11586-Article Text-20375-25097-10-20181111
11586-Article Text-20375-25097-10-20181111
Ali Minanto
Prodi Komunikasi Universitas Islam Indonesia
Jalan Kaliurang KM. 14,5 Sleman, Yogyakarta 55584
Email: ali.minanto@uii.ac.id
Abstrak
Abstract
The city grows with its paradox. On the one hand, the city offers dreams, into
magnetic spaces that suck anyone to be absorbed in it. However, on the other
hand, it becomes the engine to crush all desires and imagination about beauty,
well-being, and prosperity that live in the minds of people. Yogyakarta, a city that
has many predicates, continues to change. As a space where many different
identities live together, Yogyakarta begins to improve by presenting new
consumerism sites that have the potential to get rid of public spaces. Reduction of
public space stimulates the presence of alternative spaces as a new public space.
It will be a destination for citizen escapism to find space of enjoyment. This article
wants to see how the space of enjoyment as alternative spaces in Yogyakarta are
produced and consumed by the citizens of Yogyakarta.
41
Jurnal komunikasi, Volume 13, Nomor 1, Oktober 2018
42
Ali Minanto, Kota, Ruang, dan Politik Keseharian:
Produksi dan Konsumsi Ruang Bersenang-senang dalam Geliat Yogyakarta
44
Ali Minanto, Kota, Ruang, dan Politik Keseharian:
Produksi dan Konsumsi Ruang Bersenang-senang dalam Geliat Yogyakarta
ruang. Pembenahan yang dilakukan di Selain Indri, ada Lilis remaja asli
antaranya penataan kawasan parkir yang Yogyakarta yang sangat sering
dijauhkan dari pusat keramaian sehingga menghabiskan waktu untuk menikmati
trotoar di sepanjang jalan Malioboro hanya Malioboro. Bagi Lilis, Malioboro tetap
diperuntukkan bagi pengunjung yang ingin menjadi tempat favorit untuk menikmati
menikmati suasana kawasan ini. Yogyakarta. Ditambah dengan adanya
Sebagaimana diungkapkan Indri, program “Jogja Resik,” yang
mahasiswa asal Lampung, yang mulai mengosongkan Malioboro dari aktivitas
jatuh cinta pada Yogyakarta terutama berjualan per 35 hari sehingga kawasan ini
Malioboro. Menurutnya, kawasan hanya diperioritaskan untuk para pejalan
Malioboro sangat menyenangkan dan kaki. Selain ke Malioboro, Lilis juga sering
tidak membuat bosan. Sepanjang trotoar ke Alun-alun Kidul dan Alun-alun Utara.
diberi sentuhan artistik berupa karya Di Alkid (Alun-alun Kidul), dia tidak hanya
instalasi, patung, dan tempat duduk untuk sekedar menikmati keindahan suasananya,
menikmati keriuhan kota. Selain itu, tapi juga memanfaatkan trek lari di
Malioboro juga dipilih karena lebih murah sepanjang trotoar yang melingkar,
dibanding tempat lain baik untuk kuliner menggunakan alat-alat olah raga yang
maupun suvenir yang dijajakan. Berbeda tersebar di setiap sudut alun-alun, atau
dengan mall atau supermarket yang sekedar membuat janji ketemu dengan
terbatas jam buka, dia dapat menikmati kawan-kawannya. Baginya, Alkid juga
Malioboro sepanjang waktu. Malioboro adalah tempat yang ramai tapi
tenang. Berbeda dengan mol yang
Letaknya yang strategis juga
cenderung tidak memberikan rasa tenang,
memudahkan bagi siapapun untuk
tiga kawasan di sekitar kraton tersebut
menjangkau kawasan ini. Beberapa
menjadi destinasi wisata yang paling
aktivitas yang dilakukan adalah sekadar
populer di kota Yogyakarta dan masih
jalan-jalan, selfie di beberapa titik yang
memberikan rasa aman dan nyaman untuk
menarik, menikmati denyut kehidupan
warga Yogyakarta.
Malioboro, menonton atraksi seniman
jalanan, menikmati karya-karya istalasi Cerita lain tentang Yogyakarta
seniman yang terpajang di sepanjang adalah keberadaan ruang bersama di
trotoar. Selain Malioboro, Indri juga kerap pinggir rel stasiun Lempuyangan. Belum
menyambangi Alun-alun Kidul yang ada informasi yang eksak sejak kapan
terletak di sisi belakang Kraton kawasan pinggir rel stasiun
Yogyakarta. Di sana, ia dapat menikmati Lempunyangan menjadi titik berkumpul
aneka hiburan, seperti mengayuh odong- warga. Akan tetapi bisa dipastikan
odong atau membeli jajanan khas kawasan ini dipadati masyarakat
Yogyakarta di kaki lima. Bagi Indri, ia sepanjang hari, terutama sore. Mereka
menemukan nuansa Yogyakarta saat datang dari pelbagai wilayah Yogyakarta
berkunjung ke Malioboro dan sekitarnya. dan sekitarnya. Meskipun mereka
Sejauh ini, Malioboro masih cukup berangkat dari kelompok umur, profesi,
bertahan dengan karakternya di saat hobi, dan asal daerah yang relatif beda, tapi
pengembangan tataruang di beberapa alasan mereka nyaris seragam: berwisata
tempat di provinsi ini justru cenderung di tempat yang murah meriah. Bagi
menjauhkan Yogyakarta dari identitasnya mereka, menonton kereta di pinggir rel
yang otentik (Indri, 2017). stasiun Lempuyangan tidak dipungut biaya
dan biasanya sangat diminati oleh anak-
anak. Seperti dilakukan Anto, yang baru
kali kedua ke Lempuyangan.
47
Jurnal komunikasi, Volume 13, Nomor 1, Oktober 2018
"Saya baru dua kali ke tempat ini sedari kecil diharapkan mampu menepis
karena mengikuti kemauan anak. nilai-nilai baru yang tidak sejalan dengan
Tadi kebetulan pas mampir dan identitas Yogyakarta sebagai kota budaya.
penasaran dengan pasar tiban yang
ada di sini. Tempat ini sangat bagus Sensasi duduk-duduk sambil
dikembangkan jadi tujuan wisata menunggu kereta yang melintas memberi
kota sehingga tidak hanya wilayah- sensasi tersendiri bagi warga kota.
wilayah mainstream seperti Sebagaimana yang dialami Anung, warga
Malioboro dan alun-alun. Bagus
Prambanan pecinta kereta yang masih
untuk pariwisata gratis. Bisa jadi
alternatif biar tidak selalu ke mall." berstatus sebagai mahasiswa. Sejak 2013,
saat dia menjadi mahasiswa baru di
Pengalaman Anto hampir sama Yogyakarta, Anung hampir setiap hari
dengan sebagian besar orang tua yang datang ke pinggrir rel kereta di
lebih memilih area pinggir kereta Lempuyangan. Awalnya, dia tertarik
ketimbang mengajak anaknya bermain di datang karena tempat itu menjadi titik
pusat perbelanjaan modern. Selain keramaian, banyak anak kecil dan
pertimbangan finansial (di mall relatif pedagang. Sejak itu, dia sangat rajin datang
lebih mahal), juga sensasi yang dirasakan. ke tempat ini. Tidak hanya menikmati
Hal serupa juga dirasakan Rais, seorang kereta yang datang dan pergi, ia juga mulai
buruh di Yogyakarta. Dia lebih memilih mendokumentasikannya. Dia merasakan
mengajak anaknya menonton kereta yang pengalaman yang beda jika dibandingkan
melintasi rel-rel di stasiun Lempuyangan dengan tempat lain seperti datang ke pusat
daripada sang anak bermain gadget atau perbelanjaan. Salah satu sensasinya adalah
ke pergi ke mall. menyaksikan kereta yang datang dan pergi
serta suasana yang menyertainya. Menurut
"Pemandangan di mall itu-itu saja. Anung, sensasi itu tidak dapat ditemukan
Di pinggir rel, lebih sensasional.
saat melancong ke destinasi wisata
Ada kereta yang melintas. Anak-
anak suka melihat kereta. Bisa modern.
mengalihkan mereka dari HP dan Pengunjung rel Lempuyangan
bermain di mall yang cukup mahal. tidak hanya dari wilayah Kota Yogyakarta,
Saya ke mall kalau dapat gajian.
tapi juga dari Gamping, kawasan barat
Sekali ke mall, saya biasanya bisa
menghabiskan uang 300 ribuan, Yogyakarta. Sebagaimana keluarga
untuk beli baju dan main anak- Syaefuddin, pedagang asal Gamping, yang
anak. Meskipun anak-anak sangat rela membawa keluarganya (istri, anak,
menikmati permainan di mall, tapi bayi) menikmati senja di Lempuyangan.
akan saja coba alihkan ke sini yang Sejak mereka berpacaran, sudah sering
lebih murah dan tidak monoton.
datang ke pinggir rel dan sekarang mereka
Kalau di sini saya paling banter
menghabiskan 20 ribu untuk jajan membiasakan anak-anaknya yang kecil
mereka (anak-anak)." untuk menikmati wisata alternatif itu.
Minimal sekali dalam seminggu keluarga
Selain datang ke Lempuyangan, ini datang ke Yogyakarta, di Lempuyangan
Rais biasanya juga mengajak anaknya ke atau di Tugu. Sama dengan alasan
acara-acara tradisional seperti Sekaten di pengunjung-pengunjung lain, mereka juga
alun-alun utara dan pasar malam di daerah mencari sensasi yang tidak diperoleh di
Sleman. Selain tidak menghabiskan uang tempat lain. Selain melihat kereta yang
yang banyak, Rais juga ingin mengenalkan lewat, keberadaan pedagang dan penyedia
kepada anaknya seremoni-seremoni jasa mainan menjadi salah satu magnet
kebudayaan. Pengenalan nilai-nilai tradisi anak-anak datang ke Lempuyangan.
48
Ali Minanto, Kota, Ruang, dan Politik Keseharian:
Produksi dan Konsumsi Ruang Bersenang-senang dalam Geliat Yogyakarta
49
Jurnal komunikasi, Volume 13, Nomor 1, Oktober 2018
54
Ali Minanto, Kota, Ruang, dan Politik Keseharian:
Produksi dan Konsumsi Ruang Bersenang-senang dalam Geliat Yogyakarta
DAFTAR PUSTAKA
Debord, Guy. Comment on the Society of Zizek, Slavoj. Tarrying with Negative.
Spectacle. London & New York: Durham: Duke University Press,
Verso, 1990. 1993
Fiske, John. Memahami Budaya Populer. Harian Kompas, 26 November 2011, hlm.
(terj dari Undestanding Popular 1 dan 5.
Culture). Yogyakarta: Jalasutra,
2011 Jurnal Prisma Vol 31 tahun 2012
55
Jurnal komunikasi, Volume 13, Nomor 1, Oktober 2018
56