Anda di halaman 1dari 16

Jurnal komunikasi

P-ISSN: 1907-898X, E-ISSN: 2548-7647


Volume 13, Nomor 1, Oktober 2018

KOTA, RUANG, DAN POLITIK KESEHARIAN:


Produksi dan Konsumsi Ruang Bersenang-senang
dalam Geliat Yogyakarta

Ali Minanto
Prodi Komunikasi Universitas Islam Indonesia
Jalan Kaliurang KM. 14,5 Sleman, Yogyakarta 55584
Email: ali.minanto@uii.ac.id

Abstrak

Kota tumbuh bersama paradoks yang menyertainya. Di satu sisi, kota


menyodorkan mimpi-mimpi, menjadi ruang magnetik yang menyedot siapa saja
untuk terserap di dalamnya. Namun, di lain sisi ia menjelma mesin penggilas
segala hasrat dan imajinasi tentang keindahan, kesejahteraan, dan
kemakmuran yang hidup dalam benak orang banyak. Yogyakarta, kota yang
menyandang banyak predikat terus mengalami perubahan. Sebagai ruang yang
memperjumpakan kepelbagaian, Yogyakarta mulai berbenah dengan
menyajikan situs-situs konsumerisme baru yang berpotensi menyingkirkan
ruang-ruang publik. Reduksi terhadap ruang publik menstimulasi hadirnya
ruang-ruang alternatif sebagai ruang publik baru sekaligus destinasi dari
eskapisme warga untuk menemukan kesenangan (space of enjoyment). Tulisan
ini ingin melihat bagaimana ruang-ruang alternatif di Yogyakarta diproduksi,
dikonsumsi, dan bersalinrupa menjadi ruang bersenang-senang warga kota.

Keywords: Kota, Yogyakarta, Ruang bersenang-senang

Abstract

The city grows with its paradox. On the one hand, the city offers dreams, into
magnetic spaces that suck anyone to be absorbed in it. However, on the other
hand, it becomes the engine to crush all desires and imagination about beauty,
well-being, and prosperity that live in the minds of people. Yogyakarta, a city that
has many predicates, continues to change. As a space where many different
identities live together, Yogyakarta begins to improve by presenting new
consumerism sites that have the potential to get rid of public spaces. Reduction of
public space stimulates the presence of alternative spaces as a new public space.
It will be a destination for citizen escapism to find space of enjoyment. This article
wants to see how the space of enjoyment as alternative spaces in Yogyakarta are
produced and consumed by the citizens of Yogyakarta.

Keywords: City, Yogyakarta, Space of Enjoyment

41
Jurnal komunikasi, Volume 13, Nomor 1, Oktober 2018

Pendahuluan pembentukan kebutuhan dan selera baru


masyarakat yang cenderung konsumtif.
Yogyakarta sebagai kota yang Ketiga, ruang-ruang baru dengan segala
mempertemukan kepelbagaian menjadi aturan mainnya menyingkirkan kelompok
ruang yang dinamis dan selalu bersolek. masyarakat tertentu yang tidak sanggup
Perjumpaannya dengan beragam entitas beradaptasi.
menyebabkan Yogyakarta menjadi kota
yang terbuka terhadap multi gagasan dan Ruang kota diorientasikan menjadi
pemikiran. Sebagai sebuah kota, space of enjoyment (ruang kesenangan
Yogyakarta juga tumbuh dengan atau ruang bersenang-senang) yang
mistisisme yang bermuara pada kesadaran memberi harapan dan mimpi-mimpi
akan pentingnya perbedaan dan kebahagiaan warganya. Namun, kota kerap
pertentangan (Mas’oed, Panggabean, Azca menampakkan wajahnya yang ambigu.
2007: 199-200). Yogyakarta menjadi kota Pada satu sisi, kota menawarkan mimpi,
yang hadir dengan sebuah paradoks, yang menjadi ruang magnetik yang bisa menarik
memadukan antara yang tenang dan yang siapa saja untuk datang dan bersemayam
bergerak. Di satu sisi, Yogyakarta di dalamnya, tapi, di sisi lain, kota juga
menjunjung tinggi budaya ke-Jawa-an sebuah mesin penggerus segala hasrat dan
yang memiliki komitmen kepada imajinasi tentang keindahan,
kesabaran, ketenangan, dan moderasi. kesejahteraan, kemakmuran, dan
Namun di sisi lain, Yogyakarta juga dikenal kemerdekaan yang diangankan oleh orang
sebagai ruang yang menumbuhkan kebanyakan. Bahkan, kota siap
pelbagai perlawanan revolusioner. Dalam mencampakkan siapa saja yang tidak
catatan sejarah, berbagai peristiwa politik sanggup bersaing untuk berebut “ruang
besar terjadi di kota ini. Di sinilah, watak kekuasaan”. Kelompok berkuasa, para
Yogyakarta sebagai sebuah kota yang pemilik otoritas, menggunakan
dinamis menarik untuk diperbincangkan. kekuasaannya untuk menata ruang-ruang
kota sebagai sarana kontrol sosial (Fiske,
Transformasi ruang perkotaan yang 1995: 36). Melalui ruang-ruang
berlangsung di Yogyakarta dalam satu kesenangan, identitas dan selera publik
dekade terakhir menunjukkan perubahan diracik dan dirumuskan ulang. Dalam
tata ruang kota yang radikal. Hadirnya lanskap masyarakat konsumtif, yang
ruang-ruang konsumerisme seperti pusat memandang konsumsi sebagai habitus dan
perbelanjaan, destinasi wisata, resto, kafe, gaya hidup, kota dianggap sebagai
sarana olahraga, dan lainnya, panggung tontonan raksasa yang tidak
menunjukkan dinamika perubahan tata pernah tandas untuk dinikmati. Tata ruang
ruang kota yang cukup signifikan (PBB, perkotaan perlahan menginterpelasi dan
1995; Yusuf, 2006). Portal Gudeg.net membentuk selera publik. Pusat-pusat
merilis perubahan Yogyakarta dengan 243 perbelanjaan, kafe, resto, game center,
objek tujuan wisata, 104 tempat berbelanja biro-biro travel, paket-paket turisme,
(di dalamnya supermarket dan dihadirkan sebagai arena untuk memenuhi
hypermarket), 231 tempat wisata kuliner, selera dan kebutuhan “baru” masyarakat.
731 hotel dan penginapan. Perubahan ini
setidaknya menimbulkan beberapa Kapitalisasi dan komodifikasi
persoalan. Pertama, munculnya ruang- ruang perkotaan selain menawarkan nilai-
ruang konsumerisme mengakuisisi nilai hedonisme juga meneguhkan
keberadaan ruang publik. Kedua, disparitas kelas dan mengokupasi ruang
komodifikasi ruang kota berandil dalam publik. Akibatnya, publik kota harus

42
Ali Minanto, Kota, Ruang, dan Politik Keseharian:
Produksi dan Konsumsi Ruang Bersenang-senang dalam Geliat Yogyakarta

kehilangan ruang aktualisasi kepublikan yang sangat dibutuhkan masyarakat di


dan peran kewargaannya direduksi samping memproduksi limbah. Selain itu,
menjadi sekadar konsumen. Tata ruang hadirnya supermarket yang terlalu masif
kota berusaha mendisiplinkan pola relasi juga dikwatirkan akan menstimulasi hasrat
warga dalam logika yang transaksional. konsumeristik dan gaya hidup hedonistik
Ruang-ruang kesenangan yang ada masyarakat Yogyakarta.
berisiko menyingkirkan kelompok
Wajah Janus kota menciptakan
masyarakat tertentu, khususnya kelas
dilema sehingga perubahannya dirindukan
menengah bawah (lower middle class) dan
sekaligus dikecam. Banyak kisah
kalangan miskin kota (lower class/urban
penolakan warga terhadap pembangunan
poor). Mereka yang tidak memiliki
tata ruang kota sebagaimana terjadi di
modalitas ekonomi yang cukup untuk
Yogjakarta. Tidak sedikit warga Yogyakarta
menjadi konsumen aktif. Ini berarti bahwa
yang melayangkan protes, keberatan
mereka tersingkir karena tidak sanggup
terhadap pembangunan situs-situs
terlibat dalam “aturan main” yang dibuat
konsumerisme yang mulai menjamur.
oleh kelompok berkuasa (tatanan
Warga Yogyakarta pernah melakukan
simbolik).
gugatan terhadap manajemen Saphier
Sebagai destinasi wisata (tourism Square karena supermarket yang berada di
area) yang cukup terkenal, Yogyakarta Jalan Solo itu menyebabkan kerusakan
melakukan banyak pembenahan tata ruang lingkungan. Beberapa pembangunan
kota dalam beberapa tahun terakhir. Hal apartemen juga menjadi target protes
ini ditandai dengan hadirnya ruang-ruang warga Yogyakarta, seperti protes terhadap
turisme baru yang tersebar di beberapa pembangunan apartemen Uttara the Icon
wilayah di Yogyakarta. Sayangnya, di jalan Kaliurang KM 5 Sleman pada
dinamika Yogjakarta tersebut direspons tahun 2014. Penolakan dipicu oleh
oleh pemerintah kota dengan melakukan beberapa alasan: ancaman terhadap
pembangunan infrastruktur yang sangat ketersediaan air tanah, munculnya budaya
masif dan tidak terkontrol, terutama hedonis, memperparah kemacetan, risiko
pembangunan hotel, pusat perbelanjaan kecelakaan kerja (keamanan, peralatan).
(mall), dan apartemen. Ada beberapa Ada kecurigaan perusahaan pengembang
rancangan regulasi pemerintah kota yang sengaja mengobarkan konflik horizontal
dianggap tidak pro publik. Dalam beberapa antar warga perihal penerimaan
tahun terakhir, pemerintah setempat telah keberadaan apartemen (tirto, 10 Juli 2017).
memberikan izin pembangunan 106 hotel Penolakan pembangunan apartemen juga
baru yang sudah siap dibangun, 15 pusat terjadi di wilayah kota, tepatnya di Balirejo
perbelanjaan superbesar (hypermarket), Timoho di mana warga memprotes
dan apartemen di beberapa kawasan. pembangunan Puri Notoprojo.
Kebijakan ini menuai banyak protes, dan
Relasi konfliktual ini menunjukkan
dianggap sebagai kegagalan pembuat
tanda-tanda adanya malpraktik yang kerap
kebijakan dalam mengatur tata ruang kota.
terjadi dalam kebijakan tata ruang kota.
Beberapa aksi unjuk rasa digelar untuk
Begitu juga dengan pembangunan ruang
memprotes kebijakan ini. Isu yang muncul
turisme di kawasan-kawasan “eksternal”
tidak hanya menyempit dan lenyapnya
(wisata pantai, gunung, dan wisata alam
ruang publik karena dikooptasi ruang-
lain) seringkali memantik banyak
ruang konsumerisme baru, tapi juga terkait
perselisihan. Transformasi ruang natural
dengan persoalan lingkungan, seperti
menjadi destinasi wisata telah
akses air bersih bagi warga. Hotel dan
mengasingkan warga dari habitusnya.
supermarket menyerap banyak air tanah
43
Jurnal komunikasi, Volume 13, Nomor 1, Oktober 2018

Ruang wisata memiliki tata aturan yang (sekaligus memproduksi) ruang


mendisiplinkan dan memaksa masyarakat kesenangan (space of enjoyment). Tulisan
untuk tunduk dalam habituasi baru. Relasi ini juga akan melacak bagaimana proses
antara masyarakat dan ruang hidupnya, kreasi produksi dan konsumsi ruang -
pada akhirnya, dikontrol oleh mekanisme ruang kesenangan alternatif berlangsung
industrial dengan logika kapitalistik. di beberapa titik di Yogyakarta.
Ditutupnya Purawisata yang Riset ini menggunakan beberapa
pernah menjadi tujuan wisata “alternatif” pendekatan konseptual. Pertama,
bagi kalangan menengah (bawah) jouissance atau konsep bersenang-senang
Yogyakarta merupakan imbas kebijakan yang dapat ditemukan dalam gagasan
tata ruang yang timpang. Terhitung sejak Slavoj Zizek. Bagi Zizek, kesenangan
pertengahan 2013, Purawisata, situs (jouissance/enjoyment) menjadi spirit dan
penting bagi pecinta hiburan rakyat, orientasi yang menggerakkan rutinitas
ditutup setelah 24 tahun “menggoyang" warga. Slavoj Zizek mengembangkan
Yogyakarta. Purawisata yang juga dikenal konsep jouissance Lacanian sebagai
sebagai Tempat Hiburan Rakyat (THR) kesenangan, yang dalam kadar tertentu
digusur, dan rencananya akan beralih rupa (beyond the limit) justru menyisakan rasa
menjadi kawasan perhotelan. Fenomena sakit (diistilahkan sebagai “pleasure in
penonaktifan Purawisata tidak sekadar pain”), sebagaimana kesadaran palsu
menunjukkan kontestasi dalam perebutan dalam terminologi Marxian untuk
ruang kota, tapi juga mengindikasikan menggambarkan situasi ketika kapitalisme
upaya eksklusi terhadap kelompok menenggelamkan subjek dalam infernal
masyarakat menengah bawah dan circuit of demand. Itulah sebabnya
masyarakat miskin kota yang selama ini jouissance seringkali diartikan sebagai
menjadi penonton setia hiburan murah kenikmatan yang datang setelah
meriah itu. Hiburan di Purawisata kehilangan, sebagaimana seorang bayi
tergolong sangat murah karena hanya yang berpisah dari kenikmatan asali saat
dengan membayar Rp 20 ribu, kelompok berada di kandungan ibu. Jouissance
ini dapat mengurai kepenatan hidup dan dimaknai Zizek sebagai persimpangan
menemukan ruang kesenangan alternatif. super-ego yang selalu tunduk di bawah
Selain Purawisata, beberapa situs kekuasaan Sang Lain Besar (the Big
kebudayaan lain juga mengalami nasib Other). Sang Lain Besar adalah sosok yang
serupa seperti Seni Sono yang terletak di terus mengawasi, menertibkan, dan
kawasan Titik Nol Kilometer. Seni Sono memberi keputusan apakah subjek bisa
dikenal sebagai tempat ngumpul para menjadi subjek ideal (real subject).
seniman untuk berkreasi. Selain itu, juga Kapitalisme kontemporer yang
ada Taman Kota di daerah Gondomanan, menawarkan kebebasan (liberalisme),
sebuah ruang publik dan ruang terbuka dalam tatapan Zizek, hanya melakukan
hijau bagi warga Yogyakarta yang pada bujuk rayu yang pada akhirnya akan
1998 berubah fungsi menjadi Taman melanggengkan penindasan dari Sang Lain
Parkir Senopati. Besar. Kota merancang tatanan simbolik
untuk menciptakan kegairahan,
Secara khusus, studi ini akan
keteraturan sekaligus menjadi mesin
mencermati perkembangan tata ruang
pengontrol atas segala aktivitas publik
kota di Yogyakarta dalam konteks urban
melalui ruang-ruang kesenangan:
politics (Cochrane, 2010: 103), khususnya
destinasi turisme, pusat perbelanjaan, dsb
aktus politik keseharian (everyday life
politics) warga dalam mengonsumsi

44
Ali Minanto, Kota, Ruang, dan Politik Keseharian:
Produksi dan Konsumsi Ruang Bersenang-senang dalam Geliat Yogyakarta

Kedua, konsep kelas menengah pusat perbelanjaan, mengakses sekolah


menarik untuk disematkan dalam berkualitas, tetap berpretensi untuk
diskursus ruang perkotaan, terutama menyalurkan hasrat konsumtifnya. De
berkait dengan hasrat konsumerisme. Certau (1984: 18) mengenalkan
Konsumerisme ekuivalen dengan perlawanan populer yang dilakukan
tumbuhnya kelas menengah (baru) di dengan cara “adaptasi” yang dalam kadar
perkotaan. Fenomena munculnya kelas tertentu dimaknai sebagai ‘tipu daya’ dan
menengah baru di Indonesia yang ‘pengecohan’. Salah satunya melalui
berkelindan erat dengan laku konsumtif praktik politik keseharian. Senada
tidak lagi cukup dimaknai sebagai gaya dengan Certau, Lafebvre (1971: 35) dalam
hidup untuk sekedar merepresentasikan “Everyday Politics in the Modern World”,
pesan simbolik (symbolic values) yang menggambarkan daya tahan masyarakat
mengisyaratkan status dan kelas sosial dalam menghadapi persoalan-persoalan
tertentu, tetapi juga berpengaruh dalam hidupnya. Menurutnya, politik keseharian
praktik kewargaan. Daniel Dhakidae merupakan mekanisme yang dilakukan
(2012) mengafirmasi posisi kelas oleh tubuh untuk menghadapi himpitan
menengah dalam kaitannya dengan gaya kebutuhan dan tuntutan pemenuhan
hidup. Menurut Dhakidae, gaya hidup kesenangan. Itulah sebabnya Highmore
akan muncul ketika seseorang telah (2002:3) menganggap politik keseharian
terlepas dari beban kebutuhan pokok. sebagai aktivitas yang penuh misteri, “The
Konsumerisme menjadi ‘pelarian’ untuk everyday is also the home of the bizzare
melampiaskan hasrat hedonistik demi and mysterious. The commonplace of
membangun gaya hidup tertentu. Kelas existence are filled with strange
menengah merupakan kelompok yang occurrences.” Pendekatan everyday
secara dinamis akan terus memperbaharui politics digunakan untuk membaca
seleranya. Inilah yang menyebabkan kelas fenomena kota ketika ruang kesenangan
menengah dianggap sebagai hasil diciptakan sebagai bentuk perlawanan
persilangan antara kelas atas dan kelas di diam-diam dalam memperebutkan ruang.
bawahnya. Geertz (1989) menyebutnya
Keempat, Kota sebagai ruang
sebagai kelompok “berkaki dua”, ambigu.
bersenang-senang. Menurut Henry
Meskipun mereka mengonsumsi barang-
Lefebvre, setiap orang memiliki hak atas
barang berkelas, tapi tetap “mencontek”
kota (Lefebvre, 1996). Kota dimaknai
gaya hidup kelompok di atasnya. Upaya
sebagai ruang yang memungkinkan
meniru kelas atas sebenarnya penuh
terjadinya interaksi dan perubahan sosial,
kendala karena kelas atas selalu
yag disebut Lefebvre sebagai “social
menciptakan distinction ketika kelompok
centrality”. Henri Lefebvre (1991), dalam
di bawahnya berusaha meniru.
the Production of Space, mengenalkan
Ketiga, everyday politics. Kota pandangannya tentang ruang dalam
tidak hanya membentuk watak kaitannya dengan pembentukan interaksi
konsumerisme bagi kalangan menengah sosial atau sebaliknya. Ruang spasial
namun juga kelompok yang dianggap membentuk cara berpikir yang
marjinal dan subordinat. Fiske (2011: 39) berpengaruh pada pola interaksi sosial
menjelaskan bahwa produktivitas yang berlangsung. Dalam hal ini, produksi
konsumsi tidak dibatasi oleh perbedaan spasial menentukan produksi sosial yang
kelas sosial. Seringkali, orang miskin terlihat dari cara berpikir dan bertindak.
adalah konsumen paling produktif. Lefebvre mengungkapkan,
Kelompok masyarakat yang tidak sanggup
menikmati paket turisme, berbelanja di
45
Jurnal komunikasi, Volume 13, Nomor 1, Oktober 2018

(Social) space is a (social) product Ruang Representasional (Representa-


… the space thus produced also tional Space), kebalikan representasi
serves as a tool of thought and of ruang, ruang representasional merupakan
action; that in addition to being a
dimensi simbolik sebuah ruang. Ruang
means of production it is also a
means of control, and hence of seringkali merujuk pada kekuatan dan
domination, of power” (1991, 26- kekuasaan adikodrati yang berada di luar
27) ruang. Hal ini nampak pada hadirnya
monument, artefak, tugu, dll.
Merujuk Lefebvre, ruang tidak
hanya ajang berinteraksi, tapi menjadi alat
Metode
yang digunakan untuk menciptakan
kontrol dan dominasi. Konstruksi ruang Riset ini menggunakan metode
menjadi sarana untuk membentuk observasi, studi dokumen, dan field
pemikiran dan tindakan. research melalui wawancara mendalam
Lefebvre membuat rumusan yang dengan beberapa informan yang menjadi
disebut sebagai “a conceptual triad of subjek dari ruang kesenangan alternatif
social space production”. Triadik konsep yang muncul di Yogyakarta. Wawancara
atas ruang dirumuskan Lefebvre sebagai dilakukan dengan informan terpilih yang
berikut: a) praktik spasial (Spacial ‘mewakili’ subjek-subjek di beberapa
Practices), yang dipahami sebagai “lived wilayah kesenangan di Yogyakarta seperti
space”, ruang yang dihidupi. Konsep ini Malioboro, Lempuyangan, dan juga alun-
menunjukkan kohesi sosial atas suatu alun kidul. Data yang terkumpul dari
ruang ditentukan oleh derajat kompetensi penelitian lapangan ini akan ‘didialogkan’
dan kinerja dalam mengonsumsi ruang. dengan konsep yang digunakan dalam
penelitian ini sebagaimana telah dijelaskan
Praktik spasial mengacu pada sebelumnya.
produksi sekaligus reproduksi hubungan
spasial antar objek sehingga menjamin
keberlangsungan produksi ruang sosial Analisis Dan Pembahasan
dan relasinya. Produksi spasial
Di tengah laju perubahan
menunjukkan interaksi dalam jejaring
Yogyakarta yang drastis, masih ada usaha
komunikasi, produksi, dan pertukaran
untuk merawat ruang-ruang kesenangan
yang berlangsung dalam kehidupan sehari-
yang muncul secara organik maupun
hari ; b) Representasi Ruang
artifisial. Beberapa titik di Yogyakarta
(Representation of Space), berkenaan
menjadi area destinasi wisata alternatif
dengan pengetahuan, kode, tanda, dan
yang 'murah meriah', seperti kawasan
pemaknaan atas ruang. Ruang
trotoar Malioboro, Alun-alun Kidul,
dikonsepsikan dan diperuntukkan
pinggir rel Lempuyangan, dan beberapa
berdasarkan aktivitas tertentu sehingga
wilayah perdesaan yang menjadi ruang
ada ruang untuk ilmuwan, seniman,
ekspresi artistik. Riset ini akan
masyarakat, dan sebagainya. Representasi
menceritakan beberapa pengalaman warga
Ruang melalui pelbagai citra dan
kota (juga desa - pinggiran kota) dalam
konseptualisasi mengapa sesuatu
memproduksi sekaligus mengonsumsi
dimaknai sebagai ruang. Ruang menjadi
ruang-ruang kesenangan itu.
kajian yang memunculkan beberapa
bidang pengetahuan: arsitektur, tata kota, Malioboro masih menjadi pilihan
geografi, dsb. Oleh karena itu, favorit warga Yogyakarta sebagai destinasi
Representasi ruang identik dengan ruang wisata. Dalam beberapa masa terakhir,
yang dipersepsikan (perceived space); c) area ini mengalami pembenahan tata
46
Ali Minanto, Kota, Ruang, dan Politik Keseharian:
Produksi dan Konsumsi Ruang Bersenang-senang dalam Geliat Yogyakarta

ruang. Pembenahan yang dilakukan di Selain Indri, ada Lilis remaja asli
antaranya penataan kawasan parkir yang Yogyakarta yang sangat sering
dijauhkan dari pusat keramaian sehingga menghabiskan waktu untuk menikmati
trotoar di sepanjang jalan Malioboro hanya Malioboro. Bagi Lilis, Malioboro tetap
diperuntukkan bagi pengunjung yang ingin menjadi tempat favorit untuk menikmati
menikmati suasana kawasan ini. Yogyakarta. Ditambah dengan adanya
Sebagaimana diungkapkan Indri, program “Jogja Resik,” yang
mahasiswa asal Lampung, yang mulai mengosongkan Malioboro dari aktivitas
jatuh cinta pada Yogyakarta terutama berjualan per 35 hari sehingga kawasan ini
Malioboro. Menurutnya, kawasan hanya diperioritaskan untuk para pejalan
Malioboro sangat menyenangkan dan kaki. Selain ke Malioboro, Lilis juga sering
tidak membuat bosan. Sepanjang trotoar ke Alun-alun Kidul dan Alun-alun Utara.
diberi sentuhan artistik berupa karya Di Alkid (Alun-alun Kidul), dia tidak hanya
instalasi, patung, dan tempat duduk untuk sekedar menikmati keindahan suasananya,
menikmati keriuhan kota. Selain itu, tapi juga memanfaatkan trek lari di
Malioboro juga dipilih karena lebih murah sepanjang trotoar yang melingkar,
dibanding tempat lain baik untuk kuliner menggunakan alat-alat olah raga yang
maupun suvenir yang dijajakan. Berbeda tersebar di setiap sudut alun-alun, atau
dengan mall atau supermarket yang sekedar membuat janji ketemu dengan
terbatas jam buka, dia dapat menikmati kawan-kawannya. Baginya, Alkid juga
Malioboro sepanjang waktu. Malioboro adalah tempat yang ramai tapi
tenang. Berbeda dengan mol yang
Letaknya yang strategis juga
cenderung tidak memberikan rasa tenang,
memudahkan bagi siapapun untuk
tiga kawasan di sekitar kraton tersebut
menjangkau kawasan ini. Beberapa
menjadi destinasi wisata yang paling
aktivitas yang dilakukan adalah sekadar
populer di kota Yogyakarta dan masih
jalan-jalan, selfie di beberapa titik yang
memberikan rasa aman dan nyaman untuk
menarik, menikmati denyut kehidupan
warga Yogyakarta.
Malioboro, menonton atraksi seniman
jalanan, menikmati karya-karya istalasi Cerita lain tentang Yogyakarta
seniman yang terpajang di sepanjang adalah keberadaan ruang bersama di
trotoar. Selain Malioboro, Indri juga kerap pinggir rel stasiun Lempuyangan. Belum
menyambangi Alun-alun Kidul yang ada informasi yang eksak sejak kapan
terletak di sisi belakang Kraton kawasan pinggir rel stasiun
Yogyakarta. Di sana, ia dapat menikmati Lempunyangan menjadi titik berkumpul
aneka hiburan, seperti mengayuh odong- warga. Akan tetapi bisa dipastikan
odong atau membeli jajanan khas kawasan ini dipadati masyarakat
Yogyakarta di kaki lima. Bagi Indri, ia sepanjang hari, terutama sore. Mereka
menemukan nuansa Yogyakarta saat datang dari pelbagai wilayah Yogyakarta
berkunjung ke Malioboro dan sekitarnya. dan sekitarnya. Meskipun mereka
Sejauh ini, Malioboro masih cukup berangkat dari kelompok umur, profesi,
bertahan dengan karakternya di saat hobi, dan asal daerah yang relatif beda, tapi
pengembangan tataruang di beberapa alasan mereka nyaris seragam: berwisata
tempat di provinsi ini justru cenderung di tempat yang murah meriah. Bagi
menjauhkan Yogyakarta dari identitasnya mereka, menonton kereta di pinggir rel
yang otentik (Indri, 2017). stasiun Lempuyangan tidak dipungut biaya
dan biasanya sangat diminati oleh anak-
anak. Seperti dilakukan Anto, yang baru
kali kedua ke Lempuyangan.
47
Jurnal komunikasi, Volume 13, Nomor 1, Oktober 2018

"Saya baru dua kali ke tempat ini sedari kecil diharapkan mampu menepis
karena mengikuti kemauan anak. nilai-nilai baru yang tidak sejalan dengan
Tadi kebetulan pas mampir dan identitas Yogyakarta sebagai kota budaya.
penasaran dengan pasar tiban yang
ada di sini. Tempat ini sangat bagus Sensasi duduk-duduk sambil
dikembangkan jadi tujuan wisata menunggu kereta yang melintas memberi
kota sehingga tidak hanya wilayah- sensasi tersendiri bagi warga kota.
wilayah mainstream seperti Sebagaimana yang dialami Anung, warga
Malioboro dan alun-alun. Bagus
Prambanan pecinta kereta yang masih
untuk pariwisata gratis. Bisa jadi
alternatif biar tidak selalu ke mall." berstatus sebagai mahasiswa. Sejak 2013,
saat dia menjadi mahasiswa baru di
Pengalaman Anto hampir sama Yogyakarta, Anung hampir setiap hari
dengan sebagian besar orang tua yang datang ke pinggrir rel kereta di
lebih memilih area pinggir kereta Lempuyangan. Awalnya, dia tertarik
ketimbang mengajak anaknya bermain di datang karena tempat itu menjadi titik
pusat perbelanjaan modern. Selain keramaian, banyak anak kecil dan
pertimbangan finansial (di mall relatif pedagang. Sejak itu, dia sangat rajin datang
lebih mahal), juga sensasi yang dirasakan. ke tempat ini. Tidak hanya menikmati
Hal serupa juga dirasakan Rais, seorang kereta yang datang dan pergi, ia juga mulai
buruh di Yogyakarta. Dia lebih memilih mendokumentasikannya. Dia merasakan
mengajak anaknya menonton kereta yang pengalaman yang beda jika dibandingkan
melintasi rel-rel di stasiun Lempuyangan dengan tempat lain seperti datang ke pusat
daripada sang anak bermain gadget atau perbelanjaan. Salah satu sensasinya adalah
ke pergi ke mall. menyaksikan kereta yang datang dan pergi
serta suasana yang menyertainya. Menurut
"Pemandangan di mall itu-itu saja. Anung, sensasi itu tidak dapat ditemukan
Di pinggir rel, lebih sensasional.
saat melancong ke destinasi wisata
Ada kereta yang melintas. Anak-
anak suka melihat kereta. Bisa modern.
mengalihkan mereka dari HP dan Pengunjung rel Lempuyangan
bermain di mall yang cukup mahal. tidak hanya dari wilayah Kota Yogyakarta,
Saya ke mall kalau dapat gajian.
tapi juga dari Gamping, kawasan barat
Sekali ke mall, saya biasanya bisa
menghabiskan uang 300 ribuan, Yogyakarta. Sebagaimana keluarga
untuk beli baju dan main anak- Syaefuddin, pedagang asal Gamping, yang
anak. Meskipun anak-anak sangat rela membawa keluarganya (istri, anak,
menikmati permainan di mall, tapi bayi) menikmati senja di Lempuyangan.
akan saja coba alihkan ke sini yang Sejak mereka berpacaran, sudah sering
lebih murah dan tidak monoton.
datang ke pinggir rel dan sekarang mereka
Kalau di sini saya paling banter
menghabiskan 20 ribu untuk jajan membiasakan anak-anaknya yang kecil
mereka (anak-anak)." untuk menikmati wisata alternatif itu.
Minimal sekali dalam seminggu keluarga
Selain datang ke Lempuyangan, ini datang ke Yogyakarta, di Lempuyangan
Rais biasanya juga mengajak anaknya ke atau di Tugu. Sama dengan alasan
acara-acara tradisional seperti Sekaten di pengunjung-pengunjung lain, mereka juga
alun-alun utara dan pasar malam di daerah mencari sensasi yang tidak diperoleh di
Sleman. Selain tidak menghabiskan uang tempat lain. Selain melihat kereta yang
yang banyak, Rais juga ingin mengenalkan lewat, keberadaan pedagang dan penyedia
kepada anaknya seremoni-seremoni jasa mainan menjadi salah satu magnet
kebudayaan. Pengenalan nilai-nilai tradisi anak-anak datang ke Lempuyangan.

48
Ali Minanto, Kota, Ruang, dan Politik Keseharian:
Produksi dan Konsumsi Ruang Bersenang-senang dalam Geliat Yogyakarta

Anak kecil pengunjung Lempuyangan (foto: Gunawan Iskandar/labkom UII)

Selain dipadati pengunjung, Selain Halimi, juga ada Lina,


Lempuyangan juga dipenuhi pedagang dan penyedia jasa odong-odong asal jalan
penyedia jasa mainan untuk anak-anak. Magelang. Usahanya sudah dimulai sejak
Salah satu pedagang yang selalu membuka 2009, dan mulai menetap di Lempuyangan
lapak dagangannya adalah Halimi. Pria sejak 2010. Menempati lahan milik PJKA
asal Jawa Barat ini sudah menjajakan sate di Lempuyangan sebagai berjualan bagi
telur puyuh sejak 2006, pasca gempa besar Lina terasa gampang-gampang susah.
yang melanda Yogyakarta. Hingga kini, 11
tahun setelah itu, Halimi masih menjual "Lapak yang digunakan para
telurnya dari jam tujuh pagi hingga jam pedagang dan penyedia jasa
sembilan malam. permainan adalah lahan milik
PJKA. Kami harus 'kulonuwun'
"Dalam sehari biasanya saya dulu untuk memakainya. Sejauh ini
menjual 600 sampai 700 telor sebenarnya tidak diperbolehkan,
puyuh. Sejak pagi, saya sudah di tapi juga tidak dilarang. Jadi,
sini. Biasanya ada ibu-ibu yang fleksibel saja." (Lina, 2017).
mengantar anaknya sekolah pada
mampir ke sini. Mereka biasanya
datang dengan motor atau mobil.
Semakin hari semakin ramai. Saya
tidak pernah jualan di tempat lain."

49
Jurnal komunikasi, Volume 13, Nomor 1, Oktober 2018

Suasana permainan di Lempuyangan (foto: Gunawan Iskandar/Labkom UII)

Selain mangkal di Lempuyangan, "Kawasan lempuyangan semakin


Odong-odong milik Lina juga ramai. Pedagang semakin
dimanfaatkan untuk acara lain di bertambah. Saling berbagi lahan.
Lokasi sangat menentukan.
Pakualaman atau di tempat lain jika ada
Keberadaan pedagang juga menjadi
warga yang ingin menyewanya. Lina faktor yang mengundang
berangkat dari rumah jam empat sore dan pengunjung. Tapi sekarang jumlah
pulang sekitar jam sembilan malam. pedang dan pengunjung juga agak
Dalam sehari Lina mentargetkan berkurang setelah dibangun taman
pendapatan 50 ribu. Sekali menggunakan dan pagar pembatas." (Lina,
odong-odong pelanggan harus membayar penyedia jasa odong-odong, 2017)
lima ribu rupiah untuk enam lagu atau bisa
Selain beberapa ruang alternatif di
diperpanjang dengan biaya tambahan. Jika
seputaran malioboro dan rel kereta,
sepi, pengunjung dapat lebih lama
Yogyakarta juga memiliki galeri seni rupa
menggunakan odong-odong karena tidak
dan warung kopi alternatif yang dapat
ada antrian. Lina harus bersaing dengan
dengan mudah diakses warga kota.
odong-odong lain karena saat ini ada
empat odong-odong di sekitar jembatan Beberapa ilustrasi di atas
Lempuyangan. Keempat odong-odong menunjukkan masih ada ruang-ruang
bersaing memperebutkan pengunjung kesenangan yang muncul secara organik
(anak-anak) yang jumlah reratanya sekitar maupun artifisial di tengah laju perubahan
200 an perharinya. Akan tetapi di masa- Kota Yogyakarta. Bagi sebagian warga,
masa tertentu, seperti musim Sekaten, area wisata organik seperti di bawah
pengunjung yang datang berkurang. jembatan Lempuyangan sangat penting
untuk dipertahankan karena dapat
menjadi ruang perjumpaan dan hiburan
bagi masyarakat kota, terutama kelompok
menengah bawah yang tidak dapat
50
Ali Minanto, Kota, Ruang, dan Politik Keseharian:
Produksi dan Konsumsi Ruang Bersenang-senang dalam Geliat Yogyakarta

mengakses ruang-ruang kesenangan yang Kelompok kelas menengah kota


disediakan kota. Kehadiran pusat sangat menentukan perubahan status
perbelanjaan modern dan apartemen yang ruang, melalui pemaknaan atas ruang.
semakin masif justru menyertakan Proses pemaknaan terhadap ruang terjadi
pelbagai dampak buruk bagi warga melalui serangkaian tindakan sosial yang
Yogyakarta. Selain ada beberapa konflik berlangsung di dalamnya. Selanjutnya,
terkait dengan efek lingkungan, seperti konstruksi spasial sangat menentukan
limbah dan ketersediaan air bersih, berlangsungnya konstruksi sosial
kehadiran supermarket dan apartemen sebagaimana pandangan Lefebvreian.
juga menimbulkan perubahan tata ruang Dalam pandangan Lefebvre, konstruksi
kota yang tidak terkendali dan berpotensi terhadap ruang memiliki muatan ideologis
mrucut dari nilai-nilai–dalam bahasa sehingga keberadaannya sangat
prokem–ke-Jogja-an. Situasi ini dianggap diperebutkan oleh beragam elemen.
dapat mengancam keistimewaan Kehendak untuk berkuasa atas ruang
Yogyakarta sebagai Kota Budaya dan menyebabkan ruang menjadi area
Pendidikan. Situs-situs konsumerisme persabungan terbuka yang meniscayakan
mendorong masyarakat menjadi semakin kepelbagaian kekuatan bertemu dan
konsumtif dan bergaya hidup hedonis. bertarung. Akibatnya, kelompok-
kelompok pemodal memiliki peluang yang
Salah satu yang berperan dalam
sangat besar untuk memenangi setiap
konstruksi ruang kesenangan alternatif
“perkelahian”. Kemenangan kelompok
adalah kelas menengah kota. Kelas
pemodal menyebabkan ancaman bagi
menengah kota juga menjadi kelompok
kelompok miskin kota yang tidak sanggup
yang, sebagaimana disebut Geertz,
mengakses kesenangan 'berbayar' yang
memiliki dua kaki. Selain memproduksi,
ditawarkan kelompok pemodal.
mereka juga menjadi konsumen ruang-
Ketidakasanggupan itu menyebabkan
ruang kesenangan. Sebagaimana Anto dan
kelompok menengah bawah di perkotaan
Syaifuddin, pengunjung di area stasiun
mencoba mengkreasi ruang baru, baik
Lempuyangan yang datang ke tempat itu
yang tumbuh secara organik maupun yang
hanya untuk mencari sensasi yang
artifial.
berbeda. Kecenderungan ini juga terjadi di
hampir semua tempat-tempat keramaian Produksi ruang alternatif juga
yang pada mulanya sangat khas kelompok dipicu oleh ketidakberdayaan kelompok
bawah kemudian menjadi (juga) tempat miskin kota yang berjarak dari pola
nongkrong kalangan menengah atas. konsumtif kalangan kelas menengah atas.
Angkringan Tugu salah satunya. Pada Ruang-ruang kesenangan yang muncul
mulanya, deretan angkringan di dekat secara organik dimanfaatkan mereka
stasiun Tugu hanya disambangi oleh untuk menemukan kesenangan alternatif.
kelompok bawah, tapi dalam Bertandang ke mal sebagaimana
perkembangannya mulai didatangi oleh pengalaman Rais hanya di waktu tertentu
para pelancong dan kelompok menengah saja (saat gajian). Begitu juga dengan
atas. Saat ini, gaya angkringan Tugu sudah Anung yang hanya menjadikan mal sebagai
mulai ditiru oleh pelaku baru yang intermezzo di antara hobinya sebagai
membuka dagangannya di sepanjang jalan pencinta kereta api meskipun godaan
Mangkubumi. Kehadiran media sosial pusat-pusat perbelanjaan sangat besar.
mempercepat laju pertambahan jumlah
Kesanggupan warga untuk
pengunjung yang penasaran dengan
bernegosiasi dapat menjelaskan posisi
tempat-tempat kesenangan di Yogyakarta
subyek Zizekian yang selalu menyisakan
yang pada mulanya muncul secara organik.
51
Jurnal komunikasi, Volume 13, Nomor 1, Oktober 2018

ruang kosong yang terbuka. Subjektivitas Raut kapitalisme kontemporer


modern ala Zizek memampukan subjek yang ditampilkan oleh kota menjadi
menjadi kompatibel dengan ruang keniscayaan yang muskil untuk ditampik.
kebudayaan yang melingkupi. Subjek Dengan demikian, bentuk-bentuk eksklusi
digdaya saat berhadapan dengan dinamika yang terjadi harus dihadapi secara taktis.
budaya yang cair dan tak pernah konstan. Sebagaimana pandangan De Certeau,
Subjek memiliki –sekaligus–yang nyata dalam masyarakat kapitalisme
(the real), yang Imajiner, dan Yang kontemporer, setiap orang adalah
Simbolik (multiciple subject) (Zizek, konsumen. Konsumsi, menurut Certeau,
1999:195). Yang Nyata dalam subjek akan menjadi satu-satunya jalan untuk
tetap bertahan meskipun selalu mengalami memperoleh sumber-sumber kehidupan,
simbolisasi di dalam tatanan simbolik baik yang bersifat material fungsional
(Zizek, 1993:21). Identitas kewargaan akan ataupun semiotika kultural (de Certeau,
terus mengalami perubahan 1984). Dalam corak yang kedua, barang
(displacement) ketika ia berada dalam konsumsi tidak selamanya material, tapi
ruang simbolik yang dinamis (the Big lebih ke bentuk tindakan budaya.
Other), tetapi proses transformasi itu tidak Konsumsi selalu memproduksi makna dan
mengubah subjek sepenuhnya. Selalu ada budaya. De Certeau percaya bahwa
“the Real” yang tetap melekat dan bertahan konsumsi merupakan serangan taktis
pada subjek. Pemahaman tentang subjek terhadap tatanan simbolik. Bagi de
ini pula yang digunakan untuk Certeau, interpelasi untuk menarik
menjelaskan subjek yang bertahan dalam perhatian konsumen dan mendorong
menghadapi bombardir bujuk rayu konsumsi sama artinya dengan
kekuatan kapitalisme (yang Simbolik). menciptakan penipuan, perampokan, atau
la perruque. Orang-orang yang dibujuk
Respons subjek untuk berkelit dari
oleh mekanisme interpelatif menyimpan
yang Simbolik –objek-objek yang
potensi untuk melakukan serangan balik,
dihasrati–disebut sebagai tindakan
sebagai penipu. De Certeau merujuk pada
radikal. Sebagaimana kita menegasikan
penelitiannya terhadap masyarakat di
dan menihilkan segala yang ingin
Brazil dalam menghadapi rongrongan
dikonsumsi. Zizek menyebutnya sebagai
kapitalisme. Di sana, para remaja
psychotic subject (Zizek, 2008: 186) ketika
memanfaatkan pusat perbelanjaan sebagai
subjek sanggup menahan diri untuk
ruang pribadi untuk bertemu (meeting
berjarak dengan tatanan simbolik yang
point), memanfaatkan fasilitas mal (AC)
interpelatif.
saat cuaca ekstrem, dan dapat menemukan
Sikap ini, menurut Zizek, cukup jitu ide-ide kreatif terkait fashion (Fiske: 45).
untuk menghadapi bentuk kapitalisme
Tindakan taktis dalam menghadapi
kontemporer yang disebutnya sebagai
ruang-ruang konsumerisme justru belum
kapitalisme kultural atau capitalism with
banyak terlihat dalam gaya hidup kelas
human face (Zizek, 2009:52). Bentuk
menengah di Indonesia. Sebagian besar
kapitalisme yang menawarkan kesenangan
kelas menengah baru Indonesia (masih)
(enjoyment) dapat disejajarkan dengan
lebih tertarik untuk mengonsumsi barang-
bentuk kapitalisme mutakhir ini. Kota
barang komersial sebatas sebagai simbol
sebagai panggung kontestasi akan selalu
status sosial (symbolic value). “Insiden
memberi ruang bagi subyek yang
Belaggio” di Mal Pasific Place, Jakarta, 25
mengalami interpelasi untuk berpacu
November 2011 menjadi potret yang
dalam sirkuit konsumerisme tanpa akhir.
menarik bagaimana kelas ini bertaruh
demi mengonsumsi barang komoditas
52
Ali Minanto, Kota, Ruang, dan Politik Keseharian:
Produksi dan Konsumsi Ruang Bersenang-senang dalam Geliat Yogyakarta

sebagai penopang gaya hidup. Peluncuran tiban” di beberapa kawasan, seperti


telepon pintar Blackberry seri Bold 9790 Sunday Morning di kawasan Universitas
(Belaggio), memicu terjadinya antrian Gadjah Mada Yogyakarta, juga beberapa
panjang yang berujung pada insiden yang kota lain, seperti Bandung, Malang,
mengakibatkan 90 orang pingsan (SKH Surabaya, dsb.
Kompas, 26 November 2011). Sebenarnya,
Kesadaran warga kota untuk
fenomena produk komoditas semacam ini
memproduksi dan mengonsumsi ruang-
tidak hanya khas Indonesia. Hal serupa
ruang kesenangan alternatif, baik secara
juga terjadi di beberapa negara. Antrean
organik maupun artifisial, bisa ditandai
serupa juga terjadi di AS, Hongkong, dan
sebagai ekspresi perlawanan diam-diam.
Singapura ketika Ipad seri terbaru
Ketika warga kota tidak sanggup
diluncurkan. Kecenderungan generik
menjangkau situs-situs turisme dan
perilaku kelas menengah ini menggugat
konsumerisme, mereka mengkreasi ruang-
kredo kelas menengah sebagai “agent of
ruang baru sebagai space of enjoyment.
change”. Di sinilah, kelas menengah tidak
Menggunakan pandangan De Certaeu
dapat sepenuhnya menjadi tumpuan
(1984:18) tentang perlawanan populer
dalam perubahan politik kewargaan dalam
yang dilakukan dengan pengecohan
memperjuangkan ruang yang memiliki
sebagai cara warga kota melawan
nilai kepublikan.
kebijakan pemerinta lokal. Melalui
Kegagalan kelas menengah produksi ruang kesenangan alternatif,
perkotaan untuk menjadi akselerator masyarakat memberi isyarat tentang
perubahan politik turut menggeser lokus kemandirian dan ketidakbergantungan
wacana kewargaan dalam konteks dengan kekuatan simbolik yang besar.
pemenuhan hak-hak kesejahteraan. Sebagaimana kreasi ruang yang terjadi di
Belajar dari Korea Selatan, kesejahteraan Malioboro, Jembatan Lempungan, Alkid,
yang terjadi tidak hanya digerakkan oleh Geneng dsb. Ruang kesenangan alternatif
kelas menengah dan industri besar, tapi yang dibangun warga menunjukkan
juga peran kelas menengah perdesaan survivalitas untuk sanggup berkelit dari
(Prisma, 2012: 67). Park Chung Hee, kekangan kekuatan besar.
pemimpin Korea Selatan saat itu,
Di tengah pudarnya harapan
menganggap kelas menengah perdesaan
terhadap kelas menengah perkotaan,
menjadi basis politik yang bisa mendesak
keberadaan kelas menengah di Yogyakarta,
kaum kapitalis dan industrialis memenuhi
terutama seniman dan intelektual, masih
persyaratan ekonomi dan keuangan yang
memberi peluang yang cukup besar dalam
memberi keuntungan bagi kesejahteraan
mengkreasi ruang-ruang kesenangan
rakyat. Kelompok-kelompok menengah
alternatif. Dengan modalitas dan jeringan
perdesaan, juga kelompok-kelompok
yang dimiliki, kelas menengah dapat
masyarakat di luar luar kategori kelas
memproduksi ruang-ruang alternatif baru
menengah perkotaan, sebagaimana
sebagai sarasa penyadaran warga kota
pengalaman di beberapa tempat seperti
maupun pinggiran kota. Munculnya
yang digambarkan De Certaeu (1984)
kampung cyber di kawasan Tamas Sari,
adalah pasukan gerilya yang menyerang
aktivisme seni jalanan di Desa Geneng
kelompok berkuasa. Seperti yang
(Geneng Street Art Project), galeri,
berlangsung di Alkid Yogyakarta, ketika
pameran dan pagelaran seni, serta
orang-orang menemukan dinamika di
menjamurnya ruang-ruang diskusi yang
ruang yang awalnya tidak memiliki
embedded dengan denyut kehidupan
kapasitas estetik sebagai tempat
urban cukup menstimulasi harapan pada
bersenang-senang. Pun, munculnya “pasar
53
Jurnal komunikasi, Volume 13, Nomor 1, Oktober 2018

kelompok ini untuk memproduksi ruang- Aktivitas warga untuk berkumpul,


ruang kesenangan alternatif yang berpihak menonton kereta yang melintas; menik-
pada warga. mati keramaian alun-alun menunjukkan
jejak “pertarungan” yang sangat politis,
Kesimpulan yang di dalamnya berlangsung proses ne-
gosiasi yang intens. Sekelompok masya-
Kehadiran ruang-ruang publik rakat yang menikmati ruang kesenangan
alternatif, tempat sebagian masyarakat alternatif di Yogyakarta tidak muncul
meluangkan waktu, mengonsumsi secara tiba-tiba tapi melalui proses
kesenangan seperti yang terlihat di negosiasi dengan pihak-pihak otoritatif.
pinggir-pinggir rel kereta, tempat-tempat Keberadaan ruang kesenangan “baru” ini
kuliner di sepanjang trotoar kota, alun- cukup strategis menjadi alat negosiasi yang
alun kota, ataupun pertunjukan seni di dapat bertransformasi menjadi ruang
pinggiran kota menyimpan jejak panjang publik yang dapat menjadi simpul bagi
dari proses politik yang tak singkat. Ruang- munculnya kesadaran bersama untuk
ruang yang muncul secara organik ataupun memperjuangkan kepentingan-kepenti-
artifisial dapat bertransformasi menjadi ngan publik yang lebih luas. Ruang
ruang publik ketika warga dapat kesenangan alternatif yang dibangun
menemukan ruang yang mempertemukan warga menunjukkan survivalitas untuk
kepelbagaian identitas dan gagasan. sanggup berkelit dari kekangan kekuatan
Keberadaan ruang-ruang kesenangan baru besar. Kelas menengah, terutama seniman
yang dikreasi sekaligus dikonsumsi di dan intelektual, memiliki andil yang cukup
beberapa titik di Kota Yogyakarta dapat besar dalam mengkreasi ruang-ruang
menjadi destinasi alternatif bagi warga kesenangan alternatif. Dengan modalitas
dalam menikmati kota. Warga tidak selalu dan jejaring yang dimiliki, kelas menengah
terjebak dalam ruang-ruang konsu- dapat memproduksi ruang-ruang alternatif
merisme yang memaksa mereka dalam baru sebagai sarasa penyadaran warga
perlombaan gaya hidup yang destruktif. kota.

54
Ali Minanto, Kota, Ruang, dan Politik Keseharian:
Produksi dan Konsumsi Ruang Bersenang-senang dalam Geliat Yogyakarta

DAFTAR PUSTAKA

Debord, Guy. Comment on the Society of Zizek, Slavoj. Tarrying with Negative.
Spectacle. London & New York: Durham: Duke University Press,
Verso, 1990. 1993

Fiske, John. Memahami Budaya Populer. Harian Kompas, 26 November 2011, hlm.
(terj dari Undestanding Popular 1 dan 5.
Culture). Yogyakarta: Jalasutra,
2011 Jurnal Prisma Vol 31 tahun 2012

Lefebvre, Henri. The Production of Space.


Victoria: Blackwell Publishing,
1974 Wawancara

Lange, Hellmuth.(eds.). The New Middle Wawancara dengan Anung (2017)


Classes: Globalizing Lifestyles,
Consumerism, and Wawancara dengan Heru (2017)
Environmental Concern. New
York: Springer, 2009 Wawancara dengan Indri (2017)

Marco Kusumawijaya dalam “Jakarta, Wawancara dengan Lilis (2017)


Sang Metropolis” yang dimuat
dalam Jurnal Kalam 2002.

Mas'oed, Mohtar, S.Rizal Panggabean, dan Internet:


Najib Azca. "Sumber-sumber
Sosial bagi Sivilitas dan  kurunganhttps://teamtouring.net/
Partisipasi: Kasus Yogyakarta, nonton-kereta-api-lewat-di-
Indonesia" dalam Robert Hefner bawah-jembatan-layang-
(ed.). Politik Multikulturalisme. lempuyangan.html.
Yogyakarta: Kanisius & Impulse,
2007  https://tirto.id/risiko-dan-nasib-
kota-yogyakarta-di-usia-260-
Miles, Steven. Consumerism as a Way of tahun-bR6N. diakses tanggal 15
Life. London: SAGE Publications, Juli 2018.
1998
 https://tirto.id/warga-yogya-
Rajendra Singh. Social Movement: Old menolak-pembangunan-hotel-dan-
and New: a Post-Modernist apartemen-csjG
Critique, 2001.
 Http://www.merdeka.com/peristi
Robert, Robertus. Manusia Politik: Subyek wa/goyang-yogya-24-tahun-
Radikal dan Politik Emansipasi di dangdutan-purawisata-akhirnya-
Era Kapitalisme Global Menurut tutup.html;
Slavoj Zizek. Jakarta: Marjin Kiri, http://jogjanews.com/purawisata-
2010 akan-ditutup-suasana-berkabung-
untuk-musik-dangdut-jogja;
Zizek, Slavoj. The Ticklish Subject. The http://www.koran-
Absent Centre of Political sindo.com/node/313215, diunduh
Ontology. London & New York: pada 17 Juli 2013
Verso, 1999,

55
Jurnal komunikasi, Volume 13, Nomor 1, Oktober 2018

56

Anda mungkin juga menyukai