Anda di halaman 1dari 12

SEJARAH HUBUNGAN INTERNASIONAL SRIWIJAYA

DALAM BIDANG PENDIDIKAN DAN EKONOMI

Diajukan untuk memenuhi


mata kuliah
Sejarah Hubungan Internasional

NAMA : Muhammad Ray T. D.


NPM : 202015500217

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
JAKARTA
2024
SEJARAH HUBUNGAN INTERNASIONAL SRIWIJAYA DALAM BIDANG
PENDIDIKAN DAN EKONOMI

ABSTRAK
Artikel ini membahas hubungan dan kerjasama antara Kerajaan Sriwijaya dengan
Kerajaan Pala di India, serta Dinasti Tang di China, terutama dalam konteks
pendidikan agama Buddha dan perdagangan. Nusantara menjalin hubungan
perdagangan dengan India sebelum memperluas kerjasama dengan China,
menciptakan pengaruh Hindu-Buddha di wilayah ini. Prasasti Nalanda menjadi
bukti perjanjian kerjasama antara Sriwijaya dan Pala, khususnya dalam
pendidikan agama Buddha. Kerjasama antara Sriwijaya dan Dinasti Tang tidak
hanya terbatas pada perdagangan, tetapi juga mencakup bidang politik dan
kebudayaan, terutama agama Buddha. Sriwijaya memainkan peran penting
sebagai pusat pembelajaran agama Buddha di Asia Tenggara, berinteraksi intensif
dengan Dinasti Tang. I-Tsing, seorang biksu, mendokumentasikan kemajuan
agama Buddha di Sriwijaya. Artikel juga menyoroti eksistensi agama Buddha di
Sriwijaya, didukung oleh temuan fisik seperti prasasti dan catatan I-Tsing.
Prasasti Talang Tuwo dan catatan I-Tsing menunjukkan upaya Sriwijaya dalam
memajukan agama Buddha. Diplomasi pendidikan agama Buddha antara
Sriwijaya dan Nalanda di India tercermin dalam Prasasti Nalanda, mencatat
perjanjian kerjasama antara kedua kerajaan. Secara keseluruhan, artikel ini
merinci peran strategis Sriwijaya dalam hubungan perdagangan dan kebudayaan
dengan India dan China, serta kontribusinya dalam pengembangan agama Buddha
di Asia Tenggara.
Kata Kunci : Kerajaan Sriwijaya, Hubungan Internasional, Pendidikan,
Ekonomi

1
PENDAHULUAN
Kepulauan Nusantara, terdiri dari pulau-pulau yang terpisah oleh selat dan
laut yang luas, menciptakan kondisi alam yang mendorong penduduknya untuk
bermatapencaharian sebagai nelayan, pelaut, dan pedagang antar pulau. Dengan
menggunakan perahu bercadik, mereka berhasil melintasi perairan laut yang
besar.
Nusantara pertama kali menjalin hubungan perdagangan dengan India
sebelum mengembangkan hubungan perdagangan dengan China. Hubungan
ekonomi dan pendidikan antara Nusantara dan India memiliki dampak signifikan
pada kehidupan masyarakat Nusantara, terutama dalam bidang politik, yang
berkontribusi pada berdirinya banyak kerajaan dengan pengaruh Hindu-Buddha di
wilayah tersebut. Seiring berjalannya waktu, kerajaan – kerajaan di Nusantara
kemudian juga menjalin hubungan dengan China.
Pentingnya hubungan antara Nusantara, India dan China termanifestasi
dalam hubungan pelayaran langsung antara wilayah tersebut. Hubungan pelayaran
ini tidak hanya terkait dengan jalur perdagangan umum antara Asia Barat dan
Asia Timur, melainkan juga dapat dianggap sebagai hubungan tersendiri antara
Nusantara, India dan China (Poesponegoro, 2008).
Jalur perdagangan laut melibatkan India, China dan Nusantara dengan
melewati Selat Malaka dan menuju India. Dari India, perdagangan dilanjutkan
melalui jalur yang mengarah ke Teluk Persia, kemudian ke Syria dan Laut
Tengah. Ada juga jalur yang menuju Laut Merah, melalui Mesir, dan mencapai
Laut Tengah. Perhubungan laut ini antara Laut Merah, India, dan Tiongkok sudah
ada sejak Abad I M.
Beberapa faktor mendorong ramainya perdagangan melalui jalur laut ini.
Pertama, terdapat permintaan besar untuk barang-barang mewah dari Timur
(Tiongkok dan India), terutama dari para bangsawan dan konglomerat Kekaisaran
Romawi di Roma. Mereka tertarik untuk mengoleksi barang-barang berharga
seperti emas, kain sutera, porselin China, batu mulia, dan perhiasan. Kedua,
banyak jalan darat yang rusak, disebabkan oleh perpindahan besar-besaran
bangsa-bangsa dan pergeseran politik. Selain itu, penyebaran agama Buddha yang

2
tidak mengenal kasta dalam masyarakat dapat mengurangi prasangka kebangsaan,
memfasilitasi interaksi niaga dengan bangsa asing (Burger, 1960).
Salah satu kerajaan yang paling terkenal pada masa klasik adalah Kerajaan
Sriwijaya. Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya berdiri sejak abad ke-7 Masehi
dengan ibu kota di Palembang, Sumatra Selatan. Lokasi geografisnya, dekat
dengan Selat Bangka dan aliran Sungai Musi, memberikan kekayaan dan
kemakmuran yang besar pada Sriwijaya. Eksistensi kerajaan ini terbukti melalui
catatan dan laporan biksu China, I-Tsing, yang berkunjung ke Sriwijaya, serta
temuan prasasti-prasasti di sekitar dan jauh dari ibu kotanya (Pramartha, 2017).
Sriwijaya sebagai kerajaan maritim terbukti oleh kekuatan armada lautnya
dan wilayah kekuasaan yang luas. Kemakmuran kerajaan ini didukung oleh
kegiatan perdagangan dan pelayaran, menjadikannya pusat peradaban dunia dan
penguasa jalur – jalur pelayaran antar benua (Farida, Rochmiatun, & Kalsum,
2019). Selain sebagai pusat imperium maritim, Sriwijaya juga dikenal sebagai
kerajaan yang mengamalkan agama Buddha secara signifikan di wilayah Asia.
Dalam sejarahnya, Sriwijaya disebut sebagai pusat pembelajaran agama Buddha
di Asia Tenggara sejak abad ke-7 Masehi. Walaupun demikian, bukti yang
mendukung klaim ini terbatas pada temuan arca Buddha dan catatan perjalanan I-
Tsing yang berangkat dari Kanton (Cina) ke Nalanda (India) pada tahun 671
Masehi (Sholeh, 2017).
Nalanda, sebagaimana yang disebut oleh I-Tsing, memiliki korelasi
dengan perkembangan ajaran Buddha di Sriwijaya. Diketahui bahwa Sriwijaya, di
bawah pemerintahan Raja Balaputradewa yang menjalin kerjasama dengan
Nalanda di India dalam bidang pendidikan dan pengajaran agama Buddha.
Meskipun catatan lengkap mengenai kehidupan akademik antara Sriwijaya dan
Nalanda hanya dapat ditemukan dalam catatan I-Tsing yang telah mendapatkan
pendidikan di kedua tempat tersebut (Pranoto, 2016). Berdasarkan kajian terhadap
sumber – sumber yang ada, para sejarawan menemukan dasar-dasar kesamaan dan
bukti yang memperkuat kedekatan hubungan antara Sriwijaya, China dan India.

3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksistensi Agama Buddha di Kerajaan Sriwijaya
Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit, diperkirakan bahwa Sriwijaya telah
ada sejak tahun 682 Masehi. Meskipun terdapat perdebatan mengenai pusat
pemerintahan Kerajaan Sriwijaya, secara umum Kota Palembang dianggap
sebagai ibu kota peradaban besar ini. Pernyataan ini diperkuat oleh Muljana dalam
Santun (2013), yang menyatakan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu berada di
Palembang dan tidak pernah berpindah. Wilayah kekuasaan Sriwijaya melibatkan
beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Pong-fong (Pahang), Tong-yanong
(Trengganu), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Ji-loting
(Jelotong), Tan-ma-ling (Tamralingga), Kia-lo-hi (Grahi), Pal-linfong
(Palembang), Sin-to (Sunda), Ken-pi (Kampe), Lan-wu-li (Lamuri/Aceh), Si-lan
(Sri Lanka), Siam (Thailand), Tsi’en-mai (tidak diketahui secara pasti letak
geografisnya), dan Fo-lo-an (Dungun) (Muljana, 2006).
Imperium Sriwijaya secara dominan dikenal sebagai penganut ajaran
Buddha, dan hal ini didukung oleh temuan fisik berupa prasasti-prasasti di sekitar
pusat kekuasaan Sriwijaya. Meskipun demikian, pengaruh ajaran Hindu juga
ditemukan melalui temuan arca seperti Durgāmahiśasuramardinȋ di Desa Wana,
Kecamatan Labuhan Maringgai, Lampung. Saptono (2013) mencatat bahwa
pengaruh Buddha cenderung berkembang di wilayah hilir sungai Way
Sekampung, sementara pengaruh Hindu lebih banyak ditemui di sekitar hulu
sungai.
Ajaran Buddha di Sriwijaya memiliki pengaruh kuat di wilayah Asia
Tenggara sejak abad ke-7, dan catatan-catatan perseorangan seperti catatan biksu
I-Tsing memberikan bukti terkait hal ini. Diplomasi antara Sriwijaya, Cina, dan
India, terutama dalam konteks perdagangan melalui jalur pelayaran, memengaruhi
eksistensi agama Buddha. I-Tsing mencatat bahwa hubungan diplomatik antara
Dinasti Tang dan Kerajaan Sriwijaya telah terjalin sejak tahun 683 Masehi atau
lebih awal. Walaupun perdagangan komoditas menjadi fokus utama, isu agama
juga memainkan peran penting dalam hubungan ini. I-Tsing sendiri menyarankan
kepada biksu muda Dinasti Tang untuk belajar di Sriwijaya sebelum melanjutkan

4
pendidikan ke Nalanda (India), dan lebih dari 1.000 biksu belajar agama Buddha
dan bahasa Sanskerta di Sriwijaya menurut catatan I-Tsing (Sholeh, 2017).
Selain catatan asing, temuan fisik seperti prasasti dari Kerajaan Sriwijaya
juga mengungkap eksistensi perkembangan agama Buddha. Prasasti Talang Tuwo
yang berasal dari tahun 684 Masehi memberikan informasi mengenai upaya
Dapunta Hyang Sri Jayanaga untuk menjadikan Sriwijaya sebagai pusat
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan pengajaran agama Buddha di tingkat
perguruan tinggi yang dipimpin oleh seorang guru bernama Dharmapala
(Yenrizal, 2018).

Diplomasi Bidang Pendidikan Agama Buddha Sriwijaya dan Nalanda (India)


Prasasti merupakan salah satu media yang memiliki kemampuan untuk
mengungkap berita dan fakta-fakta sejarah, seringkali dijadikan sebagai referensi
utama oleh para sejarawan. Informasi yang terdapat dalam prasasti seharusnya
memiliki signifikansi yang besar dalam penelitian arkeologi, memungkinkan
sejarawan untuk menyelidiki dan memahami kondisi serta corak kehidupan pada
masa tertentu (Rezeki, 2020). Meskipun demikian, kebermaknaan prasasti sebagai
sumber rujukan tidak selalu menjamin kelengkapan dalam pengungkapan data
yang diharapkan (Santiko, 2015). Oleh karena itu, validitas data yang terkait
dengan fakta sejarah tertentu bergantung pada analisis sejarawan untuk
mengungkap eksistensinya. Dalam konteks pembahasan ini, penulis akan
mencoba menganalisis berita dan informasi yang terdapat dalam Prasasti Nalanda,
serta menarik benang merahnya sebagai bukti yang menjelaskan hubungan antara
Sriwijaya dan Nalanda dalam konteks pendidikan agama Buddha.
Prasasti Nalanda ditemukan di depan pintu masuk situs kompleks Maha
Vihara Nalanda, Bihar, India Selatan. Maha Vihara Nalanda didirikan oleh Kaisar
Ashoka, dan istilah "Nalanda" sendiri berarti "teratai," dianggap sebagai simbol
ilmu pengetahuan. Maha Vihara Nalanda merupakan universitas kuno dan pusat
pendidikan agama Buddha yang sangat terkenal, bahkan biksu I-Tsing belajar di
kompleks pendidikan ini selama sekitar sepuluh tahun (Laha, 2015). Kompleks
belajar ini terdiri dari delapan bangunan, 11.000 ruangan, dan tiga perpustakaan

5
yang dikenal sebagai Ratnadadhi, Ratnasagar, dan Ratnarajaka. Setidaknya,
pelajar dari berbagai wilayah Asia, termasuk Cina, Sumatra, Kamboja, Korea, dan
sebagainya, pernah menuntut ilmu di Maha Vihara Nalanda. Salah satu pelajar
dari Sumatra (Kerajaan Sriwijaya) yang belajar di Nalanda adalah Dharmapala.
Sebagaimana dibahas sebelumnya, Dharmapala diangkat sebagai mahaguru oleh
Dapunta Hyang Sri Jayanaga dan menjabat sebagai guru besar pusat pengajaran
Agama Buddha Kerajaan Sriwijaya.
Ditemukan pada tahun 1921, lempeng Prasasti Nalanda yang terbuat dari
tembaga ini memiliki tulisan dalam huruf Devanagari dan berbahasa Sanskerta
(Atika, 2016). Prasasti ini dibuat pada masa pemerintahan Raja Dewapaladewa,
yang berasal dari Dinasti Pala pada abad ke-9 Masehi dan dikenal sebagai
pelindung agama Buddha. Secara keseluruhan, isi prasasti ini dikenal
mengandung perjanjian kerjasama pendidikan antara Raja Dewapaladewa dari
Imperium Pala dengan Raja Balaputradewa dari Kerajaan Sriwijaya. Menurut
keterangan Geria (2017), Prasasti Nalanda juga mengacu pada usaha Raja
Balaputradewa untuk memperoleh pembebasan tanah sima di beberapa desa di
Nalanda. Tanah tersebut diinginkan untuk dijadikan asrama bagi para pelajar yang
berasal dari Sriwijaya. Hubungan diplomatik melalui bidang pendidikan
keagamaan ini terus berlanjut hingga beberapa masa setelahnya. Selain
pembekalan agama, para biksu yang belajar di Nalanda juga diberikan pelatihan
dalam bidang arsitektur dan paham mengenai arca.
Dalam Prasasti Nalanda, disebutkan mengenai Raja Balaputradewa dari
Svarnnadvipa yang merupakan keturunan Sailendra dari India dan penganut ajaran
Buddha. Istilah Svarnnadvipa merujuk pada toponimi kuno Pulau Sumatra, sering
diidentifikasi dengan toponimi Yavadwipa yang mencerminkan Pulau Jawa pada
masa lalu (Noerwidi, Riyanto, & Abbas, 2010). Berdasarkan pertalian darah
dengan dinasti Sailendra, kerjasama antara Sriwijaya yang dipimpin oleh
Balaputradewa dan Nalanda di bawah kekuasaan Imperium Pala bukanlah suatu
kejadian baru, terutama dalam konteks diplomasi ajaran Buddha. Prasasti Nalanda
secara tak langsung menyiratkan bahwa Maha Vihara Nalanda adalah pusat
pengajaran agama Buddha sebagaimana halnya di Sriwijaya. Kedua wilayah ini

6
saling memberikan pengaruh terhadap diseminasi dan peningkatan kualitas
pengajaran agama Buddha di seluruh Asia.

Hubungan Diplomatik Sriwijaya Dengan Dinasti Tang


Kerajaan Sriwijaya, yang telah menjadi pusat perdagangan dan pelayaran,
terus berkembang sebagai kerajaan besar karena dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Salah satu faktor utama adalah penguasaan Sriwijaya terhadap pintu gerbang lalu
lintas perdagangan laut yang menghubungkan China dan India, serta Teluk Persia
dan Laut Tengah. Meskipun jumlah penduduknya terbatas karena terletak di
pantai, Sriwijaya mampu mengumpulkan sumber daya manusia dari pemukiman-
pemukiman di selatan Selat Malaka. Palembang, sebagai pusat kerajaan, hanya
merupakan satu dari banyak pemukiman. Ekspedisi angkatan laut Sriwijaya,
termasuk penaklukan Kedah dan pelabuhan-pelabuhan vital lainnya, bukan hanya
untuk memperluas wilayah tetapi juga untuk menduduki tempat-tempat strategis
dalam jalur pelayaran dan perdagangan utama.
F.H. van Naerssen dan R.C. de Longh mengungkapkan dua faktor yang
mendukung keberlanjutan dominasi Sriwijaya atas Selat Malaka yang strategis.
Faktor pertama adalah hubungan pusat kerajaan dengan masyarakat pantai di
daerah bawahannya. Faktor kedua adalah hubungan penguasa Sriwijaya dengan
negara-negara besar seperti Kekaisaran China dan Kemaharajaan India (Irfan,
1983).
Langkah yang sangat penting dalam memperlancar kerjasama niaga antara
Sriwijaya dan Dinasti Tang adalah kemajuan dalam teknologi perkapalan dan
navigasi. Penguasaan Sriwijaya atas Selat Malaka dan Laut Jawa selama berabad-
abad didukung oleh penggunaan kapal-kapal besar dalam jalur perdagangan di
Samudera Hindia dan Laut China Selatan. Teknologi ini, menurut Dr. Pierre Y.
Manguin, mencakup kemunculan "Kun Lun Po" (diterjemahkan secara harfiah
sebagai "Kapal Melayu") yang memiliki bobot antara 250 hingga 1000 ton,
panjang 60 meter, dan kapasitas hingga 1000 orang tanpa muatan barang (Irfan,
1983). Sementara itu, Dinasti Tang meningkatkan mobilitasnya dengan
mengembangkan teknik perkapalan, menghasilkan kapal yang lebih besar dan

7
lebih cepat. Menurut catatan Perdana Menteri Jia Dan, pelayaran dari Du Men Sha
(sebelah tenggara Guangzhou) hingga Selat Malaka dan Sriwijaya hanya
memerlukan waktu delapan belas hari, sedangkan pada masa Fa Xian (Fa Hien)
yang berlayar dari Jawa ke Guangzhou memerlukan waktu 50 hari (Liji, 2012).
Setelah menjalin hubungan resmi dengan Dinasti Tang pada tahun 683 M,
Sriwijaya menjalin kerjasama di bidang perniagaan dan mulai mengekspor
berbagai barang ke China. J.C. Van Leur merincikan jenis-jenis komoditas ekspor,
termasuk kayu gaharu, kapur barus, cendana, gading, timah, kayu hitam, kayu
sapan, rempah-rempah, dan kemenyan. Ekspor Sriwijaya ke China melibatkan
barang-barang seperti air mawar, gading, kemenyan, buah-buahan, gula putih,
cincin kristal, gelas, kapur barus, batu karang, cula badak, wangi-wangian, bumbu
masak, dan obat-obatan. Sementara sebagian besar barang tersebut bukan
produksi dalam negeri Sriwijaya, beberapa juga berasal dari negeri-negeri lain di
kepulauan Nusantara yang memiliki hubungan dengan Sriwijaya.
Pasca hubungan resmi dengan Dinasti Tang, terjadi dampak yang
signifikan di bidang kebudayaan, terutama melalui agama Buddha. Kerajaan
Sriwijaya, sebagai pusat pengajaran dan kebudayaan agama Buddha di Asia
Tenggara, berinteraksi intensif dengan Dinasti Tang, yang mendukung
perkembangan agama Buddha di China. Interaksi budaya ini diperkuat oleh peran
Bhiksu Agung bernama I-Tsing, yang tinggal di Sriwijaya. I-Tsing menganjurkan
para pendeta Buddha Dinasti Tang yang berencana menuntut ilmu ke India untuk
singgah terlebih dahulu di Sriwijaya selama satu atau dua tahun guna mempelajari
tata bahasa Sanskerta dan cara membaca kitab Buddha, sebelum melanjutkan
perjalanan ke India (Liji, 2012).

PENUTUP
Seiring dengan reputasi Sriwijaya sebagai pusat pembelajaran agama
Buddha di Asia Tenggara, terbukti bahwa kerajaan ini menjalin hubungan dan
perjanjian kerjasama dengan Kerajaan Pala di India, khususnya untuk mendidik
mahasiswa atau pelajar dari Sriwijaya yang belajar di Maha Vihara Nalanda.
Maha Vihara Nalanda, yang telah menjadi salah satu pusat pembelajaran agama

8
Buddha terbesar sejak zaman kekaisaran Asoka di India, menjadi tempat di mana
perjanjian kerjasama ini tercatat, terutama dalam Prasasti Nalanda yang diyakini
berasal dari abad ke-9 Masehi. Prasasti ini berisi perjanjian pembangunan asrama
bagi mahasiswa Sriwijaya yang belajar di Nalanda, serta pembebasan tanah sima
di sekitarnya. Selain itu, Prasasti Nalanda juga menyiratkan bahwa Sriwijaya dan
Nalanda saling memengaruhi dalam diseminasi dan peningkatan kualitas
pengajaran agama Buddha di seluruh Asia. Hal ini dapat dilihat dari saran I-Tsing
kepada semua pelajar yang ingin belajar agama Buddha di Nalanda, bahwa
sebaiknya mereka belajar dan menetap terlebih dahulu di Sriwijaya. Nalanda
sendiri telah melahirkan banyak lulusan yang kemudian berkontribusi pada
peningkatan kapabilitas dan penyebaran ajaran Buddha di Asia, seperti
Dharmapala yang menjadi mahaguru di Sriwijaya.
Kerjasama antara Kerajaan Sriwijaya dan Dinasti Tang bukan hanya
merupakan langkah strategis untuk mengembangkan dominasi perdagangan
Sriwijaya di Asia Tenggara, tetapi juga mencakup bidang politik dan kebudayaan,
khususnya dalam konteks agama Buddha. Melalui kerjasama ini, Dinasti Tang
tidak langsung terlibat dalam perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lain di Asia
Tenggara, karena kapal-kapal niaga dari Dinasti Tang harus berlabuh di
pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya. Hubungan diplomatik yang intensif dengan
saling mengirim utusan, serta kerjasama di bidang pembuatan kapal yang
mumpuni oleh Sriwijaya, membuat bandar perdagangan Sriwijaya semakin ramai.
Kerjasama ini tidak hanya terbatas pada aspek politik dan perdagangan, tetapi
juga melibatkan pertukaran budaya, terutama dalam konteks agama Buddha.
Peran I-Tsing dalam mendokumentasikan kemajuan Agama Buddha di Sriwijaya
melalui catatannya menjadi penting dalam memahami kerjasama yang saling
menguntungkan antara kedua negara besar pada periode 683-742 M

9
DAFTAR PUSTAKA
Atika, A. 2016. Pesan dari Nalanda. Retrieved December 2, 2020, from Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Burger, D.H. dan Prajudi. 1960. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia. Jakarta:
Pradnya Paramita.
Farida, I., Rochmiatun, E., & Kalsum, N. U. 2019. Peran Sungai Musi dalam
Perkembangan Peradaban Islam di Palembang: Dari Masa Kesultanan
sampai Hindia-Belanda. JUSPI (Jurnal Sejarah Peradaban Islam), 3(1), 50.
Geria, I. M. 2017. Perjalanan Suci (B. B. Utomo, Ed.). Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.
Irfan,Nia Kurniati Sholihat. 1983. Kerajaan Sriwijaya. Jakarta : PT.Giri Mukti
Pasaka.
Laha, M. 2015. Some Selected Buddhist Monastries as centres of learning of The
Pala Period. Proceedings of the Indian History Congress.
Liji, Liang. 2012. Dari Relasi Upeti ke Mitra Strategis (2000 Tahun Perjalanan
Hubungan Tiongkok-Indonesia). Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Muljana, S. 2006. Sriwijaya. Yogyakarta.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta : Balai Pustaka
Pramartha, I Nyoman Bayu. 2017. Pengaruh Geohistoris pada Kerajaan
Sriwijaya. Jurnal Vol.05 No.1 2017.
Pranoto, I. 2016. Searching for the Curriculum of Sriwijaya.
Rezeki, W. 2020. Pembangunan pada masa Kedatukan Sriwijaya. Khazanah:
Jurnal Sejarah Dan Kebudayaan Islam
Santun, D. I. M. 2013. Simbol kejayaan Ibukota Sriwijaya dalam tiga prasasti
Sriwijaya di Palembang (The Glory of Srivijaya ’ s Capital City Symbolized
in Three Srivijaya Inscriptions in Palembang). Mozaik 13.
Santiko, H. 2015. Dua dinasti di kerajaan Mataram Kuna: Tinjauan Prasasti
Kalasan. Jurnal Sejarah dan Budaya
Saptono, N. 2013. Permukiman Kuna di Kawasan Way Sekampung, Lampung,
pada Masa Śriwijaya. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi.

10
Sholeh, K. 2017. Prasasti Talang Tuo Peninggalan Kerajaan Sriwijaya Sebagai
Materi Ajar Sejarah Indonesia Di Sekolah Menengah Atas. HISTORIA :
Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah, 5(2).
Yenrizal, Y. 2018. Makna lingkungan hidup di masa Sriwijaya: Analisis Isi pada
Prasasti Talang Tuwo. Jurnal ASPIKO.

11

Anda mungkin juga menyukai