Anda di halaman 1dari 5

Resume Kontrak Dagang Internasional

1. Pengertian dan ruang lingkup HKDI

Hukum Dagang Internasional menurut Definisi Schmitthoff adalah sekumpulan aturan yang
mengatur hubungan-hubungan komersial yang sifatnya perdata. Aturan aturan hukum tersebut
mengatur transaksi-transaksi yang berbeda negara. Definisi di atas menunjukkan dengan jelas
bahwa aturan-aturan tersebut bersifat komersial. Schmitthoff menegaskan bahwa ruang
lingkup bidang hukum ini tidak termasuk hubungan- hubungan komersial internasional
dengan ciri hukum publik. Termasuk dalam bidang hukum publik ini, yakni aturan-aturan
yang mengatur tingkah laku atau perilaku negara-negara dalam mengatur perilaku
perdagangan yang memengaruhi wilayahnya.

Kontrak dagang sendiri merupakan perjanjian antara dua atau lebih pihak yang mempunyai
komersial tertentu Dimana ada unsur asing di dalamnya. Pihak dalam kontrak dagang
internasional harus subyek hukum yang punya kemampuan bertindak dihadapan hukum,
dalam penyusunannya tidak boleh bertentangan dengan hukum materil para pihak dan hukum
formil Dimana perjanjian tersebut ditandatangani dan berlaku. Secara teoritis, unsur asing
yang ada dalam suatu kontrak internasional adalah:
a.Kebangsaan yang berbeda;
b.Para pihak memiliki domisili hukum yang berbeda;
c.Hukum yang dipilih adalah hukum asing;
d.Pelaksanaan kontrak di luar negeri;
e.Penyelesaian sengketa kontrak di luar negeri;
f.Kontrak tersebut ditandatangani di luar negeri;
g.Obyek kontrak di luar negeri;
h.Bahasa yang digunakan dalam kontrak adalah bahasa asing;
i.Digunakannya mata uang asing dalam kontrak tersebut.

Ruang lingkup bidang hukum ini cukup luas, dari bentuknya yang sederhana, barter, jual-beli
barang, atau komoditas, hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks.
Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional ini paling tidak disebabkan oleh
adanya jasa teknologi (khususnya teknologi informasi) sehingga transaksi-transaksi dagang
semakin berlangsung cepat. pada ruang lingkup cakupan hukum dagang internasional,
Schmitthoff
menguraikan bidang-bidang berikut sebagai cakupan bidang hukum dagang internasional,
seperti:

1.jual-beli dagang internasional, yang meliputi pembentukan kontrak yakni mengatur tentang
perwakilan-perwakilan dagang, dan pengaturan penjualan eksklusif;
2.surat-surat berharga;
3.hukum mengenai kegiatan-kegiatan tentang tingkah laku mengenai perdagangan
internasional;
4.asuransi;
5.pengangkutan melalui darat dan kereta api, laut, udara, dan perairan pedalaman;
6.hak milik industri;
7.arbitrase komersial.

2. Sejarah dan Pengembangan HKDI


Hukum perdagangan internasional telah ada sejak lahirnya negara dalam arti modern. Sejak
saat itu, hukum perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang cukup pesat
sesuai dengan perkembangan hubungan-hubungan perdagangan. Dilihat dari perkembangan
sumber hukumnya (dalam arti materiel), perkembangan hukum perdagangan internasional
dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap, yaitu:
1. Hukum perdagangan internasional dalam masa awal pertumbuhan.
2. Hukum perdagangan internasional yang dicantumkan dalam hukum
nasional.
3. Lahirnya aturan-aturan hukum perdagangan internasional dan
munculnya lembaga-lembaga internasional yang mengurusi
perdagangan internasional.

3. Hubungan antar hukum nasional dan hukum internasional dalam HKDI

Adanya berbagai aturan hukum nasional ini sedikit banyak kemungkinan dapat berbeda antara
satu sama lainnya. Perbedaan ini kemudian dikhawatirkan akan juga mempengaruhi
kelancaran transaksi perdagangan itu sendiri. Masalah ini sebelumnya sudah cukup lama
disadari oleh bangsa-bangsa di dunia, termasuk organisasi dunia PBB. Dalam resolusi Majelis
Umum PBB No 2102 (XX), PBB menyatakan bahwa:

"Conflicts and divergencies arising from the laws of different states in matters relating to
international trade constitute an obstacle to the development of world trade
Untuk menghadapi masalah ini, sebenarnya ada 3 teknik yang dapat dilakukan.
Pertama, negara-negara sepakat untuk tidak menerapkan hukum nasionalnya. Sebaliknya
mereka menerapkan hukum perdagangan internasional untuk mengatur hubungan-hubungan
hukum perdagangan mereka.
Kedua, apabila aturan hukum perdagangan internasional tidak ada dan atau tidak disepakati
oleh salah satu pihak, maka hukum nasional suatu negara tertentu dapat digunakan. Cara
penentuan hukum nasional yang akan berlaku dapat digunakan melalui penerapan prinsip
choice of laws. Choice of Laws adalah klausul pilihan hukum yang disepakati oleh para pihak
yang dituangkan dalam kontrak (internasional) yang mereka buat
Ketiga, teknik yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan unifikasi dan harmonisasi
hukum aturan-aturan substantif hukum perdagangan internasional. Dalam upaya unifikasi dan
harmonisasi hukum, masalah esensialnya adalah bagaimana metode yang akan diterapkannya.
Dalam kaitan itu, masalah-masalah mengenai perbedaan konsepsi dan perbedaan bahasa yang
terdapat dalam berbagai sistem hukum tersebut hanya dapat ditanggulangi dengan cara
menerapkan metode komparatif. Menurut Schmitthoff, dalam metode komparatif, dikenal 3
metode, yaitu metode dengan memberlakukan:
a. perjanjian/konvensi internasional (international convention);
CISG 1980 atau Konvensi mengenai Kontrak Jual Beli Barang Internasional. Konvensi ini
dapat dipandang sebagai upaya mengunifikasi hukum kontrak jual beli barang internasional.
Para perancang konvensi ini telah berupaya mengkawinkan prinsip-prinsip kontrak yang
dikenal dalam sistem hukum Civil Law dan sistem hukum Common Law. Salah satu
pembatasan cara ini adalah adanya kehendak dari sesuatu negara untuk mengikatkan diri atau
meratifikasi perjanjian atau konvensi internasional tersebut. Dalam kenyataannya, untuk
mencapai kehendak tersebut banyak bergantung pada faktor ekonomi, politis, juridis, dll.
b. hukum seragam (uniform laws);
Hukum seragam tidak lain adalah model-model hukum yang dapat kita lihat misalnya dalam
model hukum arbitrase UNCITRAL 1985 (Model Law on International Commercial
Arbitration). Model hukum ini memberikan keleluasaan kepada negara-negara yang hendak
menerapkannya ke dalam hukum nasionalnya. Keleluasaan tersebut mencakup keleluasaan
kepada negara yang bersangkutan apakah akan menerapkan secara penuh aturan- aturan
substantif Model Law. Kemungkinan lain, negara tersebut memutuskan untuk menerapkannya
dengan melakukan beberapa revisi atau menerapkan beberapa pengecualian terhadap aturan-
aturan di dalamnya. Sifat hukum seragam tidak mengikat. Ia hanya bersifat persuasif. Karena
itu derajat pengadopsian atau penerapannya sangat bergantung kepada masing-masing negara.
b. aturan seragam (uniform rules).
Aturan-aturan seragam lebih rendah tingkatannya daripada hukum seragam (Uniform Laws).
Bentuk aturan seragam tampak antara lain dalam modal-model kontrak standar atau kontrak
baku. Bentuk klausul standar (baku) yang dicantumkan oleh para pihak dalam kontrak-
kontrak yang mereka buat.Tidak jarang pula lembaga-lembaga atau asosiasi-asosiasi
memperkenalkan klausul-klausul yang perlu dicantumkan dalam suatu kontrak apabila para
pihak hendak memanfaatkan fasilitas Lembaga atau asosiasi yang bersangkutan. Hal ini
antara lain banyak ditemui dalam klausul-klausul arbitrase baik nasional maupun asing.
Klausul-kluasul standar arbitrase tersebut dimaksudkan agar para pihak tidak perlu lagi
merancang klausul choice of forum-nya.

4. Interaksi diantara hukum nasional yang berbeda-beda


Dalam upaya unifikasi dan harmonisasi hukum terkait dengan hukum nasional yang berbeda-
beda, masalah esensialnya adalah bagaimana metode yang akan diterapkannya. Dalam kaitan
itu, masalah-masalah mengenai perbedaan konsepsi dan perbedaan bahasa yang terdapat
dalam berbagai sistem hukum tersebut hanya dapat ditanggulangi dengan cara menerapkan
metode komparatif. Menurut Schmitthoff, dalam metode komparatif, dikenal 3 metode, yaitu
metode dengan memberlakukan:
a. perjanjian/konvensi internasional (international convention);
CISG 1980 atau Konvensi mengenai Kontrak Jual Beli Barang Internasional. Konvensi ini
dapat dipandang sebagai upaya mengunifikasi hukum kontrak jual beli barang internasional.
Para perancang konvensi ini telah berupaya mengkawinkan prinsip-prinsip kontrak yang
dikenal dalam sistem hukum Civil Law dan sistem hukum Common Law. Salah satu
pembatasan cara ini adalah adanya kehendak dari sesuatu negara untuk mengikatkan diri atau
meratifikasi perjanjian atau konvensi internasional tersebut. Dalam kenyataannya, untuk
mencapai kehendak tersebut banyak bergantung pada faktor ekonomi, politis, juridis, dll.
b. hukum seragam (uniform laws);
Hukum seragam tidak lain adalah model-model hukum yang dapat kita lihat misalnya dalam
model hukum arbitrase UNCITRAL 1985 (Model Law on International Commercial
Arbitration). Model hukum ini memberikan keleluasaan kepada negara-negara yang hendak
menerapkannya ke dalam hukum nasionalnya. Keleluasaan tersebut mencakup keleluasaan
kepada negara yang bersangkutan apakah akan menerapkan secara penuh aturan- aturan
substantif Model Law. Kemungkinan lain, negara tersebut memutuskan untuk menerapkannya
dengan melakukan beberapa revisi atau menerapkan beberapa pengecualian terhadap aturan-
aturan di dalamnya. Sifat hukum seragam tidak mengikat. Ia hanya bersifat persuasif. Karena
itu derajat pengadopsian atau penerapannya sangat bergantung kepada masing-masing negara.
b. aturan seragam (uniform rules).
Aturan-aturan seragam lebih rendah tingkatannya daripada hukum seragam (Uniform Laws).
Bentuk aturan seragam tampak antara lain dalam modal-model kontrak standar atau kontrak
baku. Bentuk klausul standar (baku) yang dicantumkan oleh para pihak dalam kontrak-
kontrak yang mereka buat.Tidak jarang pula lembaga-lembaga atau asosiasi-asosiasi
memperkenalkan klausul-klausul yang perlu dicantumkan dalam suatu kontrak apabila para
pihak hendak memanfaatkan fasilitas Lembaga atau asosiasi yang bersangkutan. Hal ini
antara lain banyak ditemui dalam klausul-klausul arbitrase baik nasional maupun asing.
Klausul-kluasul standar arbitrase tersebut dimaksudkan agar para pihak tidak perlu lagi
merancang klausul choice of forum-nya.

a. World Trade Organization (WTO)


Kebijakan Unifikasi dan Harmonisasi WTO adalah salah satu contoh di mana unifikasi
aturan-aturan atau hukum perdagangan internasional diterapkan terhadap negara-negara
anggotanya. Pasal XVI Perjanjian Pembentukan WTO menyatakan: "Each member shall
ensure the conformity of its laws, regulations and administrative procedures with its
obligations as provided in the annexed Agreements." (Pasal XVI ayat 4 Agreement
Establishing the World Trade Organization). Ketentuan pasal tersebut menjadi indikator
penting bagaimana WTO mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyesuaikan aturan-
aturan atau hukum perdagangannya dengan aturan-aturan yang termuat dalam Annex
perjanjian WTO. Bahkan ketentuan pasal XVI tersebut juga mewajibkan negara anggotanya
untuk menyesuaikan administrative procedures-nya (birokrasi) sesuai dengan administrative
procedure-nya WTO.

Kebijakan Harmonisasi dan Unifikasi UNIDROIT Tujuan utama UNIDROIT sebenarnya


adalah mempersiapkan harmonisasi aturan-aturan hukum privat. Upaya ini dipandan penting
mengingat perkembangan teknologi baru, praktek-praktek pedagangan, dll memerlukan
aturan hukum yang baru. Biasanya aturan-aturan baru tersebut juga dibuat oleh negara-
negara.
Masalahnya adalah peraturan tersebut bisa saja berbeda antara satu aturan hukum dengan
aturan hukum lainnya. Karen itu aturan tersebut perlu diharmonisasi, atau bahkan diunifikasi
guna memperlancar perdagangan internasional. Masalahnya adalah harmonisasi atau unifikasi
hukum tersebut banyak bergantung kepada keinginan dan kerelaan negara-negara untuk mau
menerimanya. Meskipun menyadari adanya kesulitan upaya tersebut, UNIDROIT memiliki
kedudukannya yang menguntungkan sebagai organsiasi antar pemerintah. Dalam kaitan ini,
UNDIROIT menerapkan pemberlakuan konvensi atau perjanjian internasional
yang mensyaratkan penerimaan dari negara-negara anggotanya. Tujuannya adalah
menerapkan aturan-aturan konvensi tersebut kedalam sistem hukum negara-negara anggota
yang menundukkan dirinya kepada konvensi tersebut. Penerimaan suatu aturan konvensi oleh
negara akan jauh lebih memudahkan pemberlakuan aturan-aturan konvensi tersebut kedalam
wilayah negara anggotanya (termasuk kepada warga negara atau subyek-subyek hukum di
wilayah negara tersebut).

5. Sumber HKDI

(1) perjanjian internasional;


(2) hukum kebiasaan internasional;
(3) prinsip-prinsip hukum umum; dan
(4) putusan-putusan pengadilan dan publikasi sarjana-sarjana
terkemuka (doktrin),
(5) Hukum nasiona;
(6) Kontrak

6. Subjek HKDI

a. Negara
1. Peran Negara
2. Imunitas Negara
b. Organisasi Perdagangan Internasional
c. Individu
1. Perusahaan Multinasional
2. Bank

Sumber Referensi

1. Hukum Perdagangan Internasional (Prinsip-prinsip dan Konsepsi Dasar)


“Huala Adolf”
2. Hukum Perdagangan Internasional “Dr. Serlika Aprita, S.H., M.H., Rio Adhitya,
S.T., S.H., M.Kn.”
3. Indonesian Journal of International Law Indonesian Journal of International Law,
Volume 5, Number 3, Treaty and National Law Article 8, 4-30-2008, hukum yang
Dipergunakan dalam Kontrak Dagang Internasional Hukum yang Dipergunakan
dalam Kontrak Dagang Internasional, Sri Laksmi Anindita

Anda mungkin juga menyukai