Disfagia Kel 5 Fiks
Disfagia Kel 5 Fiks
“MANAJEMEN MENELAN”
DI SUSUN OLEH
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
tuntunannya, kami telah menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang
“MANAJEMEN MENELAN” yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
KEPERAWATAN PASIEN STROKE.
Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna,
oleh karena itu saya mengharapkan masukan dan kritikan yang membangun untuk
menyempurnakan makalah ini. Kami berharap hasil makalah ini dapat berma status nutrisi
teratasi dengan kriteria hasil nfaat bagi siapapun yang membutuhkannya. Semoga makalah
ini dapat melengkapi pengetahuan kita tentang MANAJEMEN MENELAN.
Kelompok 5
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 4
A. Latar Belakang................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah........................................................................................... 5
C. Tujuan.............................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 6
A. Anatomi Dan Fisiologi.................................................................................. 6
B. Disfagia.......................................................................................................... 9
1. Defenisi ................................................................................................... 9
2. Klasifikasi ............................................................................................... 10
3. Etiologi ................................................................................................... 12
4. Patofisologi ............................................................................................. 12
5. Manifestasi klinis .................................................................................... 14
6. Pemeriksaan penunjang .......................................................................... 14
7. Skrinning disfagia ................................................................................... 15
8. penanganan rehabilitasi penderita disfagia.............................................. 18
9. komplikasi ............................................................................................... 21
BAB III PENUTUP ................................................................................................. 23
A. Kesimpulan ............................................................................................ 23
B. Saran...................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 24
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Disfagia adalah kesulitan dalam menelan cairan dan atau makanan yang
disebabkan karena adanya gangguan pada proses menelan (Wemer, 2005). Gejala
gangguan menelan bervariasi dari yang paling ringan seperti rasa tidak nyaman di
kerongkongan hingga tidak mampu menelan makanan dan cairan.
Tanda dan gejala disfagia yang lain meliputi tidak mampu menahan air liur,
kesulitan mengunyah, makanan tertahan di mulut, memerlukan waktu lama saat
menelan, batuk, tersedak, suara serak, makanan melekat di kerongkongan, berat badan
menurun, rasa panas di dada atau heart burn, keluar makanan dari hidung, dan aspirasi
pneumonia.
Ditemukan sekitar 27% pasien stroke fase akut mengalami disfagia, atau
sekitar 40% bila dihitung termasuk pasien stroke yang mengalami penurunan tingkat
kesadaran, kondisi terminal, atau telah mengalami disfagia sebelumnya. Sebagian
besar pasien stroke berat memiliki indikasi adanya disfagia, seperti penurunan
kesadaran, ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari, mengalami
disartria, disfasia ekspresif, mendapat terapi anti depresan, memiliki masa lama rawat
di rumah sakit lebih lama, serta masih memerlukan perawatan lebih lanjut di rumah
setelah pulang dari rumah sakit (Westergren, Hallberg & Ohlsson, 1999).
Terdapat penelitian terkait yang membahas mengenai pengaruh latihan menelan
terhadap status fungsi menelan pasien disfagia. Menurut penelitian Mulyatsih (2009)
menunjukkan adanya perbedaan status fungsi menelan antara sebelum dan setelah
latihan menelan, rata-rata mean status fungsi menelan anatara sebelum dan setelah
dilakukan latihan menelan pada kelompok perlakuan lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan kelompok kontrol (p value= 0,02). Berdasarkan hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa latihan menelan dapat meningkatkan status fungsi menelan
pasien stroke dengan disfagia. Berdasarkan dari penjelasan diatas maka penulis
tertarik melakukan analisis terapi menelan pada pasien stroke dengan disfagia untuk
meningkatkan status fungsi menelan pasien.
B. RUMUSAN MASALAH
4
1.1 Apa saja anatomi dan fisiologi dari disfagia
1.2 Apa pengertian disfagia
1.3 Bagaimana penanganan rehabilitasi pada penderita disfagia?
C. TUJUAN
1.1 Mengetahui apa saja anatomi dan fisiologi disfagia
1.2 Mengetahui pengertian disfagia
1.3 Mengetahui penanganan rehabilitasi pada penderita disfagia
BAB II
5
PEMBAHASAN
6
bawah valekula adalah permukaan laringeal dari epiglotis. Epiglotis berfungsi
melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Persarafan motorik dan
sensorik daerah faring berasal dari pleksus faringealis. Pleksus ini dibentuk oleh
cabang faringeal dari n. vagus, cabang dari n. glossofaringeus dan serabut
simpatis. Dari pleksus faringealis keluar cabang-cabang untuk otot – otot faring
kecuali m. stilofaringeus yang dipersarafi langsung oleh cabang glosofaringeus.
c. Esofagus
Esofagus merupakan bagian saluran cerna yang menghubungkan hipofaring
dengan lambung. Bagian proksimalnya disebut introitus esofagus yang terletak
setinggi batas bawah kartilago krikoid atau setinggi vertebra servikal 6. Di dalam
perjalanannya dari daerah servikal, esofagus masuk ke dalam rongga toraks. Di
dalam rongga toraks , esofagus berada di mediastinum superior antara trakea dan
kolumna vertebra terus ke mediastinum posterior di belakang atrium kiri dan
menembus diafragma setinggi vertebra torakal 10 dengan jarak kurang lebih 3 cm
di depan vertebra. Akhirnya esofagus ini sampai di rongga abdomen dan bersatu
dengan lambung di daerah kardia.
Berdasarkan letaknya esofagus dibagi dalam bagian servikal, torakal dan
abdominal. Esofagus menyempit pada tiga tempat. Penyempitan pertama yang
bersifat sfingter terletak setinggi tulang rawan krikoid pada batas antara esofagus
dengan faring, yaitu tempat peralihan otot serat lintang menjadi otot polos.
Penyempitan kedua terletak di rongga dada bagian tengah, akibat tertekan
lengkung aorta dan bronkus utama kiri. Penyempitan ini tidak bersifat sfingter.
Penyempitan terakhir terletak pada hiatus esofagus diafragma yaitu tempat
esofagus berakhir pada kardia lambung. Otot polos pada bagian ini murni bersifat
sfingter.
Inervasi esofagus berasal dari dua sumber utama, yaitu saraf parasimpatis nervus
vagus dan saraf simpatis dari serabut-serabut ganglia simpatis servikalis inferior,
nervus torakal dan n. Splangnikus.
2. Fisiologi Menelan
Selama proses menelan, otot-otot diaktifkan secara berurutan dan secara teratur
dipicu dengan dorongan kortikal atau input sensoris perifer. Begitu proses menelan
dimulai, jalur aktivasi otot beruntun tidak berubah dari otot-otot perioral menuju ke
7
bawah. Jaringan saraf, yang bertanggung jawab untuk menelan otomatis ini, disebut
dengan pola generator pusat. Batang otak, termasuk nucleus tractus solitarius dan
nucleus ambigus dengan formatio retikularis berhubungan dengan kumpulan
motoneuron kranial, diduga sebagai pola generator pusat.
1) Fase Oral
2) Fase Faringeal
8
kebawah menuju faring untuk meluncurkan bolus kebawah. lidah dubantu oleh
dinding faringeal, yang melakukan gerakan untuk mendorong makanan
kebawah.
3) Fase Esophageal
Pada fase esophageal, bolus didorong kebawah oleh gerakan
peristaltik. Sphincter esophageal bawah relaksasi pada saat mulai menelan,
relaksasi ini terjadi sampai bolus makanan mencapai lambung. Tidak seperti
shincter esophageal bagian atas, sphincter bagian bawah membuka bukan
karena pengaruh otot-otot ekstrinsik.
Medulla mengendalikan reflek menelan involunter ini, meskipun
menelan volunter mungkin dimulai oleh korteks serebri. Suatu interval selama
8-20 detik mungkin diperlukan untuk kontraksi dalam menodorong bolus ke
dalam lambung.
B. DISFAGIA
1. Definisi
Disfagia berasal dari bahasa Yunani yaitu dys yang artinya sulit dan phagein
yang artinya memakan. Disfagia memiliki banyak definisi tetapi yang sering
digunakan adalah kesulitan dalam menggerakan makanan dari mulut ke dalam
lambung.
9
miastenia gravis, distrofi otot, dan poliomyelitis bulbaris. Keadaan ini memicu
peningkatan resiko tersedak minuman atau makanan yang tersangkut dalam trakea
atau bronkus (Price, 2006).
2. Klasifikasi
Disfagia diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu disfagia orofaring
(atau transfer dysphagia) dan disfagia esophagus.
a. Disfagia orofaring timbul dari kelainan di rongga mulut, faring, dan esofagus,
dapat disebabkan oleh stroke, penyakit Parkinson, kelainan neurologis,
oculopharyngeal muscular dystrophy, menurunnya aliran air liur, xerostomia,
masalah gigi, kelainan mukosa oral, obstruksi mekanik (keganasan, osteofi,
meningkatnya tonus sfingter esophagus bagian atas, radioterapi, infeksi, dan obat-
obatan (sedatif, antikejang, antihistamin).
b. Disfagia esofagus timbul dari kelainan di korpus esofagus, sfingter esofagus
bagian bawah, atau kardia gaster. Biasanya disebabkan oleh striktur esofagus,
keganasan esofagus, esophageal rings and webs, akhalasia, skleroderma, kelainan
motilitas spastik termasuk spasme esofagus difus dan kelainan motilitas esofagus
nonspesifik. Makanan biasanya tertahan beberapa saat setelah ditelan, dan akan
berada setinggi suprasternal notch atau di belakang sternum sebagai lokasi
obstruksi, regurgitasi oral atau faringeal, perubahan kebiasaan makan, dan
pneumonia berulang.
a. Disfagia Mekanik
Penyebab utama disfagia mekanik adalah sumbatan lumen esofagus oleh
massa tumor dan benda asing. Penyebab lain adalah akibat peradangan mukosa
esofagus, serta akibat penekanan lumen esofagus dari luar, misalnya oleh pembesaran
kelenjar timus, kelenjar tiroid, kelenjar getah bening di mediastinum, pembesaran
jantung, dan elongasi aorta.
b. Disfagia Motorik
Keluhan disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuscular yang
berperan dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di batang otak, kelainan saraf
10
otak nervus V, n.VII, n.IX, n.X dan n.XII, kelumpuhan otot faring dan lida serta
gangguan peristaltik esofagus dapat menyebabkan disfagia.
c. Disfagia Emosional
Keluhan disfagia dapat juga timbul karena terdapat gangguan emosi, atau
tekanan jiwa yang berat. Kelainan ini disebut globus histerikus. Disfagia juga dapat
diklasifikasikan dalam 3 tipe menurut tempat prosesnya :
1. Oral dysphagia
Disebabkan karena menurunnya kekuatan dan atau tidak normalnya
koordinasi pada otot-otot pada mulut dan lidah yang menyebabkan pasien
tidak dapat mengumpulkan dan memposisikan makanan dalam mulut untuk
disiapkan untuk ditelan.
2. Pharyngeal dysphagia
Fungsi persarafan dan koordinasi otot sudah memburuk yang dapat
menghambat proses menelan atau reflek menelan tidak baik sehingga dapat
terjadi aspirasi atau masuknya material makanan ke dalam saluran
pernafasan.
3. Oesophageal dysphagia
Disebabkan karena kerusakan atau penurunan fungsi pada esophagus
atau sfingter esophagus pada lambung yang biasanya karena gangguan refluk
gastro-esofagal atau penyempitan lumen oleh karena massa atau tumor di
daerah oesofagus dan sekitarnya (Widiyanto, 2015).
3. Etiologi
Disfagia berhubungan dengan kesulitan makan akibat gangguan dalam proses
menelan. Kesulitan menelan dapat terjadi pada semua kelompok usia, akibat dari
kelainan kongenital, kerusakan struktur, dan/atau kondisi medis tertentu. Masalah
dalam menelan merupakan keluhan yang umum didapat di antara orang berusia lanjut,
dan insiden disfagia lebih tinggi pada orang beruusia lanjut dan pasien stroke. Kurang
lebih 51 – 73 % pasien stroke menderita disfagia. Penyebab lain dari disfagia
termasuk keganasan kepala – leher, penyakit neurologic progresif seperti penyakit
Parkinson, multiple sclerosis, atau amyotrophic lateral sclerosis, scleroderma,
achalasia, spasme esophagus difus, lower esophageal ( Schatzki ) ring, striktur
esophagus, dan keganasan esophagus. Disfagia merupakan gejala dari berbagai
penyebab yang berbeda, yang biasanya dapat ditegakkan diagnosannya dengan
11
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya, diantarannya
pemeriksaan radiologi dengan barium, CT scan, dan MRI.
4. Patofisiologi
Klasifikasi Disfagia. Disfagia diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu
Disfagia orofaring (atau transfer dysphagia) dan disfagia esofagus.
a) Disfagia orofaring
Disfagia orofaring timbul dari kelainan di rongga mulut, faring, dan
esofagus, dapat disebabkan oleh stroke, penyakit Parkinson, kelainan
neurologis, oculopharyngeal muscular dystrophy, menurunnya aliran air liur,
xerostomia, masalah gigi, kelainan mukosa oral, obstruksi mekanik
(keganasan, osteofi, meningkatnya tonus sfingter esophagus bagian atas,
radioterapi, infeksi, dan obat-obatan (sedatif, antikejang, antihistamin). Gejala
disfagia orofaring yaitu kesulitan menelan, termasuk ketidakmampuan untuk
mengenali makanan, kesukaran meletakkan makanan di dalam mulut,
ketidakmampuan untuk mengontrol makanan dan air liur di dalam mulut,
kesukaran untuk mulai menelan, batuk dan tersedak saat menelan, penurunan
berat badan yang tidak jelas penyebabnya adalah perubahan kebiasaan makan,
pneumonia berulang, perubahan suara (suara basah), regurgitasi nasal . Setelah
pemeriksaan, dapat dilakukan pengobatan dengan teknik postural, swallowing
maneuvers, modifikasi diet, modifikasi lingkungan, oral sensory awareness
technique, vitalstim therapy, dan pembedahan. Bila tidak diobati, disfagia
dapat menyebabkan pneumonia aspirasi, malnutrisi, atau dehidrasi.
b) Disfagia esophagus
12
disfagia makanan padat, tetapi selanjutnya disertai disfagia makanan cair,
maka kemungkinan besar merupakan suatu obstruksi mekanik. Setelah dapat
dibedakan antara masalah motilitas dan obstruksi mekanik, penting
untuk memperhatikan apakah disfagianya sementara atau progresif. Disfagia
motilitas sementara dapat disebabkan spasme esofagus difus atau kelainan
motilitas esofagus nonspesifik. Disfagia motilitas progresif dapat disebabkan
scleroderma atau akhalasia dengan rasa panas di daerah ulu hati yang kronis,
regurgitasi,masalah respirasi, atau penurunan berat badan. Disfagia mekanik
sementara dapat disebabkan esophageal ring. Dan disfagia mekanik progresif
dapat disebabkan oleh striktur esofagus atau keganasan esofagus. Bila sudah
dapat disimpulkan bahwa kelainannya adalah disfagia esofagus, maka langkah
selanjutnya adalah dilakukan pemeriksaan barium atau endoskopi bagian atas.
Pemeriksaan barium harus dilakukan terlebih dahulu sebelum endoskopi untuk
menghindari perforasi. Bila dicurigai adanya akhalasia pada pemeriksaan
barium, selanjutnya dilakukan manometri untuk menegakkan diagnosa
akhalasia.
5. Manifestasi Klinis
Disfagia Oral atau faringeal Disfagia Esophageal
- Batuk atau tersedak saat menelan - Sensasi makanan tersangkut di
- Kesulitan pada saat mulai tenggorokan atau dada
menelan - Regurgitasi Oral atau faringeal
13
- Makanan lengket di - Perubahan pola makan
kerongkongan - Pneumonia rekuren
- Sialorrhea
- Penurunan berat badan
- Perubahan pola makan
- Pneumonia berulang
- Perubahan suara (wet voice)
- Regusgitasi Nasal
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang bisa digunakan untuk mendiagnosis gangguan menelan
ialah: videofluorographic swal- lowing study (VFSS), fiberoptic endoscopic
evaluation of swallowing (FEES), dan ultrasonografi.
a. Videofluorographi swallowing study (VFSS)
Videofluorographic swallowing study merupakan baku emas untuk
mengevaluasi proses menelan. Pada pemeriksaan ini penderita diminta untuk
duduk dengan nyaman dan diberikan makanan yang dicampur barium agar
tampak radiopak. Saat penderita sedang makan dan minum dilakukan
observasi gambaran radiologik pada monitor video dan direkam.
b. Fiberoptic Endoscopic Evaluation Of Swallowing (FEES)
FEES merupakan suatu laringoskop transnasal yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi fungsi laring, menilai jumlah residu
hipofaringeal, dan mengobservasi ada tidaknya aspirasi. Endoskop
dimasukan melalui hidung melewati nasofaring dan ditempatkan di dalam
laringofaring di atas pita suara palsu. Bolus berbentuk cair dan padat diberi
warna hijau sehingga mudah dilihat.
c. Ultrasonografi
Ultrasonografi digunakan untuk menilai fungsi oral saja, yaitu fungsi
lidah dan oral transit time; juga gerakan tulang hioid. Metode ini merupakan
14
suatu pemeriksaan yang noninvasif dan hanya menggunakan cairan dan
makanan biasa.
d. Endoskopi ultrasound
1) Menilai anatomi dan fisiologi otot faring / esophagus, deteksi sumbatan
oleh karena tumor, struktur , web, akalasia, diverticulum.
2) Kelainan anatomi di kepala, leher dan dada.
3) Deteksi tumor, kelainan vaskuler/ stroke, degenerative proses diotak
4) Menilai keadaan dan pergerakan otot laring
5) Menilai lumen esophagus, biopsy
6) Menilai lesi submukosa
e. Transnasal Esophagoscopy
sesuai untuk kasus divertikula esophagus atau tumor.
f. Electromyography
Lebih sering digunakan untuk penelitian mengevaluasi fungsi mioelektrik.
7. Skrining disfagia
Esesmen klinis berupa skrining disfagia merupakan tindakan yang essensial
untuk penatalaksanaan pasien stroke akut di Unit stroke RSCM. Esesmen
dilaksanakan berdasarkan SOP (“standard operating prosedur”), saat pasien baru
datang di SU sesudah tindakan ABC untuk kegawat daruratan dilaksanakan. Esesmen
dilakukan berdasarkan modifikasi dari The Massey bedside swallowing screen.
Skrining disfagia ini dilakukan secara “bed-side” yang terdiri atas 3 langkah.
Sebelumnya sebaiknya disediakan “suction”. Untuk persiapan tes terlebih dahulu
atur posisi pasien. Pasien duduk bersandar dengan elevasi kepala 60 derajat, dengan
kepala ditekuk kesisi sehat
15
sisa air yang tidak seluruhnya dapat ditelan. Keadaan ini dideteksi dengan
meminta pasien mengucapkan suara “aaaah”. Diawasi apakah pasien
mengeluarkan suara basah/ ”gurgly”, batuk/tersedak atau penurunan 2% nilai
saturasi oksigen. Bila hal ini terjadi, skrining harus dhentikan dan kalau perlu
dilakukan “suction”. Bila (-) atau tidak ada tanda tersebut diatas skrining
dilanjutkan
- Langkah 3: pemberian kira2 setengah gelas air (20cc). Pasien diperbolehkan
menelannya secara perlahan dan bertahap namun dapat menghabiskan air
tersebut.
16
b. Gerak kebawah dan kedorsal epiglottis untuk menutup pintu
laryng Menelan umumnya terjadi saat ekspirasi yang didahului periode
apnea. Proses ini dipersyarafi oleh NIX, X, XI dan XII.
4. Tahap oesophageal. Tahap ini dimulai saat bolus melewati sphingter oesophageal
dan otot cricopharyngeal. Bolus kemudian melewati tabung oesophageal untuk
memasuki lambung. Tahap ini umumnya 3-20 detik dan memanjang pada umur
tua. Proses ini diatur oleh NIX dan X.
Lokasi lesi pada kasus stroke terbanyak adalah berupa lesi pada jalur kortiko-bulbar.
Ini mengakibatkan fungsi kontrol terhadap proses menelan terganggu. Pada keadaan ini
fungsi refleks dengan jalur melalui Lower Motor Neuron (LMN) adalah intak atau
malah mungkin berlebihan. Secara klinis akan ditemukan kesukaran untuk membentuk
bolus (“fine motor movement”), akan tetapi proses menelan yang merupakan gerak kasar
(“crude untailored swallow”) berupa elevasi dan penutupan laryng serta pembukaan
oesophagus atas masih mungkin sebagai respons terhadap adanya stimulasi bolus pada
laryng dan oropharyng.Secara khusus hal ini berhubungan dengan keadaan disarthria dan
disfonia.
Selain itu kasus stroke dengan lokasi lesi kortikal sering terdapat gejala apraksia bibir
dan lidah. Hal ini tidak terjadi bila lesi terdapat pada daerah bulbar. Terjadi keadaan
denervasi pada struktur menelan terutama otot-otot laryng dan supra hyoid. Hal ini
mengakibatkan terjadi paralise pita suara, arytenoid dan epiglottis pada salah satu sisi.
Akibatnya laryng tidak dapat menutup secara adekwat sehingga bolus makanan dengan
bebas dapat masuk kejalan nafas. Hal ini juga menyebabkan tidak terjadi fonasi dan
tidak dapat terjadi aposisi pita suara. Laryng yang tidak dapat menutup menyebabkan
terjadi aspirasi. Batuk menjadi tidak effektif karena paresis pita suara. Akibatnya
penderita tidak dapat menelan karena sphincter oesophagus tidak dapat membuka.
Kontrol respirasi pada tahap apnea yang didahului ekspirasi saat melahap juga penting.
Bila terganggu akan terdapat risiko terjadi inhalasi.
17
modifikasi diet, com- pensatory swallowing maneuver, teknik untuk
memperbaiki oral sensory aware- ness, stimulasi elektrik, terapi latihan, dan
penyesuaian peralatan yang digunakan.
a. Teknik postural
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa perubahan postur kepala dan
tubuh dapat mengeliminasi terjadinya aspirasi pada penderita disfagia.
Sebaiknya terapis harus mengetahui secara tepat gangguan anatomi dan fisiologik
yang dialami penderita sebelum menentukan postur yang tepat. Beberapa teknik
postural yang di- gunakan yaitu: chin down atau chin tuck, chin up, head
rotation, head tilt, dan lyingdown.
b. Modifikasi volume dan kecepatan pemberian makanan
Pada penderita dengan keterlambatan dalam pemicuan fase faringeal, bolus
yang besar akan membantu terjadinya triggering. Pada penderita yang
mengalami gangguan fase faringeal sendiri membutuhkan 2-3 kali menelan
untuk setiap bolus. Pemberian makanan dalam jumlah terlalu banyak dan terlalu
cepat akan menyebabkan terkum- pulnya bolus di dalam laring dan menye-
babkan aspirasi sedangkan pemberian makanan dalam jumlah sedikit dan secara
lambat akan mengurangi terjadinya aspirasi.
c. Modifikasi diet
Modifikasi tekstur bolus sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya
aspirasi. Makanan dengan konsistensi cair lebih sulit dikontrol dan lebih mudah
menyebabkan aspirasi karena dapat mengalir langsung ke dalam faring sebelum
terjadinya refleks menelan. Bolus yang lebih kental atau makanan padat
lunak lebih aman karena kemungkinan untuk masuk dalam pintu laring lebih
kecil. Selain itu, bolus yang lebih kental meningkatkan pergerakan lidah dan
membantu mempercepat terjadinya inisiasi fase faringeal.
Rekomendasi lain yaitu makanan dalam jumlah sedikit dengan frekuensi
pemberian lebih sering dan mengandung tinggi kalori dan tinggi protein.
Makanan diberikan dalam jumlah sedikit, ½ sampai 1 sendok teh setiap kali
menelan. Penderita juga diminta untuk tidak makan sambil berbicara. Bila
menggunakan makanan kental, makanan dengan kekentalan seperti madu yang
dapat dijadikan pilihan.
d. Compensatory swallowing maneuver
18
M
anuver menelan dirancang untuk menempatkan bagian tertentu dari
2,19
proses menelan normal dibawah kontrol volunter yang meliputi:
Effortful swallow
Supraglotic swallow
Super-supraglotic swallow
Dirancang untuk menutup pintu masuk jalan napas secara volunter dengan
mengangkat kartilago aritenoid ke anterior, ke bagian dasar dari epiglotis
sebelum dan selama proses menelan serta menutup erat pita suara palsu.
Mandehlson maneuever
19
3. Memberikan bolus yang harus dikunyah sehingga proses mengunyah
tersebut akan memberikan stimulasi oral.
4. Memberikan volume bolus yang besar.
5. Thermal tactile stimulation (TTS) dengan melakukan gerakan stroking pada
arkus faringeus anterior. Stroking dilakukan menggunakan kaca laring
berukuran 00 (telah dimasukan dalan es selama ±10 detik) pada arkus faringeus
anterior dari bagian dasar ke arah atas sejauh yang bisa dijangkau. Terapi ini
diangap bisa memberikan stimulus sensorik ke batang otak dan korteks sehingga
saat penderita sudah mulai fase oral, maka fase faringeal akan terpicu lebih
cepat.
f. Stimulasi elektrikal
g. Terapi latihan
10. Komplikasi
20
Disfagia adalah kondisi yang kompleks yang memiliki pengaruh besar pada
kehidupan pasien. Pasien yang mengalami disfagia masalah yang sering ditemukan
adalah kehilangan nafsu makan serta penurunan berat badan yang diakibatkan oleh
asupan nutrisi yang berkurang. Dalam manejemen gizi pada pasien yang mengalami
disfagia harus lebih diperhatikan lagi tentang cara penyediaan makanan bergizi yang
sesuai dengan kebutuhan tubuh pasien agar komplikasi seperti terjadinya aspirasi dapat
dihindari (Collier, 2009).
Menurut World Stroke Academy (2012) Ada tiga komplikasi mayor pada gangguan
menelan,yaitu :
a. Aspirasi
Aspirasi terjadi ketika makanan atau cairan atau saliva masuk kedalam saluran
pernafasan setelah level pita suara.Manifestasi klinisnya berupa batuk, perasaan
seperti tercekik (choking), dan kesulitan bernafas. Pada penderita stroke kadang
keadaan aspirasi tidak tampak menunjukkan tanda dan gejala (Silent Aspirasi),
maka perlu suatu pemeriksaan FEES.
b. Pneumonia Aspirasi
Keadaan infeksi paru-paru oleh karena aspirasi. Kejadian kebanyakan pada
usia diatas 65 tahun, stroke dengan gangguan bicara, kelumpuhan yang parah,
gangguan kognitif, dan gangguan menelan. Manifestasi klinisnya berupa : Panas,
produksi secret yang berlebihan atau suara ronchi, sesak nafas sampai dengan
gangguan irama nafas, Kualitas Analisa Gas Darah yang jelek, penurunan
kesadaran. Diagnosa dapat ditegakkan dengan x-ray pada thorax dan sputum
kultur untuk penentuan antibiotic yang tepat .
c. Malnutrisi
Keadaan terganggunya kualitas status gizi pasien karena kurangnya asupan
nutrisi. Tingkat insidensi pada pasien stroke yang dirawat di Rumah Sakit kisaran
8,2 – 49%. Manifestasi Klinis: kehilangan berat badan dan indeks masa tubuh,
nilai abnormal hasil laborat yang menggambarkan biokimia tubuh (: albumin,
elektrolit, dll), lithargi, dan kesulitan konsentrasi.
d. Dehidrasi
Keadaan kurangnya volume cairan tubuh secara keseluruhan
C. Konsep Dasar Keperawan
21
a. Diagnosa
1. Gangguan menelan berhubungan dengan gangguan saraf kranialis
(D.0063).
2. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan
makanan (D.0063).
b. Intervensi
Kolaborasi
- Kolaborasi
pemberian obat
(misalnya
analgesic,antieme
tik), sesui
indikasi
22
berhubungan keperawatan 3x24 jam Observasi
dengan diharapkan status nutrisi - Identifikasi status
ketidakmamp membaik dengan kriteria nutrisi
uan menelan hasil: - Identifikasi
perlunya
makanan 1. Posrsi makanan yang
penggunaan
(D.0063). dihabiskan selang
meningkat (5) nasogastric
- Monitor asupan
2. Kekuatan otot
makanan
mengunya - Monitor berat
meningkat (5) badan
3. Kekuatan otot Terapeutik
menelan cukup
- Lakukan oral
meningkat (4)vas hyglane sebelum
4. Vasilitasi keinginan makan, jika perlu
- Berikan makanan
untuk meningkatkan
tinggi serat untuk
nutrisi meningkat (5) mencega
konstipasi berikan
suplemen makana
jika perlu
Edukasi
- Anjurkan posisi
duduk, jika
mampu
Kolaborasi
- Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumla
kalori dan jenis
nutrient yang
dibutukan , jika
perlu.
23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fase menelan :
Oral
Faringeal
Esophageal
Klasifikasi Disfagia :
Orofaring
Esophagus
B. Saran
Dalam pembuatan makalah masih ada beberapa kesalahan yang belum sempurna
dikerjakan. Akan tetapi, diharapkan pada seluruh mahasiswa supaya tetap memperhatikan
tahap-tahap penyusunannya. Dan diharapkan pula makalah ini dapat membantu bagi yang
membacanya.
24
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Bayu Fandhi dkk. 2017. Perbedaan Efektivitas Terapi Menelan Berdasarkan
Karakteristik Demografi Pasien Disfagia Stroke. Journal Keperawatan Klinis dan Komunitas
Vol 1 (2): 120-130
Nayoan, Christin Rony. 2017. Gambaran Penderita Disfagia yang menjalani Pemeriksaan
Fiberoptic Endocopic Evaluation Of Swallowing. Journal Kesehatan Tadulako Vol 3 (2): 47-
56
Rasyid, Misbach dan Harris. 2015. Komplikasi Medis dan Tatalaksana. Jakarta:FKUI
25