Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH UJIAN AKHIR SEMESTER

PRAANGGAPAN

Oleh :

Sina Wardani Siregar (17129083)

Dosen Pembimbing:
Dra. Nur Azmi Alwi, S.Sn., M. Pd

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2020
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunia-Nyalah makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktu yang
telah ditentukan.

Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibuk Dra. Nur
Azmi Alwi, S.Sn., M. Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah Pragmatik yang telah bersedia
memberikan bimbingan dan arahan selama satu semester ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada rekan-rekan mahasiswa, serta pihak lain yang turut membantu dalam proses pembuatan
makalah ini.

Dalam makalah ini, penulis menyampaikan pokok pikiran mengenai kajian Pragmatik
yaitu Deiksis. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna baik dari segi
isi maupun dari segi penyusunannya. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan penulis dalam hal
pengetahuan dan pengalaman. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat konstruktif dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya bagi
mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Bukuttinggi, Desember 2020

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam ilmu bahasa kita mengenal istilah linguistic yang kita artikan sebagai
ilmu bahasa yang membahasa seluk beluk bahasa, di dalam linguistic terdapat
beberapa cabang ilmu di antaranya Fonologi, Morfologi, Sintaksis, Pragmatik dan
Semantik, meskipun sama-sama cabang dari ilmu linguistic namun dari lima cabang
ilmu bahasa tersebut mempunyai fungsi dan ranah pembahasan yang berbeda.
Pragmatik ialah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan
kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu. Dari
pengertian pragmatic tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pragmatic merupakan
salahsatu cabang ilmu bahasa yang menitikberatkan pada hal yang berkenaan pantas
atau sesuai tidaknya konteks penggunaan bahasa dalam tuturan atau komunikasi.
Dalam pragmatik terdapat banyak sub-sub bagian pembahasan, seperti yang
akan dibahas dalam makalah ini yakni mengenai Praanggapan (preuposisi).

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka dapat diketahui rumusan
masalah dari makalah yaitu, sebagai berikut :
1. bagaimana yang dimaksud dengan pranggapan?
2. Apa saja jenis pranggapan?

C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah yang dipaparkan di atas maka dapat diketahui tujuan
penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui praanggapan
2. Untuk mengetahui jenis-jenis praanggapan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Praanggapan (Presuposisi)
1. Pengertian Presuposisi (Praanggapan)
Menurut Stalnaker dalam Brown dan Yule (1996:29) Praanggapan adalah
apa yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan.
Presuposisi adalah anggapan dasar atau penyimpulan dasar mengenai
konteks dan situasi berbahasa yang ditentukan batas-batasnya berdasarkan
pengetahuan kita tentang dunia.

Nababan (1987:46) memberikan pengertian bahwa praanggapan sebagai


dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa
(menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan)
mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya,
membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya
untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud.

Louise Cummings (1999:42) menyatakan bahwa praanggapan adalah


asumsi- asumsi atau inferensi- inferensi yang tersirat dalam ungkapan- ungkapan
linguistik tertentu.

Jadi, praanggapan adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum


melakukan tuturan bahwa apa yang disampaikannya dapat dipahami oleh mitra
tuturnya.

2. Jenis-Jenis Praanggapan
Menurut Yule (2006) mengungkapkan dalam analisis tentang bagaimana
asumsi-asumsi penutur diungkapkan secara khusus, Presuposisi sudah
diasosiasikan dengan pemakaian sejumlah besar kata, frasa, dan struktur. Yule
menganggap bentuk-bentuk linguistik ini sebagai petunjuk-petunjuk presuposisi
potensial, yang hanya akan menjadi presuposisi yang sebenarnya dalam konteks
dengan penutur.
Presuposisi potensial (potential presupposition) adalah suatu asumsi yang
secara khusus dikaitkan dengan penggunaan bentuk-bentuk kebahasaan, misalnya
penggunaan kata “menyesal” dalam kalimat “Sofyan menyesal telah melakukan
itu” yang mengandung asumsi bahwa Sofyan sebenarnya melakukan itu.
Presuposisi potensial terbagi menjadi enam jenis yaitu:
a. Praanggapan Eksistensial
Presuposisi eksistensial (existential presupposition) merupakan
presupposisi yang ada tidak hanya diasumsikan terdapat dalam susunan
possesif, tetapi juga lebih umum atau lebih luas lagi ke dalam frasa nomina
tertentu. Praanggapan ini menunjukkan kepemilikan, tetapi lebih luas lagi
keberadaan atau eksistensi dari pernyataan dalam tuturan tersebut.
Praanggapan eksistensial menunjukkan bagaimana keberadaan atas
suatu hal dapat disampaikan lewat praanggapan. Misalnya pada contoh
tuturan berikut.

“Ayah saya memiliki mobil sedan keluaran terbaru”.

Praanggapan dalam tuturan tersebut menyatakan kepemilikan, yaitu


Ayah saya memiliki mobil. Apabila ayah saya memang benar memiliki mobil
sedan keluaran terbaru, maka tuturan tersebut dapat dinyatakan
keberadaannya.

b. Praanggapan Faktual
Presuposisi faktual (factive presupposition) muncul dari informasi
yang ingin disampaikan dinyatakan dengan kata-kata yang menunjukkan
suatu fakta atau berita yang diyakini kebenarannya. Kata-kata yang bisa
menyatakan fakta dalam tuturan adalah kata sifat yang dapat memberikan
makna pasti dalam tuturan tersebut. Misalnya pada contoh tuturam berikut.

“Eka tidak menyadari bahwa dirinya sakit demam”.

Dalam tuturan di atas, praanggapannya adalah Eka sedang sakit.


Pernyataan itu menjadi faktual karena telah disebutkan dalam tuturan.
Penggunaan kata “sakit” dari tuturan “Eka tidak menyadari bahwa dirinya
sakit demam” merupakan „kata sifat‟ yang dapat diyakini kebenarannya.

c. Praanggapan Non-faktual
Non berarti sesuatu yang bersifat negatif atau bertentangan. Nonfaktual
berarti tidak faktual. Berarti nonfaktual ialah sesuatu yang tidak sesuai
kenyataan, atau sesuatu yang tidak mengandung kebenaran.
Menurut Yule Presuposisi nonfaktual (non-factive presupposition)
merupakan suatu pressuposisi yang diasumsikan tidak benar. Praanggapan ini
masih memungkinkan adanya pemahaman yang salah karena penggunaan
kata-kata yang tidak pasti dan masih ambigu. Misalnya pada contoh tuturan
berikut, yaitu “Dia bermimpi bahwa dirinya menang kuis”.

Praanggapan yang muncul dari tuturan tersebut adalah dia tidak


menang kuis. Penggunaan tuturan “Dia bermimpi bahwa dirinya menang kuis”
bisa memunculkan praanggapan nonfaktual, karena kalimat tersebut
memunculkan praanggapan mengenai keadaan yang tidak sesuai dengan
kenyataannya yaitu memenangkan kuis. Tuturan tersebut jika dibuat kalimat
lain bisa menjadi “andai saja dia menang kuis” dan kata “andai” merupakan
bentuk dari pressupusisi nonfaktual. Selain itu, praanggapan nonfaktual bisa
diasumsikan melalui tuturan yang kebenarannya masih diragukan dengan fakta
yang disampaikan.

d. Praanggapan Leksikal

Makna leksikal merupakan makna dasar sebuah kata yang sesuai


dengan kamus. Makna dasar ini melekat pada kata dasar sebuah kata. Yule
(2006:47) menjelaskan, pada umumnya di dalam presuposisi leksikal (lexical
presupposition), pemakaian suatu bentuk dengan makna yang dinyatakan
secara konvensional ditafsirkan dengan pressuposisi bahwa suatu makna lain
(yang tidak dinyatakan) dipahami. Praanggapan ini merupakan praanggapan
yang didapat melalui tuturan yang diinterpretasikan melalui penegasan dalam
tuturan.

Bedanya dengan presuposisi faktual, tuturan yang merupakan


presuposisi leksikal dinyatakan dengan cara tersirat sehingga penegasan atas
praanggapan tuturan tersebut bisa didapat setelah pernyataan dari tuturan
tersebut. Misalnya pada contoh tuturan berikut, yaitu “Pak Sugeng berhenti
kerja”.

Praanggapan dari tuturan di atas adalah dulu Pak Sugeng pernah


bekerja. Praanggapan tersebut muncul dengan adanya penggunaan kata
“berhenti” dari tuturan “Pak Sugeng berhenti kerja” yang menyatakan bahwa
dulu Pak Sugeng pernah bekerja, namun sekarang sudah tidak lagi.

e. Praanggapan Struktural
Presuposisi struktural (struktural presupposition) merupakan struktur
kalimat-kalimat tertentu yang telah dianalisis sebagai pressuposisi secara tetap
dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan kebenarannya
(Yule, 2006:49). Praanggapan struktural merupakan praanggapan yang
dinyatakan melalui tuturan yang strukturnya jelas dan langsung dipahami
tanpa melihat katakata yang digunakan. Misalnya pada contoh tuturan berikut.

Silakan mencoba produk kecantikan tersebut!

Tuturan di atas menunjukkan praanggapan, yaitu ada produk


kecantikan. Praanggapan yang menyatakan „produk kecantikan‟ sebagai
obyek yang dibicarakan dapat dipahami oleh penutur melalui struktur kalimat
bertanda seru (di akhir tuturan) yang menyatakan „ajakan‟. Selain itu terdapat
makna „mengapa‟ dalam tuturan “Silakan mencoba produk kecantikan
tersebut” yang bisa saja mengandung makna bahwa jika mencoba produk
kecantikan tersebut kulit akan menjadi cantik, putih, dan lain sebagainya.

f. Praanggapan Konterfaktual
Presuposisi konterfaktual (counterfactual presupposition) adalah
praanggapan yang menghasilkan pemahaman yang berkebalikan dari
pernyataannya atau kontradiktif. Misalnya pada contoh tuturan berikut.

Andaikan aku kaya, pasti akan membeli rumah yang besar.

Dari contoh tuturan di atas, dapat dilihat praanggapan yang muncul


adalah sekarang saya miskin. Praanggapan tersebut muncul dari kontradiksi
kalimat dengan adanya penggunaan tuturan “Andaikan aku kaya”.
Penggunaan kata „andaikan‟ membuat praanggapan yang kontradiktif dari
tuturan yang disampaikan.

3. Bentuk Praanggapan
Praanggapan terdiri dari 2 bentuk yaitu :
a. Praanggapan Semantik
Praanggapan semantik adalah praanggapan yang dapat ditarik dari
pernyataan atau kalimat melalui leksikon atau kosakatanya.

Contoh: Bu Lusi tidak jadi berangkat kuliah. Anak bungsunya demam.

Dari kata-kata yang ada dalam pernyataan itu dapat ditarik praanggapan
sebagai berikut:

1) Bu Lusi seharusnya berangkat kuliah.


2) Bu Lusi mempunyai beberapa anak.
b. Praanggapan Pragmatik
Praanggapan pragmatik adalah anggapan yang ditarik berdasarkan
konteks suatu kalimat atau pernyataan itu diucapkan. Konteks disini dapat
berupa situasi, pembicara, lokasi dan lain-lain.

Contoh: “Harganya murah sekali”, sebagai jawaban pertanyaan,”Berapa


harganya?”

Praanggapan tak dapat kita berikan kalau konteksnya tidak kita ketahui
karena mungkin kata “murah” itu berarti “mahal sekali”.

Praanggapan adalah sesuatu yang dijadikan oleh pembicara sebagai


dasar pembicaraan.

Untuk melihat perbedaan antara praanggapan semantik dengan


praanggapan pragmatik, dapat dilihat dalam contoh berikut ini.

Suatu hari pak Izhar bertamu ke rumah pak Muntazir. Keduanya


bercakap-cakap sambil merokok dan minum kopi. Ketika sudah habis
sebatang rokok, pak Izhar memegang kotak tempat rokok pak Muntazir dan
sambil mengamati kotak kayu yang sudah kosong itu berkata. Pak Izhar :“
Alangkah bagus kotak rokok ini, dimana pak Muntazir beli?“ Sambil
mencabut dompet yang kempes dari kantongnya, pak Mutazirr berkata. Pak
Munir :“ Kotak itu kubeli bersama dompet ini tempo hari.“ Pak Izhar :“Oooh“.

Praanggapan semantik kalimat pak Izhar itu adalah: Pak Muntazir telah
membeli sebuah kotak rokok yang bagus. Namun secara pragmatik
praanggapan itu tidaklah demikian. Praanggapan yang telah ditentukan oleh
konteks itu adalah sebagai berikut:

1) Sebenarnya, pak Izhar ingin merokok lagi, tetapi rokok sudah habis terlihat
kotak rokok sudah kosong.
2) Sebenarnya pak Izhar ingin minta rokok.

Jadi praanggapannya adalah:

1) Pak Izhar meminta sesuatu.


2) Pak Izhar mengatakan sesuatu.

Pak Muntazir yang paham akan kalimat pak Izhar, tidak menjawab di
mana kotak rokok itu dibelinya, tetapi menunjukkan isi dompetnya yang lagi
kempes, yang berarti lagi tidak punya uang.

Jadi praanggapannya adalah: Pak Muntazir mengatakan tentang uang.


Dari uraian contoh tersebut jelas bahwa sangat berbeda antara praanggapan
semantik dengan praanggapan pragmatik.

Suatu kalimat A berpraanggapan semantik, jika :

1) Dalam semua keadaan dimana A benar, maka B juga benar.


2) Dalam semua keadaan dimana A tidak benar, maka B (tetap) benar.

Perbedaannya dengan praanggapan pragmatik adalah pada


praanggapan semantik hubungan antarkalimat, sedangkan pada praanggapan
pragmatik adalah hubungan antarpernyataan ( Lubis, 2011:63).

Teori praanggapan pragmatik biasanya menggunakan dua konsep


dasar, yaitu kewajaran dan pengetahuan bersama. Bila praanggapan dapat
ditarik dari pernyataan itu melalui leksikonnya, maka praanggapan itu adalah
praanggapan semantik. Bila hanya dapat ditarik melalui konteksnya, maka
praanggapan itu adalah praanggapan pragmatik.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut Stalnaker dalam Brown dan Yule (1996:29) Praanggapan adalah apa
yang digunakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan.
Presuposisi adalah anggapan dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks
dan situasi berbahasa yang ditentukan batas-batasnya berdasarkan pengetahuan kita
tentang dunia.
Jenis-Jenis Praanggapan: Praanggapan Eksistensial,Faktual, Non-faktual,
Leksikal, Struktural, Konter faktual.

B. Saran
Makalah ini masih banyak terdapat kesalahan. Kritik dan saran dari pembaca
yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah ini.
Daftar Pustaka

Djajasudarma, Fatimah. 2010. Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika


Aditama.

Djajasudarma. 2009. Semantik 2 – Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama.

Nadar, FX. 2009. Pragmatik & Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Yule, George. 2014. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai