Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

EVIDENCE BASED TERKAIT PELAYANAN KELUARGA BERENCANA


DAN KESEHATAN REPRODUKSI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asuhan Kebidanan Keluarga Berencana Dan
Kesehatan Reproduksi Di Program Studi Sarjana Terapan Kebidanan

Disusun Oleh :

Ananda Jumiar Hayatun P20624232003


Ary Murtofiah P20624232006
Dede supriatin P20624232007
Diny Rahmawati P20624232009
Siti Nur Choerunisa P20624232029
Tita Rosniawati P20624232033
Titi Patimah P20624232034

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN TASIKMALAYA

JURUSAN KEBIDANAN

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanya milik Allah SWT, shalawat serta salam mari kita
panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sehingga atas nikmat dan karunia-Nya
kami diberi kelancaran dalam penyusunan makalah dengan judul “Evidence Based
terkait Pelayanan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi”.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada ibu Dosen Mata Kuliah
Asuhan Kebidanan Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi yang
membimbing kami dalam menyelesaikan tugas makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dalam segi
isi, penulisan maupun dalam susunan kalimat. Oleh karena itu, kami mohon kritik
dan saran untuk menjadi lebih baik lagi kedepannya. Kami harap makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua khususnya bagi mahasiswi Sarjana Terapan
Kebidanan Alih Jenjang

Tasikmalaya, 11 Agustus 2023

Penyusun

DAFTAR ISI

i
KATA PENGANTAR .....................................................................................i

DAFTAR ISI ...................................................................................................ii

DAFTAR TABEL..........................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................1


B. Rumusan Masalah .............................................................................3
C. Tujuan Penulisan ...............................................................................3
D. Manfaat Penulisan .............................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian…………….……………….…………………………...... 4
B. Evidence Based terkait Pelayanan KB Kespro……….…...……........ 8

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ………………………………………………...……......... 30


3.2 Saran …………………………………………………..…………........ 30

ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 …………………………………………………………………………………….8
Tabel 2 …………………………………………………………………………………...10
Tabel 3 …………………………………………………………………………………...16
Tabel 4 …………………………………………………………………………………...23
Tabel 5 …………………………………………………………………………………...27

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Evidence based practice jika ditinjau dari pemenggalan kata (Inggris)


maka dapat diartikan sebagai berikut Evidence adalah bukti atau fakta, base
adalah dasar sedangkan practice dalam Bahasa Indonesia memiliki arti praktek
atau proses, jadi Evidence base practice adalah praktik berdasarkan bukti.
Evidence Based Midwifery (EBM) adalah penggunaan mutakhir
terbaik yang ada secara bersungguh-sungguh, eksplisit dan bijaksana
untuk pengambilan keputusan dalam penanganan pasien perseorangan
(Sackett et al, 1997). Evidence Based Midwifery (EBM) ini sangat penting
peranannya pada dunia kebidanan karena dengan adanya EBM maka dapat
mencegah tindakan – tindakan yang tidak diperlukan/tidak bermanfaat
bahkan merugikan bagi pasien, terutama pada proses persalinan yang
diharapkan berjalan dengan lancar dan aman sehingga dapat menurunkan
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
Salah satu masalah penting yang dihadapi oleh negara
berkembang, seperti di Indonesia yaitu ledakan penduduk. Ledakan
penduduk mengakibatkan laju pertumbuhan penduduk yang pesat. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut pemerintah Indonesia telah menerapkan
program Keluarga Berencana (KB) yang dimulai sejak tahun 1968 dengan
mendirikan LKBN (Lembaga Keluarga Berencana Nasional) yang
kemudian dalam perkembangannya menjadi BKKBN (Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional). Gerakan Keluarga Berencana Nasional
bertujuan untuk mengontrol laju pertumbuhan penduduk dan juga untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Sulistyawati, 2018). Target
cakupan layanan KB yang ditetapkan pemerintah Indonesia yang
terangkum dalam indikasi keberhasilan program Millenium Development

1
Goals (MDG’s) yaitu sebesar 70%. Sasaran utama kinerja program KB
adalah menurunnya pasangan usia subur (PUS) yang ingin melaksanakan
KB namun pelayanan KB tidak terlayani (unmet need) menjadi sekitar
6,5%, meningkatnya partisipasi laki-laki dalam melaksanakan KB menjadi
sekitar 8%, menurunnya angka kelahiran total (TFR) menjadi 2,4% per
perempuan (Uliyah, 2010) Visi Keluarga Berencana Nasional adalah
“Keluarga Berkualitas”. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang
sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal,
berwawasan kedepan, bertanggung jawab, harmonis dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Misinya sangat menekankan pentingnya upaya
menghormati hak-hak reproduksi, sebagai upaya integral dalam
meningkatkan kualitas keluarga (Saifuddin, 2011). Menurut data
kesehatan dunia World Organization Health (WHO), KB adalah tindakan
yang membantu pasangan suami istri untuk menghindari kelahiran yang
tidak diinginkan, mengatur interval kehamilan dan kelahiran, mengontrol
waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami dan istri, dan
menentukan jumlah anak dalam keluarga melalui promosi, perlindungan
dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi dan meningkatkan
kesejahteraan anak untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas (Suratun
et al., 2008)
Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sehat secara menyeluruh
mencakup fisik, mental dan kehidupan social yang berkaitan dengan alat, fungsi
serta proses reproduksi yang pemikiran kespro bukannya kondisi yang bebas dari
penyakit melainkan bagaimana seseorang dapat memiliki kehidupan seksual yang
aman dan memuaskan sebelum dan sesudah menikah (Depkes RI 2000)
Menurut SDKI 2017 usia remaja 15-24 tahun hubungan seksual pranikah
8% anak laki-laki dan 2% anak perempuan, penggunaan kondom 49% perempuan
dan 27% laki-laki, kehamilan yang tidak diinginkan 16% anak perempuan berusia
15-19 tahun dan 8% diantara mereka yang berusia 20-24 tahun, aborsi 23% anak
perempuan dan 19% anak laki-laki yang tahu teman mereka melakukan aborsi dan
1% dari mereka yang menemaninya selama proses tersebut, 45% anak perempuan

2
dan 44% anak laki-laki mulai berkencan pada usia 15-17 tahun, 15% remaja laki-
laki dan 1% berusia 15-24 tahun pernah mengonsumsi alcohol, 5% pria dan <1%
wanita menggunakan obat-obatan terlarang.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka yang


menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah “Bagaimana
Evidence based terkait pelayanan Keluarga Berencana dan Kesehatan
Reproduksi?”

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Bagaimana Evidence based terkait pelayanan Keluarga
Berencana dan Kesehatan Reproduksi
2. Tujuan Khusus
a. Untuk memahami Evidence based terkait Pelayanan KB Terkini
b. Untuk memahami Evidence based terkait Infeksi Menular Seksual
(IMS)
c. Untuk memahami Evidence based terkait HIV/AIDS
d. Untuk memahami Evidence based terkait Keganasan dalam Sistem
Reproduksi
e. Untuk memahami Evidence based terkait Sistem Reproduksi
D. Manfaat Penulisan
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan, diantaranya:
1. Penulis, sebagai wahana penambah pengetahuan dan pemaparan pemikiran
mengenai Evidence based terkait Keluarga Berencana dan Kesehatan
Reproduksi.
2. Pembaca, sebagai media informasi perkembangan pengetahuan mengenai
Evidence based terkait Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
1. Evidence Based

Evidence based practice jika ditinjau dari pemenggalan kata (Inggris)


maka dapat diartikan sebagai berikut Evidence adalah bukti atau fakta, base
adalah dasar sedangkan practice dalam Bahasa Indonesia memiliki arti
praktek atau proses, jadi Evidence base practice adalah praktik berdasarkan
bukti., artinya tidak lagi berdasarkan pengalaman atau kebiasaan semata.
Semua harus berdasarkan bukti dan bukti inipun merupakan bukti ilmiah
terkini yang bisa dipertanggungjawabkan. Pengertian Evidence based
menurut sumber lain adalah the process of systematically finding,
appraising and using research findings as the basis for clinical decisions.
Evidence base adalah proses sistematis untuk mencari, menilai dan
menggunakan hasil penelitian sebagai dasar untuk pengambilan keputusan
klinis.
Secara umum, Evidence-Based Practice adalah sebuah pendekatan
yang bertujuan untuk meningkatkan proses melalui pertanyaan yang
manakah bukti penelitian ilmiah yang berkualitas tinggi yang dapat
diperoleh dan diterjemahkan ke dalam keputusan praktik terbaik untuk
meningkatkan kesehatan (Steglitz, Warnick, Hoffman, Johnston, & Spring,
2015). Sackett et al di dalam Gerrish et al (2006), EBP adalah segala
tindakan yang berbasis bukti, baik dalam pengobatan, eksplisit dan
bijaksana dalam penggunaan EBP untuk mengambil keputusan dalam
perawatan pasien.

4
Evidence Based Midwifery (EBM) adalah penggunaan mutakhir
terbaik yang ada secara bersungguh-sungguh, eksplisit dan bijaksana untuk
pengambilan keputusan dalam penanganan pasien perseorangan (Sackett et
al, 1997). Evidence Based Midwifery (EBM) ini sangat penting peranannya
pada dunia kebidanan karena dengan adanya EBM maka dapat mencegah
tindakan – tindakan yang tidak diperlukan/tidak bermanfaat bahkan
merugikan bagi pasien, terutama pada proses persalinan yang diharapkan
berjalan dengan lancar dan aman sehingga dapat menurunkan Angka
Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
7 Langkah dalam EBP:

a. Menumbuhkan semangat menyelidiki


b. Menanyakan pertanyaan klinik dengan menggunakan
PICO/PICOT format
c. Mencari dan mengumpulkan bukti-bukti (artikel penilitian)
yang paling relevan
d. Melakukan penilaian critis terhadap bukti-bukti (artikel
penelitian)
e. Mengintegrasi bukti-bukti (artikel penilitian)
f. Mengevaluasi outcome dari perubahan yang telah diputuskan
g. Menyebarluaskan hasil dari EBP
2. Kontrasepsi

Kontrasepsi adalah pencegahan terbuahinya sel telur oleh sel sperma


(konsepsi) atau pencegahan menempelnya sel telur yang telah dibuahi ke
dinding rahim (Taufan Nugroho dkk, 2014)
Keluarga Berencana (KB) adalah upaya mengatur kelahiran anak,
jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi,
perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan
keluarga yang berkualitas (BKKBN, 2015). Pasangan usia subur berkisar
antara usia 20-45 tahun dimana pasangan (laki-laki dan perempuan) sudah
cukup matang dalam segala hal terlebih organ reproduksinya sudah

5
berfungsi dengan baik. Ini dibedakan dengan perempuan usia subur yang
berstatus janda atau cerai. Pada masa ini pasangan usia subur harus dapat
menjaga dan memanfaatkan reprduksinya yaitu menekan angka kelahiran
dengan metode keluarga berencana sehingga jumlah dan interval kehamilan
dapat diperhitungkan untuk meningkatkan kualitas reproduksi dan kualitas
generasi yang akan datang (Manuaba 2015).
Pelayan Keluarga Berencana perlu mendapat perhatian serius, karena
dengan mutu pelayan Keluarga Berencana berkualitas diharapkan akan
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan tiap keluarga. Hal ini
sehubungan dengan UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, bahwa Keluarga Berencana
adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak, dan usia ideal melahirkan,
mengatur kehamilan melalui promosi, perlindungan dan bantuan sesuai
dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga berkualitas.

Menurut UU no. 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan


dan pembangunan keluarga sejahtera adalah upaya peningkatan kepedulian
dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan (PUP),
pengaturan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan
kesejahteraan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.
Jenis – jenis kontrasepsi berdasarkan metode :
a. Metode sederhana seperti KBA, metode kalender, metode pantang
berkala, metode suhu basal, metode lendir serviks, MAL
b. Metode modern seperti kondom, pil, suntik, implant, AKDR
c. Metode operasi seperti Metode Operasi Wanita (MOW), Metode
Operasi Pria (MOP)
3. Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental
dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau
kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan system reproduksi serta
fungsi dan prosesnya (WHO).

6
Kespro adalah suatu keadaan sehat secara menyeluruh mencakup
fisik, mental dan kehidupan social yang berkaitan dengan alat, fungsi serta
proses reproduksi yang pemikiran kespro bukannya kondisi yang bebas
dari penyakit melainkan bagaimana seseorang dapat memiliki kehidupan
seksual yang aman dan memuaskan sebelum dan sesudah menikah
(Depkes RI 2000).
Ruang lingkup kesehatan reproduksi dalam lingkup kehidupan
meliputi kesehatan ibu dan bayi baru lahir, keluarga berencana,
pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran reproduksi termasuk
PMS-HIV/AIDS, pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi,
kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanganan infertilitas,
deteksi dini kanker pada saluran reproduksi, berbagai aspek kesehatan
reproduksi lain misalnya kanker servik, mutilasi genital, fistula, dll.
Kesehatan reproduksi dengan pendekatan siklus hidup manusia
dimulai saat hamil dan masih dalam kondisi janin meliputi pemeriksaan
kehamilan, kehamilan dengan resiko tinggi, tanda-tanda bahaya pada
kehamilan, nutrisi pada ibu hamil dan 1000 Hari Pertama Kehidupan.
Siklus selanjutnya pada persalinan meliputi tanda-tanda persalinan, 3
terlambat, IMD, KB Pasca Persalinan. Pada masa nifas, ASI Eksklusif dan
Imunisasi dasar. Pada balita dan anak usia sekolah hal yang harus
diperhatikan adalah tumbuh kembang anak sampai masa remaja meliputi
masa pubertas, pendewasan sampai kesehatan calon pengantin menjadi
pasangan usia subur dan saat lanjut usia meliputi andropouse, menopause,
Ca cervix, Ca prostat, disfungsi seksual.
Dasar hukum mengenai Kesehatan Reproduksi tercantum dalam
PP 61 Tahun 2014 pada Pelayanan Kesehatan Ibu tercantum dalam Pasal 8
bertujuan mencapai hidup sehat dan mampu melahirkan generasi yang
sehat dan berkualitas serta megurangi AKI, pelayanan kesehatan ibu
diselenggarakan melalui pelayanan kesehatan reproduksi remaja,
pelayanan kesehatan masa sebelum hamil, hamil, persalinan, nifas,

7
pengaturan kehamilan seperti pelayanan kontrasepsi dan kesehatan
seksual, pelayanan sistem reproduksi.

B. Evidence Based dalam pelayanan Keluarga Berencana dan Kesehatan


Reproduksi
1. Pelayanan KB terkini
Merencanakan kehamilan penting untuk dilakukan karena
kehamilan bukanlah suatu hal yang mudah untuk dijalani setiap
pasangan suami istri. Banyak yang harus dipersiapkan sebelum
kehamilan baik itu secara mental, fisik dan finansial. Kehamilan yang
tidak direncanakan dengan baik dapat memberi dampak buruk bagi ibu
dan bayi. Rekomendasi WHO tahun 2005, jarak yang dianjurkan untuk
kehamilan berikutnya adalah minimal 24 bulan, interval yang
direkomendasikan ini dianggap konsisten dengan rekomendasi
WHO/UNICEF untuk menyusui setidaknya selama dua tahun. WHO
juga merekomendasikan untuk kehamilan selanjutnya setelah
keguguran adalah minimal enam bulan untuk mengurangi resiko yang
merugikan pada ibu dan perinatal. Sudah banyak metode penggunaan
KB tetapi Indonesia masih mengalami ledakan penduduk salah satu
alasannya adalah kurangnya pemahaman PUS mengenai KB pasca
persalinan yang dapat digunakan langsung sehingga dengan
terlaksananya KB pasca plasenta PUS tidak malas untuk berKB atau
lupa berKB. Penggunaan KB IUD pasca persalinan ini merupakan
salah satu cara yang penting dilakukan sebagai salah satu upaya untuk
mencegah terjadinya kehamilan yang terlalu rapat jaraknya karena
alasan lupa atau malas karena efektifitas KB yang panjang.

Judul Keberlangsungan Akseptor IUD


Pasca Persalinan Pervaginam di
RSUP dr. Kariadi

8
Jurnal Jurnal Kedokteran Diponegoro

Volume dan Halaman Volume 8, halaman 1037-1049

Tahun 2019

Penulis Ratih Jayanti, Budi Palarto


Soeharto, Dea Amarilisa Adespin

Tanggal Review 31 Agustus 2022

Tujuan Penelitian Untuk mengetahui


keberlangsungan pemasangan IUD
Pasca Persalinan Pervaginam di
RSUP dr. Kariadi

Subjek Penelitian 20 sampel akseptor IUD Pasca


Persalinan sejak Juni hingga
Agustus 2016 di RSUP dr. Kariadi

Metode Penelitian Deskriptif kualitatif

Hasil Penelitian Terdapat 17 (85%) akseptor IUD


pasca persalinan pervaginam yang
masih menggunakan metode
kontrasepsi tersebut. Manfaat yang
dirasakan akseptor adalah karena
penggunaan IUD pasca persalinan
pervaginam efektif dan praktis.
Sedangkan 3 (15%) eks-akseptor
IUD pasca persalinan pervaginam
tidak merasakan manfaat tersebut.

Kekuatan Penelitian Bahasa yang digunakan oleh


penulis mudah dipahami maksud
dan tujuannya oleh pembaca,

Kelemahan Penelitian Sampel tidak cukup mewakili

9
wilayah yang diteliti

Kesimpulan Hasil penelitian deskriptif


kualitatif didapatkan dari
penggunaan IUD pasca persalinan
pervaginam pada akseptor di
RSUP dr. Kariadi 85% masih
menggunakan IUD tersebut
dengan alasan efektif dalam
mencegah kehamilan dan praktis
apabila dibandingkan dengan
metode kontrasepsi yang lain

2. Infeksi Menular Seksual (IMS)


Infeksi menular seksual (IMS) adalah infeksi yang sebagian besar
menular lewat hubungan seksual dengan pasangan yang tertular. IMS
disebut juga penyakit kelamin (Triningtyas, 2015). Infeksi menular
seksual adalah istilah umum dan organisme penyebabnya tinggal
dalam darah atau cairan tubuh, meliputi virus, mikroplasma, bakteri,
jamur, dan parasit-parasit kecil (misalnya: scabies). Terdapat rentang
keintiman kontak tubuh yang dapat menularkan IMS (Ralph, 2008)
Terdapat kurang lebih 30 jenis mikroba (bakteri, virus dan parasit)
yang dapat ditularkan melalui kontak seksual dan non-seksual. Kondisi
yang paling sering ditemukan adalah gonorrhea, Chlamydia, herpes
genitalis, infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan
tricomoniasis (World Health Organization, 2013)

Judul Pengetahuan dan Pengalaman


Wanita Pekerja Seks dalam
Pencegahan Infeksi Menular
Seksual di Panti Sosial Karya

10
Wanita Mulya Jaya Jakarta

Jurnal Jurnal Kedokteran dan Kesehatan

Volume dan Halaman Volume 6, halaman 41-54

Tahun 2020

Penulis Rr. Arum Ariasih, Mizna Sabilla

Tanggal Review 31 Agustus 2022

Tujuan Penelitian Untuk mengetahui pengetahuan


dan pengalaman pencegahan IMS
pada WPS

Subjek Penelitian WPS di Panti Sosial Karya Wanita


Mulya Jaya Jakarta

Metode Penelitian Menggunakan pendekatan mix


method. Pendekatan kuantitatif
menggunakan cross sectional
dengan total sampel 68 orang
dengan analisis univariant.
Pendekatan kualitatif dengan
indepth interview kepada 6
informan utama (WPS) dan 1
informan kunci(petugas)

Hasil Penelitian 94.1 % berusia reproduksi sehat.


Tingkat penelitian tertinggi
responden adalah pendidikan dasar
50%, status pernikahan responden
paling banyak 48.5% adalah cerai
hidup, sebanyak 48.5% responden
menjadi WPS kurang dari 6bulan.
Sebanyak 60.3% responden

11
memiliki pengetahuan kurang
terutama dalam memahami IMS.
Responden yang memiliki
pengalaman kurang terhadap
pencegahan PMS adalah 60.3%.
Alasan utama mereka menjadi
WPS adalah ekonomi, ajakan
teman dan lingkungan, keinginan,
serta trauma/kegagalan masa lalu.
Hal yang membuat WPS kurang
dalam melakukan pencegahan IMS
adalah kurangnya pengetahuan
tentang IMS dan pencegahannya,
tidak menggunakan kondom
karena melakukan dengan orang
dekat (pacar,teman) dan bentuk
pelayanan kepada pelanggan
(sesuai permintaan pelanggan)

Kekuatan Penelitian Bahasa yang digunakan oleh


penulis mudah dipahami maksud
dan tujuannya oleh pembaca,
sampel mewakili wilayah yang
diteliti, melindungi privasi
responden dengan baik

Kelemahan Penelitian Antara hasil penelitian dan


kesimpulan menggunakan kalimat
yang sama sehingga tidak dapat
dibedakan mana hasil penelitian
mana kesimpulan peneliti

Kesimpulan Jumlah responden dengan

12
pengetahuan tentang IMS dan
pengalaman pencegahan IMS
sebanyak 41 orang sedangkan
responden dengan pengetahuan
baik sebanyak 27 orang. Sehingga
dapat disimpulkan lebih banyak
WPS yang kurang mengetahui
tentang IMS dan bagaimana
pencegahannya

Berdasarkan jurnal penelitian yang dilakukan oleh Made Narindra


dengan judul “Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Menular Seksual
di Negara Berkembang” mengatakan bahwa Infeksi Menular Seksual
(IMS) masih menjadi permasalahan utama di negara berkembang,
dengan angka insiden dan prevalensi kasus IMS yang tinggi. Upaya
pencegahan dan pengendalian IMS sangat diperlukan untuk dapat
menghambat permasalahan tersebut. Terbatasnya keberhasilan
pengendalian IMS di negara berkembang tidak hanya semata-mata
karena kurangnya alat diagnostik pelayanan, meningkatnya resistensi
antibiotik, pergeseran pola patogen IMS, rendahnya perilaku mencari
pengobatan atau dinamika transmisi yang kompleks, namun secara
lebih mendasar, hal ini disebabkan oleh rendahnya kebijakan politik
untuk berinvestasi dalam langkah-langkah pengendalian yang tepat
serta untuk mempertahankan dan memperkuat sistem kesehatan dasar,
dan juga sedikitnya data yang tersedia dalam hal beban penyakit dan
efektivitas program yang telah dijalankan. Beberapa strategi umum
yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan dan pengendalian IMS
di negara berkembang yaitu mulai dari pencegahan primer hingga
berbagai strategi pengobatan. Intervensi pencegahan primer terdiri dari
program perubahan perilaku, intervensi struktural dan penggunaan
berbagai teknologi pencegahan. Sementara itu pendekatan pengobatan

13
yang dapat dilakukan adalah pengobatan kasus simptomatik dengan
pendekatan berdasarkan sindrom, penemuan kasus dan skrining untuk
kasus asimtomatik, serta intervensi tertarget dan pengobatan presumtif
untuk populasi risiko tinggi. Elemen lainnya yang juga menunjang
pengobatan ini adalah pemberian edukasi dan konseling, pengenalan
pasangan seksual dan peresepan antibiotik yang benar. Saat ini
terdapat beberapa tantangan dalam meningkatkan upaya pencegahan
dan pengendalian IMS di negara berkembang, yaitu pemanfaatan
secara efektif sektor swasta, adanya perubahan epidemiologi patogen
IMS, mengintegrasikan program secara kolaboratif dan memperluas
cakupan program.

3. HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) yaitu sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Virus HIV akan masuk
ke dalam sel darah putih dan merusaknya, sehingga sel darah putih
yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi jumlahnya akan
menurun. Akibatnya sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan
penderita mudah terkena berbagai penyakit. Kondisi ini disebut AIDS
(Ardhiyanti, dkk, 2015). Acquired Immuno Deficiency Syndrom
(AIDS) yaitu suatu gejala penyakit kerusakan sistem kekebalan tubuh
bukan penyakit bawaan tetapi didapat dari hasil penularan. Penyakit ini
disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV).
HIV-AID termasuk salah satu penyakit yang sangat ditakuti,
karena hingga saat ini belum ditemukan obatnya, sehingga orang yang
terkena penyakt tersebut dpat dikatakan tidak memiliki harapan hidup
panjang.Fenomena orang dengan HIV-AID jumlahnya cenderung
meningkat baik di Negara maju maupun Negara berkembang termasuk
Indonesia.
Di Indonesia, jumlah kasus HIV dari tahun ke tahun cenderung
mengalami peningkatan sejak dilaporkannya kasus tersebut yaitu pada

14
tahun 1987. Jumlah kumulatif penderita HIV dari tahun 1987 sampai
dengan September 2014 sebanyak 150.296 orang, sedangkan total
kumulatif kasus AIDS sebanyak 55.799 orang (Kemenkes RI, 2014).
HIV/AIDS dapat menular melalui berbagai cara, antara lain
melalui cairan tubuh seperti darah, cairan genitalia, dan ASI. Virus
tersebut juga terdapat dalam saliva, air mata, dan urin namun sangat
rendah. Selain cairan tubuh, HIV juga dapat ditularkan melalui ibu ke
bayi, penggunaan jarum suntik secara bergantian, transfusi darah, dan
hubungan seksual (Widoyono, 2008).
Penyakit tersebut tidak hanya ada pada orang dewasa tetapi juga
bisa mengenai anak-anak maupun remaja. Seiring dengan
meningkatnya jumlah remaja umur 15-24 di dunia yang terinfeksi HIV
Orang yang terkena atau terinfeksi penyakit tersebut tentunya
dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya pengetahuan tentang
HIV-AID, pendidikan, ekonomi, wilayah dan tradisi.
Fakta lapangan memperlihatkan bahwa masyarakat masih sulit
menerima kehadiran orang dengan HIV-AID, hal ini dikarenakan
adanya anggapan bahwa penyakit tersebut dapat menular secara mudah
dan menganggap penderita merupakan orang yang berperilaku
negative (sering gonta-ganti pasangan). Ketidak tahuan ini bisa
berdampak pada si penderita, dimana sipenderita akan menutup diri
dan tidak mau memeriksakan kondisi kesehatan, karena hkawatir
diketahui dan diasingkan oleh masyarakat.
Menurut Kemenkes RI (2011), salah satu perilaku pencegahan
penularan HIV/AIDS dan IMS yaitu dengan menggunakan kondom.
Meskipun kondom tidak memberikan perlindungan 100% untuk setiap
infeksi, namun bila digunakan dengan tepat akan sangat mengurangi
risiko infeksi (Kemenkes RI, 2011).
Menurut Priyoto (2014), faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku seseorang adalah faktor predisposisi (pengetahuan, sikap, dan
praktik penggunaan kondom), faktor pendukung (media penyuluhan

15
dan akses informasi), dan faktor pendorong (dukungan tenaga
kesehatan, dukungan teman, dan dukungan mucikari).
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata
diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan
seperti fasilitas (Notoatmodjo, 2012). Pengetahuan orang terhadap
HIV-AID akan mempengaruhi sikap dan perilaku, orang dengan
pengetahuan tentang HIV-AID yang kurang maka akan bersikap dan
berperilaku menjauhi orang yang terinfeksi penyakit tersebut,bahkan
ada yang beranggapan penyakit tersebut tidak berbahaya dan tidak
mematikan. Sebaliknya apabila pengetahuannya cukup maka sikap
yang diberikan pada penderita berbeda, mereka dalam hal ini
masyarakat akan lebih menerima kehadiran penderita. Padahal bila
pengetahuan dan pemahaman tentang HIV-AID benar maka
penularannya dapat dicegah.
Data yang ditunjukkan UNICEF (United Nations International
Children’s Emergency Fund), tahun 2005 sebanyak 71.000 remaja usia
10-19 tahun meninggal akibat virus HIV jumlah ini meningkat menjadi
110.000 remaja pada tahun 2012. Selama periode 2005-2012 telah
mengalami kenaikan sebesar 50 persen (UNICEF, 2017).
Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan RI hingga 2015
remaja yang terinfeksi HIV berjumlah 28.060 orang (15,2 persen).
Sebanyak 2089 orang (3 persen) di antaranya sudah dengan AIDS.
Remaja selalu berisiko tinggi karena mereka memiliki hubuungan yang
singkat dan pasangan yang banyak, atau pacar atau tunangan dengan
perilaku berisiko. Penularan HIV terjadi dinilai salah satunya karena
kurangnya pengetahuan terkait HIV/AIDS di kalangan para remaja.
Pengetahuan remaja tentang HIV-AID merupakan bagian dari
indikator Millenium Development Goals (MDGs), dan harus dipantau
secara berkala oleh semua negara-negara berkembang termasuk
Indonesia.

16
Judul Pengetahuan Remaja Terhadap
HIV-AIDS

Jurnal Prosiding Penelitian dan


Pengabdian Masyarakat

Volume dan Halaman Volume 5, halaman 288-293

Tahun 2018

Penulis Nunung Nurwati, Binahayati


Rusyidi

Tanggal Review 31 Agustus 2022

Tujuan Penelitian Mendeskripsikan pengetahuan


HIV-AIDS dikalangan remaja usia
15-24 tahun

Subjek Penelitian Remaja usia 15-24 tahun

Metode Penelitian Kualitatif karena menggunakan


data dari hasil SDKI 2017: Kespro
remaja SDKI dilaksanakan
bersama Badan Pusat Statistik,
BKKBN, dan KEMENKES

Hasil Penelitian Mayoritas remaja baik wanita


maupun pria pernah mendengar
tentang HIV-AIDS, namun
demikian masih ada remaja yang
tidak pernah mendengar, walaupun
presentasenya kecil jika tidak
segera diberi pengetahuan dan
pemahaman HIV-AIDS terutama
penanganan dan pencegahannya
akan menimbulkan dampak,

17
misalnya karena ketidaktahuannya
maka remaja sering melakukan
hubungan seksual dengan lebih
dari satu orang

Kekuatan Penelitian Bahasa yang digunakan oleh


penulis mudah dipahami maksud
dan tujuannya oleh pembaca

Kelemahan Penelitian Metode penelitian dan sampel


yang digunakan kurang bervariasi

Kesimpulan Remaja wanita memiliki tingkat


pengetahuan yang lebih tinggi
tentang HIV-AIDS dibanding
dengan remaja pria. Pengetahuan
tentang HIV-AIDS di kalangan
remaja sudah baik, dan
mengetahui cara pencegahan
penularannya. Sumber informasi
HIV-AID bagi remaja wanita
sebagian besar dari guru atau
sekolah dan teman atau keluarga ,
sedangkan remaja pria lebih
banyak mendapatkannya dari TV
dan dari teman atau keluarga.
Mayoritas remaja baik wanita
maupun pria mengatakan bahwa
penularan HIV-AIDS dapat
dicegah dengan menggunakan
kondom setiap kali melakukan
hubungan seksual atau dengan
membatasi hubungan seksual

18
hanya dengan satu pasangan saja.
Dengan demikian ada hubungan
antara pengetahuan dengan sikap.
Remaja dengan pengetahuan HIV-
AIDS cenderung akan bersikap
lebih berhati-hati dan lebih paham
terhadap cara pencegahan dan
penularan virus HIV/AIDS

4. Keganasan dalam Sistem Reproduksi


Salah satu keganasan pada sistem reproduksi perempuan adalah kanker
serviks. Kanker serviks merupakan keganasan sel yang terjadi pada serviks
(Kemenkes, 2017) Kanker serviks dapat berasal dari mukosa dipermukaan
serviks yang tumbuh secara local dan dapat menyebar ke uterus, jaringan
paraservikal dan organ panggul (Bermudez,Bhatla dan Leung, 2015).
Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi virus HPV (Human Pappiloma
Virus), terutama virus HPV sub tipe 16 dan 18. Lebih dari 90% kanker
serviks jenis skuamosa mengandung DNA virus HPV dan 50% kanker
serviks berhubungan dengan HPV tipe 16. Penyebaran virus ini terutama
melalui hubungan seksual.

a. Faktor resiko kanker serviks antara lain:


1) Wanita yang berasal dari golongan sosial ekonomi bawah
Hal ini dikaitkan dengan kemampuan untuk mendapatkan
asupan makanan yang bergizi dan penting untuk menjaga serta
meningkatkan daya tahan tubuh, terutama dalam menahan
serangan infeksi virus dari luar. Selain itu, sosial ekonomi yang
rendah juga menyebabkan wanita memiliki akses yang terbatas
terhadap perkembangan dunia kesehatan, termasuk pentingnya
melakukan skrining atau pendetksian dini kanker serviks, salah
satunya melalui pemeriksaan pap smear (Riksani dan
RelMediaService, 2016)

19
2) Alat Kontrasepsi Oral
Hingga kini para ahli belum memiliki kesepahaman mengenai
mekanisme penggunaan pil KB yang bisa meningkatkan risiko
terjangkitnya kanker serviks. Guven et al (2009), menyimpulkan
hipotesis bahwa kekentalan lendir pada serviks akibat
penggunaan pil KB berperan dalam terjadinya kanker serviks.
Hal ini karena kekentalan lendir bisa memperlama keberadaan
agen karsinogenik penyebab kanker berada di serviks. Fakta
juga menunjukkan bahwa adanya hubungan antara antara
penggunaan pil KB dalam jangka waktu yang lama, setidaknya
5 tahun dengan peningkatan kejadian kanker serviks (Riksani
dan Rel MediaService, 2016).
3) Obesitas
Kegemukan merupakan faktor pemicu kanker, seseorang dapat
menderita kanker apabila memiliki beragam gangguan nutrisi
yang disebabkan oleh faktor genetik, lingkungan, makanan, dan
gaya hidup. Peningkatan berat badan berhubungan dengan
proses homeostasis tubuh dalam menstabilkan hormon. Ketidak
seimbangan hormon progesteron dalam tubuh merangsang
peningkatan berat badan.
4) Penggunaan Antiseptik
Kebiasaan pencucian vagina secara berlebihan dan saat tidak
diperlukan menggunakan obat-obatan antiseptik maupun
deodoran bisa mengakibatkan iritasi pada serviks yang bisa juga
menimbulkan dan merangsang terjadinya kanker (Riksani dan
RelMediaService, 2016).
5) Usia Pertama Kali Hubungan Seksual
Sesuai dengan etiologi infeksinya, wanita dengan partner
seksual yang banyak dan wanita yang memulai hubungan
seksual pada usia muda akan meningkatkan risiko terkena
kanker serviks. Karena sel kolumnar serviks lebih peka terhadap

20
metaplasia selama usia dewasa maka wanita yang berhubungan
seksual sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena kanker
serviks lima kali lipat. Keduanya, baik usia saat pertama
berhubungan maupun jumlah partner seksual, adalah faktor
risiko kuat untuk terjadinya kanker serviks (Rasjidi, 2009).
6) Riwayat terpapar Infeksi Menular Seksual (IMS)
Hal ini karena HPV bisa ikut tertular bersamaan dengan
penyebab penyakit kelamin lainnya saat terjadi hubungan
seksual. Kaitan antara perubahan abnormal serviks (dysplasia)
dan kanker serviks yang berkaitan dengan HIV telah dikenal
sejak tahun 1990 (Riksani dan Rel Media Service, 2016).
7) Merokok
Saat ini terdapat data yang mendukung bahwa rokok sebagai
penyebab kanker serviks dan hubungan antara merokok dengan
kanker sel skuamosa pada serviks (bukan adenoskuamosa atau
adenokarsinoma). Mekanisme kerja bisa langsung (aktivitas
mutasi mukus serviks telah ditunjukkan pada perokok) atau
melalui efek imunosupresif dari merokok. Bahan karsinogenik
spesifik dari tembakau dapat dijumpai dalam lendir dari mulut
rahim pada wanita perokok. Bahan karsinogenik ini dapat
merusak DNA sel epitel skuamosa dan bersama infeksi HPV
dapat mencetuskan transformasi keganasan (Rasjidi, 2015)
8) Paritas
Semakin banyak proses melahirkan yang dialami seorang ibu,
maka semakin tinggi risiko untuk terkena kanker serviks
(Savitri, 2015). Hal tersebut berhubungan dengan terjadinya
eversi epitel kolumner serviks selama kehamilan yang
menyebabkna dinamika baru epitel metaplastik imatur yang
dapat meningkatkan resiko transformasi sel serta trauama pada
serviks sehingga memudahkan terjadi infeksi HPV.
9) Diet

21
Diet rendah karotenoid dan defisiensi asam folat juga
dimasukkan dalam faktor risiko kanker serviks (Rasjidi, 2015).
b. Tanda dan Gejala
Pada fase pra kanker, sering tidak ada gejala atau tanda-tanda yang
khas. Namun, kadang biasa ditemukan gejala-gejala sebagai berikut :
1) Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina. Getah yang
keluyar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat
infeksi dan nekrosis jaringan.
2) Perdarahan setelah senggama (post coital bleeding) yang
kemudian berlanjut menjadi perdarahan yang abnormal.
3) Timbulnya perdarahan setelah masa menopause.
4) Pada fase invasif dapat keluar cairan berwarna kekuning-
kuningan, berbau dan dapat bercampur dengan darah.
5) Timbul gejala-gejala anemia bila terjadi perdarahan kronis.
6) Timbul nyeri panggul (pelvis) atau di perut bagian bawah bila
ada radang panggul. Bila nyeri terjadi di dareah pinggang ke
bawah, kemungkinan terjadi hidronefrosis. Selain itu, bisa juga
timbul nyeri di tempat-tempat lainnya.
c. Pengobatan Kanker Serviks dapat melalui tindakan pembedahan atau
operasi, terapi penyinaran (radioterapi) dan Kemoterapi

22
d. Pencegahan kanker serviks
1) Hindari rokok dan asap rokok
2) Hindari penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang >5 tahun.
3) Tidak berganti-ganti pasangan seks
4) Membatasi jumlah kelahiran
5) Diet sehat dengan asupan makanan tingi nabati (buah-buahan,
sayuran, kacang-kacangan dan gandum),
6) Melakukan deteksi dini kanker serviks dengan metode Pap
Smear, Target skrining kanker serviks adalah wanita yang sudah
menikah usia 30-50 tahun.

Papsmear test merupakan pemeriksaan leher rahim (serviks)


menggunakan alat yang dinamakan Speculum dan dilakukan oleh bidan
ataupun ahli kandungan. pemeriksaan ini bermanfaat mengetahui
adanya HPV ataupun sel karsinoma penyebab kanker serviks.
Pemeriksaan Papsmear saat ini merupakan keharusan bagi wanita,
sebagai sarana untuk pencegahan dan deteksi dini kanker serviks.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan sesorang (overt behaviour). Tingkat pengetahuan
seseorang dapat diperoleh secara formal dan non formal..Pengetahuan
seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek
positif dan aspek negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap
seseorang, semakin banyak aspek positif terhadap objek yang diketahui,
maka akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu
(Nurwijaya, 2013).
Judul Hubungan Pengetahuan WUS
tentang Kanker Serviks dengan
Pemeriksaan Papsmear

Jurnal Jurnal Kebidanan Sorong

Volume dan Halaman Volume 1, halaman 26-34

Tahun 2021

23
Penulis Syahroni Damanik, Suyanti
Suwardi

Tanggal Review 31 Agustus 2022

Tujuan Penelitian Untuk mengetahui hubungan


pengetahuan WUS tentang kanker
serviks dengan pemeriksaan
Papsmear di Dusun IV Desa
Helvetia

Subjek Penelitian Seluruh WUS yang datang ke


posyandu Desa Helvetia tahun
2020 sebanyak 265

Metode Penelitian Menggunakan desain penelitian


survei analitik cross sectional
dengan clusterrandom sampling.
Hasil uji stastik dengan uji chi-
square

Hasil Penelitian Terdapat pengetahuan kurang


dengan tidak melakukan
pemeriksaan papsmear adalah
sebanyak 45 responden (62.5%)
dan pengetahuan baik dengan
melakukan pemeriksaan papsmear
adalah 7 responden (9.7%)

Kekuatan Penelitian 1. Bahasa yang digunakan


oleh penulis mudah
dipahami maksud dan
tujuannya oleh pembaca

24
2. Metode penelitian yang
dilakukan sangat lengkap

Kelemahan Penelitian Sampel yang digunakan kurang


mewakili tempat yang diteliti

Kesimpulan ada hubungan pengetahuan WUS


tentang kanker serviks dengan
pemeriksaan papsmear di Dusun
IV Desa Helvetia tahun 2020.
Maka dari itu diharapkan bagi
wanita usia subur untuk
meningkatkan pengetahuan tentang
kanker serviks dengan
pemeriksaan Papsmear agar saat
pemeriksaan Papsmear Wanita
usia subur dapat
mengaplikasikannya atau
melakukannya dengan benar dan
tepat sehingga pemeriksaan
Papsmear akan mudah dan lancar.
Diharapkan juga kepada perangkat
Desa dan tenaga Kesehatan dapat
meningkatkan promosi kesehatan
dan penyuluhan tentang kanker
serviks dengan pemeriksaan
Papsmear yang benar dengan
membagikan brosur, leaflet, pada
saat melakukan kunjungan
posyandu dan menganjurkan
untuk melakukan pemeriksaan
Papsmear sekali dalam setahun.

25
5. Sistem Reproduksi
Sistem reproduksi atau sistem genital adalah sistem organ
seks dalam organisme yang bekerja sama untuk tujuan reproduksi
seksual. Sistem reproduksi yang melibatkan organ-organ reproduksi
pada makhluk hidup digunakan untuk berkembang biak atau
melakukan reproduksi, dengan tujuan untuk melestarikan jenisnya agar
tidak punah. Sistem reproduksi pada manusia dibagi menjadi dua yaitu
sistem reproduksi pada pria dan wanita.
Sistem reproduksi pada pria mencakup testis, duktus seminalis,
vesika seminalis, kelenjar prostat dan bulbouretral, uretra, skrotum,
dan penis. Struktur tersebut secara bersama-sama menghasilkan
produk yang unik, yaitu sperma, cairan seminalis, dan androgen.
Fungsi atau tujuan biologis dari sistem reproduksi pria adalah untuk
membentuk dan mengirimkan gametosit (sperma) ke lubang uterus
wanita. Pengiriman tersebut diselesaikan melalui suatu aksi
persetubuhan, atau koitus, ketika penis yang ereksi disisipkan ke dalam
vagina, mengejakulasikan semen. Sistem reproduksi pria menghasilkan
hormon-hormon seks jantan, atau androgen, yang mempersiapkan
kelenjar-kelenjar dan saluran-saluran tubular pada saluran reproduksi
agar berfungsi, serta menghasilkan karakteristik-karakteristik seksual
sekunder.
Sistem reproduksi wanita mencakup ovarium, tuba uterin (tuba
fallopii/oviduk), uterus, vagina, vulva, dan payudara. Kesemua organ-
organ ini menghasilkan gamet wanita (ovum) dan hormon-hormon.
Tujuan dan fungsi sistem reproduksi wanita adalah untuk memberikan
tempat bagi penis pria pada saat koitus dan merupakan tempat dimana
ovum yang telah dibuahi dapat tumbuh menjadi bayi, dan
memproduksi ASI untuk bayi yang baru lahir. Manusia tidak punya
musim tertentu bagi aktivitas seksual, seperti hampir semua mamalia
lainnya. Koitus dapat terjadi kapan saja dan koitus selain berperan

26
dalam fungsi reproduksi, bisa pula berfungsi hanya sebagai aktivitas
untuk mempertahankan seksualitas, sehingga fungsi reproduksi dapat
dicegah dengan menggunakan kontrasepsi.

Judul Edukasi Pada Wanita Usia Subur


Tentang Gangguan Sistem
Reproduksi

Jurnal Jurnal Pengabdian Masyarakat

Volume dan Halaman Volume 2, halaman 188-197

Tahun 2021

Penulis Mella Yuria Rachma Anandita,


Irwanti Gustina

Tanggal Review 31 Agustus 2022

Tujuan Penelitian Memberikan edukasi kepada


Wanita Usia Subur (WUS) tentang
gangguan pada sistem reproduksi

Subjek Penelitian Wanita Usia Subur (WUS) di


wilayah SDN 3 Cimuning Bekasi

Metode Penelitian Kualitatif. Penyuluhan kesehatan


dengan daring

Hasil Penelitian Diperoleh data bahwa 68% dari 25


orang WUS di wilayah SDN 3
Cimuning Bekasi memiliki
pengetahuan sedang dan hasil
postest menunjukan mayoritas
WUS memiliki pengetahuan yang
baik tentang gangguan sistem
reproduksi yaitu sebanyak 18
orang (72%). Mayoritas masih

27
beranggapan tanda gejala pada
sistem reproduksi merupakan hal
yang normal

Kekuatan Penelitian 1. Bahasa yang digunakan


oleh penulis mudah
dipahami maksud dan
tujuannya oleh pembaca
2. Sampel yang digunakan
mewakili dari populasi di
tempat penilitian

Kelemahan Penelitian Metode penelitian yang digunakan


kurang bervariasi

Kesimpulan Pemberian edukasi pada WUS


tentang gangguan pada sistem
reproduksi dapat meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman
WUS tentang gangguan yang
dirasakan pada sistem reproduksi

Berdasarkan jurnal pengabdian masayarakat yang dilakukan oleh


Mella Yuria pada tahun 2021 mengenai “Edukasi Pada Wanita Usia
Subur Tentang Gangguan Sistem Reproduksi” mayoritas WUS masih
beranggapan tanda gejala pada sistem teproduksi merupakan hal yang
normal. Untuk itu mereka perlu diberikan informasi agar lebih
memahami dalam mendeteksi gejala-gejala pada gangguan reproduksi.
Kurangnya kesadaran masyarakat tentang pemeliharaan kesehatan
reproduksi atau mempunyai konsep yang salah terhadap kesehatan
reproduksi pada pasangan usia subur dapat disebabkan karena
masyarakat masih belum menganggap bahwa kesehatan reproduksi itu
penting. Faktor lain yang mempengaruhi hal tersebut adalah biaya

28
pemeriksaan yang relatif mahal, dan pengetahuan masyarakat
mengenai masalah kesehatan reproduksi saat ini pun masih kurang.
Dengan adanya beberapa kendala yang terjadi pada pasangan usia
subur maka tenaga kesehatan pun sulit mendeteksi adanya masalah
kesehatan yang terjadi di daerah, padahal masalah kesehatan
reproduksi yang tidak segera terdeteksi dan tidak segera mendapatkan
tindakan preventive dan curative akan menjadi masalah yang cukup
serius dan bahkan berbahaya seperti kanker serviks yang sekarang
menjadi masalah kesehatan yang menjadi penyebab terbesar kematian
di seluruh dunia, terutama di Negara berkembang. Atas dasar hal
tersebut sehingga pendidikan tentang pentingnya menjaga kesehatan
reproduksi sangat diperlukan, terutama bagi pasangan usia subur yang
menggunakan kontrasepsi. Tenaga kesehatan diharapkan
meningkatkan tindakan promotif dan preventif untuk meminimalisir
terjadinya gangguan kesehatan reproduksi bagi pengguna kontrasepsi,
sehingga dapat mendorong mereka untuk menerapkan perilaku hidup
bersih dan sehat, dan mau berupaya untuk mendatangi tenaga
kesehatan untuk memeriksakan kesehatan reproduksinya. (Lidiana, D,
dkk, 2020)

29
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Evidence base adalah proses sistematis untuk mencari, menilai dan
menggunakan hasil penelitian sebagai dasar untuk pengambilan keputusan
klinis. Semua harus berdasarkan bukti dan bukti inipun merupakan bukti
ilmiah terkini yang bisa dipertanggungjawabkan.
Evidence Based Midwifery (EBM) adalah penggunaan mutakhir
terbaik yang ada secara bersungguh-sungguh, eksplisit dan bijaksana untuk
pengambilan keputusan dalam penanganan pasien perseorangan (Sackett et
al, 1997). Evidence Based Midwifery (EBM) ini sangat penting peranannya
pada dunia kebidanan karena dengan adanya EBM maka dapat mencegah
tindakan – tindakan yang tidak diperlukan/tidak bermanfaat bahkan
merugikan bagi pasien. Tidak semua EBM dapat langsung diaplikasikan
oleh semua professional kebidanan di dunia. Oleh karena itu bukti ilmiah
tersebut harus ditelaah terlebih dahulu, mempertimbangkan manfaat dan
kerugian serta kondisi setempat seperti budaya, kebijakan dsb.

3.2 Saran
Diharapkan calon tenaga kesehatan atau calon bidan dapat menjalankan
program Asuhan Kebidanan Keluarga Berencana Dan Kesehatan
Reproduksi sesuai dengan Evidence Base.

DAFTAR PUSTAKA
IBI. 2021. Modul Pelatihan Midfery Update Jakarta
Iswarati Rahmadewi. 2002. Buku Sumber Advokasi. Jakarta : BKKBN

30
Depkes RI. 2021. Pedoman Pelayanan Kontrasepsi dan Keluarga
berencana. Jakarta : Kementrian Kesehatan Direktorat Kesehatan
Keluarga.
Profil Kesehatan Indonesia 2020, Depkes RI
Rohmawati, Wiwin. 2020. Webminar Seri 4 Masalah Kesehatan
Reproduksi Remaja. (online).
http://stikesmukla.ac.id/downloads/webinar4/MASALAH
%20KESEHATAN%20REPRODUKSI%20REMAJA.pdf . diakses
tanggal 31 Agustus 2022
Ariani, Peny dkk. 2013. Makalah KB Contraceptive Technology
Updates. (online). https://www.academia.edu/4881028/MAKALAH_KB .
Diakses tanggal 31 Agustus 2022
Ariasih, A. Sabilla, M. (2020). Pengetahuan dan Pengalaman
Wanita Pekerja Seks dalam Pencegahan Infeksi Menular Seksual di Panti
Sosial Karya Wanita Mulya Jaya Jakarta, vol.16(1), 41-54
Jayanti, R. dkk. (2019). Keberlangsungan Akseptor IUD Pasca
Persalinan Pervaginam di RSUP dr. Kariadi, vol.8(3), 1037-1049
Damanik, S. Suwardi, S. (2021). Hubungan Pengetahuan WUS
Tentang Kanker Serviks Dengan Pemeriksaan Papsmear, vol.1(1), 26-34
Nurwati, N. Binahayati, R. (2018). Pengetahuan Remaja Terhadap
HIV-AID, vol.5(3), 288-293
Anandita Rachma , Y, M. Gustina, I. (2021). Edukasi Pada Wanita
Usia Subur Tentang Gangguan Sistem Reproduksi, vol.2(2), 188-197

31

Anda mungkin juga menyukai