Anda di halaman 1dari 25

KEPERAWATAN PASIEN STROKE

“MANAJEMEN MENELAN”

DI SUSUN OLEH

Elvira Manik Lumembang (C1814201115)

Gresela Anjeli Pattikayhatu (C1814201072)

Ratna Titha Nanggali (C1814201141)

Rismawati Irma (C1814201038)

Saferinus Lagu (C1814201039)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STELLA MARIS MAKASSAR

PROGRAM STUDI S1 REGULER

TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
tuntunannya, kami telah menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang
“MANAJEMEN MENELAN” yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
KEPERAWATAN PASIEN STROKE.

Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna,
oleh karena itu saya mengharapkan masukan dan kritikan yang membangun untuk
menyempurnakan makalah ini. Kami berharap hasil makalah ini dapat berma status nutrisi
teratasi dengan kriteria hasil nfaat bagi siapapun yang membutuhkannya. Semoga makalah
ini dapat melengkapi pengetahuan kita tentang MANAJEMEN MENELAN.

Makassar, 8 agustus 2021

Kelompok 5

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... 4
A. Latar Belakang................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah........................................................................................... 5
C. Tujuan.............................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 6
A. Anatomi Dan Fisiologi.................................................................................. 6
B. Disfagia.......................................................................................................... 9
1. Defenisi ................................................................................................... 9
2. Klasifikasi ............................................................................................... 10
3. Etiologi ................................................................................................... 12
4. Patofisologi ............................................................................................. 12
5. Manifestasi klinis .................................................................................... 14
6. Pemeriksaan penunjang .......................................................................... 14
7. Skrinning disfagia ................................................................................... 15
8. penanganan rehabilitasi penderita disfagia.............................................. 18
9. komplikasi ............................................................................................... 21
BAB III PENUTUP ................................................................................................. 23
A. Kesimpulan ............................................................................................ 23
B. Saran...................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 24

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Disfagia adalah kesulitan dalam menelan cairan dan atau makanan yang
disebabkan karena adanya gangguan pada proses menelan (Wemer, 2005). Gejala
gangguan menelan bervariasi dari yang paling ringan seperti rasa tidak nyaman di
kerongkongan hingga tidak mampu menelan makanan dan cairan.
Tanda dan gejala disfagia yang lain meliputi tidak mampu menahan air liur,
kesulitan mengunyah, makanan tertahan di mulut, memerlukan waktu lama saat
menelan, batuk, tersedak, suara serak, makanan melekat di kerongkongan, berat badan
menurun, rasa panas di dada atau heart burn, keluar makanan dari hidung, dan aspirasi
pneumonia.
Ditemukan sekitar 27% pasien stroke fase akut mengalami disfagia, atau
sekitar 40% bila dihitung termasuk pasien stroke yang mengalami penurunan tingkat
kesadaran, kondisi terminal, atau telah mengalami disfagia sebelumnya. Sebagian
besar pasien stroke berat memiliki indikasi adanya disfagia, seperti penurunan
kesadaran, ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari, mengalami
disartria, disfasia ekspresif, mendapat terapi anti depresan, memiliki masa lama rawat
di rumah sakit lebih lama, serta masih memerlukan perawatan lebih lanjut di rumah
setelah pulang dari rumah sakit (Westergren, Hallberg & Ohlsson, 1999).
Terdapat penelitian terkait yang membahas mengenai pengaruh latihan menelan
terhadap status fungsi menelan pasien disfagia. Menurut penelitian Mulyatsih (2009)
menunjukkan adanya perbedaan status fungsi menelan antara sebelum dan setelah
latihan menelan, rata-rata mean status fungsi menelan anatara sebelum dan setelah
dilakukan latihan menelan pada kelompok perlakuan lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan kelompok kontrol (p value= 0,02). Berdasarkan hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa latihan menelan dapat meningkatkan status fungsi menelan
pasien stroke dengan disfagia. Berdasarkan dari penjelasan diatas maka penulis
tertarik melakukan analisis terapi menelan pada pasien stroke dengan disfagia untuk
meningkatkan status fungsi menelan pasien.
B. RUMUSAN MASALAH

4
1.1 Apa saja anatomi dan fisiologi dari disfagia
1.2 Apa pengertian disfagia
1.3 Bagaimana penanganan rehabilitasi pada penderita disfagia?

C. TUJUAN
1.1 Mengetahui apa saja anatomi dan fisiologi disfagia
1.2 Mengetahui pengertian disfagia
1.3 Mengetahui penanganan rehabilitasi pada penderita disfagia

BAB II

5
PEMBAHASAN

A. Anatomi dan Fisiologi


1. Anatomi
a. Rongga mulut
Bibir dan pipi terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang
dipersarafi oleh saraf fasialis. Ruangan di antara mukosa pipi bagian dalam dan
gigi adalah vestibulum oris. Palatum dibentuk oleh tulang dari palatum durum di
bagian depan dan sebagian besar dari otot palatum mole di bagian belakang. Dasar
mulut di antara lidah dan gigi terdapat kelenjar sublingual dan bagian dari kelenjar
submandibula.
Muara duktus sub mandibularis terletak di depan dari frenulum lidah. Lidah
merupakan organ muskular yang aktif. Dua pertiga depan dapat digerakkan,
sedangkan pangkalnya terfiksasi. Korda timpani mempersarafi cita rasa lidah
duapertiga bagian depan dan n. glossofaringeus pada sepertiga lidah bagian
belakang.
b. Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong
dimulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra
servikal. Faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana dan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan
laring berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan
esofagus. Otot-otot faring tersusun dalam lapisan memanjang (longitudinal) dan
melingkar (sirkular). Otot-otot yang sirkuler terdiri dari m. konstriktor faring
superior, media dan inferior. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian
bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Di sebelah depan,
otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di bagian belakang bertemu pada jaringan
ikat yang disebut rafe faring. Batas hipofaring di sebelah superior adalah tepi atas
epiglotis, batas anterior adalah laring, batas posterior ialah vertebra servikal serta
esofagus di bagian inferior. Pada pemeriksaan laringoskopi struktur pertama yang
tampak di bawah dasar lidah adalah valekula.
Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum
glossoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Di

6
bawah valekula adalah permukaan laringeal dari epiglotis. Epiglotis berfungsi
melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Persarafan motorik dan
sensorik daerah faring berasal dari pleksus faringealis. Pleksus ini dibentuk oleh
cabang faringeal dari n. vagus, cabang dari n. glossofaringeus dan serabut
simpatis. Dari pleksus faringealis keluar cabang-cabang untuk otot – otot faring
kecuali m. stilofaringeus yang dipersarafi langsung oleh cabang glosofaringeus.
c. Esofagus
Esofagus merupakan bagian saluran cerna yang menghubungkan hipofaring
dengan lambung. Bagian proksimalnya disebut introitus esofagus yang terletak
setinggi batas bawah kartilago krikoid atau setinggi vertebra servikal 6. Di dalam
perjalanannya dari daerah servikal, esofagus masuk ke dalam rongga toraks. Di
dalam rongga toraks , esofagus berada di mediastinum superior antara trakea dan
kolumna vertebra terus ke mediastinum posterior di belakang atrium kiri dan
menembus diafragma setinggi vertebra torakal 10 dengan jarak kurang lebih 3 cm
di depan vertebra. Akhirnya esofagus ini sampai di rongga abdomen dan bersatu
dengan lambung di daerah kardia.
Berdasarkan letaknya esofagus dibagi dalam bagian servikal, torakal dan
abdominal. Esofagus menyempit pada tiga tempat. Penyempitan pertama yang
bersifat sfingter terletak setinggi tulang rawan krikoid pada batas antara esofagus
dengan faring, yaitu tempat peralihan otot serat lintang menjadi otot polos.
Penyempitan kedua terletak di rongga dada bagian tengah, akibat tertekan
lengkung aorta dan bronkus utama kiri. Penyempitan ini tidak bersifat sfingter.
Penyempitan terakhir terletak pada hiatus esofagus diafragma yaitu tempat
esofagus berakhir pada kardia lambung. Otot polos pada bagian ini murni bersifat
sfingter.
Inervasi esofagus berasal dari dua sumber utama, yaitu saraf parasimpatis nervus
vagus dan saraf simpatis dari serabut-serabut ganglia simpatis servikalis inferior,
nervus torakal dan n. Splangnikus.
2. Fisiologi Menelan

Selama proses menelan, otot-otot diaktifkan secara berurutan dan secara teratur
dipicu dengan dorongan kortikal atau input sensoris perifer. Begitu proses menelan
dimulai, jalur aktivasi otot beruntun tidak berubah dari otot-otot perioral menuju ke

7
bawah. Jaringan saraf, yang bertanggung jawab untuk menelan otomatis ini, disebut
dengan pola generator pusat. Batang otak, termasuk nucleus tractus solitarius dan
nucleus ambigus dengan formatio retikularis berhubungan dengan kumpulan
motoneuron kranial, diduga sebagai pola generator pusat.

Tiga Fase Menelan


Deglutition adalah tindakan menelan, dimana bolus makanan atau
cairan dialirkan dari mulut menuju faring dan esofagus ke dalam lambung.
Deglutition normal adalah suatu proses halus terkoordinasi yang melibatkan
suatu rangkaian rumit kontraksi neuromuskuler valunter dan involunter dan
dan dibagi menjadi bagian yang berbeda: (1) oral, (2) faringeal, dan (3)
esophageal. Masing-masing fase memiliki fungsi yang spesifik, dan, jika
tahapan ini terganggu oleh kondisi patologis, gejala spesifik dapat terjadi.

1) Fase Oral

Fase persiapan oral merujuk kepada pemrosesan bolus sehingga


dimungkinkan untuk ditelan, dan fase propulsif oral berarti pendorongan
makanan dari rongga mulut ke dalam orofaring. Prosesnya dimulai dengan
kontraksi lidah dan otot-otot rangka mastikasi. Otot bekerja dengan cara yang
berkoordinasi untuk mencampur bolus makanan dengan saliva dan dan
mendorong bolus makanan dari rongga mulut di bagian anterior ke dalam
orofaring, dimana reflek menelan involunter dimulai.

Cerebellum mengendalikan output untuk nuklei motoris nervus


kranialis V (trigeminal), VII (facial), dan XII (hypoglossal). Dengan menelan
suatu cairan, keseluruhan urutannya akan selesai dalam 1 detik. Untuk
menelan makanan padat, suatu penundaaan selama 5-10 detik mungkin terjadi
ketika bolus berkumpul di orofaring.

2) Fase Faringeal

Fase faringeal adalah sangat penting karena, tanpa mekanisme


perlindungan faringeal yang utuh, aspirasi paling sering terjadi pada fase ini.
Fase ini melibatkan rentetan yang cepat dari beberapa kejadian yang saling
tumpang tindih. Palatum mole terangkat. Tulang hyoid dan laring bergerak
keatas dan kedepan. Pita suara bergerak ke tengah, dan epiglottis melipat ke
belakang untuk menutupi jalan napas. Lidah mendorong kebelakang dan

8
kebawah menuju faring untuk meluncurkan bolus kebawah. lidah dubantu oleh
dinding faringeal, yang melakukan gerakan untuk mendorong makanan
kebawah.

Sphincter esophageal atas relaksasi selama fase faringeal untuk


menelan dan dan membuka oleh karena pergerakan os hyoid dan laring
kedepan. Sphincter akan menutup setelah makanan lewat, dan struktur
faringeal akan kembali ke posisi awal.

Fase faringeal pada proses menelan adalah involunter dan kesemuanya


adalah reflek, jadi tidak ada aktivitas faringeal yang ter jadi sampai reflek
menelan dipicu. Reflek ini melibatkan traktus sensoris dan motoris dari nervus
kranialis IX (glossofaringeal) dan X (vagus).

3) Fase Esophageal
Pada fase esophageal, bolus didorong kebawah oleh gerakan
peristaltik. Sphincter esophageal bawah relaksasi pada saat mulai menelan,
relaksasi ini terjadi sampai bolus makanan mencapai lambung. Tidak seperti
shincter esophageal bagian atas, sphincter bagian bawah membuka bukan
karena pengaruh otot-otot ekstrinsik.
Medulla mengendalikan reflek menelan involunter ini, meskipun
menelan volunter mungkin dimulai oleh korteks serebri. Suatu interval selama
8-20 detik mungkin diperlukan untuk kontraksi dalam menodorong bolus ke
dalam lambung.
B. DISFAGIA
1. Definisi

Disfagia berasal dari bahasa Yunani yaitu dys yang artinya sulit dan phagein
yang artinya memakan. Disfagia memiliki banyak definisi tetapi yang sering
digunakan adalah kesulitan dalam menggerakan makanan dari mulut ke dalam
lambung.

Disfagia adalah kesulitan menelan. Seseorang dapat mengalami kesulitan


menggerakkan makanan dari bagian atas tenggorokan ke dalam kerongkongan
karena adanya kelainan di tenggorokan.
Disfagia sering disebabkan oleh penyakit otot dan neurologis. Penyakit ini
adalah gangguan peredaran darah otak (stroke, penyakit serebrovaskuler),

9
miastenia gravis, distrofi otot, dan poliomyelitis bulbaris. Keadaan ini memicu
peningkatan resiko tersedak minuman atau makanan yang tersangkut dalam trakea
atau bronkus (Price, 2006).

2. Klasifikasi
Disfagia diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu disfagia orofaring
(atau transfer dysphagia) dan disfagia esophagus.
a. Disfagia orofaring timbul dari kelainan di rongga mulut, faring, dan esofagus,
dapat disebabkan oleh stroke, penyakit Parkinson, kelainan neurologis,
oculopharyngeal muscular dystrophy, menurunnya aliran air liur, xerostomia,
masalah gigi, kelainan mukosa oral, obstruksi mekanik (keganasan, osteofi,
meningkatnya tonus sfingter esophagus bagian atas, radioterapi, infeksi, dan obat-
obatan (sedatif, antikejang, antihistamin).
b. Disfagia esofagus timbul dari kelainan di korpus esofagus, sfingter esofagus
bagian bawah, atau kardia gaster. Biasanya disebabkan oleh striktur esofagus,
keganasan esofagus, esophageal rings and webs, akhalasia, skleroderma, kelainan
motilitas spastik termasuk spasme esofagus difus dan kelainan motilitas esofagus
nonspesifik. Makanan biasanya tertahan beberapa saat setelah ditelan, dan akan
berada setinggi suprasternal notch atau di belakang sternum sebagai lokasi
obstruksi, regurgitasi oral atau faringeal, perubahan kebiasaan makan, dan
pneumonia berulang.

Berdasarkan penyebabnya, disfagia secara umum dibagi atas disfagia mekanik,


disfagia motorik, disfagia oleh gangguan emosi.

a. Disfagia Mekanik
Penyebab utama disfagia mekanik adalah sumbatan lumen esofagus oleh
massa tumor dan benda asing. Penyebab lain adalah akibat peradangan mukosa
esofagus, serta akibat penekanan lumen esofagus dari luar, misalnya oleh pembesaran
kelenjar timus, kelenjar tiroid, kelenjar getah bening di mediastinum, pembesaran
jantung, dan elongasi aorta.
b. Disfagia Motorik
Keluhan disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuscular yang
berperan dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di batang otak, kelainan saraf

10
otak nervus V, n.VII, n.IX, n.X dan n.XII, kelumpuhan otot faring dan lida serta
gangguan peristaltik esofagus dapat menyebabkan disfagia.
c. Disfagia Emosional
Keluhan disfagia dapat juga timbul karena terdapat gangguan emosi, atau
tekanan jiwa yang berat. Kelainan ini disebut globus histerikus. Disfagia juga dapat
diklasifikasikan dalam 3 tipe menurut tempat prosesnya :
1. Oral dysphagia
Disebabkan karena menurunnya kekuatan dan atau tidak normalnya
koordinasi pada otot-otot pada mulut dan lidah yang menyebabkan pasien
tidak dapat mengumpulkan dan memposisikan makanan dalam mulut untuk
disiapkan untuk ditelan.
2. Pharyngeal dysphagia
Fungsi persarafan dan koordinasi otot sudah memburuk yang dapat
menghambat proses menelan atau reflek menelan tidak baik sehingga dapat
terjadi aspirasi atau masuknya material makanan ke dalam saluran
pernafasan.
3. Oesophageal dysphagia
Disebabkan karena kerusakan atau penurunan fungsi pada esophagus
atau sfingter esophagus pada lambung yang biasanya karena gangguan refluk
gastro-esofagal atau penyempitan lumen oleh karena massa atau tumor di
daerah oesofagus dan sekitarnya (Widiyanto, 2015).
3. Etiologi
Disfagia berhubungan dengan kesulitan makan akibat gangguan dalam proses
menelan. Kesulitan menelan dapat terjadi pada semua kelompok usia, akibat dari
kelainan kongenital, kerusakan struktur, dan/atau kondisi medis tertentu. Masalah
dalam menelan merupakan keluhan yang umum didapat di antara orang berusia lanjut,
dan insiden disfagia lebih tinggi pada orang beruusia lanjut dan pasien stroke. Kurang
lebih 51 – 73 % pasien stroke menderita disfagia. Penyebab lain dari disfagia
termasuk keganasan kepala – leher, penyakit neurologic progresif seperti penyakit
Parkinson, multiple sclerosis, atau amyotrophic lateral sclerosis, scleroderma,
achalasia, spasme esophagus difus, lower esophageal ( Schatzki ) ring, striktur
esophagus, dan keganasan esophagus. Disfagia merupakan gejala dari berbagai
penyebab yang berbeda, yang biasanya dapat ditegakkan diagnosannya dengan

11
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya, diantarannya
pemeriksaan radiologi dengan barium, CT scan, dan MRI.
4. Patofisiologi
Klasifikasi Disfagia. Disfagia diklasifikasikan dalam dua kelompok besar, yaitu
Disfagia orofaring (atau transfer dysphagia) dan disfagia esofagus.
a) Disfagia orofaring
Disfagia orofaring timbul dari kelainan di rongga mulut, faring, dan
esofagus, dapat disebabkan oleh stroke, penyakit Parkinson, kelainan
neurologis, oculopharyngeal muscular dystrophy, menurunnya aliran air liur,
xerostomia, masalah gigi, kelainan mukosa oral, obstruksi mekanik
(keganasan, osteofi, meningkatnya tonus sfingter esophagus bagian atas,
radioterapi, infeksi, dan obat-obatan (sedatif, antikejang, antihistamin). Gejala
disfagia orofaring yaitu kesulitan menelan, termasuk ketidakmampuan untuk
mengenali makanan, kesukaran meletakkan makanan di dalam mulut,
ketidakmampuan untuk mengontrol makanan dan air liur di dalam mulut,
kesukaran untuk mulai menelan, batuk dan tersedak saat menelan, penurunan
berat badan yang tidak jelas penyebabnya adalah perubahan kebiasaan makan,
pneumonia berulang, perubahan suara (suara basah), regurgitasi nasal . Setelah
pemeriksaan, dapat dilakukan pengobatan dengan teknik postural, swallowing
maneuvers, modifikasi diet, modifikasi lingkungan, oral sensory awareness
technique, vitalstim therapy, dan pembedahan. Bila tidak diobati, disfagia
dapat menyebabkan pneumonia aspirasi, malnutrisi, atau dehidrasi.

b) Disfagia esophagus

Disfagia esofagus timbul dari kelainan di korpus esofagus, sfingter


esophagus bagian bawah, atau kardia gaster. Biasanya disebabkan oleh striktur
esofagus, keganasan esofagus, esophageal rings and webs, akhalasia, skleroderma,
kelainan motilitas spastik termasuk spasme esofagus difus dan kelainan
motilitas esofagusnonspesifik. Makanan biasanya tertahan beberapa saat
setelah ditelan, dan akan berada setinggi suprasternal notch atau di belakang
sternum sebagai lokasi obstruksi, regurgitasi oral atau faringeal, perubahan
kebiasaan makan, dan pneumonia berulang.

Bila terdapat disfagia makanan padat dan cair, kemungkinan besar


merupakan suatu masalah motilitas. Bila pada awalnya pasien mengalami

12
disfagia makanan padat, tetapi selanjutnya disertai disfagia makanan cair,
maka kemungkinan besar merupakan suatu obstruksi mekanik. Setelah dapat
dibedakan antara masalah motilitas dan obstruksi mekanik, penting
untuk memperhatikan apakah disfagianya sementara atau progresif. Disfagia
motilitas sementara dapat disebabkan spasme esofagus difus atau kelainan
motilitas esofagus nonspesifik. Disfagia motilitas progresif dapat disebabkan
scleroderma atau akhalasia dengan rasa panas di daerah ulu hati yang kronis,
regurgitasi,masalah respirasi, atau penurunan berat badan. Disfagia mekanik
sementara dapat disebabkan esophageal ring. Dan disfagia mekanik progresif
dapat disebabkan oleh striktur esofagus atau keganasan esofagus. Bila sudah
dapat disimpulkan bahwa kelainannya adalah disfagia esofagus, maka langkah
selanjutnya adalah dilakukan pemeriksaan barium atau endoskopi bagian atas.
Pemeriksaan barium harus dilakukan terlebih dahulu sebelum endoskopi untuk
menghindari perforasi. Bila dicurigai adanya akhalasia pada pemeriksaan
barium, selanjutnya dilakukan manometri untuk menegakkan diagnosa
akhalasia.

Bila dicurigai adanya strikturesofagus, maka dilakukan endoskopi. Bila


tidak dicurigai adanya kelainan-kelainan seperti di atas, maka endoskopi dapat
dilakukan terlebih dahulu sebelum pemeriksaan barium. Endoskopi yang
normal, harus dilanjutkan dengan manometri dan bila manometri juga normal,
maka diagnosanya adalah disfagiafungsional. Foto thorax merupakan
pemeriksaan sederhana untuk pneumonia. CT scan dan MRI memberikan gambaran
yang baik mengenai adanya kelainan struktural, terutama bila digunakan untuk
mengevaluasi pasien disfagia yang sebabnya dicurigai karena kelainan sistem
saraf pusat. Setelah diketahui diagnosanya, penderita biasanya dikirim ke
Bagian THT, Gastrointestinal, Paru, atau Onkologi, tergantung penyebabnya.
Konsultasi dengan Bagian Gizi juga diperlukan, karena kebanyakan pasien
me-merlukan modifikasi diet.

5. Manifestasi Klinis
Disfagia Oral atau faringeal Disfagia Esophageal
- Batuk atau tersedak saat menelan - Sensasi makanan tersangkut di
- Kesulitan pada saat mulai tenggorokan atau dada
menelan - Regurgitasi Oral atau faringeal

13
- Makanan lengket di - Perubahan pola makan
kerongkongan - Pneumonia rekuren
- Sialorrhea
- Penurunan berat badan
- Perubahan pola makan
- Pneumonia berulang
- Perubahan suara (wet voice)
- Regusgitasi Nasal

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang bisa digunakan untuk mendiagnosis gangguan menelan
ialah: videofluorographic swal- lowing study (VFSS), fiberoptic endoscopic
evaluation of swallowing (FEES), dan ultrasonografi.
a. Videofluorographi swallowing study (VFSS)
Videofluorographic swallowing study merupakan baku emas untuk
mengevaluasi proses menelan. Pada pemeriksaan ini penderita diminta untuk
duduk dengan nyaman dan diberikan makanan yang dicampur barium agar
tampak radiopak. Saat penderita sedang makan dan minum dilakukan
observasi gambaran radiologik pada monitor video dan direkam.
b. Fiberoptic Endoscopic Evaluation Of Swallowing (FEES)
FEES merupakan suatu laringoskop transnasal yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi fungsi laring, menilai jumlah residu
hipofaringeal, dan mengobservasi ada tidaknya aspirasi. Endoskop
dimasukan melalui hidung melewati nasofaring dan ditempatkan di dalam
laringofaring di atas pita suara palsu. Bolus berbentuk cair dan padat diberi
warna hijau sehingga mudah dilihat.
c. Ultrasonografi
Ultrasonografi digunakan untuk menilai fungsi oral saja, yaitu fungsi
lidah dan oral transit time; juga gerakan tulang hioid. Metode ini merupakan

14
suatu pemeriksaan yang noninvasif dan hanya menggunakan cairan dan
makanan biasa.
d. Endoskopi ultrasound
1) Menilai anatomi dan fisiologi otot faring / esophagus, deteksi sumbatan
oleh karena tumor, struktur , web, akalasia, diverticulum.
2) Kelainan anatomi di kepala, leher dan dada.
3) Deteksi tumor, kelainan vaskuler/ stroke, degenerative proses diotak
4) Menilai keadaan dan pergerakan otot laring
5) Menilai lumen esophagus, biopsy
6) Menilai lesi submukosa

e. Transnasal Esophagoscopy
sesuai untuk kasus divertikula esophagus atau tumor.
f. Electromyography
Lebih sering digunakan untuk penelitian mengevaluasi fungsi mioelektrik.

7. Skrining disfagia
Esesmen klinis berupa skrining disfagia merupakan tindakan yang essensial
untuk penatalaksanaan pasien stroke akut di Unit stroke RSCM. Esesmen
dilaksanakan berdasarkan SOP (“standard operating prosedur”), saat pasien baru
datang di SU sesudah tindakan ABC untuk kegawat daruratan dilaksanakan. Esesmen
dilakukan berdasarkan modifikasi dari The Massey bedside swallowing screen.

Skrining disfagia ini dilakukan secara “bed-side” yang terdiri atas 3 langkah.
Sebelumnya sebaiknya disediakan “suction”. Untuk persiapan tes terlebih dahulu
atur posisi pasien. Pasien duduk bersandar dengan elevasi kepala 60 derajat, dengan
kepala ditekuk kesisi sehat

- Langkah 1: Identifikasi tingkat kesadaran dan tingkat kerjasama pasien. (Pasien


dengan kesadaran menurun selalu dianggap disfagia). Saat ini dapat dinilai
kualitas suara, kemampuan menelan saliva, refleks “gag” dan kemampuan refleks
batuk.
- Langkah 2: Pasien diberi 5 ml air (sebaiknya saat ini pasien terpasang pulse
oksimeter).Saat ini dapat dilakukan penilaian adanya orofacial apraksia atau
tanda-tanda adanya penetrasi dan aspirasi. Diperiksa apakah ada tanda bahwa ada

15
sisa air yang tidak seluruhnya dapat ditelan. Keadaan ini dideteksi dengan
meminta pasien mengucapkan suara “aaaah”. Diawasi apakah pasien
mengeluarkan suara basah/ ”gurgly”, batuk/tersedak atau penurunan 2% nilai
saturasi oksigen. Bila hal ini terjadi, skrining harus dhentikan dan kalau perlu
dilakukan “suction”. Bila (-) atau tidak ada tanda tersebut diatas skrining
dilanjutkan
- Langkah 3: pemberian kira2 setengah gelas air (20cc). Pasien diperbolehkan
menelannya secara perlahan dan bertahap namun dapat menghabiskan air
tersebut.

Berdasarkan hasil skrining 3 langkah diatas, pasien dinilai disfagia apabila


ditemukan salah satu abnormal dan tidak ada disfagia bila ketiga langkah tersebut
normal Proses menelan normal terdiri 4 tahap yang diatur oleh 30 otot dan 5 saraf
kranial:

1. Tahap persiapan oral = persiapan melahap: Makanan dibentuk berupa bolus


dengan cara digigit, dikunyah serta mendapat kontrol secara volunter dan
kompleks. Makanan dalam mulut diatur posisinya oleh lidah sehingga dapat
dikunyah oleh mandibula.
2. Tahap oral = saat makanan dan cairan dari rongga mulut masuk ke pharynx.
Bolus makanan didorong kebelakang dengan gerak peristaltik sehingga bolus
meninggalkan rongga mulut dan nasopharyng menutup untuk mencegah
“regurgitasi”. Selain itu struktur anatomi disini berfungsi untuk artikulasi
berbicara. Struktur 1 dan 2 dipersarafi oleh N V3, VII dan XII
3. Tahap pharyngeal dimulai secara volunter akan tetapi proses selanjutnya adalah
secara refleks dan dimulai saat makanan melewati lipat pharyng anterior.
Terdapat urut-urutan sebagai berikut:
- Bagian belakang lidah berkontak dengan dinding posterior pharyng
- Velo pharyng menutup untuk menghindari refluks ke hidung
- Gerak superior dan anterior laryng sehingga pharyng melebar dan bolus
dapat melewati sphingter cricopharyngeal
Dalam hal ini dibutuhkan beberapa proses untuk prevensi terjadinya
aspirasi:

a. Kontraksi otot intrinsik laryng sehingga pita suara menutup

16
b. Gerak kebawah dan kedorsal epiglottis untuk menutup pintu
laryng Menelan umumnya terjadi saat ekspirasi yang didahului periode
apnea. Proses ini dipersyarafi oleh NIX, X, XI dan XII.

4. Tahap oesophageal. Tahap ini dimulai saat bolus melewati sphingter oesophageal
dan otot cricopharyngeal. Bolus kemudian melewati tabung oesophageal untuk
memasuki lambung. Tahap ini umumnya 3-20 detik dan memanjang pada umur
tua. Proses ini diatur oleh NIX dan X.

Lokasi lesi pada kasus stroke terbanyak adalah berupa lesi pada jalur kortiko-bulbar.
Ini mengakibatkan fungsi kontrol terhadap proses menelan terganggu. Pada keadaan ini
fungsi refleks dengan jalur melalui Lower Motor Neuron (LMN) adalah intak atau
malah mungkin berlebihan. Secara klinis akan ditemukan kesukaran untuk membentuk
bolus (“fine motor movement”), akan tetapi proses menelan yang merupakan gerak kasar
(“crude untailored swallow”) berupa elevasi dan penutupan laryng serta pembukaan
oesophagus atas masih mungkin sebagai respons terhadap adanya stimulasi bolus pada
laryng dan oropharyng.Secara khusus hal ini berhubungan dengan keadaan disarthria dan
disfonia.

Selain itu kasus stroke dengan lokasi lesi kortikal sering terdapat gejala apraksia bibir
dan lidah. Hal ini tidak terjadi bila lesi terdapat pada daerah bulbar. Terjadi keadaan
denervasi pada struktur menelan terutama otot-otot laryng dan supra hyoid. Hal ini
mengakibatkan terjadi paralise pita suara, arytenoid dan epiglottis pada salah satu sisi.
Akibatnya laryng tidak dapat menutup secara adekwat sehingga bolus makanan dengan
bebas dapat masuk kejalan nafas. Hal ini juga menyebabkan tidak terjadi fonasi dan
tidak dapat terjadi aposisi pita suara. Laryng yang tidak dapat menutup menyebabkan
terjadi aspirasi. Batuk menjadi tidak effektif karena paresis pita suara. Akibatnya
penderita tidak dapat menelan karena sphincter oesophagus tidak dapat membuka.
Kontrol respirasi pada tahap apnea yang didahului ekspirasi saat melahap juga penting.
Bila terganggu akan terdapat risiko terjadi inhalasi.

8. Penanganan Rehabilitasi Pada Penderita Disfagia


Terdapat beberapa cara penanganan rehabilitasi penderita disfagia, yaitu:
teknik postural, modifikasi volume dan kecepatan pemberian makanan,

17
modifikasi diet, com- pensatory swallowing maneuver, teknik untuk
memperbaiki oral sensory aware- ness, stimulasi elektrik, terapi latihan, dan
penyesuaian peralatan yang digunakan.
a. Teknik postural
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa perubahan postur kepala dan
tubuh dapat mengeliminasi terjadinya aspirasi pada penderita disfagia.
Sebaiknya terapis harus mengetahui secara tepat gangguan anatomi dan fisiologik
yang dialami penderita sebelum menentukan postur yang tepat. Beberapa teknik
postural yang di- gunakan yaitu: chin down atau chin tuck, chin up, head
rotation, head tilt, dan lyingdown.
b. Modifikasi volume dan kecepatan pemberian makanan
Pada penderita dengan keterlambatan dalam pemicuan fase faringeal, bolus
yang besar akan membantu terjadinya triggering. Pada penderita yang
mengalami gangguan fase faringeal sendiri membutuhkan 2-3 kali menelan
untuk setiap bolus. Pemberian makanan dalam jumlah terlalu banyak dan terlalu
cepat akan menyebabkan terkum- pulnya bolus di dalam laring dan menye-
babkan aspirasi sedangkan pemberian makanan dalam jumlah sedikit dan secara
lambat akan mengurangi terjadinya aspirasi.
c. Modifikasi diet
Modifikasi tekstur bolus sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya
aspirasi. Makanan dengan konsistensi cair lebih sulit dikontrol dan lebih mudah
menyebabkan aspirasi karena dapat mengalir langsung ke dalam faring sebelum
terjadinya refleks menelan. Bolus yang lebih kental atau makanan padat
lunak lebih aman karena kemungkinan untuk masuk dalam pintu laring lebih
kecil. Selain itu, bolus yang lebih kental meningkatkan pergerakan lidah dan
membantu mempercepat terjadinya inisiasi fase faringeal.
Rekomendasi lain yaitu makanan dalam jumlah sedikit dengan frekuensi
pemberian lebih sering dan mengandung tinggi kalori dan tinggi protein.
Makanan diberikan dalam jumlah sedikit, ½ sampai 1 sendok teh setiap kali
menelan. Penderita juga diminta untuk tidak makan sambil berbicara. Bila
menggunakan makanan kental, makanan dengan kekentalan seperti madu yang
dapat dijadikan pilihan.
d. Compensatory swallowing maneuver

18
M
anuver menelan dirancang untuk menempatkan bagian tertentu dari
2,19
proses menelan normal dibawah kontrol volunter yang meliputi:

Effortful swallow

Bertujuan memperbaiki gerakan dasar lidah ke arah posterior selama


fase faringeal. Penderita diminta untuk menelan dengan menggerakan
lidah ke arah posterior secara kuat untuk membantu perjalanan bolus
melewati rongga faring.

Supraglotic swallow

Bertujuan menutup pita suara sebelum dan selama proses menelan


sehingga melindungi trakea dari aspirasi. Makanan atau minuman di tempatkan
dalam mulut, penderita diminta untuk menarik napas dalam kemudian ditahan,
lalu penderita menelan 1-2 kali sambil tetap menahan napas, dan batuk dengan
segera setelah menelan.

Super-supraglotic swallow

Dirancang untuk menutup pintu masuk jalan napas secara volunter dengan
mengangkat kartilago aritenoid ke anterior, ke bagian dasar dari epiglotis
sebelum dan selama proses menelan serta menutup erat pita suara palsu.

Mandehlson maneuever

Penderita diminta untuk merasakan adanya sesuatu bergerak pada bagian


dalam lehernya saat menelan, kemudian melakukan proses menelan kembali
(menggunakan dry swallow atau dengan 1 ml air) tetapi diminta untuk
menahan gerakan tadi selama 3-5 detik, kemudian menelan dan rileks.

e. Teknik untuk memperbaiki oral sensory awareness


Terdapat beberapa jenis teknik yang meliputi:
1. Menekan sendok ke arah bawah melawan lidah saat pemberian makanan ke
dalam mulut.
2. Memberikan bolus dengan karakteristik sensorik tertentu, seperti bolus dingin,
bolus dengan tekstur tertentu, atau bolus dengan rasa yang kuat seperti jus
lemon

19
3. Memberikan bolus yang harus dikunyah sehingga proses mengunyah
tersebut akan memberikan stimulasi oral.
4. Memberikan volume bolus yang besar.
5. Thermal tactile stimulation (TTS) dengan melakukan gerakan stroking pada
arkus faringeus anterior. Stroking dilakukan menggunakan kaca laring
berukuran 00 (telah dimasukan dalan es selama ±10 detik) pada arkus faringeus
anterior dari bagian dasar ke arah atas sejauh yang bisa dijangkau. Terapi ini
diangap bisa memberikan stimulus sensorik ke batang otak dan korteks sehingga
saat penderita sudah mulai fase oral, maka fase faringeal akan terpicu lebih
cepat.
f. Stimulasi elektrikal

Neuromuscular electrical stimulation (NMES) bekerja dengan memberikan


stimulasi listrik pada otot-otot menelan lewat elektroda yang ditempatkan di atas
otot-otot tersebut. Beberapa studi tentang penggunaan stimulasi listrik ini
menunjukkan bahwa NMES merupakan alternatif terapi yang efektif dan aman
untuk penderita disfagia serta dapat digunakan pada anak-anak. Penggunaan NMES
ini efektif pada disfagia akibat penyakit tertentu seperti stroke, kanker pada
kepala dan leher, serta multipel sklerosis.

g. Terapi latihan

Terapi latihan digunakan untuk me- nguatkan otot-otot, meningkatkan


lingkup gerak sendi (LGS) dan koordinasi dari mulut, rahang, bibir, lidah,
palatum, dan pita suara. Terapi latihan yang biasanya digunakan antara lain: latihan
LGS rahang, latihan penguatan otot lidah, latihan adduksi pita suara, dan
latihan metode Shaker.

h. Penyesuaian peralatan yang digunakan

Beberapa peralatan telah dibuat untuk membantu penderita disfagia, termasuk


penderita yang juga mengalami kelemahan ekstremitas atas yang akan memengaruhi
kemandirian penderita untuk makan. Peralatan tersebut misalnya gelas dengan
sedotan, nose cutout cup, plate guard, sedotan, serta garpu dan sendok yang
dimodifikasi.

10. Komplikasi

20
Disfagia adalah kondisi yang kompleks yang memiliki pengaruh besar pada
kehidupan pasien. Pasien yang mengalami disfagia masalah yang sering ditemukan
adalah kehilangan nafsu makan serta penurunan berat badan yang diakibatkan oleh
asupan nutrisi yang berkurang. Dalam manejemen gizi pada pasien yang mengalami
disfagia harus lebih diperhatikan lagi tentang cara penyediaan makanan bergizi yang
sesuai dengan kebutuhan tubuh pasien agar komplikasi seperti terjadinya aspirasi dapat
dihindari (Collier, 2009).

Menurut World Stroke Academy (2012) Ada tiga komplikasi mayor pada gangguan
menelan,yaitu :

a. Aspirasi
Aspirasi terjadi ketika makanan atau cairan atau saliva masuk kedalam saluran
pernafasan setelah level pita suara.Manifestasi klinisnya berupa batuk, perasaan
seperti tercekik (choking), dan kesulitan bernafas. Pada penderita stroke kadang
keadaan aspirasi tidak tampak menunjukkan tanda dan gejala (Silent Aspirasi),
maka perlu suatu pemeriksaan FEES.
b. Pneumonia Aspirasi
Keadaan infeksi paru-paru oleh karena aspirasi. Kejadian kebanyakan pada
usia diatas 65 tahun, stroke dengan gangguan bicara, kelumpuhan yang parah,
gangguan kognitif, dan gangguan menelan. Manifestasi klinisnya berupa : Panas,
produksi secret yang berlebihan atau suara ronchi, sesak nafas sampai dengan
gangguan irama nafas, Kualitas Analisa Gas Darah yang jelek, penurunan
kesadaran. Diagnosa dapat ditegakkan dengan x-ray pada thorax dan sputum
kultur untuk penentuan antibiotic yang tepat .
c. Malnutrisi
Keadaan terganggunya kualitas status gizi pasien karena kurangnya asupan
nutrisi. Tingkat insidensi pada pasien stroke yang dirawat di Rumah Sakit kisaran
8,2 – 49%. Manifestasi Klinis: kehilangan berat badan dan indeks masa tubuh,
nilai abnormal hasil laborat yang menggambarkan biokimia tubuh (: albumin,
elektrolit, dll), lithargi, dan kesulitan konsentrasi.

d. Dehidrasi
Keadaan kurangnya volume cairan tubuh secara keseluruhan
C. Konsep Dasar Keperawan

21
a. Diagnosa
1. Gangguan menelan berhubungan dengan gangguan saraf kranialis
(D.0063).
2. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan
makanan (D.0063).
b. Intervensi

No SDKI SLKI SIKI

1 1. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Dukungan perawan diri:


menelan keperawatan 3x24 jam makan dan minum
berhubungan diharapkan status menelan Observasi
dengan dapat mrmbaik dengan - Monitor
gangguan kriteria hasil : kemampuan
saraf 1. Refleks menelan menelan
- Monitor status
kranialis cukup meningkat (4)
hidrasi pasien jika
(D.0063). 2. Kemampuan perlu
mengosongkan
Terapiutik
mulut cukup
- Ciptakan
meningkat (4)
lingkungan yang
3. Usaha menelan menyenangkan
cukup meningkat (4) selama makan
- Atur posisi yang
nyaman untuk
makan/ minum
- Siapkan makanan
dan minuman
yang disukai

Kolaborasi

- Kolaborasi
pemberian obat
(misalnya
analgesic,antieme
tik), sesui
indikasi

2 4. Defisit nutrisi Setelah dilakukan tindakan Manajemen nutrisi :

22
berhubungan keperawatan 3x24 jam Observasi
dengan diharapkan status nutrisi - Identifikasi status
ketidakmamp membaik dengan kriteria nutrisi
uan menelan hasil: - Identifikasi
perlunya
makanan 1. Posrsi makanan yang
penggunaan
(D.0063). dihabiskan selang
meningkat (5) nasogastric
- Monitor asupan
2. Kekuatan otot
makanan
mengunya - Monitor berat
meningkat (5) badan
3. Kekuatan otot Terapeutik
menelan cukup
- Lakukan oral
meningkat (4)vas hyglane sebelum
4. Vasilitasi keinginan makan, jika perlu
- Berikan makanan
untuk meningkatkan
tinggi serat untuk
nutrisi meningkat (5) mencega
konstipasi berikan
suplemen makana
jika perlu

Edukasi

- Anjurkan posisi
duduk, jika
mampu

Kolaborasi

- Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumla
kalori dan jenis
nutrient yang
dibutukan , jika
perlu.

23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Disfagia adalah kesulitan menelan. Seseorang dapat mengalami kesulitan


menggerakkan makanan dari bagian atas tenggorokan ke dalam kerongkongan karena adanya
kelainan di tenggorokan. Kesulitan menelan dapat terjadi pada semua kelompok usia, akibat
dari kelainan kongenital, kerusakan struktur, dan/atau kondisi medis tertentu. Masalah dalam
menelan merupakan keluhan yang umum didapat di antara orang berusia lanjut, dan insiden
disfagia lebih tinggi pada orang beruusia lanjut dan pasien stroke. Kurang lebih 51 – 73 %
pasien stroke menderita disfagia.

Fase menelan :

 Oral
 Faringeal
 Esophageal

Klasifikasi Disfagia :

 Orofaring
 Esophagus

B. Saran

Dalam pembuatan makalah masih ada beberapa kesalahan yang belum sempurna
dikerjakan. Akan tetapi, diharapkan pada seluruh mahasiswa supaya tetap memperhatikan
tahap-tahap penyusunannya. Dan diharapkan pula makalah ini dapat membantu bagi yang
membacanya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Bayu Fandhi dkk. 2017. Perbedaan Efektivitas Terapi Menelan Berdasarkan
Karakteristik Demografi Pasien Disfagia Stroke. Journal Keperawatan Klinis dan Komunitas
Vol 1 (2): 120-130

Nayoan, Christin Rony. 2017. Gambaran Penderita Disfagia yang menjalani Pemeriksaan
Fiberoptic Endocopic Evaluation Of Swallowing. Journal Kesehatan Tadulako Vol 3 (2): 47-
56

Tarwoto. 2013.Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:Cv Sangung Seto

Ngatini dan Haryono.2014. Gugging Swallowing Screen sebagai Metode Skrinning


Kemampuan Menelan Stroke Akut. Journal Keperawatan Vol 1

Rasyid, Misbach dan Harris. 2015. Komplikasi Medis dan Tatalaksana. Jakarta:FKUI

25

Anda mungkin juga menyukai