Anda di halaman 1dari 19

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Teori Feminisme

Teori feminisme merupakan perspektif teori tentang gender yang

dikembangkan dari studi-studi yang berpusat pada wanita. Teori feminisme pada

abad kedua puluh tidak dapat dipisahkan dari pemahaman feminisme sebagai

gerakan sosial. Feminisme berawal dari suatu gerakan sosial yang membela

dan memperjuangkan antara laki-laki dan perempuan.

Mansour (1996) menyebutkan beberapa pendekatan teori feminisme,

yaitu:

a. Feminisme kultural

Feminisme Kultural memusatkan perhatian pada eksplorasi nilai- nilai yang

dianut perempuan yaitu bagaimana mereka berbeda dari laki-laki. Feminisme

kultural menyatakan bahwa proses berada dan mengetahui perempuan bisa

jadi merupakan sumber kekuatan yang lebih sehat bagi diproduksinya

masyarakat adil dari pada preferensi tradisional pada budaya

androsentris bagi cara mengetahui dan cara mengada laki-laki.

b. Feminisme Liberal

Feminisme Liberal berpendapat perempuan dapat mengklaim kesetaraan

dengan laki-laki berdasarkan kemampuan hakiki manusia untuk menjadi

agen moral yang menggunakan akalnya, bahwa ketimpangan gender adalah

akibat dari pola pembagian kerja yang seksis dan patriakal dan bahwa

7
8

kesetaraan gender dapat dihasilkan dengan mentransformasikan pembagian

kerja melalui pemolaan ulang institusi- intitusi kunci hukum, kerja, keluarga,

pendidikan dan media.

c. Feminisme Radikal

Feminisme radikal memiliki dua keyakinan sentral, pertama, bahwa

perempuan memiliki nilai positif sebagai perempuan. Kedua, bahwa

perempuan dimanapun berada ditindas oleh sistem patriarki. Feminisme

radikal melihat bahwa dalam setiap institusi keluarga dan di dalam struktur

masyarakat yang paling mendasar terdapat penindasan. Struktur penindasan

yang paling mendasar adalah sistem patriarki dimana penindasan yang paling

mendasar adalah sistem patriarki dimana penindasan ini terjadi pada laki-laki

yang menindas perempuan.

d. Teori Psikoanalitis Feminisme

Teori ini menjelaskan penindasan perempuan berdasarkan deskripsi

psikoanalitis dorongan psikis laki-laki menggunakan kekerasan untuk

memaksa perempuan tunduk. Teori Feminisme psikoanalisis berupaya

menerangkan sistem patriarki dengan menggunakan teori Freud dan

pewaris intelektualnya. Teori ini menyoroti pentingnya peran masa kanak-

kanak dalam menolak emosi. Kekhasan teori penindasan gender terdapat

sistem patriarki. Masa kanak-kanak dianggap penting karena kedekatan anak

dengan orangtua terutama ibu membawa dampak yang besar pada masa

dewasa mereka. Feminisme psikoanalisis kemudian menjelaskan penindasan

terhadap perempuan yang dilakukan oleh laki-laki yang berasal dari


9

pertentangan perasaan terhadap ibu yang mengasuh mereka.

e. Feminisme Sosialis

Feminisme sosialis mengembangkan tiga tujuan (1) untuk melakukan kritik

atas penindasan berbeda namun saling terkait yang dilakukan oleh patriarki

dan kapitalisme dari sudut pandang pengalaman perempuan.(2)

mengembangkan metode yang eksplisit dan tepat untuk melakukan analisis

sosial dari pemahaman yang luas tentang materialism historis. (3) memasukkan

pemahaman tentang signifikasi gagasan ke dalam kehidupan manusia.

Femnisme sosialis telah menetapkan proyek formal yaitu mencapai sintesis dan

langkah teoritis di luar teori feminis.

2.2 Peran Gender

Peran merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status). Apabila

seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya,

maka dia menjalankan suatu peran (Burhan, 2009).

Menurut Soerjono (1990), peran mencakup tiga hal, yaitu:

a. Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat

seseorang dalam masyarakat. Peran dalam arti ini merupakan rangkaian

peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan

kemasyarakatan.

b. Peran adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu

dalam masyarakat sebagai kelompok atau organisasi.

c. Peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi

struktur sosial masyarakat.


10

Gender adalah konsep hubungan sosial yang membedakan peran laki-

laki dan perempuan perbedaan antara gender antara laki-laki dan perempuan,

terjadi melalui proses yang sangat panjang. Melalui proses sosialisasi, penguatan,

kontruksi sosial, kultural, keagamaan bahkan kekuasaan negara. Oleh karena

melalui proses yang panjang itulah, maka lama kelamaan perbedaan gender seolah

- olah ketentuan tuhan atau kodrat yang tidak dapat di ubah lagi. Demikian pula

sebaliknya, sosialisasi kontruksi sosial tentang gender secara evolusi pada

akhirnya mempengaruhi perkembangan sosial dan biologis masing-masing jenis

kelamin. Sepertinya gender laki- laki harus kuat dan agresif, sehingga dengan

kontruksi sosial semacam itu menjadi laki-laki terlatih dan termotivasi

mempertahankan sifat tersebut. dan akhirnya laki-laki menjadi lebih kuat dan

besar. Akan tetapi dengan berpedoman bahwa setiap sifat biasanya melihat pada

ienis kelamin tertentu dan sepanjang sifat tersebut dapat dipertukarkan. maka sifat

tersebut hasil kontruksi masyarakat, dan sama sekali bukan kodrat (Mansoer,

1997).

Adanya anggapan pada masyarakat kita bahwa kaum perempuan bersifat

memelihara, rajin dan tidak cocok jadi kepala keluarga. Akibatnya semua

pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab perempuan. Beragam peran dalam

kegiatan sehari-hari, seperti memasak, mencuci merawat anak-anak, bebenah dan

lain-lain dilakukan perempuan. Sehingga beban kerja perempuan jauh lebih besar

ketimbang laki-laki.
11

2.3 Perkawinan

2.3.1 Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 74

Pengertian perkawinan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang

No. 1 Tahun 74 yang berbunyi sebagai berikut:

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara paria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah

tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha

Esa”.

Pengertian perkawinan dari tersebut di atas, jelas bahwa perkawinan

memuat tidak hanya segi hukum formal tapi sampai pada maksud yang bersifat

sosial keagamaan, dengan disebutkannya ”membentuk keluarga” dan berdasarkan

keTuhanan Yang Maha Esa, perkawinan juga tidak hanya merupakan ikatan lahir

atau batin melainkan keduanya. Sedangkan pengertian ikatan lahir dalam

perkawinan adalah ikatan akibat hukum antara seorang pria dengan seorang

wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri dan ikatan lahir suami istri

merupakan hubungan formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan

dirinya maupun orang lain atau masyarakat. Sedang yang dimaksud dengan rumah

tangga harmonis yakni bersyukur jika mendapat pasangan hidup yang mengerti

dan memahami akan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, bersyukur jika

mendapat pasangan hidup yang mampu menemani dalam suka dan duka.

Perkawinan merupakan anjuran sebagai umat beragama Islam maka

hendaknya dilaksanakan menurut hukum masing-masing sebagaimana disebutkan

dalam pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tentang “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
12

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dalam kehidupan

masyarakat perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting sebab

perkawinan tidak hanya menyangkut wanita dan pria calon mempelai

menggunakan kedua orang tua kedua pihak, saudara-saudaranya dan keluarga

besar masing-masing.

2.3.2 Perkawinan Menurut Hukum Adat

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam

kehidupan masyarakat. Karena perkawinan tidak hanya menyangkut wanita dan

pria calon mempelai akan tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-

saudaranya bahkan keluarga besar.

Perkawinan menurut hukum adat merupakan hubungan kelamin antara

laki-laki dengan perempuan yang membawa hubungan lebih luas yaitu antara

kelompok kerabat laki-laki dan perempuan, bahkan antara masyarakat yang satu

dengan yang lain (Azizah, 1997).

Perkawinan biasanya diartikan sebagai ikatan lahir batin antara pria dan

wanita suami, istri dengan tujuan membentuk suatu keluarga bahagia dan kekal

berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa, dari pasangan demi pasangan terlahir bayi-

bayi yang akan melanjutkan keturunan mereka. Oleh karena itu bagi masyarakat

jawa khususnya perkawinan sangatlah menjadi makna yang sangat penting bagi

masyarakat Jawa perkawinan bukan hanya merupakan pembentukan rumah

tangga yang baru tetapi juga membentuk ikatan dua keluarga besar yang bisa jadi

berbeda dalam segala hal.

Adapun tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat


13

kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut

garis kebapakan oleh karena itu sistim keturunan dan kekerabatan antar suku

bangsa Indonesia berbeda-beda, termasuk lingkungan dan agama yang dianut

berbeda-beda. Maka dari itu tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat juga

berbeda (Hadikusuma, 1983). Oleh karena itu juga sesuai kekeluargaan yang

berlaku kedua insan yang berkasihan akan memberitahu keluarga masing-masing

keluarganya bahwa mereka telah menemukan pasangan yang cocok dan ideal

untuk dijadikan suami/istri. Secara tradisional, pertimbangan penerimaan calon

pasangan berdasarkan pada bibit, bebet dan bobot.

Bibit artinya mempunyai latar kehidupan keluarga yang baik. Bebet

artinya calon pengantin, terutama pria mampu memenuhi kebutuhan keluarga.

Bobot artinya kedua calon pengantin adalah orang yang berkualitas, bermental

baik dan berpendidikan cukup dan yang biasa berlaku pada adat perkawinan

kedua belah pihak setelah orang tua atau keluarga menyetujui perkawinan maka

dilakukan langkah-langkah selanjutnya, menurut kebiasaan.

2.4 Konsep Kearifan Lokal

Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai

kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau

kecerdasan setempat (local genious). Kearifan lokal juga dapat dimaknai sebuah

pemikiran tentang hidup. Pemikiran tersebut dilandasi nalar jernih, budi yang

baik, dan memuat hal-hal positif. Kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai

karya akal budi, perasaan mendalam, tabiat, bentuk perangai, dan anjuran untuk
14

kemuliaan manusia. Penguasaan atas kearifan lokal akan mengusung jiwa mereka

semakin berbudi luhur (Yuliati, 2013: 4).

Naritoom (Wagiran, 2012: 330) mendefinisikan kearifan lokal sebagai

pengetahuan yang ditemukan atau diperoleh oleh masyarakat lokal melalui

akumulasi pengalaman dalam uji coba dan terintegrasi dengan pemahaman

tentang alam dan budaya sekitarnya. Kearifan lokal adalah dinamis dengan fungsi

kearifan lokal yang dibuat dan terhubung dengan situasi global.

Affandy (2012: 46) menyatakan bahwa kearifan lokal mengacu pada

pengetahuan yang berasal dari pengalaman komunitas dan akumulasi pengetahuan

lokal. Kearifan lokal ditemukan dalam masyarakat, komunitas, dan individu.

Berdasarkan beberapa definisi menggambarkan bahwa kearifan lokal

merupakan cara orang bersikap dan bertindak dalam menanggapi perubahan

dalam lingkungan fisik maupun budaya. Pengetahuan lokal merupakan hasil dari

proses dialektika antara individu dan lingkungan serta respon individu dengan

kondisi lingkungan. Pada tingkat individu, kearifan lokal muncul sebagai akibat

dari proses kerja kognitif individu dalam upaya untuk mengatur nilai-nilai yang

dianggap sebagai pilihan paling tepat bagi mereka. Pada tingkat kelompok,

pengetahuan lokal adalah upaya untuk menemukan nilai-nilai bersama sebagai

hasil dari hubungan pola atau pengaturan yang telah ditetapkan dalam suatu

lingkungan tertentu.

2.5 Konsep Kalosara

Suku Tolaki adalah sekelompok orang yang sejak lama mendiami Jazirah

Tenggara Pulau Sulawesi yang terdiri dari beberapa wilayah antara lain: Kota
15

Kendari, Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, dan Kolaka. Keberadaan

masyarakat Tolaki ini masih memegang apa yang menjadi warisan dari para

leluhurnya secara turun temurun dan masih menunjukan eksistensinya hingga saat

ini.

Hafid (2013:2) mengemukakan bahwa persebaran etnik Tolaki ini

membawa sejumlah pranata-pranata sosial, ekonomi, politik, dan tata nilai.

Sumber nilai dalam etnik Tolaki disebut kalosara yang selanjutnya disebut kalo.

Kalosara hadir dalam kehidupan orang Tolaki bertujuan untuk menciptakan

masyarakat yang berbudi luhur serta untuk menjaga ketentraman dan

kesejahteraan bersama dalam sektor kehidupan. Masyarakat Tolaki baik yang

bermukim di pedesaan sebagai petani tradisional maupun yang bermukim di

perkotaan sebagai pegawai negeri atau pengusaha sampai saat ini masih

menempatkan kalo sebagai suatu yang sakral (Tarimana, 1993: 283).

Budaya kalo adalah pusat kultural suku bangsa Tolaki Sulawesi

Tenggara. Kalo sebagai pusat kultural ethnic group Tolaki berarti sebagaimana

sifat hakiki kebudayaan universal mesti berwujud tiga domain (Koentjaraningrat,

2004: 5-7), yakni-

1. Cultural value system (sistem nilai budaya), adalah wujud ideal kebudayaan

yang berupa kompleks ide gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya.

Wujud itu tegasnya disebut adat (jamaknya: adat istiadat). Wujud kalo pada

tataran ideal atau adat-istiadat yang berupa sistem nilai dan norma, baik

dalam entitas adat kebiasaan semata (folkways) maupun mores suku bangsa

Tolaki. Wujud budaya kalo pada tataran itu bernama kalosara dan menjadi
16

sara owoseno/sara mbu'uno (adat pokok/utama) yang mengatur dua bidang

kehidupan fundamental masyarakat Tolaki, yakni” tata krama atau etiket”

dan “tata susila atau moral” Nilai-nilai dan norma-norma budaya kalosara

dengan demikian menjadi pedoman masyarakat Tolaki tentang bagaimana

seharusnya hidup dan bertingkah laku secara sopan dan manusiawi

(Tarimana, 1985: 4-5).

2. Social system (sistem sosial) atau wujud kepranataan, merupakan tindak-

tanduk berpola dalam berbagai bidang kebudayaan suku bangsa Tolaki.

Budaya kalo selaku social system adalah kalosara sebagai bentuk sistem

kepranataan masyarakat Tolaki di mana nilai-nilai dan norma-normanya

terejawantahkan ke dalam kehidupan sosial, budaya, politik, pendidikan, dan

ekonomi. Tindak-tanduk pada bidang-bidang itu karenanya bersifat unik

menampakkan pola-pola tertentu (Tarimana, 1985: 5–6).

3. Cultural artifact (artefak budaya), adalah hasil seluruh karya dan aktivitas

budaya masyarakat Tolaki. budaya kalo merupakan cultural artifact segala

benda dan aktivitas kultural yang menjadi karya manusia Tolaki. Budaya

kalo dalam hal ini adalah seluruh benda atau barang yang berwujud

lingkaran, ikatan lingkaran, pertemuan atau kegiatan sosial yang para

pesertanya membentuk lingkaran. Hal itu sesuai dengan arti harfiah kalo

yaitu lingkaran, atau ikatan. Pada awalnya, budaya artefak Kalo terbuat

dari batang oue (rotan). Seiring dengan perkembangan zaman, artefak kalo

terbuat pula dari berbagai materi lain, seperti emas, perak, benang, kain

(putih), akar, dan kulit kayu sesuai dengan fungsi dan tujuannya. Sungguh
17

demikian, karakteristik budaya kalo sebagai sesuatu yang pola bundar atau

lingkaran tidak pernah beralih sama sekali. (P3KD Prop. Sultra, 1977:

131; Tarimana, 1993: 20).

2.5.1 Kalo Sebagai Ide Dalam Kebudayaan Suku Tolaki

Sebagaimana yang diungkapkan Koentjaraningrat (1984: 9-13) bahwa

wujud ideal dari suatu kebudayaan adalah salah satu dari tiga wujud kebudayaan.

Dua wujud lainnya adalah wujud kelakuan dan wujud fisik. Wujud ideal dari

suatu kebudayaan adalah adat, atau lebih lengkapnya disebut adat tata kelakuan,

karena adat berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Adat dapat dibagi dalam empat

tingkatan antara lain. tingkat nilai budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum,

dan tingkat aturan khusus. Maka kalo dalam tinjauan sebagai adat memiliki empat

tingkatan antara lain sebagai berikut.

1. Tingkat Nilai Budaya

Tingkat nilai budaya merupakan sistem nilai budaya yang berfungsi

mewujudkan ide-ide dan mengkonsepsikan hal-hal paling bernilai bagi

masyarakat Tolaki dalam hidupannya dikenal dengan sebutan medulu

mepoko’aso (persatuan dan kesatuan), ate pute penao moroha (kesucian dan

keadilan), dan morini mbu’mbundi monapa mbu’undawaro (kemakmuran dan

kesejahteraan).

a. Ide Medulu Mepoko’aso (persatuan dan kesatuan)

Ide medulu mepoko’aso (persatuan dan kesatuan) diwujudkan dalam apa

yang disebut mete’alo-alo (bantu-membantu) antara keluarga inti atau

antara kerabat luas dengan kerabat luas dalam hal mendirikan rumah,
18

sumbangan berupa makanan dan minuman, pada acara-acara, terutama

dalam acara perkawinan, dan acara kematian.

b. Ide Ate Pute Penao Moroha (Kesucian dan Keadilan)

Ide kesucian diwijudkan dalam rangkaian aktifitas lingkaran hidup

seseorang, seperti permandian bayi pertama, pemotongan rambut bayi,

penyunatan, pembayatan calon pengantin, mandi masal untuk memasuki

bulan puasa, dan permandian mayat. Sedangkan ide keadilan diwujudkan

dalam pengambilan keputusan terhadap pembagian warisan kepada anak-

anak yang dilakukan orang tua dalam pengambilan keputusan peradilan

adat yang dilakukan oleh hakim adat.

c. Ide Morini Mbu’umbundi Monapa Mbu’undawaro (Kemakmuran dan

Kesejahteraan)

Ide morini mbu’mbundi (kemakmuran) diwujudkan dalam usaha mereka

untuk merealisasikan dengan apa yang disebut mondaweako (jutaan ikat

padi), tepohiu o’epe (bertebaran bidang kebun sagu). Sejalan dengan itu,

Melamba (2014: 236) menyatakan bahwa tanaman sagu memiliki

kedudukan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Tolaki karena

pada masa lalu dijadikan sebagai harta warisan (hapo-hapo/tiari) dan

sebagai simbol bagi kesejahteraan masyarakat Tolaki, kiniku banggona

(kerbau berombongan), lua-luano wawo raha (kebun kelapa yang luas).

d. Ide Monapa Mbu’undawaro (Kesejahteraan)

Ide Monapa Mbu’undawaro (Kesejahteraan) diwujudkan dengan apa

yang disebut mombekapona-pona’ako (saling hormat menghormati),


19

mombekamei-meiri’ako (saling kasih mengasihi), ndudu karandu

(suasana ketenangan batin yang diliputi dengan alunan bunyi gong yang

merdu di tengah malam), dan tumotapa rarai (suasana kegembiraan yang

diliputi dengan suara hura-hura, tawa dan tepuk tangan yang meriah)

(Tarimana, 1993:285).

2. Tingkat Norma-Norma

Pada tingkat norma-norma merupakan nilai-nilai budaya yang berfungsi

mengaitkan peranan-peranan tertentu dari orang Tolaki dalam masyarakatnya.

Kalo berfungsi sebagai pedoman bagi tingkah laku masyarakat Tolaki dalam

kehidupannya baik dalam kehidupan keluarga, sosial, politik, dan keagamaan.

Pada lingkungan keluarga peranan yang dimkasud ialah peran sebagai ayah,

ibu, paman, bibi, mertua, menantu, anak, kemenakan, dan sepupu. Dalam

lingkungan sosial, politik, dan pemerintahan seseorang dapat berperan sebagai

atasan atau bawahan, serta dalam kehidupan keagamaan seseorang dapat

berperan sebagai dukun atau juru bicara yang memimpin upacara, peserta

upacara, imam dan jamaah.

3. Tingkat Sistem Hukum

Pada tingkat sistem hukum merupakan hukum adat orang Tolaki yang

berfungsi mengatur bermacam-macam sektor kehidupan orang Tolaki. Kalo

sebagai hukum adat tampak pada gejala dimana kalo berfungsi sebagai alat

komunikasi antar keluarga, antar golongan, bahkan sebagai alat yang dipakai

dalam penyelenggaraan perkawinan, juga dipakai untuk menyumpa seorang

raja, selain itu digunakan dalam upacara tolak bala dan meminta berkah.
20

Penggunaan kalo dalam beberapa sektor kehidupan orang Tolaki tersebut

merupakan ketentuan-ketentuan hukum adat yang harus ditaati. Pelanggaran

terhadap segala aturan adat akan mendapatkan sanksi baik berupa sanksi batin

maupun sanksi fisik (Tarimana, 1993: 287).

4. Tingkat Aturan Khusus

Pada tingkat aturan khusus merupakan aturan-aturan khusus yang mengatur

aktifitas-aktifitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam

kehidupan masyarakat Tolaki. Kalo sebagai aturan-aturan khusus tertuang

dalam apa yang disebut merou (aturan khusus dalam berbahasa yang

menunjukan sopan santun), atora (aturan khusus dalam komunikasi sosial), o

wua (aturan khusus dalam bercocok tanam pada umumnya), o lawi (aturan

khusus dalam bercocok tanam padi khususnya), o sapa (aturan khusus dalam

berburu, beternak, dan menangkap ikan), dan mepori (aturan khusus dalam

membuat dan memakai peralatan).

2.5.2 Kalo Sebagai Fokus dan Pengintegrasi Unsur-Unsur Kebudayaan

Tolaki

Kalo sebagai fokus dan pengintegrasi unsur-unsur kebudayaan Tolaki

bahwa kalo ada hubungannya dengan bahasa sebagai lambang komunikasi,

demikian dengan unsur-unsur ekonomi melalui fungsi kalo sebagai penjaga

tanaman dan pusat ladang padi, dan melalui makna simbolik kalo sebagai asas

ditribusi barang-barang ekonomi. Kalo juga ada hubungannya dengan sistem

teknologi melalui bentuknya sebagai model dari teknik mengikat dan bentuk alat-

peralatan, demikian juga ada hubungannya dengan organisasi sosial melalui


21

makna simboliknya sebagai asas organisasi tradisional, asas organisasi kerajaan,

dan sebagai asas politik dan pemerintahan.

Tarimana (2013:291) menguraikan bahwa makna simbolik dari unsur-

unsur upacara terintegrasi didalam makna simbolik dari kalo. Ide medulu

mepoko’aso (persatuan dan kesatuan) tercermin di dalam makna simbolik dari

lingkaran rotan, demikian juga ide-ide ate pute penao moroha (keikhlasan dan

kesucian) tercermin didalam makna simbolik dari kain putih, dan ide-ide

kemakmuran dan kesejahteraan tercermin didalam makna simbolik dari wadah

anyaman dimana lingkaran rotan diletahkan. Dengan peranan kalo dalam

fungsinya sebagai pengintegrasi unsur-unsur kebudayaan Tolaki, baik dalam

hungannya dengan beberapa sub unsur dari tiap unsur kebudayaan Tolaki maupun

fungsinya sebagai unsur utama dalam upacara, maka kalo sangat erat kaitannya

dengan aktifitas orang Tolaki dalam memenuhi dan memuaskan banyak

kebutuhan dasar.

Kalo sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan

moral, orang Tolaki, menggunakan ajaran-ajaran kalo sebagai pedoman hidup, hal

tersebut tampak dalam usaha memulihkan suasana kelaparan karena panen tidak

jadi, suasana kecelakaan karena bencana alam, suasana kematian yang disebabkan

oleh wabah penyakit, suasana penganiayaan karena permusuhan, dan suasana

keretakan dan kesalapahaman bak antar individu, keluarga, maupun antar

golongan, sehingga orang Tolaki menganggap bahwa timbulnya suasana tidak

baik disebabkan oleh manusia yang telah melanggar adat dan norma-norma

agama, sehingga untuk memulihkan suasana tersebut, maka diadakan upacara


22

yang disebut mosehe wonua (upacara besar dan diikuti oleh sebagian besar

masyarakat Tolaki). Kalo sebagai pemersatu dalam pertentangan konseptual dan

sosial kebudayaan Tolaki, tercermin pada peranan kalo dalam menyelesaikan

berbagai masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan orang Tolaki antara lain.

2.6 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini dan dapat

dijadikan sebagai bahan acuan yaitu:

1. Penelitian Hairunisa (2020) dengan judul “Peran Perempuan dalam Adat

Istiadat Gorontalo” menunjukkan peran perempuan lebih sedikit disbanding

laki-laki, dimana perempuan hany dilibatkan pada bagian-bagian tertentu saja

seperti pramusaji, mendampingi laki-laki dalam proses pelamaran, modelo,

mohama, dan sebagai pengiring adat dan pengantin.

2. Penelitian Maria dan Lodowik (2019) dengan judul “Peran Perempuan

Adonara Dalam Budaya Upacara Perhelatan: Studi Fenomenologi Peran

Perempuan Adonara Pada Pernikahan Dan Kematian” menunjukkan

perempuan hanya diberi peran menghantarkan sarung tenun, selendang, dan

kain lainnya dalam upacara pernikahan dan kematian. Selain itu perempuan

juga berperan sebagai bine yang mempunyai kewajiban membantu saudara

laki-lakinya membawa hewan seperti babi atau kambing dalam upacara

pernikahan.

3. Penilitian dilakukan Nanda Putri Rizma (2019) dengan judul “Peran Gender

Perempuan Adat Tunggu Tubang Suku Semende Sumatera Selatan (Studi

Etnografi Desa Tanjung Raya Kabupaten Muaraenim)” menunjukan


23

transformasi perubahan adat yang dipengaruhi perkembangan global sehingga

makna kekuasaan sekalipun berada di perempuan tunggu tubang tapi

pengambil keputusan berada pada pihak mareje.

2.7 Kerangka Konseptual

Teori feminisme merupakan perspektif teori tentang gender yang

dikembangkan dari studi-studi yang berpusat pada wanita. Teori feminisme pada

abad kedua puluh tidak dapat dipisahkan dari pemahaman feminisme sebagai

gerakan sosial. Feminisme berawal dari suatu gerakan sosial yang membela

dan memperjuangkan antara laki-laki dan perempuan.

Perkawinan merupakan kegiatan kebudayaan dalam masyarakat, dimana

kebudayaan mengenai perkawinan berbeda antara masyarakat satu dengan

masyarakat lainnya. Kebudayaan itu sendiri adalah seluruh cara kehidupan dari

masyarakat yang manapun tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup yaitu

bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih diinginkan. Karena itu bagi seorang

ahli ilmu sosial tidak ada masyarakat atau perorangan yang tidak berkebudayaan.

Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan dan setiap manusia adalah mahluk

berbudaya, dalam arti mengambil bagian dalam sesuatu kebudayaan (Ihromi

2006:18).

Segala aktivitas masyarakat tidak terlepas dari peran dan fungsi antar

laki- laki dan perempuan. Peran dan fungsi laki-laki dan perempuan tercipta dari

tradisi- tradisi yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Salah satu tradisi yang ada

dalam masyarakat yaitu tentang tradisi dalam perkawinan yang di dalamnya


24

memuat tentang relasi gender mengenai peran dan fungsi antara laki-laki dan

perempuan dalam rumah tangga.


25

Skema 2.1. Kerangka Konseptual

Peran Perempuan Pada Adat Pernikahan Masyarakat Tolaki di Desa


Mendikonu Kecmatan Amonggedo Kabupaten Konawe

Teori Peran

seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan


kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peran (Burhan, 2009).

Pernikahan

Hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan yang


membawa hubungan lebih luas yaitu antara kelompok kerabat laki-
laki dan perempuan, bahkan antara masyarakat yang satu dengan
yang lain (Azizah, 1997).

Perempuan Dalam Adat Perkawinan Tolaki

Peran perempuan dalam proses adat perkawinan tolaki sebagai pabitara


yaitu penyampai pesan dikalangan perempuan antara dua keluarga yang
akan melangsungkan perkawinan. Selain itu, perempuan juga berperan
sebagai pengiring penganting dan mendampingi laki-laki dalam prosesi
adat pernikahan.

Anda mungkin juga menyukai