Analisis Puisi Di Mesjid Karya Chairil Anwar Berdasarkan Semiotika Menurut Riffaterre
Analisis Puisi Di Mesjid Karya Chairil Anwar Berdasarkan Semiotika Menurut Riffaterre
Oleh :
14311045
1. Pendahuluan
Sastra adalah kaya tulis yang dibandingkan dengan tulisan lain memiliki
berbagai arti keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan
ungkapannya (Maman Suryaman dan Wiyatmi, 2012: vi). Menurut Luxemburg, dkk
(1989: 9) hal yang dikaitkan dengan pengertian sastra ialah teks-teks yang disusun
dan dipakai pada suatu tujuan yang komunikatif yang berlangsung selama bebeapa
waktu saja. Sastra mungkin tak asing lagi ditelinga kita dan benda yang sering kita
jumpai. Jadi, sastra adalah teks-teks yang disusun yang memiliki ari keunggulan.
Menurut Luxemburg, dkk (1989: 9) sastra bukanlah sebuah benda yang diberikan
oleh sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan.
Sastra terbagi atas tiga gengre yaitu puisi, prosa dan drama. Gengre disini
menurut Maman Suryaman dan Wiyatmi (2012: vi) adalah jenis, tipe atau kelompok
sastra. Salah satu gengre sastra ialah puisi. Puisi juga merupaka bentuk kesusastraan
atau gengre yang palig tua. Ada beberapa kumpulan mengenai definisi puisi oleh
Shanon Ahmad (via Rachmat Djoko Pradopo, 1993: 6). Menurut Coleride Puisi
adalah kata-kata terindah dalam suatu susunan terindah pula. Carlyle berpendapat
bahwa puisi itu merupakan pemikirang yang musikal. Wordsworth menyatakan
bahwa puisi itu adalah pernyataan yang imajinatif, yaitu memiliki perasaan yang
diangan-angankan atau direka. Sedangkan Dunton berpendapat, sebenarnya puisi itu
merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional
serta berirama. Shalley juga mengemukakan bahwa puisi adaah rekaan detik-detik
yang indah dalam hidup kita. Dari definisi-definisi puisi tersebut, kita dapat
menyimpulkan bahwa puisi adalah pengekpresian pemikiran ide, emosi, imajinasi
yang tersusun dalam kata-kata yang indah.
. Puisi sebagai salah satu karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam
aspeknya. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya. Sepanjang waktu puisi
selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Namun demikian, orang tidak dapat
memahami puisi secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu
karya estetis yang bermakna. Oleh karena itu kita perlu mengkaji atau menganalisis
suatu puisi. Tapi kita harus mengetahui bagaimana menganalisis atau teori yang
digunakan untuk mengkaji atau menganalisis sebuah puisi.
Puisi itu mengekspresikan suatu buah pemikiran yang membangkitkan
perasaan yang merangsang untuk berimajinasi panca indra dalam susunan-susunan
yang saling berirama. Puisi sebagai karya sastra seni yang puitis. Kepuitisan itu dapat
dicapai bermacam cara, misalnya susunan bait dengan bunyi, kiasan bunyi,
persajakan, lambang rasa dan lain-lain. Namun untuk mengetahui kepuitisan suatu
puisi yang lebih lanjut. Kita perlulah kita mengkaji atau menganalisisnya karna puisi
itu merupakan suatu struktur yang kompleks. Salah satunya menganalisis puisi
dengan semiotika menurut Riffaterre.
Semiotika berasal dari kata Yunani kuno yaitu “semion” atau diturunkan
dalam bahasa inggris “semiotcs” yang keduanya memiliki arti tanda. Menurut Puji
Santosa, tanda merupakan bagian dari ilmu semiotika, yaitu studi tentang tanda yang
menandai suatu keadaan yang utuk menerangkan, memberitahukan, menunjukkan
suatu objek kepada subjek. Contohnya kejadiaan, benda, tulisan, bahasa, peristiwa
atau bentuk-bentuk tanda yang lain (2013: 5). Tanda-tanda tersebut dibuat oleh
penyair kedalam sebuah puisi atau sajak yang disana terdapat tanda-tanda yang
mengandung makna atau arti yang sesungguhnya.
Menurut Puji Santosa (2013: 7-8) mengemukakan bahwa, sesunggunya
bahasa merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dengan penanda dan
petanda. Penanda adalah yang menandai sesuatu yabg diseap, diamati atau mungkin
didengar sebagai bunyi atau uga terbaca sebagai tulisan. Sedangkan petanda adalah
suatu kesimpulan yang terpahami maknanya dari ungkapan bahasa maupun
nonbahasa. Misalnya gerakan tangan, maknanya bisa menyerah, menolak dan lain-
lain.
Makna karya sastra tidak hanya ditentukan oleh bahasa yang digunakan.
Tetapi, juga konvensi-konvensi sastra. Dalam hal imi sebagai sistem tanda karya
sastra yang mempunyai konvensi-konvensi sendiri. Contohnya, puisi mempunyai
satuan-satuan tanda yang dapat berupa kosakata, bahasa kiasan, dan gaya bahasa pada
umumnya.
Menurut Riffaterre (dalam Rahcmat Djoko Pradopo, 2007: 124)
membicarakan tentang pemaknaan puisi yang ketidaklangsungan ekspesi itu
merupakan konvensi-konvensi sastra pada umumnya. Karya sastra itu merupakan
bentuk ekspresi tidak langsung, yakni menyatakan pikiran atau gagasan secaa tidak
langsung dengan cara lain. Ketidaklangsungan ekspresi itu ada tiga. Yaitu,
penggantian arti, penyimpangan arti dan penciptaan arti.
Penggantian arti ini menurut Riffaterre sendiri disebabkan oleh pengunaan
penggunaan metafora dan metomimi dalam karya sastra yang artinya luas untuk
menyebut bahasa kiasan pada umumnya. Metomimi dan metafora ini merupakan
bahasa kiasan yang penting hingga untuk mengganti bahasa kiasan lainnya. Metafora
itu bahasa kiasan yang mengumpamakan atau mengganti sesuatu hal dengan tidak
menggunakan kata pembanding.
Penyimpangan arti sendiri menurut Riffaterre disebabkan oleh bahasa sastra
itu disebabkan tiga hal yaitu pertama oleh ambiguitas yang disebabkan oleh bahasa
sastra itu berarti ganda. Kegandaan itu dapat berupa kegandaan arti sebuah kata, frasa
ataupun kalimat. Kedua ialah kontradiksi yang berarti mengandung pertentangan yang
disebabkan oleh paradoks dan atau ironi. Ketiga ialah nonsense. Nonsense adalah
kata-kata yang tidak mempunai arti atau makna tetapi puisi nonsense itu mempunya
makna karena konvensi makna.
Menururut Wiyatmi (2008: 129) Penciptaan arti ialah konvensi kepuitisan
yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi
menimbulkan makna di dalam sajak (karya sastra). Jadi, penciptaan arti ini berada di
luar lingusitik. Di antaranya adalah pembaitan, persajakan (rima), tipografi dan
homogues (bentuk sajak pantun yang berisi baris-baris yang sejajar).
Untuk dapat memberi makna pada puisi (sajak) dengan analisis semiotik
pertama kali kita lakukan adalah dilakukan pembacaan heuristik dan hemenuitik.
Menuut Rachmat Djoko Pradopo (2007: 135-137) Pembacaan heuristik ialah
pembacaan yang berdasar struktur kebahasaannya atau secara semiotik berdasar pada
konvensi semiotik tingkat pertama. pembacaan heuristik itu adalah penerangan
bagian-bagian cerita secara berurutan. Dalam pembacaan heuristik ini, sajak dibaca
berdasakan struktur kebahasaannya. Untuk memperjelas arti bisa juga diberikan
sisipan kata atau sinonim kata-katanya di tarush di dalam tanda kurung. Pembacaan
hermeneutik adalah pembacaan ulan (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan
memberi konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik ditafsirkan berdasarkan
konvensi sastra (puisi), yaitu sistem semiotik tingkat kedua. Konvensi sastra yang
memberikan makna itu diantaranya konvensi ketaklangsungan ucapan (ekspresi)
sajak.
Di dalam puisi terdapat petanda-petanda yang membuat bingung akan arti atau
maknanya. Untuk itu cara menganalisis petanda-petanda itu pada puisi hal pertama
adalah menemukan matriks atau kata kunci yang membantu kita mempermudahkan
mencari makna pada petanda-petanda dalam puisi. Selanjutnya adalah menentukan
tipogram yang akan melatarbelakangi terciptanya suatu arti makna dari petanda-
pentanda tersebut dalam puisi.
Berdasarkan teori diatas akan dianalisis semiotik Riffaterre dari sebuah puisi
karya Chairil Anwar yang berjudul Diponegoro. Sebagai berikut:
Diponegoro
MAJU
Sekali berarti
Sudah mati
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Puisi Diponegoro karya Chairil Anwar tersebut terdiri dari 11 bait dan
keseluruhannya terdapat 23 baris. Langkah-langkah menganalisis Puisi Diponegoro
karya Chairil Anwar bedasarkan semiotika menurut Riffaterre adalah dengan
melakuka pembacaan heuristik dan pembacaan hemeneutik da menentukan matriks
dan tipogramnya sebagai berikut
Rachmad Djoko Pradopo. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Rahmad Djoko Pradopo. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Peneapannya.
Yogyakarta: Pustaka.
Herman J. Waluyo. 2008. Pengakajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press.