bagi pendidikan dan kehidupannya
di masa depan. Pandangan ini mendapat dukungan kuat dan pandangan
psikologis bahwa apa yang dialami anak di masa kecil, khususnya pendidikan
yang diterima dari orang tuanya, akan melekat dalam diri dan mewarnai
perkembangan kehidupan berikutnya. Di dalam kehidupan "modern" seperti
saat ini pun fungsi keluarga sebagai lingkungan pendidikan pertama dan
utama tetap memegang peranan penting dalam meletakkan dasar-dasar yang
kokoh bagi perkembangan kepribadian anak selanjutnya.
Penciptaan iklim kehidupan keluarga yang dapat memberikan
kemudahan bagi anak untuk mengembangkan pola-pola perilaku dasar,
seperti yang dikemukakan pada awal uraian ini, yang diperlukan bagi
pendidikan dan pengembangan diri selanjutnya merupakan fungsi. esensial
keluarga sebagai lembaga pendidikan. Iklim keluarga adalaht suasana yang
dihayati bersama oleh seluruh anggota keluarga. Iklim keluarga merupakan
wahana bagi tindakan pendidikan dalam keluarga. Tindakan orang tua dalam
mendidik anak tidak terlepas dari iklim. keluarga, tindakan itu disertai dan
berada di dalam iklim keluarga. Terbentuknya iklim keluarga tidak hanya
didukung oleh orang-orang tertentu melainkan oleh seluruh anggota keluarga.
Tampilnya masing- masing anggota keluarga secara wajar, sesuai dengan
peranan masing- masing akan menimbulkan kewajaran iklim keluarga itu
sendiri.
Melalui pendidikan dalam keluarga itu, anak bukan saja diharapkan
menjadi suatu pribadi yang mantap, yang secara mandiri dapat melaksanakan
tugas hidupnya dengan baik, melainkan juga diharapkan kelak dia menjadi
anggota masyarakat yang baik. Terkait dengan hal ini, pendidikan dalam
keluarga dapat disebut sebagai suatu persiapan ke arah kehidupan anak untuk
bermasyarakat. Itulah sebabnya maka dikatakan bahwa salah satu fungsi
keluarga adalah fungsi sosialisasi.
Sebagai lembaga pendidikan keluarga menjalankan fungsi sosialisasi
dan edukasi. Fungsi sosialisasi lebih berkaitan dengan proses pewarisan nilai
yang terdapat dalam keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan di
dalam keluarga akan selalu terkait dengan aturan-aturan yang tumbuh dan
hidup di dalam masyarakat, apakah berupa tata cara, adat kebiasaan, tradisi
dan aturan-aturan lainnya. Sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan proses
pengembangan seluruh daya atau potensi anak sehingga dia tampil
sebagaimana dia mampu menjadi dirinya.
Keluarga merupakan pengelompokan primer yang terdiri dari
sejumlah kecil orang karena hubungan semenda (hubungan kekeluargaan
karena ikatan perkawinan) dan sedarah. Keluarga itu dapat berbentuk
keluarga inti (nucleus family: Ayah, ibu dan anak), ataupun keluarga yang
diperluas (di samping inti, ada orang lain seperti, kakek/ nenek, adik ipar, dan
lain-lain). Meskipun Ibu yang merupakan anggota keluarga yang mula-
mulanya sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya anak, namun
pada akhirnya seluruh angota keluarga itu ikut berintraksi dengan anak. Pada
awal kehidupan manusia, keluargalah yang terutama berperan baik pada
aspek pembudayaan, maupun penguasaan pengetahuan, dan keterampilan.
Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan dan aspirasi anak, kebutuhan pada
umumnya tidak mampu lagi dipenuhi hanya dalam keluarga termasuk di
bidang pendidikan. Oleh karena itu, sebagian dari tujuan pendidikan akan
dicapai melalui jalur pendidikan sekolah ataupun jalur pendidikan luar
sekolah lainnya seperti: kursus, kelompok belajar, dan lain-sebagainya.
Peran jalur pendidikan sekolah makin lama makin penting.
khususnya dengan aspek pengetahuan dan keterampilan. Keluarga dalam hal
ini tidak berarti dapat melepaskan diri dari tangung jawab terhadap
pendidikan anaknya itu, karena keluarga diharapkan bekerja sama dan
mendukung kegiatan pusat pendidikan lainnya (sekolah dan masyarakat).
Keluarga selalu menjadi tempat pendidikan yang pertama.
2. Lingkungan sekolah

Pemenuhan kebutuhan anak akan pendidikan dalam masyarakat


modern, tidak cukup melalui pendidikan dalam keluarga saja. Kondisi
masyarakat modern mendorong terjadinya proses formalisasi pendidikan yang
lazim disebut sistem persekolahan. Lembaga pendidikan persekolahan pada
awalnya muncul dan diciptakan oleh kelompok masyarakat maju, yang
diperuntukkan bagi kalangan atas dan masyarakatnya. Misi semula sekolah
lebih ditekankan kepada fungsi sosialisasi, yakni mewariskan kebudayaan
kepada generasi penerus, sehingga sering pendidikan disebut transformasi
budaya.

Sekolah sebagai lembaga pewarisan kebudayaan untuk kelompok


masyarakat tertentu telah lama bergeser menjadi lembaga pendidikan yang
diselenggarakan untuk kepentingan umum dan melayani semua lapisan
masyarakat. Dalam posisi seperti ini fungsi sekolah tidak hanya menyangkut
fungsi sosialisasi melainkan juga memiliki fungsi edukasi.
Sebagai lembaga pendidikan, sekolah diselenggarakan secara formal,
berdasar kepada aturan dan perundang-undangan resmi, dan menjadi wahana
formal bagi pencerdasan kehidupan bangsa. Di sekolah dikenal adanya
kurikulum formal yang menjadi dasar bagi pengembangan isi dan proses
pendidikan. Keberadaan kurikulum formal bukanlah sesuatu yang tidak
memungkinkan guru berbuat dan bertindak kreatif dalam proses belajar-
mengajar. Malahan sebaliknya kurikulum tersebut perlu dijabarkan dan
diartikulasikan ke dalam proses belajar-mengajar yang sesuai dengan
perkembangan anak.

Jika kembali kepada hakikat dan perkembangan anak di sekolah,


maka kurikulum terpakai (actual curriculum), yaitu kurikulum yang
ditampilkan guru di kelas dalam proses belajar-mengajar, adalah kurikulum
formal yang dijabarkan dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan
anak. Di sinilah guru perlu mencerna kurikulum, dengan mengacu kepada
perkembangan anak, dan mendekatkan isi kurikulum itu kepada dunia
kehidupan anak. Sikap guru yang menempatkan dirinya sebagai pelaksana
kurikulum harus diganti dengan sikap dan peran sebagai pengembang
kurikulum. Guru berperan sebagai pengambil keputusan atau tindakan dalam
pendidikan yang didasari pemahaman dan kesadaran tentang kodrat anak dan
ketercernaan materi pendidikan oleh anak. Dengan demikian, seorang guru
dikehendaki secara kreatif mengembangkan materi ajar yang sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan anak didiknya.

Sekolah merupakan sarana yang secara sengaja dirancang untuk


melaksanakan pendidikan. Kemajuan zaman yang selalu berkembang
menyebabkan keluarga tidak mungkin lagi memenuhi seluruh kebutuhan dan
aspirasi generasi muda terhadap iptek. Semakin maju suatu masyarakat
semakin penting peranan sekolah dalam mempersiapkan generasi muda
sebelum masuk dalam proses pembangunan di masyarakatnya

3. Lingkungan Masyarakat
Hakikat manusia sebagai makhluk sosial mengandung implikasi bahwa
dalam diri manusia ada dorongan untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan
hidup bersama dengan orang lain. Dorongan ini dibentuk dalam suatu tatanan
hidup yang teratur yang disebut masyarakat. Jadi dalam masyarakat ada
keteraturan, harapan, dan peranan yang harus dimainkan para anggotanya
sesuai dengan kedudukan dan fungsinya.

Melalui interaksi dan komunikasi anak banyak belajar tentang


kehidupan masyarakat, mulai dari adat kebiasaan dan tradisi sampai kepada
hal-hal yang mula-mula dianggap asing dalam kehidupannya. Semua hal itu
akan memengaruhi perkembangan dan turut membentuk kepribadian anak.
Anak akan menemukan dirinya dalam interaksinya dengan manusia lain.

Pengaruh yang didapat seseorang dari lingkungan masyarakat begitu


besar sehingga ada yang berpendapat bahwa lingkungan sosial itu
menentukan kepribadian. Dalam sudut pandang ini pendidikan dianggap
sebagai proses sosialisasi, dan pendidikan itu adalah kehidupan sosial itu
sendiri. Dalam pandangan ini kepribadian anak seolah-olah hasil "celupan"
dari lingkungan sosial, sehingga pribadinya lebur di dalam kehidupan sosial
itu. Pandangan tersebut tentu tidak sejalan dengan hakikat eksistensi manusia
sebagai makhluk monodualis, yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial. Dalam pandangan ini anak belajar di dalam masyarakat dan
menemukan dirinya sebagai pribadi, mengembangkan pola-pola perilaku dan
cara berpikir yang laras dengan kehidupan masyarakat tetapi terinternalisasi
sebagai miliknya sendiri.

Masyarakat sebagai lingkungan pendidikan mengandung arti bahwa


manusia itu dimanusiakan melalui interaksi di dalam lingkungan masyarakat.
Di dalam masyarakat yang menjadi lingkungan seorang anak memiliki nilai-
nilai kemanusiaan yang hanya dapat dipelajari dan diperoleh anak dalam
konteks kehidupan bermasyarakat. Seorang anak akan belajar dalam
lingkungan masyarakatnya sehingga kepribadian juga akan dipengaruhi oleh
lingkungan masyarakatnya, termasuk pola-pola dan cara berpikirnya.
C. Pendidikan di tinjau dari Pandangan progesivisme dalam pembelajaran

Dalam melakukan pembelajaran. Aliran progesivisme mengungkapkan


bahwa peserta didik dianggap sebagai manusia seutuhnya yang memiliki
tingkat kecerdasan atau potensi yang berbeda-beda untuk dikembangkan.
Aliran filsafat positivisme mempunyai pandangan bahwa setiap individu
terutama peserta didik harus di didik untuk dapat menangani permasalahan
yang baru dalam kehidupan Dalam pandangan proses pembelajaran, Dalam
aliran ini Peserta didik dianggap pusat
kemasyarakat mendatang dan Peserta didik juga di tuntut untuk dapat
melakukan usaha - usaha mereka dengan mandiri agar peserta didik dapat
bebas dalam meningkatkan kreativitasnya di segala bidang yang peserta didik
tekuni. Namun tidak semua keinginan seorang peserta didik harus dipenuhi
dan di ikuti, sebab seorang anak
Guru dalam aliran progesivisme dipandang harus berperan dalam
membimbing dan memberikan pengetahuan serta motivasi pengalaman
hidupnya kepada peserta didik. Pembelajaran menurut aliran positivisme
harus meperhatikan hal-hal berikut:
1. Pembelajaran bersifat perorangan.
2. Peserta didik mempunyai kesempatan belajar melalui pengalaman yang
dimiliki.
3. Peserta didik di motivasi, bukan di perintah.
4. Partisipasi peserta didik dalam setiap kegiatan yang berdampak positif
5. Penyadaran peserta didik bahwa hidup bersifat dinamis (peserta didik
perlu di hadapkan denganbeberapa perubahan melalui kebebasan
beraktivitas dengan tujuan kehidupan masa kini
Menurut pendapat salu dan triyanto yang tertuang di dalam jurnal mereka
menjelaskan bahwa
pembelajaran dalam filsafat progesivisme mencakup hal-hal berikut:
1. Pendidik harus dapat merencanakan pembelajaran yang dapat membangkitkan
minat dan rasa ingin tahu seorang peserta didik. Dalam setiap pembelajaran
sepenuhnya di upayakan agar peserta didik mampu membuka ruang berfikir
mereka. Sehingga dapat menimbulkan dorongan untuk mendapatkan temuan
baru yang dapat mengembangkan diri pesertadidik agar semakin maju seiring
berjalannya waktu.
2. Peserta didik di sarankan tidak hanya membaca buku saja melainkan wajib
berinteraksi dengan alam atau lingkungan sekitar contohnya melalui kerja
lapangan atau lintas alam.
3. Pendidik membangkitkan minat peserta didik agar berkenan membuka fikirannya
untuk pelajaran yang di sampaikan oleh pendidik. Contohnya melalui permainan
yang berkaitan dengan pembelajaran seperti kuis dan lain sebagainya.
4. Siswa di tuntut untuk berinteraksi dengan orang – orang di sekitarnya seperti
teman, guru, dan lain sebagainya. Hal ini di lakukan agar mereka dapat
membangun pemahaman sosial pada diri mereka masing- masing.
5. Kurikulum membebaskan peserta didik untuk mengembangkan potensi peserta
didik secara bebas agar mereka dapat berkembang pesat dalam saintifik dan
sosial
6. Pendidikan tidak hanya menyiapkan peserta didik untuk kehidupan dewasa
mereka tetapi juga untuk kehidupan masa depan.
KESIMPULAN
Positivisme secara etimologi berasal dari kata positive, yang dalam bahasa
filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi, yang dapat
dialami sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif
bertentangan dengan apa yang hanya ada di dalam angan-angan (impian), atau
terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk
berpikir dari akal manusia. Dapat disimpulkan pengertian positivisme secara
terminologis merupakan suatu paham yang dalam 'pencapaian kebenaran'-nya
bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi. Segala hal di
luar itu, sama sekali tidak dikaji dalam positivisme.
Aliran positivisme menekan pada Pendidikan di
1. Keliwarga
2. Sekolah
3. masyarakat
progesivisme merupakan aliran filsafat Pendidikan yang mendukung
perubahan dan kemajuan Pendidikan sesuai dengan perubahan zaman. Aliran ini
berkembang di amerika serikat dengan sifat yang fleksibel, dinamis, terbuka dan
bebas dalam menghadapi perkembangan zaman pada Pendidikan.
Aliran progresiviseme memiliki tujuan yaitu mencetak peserta didik yang dapat
berpikir praktis, dan dapat memecahkan masalah secara efektif di lingkungan
yang semakin berkembang dan maju dengan menggunakan pengalamanannya.
Aliran Progresivisme menggunakan pembelajaran yang tidak otoriter dan
indoktrinasi. menurut aliran progresivisme yaitu pendidik yang memberikan
pengajaran serta motivasi kepada peserta didik dan tidak memaksanya dalam hal
apapun.
Filsafat pendidikan itu adalah filsafat yang memikirkan tentang masalah
kependidikan. Oleh karena itu ada kaitan dengan pendidikan, maka filsafat
diartikan sebagai teori pendidikan dalam segala tingkat.
Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan
menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia
tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.
Aliran filsafat pendidikan yang berpengaruh dalam pengembangan pendidikan,
misalnya, idealisme, realisme, pragmatisme, humanisme, behaviorisme, dan
konstruktivisme.

DAFTAR PUSTAKA

Nyoman Dantes, Dkk. ( 2020 ) Wawasan Kependidikan.

PT Grapindo Persada Depok.


Jalaluddin & Idi. (2015). Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat Dan Pendidikan
Edisi Revisi. Malang: Rajawali Press.
Amka. (2019). Filsafat Pendidikan. Nizamia Learning Center: Sidoarjo
Yoga Prasetya, dkk, “Teori-teori Hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan
Kritikkritiknya”,Jurnal Ilmiah Multimedia dan Komunikasi, Vol.7 No. 1, Juni
2022 .
Wulandari, M.D. (2020). Progresivisme dalam Pendidikan di Indonesia.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Jalaluddin & Idi. (2015). Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat Dan Pendidikan
Edisi Revisi. Malang: Rajawali Press.
Ahmadi, Amsoro. ( 2021 ) Filsafat Umum Edisi Revisi. Jakarta: PT Raja

Garafindo Persada

Fadlilah, M. (2017). Aliran Progresivisme dalam Pendidikan di Indonesia.


Jurnal Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran, Vol. 5, No. 1 Januari 2017.

Anda mungkin juga menyukai