Anda di halaman 1dari 2

Membandingkan perspektif masyarakat

Hubungan historis membantu memperjelas perbedaan. Fungsionalisme mencerminkan


pandangan tradisional tentang masyarakat dan olahraga Barat. Perspektif ini sangat populer di
kalangan penguasa politik dan masyarakat luas. Cita-citanya dominan dalam kebijakan olahraga
dan sosial saat ini. Namun, pandangan ini mendapat kritik tajam dari Neo-Marxisme karena
dianggap terlalu optimis dan tidak realistis. Bahkan, kritik terburuk adalah bahwa pandangan ini
memecah-belah secara ideologis dan mengelabui masyarakat agar percaya pada suatu realitas
yang pada akhirnya bertentangan dengan kepentingan kolektif. Kaum Neo-Marxis lebih
memperhatikan kesenjangan kekuasaan dan konflik, terutama dalam aspek ekonomi masyarakat
dan olahraga. Sementara itu, feminisme muncul sebagai kritik terhadap kegagalan dua perspektif
sebelumnya dalam mempertimbangkan peran gender dan relasi kekuasaan. Kaum feminis
menekankan pengaruh gender sebagai penentu utama hubungan sosial dan olahraga. Terakhir,
perspektif postmodernisme menyoroti ketidakpastian dunia yang semakin sulit diprediksi.
Fungsionalis
Kebijakan pembangunan olahraga ini bertujuan untuk mengurangi kesenjangan dalam
penyediaan dan partisipasi olahraga. Tujuannya adalah untuk memastikan adanya keadilan sosial
dalam menghadapi perubahan tren pasar. Kebijakan ini juga bertujuan untuk menghilangkan
hambatan dalam partisipasi olahraga dan menyebarkan manfaat olahraga kepada semua orang.
Selain itu, kebijakan ini berusaha untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan yang ada dan
mendukung kepentingan yang seringkali terpinggirkan. Dalam pelaksanaannya, kebijakan ini
akan menggunakan pendekatan yang terintegrasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Neo-Marxis
Pembangunan olahraga mencerminkan perbedaan kepentingan antara kelompok dan lembaga
yang berkuasa, sekaligus kebutuhan dan keinginan kelompok dan individu yang lebih rendah.
Hal ini menunjukkan adanya ketegangan sosial antara struktur kekuasaan dan kebebasan
individu. Selain itu, pembangunan olahraga juga dapat mempertahankan agenda yang didominasi
oleh pihak tertentu, dan dalam beberapa kasus, dapat menjadi wadah untuk melawan agenda
tersebut.
Feminis
Secara keseluruhan, pembangunan olahraga masih mencerminkan struktur patriarki sebagai
institusi yang dominan. Meskipun upaya telah dilakukan untuk meningkatkan partisipasi
perempuan dalam olahraga, namun hal tersebut belum mampu mengubah secara fundamental
sifat patriarki dari institusi dan budayanya. Meskipun terdapat beberapa peluang bagi perempuan
untuk terlibat dalam olahraga yang sebelumnya didominasi oleh laki-laki, namun kesempatan
tersebut masih terbatas dan tidak sepenuhnya menantang dominasi maskulin tersebut.
Postmodernis
Dalam proses pembangunan olahraga, terdapat kekhawatiran dari pihak institusi untuk menjaga
kontrol dan menjaga ketertiban dalam lingkungan yang semakin tidak terorganisir. Pendekatan
ini berusaha untuk menavigasi berbagai sumber penyediaan dan motivasi partisipasi yang
kompleks. Namun, pendekatan ini rentan terhadap berbagai pengaruh yang bervariasi di tingkat
lokal, regional, nasional, maupun transnasional. Ini menjadikan proses ini tidak stabil dan terus
berubah.

KEBIJAKAN OLAHRAGA MENGATASI KETIMPANGAN


Ketimpangan sosial menjadi sumber utama pengucilan, dimana individu atau komunitas tidak
dapat berpartisipasi dengan orang lain atau dalam kegiatan karena berbagai alasan. Dalam
pembangunan olahraga, jika tidak diakui kebutuhan dan aspirasi beragam masyarakat dan
kelompok klien, kesenjangan dalam masyarakat akan terus dipertahankan oleh penyedia layanan.
Salah satu contoh kebijakan kesetaraan olahraga adalah Deklarasi Brighton (1995), yang dibuat
oleh para pembuat kebijakan nasional dan internasional untuk mempromosikan budaya olahraga
yang menghargai partisipasi penuh perempuan dalam semua aspek olahraga. Demikian pula,
dalam rapat Komisi Eropa pada tahun 2005 yang dipimpin oleh Inggris, juga dihasilkan
kesimpulan yang relevan dengan isu ini.

Anda mungkin juga menyukai