Anda di halaman 1dari 17

Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022

tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Prianter Jaya Hairi, Marfuatul Latifah


Pusat Analisis Keparlemenan Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI
Gedung Nusantara 1 Lantai 2, DPR RI
Jl. Jenderal Gatot Subroto, Senayan, Jakarta
Email: prianter.hairi@dpr.go.id

Naskah diterima: 7 Agustus 2023


Naskah direvisi: 3 Oktober 2023
Naskah diterbitkan: 30 November 2023

Abstract
Since the promulgation of Law Number 12 of 2022 of Criminal Acts of Sexual Violence (TPKS Law),
the incidence of sexual violence remains alarmingly high throughout Indonesia. Moreover, the tactics
employed are continually evolving. It is believed that the TPKS Law has not been optimally and uniformly
enforced by law enforcement officers (APH). This paper delves into various regulations related to sexual
violence across different laws and examines them more thoroughly in light of the obstacles hindering the
implementation of the TPKS Law. Therefore, this paper aims to provide an overview of the regulation
of criminal acts of sexual violence and offer recommendations to the government to promote the optimal
enforcement of this law. This study adopts a normative legal research approach or doctrinal research. The
analysis reveals that two essential steps are required: the issuance of all implementing regulations for the
TPKS Law and the targeted dissemination of information, particularly to all stakeholders who are users of
the TPKS Law, notably APH, and the general public. This ensures that the TPKS Law’s deterrent effect
is increasingly felt.
Keywords: sexual violence; implementation; implementing regulations; law enforcement officers

Abstrak
Semenjak Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
(UU TPKS) diundangkan, angka tindak pidana kekerasan seksual masih tinggi di seluruh
Indonesia. Tidak hanya itu, modus operandi yang digunakan juga semakin berkembang. UU
TPKS dianggap belum diterapkan secara optimal dan merata oleh aparat penegak hukum (APH).
Artikel ini membahas berbagai pengaturan terkait kekerasan seksual di berbagai undang-undang
dan mengkaji lebih dalam terkait dengan kendala dalam implementasi UU TPKS. Artikel ini oleh
karenanya bertujuan untuk memberikan gambaran terkait pengaturan tindak pidana kekerasan
seksual dan rekomendasi kepada pemerintah untuk mendorong optimalisasi implementasi
penegakan hukum UU tersebut. Kajian ini merupakan penelitian hukum normatif atau penelitian
doktrinal. Analisis menunjukkan bahwa dibutuhkan dua langkah utama, yakni penerbitan seluruh
aturan pelaksanaan UU TPKS dan pelaksanaan sosialisasi terarah, khususnya kepada seluruh
pihak sebagai user dari UU TPKS, terutama APH, serta umumnya kepada masyarakat agar efek
deterrence dari UU TPKS dapat semakin dirasakan.
Kata kunci: kekerasan seksual; implementasi; peraturan pelaksana; aparat penegak hukum

I. Pendahuluan Mei 2022, perkara TPKS masih marak terjadi


Sejak Undang-Undang Nomor 12 Tahun dengan berbagai modusnya yang kini semakin
2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan berkembang. Salah satunya yakni modus
Seksual (UU TPKS) diundangkan pada 9 pelecehan seksual terhadap perempuan

Prianter Jaya Hairi dkk: Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 163
dan anak yang kini semakin marak yaitu yang masih terus marak terjadi ini, tentunya
“web grooming” yang merupakan salah satu mengundang keprihatinan yang besar sekaligus
modus kejahatan baru dalam pelecehan dan menimbulkan banyak pertanyaan terkait upaya
eksploitasi seksual dengan menipu korbannya pemberantasan TPKS di Indonesia.
menggunakan media sosial.1 Kekerasan seksual Urgensi pemberantasan kejahatan seksual
kini bahkan marak terjadi di lingkungan juga telah disuarakan oleh Ketua Dewan
pendidikan, termasuk pendidikan berbasis Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR
agama. Para pelaku, yang seharusnya menjadi RI) Puan Maharani yang menyatakan bahwa
pendidik dan panutan siswanya, namun justru penyelesaian masalah ini seharusnya tidak
menjadi predator seksual. hanya berhenti dengan dihukumnya pelaku.
Pada pertengahan Mei 2023, terungkap Lebih lanjut, Puan Maharain menyatakan
total 13 (tiga belas) perempuan dan anak bahwa selain rehabilitasi korban kekerasan
perempuan menjadi korban kekerasan seksual seksual, upaya pencegahan seharusnya menjadi
yang dilakukan guru mengaji di Kabupaten prioritas. Implementasi UU TPKS mestinya
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kasus dapat memutus rantai kekerasan seksual di
lainnya belum lama ini yakni dugaan kekerasan Indonesia karena di dalamnya telah memuat
seksual di pondok pesantren di Kecamatan Sikur, aturan terkait upaya pencegahan. Upaya
Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, yang perlindungan masyarakat dari tindak kekerasan
diduga dilakukan pimpinan lembaga, yakni LMI seksual memang harus dimulai dari tahapan
(43 tahun) dan HSN (50 tahun).2 Sebanyak 41 pencegahan, maka itu penyelesaiannya harus
(empat puluh satu) santriwati yang menjadi dilakukan dari hulu ke hilir.5
penghuni pondok pesantren tersebut diduga Indonesia telah memiliki berbagai regulasi
menjadi korban kekerasan seksual selama hukum yang mengatur tindak pidana kekerasan
rentang waktu tujuh tahun (2016-2023). Publik seksual, bahkan secara spesifik mengatur
juga dikejutkan dengan berita kematian ABK mengenai kekerasan seksual, namun ironisnya
(16 tahun), putri Penjabat Gubernur Papua tindak pidana kekerasan seksual terus terjadi
Pegunungan, yang diduga menjadi korban kasus dan regulasi yang ada ternyata belum diterapkan
kekerasan seksual oleh pelaku yang baru dikenal secara optimal. Dalam Diskusi Publik dengan
di media sosial, awal Mei 2023.3 Menurut tema, “Refleksi Akhir Tahun: Setelah UU TPKS,
laporan KemenPPPA, terdapat sebanyak 11.016 Lalu Apa?”, Analis Kebijakan Madya Bidang
pengaduan kasus kekerasan seksual pada tahun Pidum Bareskrim Polri, Kombes Polisi Ciceu
2022. Dari jumlah tersebut, kasus kekerasan Cahyati Dwimeilawati, menyatakan bahwa
seksual terhadap anak mencapai 9.588 di mana sejak disahkan hingga akhir 2022, implementasi
terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya yang UU TPKS masih memiliki beberapa kendala
berjumlah 4.162 kasus.4 Kasus kekerasan seksual dan hambatan, terutama pada faktor sosialisasi.
Berdasarkan data yang ada, dari 20.613 kasus
1
Ida Rachmawati dkk, Edukasi Bagi Anak dalam Upaya
kekerasan seksual di seluruh Indonesia, baru 72
Preventif Tindak Kejahatan Seksual dengan Modus Child
Grooming, Reswara: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, kasus yang menerapkan UU TPKS.6
4 No. 1 (Januari 2023): 332-339. DOI: https://doi. Fakta masih banyak perkara kekerasan
org/10.46576/rjpkm.v4i1.2399. seksual yang belum diterapkan dengan UU
2
Sonya Hellen Sinombor, “Kekerasan Seksual Terjadi
TPKS menimbulkan banyak pertanyaan,
Bertubi-tubi, Ketajaman Pisau UU TPKS Dinanti”,
kompas.co.id, 30 Mei 2023, https://www.kompas.id/baca/
humaniora/2023/05/28/kekerasan-seksual-tak-berhenti-uu- 5
Ibid.
tpks-belum-teruji-ketajamannya, diakses 20 Juli 2023. 6
Gilang Akbar Prambadi, “Pemerintah dan Masyarakat
3
Ibid. Didorong Bersinergi Kawal Implementasi UU TPKS”,
4
DPR RI, “Kuatnya Dorongan Puan Soal Aturan Teknis UU republika.co.id, 11 Desember 2022, https://news.republika.
TPKS di Tengah Maraknya Kasus Kekerasan Seksual”, dpr. co.id/berita/rmphaj456/pemerintah-dan-masyarakat-
go.id, 31 Mei 2023, https://www.dpr.go.id, diakses 2 Agustus didorong-bersinergi-kawal-implementasi-uu-tpks, diakses
2023. 20 Juli 2023.

164 NEGARA HUKUM: Vol. 14, No. 2, November 2023


sebab UU TPKS telah memuat ketentuan yang termaktub dalam UU TPKS. Artikel ini
yang holistik untuk menanggulangi kekerasan berupaya menelaah berbagai hambatan dalam
seksual di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut penegakan hukum UU TPKS, untuk kemudian
perlu dikaji lebih lanjut mengenai pengaturan memberikan rekomendasi kepada pemerintah
tentang tindak pidana kekerasan seksual untuk mengatasi masalah tersebut. Penelitian
dalam berbagai undang-undang, dan apakah ini juga dapat disebut dengan penelitian
yang menjadi kendala dalam implementasi doktrinal, karena mengkaji hukum positif dan
UU TPKS. Artikel ini diharapkan dapat asas-asas hukum (law as it is written in the books).9
memberikan gambaran mengenai pengaturan Metode analisis data dilakukan dengan cara
tentang kekerasan seksual di Indonesia dan pendekatan kualitatif terhadap data sekunder,
mengetahui kendala dalam implementasi UU dalam hal ini dilakukan dengan memaparkan
TPKS agar penegakan hukum UU TPKS dapat persoalan nyata yang dihadapi aparat penegak
lebih optimal untuk dilaksanakan. hukum serta masyarakat pencari keadilan
Artikel terkait dengan kendala Penerapan sejauh ini terkait implementasi UU TPKS,
UU TPKS telah ditulis oleh Eko Nurisman dalam yang kemudian dianalisis dengan menggunakan
artikel jurnal Pembangunan Hukum Indonesia. teori dan konsep dalam ilmu hukum, utamanya
Eko menyatakan bahwa tantangan dalam terkait dengan teori penegakan hukum dan
penegakan hukum tindak pidana kekerasan teori penanggulangan tindak pidana.
seksual pasca diundangkannya UU TPKS
dipengaruhi oleh faktor penegakan hukum itu III. Problem Implementasi Undang-Undang
sendiri. Selain itu, kendala lain adalah sulitnya Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak
pencegahan, pelindungan, akses keadilan, dan Pidana Kekerasan Seksual
pemulihan bagi korban tindak pidana kekerasan A. Pengaturan tentang Kekerasan Seksual
seksual.7 Meskipun artikel ini telah menyatakan dalam Berbagai Undang-Undang
bahwa penegakan hukum merupakan penyebab Pengesahan UU TPKS merupakan wujud
dari sulitnya implementasi UU TPKS, artikel upaya pembentuk undang-undang dalam
yang ditulis oleh Eko Nurisman berbeda dengan menghadapi desakan dari masyarakat akan
permasalahan yang akan diangkat dalam artikel maraknya kasus kekerasan seksual di berbagai
ini. Artikel ini akan menyajikan gambaran wilayah di Indonesia. Naskah Akademik RUU
tentang beberapa undang-undang yang telah TPKS diantaranya secara jelas menegaskan
mengatur tentang tindak pidana kekerasan bahwa pembentukan UU TPKS merupakan
seksual dan mengkaji lebih dalam tentang hal upaya pembaruan hukum yang bertujuan antara
yang menjadi kendala dalam implementasi UU lain:10
TPKS dari setiap aspek penegakan hukum, 1. melakukan pencegahan terhadap terjadinya
baik dari segi aparat, hukumnya sendiri sampai peristiwa kekerasan seksual;
dengan budaya hukum. 2. mengembangkan dan melaksanakan
mekanisme pencegahan, penanganan,
II. Metode Penelitian pelindungan, dan pemulihan yang
Kajian artikel ini merupakan jenis penelitian melibatkan masyarakat dan berperspektif
hukum normatif. Penelitian ini akan mengkaji
8
korban, agar korban dapat melampaui
hal yang menjadi kendala dalam implementasi
penegakan suatu peraturan hukum khususnya
9
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum
7
Eko Nurisman, “Risalah Tantangan Penegakan Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo
Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasca Lahirnya Undang- Persada, 2001), 1-2.
Undang Nomor 12 Tahun 2022”, Jurnal Pembangunan 10
Badan Legislasi, Naskah Akademik Rancangan Undang-
Hukum Indonesia, Vol. 4, No. 2 (2022): 170-196. Undang Republik Indonesia tentang Tindak Pidana Kekerasan
8
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Seksual, (Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik
PT Raja, 2003), 32. Indonesia, 2021), 8.

Prianter Jaya Hairi dkk: Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 165
kekerasan yang ia alami dan menjadi (umur belum lima belas tahun/ belum waktunya
seorang penyintas; untuk di kawin) dan apabila pelaku membujuk
3. memberikan keadilan bagi korban seseorang yang diketahui masih dibawah umur
kekerasan seksual, melalui rehabilitasi, lima belas tahun atau belum waktunya untuk di
sanksi pidana, dan tindakan yang tegas bagi kawin untuk melakukan perbuatan cabul atau
pelaku kekerasan seksual; bersetubuh di luar perkawinan.
4. menjamin terlaksananya kewajiban negara, Berdasarkan ketentuan ini, KUHP dinilai
peran keluarga, partisipasi masyarakat, belum secara komprehensif mengatur terkait
dan tanggung jawab korporasi dalam tindak pidana kekerasan seksual, karena
mewujudkan lingkungan bebas kekerasan belum menuangkan pengaturan terhadap
seksual. perlindungan terhadap kepentingan korban
UU TPKS menawarkan sistem baru yang dan aspek pencegahan kekerasan seksual.
lebih melindungi korban dari sisi penegakan KUHP masih fokus pada pengaturan terhadap
hukum dan mendorong peran negara agar lebih penghukuman terhadap pelaku kekerasan
bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan seksual, sehingga aspek pelindungan korban
korban dan pencegahan kekerasan seksual dan upaya pencegahan tindak pidana kekerasan
di masa datang. UU TPKS juga dimaksudkan seksual belum ada pengaturannya.
untuk melengkapi regulasi hukum terkait Selain KUHP, UU PKDRT juga mengatur
kekerasan seksual yang telah ada dan berlaku mengenai kekerasan seksual, namun pengaturan
sebelumnya, di antaranya Kitab Undang- kekerasan seksual dalam UU PKDRT hanya
Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang- terbatas pada kekerasan seksual dalam lingkup
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang rumah tangga. Contohnya pengaturan tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga kekerasan seksual dalam Pasal 8 UU PKDRT,
(UU PKDRT), dan Undang-Undang Nomor 35 yang mengatur tentang bentuk kekerasan
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- seksual dalam lingkup rumah tangga yang
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang diatur, yaitu:
Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak). a. pemaksaan hubungan seksual yang
KUHP juga mengatur terkait dilakukan terhadap orang yang menetap
kekerasan seksual di berbagai pasal. dalam lingkup rumah tangga tersebut;
Kekerasan seksual dalam KUHP dapat b. pemaksaan hubungan seksual terhadap
dijerat menggunakan pasal pencabulan yang salah seorang dalam lingkup rumah
diatur di dalam Pasal 289 sampai dengan tangganya dengan orang lain untuk tujuan
Pasal 296 KUHP. Contohnya Pasal 289 komersial dan/atau tujuan tertentu.
KUHP mengatur tentang ancaman bagi Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud
setiap orang yang memaksa orang lain dalam Pasal 8 huruf a diancam dengan pidana
untuk melakukan atau membiarkan penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau
dilakukan perbuatan cabul dengan denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga
kekerasan atau ancaman kekerasan, puluh enam juta rupiah). Kemudian kekerasan
diancam karena melakukan perbuatan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
yang menyerang kehormatan kesusilaan, huruf b diancam dengan pidana penjara paling
dengan pidana penjara paling lama sembilan singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara
tahun. Selain itu, Pasal 290 KUHP, yang paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda
menentukan bahwa pelaku tindak pidana paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas
terancam hukuman penjara dengan juta rupiah) atau denda paling banyak Rp
maksimal selama 7 tahun, yakni apabila pelaku 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
melakukan tindakan tersebut (perbuatan cabul) Kekerasan seksual juga diatur dalam UU
disaat korban dalam keadaan pingsan atau Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak
tidak berdaya, pelaku melakukan tindakan
kepada korban yang masih di bawah umur
NEGARA HUKUM: Vol. 14, No. 2, November 2023
166
secara spesifik mengatur lingkup kekerasan TPKS memuat pengaturan tentang tanggung
seksual terhadap anak. Anak dalam hal ini jawab negara untuk mencegah, menangani
adalah seseorang yang belum berusia 18 kasus kekerasan seksual, serta memulihkan
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang korban secara lebih komprehensif. UU TPKS
masih dalam kandungan. UU Perlindungan mengatur sebanyak 93 pasal dalam 12 bab yang
Anak dalam Pasal 81 dan Pasal 82 UU mengandung materi muatan sebagai berikut:
Perlindungan Anak mengatur bahwa pelaku 1) Ketentuan Umum;
pelecehan seksual terhadap anak terancam 2) Jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun 3) Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima 4) Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan
miliar rupiah). Pidana terhadap perbuatan di Sidang Pengadilan;
tersebut juga dapat diperberat 1/3 (sepertiga) 5) Hak Korban, Keluarga Korban dan Saksi;
dari ancaman pidananya apabila dilakukan oleh 6) Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu
Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, Perlindungan Perempuan dan Anak di
atau tenaga kependidikan. Setidaknya terdapat Pusat dan Daerah;
dua bentuk kekerasan seksual terhadap anak 7) Pencegahan, Koordinasi dan Pemantauan;
yang diatur dalam UU ini: 8) Partisipasi Masyarakat dan Keluarga;
1. Kekerasan seksual yang diatur dalam 9) Pendanaan;
Pasal 76D yang menentukan bahwa setiap 10) Kerja sama internasional;
Orang dilarang melakukan Kekerasan 11) Ketentuan Peralihan; dan
atau ancaman Kekerasan memaksa Anak 12) Ketentuan Penutup.
melakukan persetubuhan dengannya atau UU TPKS selain menekankan asas penga­
dengan orang lain. turan tindak pidana kekerasan seksual berdasar
2. Kekerasan seksual yang diatur dalam pada penghargaan atas harkat dan martabat
Pasal 76E yang menentukan bahwa setiap manusia, non-diskriminasi, kepentingan ter­
Orang dilarang melakukan Kekerasan atau baik bagi korban, keadilan, kemanfaatan dan
ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan kepastian hukum, namun juga menegaskan
tipu muslihat, melakukan serangkaian tujuan regulasinya yakni untuk mencegah
kebohongan, atau membujuk Anak untuk segala bentuk kekerasan seksual; menangani,
melakukan atau membiarkan dilakukan melindungi, dan memulihkan Korban; me­­
perbuatan cabul. lak­s­anakan penegakan hukum dan merehabi­
Dengan demikian pengaturan mengenai litasi pelaku; mewujudkan lingkungan tanpa
larangan kekerasan seksual dalam berbagai kekerasan seksual; dan menjamin keti­ dak­
bentuk perbuatan, telah diatur pada KUHP, UU berulangan kekerasan seksual. Hal-hal ini belum
PKDRT, dan UU Pelindungan Anak. Namun, pernah ada dalam regulasi hukum sebelumnya.
ketiga undang-undang tersebut masih belum Terkait dengan tindak pidana kekerasan
mengatur kekerasan secara komprehensif, sebab seksual (Pasal 4 – Pasal 14), UU TPKS
masih mengatur larangan kekerasan seksual menjangkau seluruh ketentuan dalam UU
secara tersegmentasi seperti dalam UU PKDRT lain yang berdimensi kekerasan seksual di
dan UU Perlindungan Anak. Selain itu KUHP, Indonesia, yang menjadi subjek dari UU ini.
UU PKDRT maupun UU Perlindungan Anak Hal ini merupakan kebaruan yang sangat
belum mengatur mengenai penanganan korban patut diapresiasi. Sebelum UU ini, pengaturan
kekerasan seksual secara menyeluruh. soal kekerasan seksual terpisah-pisah dalam
Pengesahan UU TPKS dinilai memiliki beberapa UU, misalnya KUHP, UU Perlindungan
arti penting dalam memperkuat perlindungan Anak, UU PKDRT, Undang-Undang Nomor
hukum terhadap kekerasan seksual. UU 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Prianter Jaya Hairi dkk: Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 167
Pidana Perdagangan Orang (UU PTTPO) dan Secara substantif UU TPKS mengatur
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang hak korban yang jauh lebih komprehensif
Pornografi (UU Pornografi), yang mengatur dan menjangkau seluruh aspek yang
hukum acara dan hak korban namun bergantung dibutuhkan mulai dari hak prosedural dalam
pada pasal yang digunakan dalam UU tersebut. penanganan, hak perlindungan yang menjamin
Ada pula peraturan yang tidak mengakomodasi perlakuan aparat penegak hukum yang tidak
hak korban dan hukum acara yang berorientasi merendahkan korban ataupun menyalahkan
pada korban, misalnya pemaknaan perkosaan korban, dan hak pemulihan yaitu dalam
dan perbuatan cabul dalam KUHP yang bentuk: rehabilitasi medis; rehabilitasi mental
menyulitkan proses pembuktian. UU TPKS dan sosial; pemberdayaan sosial (Pasal 67 –
mewadahi semua bentuk kekerasan seksual, Pasal 70); restitusi, kompensasi hingga dana
yang menjamin hak korban dan hukum acara bantuan korban yang berusaha keras menjamin
secara padu dalam UU ini.11 efektifnya pemulihan bagi korban (Pasal 30 –
Dalam Pasal 4 UU TPKS menegaskan Pasal 38). Pelayanan untuk korban pun dijamin
lingkup kekerasan seksual yang terdiri dari untuk diselenggarakan secara terpadu (Pasal
9 bentuk: pelecehan seksual fisik dan non- 73 – Pasal 75). Selain itu, terdapat pengaturan
fisik, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, hak korban spesifik untuk kekerasan seksual
pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, berbasis elektronik yang memerlukan respons
eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan cepat dalam penghapusan konten (Pasal 47).12
kekerasan seksual berbasis elektronik. Selain Dalam bahasan hukum acara pidana,
9 bentuk tersebut, Tindak Pidana Kekerasan banyak pengaturan progresif yang diper­
Seksual juga meliputi: kenalkan oleh UU TPKS, antara lain: adanya
a. perkosaan; jaminan visum dan layanan kesehatan yang
b. perbuatan cabul; diperlukan korban secara gratis (Pasal 87 ayat
c. persetubuhan terhadap Anak, perbuatan (2)); aparatur penegak hukum yang harus
cabul terhadap Anak, dan/ atau eksploitasi berperspektif korban (Pasal 21); alat bukti
seksual terhadap Anak; yang mengarusutamakan penggunaan visum et
d. perbuatan melanggar kesusilaarr yang psikiatrikum ataupun pemeriksaan psikologis
bertentangan dengan kehendak Korban; korban (Pasal 24); jaminan pendampingan
e. pornografi yang melibatkan Anak atau korban, termasuk untuk saksi/korban disabilitas
pornografi yang secara eksplisit memuat (Pasal 26 dan Pasal 27). Selain itu, Restitusi
kekerasan dan eksploitasi seksual; dan kompensasi hingga dana bantuan korban
f. pemaksaan pelacuran; yang berusaha menjamin efektifnya pemulihan
g. tindak pidana perdagangan orang yang bagi korban (Pasal 30 – Pasal 38); kemudahan
ditujukan untuk eksploitasi seksual; pelaporan, tidak hanya pada penyidik namun
h. kekerasan seksual dalam lingkup rumah juga melalui lembaga layanan (Pasal 39);
tangga; perintah perlindungan jika dibutuhkan (Pasal
i. tindak pidana pencucian uang yang tindak 42); dan beberapa ketentuan pelaksanaan
pidana asalnya merupakan Tindak Pidana pemeriksaan yang berorientasi pada korban.13
Kekerasan Seksual; dan UU TPKS membentuk sebuah struktur
j. tindak pidana lain yang dinyatakan secara hukum baru berupa sistem peradilan pidana
tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan yang disebut Sistem Peradilan Pidana Terpadu
Seksual sebagaimana diatur dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan. Perempuan (SPPT-PKKTP). Sistem ini
merupakan bagian dari sifat kekhususan
11
Siti R.A. Desyana dkk, Analisis Tantangan Implementasi dan
Kebutuhan Operasionalisasi UndangUndang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (UU TPKS), International NGO Forum 12
Ibid., 24.
for Indonesian Development (INFID), (Oktober 2022), 23. 13
Ibid.

168 NEGARA HUKUM: Vol. 14, No. 2, November 2023


yang dimiliki oleh UU TPKS. Sistem ini atas hak asasi manusia dan khususnya hak
merupakan sistem terpadu yang menunjukan asasi perempuan; 2) Kesetaraan dan keadilan
proses keterkaitan antar-instansi/pihak yang gender; dan 3) Nondiskriminasi. Berdasarkan
berwenang menangani kasus kekerasan seksual pada prinsip-prinsip tersebut, SPPT-PKKTP
dan akses pelayanan yang mudah dan terjangkau dapat diwujudkan dalam berbagai cara, antara
bagi korban dalam setiap proses peradilan kasus lain: 1) Koordinasi dan mekanisme kerja antar
kekerasan seksual. Harapannya SPPT-PKKTP pihak/instansi yang berwenang dalam memberi
menjadi mekanisme yang mampu mendekatkan pelayanan terhadap korban yang cepat dan peka
akses keadilan bagi TPKS, meminimalkan atas kebutuhan korban; 2) Pengalokasian dana
proses bolak-balik perkara antar penegak hukum yang efektif bagi pihak/instansi yang berwenang
dalam penanganan perkara bersangkutan, untuk menangani kasus kekerasan terhadap
dan menghindarkan re-viktimisasi terhadap perempuan, dimulai dari proses pendampingan,
korban yang melakukan pembelaan diri dengan penyidikan, pemeriksaan, dan pemulihan
menyerang pelaku.14 bagi korban; 3) Partisipasi masyarakat dalam
Sistem Peradilan Pidana Terpadu Pena­ pemantauan proses peradilan untuk kasuskasus
nganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan kekerasan terhadap perempuan; 4) Penyediaan
(SPPT-PKKTP) dibangun atas dasar kebutuhan sumber daya manusia yang memahami akar
dan kepentingan korban dengan mengacu masalah kekerasan terhadap perempuan,
pada nilai-nilai yang adil-gender dengan sehingga mampu memberikan pelayanan
mensyaratkan korban menjadi atau diletakan yang berperspektif gender ketika menangani
pada pusat berjalannya sistem peradilan. Dalam perempuan korban tindak kekerasan; dan 5)
konsep SPPT-PKKTP, korban diposisikan sebagai Penyediaan ruang pemeriksaan khusus di setiap
subjek yang berhak didengar keterangannya, tingkat pemeriksaan, terutama penyediaan di
mendapatkan informasi atas upaya-upaya tingkat polsek sehingga kekerasan terhadap
hukum yang berjalan, dipertimbangkan perempuan dan anak yang terjadi di daerah-
rasa keadilan yang ingin diperolehnya, dan daerah dapat ditangani. Melalui cara yang
dipulihkan situasi dirinya atas perampasan hak- telah disebutkan tersebut, kekurangan sumber
haknya dan kekerasan yang dialaminya. SPPT- daya, baik manusia maupun dana diharapkan
PKKTP merombak kebiasaan yang umumnya dapat menanggulangi faktor penegakan hukum
menempatkan korban sebagai pelengkap pada bidang sarana dan fasilitas. Pada intinya
(objek) yang hanya diambil keterangannya.15 SPPT-PKKTP menjadi sistem terpadu yang
Memposisikan perempuan korban menhubungkan dan mengkoodinasikan sub-
sebagai subjek pada SPPT-PKKTP harus sistem peradilan pidana dan semua pihak
sudah dilakukan sejak adanya pelaporan yang berkaitang dengan kasus kekerasan
kasus, pada pendampingan, dan penanganan seksual. Tidak hanya itu, SPPT-PKKTP juga
pertama terhadap korban (medis, sosial, dan memberikan perlindungan hukum bagi korban
psikologis), penanganan hukum yang meliputi dalam menjalani proses peradilan pidana.16
pelaporan kasus ke kepolisian, penyelidikan, Berdasarkan hal tersebut, idealnya
penyidikan, penuntutan pemeriksaan di paskapengesahan UU TPKS praktik kekerasan
tingkat peradilan, putusan peradilan, dan seksual di Indonesia seharusnya berkurang
eksekusi putusan peradilan. Adapun SPPT- secara drastis. Sebab UU TPKS merupakan
PKKTP mengandung prinsip-prinsip, sebagai pengaturan yang holistik yang telah menganut
berikut: 1) Perlindungan dan penegakan sistem baru, yaitu SPPT-PKKTP yang
didalamnya tidak hanya mengatur mengenai
14
Eko Nurisman, Risalah Tantangan Penegakan Hukum
kolaborasi antarinstansi yang berwenang dalam
Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasca Lahirnya Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2022, Jurnal Pembangunan Hukum penanggulangan kekerasan seksual sehingga
Indonesia, 4, No. 2 (2022), 189.
15
Ibid. 16
Ibid, 190.

Prianter Jaya Hairi dkk: Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 169
dapat memaksimalkan upaya pencegahan tindak Keengganan penyidik polisi menggunakan
pidana kekerasan seksual, tapi juga mengatur UU TPKS menjadi salah satu tantangan
berbagai hukum acara pidana yang dibutuhkan yang dihadapi para pendamping saat ini
untuk memudahkan penegakan hukum atas dalam mendorong implementasi UU TPKS
tindak pidana kekerasan seksual. Selain itu, di lapangan. Tercatat pengalaman 3 kantor
UU TPKS juga menjamin hak-hak korban LBH APIK di Medan, Jakarta dan Jawa Barat
dengan meminimalisir kontak korban dengan yang mendapatkan data tentang sikap Aparat
pelaku dan menjamin pemberian rehabilitasi Penegak Hukum/APH yang enggan menerima
korban serta restitusi dari negara. Namun jika laporan, diantaranya soal minimnya alat bukti.
disandingkan dengan kondisi di lapangan saat Kondisi ini membuat korban kekerasan seksual
ini, angka tindak pidana kekerasan seksual di kerap menarik diri dan tidak meneruskan
Indonesia masih tinggi. Sampai dengan 28 Mei upayanya ke jalur hukum.19 Penyidik semestinya
2023 jumlah kasus kekerasan seksual khususnya memahami dan menerapkan ketentuan alat
terhadap anak menduduki peringkat pertama, bukti yang tercantum dalam Pasal 24 TPKS.
yaitu 4.280 kasus.17 Jumlah tersebut cukup Adapun alat bukti yang sah dalam pembuktian
memprihatinkan sebab kekerasan seksual Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:
terhadap anak akan mempengaruhi kualitas a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam
hidup anak sejak terjadinya kekerasan seksual hukum acara pidana;
tersebut. Diperlukan kajian lebih lanjut terkait b. alat bukti lain berupa informasi elektronik
dengan penyebab hal tersebut. dan/atau dokumen elektronik sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan
B. Kendala dalam Implementasi UU TPKS perundang-undangan; dan
UU TPKS yang memuat ketentuan holistik c. barang bukti yang digunakan untuk
dan membawa banyak perbaikan dalam melakukan tindak pidana atau sebagai hasil
penanggulangan tindak pidana kekerasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan/
seksual di Indonesa belum menunjukkan atau benda atau barang yang berhubungan
hasil yang optimal. Dalam praktiknya, banyak dengan tindak pidana tersebut.
ditemukan APH menolak untuk menggunakan
Kemudian bahwa termasuk alat bukti
UU TPKS. Keluhan dari para pendamping
keterangan Saksi yaitu hasil pemeriksaan
korban terkait penolakan polisi tersebut
terhadap Saksi dan/atau Korban pada tahap
mengemuka dalam berbagai diskusi dan
penyidikan melalui perekaman elektronik.
sosialisasi UU TPKS di berbagai daerah, seperti
Termasuk alat bukti surat yaitu: a. surat
di Medan, Banjarmasin, dan Makassar. Berbagai
keterangan psikolog klinis dan/atau psikiater/
alasan disampaikan kepolisian, antara lain
dokter spesialis kedokteran jiwa; b. rekam
yakni masih menunggu Peraturan Pemerintah/
medis; c. hasil pemeriksaan forensik; d,an/atau
PP-nya, belum ada petunjuk pelaksanan
d. hasil pemeriksaan rekening bank.
(juklak) dan petunjuk teknis (juknis) dari
Sebagian APH juga ada yang beranggapan
institusinya, hingga alasan bahwa aparatur
“model listing” yang digunakan dalam Pasal
lebih nyaman menerapkan aturan yang sudah
4 ayat (2) UU TPKS tidak biasa atau lazim,
ada sebelumnya.18
meskipun ada contoh UU sebelumnya yang
17
Siti Fauziah Alpitasari, “4.280 Kasus Kekerasan Seksual menggunakan model listing yakni UU Nomor
terjadi di Indonesia di Sepanjang 2023”, mediaindonesia. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi
com, 4 Juni 2023, diakses 20 September 2023, https://
(UU Tindak Pidana Ekonomi). Namun ada
mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/586540/4280-
kasus -kekerasan- seksual-terjadi- di-indonesia- di-
sepanjang-2023. co/2023/01/the-voice-sejumlah-polisi-tolak-gunakan-uu-
18
Ratna Batara Munti, “The Voice: Sejumlah Polisi Tolak tpks-tantangan-berat-penanganan-korban-kekerasan-
Gunakan UU TPKS, Tantangan Berat Penanganan seksual.html/, diakses 20 Juli 2023.
Korban”, Konde.co, 6 Januari 2023, https://www.konde. 19
Ibid.

170 NEGARA HUKUM: Vol. 14, No. 2, November 2023


kekhawatiran terjadi multitafsir karena dalam Berdasarkan hal tersebut, setidaknya terdapat
pasal tersebut tidak menyebutkan secara tegas 2 pekerjaan besar yang perlu diupayakan
pasal yang dirujuk dalam tindak pidana yang oleh pemerintah untuk diselesaikan. Pertama,
masuk ke dalam daftar. Seperti Perkosaan pembentukan aturan teknis pelaksanaan. Lalu
tanpa menyebut KUHP dan pasal-pasalnya Kedua, dilakukannya sosialisasi UU TPKS
yang dianggap mengatur perkosaan, sehingga secara terarah, khususnya bagi APH serta pihak
menimbulkan pertanyaan apakah hanya lain yang terlibat dalam penegakan hukum,
berlaku untuk pasal 285 KUHP karena hanya sebagai user dari regulasi ini.
pasal ini yang eksplisit menyebutkan perkosaan, Secara teoritis, dapat dicermati bahwa
atau termasuk Pasal 286 – Pasal 288 KUHP apa yang terjadi di lapangan, yakni masih
yang merupakan perkosaan meskipun tidak rendahnya penerapan penegakan hukum
disebutkan secara eksplisit.20 tindak pidana kekerasan seksual dapat pula
Penyidik Polri menyatakan bahwa juklak dipahami karena belum komprehensifnya upaya
dan juknis UU TPKS mutlak dibutuhkan untuk dalam membenahi faktor-faktor kunci yang
menghindari multitafsir antara APH dalam dapat mempengaruhi efektivitas penegakan
implementasi.21 Inisiasi pembentukan juklak hukumnya itu sendiri. Sebagaimana dinyatakan
dan juknis harus dimulai dari instansi pusat, Soerjono Soekanto, ada 5 faktor yang
kemudian diturunkan dalam peraturan institusi berpengaruh dalam penegakan hukum, dan
yang lebih rendah. Hal tersebut dibutuhkan kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan
untuk menghindari interpretasi masing-masing eratnya, oleh karena merupakan esensi dari
institusi penegakan hukum. Hal ini harus penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur
segera dimulai oleh institusi pusat (seperti daripada efektivitas penegakan hukum:24
Mabes Polri, Mahkamah Agung) sebab jika 1) Faktor undang-undang, yakni gangguan
tidak segera dilakukan sebab tanpa pengaturan yang berasal dari undang-undang atau
pelaksana teknis materi muatan UU TPKS peraturan.
agar pelaksanaannya lebih optimal dalam 2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak
penanggulangan tindak pidana kekerasan yang membentuk maupun menerapkan
seksual. Hal ini agar UU TPKS tidak mengalami hukum.
Nasib yang sama dengan UU Nomor 11 Tahun 3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak penegekan hukum
yang belum memiliki peraturan pelaksana teknis 4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan
yang memadai. Hal tersebut menyebabkan di mana hukum tersebut berlaku atau
beragamnya penafsiran apparat penegak hukum diterapkan.
terhadap UU SPPA.22 5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil
Kendala lain dalam penerapan UU TPKS karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada
yaitu minimnya pemahaman APH tentang UU karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
TPKS. Menurut Kementerian Pemberdayaan Persoalan belum adanya aturan pelak­
Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sanaan dari UU TPKS merupakan salah satu
dan Komisi Nasional Perempuan, salah satu faktor hukum yang perlu segera dituntaskan
hambatan yakni belum disosialisasikan-nya UU oleh pemerintah. Berdasarkan Pasal 91 UU
tersebut ke seluruh aparat penegak hukum.23 TPKS maka peraturan pelaksana mestinya
20
Siti R.A. Desyana dkk, Analisis …. 93. ditetapkan paling lambat dua tahun sejak
21
Ibid, 94.
UU ini diundangkan. Dalam hal ini terdapat
22
Ibid.
23
Kuswandi, “Komnas Perempuan Sebut Penerapan UU 3 Peraturan Pemerintah dan 4 Peraturan
TPKS Masih Banyak Hambatan”, jawapos.com, 11 Mei
2023, diakses 20 Juli 2023, https://www.jawapos.com/ 24
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi
nasional/01601032/komnas-perempuan-sebut-penerapan- Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004),
uu-tpks-masih-banyak-hambatan. 8.

Prianter Jaya Hairi dkk: Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 171
Presiden sebagai aturan teknis yang perlu penuntut umum, dan hakim yang menangani
diterbitkan. Adapun ketiga PP yakni PP perkara TPKS, yaitu: (1) Penyidik, penuntut
tentang Dana Bantuan Korban TPKS; PP umum, dan hakim yang menangani perkara
tentang Pencegahan TPKS serta Penanganan, Tindak Pidana Kekerasan Seksual harus
Perlindungan, dan Pemulihan Korban TPKS; memenuhi persyaratan:
dan PP tentang Koordinasi dan Pemantauan a. memiliki integritas dan kompetensi tentang
Pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan penanganan perkara yang berperspektif hak
TPKS. Sementara empat perpres terdiri dari asasi manusia dan Korban; dan
Perpres tentang Penyelenggaraan Pelayanan b. telah mengikuti pelatihan terkait
Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak penanganan perkara Tindak Pidana
di Pusat (Kementerian PPPA); Perpres tentang Kekerasan Seksual.
Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Lalu di ayat (2) nya diatur bahwa dalam
Terpadu bagi Aparat Penegak Hukum, Tenaga hal belum terdapat penyidik, penuntut umum,
Layanan Pemerintah, dan Tenaga Layanan atau hakim yang memenuhi persyaratan
pada Lembaga Penyedia Layanan Berbasis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perkara
Masyarakat; Perpres tentang Unit Pelaksana Tindak Pidana Kekerasan Seksual ditangani
Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim
Anak (UPTD PPA); serta Perpres tentang yang berpengalaman dalam menangani
Kebijakan Nasional Pemberantasan TPKS. Tindak Pidana Kekerasan Seksual berdasarkan
keputusan yang ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang. Selain itu, Pasal 81 menegaskan
bahwa selain terhadap aparatur penegak hukum,
pendidikan dan pelatihan juga diselenggarakan
bagi tenaga layanan pemerintah dan tenaga
layanan pada lembaga penyedia layanan
berbasis masyarakat.
Kemudian dari faktor sarana prasarana juga
Gambar I. Peraturan Pelaksanaan/Teknis UU
perlu mendapat perhatian besar. Arah politik
TPKS anggaran pemerintah perlu lebih mendukung
Sumber: KemenPPA RI, 2022. sarana dan fasilitas pelaksanaan UU TPKS.
Saat ini misalnya, alat digital forensik untuk
Dari sisi penegak hukum, tentunya para
pembuktian kasus Kekerasan Seksual Berbasis
APH yang menjalankan peran integrated
Elektronik (KSBE) atau Kekerasan Berbasis
criminal justice system perlu ditingkatkan
Gender Online (KBGO) hanya dimiliki Polda
kompetensi dan pemahamannya mengenai
dan Mabes Polri,25 maka itu untuk kasus
UU TPKS. Termasuk pula pihak lainnya yang
demikian masih membutuhkan dukungan
ikut memiliki peran dalam pelaksanaan UU
fasilitas teknologi digital yang memadai untuk
TPKS, yakni Unit Pelaksana Teknis Daerah
mengidentifikasi pelaku yang tidak beridentitas
Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD
(anonim). Sebagai catatan, setidaknya ada tiga
PPA) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan
bentuk kekerasan berbasis gender online di
Korban (LPSK). Dari Kemenkes juga harus
Indonesia yang marak ditemukan, dan tentunya
meningkatkan kapasitas psikolog dalam hal
membutuhkan alat digital forensik untuk
penanganan korban melalui pelatihan khusus
pengungkapannya:26
terkait TPKS. Masalah kompetensi ini bahkan
merupakan suatu kewajiban, karena telah
25
Ratna Batara Munti, “The Voice:”
26
Kathryn Kirsten Voges dkk, “Penegakan Hukum Kepada
ditegaskan dalam Pasal 21 UU TPKS terkait Pelaku Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan yang
ketentuan yang harus dipenuhi penyidik, Dilakukan Secara Online”, e-Journal Lex Crimen, Unsrat,
2022, 8.

172 NEGARA HUKUM: Vol. 14, No. 2, November 2023


1. Kekerasan seksual yang difasilitasi untuk menyelenggarakan Pencegahan Tindak
teknologi. Dalam kasus ini pelaku Pidana Kekerasan Seksual secara cepat, terpadu,
melakukan kekerasan seksual (pencabulan,
dan terintegrasi, salah satunya melalui bidang
penyiksaan seksual, perkosaan, eksploitasi
“sarana dan prasarana publik”. Pemerintah
tubuh seseorang) terhadap orang lain Daerah provinsi dan kabupaten/kota juga
melalui internet secara real time. Interaksi
diwajibkan membentuk Unit Pelaksana
ini berbayar dan eksklusif. Satu kasus Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan
terjadi di Aceh. Sekumpulan pelajar dijebak
Anak (UPTD PPA) yang menyelenggarakan
oleh jaringan pelaku untuk mengirimkan Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan
gambar telanjang mereka melalui media Korban, Keluarga Korban, dan/ atau Saksi,
sosial. Kemudian dieksploitasi secara untuk menjalankan tugas ini, UPTD PPA tentu
seksual lewat internet dan dipaksa melacur
butuh dukungan fasilitas sarana prasarana.
di dunia nyata. Di Bojonegoro, Jawa Timur, Demikian pula terkait dana khusus
seorang guru memotret para korban dalampemulihan atau dana bantuan korban yang
keadaan telanjang, lalu menjualnya di berdasarkan Pasal 30 UU TPKS diatur bahwa
internet. Ia kemudian juga memaksa paraKorban Tindak Pidana Kekerasan Seksual berhak
korban untuk melakukan kegiatan seks mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan.
baik di internet maupun saat tatap muka.
Terkait korban Penyandang Disabilitas juga
2. Penyebaran konten seksual. Tindakan berhak mendapat aksesibilitas dan akomodasi
ini berupa penyebaran foto, video, dan yang layak guna pemenuhan haknya sesuai
tangkapan layar percakapan antara pe­ dengan ketentuan peraturan perundang-
laku dengan korban. Konten yang dise­ undangan (Pasal 66 ayat (2) UU TPKS).
barkan mengandung unsur intim dan por­ Mengenai ketersediaan pelayanan dan sarana
nografi korban. Contoh kasus ini adalahprasarana ini juga ditegaskan dalam PP Nomor
penyebaran foto telanjang 14 orang 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak
remaja putri di Lampung Selatan. Merekauntuk Penyandang Disabilitas dalam Proses
berkenalan dengan pelaku di media sosial
Peradilan. Sarana untuk penyandang disabilitas
dan kemudian diancam dan dibujuk bukan hanya sekedar menyediakan kursi
untuk berfoto telanjang. Ancaman dan roda. Melainkan diantaranya: akses terhadap
tindakan tersebut dilakukan dengan tujuan
penilaian personal; sarana prasarana sesuai
memperoleh keuntungan seksual dan ragam disabilitas, seperti komputer pembaca
finansial dari korban. layar dan alat peraga; layanan pendamping yang
3. Balas dendam dengan pornografi.
kompeten dengan isu disabilitas; penerjemah
Bentuk kekerasan ini melibatkan para sesuai kebutuhan; ruang khusus dan ruang
pihak yang memiliki relasi intim. Pelaku
tenang bagi disabilitas psikososial, serta layanan
menyebarluaskan konten intimnya dengan psikolog klinis atau psikiater.
korban dalam rangka mencemarkan nama Dilihat dari faktor masyarakatnya, dibu­
baik korban, membalas dendam, atau tuhkan kepekaan masyarakat untuk ikut ber­
memperoleh keuntungan finansial. Salah peran serta dalam membantu penegak hukum
satu contoh kasusnya adalah penyebaran dengan cara melaporkan, apakah sebagai korban
foto intim mantan pacar yang dilakukan ataupun jika mengetahui ada informasi terkait
mahasiswa di Banyumas, Jawa Tengah. korban kekerasan seksual di lingkungannya.
Pelakunya biasanya adalah suami, mantanHal ini tentu akan sangat membantu dalam
suami, mantan pacar, selingkuhan, maupun
menghentikan TPKS oleh predator seksual
atasan korban. yang dapat saja terus mencari korbannya. Pasal
Pasal 79 UU TPKS juga telah mewajibkan 85 UU TPKS juga telah menegaskan peran serta
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah masyarakat dalam penyelenggaraan pencegahan

Prianter Jaya Hairi dkk: Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 173
TPKS antara lain: membudayakan literasi salah satunya dalam paradigma atau teori
tentang TPKS, menyosialisasikan peraturan Hukum Progresif.
perundangan-undangan yang terkait dengan Pada intinya gagasan Hukum Progresif ingin
TPKS, dan menciptakan kondisi lingkungan mendorong komunitas pekerja hukum untuk
yang dapat mencegah terjadinya TPKS. berani membuat terobosan dalam menjalankan
Terakhir dari faktor kebudayaan, yaitu hukumnya, dan tidak hanya dibelenggu oleh
nilai-nilai kesadaran hukum masyarakat serta pikiran positivistis dan legal analytical. Artinya
APH yang harus dibangun, agar tidak ragu berbagai kelemahan yang ada, diantaranya
lagi dalam menerapkan UU TPKS. Kultur kurangnya aturan teknis, sarana dan lain
masyarakat yang masih mentoleransi praktik sebagainya, dapat saja dianggap bukan suatu
perkawinan anak juga harus diberantas hambatan, sepanjang aparat penegak hukum
dan dihentikan/dicegah dengan UU TPKS. itu sendiri dapat menemukan cara untuk
Perkawinan anak dalam UU TPKS merupakan mengatasi hambatan yang ada untuk mencapai
salah satu bentuk pemaksaan perkawinan. tujuan hukum, yakni keadilan.
Pasal 10 ayat (2) UU TPKS mengatur bahwa Optimalisasi proses penegakan hukum
termasuk pemaksaan perkawinan yakni: a. tidak lagi harus terkungkung pada logika
perkawinan Anak; b. pemaksaan perkawinan peraturan kaku yang membelenggu para
dengan mengatasnamakan praktik budaya; penegak hukum, melainkan dalam “terang
atau c. pemaksaan perkawinan Korban dengan kebebasan progresif berhati nurani.” Dengan
pelaku perkosaan. menggunakan “kecerdasan spiritual”, para
Berdasarkan laporan penelitian mengenai penegak hukum dapat melakukan agenda
perkawinan anak yang dilakukan oleh Pusat aksi terobosan progresif terhadap kemacetan
Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas penegakan hukum. Dengan kata lain, ini adalah
Hidup Anak (Puskapa) bersama UNICEF, soal perilaku progresif dari para penegak hukum
BPS dan Bappenas tahun 2020, Indonesia yang diharapkan ikut “berubah dan menjadi”.28
menempati peringkat ke-10 perkawinan anak Paradigma hukum progresif yang digagas
tertinggi di dunia. Data Badan Pusat Statistik sang begawan hukum Satjipto Rahardjo adalah
(2020) mencatat 3,22 persen perempuan sebuah gagasan yang fenomenal yang ditujukan
menikah di bawah usia 15 tahun, sementara kepada aparatur penegak hukum, terutama
27,35 persen perempuan menikah di usia 16-18 Hakim agar supaya jangan terbelenggu dengan
tahun.27 positivisme hukum yang selama ini banyak
Kelima faktor tersebut, dalam paradigma memberikan ketidakadilan kepada yustisiaben
teori “faktor-faktor berpengaruh dalam (pencari keadilan) dalam menegakkan hukum
penegakan hukum” yang dikemukakan Soerjono karena penegakan hukum merupakan rangkaian
Soekanto tentu dapat dipahami dan disepakati proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang
dalam satu sisi pemahaman terkait efektivitas cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum.
penegakan hukum hukum, dalam konteks ini Tujuan hukum atau cita hukum memulai nilai-
dikaitkan dengan masalah implementasi UU nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran.
TPKS. Dengan demikian, pemikiran tentang Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan
masih adanya beberapa faktor penghambat yang dalam realitas nyata. Eksistensi hukum diakui
menjadi sebab belum optimalnya implementasi apabila nilai-nilai moral yang terkandung dalam
UU TPKS tentu dapat saja bahkan disepakati hukum tersebut mampu diimplementasikan
oleh berbagai pihak, termasuk para pemikir atau tidak.29
hukum. Namun demikian, dalam paradigma
lainnya hal itu dapat saja dilihat secara berbeda, 28
Hyronimus Rhiti, “Landasan Filosofis Hukum Progresif”,
Justitia Et Pax Jurnal Ilmu Hukum 32, No. 1 (Juni 2016), 42.
29
Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan
27
Siti R.A. Desyana dkk, “Analisis Tantangan“ Manusia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), vii.

174 NEGARA HUKUM: Vol. 14, No. 2, November 2023


Dalam konteks persoalan implementasi lainnya seperti KPPPA, UPTD PPA, LPSK,
UU TPKS, dapat dilihat bahwa hampir semua termasuk masyarakat juga perlu melaksanakan
pihak tentunya sepakat bahwa aturan teknis/ perannya secara terpadu agar UU TPKS benar-
pelaksanaan tentu saja dapat mengoptimalkan benar dapat terimplementasi secara optimal,
implementasi UU TPKS, namun dalalm sambil menunggu dibentuknya peraturan
pradigma hukum progresif, hal demikian tentu pelaksana UU tersebut.
cukup disayangkan jika itu menjadi alasan Dengan mencermati persoalan yang ada
tidak dapat diterapkannya UU tersebut. tersebut, dapat pula dikatakan bahwa salah satu
Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto faktor dominan dalam persoalan implementasi
juga menyoroti hal ini dengan mengatakan UU TPKS ialah disebabkan kurangnya
bahwa UU TPKS seharusnya sudah dapat sosialisasi meluas terkait UU TPKS yang
diterapkan meski belum diterbitkan aturan menyebabkan masih minimnya pemahaman
pelaksanaannya.30 Hal ini merujuk pada terhadap undang-undang tersebut, baik bagi
surat telegram Kapolri nomor ST/1292/VI/ masyarakat secara umum, maupun khususnya
RES.1.24/2022 yang telah meminta semua bagi aparat penegak hukum itu sendiri. Hal
Kapolda di Indonesia memerintahkan semua ini seharusnya dipahami sebagai salah satu
institusi kepolisian di semua wilayah untuk faktor utama yang mempengaruhi optimalnya
menegakkan UU TPKS. keberhasilan penanggulangan tindak pidana
Anggota Komisi VIII DPR RI Lisda kekerasan seksual.
Hendrajoni juga sempat mengutarakan bahwa Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa
optimal dan efektifnya dalam mengimple­ perlu dilakukan pembedaan, mengenai upaya
mentasikan UU TPKS untuk penanganan penanggulangan kejahatan melalui jalur “penal”
perkara kekerasan seksual sangat ditentukan yang tentunya lebih menitikberatkan pada
kesiapan dan profesionalisme aparat penegak sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/
hukum, khususnya jajaran Kepolisian Republik penumpasan) sesudah suatu kejahatan terjadi,
Indonesia (Polri). Hal ini kemudian sebenarnya sedangkan jalur lainnya yaitu jalur “non-
telah direspons oleh Polri dengan dilakukannya penal” yang akan lebih menitikberatkan pada
percepatan peningkatan status unit Pelayanan sifat “preventive” (pencegahan/penangkalan/
Perempuan dan Anak (PPA) menjadi direktorat pengendalian) sebelum suatu kejahatan terjadi.
tersendiri. Disebabkan oleh perlunya aturan Meskipun tindakan represif pada hakikatnya
setingkat peraturan polisi sebagai panduan juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif
dalam menyelidik dan menyidik kasus TPKS dalam arti luas karena juga mengandung efek
serta mengubah dan meningkatkan cara pencegahan (deterrent effect).32
pandang anggota Polri agar lebih sensitif Namun dalam konteks ini, upaya non-penal
terhadap isu gender.31 seharusnya menduduki posisi kunci dan strategis
Upaya Polri tersebut dapat dikatakan dari keseluruhan upaya penanggulangan
merupakan bagian dari langkah progresif dalam kekerasan seksual. Sosialisasi UU TPKS
mengimplementasikan UU TPKS, namun hal merupakan bagian penting dari upaya non-penal
itu perlu diikuti dan dilaksanakan secara merata dalam penanggulangan tindak pidana kekerasan
oleh seluruh aparat kepolisian di berbagai seksual. Sosialisasi UU TPKS bagi APH
wilayah di Indonesia. Pihak-pihak terkait merupakan tugas negara/pemerintah untuk
30
Sekretariat Jenderal DPR RI, “Penyidik Enggan Terapkan membekali APH dengan pemahaman terkait
UU TPKS, Didik Mukrianto Desak Terbitkan Aturan cara atau langkah-langkah yang diperlukan
Teknis”, diakses 20 Juli 2023, dpr.go.id, 6 Juni 2023, https:// untuk melakukan penegakan hukumnya.
www.dpr.go.id.
Sementara sosialisasi bagi masyarakat, agar
31
Nadhila Cahya Nurmalasari dkk, Efektivitas Undang-
Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Indonesia,
Souvereignty: Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional, 32
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum
Volume 1, No.1 (2022), 65. Pidana, (Jakarta: Kencana, 2010), 42.

Prianter Jaya Hairi dkk: Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 175
dapat memahami hak dan kewajibannya untuk sosial yang secara langsung atau tidak langsung
mendukung penanggulangan TPKS. dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan
Dalam konteks kebijakan kriminal, kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut
penanggulangan kejahatan tidak cukup dengan kebijakan kriminal, upaya-upaya non-penal
menggunakan hukum pidana karena hukum menduduki “posisi kunci dan strategis” dari
pidana hanya berusaha mengatasi gejala atau keseluruhan upaya penanggulangan kekerasan
akibat dari suatu penyakit dan bukan sebagai seksual.33
obat (remidium) untuk mengatasi sebab-sebab Kementerian Pemberdayaan Perempuan
terjadinya suatu penyakit. Hukum pidana dan Perlindungan Anak (KPPPA) sebagai
memiliki keterbatasan karena kejahatan suatu lembaga, dalam hal ini semestinya dapat
begitu beragam dan kompleks. Adapun batas- pula berperan besar dalam aspek pencegahan,
batas hukum pidana sebagai salah satu sarana khususnya dalam menyosialisasikan UU TPKS.
kebijakan kriminal, yaitu antara lain: 1) Untuk mendorong keberhasilan terhadap
Penyebab kejahatan yang kompleks berada di pencegahan tindak pidana kekerasan seksual,
luar jangkauan hukum pidana; 2) Hukum pidana KPPPA harus meningkatkan upaya sosialisasi.
hanya merupakan bagian kecil (sub-sistem) Menurut Siti R.A. Desyana materi muatan
dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin sosialisasi adalah uraian penjelasan mengenai
mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah alat bukti dalam perkara TPKS, khususnya
kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat terkait barang bukti, antara lain: apa saja
kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, yang dapat dijadikan barang bukti dalam
sosio-politik, sosioekonomi, sosio-kultural, dan setiap rumusan TPKS, misalnya dalam kasus
lainnya); 3) Penggunaan hukum pidana dalam perkosaan, mulai dari adanya cairan sperma,
menanggulangi kejahatan hanya merupakan dengan menginformasikan bahwa cairan
“kurieren am symptom”, oleh karena itu sperma itu masih hidup 2x24 jam, atau rambut
hukum pidana hanya merupakan “pengobatan dari pelaku, rambut dari kemaluan/tubuh,
simptomatik” dan bukan “pengobatan kausatif”; agar dapat diperiksa DNA-nya. Selain itu,
4) Sanksi hukum pidana merupakan “remidium” memberikan informasi agar pakaian atau benda
yang mengandung sifat kontrafiktif/paradoksal lain yang dikenakan saat terjadi kekerasan
dan mengandung unsur-unsur serta efek seksual tidak dicuci. Sosialisasi terkait alat bukti
samping yang negatif; 5) Sistem pemidanaan ini tentunya perlu dilakukan kepada semua
bersifat fragmentaris dan individual/personal, lapisan masyarakat, termasuk keluarga.34
tidak bersifat struktural/fungsional; a) Salah satu bentuk sosialisasi yang sangat
Keterbatasan jenis sanksi dan sistem perumusan penting yaitu mengadakan “Pelatihan
sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif; Penanganan Perkara Tindak Pidana Kekerasaan
dan b) Berkerjanya/berfungsinya hukum pidana Seksual”, sebab hal itu merupakan “syarat
memerlukan sarana pendukung yang lebih seorang pendamping korban dan saksi” saat
bervariasi dan lebih menutut biaya tinggi. akan mendampingi suatu perkara tindak
Karena keterbatasan-keterbatasan tersebut, pidana kekerasan seksual. Hal ini termaktub
maka penanggulangan kejahatan melalui dalam Pasal 26 UU TPKS, yang pada pokoknya
hukum pidana harus dilakukan secara integral mengatur bahwa “Korban dapat didampingi oleh
dengan juga menggunakan sarana non-penal/ Pendamping pada semua tingkat pemeriksaan
pidana. Upaya penanggulangan dengan
sarana non-penal lebih bersifat mencegah. 33
Muhammad Ridwan Lubis, Sosialisasi Kekerasan Seksual
Pencegahan berfungsi untuk menangani faktor- pada Anak serta Perlindungan Berdasarkan UU Nomor
12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.
(TPKS) di Desa Sena Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten
Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat Deli Serdang, Jurnal Pengabdian Masyarakat Hablum
pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi Minannas, 2, No.1 (Maret 2023), 23-24.
34
Siti R.A. Desyana dkk, “Analisis Tantangan’, 100.

176 NEGARA HUKUM: Vol. 14, No. 2, November 2023


dalam proses peradilan”. Bahwa Pendamping mengungkapkan bahwa di Pengadilan Tinggi
Korban meliputi: Bandung, Jawa Barat sudah menggunakan UU
a. petugas LPSK; No.12/2022, yakni dalam kasus pemerkosaan
b. petugas UPTD PPA; 13 santri dan pelakunya dijatuhi vonis pidana
c. tenaga kesehatan; mati.36 Menurut Ihat, efektivitas UU TPKS
d. psikolog; sangat tergantung pada sejumlah faktor
e. pekerja sosial; seperti antara lain keberanian korban melapor.
f. tenaga kesejahteraan sosial; Seringkali terjadi korban takut melapor karena
g. psikiater; takut dituntut balik, takut nama baik tercemar.
h. Pendamping hukum, meliputi advokat dan Maka itu, untuk meningkatkan efektivitas
paralegal; UU TPKS harus dicarikan sejumlah cara yang
i. petugas Lembaga Penyedia Layanan mampu menekan sejumlah ketakutan tersebut.
Berbasis Masyarakat; dan Menurut Komisioner Komnas Perempuan,
j. Pendamping lain. Bahrul Fuad, meski di Pengadilan Tinggi Bandung
Kemudian bahwa Pendamping Korban harus sudah menggunakan UU No.12/2022 tentang
memenuhi syarat yakni: a. memiliki kompetensi TPKS, akan tetapi secara umum aparat penegak
tentang Penanganan Korban yang berperspektif hukum belum semua berani menggunakan UU
hak asasi manusia dan sensitivitas gender; TPKS dalam kasus kekerasan seksual yang
dan “telah mengikuti pelatihan Penanganan dihadapinya. Menurutnya sosialisasi UU TPKS
perkara Tindak Pidana Kekerasan Seksual”. masih sangat kurang sehingga masyarakat dan
Pendamping dalam hal ini diutamakan berjenis korban kekerasan seksual tidak memahami
kelamin sama dengan Korban. apakah yang dialaminya merupakan tindak
Sosialisasi berupa pelatihan pendamping kekerasan seksual atau bukan.37 Hal ini
korban kekerasan seksual juga tidak kalah membuktikan bahwa pemahaman semua pihak
penting, sebab tugas tersebut memang tidaklah terhadap UU TPKS harus segera ditingkatkan
mudah dan memerlukan kolaborasi berbagai melalui sosialisasi meluas untuk meningkatkan
pihak terkait. Langkah penanganan saat implementasi UU TPKS secara optimal dan
kekerasan seksual terhadap anak misalnya, merata di seluruh wilayah di Indonesia.
dilakukan dengan mendampingi korban Mendesaknya pembentukan peraturan
dan keluarganya selama proses penanganan pelaksanaan UU TPKS sudah semestinya
kasus, hal ini meliputi pendampingan hukum, menjadi perhatian besar oleh pemerintah.
pendampingan medis, pendampingan psikologis Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam
dan pendampingan sosial. Kesemua langkah pertemuannya dengan Komisi Nasional Anti
tersebut dilakukan dengan menjalin kerja sama Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas
atau kolaborasi dengan berbagai pihak yang Perempuan) di Istana Kepresidenan Bogor
terkait dengan tugas perlindungan anak. Tujuan pada Februari 2023 juga pernah menegaskan
dari proses pendampingan korban adalah untuk dukungannya untuk memastikan penghapusan
memulihkan kondisi korban pasca terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan
kekerasan seksual, dan mengembalikan kondisi pelaksanaan Undang-Undang Tindak Pidana
sosial masyarakat agar mampu pulih seperti Kekerasan Seksual (UU TPKS).38 Demikian
sebelum terjadinya kasus kekerasan seksual.35 36
MPR RI, “Butuh Komitmen Kuat untuk Lahirkan Aturan
Pentingnya sosialisasi masif UU TPKS bagi Pelaksanaan UU TPKS”, mpr.go.id, 15 Maret 2023,
https://www.mpr.go.id/berita/Butuh-Komitmen-Kuat-
semua pihak juga diungkapkan oleh Hakim
untuk-Lahirkan-Aturan-Pelaksanaan-UU-TPKS, diakses 6
Pengadilan Tinggi Bandung, Ihat Subihat. Ihat Agustus 2023.
37
Ibid.
35
Elis Solihat dkk, “Pendampingan Anak Korban Kekerasan 38
“Jokowi tegaskan dukungan untuk Pelaksanaan UU TPKS”,
Seksual di Kabupaten Tasikmalaya”, Lentera: Journal of mediaindonesia.com, 27 Februari 2023, diakses 6 Agustus
Gender and Children Studies, 3, Issue 1 (Juni 2023), 10. 2023, https://mediaindonesia.com/humaniora/561384/

Prianter Jaya Hairi dkk: Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 177
pula Ketua DPR RI Puan Maharani yang juga minimnya pemahaman APH terkait UU
telah berkali-kali meminta Pemerintah untuk TPKS. Jika hambatan-hambatan tersebut
segera menerbitkan aturan teknis UU TPKS dapat dieliminasi, maka penegakan hukum UU
agar dapat diimplementasikan dengan lebih TPKS dapat lebih optimal untuk dilaksanakan.
optimal.39 Penanggulangan tindak pidana yang efektif, baik
Jika kita mencermati pernyataan Presiden secara penal maupun non-penal diharapkan
Joko Widodo dan Ketua DPR RI Puan Maharani dapat memberantas kekerasan seksual yang saat
belum lama ini, yang menunjukkan political ini semakin marak terjadi di masyarakat.
interest yang cukup tinggi untuk mendorong
sekaligus mengambil kebijakan hukum dalam B. Saran
wujud pembentukan aturan pelaksanaan UU Pemerintah harus secepatnya menyelesai­
TPKS dan melaksanakan sosialisasi UU TPKS, kan tugasnya untuk menyusun seluruh aturan
maka masyarakat tentu dapat berharap per­soal­ pelaksanaan UU TPKS. Sesuai amanat Pasal 91
an implementasi UU TPKS dapat diselesaikan. UU TPKS, maka peraturan pelaksana mestinya
APH tidak lagi ragu untuk menerapkan UU ditetapkan paling lambat dua tahun sejak UU
TPKS, dan deterrence effect dari UU TPKS akan ini diundangkan. Pemerintah bersama berbagai
semakin dirasakan oleh masyarakat. UU TPKS elemen lainnya secara bersama-sama perlu
dimasa yang akan datang diharapkan sudah melakukan sosialisasi, khususnya kepada APH
dapat mewujudkan cita-cita pembentukannya, agar dapat segera memahami norma hukum
yakni menanggulangi maraknya kekerasan tersebut, termasuk juga kepada masyarakat
seksual di Indonesia. pada umumnya agar UU ini dapat berlaku
secara efektif di masyarakat.
IV. Penutup
A. Simpulan
UU TPKS lahir untuk melengkapi regulasi
hukum terkait kekerasan seksual yang telah Daftar Pustaka
ada dan berlaku sebelumnya, diantaranya
KUHP, UU PKDRT, dan UU Perlindungan
Anak, sebab KUHP, UU PKDRT, dan UU Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan
Perlindungan Anak belum mengatur tentang Hukum Pidana. Jakarta: Kencana. 2016.
tindak pidana kekerasan seksual secara Badan Legislasi. Naskah Akademik Rancangan
menyeluruh sejak hulu sampai hilir. UU TPKS Undang-Undang Republik Indonesia tentang
menghadirkan ketentuan yang lebih holistik Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dewan
dan mengedepankan pelindungan terhadap Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
korban sehingga menjadi inovasi baru dari Jakarta. 2021.
ketentuan terhadap tindak pidana kekerasan
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian
seksual. Ironisnya, setelah lebih dari satu
Hukum, Cetakan ke-16, Jakarta: PT Raja.
tahun diundangkan, penerapan UU TPKS
2016.
belum dapat diterapkan secara optimal dan
merata oleh APH. Diantara beberapa kendala Desyana, Siti R.A. dkk. “Analisis Tantangan
utama dalam implementasi UU TPKS yakni Implementasi dan Kebutuhan
belum adanya aturan pelaksanaan dan masih Operasionalisasi Undang-Undang Tindak
kurangnya sosialisasi yang menyebabkan Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)”,
International NGO Forum for Indonesian
jokowi-tegaskan-dukungan-untuk-pelaksanaan-uu-tpks. Development (INFID), Oktober 2022.
39
Sekretariat Jenderal DPR RI, “Desakan Puan Soal
Penerbitan Aturan Teknis UU TPKS Perlu Segera Direspons DPR RI. “Kuatnya Dorongan Puan Soal Aturan
Pemerintah”, dpr.go.id, 2 Juni 2023, https://www.dpr.go.id, Teknis UU TPKS di Tengah Maraknya
diakses pada 20 Juli 2023.

178 NEGARA HUKUM: Vol. 14, No. 2, November 2023


Kasus Kekerasan Seksual”, 31 Mei 2023, Tahun 2022”. Jurnal Pembangunan Hukum
https://www.dpr.go.id, diakses 2 Agustus Indonesia, 4, No. 2 (2022).
2023. Prambadi, Gilang Akbar. “Pemerintah dan
“Jokowi tegaskan dukungan untuk Pelaksanaan Masyarakat Didorong Bersinergi Kawal
UU TPKS”, 27 Februari 2023, diakses 6 Implementasi UU TPKS”, 11 Desember
Agustus 2023, https://mediaindonesia. 2022, diakses 20 Juli 2023, https://
com/humaniora/561384/jokowi-tegaskan- news.republika.co.id/berita/rmphaj456/
dukungan-untuk-pelaksanaan-uu-tpks. pemerintah-dan-masyarakat-didorong-
Kuswandi. “Komnas Perempuan Sebut bersinergi-kawal-implementasi-uu-tpks.
Penerapan UU TPKS Masih Banyak Rachmawati, Ida dkk, “Edukasi bagi Anak dalam
Hambatan”. Jawapos.com. 11 Mei Upaya Preventif Tindak Kejahatan Seksual
2023, diakses 20 Juli 2023, https://www. dengan Modus Child Grooming”. Reswara:
jawapos.com/nasional/01601032/komnas- Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat 4, No.
perempuan-sebut-penerapan-uu-tpks- 1 (Januari 2023). 332-339, DOI: https://
masih-banyak-hambatan, doi.org/10.46576/rjpkm.v4i1.2399.
Lubis, Muhammad Ridwan. “Sosialisasi Rahardjo, Satjipto. Pendidikan Hukum Sebagai
Kekerasan Seksual pada Anak serta Pendidikan Manusia. Yogyakarta: Genta
Perlindungan Berdasarkan UU Nomor Publishing. 2009.
12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Rhiti, Hyronimus. “Landasan Filosofis Hukum
Kekerasan Seksual (TPKS) di Desa Sena Progresif”. Justitia Et Pax Jurnal Ilmu Hukum
Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli 32, No.1 (Juni 2016).
Serdang”. Jurnal Pengabdian Masyarakat
Hablum Minannas 2, No.1 (Maret 2023). Sekretariat Jenderal DPR RI. “Penyidik Enggan
Terapkan UU TPKS, Didik Mukrianto
MPR RI. “Butuh Komitmen Kuat untuk Desak Terbitkan Aturan Teknis”. dpr.go.id.
Lahirkan Aturan Pelaksanaan UU TPKS”, 6 Juni 2023, diakses 20 Juli 2023, https://
mpr.go.id. 15 Maret 2023, diakses 6 Agustus www.dpr.go.id.
2023, https://www.mpr.go.id/berita/Butuh-
Komitmen-Kuat-untuk-Lahirkan- Aturan- Soekanto, Soerjono. Faktor-faktor yang
Pelaksanaan-UU-TPKS. Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:
Raja Grafindo Persada. 2013.
Munti, Ratna Batara. “The Voice: Sejumlah
Polisi Tolak Gunakan UU TPKS, Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji. Penelitian
Tantangan Berat Penanganan Korban”. Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat.
Konde.com. 6 Januari 2023. diakses 20 Juli Cetakan ke-8. Jakarta: RajaGrafindo
2023, https://www.konde.co/2023/01/the- Persada. 2018.
voice-sejumlah-polisi-tolak-gunakan-uu- Solihat, Elis. Siti Komariah, dan Siti Nurbayani.
tpks-tantangan-berat-penanganan-korban- “Pendampingan Anak Korban Kekerasan
kekerasan-seksual.html/. Seksual di Kabupaten Tasikmalaya”.
Nurmalasari, Nadhila Cahya dkk. “Efektivitas Lentera: Journal of Gender and Children
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Studies 3, Issue 1 (June 2023).
Seksual di Indonesia”. Souvereignty: Jurnal Voges, Kathryn Kirsten dkk. “Penegakan
Demokrasi dan Ketahanan Nasional 1, No. 1 Hukum Kepada Pelaku Pelecehan Seksual
(2022). Terhadap Perempuan yang Dilakukan
Nurisman, Eko. “Risalah Tantangan Penegakan Secara Online”. e-Journal Lex Crimen.
Hukum Tindak Pidana Kekerasan Seksual Unsrat. 2022.
Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 12

Prianter Jaya Hairi dkk: Implementasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 179

Anda mungkin juga menyukai