Bab I Fix
Bab I Fix
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronik yang menyebabkan proses difus
pembentukan nodul dan fibrosis. Prevalensi sirosis hepatis di dunia diperkirakan 100 (kisaran
25-100)/100.000 penduduk, tetapi hal tersebut bervariasi menurut negara dan wilayah. Sirosis
hepatis menempati urutan ke-14 penyebab tersering kematian pada orang dewasa di dunia.
Menurut laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia, rata-rata prevalensi sirosis
hepatis adalah 3,5% dari seluruh pasien yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam.1
Penyebab utama sirosis hepatis di negara barat adalah alkohol dan Hepatitis C,
sedangkan di Indonesia penyebab utama sirosis hepatis adalah Hepatitis B (40%-50%) dan
Hepatitis C (30%-40%).1
Sirosis hepatis secara klinis terbagi menjadi sirosis hepatis kompensata dan sirosis
hepatis dekompensata, perubahan dari kompensata menjadi dekompensata disebabkan oleh
insufisiensi sel hati dan hipertensi portal. Hal tersebut akan memengaruhi tes fungsi hati dan
pemeriksaan hematologi, beberapa diantaranya yaitu kadar albumin, jumlah trombosit, dan
kadar kreatinin. Albumin merupakan protein yang hanya disintesis di hati sehingga kadarnya
akan memburuk sesuai perburukan hati. Jumlah trombosit pada sirosis hepatis biasanya akan
mengalami penurunan dan akan meningkatkan risiko perdarahan pada pasien sirosis hepatis.
Pengukuran serum kreatinin dapat digunakan untuk menilai fungsi ginjal pada pasien sirosis
hepatis.1
Prognosis pasien sirosis hepatis dapat diperkirakan menggunakan klasifikasi Child
Pugh, yang dibagi menjadi Child pugh A, B, dan C yang masing-masing mempunyai angka
ketahanan hidup dua tahun sebesar 85%, 57%, dan 35%. Komplikasi yang terjadi pada sirosis
hepatis akan meningkatkan risiko kematian dan angka kesakitan pasien, komplikasi yang
dapat terjadi adalah perdarahan saluran cerna, asites, sindrom hepatorenal, ensefalopati
hepatik, peritonitis.1
1.1 Batasan Masalah
1
BAB II
LAPORAN KASUS
3.2 ANAMNESA
Seorang pasien laki-laki berumur 50 tahun masuk IGD dengan keluhan :
Keluhan utama : OS datang dengan keluhan muntah darah sejak 3 jam SMRS.
Keluhan tambahan : OS juga mengeluhkan BAB hitam, mual, nyeri ulu hati, nyeri kepala,
serta badannya terasa lemas.
2
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien tidak pernah mengeluhkan penyakit yang sama.
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat Diabetes Melitus (-)
Riwayat Hepatitis B kronis (+)
Riwayat Sirosis Hati (+)
Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan seperti pasien
Riwayat Kebiasaan Sosial :
Pasien bekerja sebagai petani. Sejak pasien sakit, pasien tidak pernah lagi bekerja.
Pasien tinggal bersama anak dan istrinya.
Riwayat kontak dengan penderita hepatitis B (-)
Riwayat memakai jarum suntik yang telah digunakan orang lain (-)
Riwayat transfusi darah sebelum terdiagnosis hepatitis B (-)
Riwayat merokok (+)
Riwayat minum alkohol (-)
Pola tidur pasien baik dan tidak terganggu
Pola makan pasien terganggu, nafsu makan pasien menurun
Dada
Paru-paru
Inspeksi : simetris, normochest, retraksi tidak ada, ketinggalan bernafas (-)
Palpasi : fremitus sama kiri dan kanan
3
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : SP: vesikuler
ST: rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : teraba ictus cordis di 1 jari medial dari linea mid
clavicula sinistra RIC V
Perkusi : batas jantung atas RIC II, kanan Linea Sternalis
Dextra, kiri 1 jari medial LMCS RIC V
Auskultasi : irama teratur, gallop (–) murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, sikatrik (-), striae (-), venektasi (-), spider nervi (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) kuadran kanan atas. Undulasi (+), caput medusa (-),
hati tidak teraba, Nyeri tekan Epigastrium (+)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Ekstremitas :
Superior : Akral dingin, CRT <2 detik, edem (-), palmar eritema (+)
Inferior : Akral dingin, CRT <2 detik, edema kedua tungkai (-),sikatriks (-).
Punggung : tidak ditemukan kelainan
Anus : colok dubur tidak dilakukan
4
Glukosa darah
GDN 103 < 126mg/dl
GD2PP 107 <200mg/dl
HbA1C 4.9 % Diabetic control
Faal Hati
SGOT 62.23 <40 u/l
SGPT 49.04 <41 u/l
Bil. Total 1.42 <1,0 mg/dl
Bil. Direk 0.54 <0,2 mg/dl
Bil. Indirek 0.88 0-0,94 mg/dl
Seromarker
hepatitis
HbsAg Reaktif Non reaktif
5
USG Abdomen (21/10/2019)
6
7
8
Kesan : Sirosis Hepatis, Ascites
3.5 Diagnosa
PSMBA ec. Varises Esofagus
+ Sirosis Hepatis Stad. Dekompensata ec. HBV Kronis
3.6 Terapi
Non farmakologi
1. Pasang NGT (puasa)
2. Pasang Kateter Urin (pantau urin output/24 jam)
Farmakologi
9
5. Inj. Asam traneksamat 500 mg/8 jam (IV)
6. Inj. Cefotaxim 1 gr/8 jam (IV) (ST)
7. Propanolol 1 x 10 mg tab PO (1-0-0)
8. Spironolakton 1 x 100 mg tab PO (1-0-0)
9. Sucralfat syr 3 x CI
10. Pralac syr 2 x CI (1-0-1)
Planning
Pantau GCS,TTV
10
Tanggal Follow up
06 – 07 S/ Penurunan kesadaran
Nopember NGT terpasang (hitam)
2019 BAB (hitam)
08.00 WIB
HR.2-3 O/
Kes TD HR RR T
Apatis 97/74 80 20 37◦C
PF
Mata: konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+)
Abdomen : Supel, NT epigastrium (+) hepar dan lien tidak teraba,
shifting dullness (+), BU (+) N
Ekskremitas: Akral dingin, edema (-)
LAB
DR : WBC10.90 Hb10.90 PLT96
Trombositopenia
Faal Hati
SGOT : 62.23 U/L (<40 U/L)
SGPT : 49.04 U/L (<41 U/L)
Bilirubin Total : 1.42 mg/dl (<1,0 mg/dl)
Bilirubin direk : 0.54 mg/dl (<0,2 mg/dl)
Bilirubin Indirek : 0.88 mg/dl (0-0.94 mg/dl)
- Peningkatan enzim aminotransferase hepar
(gangguan hepatoselular)
Feses Lengkap : hitam/leu 2-3/erit 1-2 : melena
Elektrolit : Na 127/K 3.2/Ca 1.00/Cl 93.3
Penurunan kadar elektrolit darah
GDS : 118 mg/dl
P/ PAR ICU
11
6. Inj Omeprazole 40 mg/12 jam (IV)
7. Inj. Ondansetron 4 mg /12 jam (IV)
8. Inj. Asam traneksamat 500 mg/8 jam (IV)
9. Inj. Cefotaxim 1 gr/8 jam (IV)(ST)
10. Propanolol 2 x 10 mg tab (PO)(1-0-1)
11. Spironolakton 1 x 100 mg tab (PO)(1-0-0)
12. Sucralfat syr 3 x CI (PO)
13. Pralac syr 2 x CI (PO)(1-0-1)
P/PBJ
1. Omeprazol 2 x 20 mg tab PO
2. Spironolakton 1 x 100 mg tab PO (1-0-0)
3. Propanolol 1 x 10 mg tab PO (1-0-0)
4. UDCA 2x1 tab PO (1-0-1)
5. Colistine 3 x 1 tab PO
6. Domperidon 3 x 10 mg tab PO
7. Pralac syr 1 x CI
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.1 Definisi
Sirosis hati merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang ditandai
oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif. Gambaran morfologi dari SH
meliputi fibrosis difus, nodul regeneratif, perubahan arsitektur lobular dan pembentukan
hubungan vaskular intrahepatik antara pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri
hepatika) dan eferen (vena hepatika). Secara klinis atau fungsional SH dibagi atas : 1. Sirosis
hati kompensata 2. Sirosis hati dekompensata.2,3
3.1.2 Epidemiologi
3.1.3 Patogenesis
Sirosis hati terjadi akibat adanya cidera kroniki – reversibel pada parenkim hati disertai
timbulnya jaringan ikat difus,pembentukan nodul degeneratif. Hal ini sebagai akibat adanya
nekrosis hepatosit, kolapsnya jaringan penunjang retikulin, disertai dengan deposit jaringan
ikat distorsi jaringan vaskular berakibat pembentukan vaskular intra hepatik anatara pembuluh
darah hati aferen (vena porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika) dan degenarasi
nodular parenkim hati sisanya.2,3
Terjadi fibrosis hati disebabkan adanya aktivasi dari sel stellate hati. Aktivasi ini
dipicu oleh faktor pelepasan yang dihasilkan hepatosit dan sel kuffer. Sel stellate merupakan
sel penghasil utama matrix ekstraseluler (ECM) setelah terjadi cedera pada hepar.
Pemebentukan ECM disebabkan adanya pembentuk jaringan mirip fibroblast yang dihasilkan
sel stellate dan dipengaruhi oleh beberapa sitokin seperti (TGF – β) dan (TNF α).3
Deposit ECM di space of disse akan menyebabkan perubahan bentuk dan memacu
kapilarisasi pembuluh darah. Kapilarisasi sinusoid kemudian mengubah pertukaran normal
aliran vena porta dengan hepatosit, sehingga meterial yang seharusnya dimetabolisasi oleh
hepatosit akan langsung masuk ke aliran darah sistemik dan menghambat material yang
diproduksi hati masuk ke darah. Proses ini akan menimbulkan hipertensi portal dan penurunan
fungsi hepatoseluler.3
14
3.1.4 Penyebab
Penyebab SH bermacam – macam, kadang lebih satu sebab pada satu penderita.
2. Hepatitis C kronik
4. Hepatitis non alkoholik (NASH), hepatitis tipe ini dikaitkan dengan DM,
malnutrisi protein, obesitas, penyakit arteri koroner, pemakaian obat
kortikosteroid.
7. Hepatitis autoimun
8. Hemokromatosis herediter
9. Penyakit Wilson
12. Galaktosemia
15
Tanda Penyebab
Perubahan kuku
16
Asterixis/flapping tremor Ensefalopati hepatikum
3. Pemeriksaan pencitraan
Ultrasonografi (USG) untuk mendeteksi SH kurang sensitif namun cukup spesifik bila
penyebabnya jelas. Gambaran USG memperlihatkan pembesaran lobus caudatus,
splenomegali, vena hepatika gambaran terputus – putus, hati mengecil, dan asites.4
17
4. Endoskopi
Gastroskopi dilakukan untuk memeriksa adanya varises di esofagus dan gaster pada
penderita SH. Selain untuk diagnostik, dapat pula digunakan untuk pencegahan dan terapi
perdarahan varises.7
3.1.9 Diagnosis
Stadium kompensata, kadang – kadang sangat sulit ditegakkan, namun bisa ditegakkan
dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium biokimia/serologi, dan
pemeriksaan pencitraan.6
Stadium dekompensata, diagnosis tidak terlalu sulit, karena gejala dan tanda sudah
tampak dengan adanya komplikasi. Baku emas untuk diagnosis SH adalah biopsi hati.7
3.1.10 Komplikasi
1. Hipertensi portal
2. Asites
3. Varises gastroesofagus
SBP merupakan komplikasi berat dan sering terjadi pada asites yang ditandai dengan
infeksi spontan cairan asites tanpa adanya fokus infeksi intraabdominal.9
5. Enselopati hepatikum
18
akibat dari intrahepatic portal – systemic shunts dan/atau penurunan sintesis urea dan
glutamik. Beberapa faktor merupakan presipitasi timbulnya EH diantaranya infeksi,
perdarahan, ketidakseimbangan elektrolit, pemberian obat – obatan sedatif dan protein porsi
tinggi. 13
6. Sindrom hepatorenal
SHR merupakan gangguan fungsi ginjal tanpa kelainan organik ginjal. Sindroma ini
sering dijumpai pada penderita SH dengan asites refrakter.9
3.11 Penatalaksaan
1. HBV kronis : preparat interferon secara injeksi atau oral dengan preparat analog
nekleosida jangka panjang.
2. HCV kronis : preparat interferon.
1. Asites
1. Tirah baring
2. Diet rendah garam (5,2 gr atau 90 mmol/hari)
3. Obat antidiuretik,diawali spironolakton (100-200 mg/hari,max 400mg ) bila respon
tidak adekuat dikombinasi furosemid (20 – 40 mg/hari, max 160 mg ).
4. Parasintesis bila ascites sangat besar, hingga 4-6 liter dan dilindungi pemberian
albumin.
5. Retriksi cairan.
2. Enselopati hepatikum
1. Laktulosa 30 - 45 ml sirup oral 3 -4 kali/hari.
2. Neomicin 4 – 12 gr oral/hari tiap 6 – 8 jam.
3. Varises esofagus
1. Propranolol 40-80 mg oral 2 kali/hari
2. Isosorbid mononitrat 20 mg oral 2 kali/hari.
19
2. Norfloksasin 400 mg oral 2 kali/hari untuk terapi, 400 mg oral 2kali/hari selama 7 hari
untuk perdarahan gastrointestinal, 400 mg oral per hari untuk profilaksis.
3. Trimethoprim/sulfamethoxazole 1 tablet oral/hr untuk profilaksis, 1 tablet oral 2 kali/hr
selama 7 hari untuk perdarahan gastrointestinal.
5. Hepatorenal syndrome
3.12. Prognosis
Perjalanan alamiah SH tergantung pada sebab dan penanganan etiologi yang mendasari
penyakit. Beberapa system skoring yang dapat digunakan untuk menilai keparahan dan
menentukan prognosisnya. System skoring ini antara lain skor Child Turcotte Pugh.4
Nilai
Parameter
1 2 3
Ensefalopati Tidak ada Terkontrol dengan Kurang terkontrol
terapi
Asites Tidak ada Terkontrol dengan Kurang terkontrol
terapi
Bilirubin (mg/dl) <2 2-3 >3
Albumin (gr/L) >3.5 1,8-3,5 <2,8
INR <1.7 1,7-2,2 >2.2
3.3 Tabel klasifikasi Child – Turcotte - Pugh
Penderita SH dikelompokkan menjadi CTP-A (5-6 poin). CTP B (7-9 poin), dan CTP-
C (10-15 poin). Penderita SH dengan CTP kelas A menunjukkan penyakit hatinya
terkompensasi baik, dengan kesintasan berturut-turut 1 tahun dan 2 tahun sebesar 100% dan
85%. Sedang CTP kelas B angka kesintasan berturut-turut 1 tahun dan 2 tahunnya sebesar
81% dan 60%. Kesintasan penderita SH dengan Child Turcott-pugh kelas C 1 tahun dan 2
tahun berturut-turut adalah 45% dan 35%.4
3.2.1 Definisi
SCBA dalah perdarahan saluran makanan proksimal dari ligamentum Treitz. Untuk
keperluan klinik dibedakan perdarahan varises esofagus dan non varises, karena keduanya
terdapat perbedaan dalam pengelolaan dan prognosisnya.12
20
3.2.2 Penyebab
Penyebab SCBA diantaranya adalah pecahnya varises esofagus, gastritis erosif, tukak
peptik, gastropati kongestif, sindroma Mallory – Weiss, dan keganasan.14
1. Anamnesa :
1. sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah yang keluar.
2. Riwayat perdarahan sebelumnya
3. Riwayat perdarahan dalam keluarga
4. Ada tidaknya perdarahan di bagisan tubuh lain
5. Penggunaan obat tertentu (anti inflamasi non steroid dan anti koagulan
6. Kebiasaan minum alkohol
7. Ada tidaknya penyakit hati kronik,DM,HT,dan alergi obat – obatan.
8. Riwayat transfusi sebelumnya.
2. Gejala Klinis
3. Pemeriksaan penunjang :
1. EKG
21
2. BUN, kreatinin serum
3. Elektrolit (Na, K, Cl)
4. Endoskopi gastrointestinal
5. Radiografi dengan barium
6. Radionuklid
7. Angiografi
1. Non-Endoskopis14
Salah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan adalah kumbah
lambung lewat pipa nasogastrik dengan air suhu kamar. Prosedur ini diharapkan mengurangi
distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik, namun demikian manfaatnya dalam
menghentikan perdarahan tidak terbukti. Kumbah lambung ini sangat diperlukan untuk
persiapan pemeriksaan endoskopi dan dapat dipakai untuk membuat perkiraan kasar jumlah
perdarahan.
Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang mengalami
perdarahan SCBA diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberian tersebut tidak merugikan
dan relatif murah.
Obat-obatan golongan anti sekresi asam yang bermanfaat perdarahan ulang SCBA
karena tukak peptik ialah inhibitor pompa proton dosis tinggi. Diawali bolus omeprazol 80
mg/iv kemudian dilanjutkan per infus 8 mg/kgBB/jam selama 72 jam. Suntikan omeprazol
yang beredar di Indonesia hanya untuk pemberian bolus, yang bisa digunakan per infus ialah
persediaan esomeprazol dan pantoprazol dengan dosis sama seperti omeprazol. Pada
perdarahan SCBA ini antasida, sukralfat, dan antagonis reseptor H2 masih boleh diberikan
untuk yuan penyembuhan lesi mukosa penyebab perdarahan.
22
Penggunaan balon tamponade untuk menghentikan serdarahan varises esofagus paling populer
adalah Sengstaken-Blakemore Tube (SB-tube) yang mempunyai tiga pipa serta dua balon
masing-masing untuk esofagus dan lambung. komplikasi pemasangan SB-tube yang bisa
berakibat fatal ialah pnemoni aspirasi, laserasi sampai perforasi.Pengembangan balon
sebaiknya tidak melebihi 24 jam.
2. Endoskopi14
Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif atau tukak dengan
pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi:
3. Terapi Radiologi
Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung dan belum
bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi endoskopi dinilai gagal dan pembedahan
sangat berisiko. Tindakan hemostasis yang bisa dilakukan dengan penyuntikan vasopressin
atau embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontraindikasi dan fasilitas dimungkinkan, pada
perdarahan varises dapat dipertimbangkan TIPS (Transjugular Intrahepatic Portosystemic
Shunt).14
4. Pembedahan
Pembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi dan radiologi
dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak awal dalam bentuk tim multidisipliner
pada pengelolaan kasus perdarahan SCBA untuk menentukan waktu yang tepat kapan
tindakan bedah sebaiknya dilakukan.14
3.3.1 Definisi
Adanya kerusakan hati dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem saraf otak
akibat zat-zat yang bersifat toksik. Keadaan klinis gangguan sistem saraf otak pada penyakit
hati tersebut merupakan gangguan neuropsikiatrik yang disebut sebagai koma hepatik atau
ensefalopati hepatik.15
3.3.2 Klasifikasi13
1. Koma hepatik akut (fulminant hepatic failure) ditemukan pada pasien hepatitis
virus, hepatitis toksik obat (halotan, asetaminofen), perlemakan hati akut pada
23
kehamilan, kerusakan parenkim hati yang fulminan tanpa faktor pencetus
(presipitasi). Perjalanan penyakit eksplosif, ditandai dengan delirium, kejang,
disertai dengan edema otak. Dengan perawatan intens angka kematian masih
tinggi sekitar 80%. Kematian terutama disebabkan edema serebral yang
patogenesisnya belum jelas.
3.3.3 Patogenesis13
Patogenesis koma hepatikum sampai saat ini belum diketahui secara pasti.
Sebagai konsep umum dikemukakan bahwa koma hepatik terjadi akibat akumulasi dari
sejumlah zat neuro - aktif dan kemampuan komagenik dari zat-zat tersebut dalam
sirkulasi sistemik.
24
Koma ringan Kebingungan nyata, Asteriksis fetor +++
dapat bangun dari tidur, hepatik, lengan
bereaksi terhadap kaku, hiperflek,
rangsangan. klonus, reflek
menggenggam,
meghisap.
3.3.5 Diagnosa13
1. Elektroensefalografi (EEG)
2. Tes psikometri
2. Trauma kepala seperti komosio serebri, kontusio serebri, perdarahan subdural, dan
perdarahan epidural
3. Tumor otak
5. Epilepsi
3.3.7 Penatalaksanaan13
25
3. Mengurangi/mencegah pembentukan influks toksin-toksin nitrogen ke jaringan
otak antara lain dengan cara: a). Menurunkan atau mengurangi asupan makanan
yang mengandung protein, b). Menggunakan laktulosa dan antibiotika,
c). Membersihkan saluran cerna bagian bawah.
4. 4). Upaya suportif dengan memberikan kalori yang cukup serta mengatasi
komplikasi yang mungkin ditemui seperti hipoglikemia, perdarahan saluran
cerna, dan keseimbangan.
3.3.8 Prognosis
Pada koma hepatik portosistemik sekunder, bila faktor - faktor pencetus teratasi, maka
dengan pengobatan standar hampir 80% pasien akan kembali sadar. Pada pasien dengan koma
hepatik primer dan penyakit berat prognosis akan lebih buruk bila disertai hipoalbuminema
ikterus, serta asites. Sementara koma hepatik akibat gagal hati fulminan kemungkinan hanya
20% yang dapat sadar kembali setelah dirawat pada pusat-pusat kesehatan yang maju.15
26
BAB IV
ANALISA KASUS
Seorang pasien laki-laki berumur 50 tahun masuk IGD dengan keluhan muntah darah
sejak 3 jam SMRS, muntah ± ½ liter dan darah bergumpal. OS juga mengeluhkan BAB hitam
sejak 1 minggu yang lalu. OS juga mengeluhkan mual, nyeri ulu hati, nyeri kepala, serta
badannya terasa lemas. 2 minggu yang lalu OS pernah di rawat, dengan keluhan nyeri pada
perutnya yang dirasakan terus menerus. Keluhan nyeri ini mengikuti keluhan perutnya yang
semakin membesar,dan OS didiagnosa dengan Sirosis hepatis stad.decompensata ec. HBV
Kronis. Pada perawatan hari ke – 2 OS mengalami penurunan kesadaran dan konsentrasi.
Perjalanan penyakit SH lambat, asimtomatis dan seringkali tidak dicurigai sampai
adanya komplikasi penyakit hati. Sebagian besar penderita yang datang ke klinik biasanya
sudah dalam stadium dekompensata. Penyebab SH bermacam – macam, kadang lebih satu
sebab pada satu penderita. Penyebab SH yang sering dijumpai : Penyakit hati alkoholik
(alcoholic Liver disease/ALD), Hepatitis C kronik, Hepatitis B kronik dengan/atau tanpa
hepatitis D, Hepatitis non alkoholik (NASH), hepatitis tipe ini dikaitkan dengan DM,
malnutrisi protein, obesitas, penyakit arteri koroner, pemakaian obat kortikosteroid,dsb.
Komplikasi dari penyakit sirosis hati : Hipertensi portal, Asites, Varises gastroesofagus,
Peritonitis bakterial spontan, Enselopati hepatikum, Sindrom hepatorenal. Penanganan SH
ditujukan pada penyebab hepatitis kronis,untuk mengurangi progresifitas penyakit SH agar
tidak semakin lanjut, dan menurunkan terjadinya karsinoma hepatoseluler. Perjalanan alamiah
SH tergantung pada sebab dan penanganan etiologi yang mendasari penyakit. Beberapa
system skoring yang dapat digunakan untuk menilai keparahan dan menentukan prognosisnya.
System skoring ini antara lain skor Child Turcotte Pugh.
SCBA dalah perdarahan saluran makanan proksimal dari ligamentum Treitz. Untuk
keperluan klinik dibedakan perdarahan varises esofagus dan non varises, karena keduanya
terdapat perbedaan dalam pengelolaan dan prognosisnya. Penyebab SCBA diantaranya adalah
pecahnya varises esofagus, gastritis erosif, tukak peptik, gastropati kongestif, sindroma
Mallory – Weiss, dan keganasan. Adapun manifestasi klinis dari PSCBA yaitu : Anemia
defisiensi besi akibat perdarahan tersembunyi yang berlangsung lama, Hematemesis dan atau
melena disertai atau tanpa anemia, dengan atau tanpa gangguan hemodinamik.
Pada permulaan perjalanan koma hepatikum (ensefalopati subklinis) gambaran
gangguan mental mungkin berupa perubahan dalam mengambil keputusan dan gangguan
konsentrasi. Keadaan ini dapat dinilai dengan uji psikomotor atau pada pasien dengan
intelektual cukup dapat dites dengan membuat gambar-gambar atau dengan uji hubung angka
(UHA).
27
BAB V
KESIMPULAN
1. Sirosis hati merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang ditandai
oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif. Gambaran morfologi
dari SH meliputi fibrosis difus, nodul regeneratif, perubahan arsitektur lobular dan
pembentukan hubungan vaskular intrahepatik antara pembuluh darah hati aferen (vena
porta dan arteri hepatika) dan eferen (vena hepatika). Secara klinis atau fungsional SH
dibagi atas : 1. Sirosis hati kompensata 2. Sirosis hati dekompensata.
2. Perjalanan penyakit SH lambat, asimtomatis dan seringkali tidak dicurigai sampai
adanya komplikasi penyakit hati. Sebagian besar penderita yang datang ke klinik
biasanya sudah dalam stadium dekompensata.
3. Penanganan ditujukan pada penyebab hepatitis kronis,untuk mengurangi progresifitas
penyakit SH agar tidak semakin lanjut, dan menurunkan terjadinya karsinoma
hepatoseluler.
4. Perjalanan alamiah SH tergantung pada sebab dan penanganan etiologi yang mendasari
penyakit. Beberapa system skoring yang dapat digunakan untuk menilai keparahan dan
menentukan prognosisnya. System skoring ini antara lain skor Child Turcotte Pugh.
5. SCBA dalah perdarahan saluran makanan proksimal dari ligamentum Treitz. Untuk
keperluan klinik dibedakan perdarahan varises esofagus dan non varises, karena
keduanya terdapat perbedaan dalam pengelolaan dan prognosisnya.
6. Penyebab SCBA diantaranya adalah pecahnya varises esofagus, gastritis erosif, tukak
peptik, gastropati kongestif, sindroma Mallory – Weiss, dan keganasan.
7. Adanya kerusakan hati dapat menyebabkan terjadinya gangguan sistem saraf otak
akibat zat-zat yang bersifat toksik. Keadaan klinis gangguan sistem saraf otak pada
penyakit hati tersebut merupakan gangguan neuropsikiatrik yang disebut sebagai koma
hepatik atau ensefalopati hepatik.
8. Diagnosis koma hepatik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan dibantu dengan
beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang antara lain adalah:
Elektroensefalografi (EEG), Tes psikometri, Pemeriksaan amonia darah.13
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Lovena A,Karakteristik Pasien Sirosis Hepatis di RSUP Dr. M. Djamil Padang, Jurnal
Kesehatan Andalas ( serial online ) 2017.
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/636/501
2. Pinzani, M. Roselli, M Zuckermamn, Liver Cirrhosis. Best Practice & Research
Clinical Gastroenterology 2011. 281-299.
3. Sherlock, Dooley, J. Hepatic, Cirrhosis in S. Sherlock and 1. Dooley (edts) Diseases of
Hhe Liver and Biliary System 11" edition 2011. 365-380.
4. Schuppan D and AfdhalNH, Liver cirrhosis, Lancet 2008. 838 – 851.
5. Nurdjanah, S., Sirosis Hati dalam A.W. Sudoyo, B. Setyohadi, L Alwi, M.
Simadibtara, 5. Setiati (edts). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I 2009, 443 - 446.
6. Goldberg E and Chopra S, Diagnostic approach to the patient with cirrhsois 2009. Up
To Date version 17.1.
8. Heidelbbaugh JJ and Sherbondy M, 2006. Cirrhosis and chronic liver Failure: Part II.
Complications and Treatment Am Fam Physician 74:767-776.
10. Vilarrupla AR,Fernandez M, Bosch J, Pagatra JCG, Causice Review: Current Concept
on the pathophysiology of Portal Hypertension. Annals of Hepatoology 2007.28 - 36.
11. Moore, K.P, Wong F, Gines, P, Benardi, M., Ochs, A., Salermo F etal., 2003 The
Management os Ascites in Cirrhosis: Reports on the Consensus Conference of The
International Asites Club. Hepatology.258-266.
12. Garcia-Tsao, G., and Bosch J. Management of Varices and Vareceal Hemorrhage in
cirrhosis. N Engl | Med 2010.823-831.
13. Garcia-Pagan, J.C, Caca, K., Bureau, C, et al, Early Use of TIPS in Patients with
Cirrhosis and Variceals Bleeding. N Eng! J.Med 2010.2370-2379.
14. Sanyal AJ, Bosch J, Blei A, Arroyo V, 2008. Portal hypertension and its
complications. Gastroenterology 1715-1726.
29
30
31