Bab 6
Bab 6
Medan berawal dari sebuah kampung yang didirikan oleh Guru Patimpus di
pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura.Hari jadi Kota Medan ditetapkan pada tanggal 1 Juli
1590.Selanjutnya pada tahun 1632, Medan dijadikan pusat pemerintahan Kesultanan Deli,
sebuah kerajaan Melayu.Bangsa Eropa mulai menemukan Medan sejak kedatangan John
Anderson dari Inggris pada tahun 1823. Peradaban di Medan terus berkembang hingga
Pemerintah Hindia Belanda memberikan status kota dan menjadikannya pusat
pemerintahan Karesidenan Sumatra Timur. Memasuki abad ke-20, Medan menjadi kota yang
penting di luar Jawa, terutama setelah pemerintah kolonial membuka perusahaan perkebunan
secara besar-besaran.
6.1.1 Letak Geografis dan Tata Guna Lahan
Kota Medan adalah ibukota Provinsi Sumatera Utara juga kota terbesar ketiga di
Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Kota Medan merupakan pintu gerbang wilayah
Indonesia bagian barat dan juga sebagai pintu gerbang bagi para wisatawan. Kota Medan
memiliki luas26.510 hektare (265,10 km²) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera
Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Medan memiliki
luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Secara geografis
Kota Medan terletak pada 3°30'-3°43' Lintang Utara dan 98°35'-98°44' Bujur Timur.
Untuk itu topografi Kota Medan cenderung miring ke utaradan berada pada ketinggian 2,5-37,5
meter di atas permukaan laut.Di samping itu sebagai daerah pinggiran jalur pelayaran Selat
Malaka, Medan memiliki posisi strategis sebagai pintu masukkegiatan perdagangan barang
dan jasa, baik perdagangan domestik maupun luar negeri (ekspor-impor). Letakgeografis
Medan ini telah mendorong perkembangan kota dalam dua kutub pertumbuhan secara fisik,
yaitu daerah Belawan dan pusat Kota Medan saat ini.
6.1.2 Iklim
Buku Analisis Hujan Bulan Agustus 2019 serta Prakiraan Hujan Oktober, November dan
Desember 2019 memuat informasi berkaitan dengan kondisi iklim terutama curah hujan yang
terjadi pada bulan Agustus 2019 dan prakiraan hujan 3 (tiga) bulan ke depan yaitu Oktober,
November dan Desember 2019. Dalam buletin ini, dimuat juga analisis dinamika atmosfer dan
laut selama bulan Agustus serta prakiraan ENSO, Indian Ocean Dipole dan suhu permukaan laut
untuk periode bulan Oktober, November dan Desember 2019.
Analisis Hujan Agustus 2019 yang disajikan pada halaman 7 s/d 11 menunjukan kondisi
faktual curah hujan yang terjadi selama bulan Agustus 2019 yang diperoleh berdasarkan data
pengamatan dari BMKG dan Pos Hujan kerjasama di seluruh wilayah Indonesia.
Prakiraan hujan untuk 3 (tiga) bulan ke depan yaitu periode hujan Oktober, November
dan Desember 2019, disajikan pada halaman 15 s/d 20, yang memuat Prakiraan Curah Hujan dan
Sifat Hujan hingga 3 (tiga) bulan kedepan.
Pada Sep III terjadi di Sumatera bag selatan, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalsel, Kaltim,
Kaltara, Sulawesi, sebagian Maluku, sebagian Malut, dan Merauke; pada Okt I terjadi di P.
Sumatera bag selatan, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalsel bag selatan, Sulsel bag selatan, Sultra bag
selatan, pesisir timur Sulteng, pesisir utara Sulut, Maluku bag selatan, dan Merauke; pada Okt II
terjadi di Sumatera bag selatan, Babel, Jawa, Bali, NTB, NTT, pesisir selatan P. Kalimantan,
Sulsel bag selatan, Sultra bag selatan, pesisir timur Sulteng, pesisir utara Sulut, Maluku bag
selatan, dan Merauke.
Dataran rendah, membentang sepanjang pantai lebar antara 3 - 10 km, kelerengan lahan
datar sekitar 0 – 2%, dengan ketinggian maksimal 10 m diatas muka air laut, beberapa daerah
berada pada ketinggian sekitar 0,70 m dibawah m.a.l. kawasan ini merupakan daerah endapan
alluvial yang cukup tebal (30 – 45 m), tanahnya sangat lunak dengan daya dukung tanah yang
relatif rendah.
Daerah transisi, ketinggian daerah ini antara 50 – 200m m.a.l.. terdapat lokasi yang
kurang menguntungkan itu dikembangkan karena terdapat perpotongan struktur geologi yang
berupa sesar normal.
Daerah tinggi, berada pada kaki gunung ungaran yang mempunyai ketinggian sekitar 2.050 m
diatas MSL. Batuan endapan vulkanik gunung ungaran terkikis pada daerah ini dan membentuk
tebing yang terjal (kelerengan 40%) dan merupakan daerah erosi yang potensial.
Secara garis besar, geologi kota semarang dan sekitarnya dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu
batuan vulkanik, batuan sedimen yang berasal dari laut, dan endapan alluvial. Batuan vulkanik
terdiri dari lahar, lava dari gunung ungaran dan formasi natopuro dengan intruksi andesit.Batuan
sedimen terdiri dari formasi damar, formasi kalibiuk, formasi banyak dan pernyataan
6.1.4 Pengambilan Air Tanah
Kebutuhan air terutama untuk industri dari waktu ke waktu semakin meningkat,
sedangkan ketersediaan air permukaan justru semakin menyusut baik kuantitas maupun
kualitasnya. Sebagai akibatnya pengambilan air tanah meningkat drastis. Pengambilan air tanah
dalam jumlah besar banyak terjadi di kota-kota besar sebagai konsekuensi dari pertumbuhan
industri. Sebagai gambaran, pengambilan air tanah di Jakarta saat ini 252,6 juta meter kubik per
tahun. Padahal, ambang batasnya hanya 186 juta meter kubik per tahun sehingga terjadi defisit
sekitar 66,65 juta meter kubik per tahun (Kompas.com, 28 September 2010). Kondisi
pengambilan air tanah besar-besar seperti itu juga banyak terjadi di kota lain seperti Semarang,
Surabaya, Medan dll. Situasi tersebut mengakibatkan terjadinya masalah-maslah lingkungan
yang serius, seperti penurunan muka air tanah sehingga banyak sumur-sumur penduduk yang
kering, amblesan tanah (land subsidence) maupun intrusi air laut.
6.1.5 Kependudukan
Jumlah penduduk Sumatera Utara tahun 2018 mencapai 14.415.400 jiwa.Sumut berada di
peringkat empat sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia.Demikianlah
proyeksi Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS).Berikutnya, Jawa Barat disusul Jawa Timur dan
Jawa Tengah di urutan dua dan tiga, masing-masing 39 dan 34 juta jiwa. Sumatera Utara di
peringkat empat sebanyak 14 juta, lalu Banten 12 juta jiwa.Penduduk DKI Jakarta ada di posisi
enam dengan jumlah penduduk 10 juta lebih.
Apabila dipetakan menurut kabupaten/kota (acuan data BPS tahun 2016), daerah dengan
jumlah penduduk tertinggi di Sumatera Utara yakni Kota Medan dengan penduduk mencapai
2.229.408.Lalu diikuti Kabupaten Deli Serdang 2.072.521, ketiga Kabupaten Langkat dengan
penduduk mencapai 1.021.208.
Banjir setinggi 2 meter merendam lima kecamatan di Kota Medan, Sumatera Utara,
Minggu siang. Seperti ditayangkan Fokus Indosiar, Minggu (3/12/2017), petugas gabungan yang
terdiri dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Polri, dan TNI dikerahkan untuk
mengevakuasi para korban.Seperti yang terjadi di Jalan Jamin Ginting.12 warga yang awalnya
memilih bertahan di rumahnya berhasil dievakuasi karena kondisi bangunan yang dapat tergerus
akibat derasnya arus luapan Sungai Babura dan Deli.Sejumlah petugas bahkan terpaksa turun ke
air memasang tali sebagai jalur evakuasi.Lebih dari 3.000 rumah di lima kecamatan di Kota
Medan terendam banjir. Karena kelima wilayah masuk zona merah rawan banjir yang berada di
bantaran Sungai Deli dan Babura. Sungai Deli dan Babura meluap menyusul tingginya intensitas
hujan di daerah hulu serta sebagian besar wilayah Kota Medan.
Setelah hari Jumat (5/10/2018), hujan deras kembali terjadi pada hari Senin (8/10/2018)
malam hingga Selasa (9/10/2018) dini hari.Sudah bisa ditebak, sejumlah wilayah di Kota Medan
saat itu tergenang banjir.Akibatnya, SMPN 35 Medan terpaksa meliburkan siswa-siswinya
mereka karena ruangan kelas mereka tak bisa untuk belajar. Sementara itu, Wali Kota Medan
Tengku Dzulmi Eldin, mengatakan, jajarannya sudah berusaha keras mencegah banjir tidak
datang lagi. "Kami kan sudah melakukan perbaikan-perbaikan drainase.Mungkin karena curah
hujan yang masih (tinggi) karena memang intensitas hujannya terus menerus dan pengendalian
airnya juga, makanya masih banjir," katanya, Selasa (9/10/2018).
Ratusan rumah terendam banjir di sejumlah daerah di Medan, Sumatera Utara (Sumut).
Luapan air sungai menjadi penyebab utama banjir tersebut. Kawasan yang dilanda banjir itu
terutama permukiman warga yang berada di tepian Sungai Deli dan Sungai Babura. Beberapa
daerah yang dilanda banjir di antaranya Kelurahan Aur dan Kelurahan Sei Mati di Kecamatan
Medan Maimun serta Kelurahan Beringin di Kecamatan Medan Selayang.
6.2.1 Kondisi Sistem Drainase
Kondisi drainase primer dan sekunder yang berada di Kawasan Helvetia sebagian dari
saluran yang ada tidak lagi sesuai dengan fungsinya, dimensi penampang yang tidak beraturan,
kurangnya perawatan maupun sistem pengaliran dan pembuangan yang tidak sesuai lagi dengan
lingkungan. Mengingat begitu banyaknya kerugian yang ditimbulkan oleh banjir atau genangan,
maka perlu direncanakan dengan cermat penanganan kelebihan air pada daerah tersebut, hal ini
merupakan alasan mendasar untuk menganalisis kapasitas dan sistem drainase pada kawasan
Helvetia.Adapun lokasi yang diambil pada kawasan Drainase Helvetia Kota Medan yang
dipusatkan di Kecamatan Medan Helvetia dikarenakan di wilayah ini rawan terjadi
genangan.Data mengenai curah hujan harian maksimum wilayah kecamatan Medan Helvetia
didapat melalui Stasiun Klimatologi Sampali Medan. Luas total area wilayah Medan Helvetia
adalah 1.316 Ha. Dengan luas area genangan sebesar 1,46 km² = 146 Ha apakah masih
mencukupi untuk mengalirkan serta membuang air yang berasal dari daerah tangkapan
air tersebut disepanjang drainase primer dan sekunder pada saat banjir (curah hujan tinggi).
Berdasarkan hasil analisa hidrologi dan uji sebaran distribusi, digunakan distribusi Log Person
type III sehingga di dapat intensitas curah hujan maksimum (I maks)= 14,644 mm/jam, debit
banjir rencana maksimum (Q)= 5,646 m³/det dan waktu konsentrasi (tc)= 1,087 jam. Dari hasil Q
analisis rancangan dan Q analisis kapasitas saluran di atas dibuat perbandingan hasil
perhitungan untuk mengetahui kondisi drainase primer kawasan Medan Helvetia dari analisa
didapat Drainase Primer sebesar 1,7188 m3/det pada Q Eksisting Saluran. Untuk Q
Rancangan didapat sebesar 0,5646 m3/det pada kondisi 10 tahun.
Beberapa studi menunjukkan bahwa pengambilan air bawah tanah yang berlebihan
dipercayai sebagai penyebab utama terjadinya penurunan dikota semarang. Hasil studi ITB
(1995) melalui simulasi computer menyimpulkan bahwa laju penurunan tanah dari tahun 1985 –
2002 diperkirakan berkisar antara 0,5 – 1,6 cm/tahun, dengan sebaran 1,0 cm/tahun di STM
perkapalan, 0,9 cm/tahun di simpang lima, 1,6 cm/tahun ditambak lorok, 0,7 cm/tahun di P3B
pelayaran, 0,5 cm/tahun di jomblang, 0,9 cm/tahun di kaligawe.
6.2.3 Pasang Surut
Kasus banjir rob merupakan masalah yang sering terjadi di daerah pesisir pantai. Hal ini
dikarenakan daerah permukaan tanah yang lebih rendah atau bahkan sama dibandingkan
permukaan air laut. Selain itu juga dikarenakan naiknya permukaan air laut sehingga pada
pasang air laut masuk dan menggenangi pesisir. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
keadaan banjir rob di wilayah pesisir Kota Medan dan menyediakan peta kerentanan terhadap
kenaikan muka air laut di Kota Medan. Kenaikan muka air laut didapatkan dari rata-rata
kenaikan pasang surut pertahun. Kemudian kenaikan muka air laut ini di kaitkan dengan data
penggunaan lahan, topografi, kependudukan, serta wawancara langsung pada penduduk sekitar.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa luasan genangan yang terjadi akibat kenaikan muka
air laut ini bertambah dari tahun ketahun. Sehingga mengkhawatirkan beberapa kelurahan di
Kecamatan Medan Belawan. Hasil wawancara langsung pada masyarakat setempat juga
menyatakan hal yang sama bahwa terdapat beberapa kelurahan yang memang rentan dengan
datangnya banjir pasang (rob). Kemudian digunakan metode VCA berdasarkan PERKA No. 02
tahun 2012 untuk mendapatkan kelas kerentanan pada tiap kelurahan dan di proyeksikan dalam
bentuk peta dengan metode overlay (tumpang tindih).
Sendimentasi merupakan akibat lebih lanjut dari erosi yang terdapat pada daerah yang
lebih rendah, terutama pendangkalan mulut kanal.Material erosi yang dibawa aliran air dari hulu,
pada saat memasuki daerah / saluran yang landau, tidak semuanya mampu hanut ke laut.
Sebagian akan terendapkan di sepanjang perjalanannya, di saluran, sungai, kolam retensi, muara,
dan badan air lainnya yang dilewati. Endapan di saluran / sungai menimbulkan penyempitan dan
pendangkalan, dan pengurangan kapasitas.Jika terjadi luapan, maka lumpur juga diendapkan di
wilayah yang dilewatinya.
6.3 Penataan Drainase dan Pengendalian Banjir
“Karena waktunya sedikit tapi harus selesai, kita menggandeng lima konsultan yakni PT
Yodya Karya (Persero), PT Duta Cipta Mandiri, PT Indah Karya, PT Global Tirta Nusantara dan
PT Pro Lestari,” ujarnya lewat keterangan resminya yang diterima Bisnis, Kamis (19/9/2019).
Selain itu, untuk pengendalian banjir, Asian Development Bank (ADB) atau Bank
Pembangunan Asia juga telah menyiapkan dana. Dana Siap Pakai (DSP) dari ADB itu hanya
diperoleh empat provinsi di Indonesia, yaitu Sumatra Utara, Jawa Tengah, Kalimantan Timur
dan Jawa Barat.
Salah satu upaya yang akan dilakukan untuk pengendalian banjir adalah dengan
meninggalkan konsep pematusan air hujan atau membuangnya langsung ke laut. Pola pikir dan
budaya yang harus ditanamkan adalah bagaimana untuk mempertahankan air hujan selama
mungkin di darat.
“Kembalikan air hujan ke bumi, jangan biarkan terbuang ke selokan atau ke sungai. Mari
memanen air hujan,” sebut Jarot.
Bicara tentang banjir, lanjut Jarot, bahwa banjir tidak bisa diatasi.Banjir hanya bisa
dikendalikan, dikurangi dan dieliminir. Oleh karena itu, pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota diharapkan dapat membuat suatu peraturan, baik itu di kawasan permukiman
maupun perkebunan untuk membuat penampungan air, seperti embung, long storage, kolam
retensi, sumur serapan dan lubang biopori.
Hal itu disampaikan Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Edy Rahmayadi acara Sosialisasi
Pengendalian Banjir DAS Belawan, Deli, Percut, dan Padang, Kamis (19/9/2019). Dia
mengatakan pihaknya akan segera menyatukan program dengan kabupaten/kota dan berbagai
pihak terkait lainnya, guna percepatan pelaksanaan pengendalian banjir di Sumut, khususnya di
Kota Medan. “Medan itu ibu kotanya Sumatera Utara, pengendalian banjir ini sangat penting,”
ujarnya.Pasalnya, dia mengatakan permasalahan banjir tersebut sudah lama tidak bisa diatasi,
dan ini merupakan problem yang umum bagi kota yang sedang berkembang.
Persoalan Teknis
1).Upaya penanggulangan banjir yang telah dilakukan maupun yang diprogramkan belum
menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya, masih berkutat pada peningkatan kapasitas
sungai/saluran yang tak mungkin dapat mengejar peningkatan debit banjir yang terjadi.
2).Master Plan Pengendalian Banjir/Drainase belum dijadikan acuan dalam setiap kegiatan
penanggulangan banjir/drainase, sehingga masih terjadi ketidak sinkronan sistem drainase
yang terbangun yang ditangani oleh berbagai instansi/lembaga.
3).Perubahan karakteristik watak banjir, puncak banjir makin besar, dan waktu datangnya makin
singkat.
4).Kawasan di dataran banjir telah berkembang dengan sangat pesat menjadi kawasan
permukiman, industri, perdagangan yang padat, sehingga upaya penanggulangan banjir lebih
banyak bersifat tambal sulam dan represif.
5).Pemanfaatan bantaran sungai atau daerah sempadan sungai yang tidak pada tempatnya,
banyak bangunan berada di bantaran bahkan di badan sungai, dan di atas saluran tanpa aa
tindakan penertiban.
6).Pengambilan air bawah tanah yang melebihi potensi yang ada masih berlangsung terus,
bahkan makin meningkat, sehingga berakibat pada penurunanmuka tanah yang juga masih
terus berlangsung.
7).Kinerja sistem pengendalian banjir yang telah ada tidak optimal akibat tidak adanya program
dan pendanaan O & P yang memadai.
8).Penanganan banjir secara teknis sering tidak mengenal batas administrasi dan merupakan satu
sistem, namun dari segi administrasi sering harus dipisah.
Persoalan non-Teknis
1).Upaya menangani banjir selama ini masih berorientasi proyek dan bersifat topdown dan
represif terstruktur, sehingga peran serta masyarakat masih sangat rendah.
2).Persepsi masyarakat yang kurang pas terhadap upaya penanganan banjir yang dilakukan oleh
pemerintah secara terstruktur.
3).Kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk memelihara sarana dan prasarana sistem drainase
masih sangat rendah.
4).Masyarakat luas belum dapat memahami sepenuhnya tentang fenomena banjir yang besifat
dinamis.
5).Potensi konflik antar daerah sangat mungkin sehubungan dengan batas administrasi yang
berbeda dengan batas sistem drainase.
6).Penegakan hukum belum berjalan dengan baik.
1. normalisasi drainase atau anak-anak sungai yang ada di Medan, pembersihan endapan-
endapan dalam saluran eksisting yang ada, pembangunan drainase primer maupun sekunder
untuk mendukung drainase yang sudah ada, membuat database/gorong-gorong dan program
rehabilitasi/pemiliharaan talut,serta berbagai studi kelayakan kolam retensi.
2. Wakil Wali Kota juga meminta kepada masyarakat untuk mengubah pola hidupnya dengan
mewadahi sampah jangan membuang sampah di sembarang tempat.
3. normalisasi dan pembuatan tanggul dengan salah satu metode yaitu adanya langkah
pembebasan lahan.
Sebagaimana telah disinggung di depan, banjir di kota pantai bersumber pada meningkatnya
debit banjir dari daerah tangkapan airnya dan pengaruh fluktuasi muka air laut akibat pasang
surut. Oleh karena itu, pengendalian banjir di kota pantai pada daarnya terdiri dari tiga
pendekatan, yaitu :
Dalam menentukan bentuk dan dimensi saluran yang akan digunakan dalam pembangunan
saluran baru maupun dalam kegiatan perbaikan penampang saluran yang sudah ada, salah satu
hal penting yang perlu dipertimbangkan adalah ketersediaan lahan. Mungkin di daerah pedesaan
membangun saluran dengan kapasitas yang besar tidak menjadi masalah karena banyaknya lahan
yang kosong, tapi di daerah perkotaan yang padat tentu bisa menjadi persoalan yang berarti
karena terbatasnya lahan. Oleh karena itu, penampang saluran drainase perkotaan dan jalan raya
dianjurkan mengikuti penampang hidrolis terbaik, yaitu suatu penampang yang memiliki luas
terkecil untuk suatu debit tertentu atau memiliki keliling basah terkecil dengan hantaran
maksimum. Dimensi saluran harus mampu mengalirkan debit rencana atau dengan kata lain debit
yang dialirkan harus sama atau lebih besar dari debit rencana. Untuk mencegah muka air ke tepi
(meluap) maka diperlukan adanya tinggi jagaan pada saluran, yaitu jarak vertikal dari puncak
saluran ke permukaan air pada kondisi debit rencana.
Bentuk penampang saluran pada muka tanah umumnya ada beberapa macam antara lain; bentuk
trapesium, empat persegi panjang, segitiga, setengah lingkaran. Beberapa bentuk saluran dan
fungsinya dijelaskan pada tabel berikut ini;
2)
Tabel bentuk-bentuk umum saluran terbuka dan fungsinya
Selain bentuk-bentuk yang tertera dalam tabel, masih ada bentuk-bentuk penampang lainnya
yang merupakan kombinasi dari bentuk-bentuk tersebut, misalnya kombinasi antara empat
persegi panjang dan setengah lingkaran, yang mana empat persegi panjang pada bagian atas
yang berfungsi untuk mengalirkan debit maksimum dan setengah lingkaran pada bagian
bawah yang berfungsi untuk mengalirkan debit minimum.
B. Persamaan yang Digunakan untuk Menghitung Dimensi Saluran
1. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa bentuk saluran ada berbagai macam dan yang akan
dibahas persamaannya dibatasi hanya pada bentuk empat persegi panjang dan trapesium.
1. Persamaan pada bentuk saluran empat persegi panjang
2. Persamaan pada bentuk saluran trapesium
C. Contoh Perhitungan
Soal 1 !
Saluran drainase berbentuk empat persegi panjang dengan kemiringan dasar saluran 0,015,
mempunyai kedalaman air 0,45 meter dan lebar dasar saluran 0,50 meter, koefisien kekasaran
Manning n= 0,010. Hitung kecepatan aliran dalam saluran, jika debit rencana sebesar 1,25 m 3/det
?
Diketahui :
n = 0,010
S = 0,015
Q = 1,25 m3/det
h = 0,45 m
B = 0,50 m
Ditanyakan : V .........?
Penyelesaian :
Pompa dan kolam tando
Besarnya kapasitas pompa sangat ditentukan oleh hodrograf banjir dan kapasitas kolam
tando. Diperlukan simulasi dengan simulasi dengan berbagai kapasitas pompa dan kolam dengan
mempertimbangkan biaya investasi awal dan biaya O & P untuk mendapatkan kapasitas yang
menguntungkan. Kapasitan pompa kecil memerlukan kolam besar, sehingga investigasi awal
besar, namun biaya O & P kecil.
Biaya pembangunan terdiri dari biaya dasar pembangunan (investasi awal), biaya operasi,
pemeliharaan, dan penggantian (O/M & R). Besarnya biaya O/M & R ADALAH Rp. 500 juta
per tahun, dimulai sejak awal operasi.