Anda di halaman 1dari 3

PEMBAHASAN

Pasien Tn. T berusia 46 tahun masuk ruang A1 RSPAL Dr. Ramelan pada
tanggal 09 Mei 2023. Tn. T dengan diagnosa medis Chronic Kidney Disease (CKD).
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penyakit ginjal kronis yang terjadi karena
adanya penurunan kemampuan ginjal dalam mempertahankan keseimbangan tubuh
(Prayulis et al., 2023). Gagal ginjal dapat disebabkan karena gangguan pembuluh
darah, gangguan imunologis, infeksi, gangguan metabolic, gangguan tubulus primer,
obstruksi traktus urinarius, kelainan kongietal dan herediter yang kemudian
berdampak pada menurunnya fungsi ginjal di ikuti retensi cairan sehingga volume
overload dan diikuti edema paru, edema paru akan mempengaruhi kemampuan
mekanik dan pertukaran gas di paru dengan berbagai mekanisme. Apabila tidak
dilakukan pengobatan atau penanggulangan pada pasien CKD maka dapat terjadi
kegawatan yaitu dapat menyebabkan oedema paru, penumpukan cairan, gangguan
keseimbangan kalsium dan fosfat, dan kematian (Prayulis et al., 2023).
Riwayat penyakit sekarang yaitu keluarga klien mengatakan awalnya klien
lemas, tidak ada tenaga, mual-mual, kedua kaki gemetar, dan hipertensi hingga
189/105 mmHg sejak 1 minggu yang lalu pada tanggal 22 September 2023 kemudian
pada tanggal 29 September 2023 keluarga klien memeriksakan dan membawa klien
ke RSUD Bangkalan dan dilakukan pemeriksaan ternyata klien positif mengalami
gagal ginjal dan klien di rawat inap selama seminggu di RSUD Bangkalan pada
tanggal 29 September 2023 hingga 5 Oktober 2023 saat perawatan dokter
menyarankan klien untuk dilakukan tindakan hemodialisis akan tetapi alat-alat di
RSUD Bangkalan kurang lengkap akhirnya dokter memberikan surat rujukan kepada
klien dan klien di rujuk di RSPAL Dr. Ramelan Surabaya. Pada tanggal 6 Oktober
2023 keluarga klien langsung ke IGD RSPAL Dr. Ramelan Surabaya dan klien
dilakukan pemeriksaan untuk di observasi terlebih dahulu dan klien masuk rumah
sakit dan di rawat inap di ruang A1 pada tanggal 6 Oktober 2023
Saat pengkajian klien mengeluh sesak nafas, lemas, mual-mual, demam 38° C,
dan susah BAB. Hal ini dapat berhubungan dengan masalah keperawatan pola nafas
tidak efektif. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Marni., et al (2023) bahwa
tanda dan gejala yang paling sering dirasakan oleh penderita gagal ginjal kronik
adalah sesak nafas, nafas tampak cepat dan dalam atau yang disebut pernafasan
kussmaul. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya penumpukan cairan di dalam
jaringan paru atau dalam rongga dada, ginjal yang terganggu mengakibatkan kadar
albumin menurun. Selain disebabkan karena penumpukan cairan, sesak nafas juga
dapat disebabkan karena pH darah menurun akibat perubahan elektrolit serta
hilangnnya bikarbonat dalam darah. Selain itu rasa mual-mual, cepat lelah, lemas,
serta mulut yang kering, juga sering di alami oleh penderita gagal ginjal kronik. Hal
tersebut disebabkan oleh penurunan kadar natrium dalam darah, karena ginjal tidak
dapat mengendalikan ekskresi natrium, hal tersebut dapat pula mengakibatkan
terjadinya pembengkakan. Implementasi yang dilakukan adalah monitor pola napas
(frekuensi, kedalaman, dan usaha napas), monitor bunyi napas tambahan, posisikan
semi fowler, dan berikan oksigen
Pola nafas tidak efektif merupakan inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak
memberi ventilasi yang adekuat. Salah satu penyebab pola nafas tidak efektif pada
penderita CKD jika tidak segera ditangani dapat menyebabkan berbagai
masalah yaitu asidosis metabolik, pernafasan kussmaul dengan pola nafas cepat,
kegagalan nafas, efusi pleura, dan kesadaran menurun (Narsa et al., 2022).
Penatalaksanaan pola nafas tidak efektif disebabkan oleh hiperventilasi dengan
adanya data penunjang seperti sesak nafas, teknik non farmakologi yang bisa
diberikan dalam menanggulangi permasalahan pola napas tidak efektif melalui
tindakan mandiri keperawatan yakni mencatat frekuensi dan kedalaman pernafasan
pasien, melakukan pemeriksaan fisik paru pasien, memberikan terapi oksigen serta
dengan memberi metode breathing exercise atau teknik nafas dalam yang di
lakukakan dengan cara tarik nafas lewat hidung, kemudian tahan 3 detik dan
keluarkan lewat mulut secara perlahan-lahan dapat menangani masalah gangguan
pernafasan seperti sesak nafas, mengi, dada terasa berat dan batuk. Dalam
memaksimalkan pernafasan pasien dapat dilakukan dengan mengatur posisi pasien.
Posisi duduk dengan sedikit membungkuk ke depan merupakan posisi yang sangat
efektif dalam mengingkatkan fungsi ventilasi paru-paru karena organ abdominal
menekan diafragma sehingga kondisi ini membuat orang yang melakukan tindakan
posisi duduk dengan sedikit membungkuk ke depan lebih mudah untuk bernafas,
selain itu juga memberikan terapi farmakologis aminefron adalah terapi yang
diberikan untuk pengobatan kelainan fungsi ginjal, kidmin untuk meningkatkan
fungsi ginjal serta menghambat pemecahan protein otot, sedangkan furosemide untuk
membuang cairan berlebih di dalam tubuh (Ritianingsih et al., 2011). Setelah
dilakukan implementasi selama 3 hari keluhan pada pasien Tn. T menurun dari
semula klien tampak sesak napas, RR 22x/menit, SpO2 95%, terpasang O2 nasal
kanul 4 lpm menjadi klien tampak sesak napas mulai berkurang, RR 20x/menit, SpO2
97%, terpasang O2 nasal kanul 3 lpm.
DAFTAR PUSTAKA

Marni, L., Asmaria, M., Hasmita, H., Armaita, A., & Yessi, H. (2023).
Penatalaksanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan chronic kidney
disease (CKD) di ruang marwa rumah sakit aisyiyah pariaman. Jurnal
Kesehatan Saintika Meditory, 6(1), 325-330.

Narsa, A. C., Maulidya, V., Reggina, D., Andriani, W., & Rijai, H. R. (2022).
Studi kasus: pasien gagal ginjal kronis (stage v) dengan edema paru dan
ketidakseimbangan cairan elektrolit. Jurnal Sains Dan Kesehatan, 4(SE-1),
17–22.

Prayulis, I., & Susanti, I. (2023). Asuhan keperawatan pola nafas tidak efektif dengan
balloon blowing pada pasien chronic kidney disease. Jurnal Penelitian
Perawat Profesional, 6(2), 503-508. e-ISSN 2715-6885; p-ISSN 2714-9757

Ritianingsih, N., Irawaty, D., & Handiyani, H. (2011). Peningkatan fungsi ventilasi
paru pada klien penyakit paru obstruksi kronis dengan posisi high fowler dan
orthopneic. Jurnal Keperawatan Indonesia, 14(1), 31-36.

Anda mungkin juga menyukai