Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI GANGGUAN

REPRODUKSI, ONKOLOGI DAN SARAF


MIGRAIN

Kelompok 6 :
Mochammad Ihsan Ramadhan 200106106
Muhammad Raisal Fauzi 200106108
Muhammad Lutfi Assegaf 200106112
Nadiva Nuraisa Putri 200106118

Dosen Pengampu :
Apt. Rizki Oktarini, M.Farm.

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG
2023
A. KASUS
Seorang wanita berusia 40 tahun datang untuk evaluasi sakit kepala migrain
kronisnya. Dia melaporkan bahwa kira-kira sebulan sekali dia mengalami sakit
kepala unilateral yang parah terkait dengan mual dan fotofobia ekstrem. Sakit
kepala akan berlangsung selama sehari penuh jika tidak diobati. Dia telah berhasil
mengurangi keparahan sakit kepala dengan analgesik opioid, tetapi biasanya dia
terlalu mual untuk meminumnya. Ketika dia bisa mentolerirnya, dia harus tidur
selama beberapa jam sesudahnya. Dia kehilangan sekitar satu hari kerja dalam
sebulan karena sakit kepala. Dia tidak memiliki riwayat medis penting lainnya
dan tidak minum obat secara teratur. Pemeriksaannya hari ini normal.
B. DASAR TEORI
1. PATOFISIOLOGI
a. Teori Vascular
Vasokontriksi intrakranial di bagian luar korteks berperan dalam
terjadinya migrain dengan aura. Pendapat ini diperkuat dengan adanya
nyeri kepala disertai denyut yang sama dengan jantung. Pembuluh
darah yang mengalami konstriksi terutama terletak di perifer otak
akibat aktivasi saraf nosiseptif setempat. Teori ini dicetuskan atas
observasi bahwa pembuluh darah ekstrakranial mengalami
vasodilatasi sehingga akan teraba denyut jantung. Vasodilatasi ini
akan menstimulasi orang untuk merasakan sakit kepala. Dalam
keadaan yang demikian, vasokonstriktor seperti ergotamin akan
mengurangi sakit kepala, sedangkan vasodilator seperti nitrogliserin
akan memperburuk sakit kepala
b. Teori Neurovaskular dan Neurokimia
Teori vaskular berkembang menjadi teori neurovaskular yang
dianut oleh para neurologist di dunia. Pada saat serangan migrain
terjadi, nervus trigeminus mengeluarkan CGRP (Calcitonin Gene-
related Peptide) dalam jumlah besar. Hal inilah yang mengakibatkan
vasodilatasi pembuluh darah multipel, sehingga menimbulkan nyeri
kepala. CGRP adalah peptida yang tergolong dalam anggota keluarga
calcitonin yang terdiri dari calcitonin, adrenomedulin, dan amilin
(Antonaci et al., 2011).
2. GUIDELINE TERAPI

C. PENATALAKSANAAN KASUS DAN PEMBAHASAN


Migrain adalah suatu penyakit yang ditandai dengan episode nyeri kepala
berulang, seringkali unilateral, namun dapat juga bilateral, dan dalam beberapa
kasusdisertai dengan gangguan visual atau sensorik yang dikenal sebagai aura.
Aura seringkali timbul sebelum nyeri kepala muncul, namun dapat terjadi selama
atau setelah nyeri kepala (Burstein, 2015)
Nama pasien : - Nomor RM :
Ruang rawat : Umur : 40 tahun

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Migraine

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Pada kasus ini tidak terdapat riwayat penyakit dahulu.

RIWAYAT KELUARGA
Pada kasus ini tidak terdapat riwayat keluarga
RIWAYAT SOSIAL
Pada kasus ini tidak terdapat riwayat sosial

RIWAYAT PENGGUNAAN OBAT


Pada kasus ini tidak terdapat riwayat dalam penggunaan obat

DOKUMEN FARMASI PENDERITA


No. RM : Diagnosis : Migraine Tgl. MRS/KRS :Ket.
Nama : Ny. K Keluhan: sebulan sekali dia KRS :
Ruangan Asal : mengalami sakit kepala Pindah ruangan/tgl :
Nama/Umur : 50 tahun unilateral yang parah Nama Dokter :
L/P terkait dengan mual dan Nama Farmasis :
Alamat : - fotofobia ekstrem. Sakit
BB/TB/LPT: - kepala akan berlangsung
Riwayat Alergi : - selama sehari penuh jika
tidak diobati..
Riwayat Penyakit
Sekarang: Migraine

No Nama obat Tinjauan Obat


1 Ibuprofen Regimen dosis yang diresepkan
Dosis: 200- 800 mg,tiap 3-4 kali sehari
Rute: Oral

Regimen dosis berdasarkan literatur


Dosis: 200- 800 mg,tiap 3-4 kali sehari
Rute: Oral

Indikasi terapi: Untuk menghambat produksi


senyawa yang menyebabkan peradangan dannyeri,
sehingga sakit kepala dapat berkurang
Tanggal dimulainya terapi: -
Durasi terapi: maksimal 4 minggu
Efek samping obat: Sakit kepala, mual, muntah,
gangguan jantung, gangguan pencernaan, hingga
kerusakan hati.
2 Triptagic Regimen dosis yang diresepkan
Dosis: 50-100 mg dengan interval 2 jam jika
migraine berulang
Rute: Oral
Regimen dosis berdasarkan literatur
Dosis: 50-100 mg dengan interval 2 jam jika
migraine berulang
Rute: Oral
Indikasi terapi: Untuk meningkatkan efek serotonin
disertai keluarga reseptor 5-Ht lainnya.Efek agonis
serotonin yang terdapat pada obat ini dapat
mengurangi pembengkakan pembuluh darah di
sekitar otak yang memicu terjadinya migrain
Tanggal dimulainya terapi: -
Durasi terapi: maksimal 4 minggu
Efek samping obat: Hipertensi transien, hipotensi,
pusing, memerah, lelah, kantuk, lemah, kejang, mual
dan muntah, panas, sesak di bagian tubuhmana
pun, kesemutan, kejang, reaksi di tempat suntikan,
iritasi mukosa hidung dan epistaksis
3 Dimenhydrinate Regimen dosis yang diresepkan
Dosis: 50 hingga 100 miligram (mg), setiap 4 hingga
6 jam
Rute: Oral
Regimen dosis berdasarkan literatur
Dosis: 50 hingga 100 miligram (mg), setiap 4 hingga
6 jam
Rute: Oral
Indikasi terapi: Untuk menghambat kerja enzim
siklooksigenase (COX-2), menghambat sintesis
prostaglandin sehingga rasa nyeri sakit dan
peradangan mereda
Tanggal dimulainya terapi: -
Durasi terapi: maksimal 4 minggu
Efek samping obat : Kantuk. Penglihatan buram.
Sembelit. Hidung, tenggorokan, atau mulut terasa
kering

Subjective Objective Assesment Plan


Pasien memiliki Hasil 1. Ibuprofen :
 Mengurangi rasa
keluhan migrain pemeriksaan 200-800
sakit kepala yang
kronis. Kisaran normal mg,tiap 3-4
berkepanjangan
sebulan sekali dia kali sehari
mengalami sakit 2. Triptagic :  Menurunkan
kepala unilateral 50-100 mg tingkat kesakitan

yang parah terkait dengan saat migrain

dengan mual dan interval 2 berlangsung

fotofobiaekstrem. jam jika  Menurunkan


migraine frekuensi migrain
berulang
 Edukasi pasien
3. Dimenhyd
agar dapat
rinate : 50
menangani rasa
hingga 100
sakit
miligram
 Meningkatkan
(mg), setiap
kualitas hidup
4 hingga 6
jam
Pembahasan
Migrain adalah penyakit neurologis kronis paroksismal yang ditandai
dengan serangan nyeri kepala sedang atau berat disertai dengan gejala neurologis
dan sistemik reversibel. Gejala yang sering tampak pada migrain antara lain
fotofobia, fonofobia, dan gejala gastrointestinal seperti mual dan muntah. Istilah
migrain refrakter digunakan untuk mendefinisikan nyeri kepala persisten yang
sulit ditangani atau tidak berespon dengan pemberian terapi standar dan/atau
agresif (D’Antona L, Matharu M. 2019).
Berdasarkan prevalensinya Migrain terjadi pada 17,6% wanita dan 5,7%
pria. Insiden migrain tertinggi didapatkan pada usia 15 hingga 24 tahun, dengan
puncaknya pada usia 20-24 tahun pada wanita dan 15-19 tahun pada pria.
Sejumlah 90% serangan pertama terjadi sebelum usia 40 tahun. Prevalensi
tertinggi didapatkkan pada usia 35 hingga 45 tahun. Pada dewasa berusia 18
hingga 59 tahun, prevalensi migrain diperkirakan sejumlah 17 hingga 21%
bergantung pada kriteria diagnosis yang digunakan: strict migraine 8-11% dan
probable migraine 9-10%. Sekitar 70% penderita migrain mengalami serangan
migrain tanpa aura (common migrain) dan 20% mengalami migrain dengan aura
(classical atau focal migrain). Prevalensi migrain dengan aura meningkat seiring
dengan usia, terjadi pada 13% serangan migrain pada penderita berusia 18-29
tahun, 20,1% pada penderita berusia 40-49 tahun, dan 41% penderita berusia 70%
atau lebih (MacGregor EA,2019) (Qubty W, Patniyot I,2016) (Lanteri- Minet M,
at al. 2014).
Pada penderita migrain, terjadi peningkatan sensitivitas otak yang
berlebihan, yaitu peningkatan sensitivitas terhadap cahaya, suara, Gerakan,
penciuman, atau stimuli sensori lainnya selama periode tanpa nyeri.
Hipersensitivitas ini dipercaya diinduksi oleh respon korteks dan brainstem,
menyebabkan terjadinya habituasi defektif (Qubty W, 2019). Migrain dapat
dipicu oleh beberapa factor: stres emosional (80%), hormon pada perempuan
(65%), tidak makan (57%), cuaca (53%), gangguan tidur (50%), bau-bauan
(44%), nyeri leher (38%), Cahaya (38%), alkohol (38%), asap rokok (36%), tidur
larut (32%), panas (30%), makanan (27%), olahraga (22%), aktivitas seksual
(5%).
Pada kasus seorang wanita berumur 40 tahun. datang untuk evaluasi sakit
kepala migrain kronisnya. Dia melaporkan bahwa kira-kira sebulan sekali dia
mengalami sakit kepala unilateral yang parah terkait dengan mual dan fotofobia
ekstrem. Sakit kepala akan berlangsung selama sehari penuh jika tidak diobati.
Dia telah berhasil mengurangi keparahan sakit kepala dengan analgesik opioid,
tetapi biasanya dia terlalu mual untuk meminumnya. Ketika dia bisa
mentolerirnya, dia harus tidur selama beberapa jam sesudahnya. Dia kehilangan
sekitar satu hari kerja dalam sebulan karena sakit kepala. Dia tidak memiliki
riwayat medis penting lainnya dan tidak minum obat secara teratur dan
pemeriksaannya hari ini normal. Diagnosis migrain pada pasien karena adanya
salah satu gejala migrain pada pasien yakni sakit pada bagian kepala yang terus
menerus, serangan nyeri pada satu sisi kepala dengan intensitas yang cukup kuat
dan dapat menyebar ke bagian kepala lainnya. biasanya muncul secara bertahap
dalam 4 fase, yaitu prodromal, aura, attack, dan postdrome.
Pada fase premonitori, serangan migrain umumnya diawali dengan adanya
gejala prodromal. Pada migrain, gejala prodromal merupakan gejala yang
mendahului nyeri kepala beberapa jam sebelum onset nyeri. Gejala-gejala ini
timbul diduga disebabkan oleh keterlibatan hypothalamus, brainstem, dan
korteks. Gejala yang dapat muncul antara lain gejala keterlibatan hipotalamus
(kelelahan, depresi, iritabel, ngidam makanan, dan menguap), gejala keterlibatan
brainstem (kaku otot leher dan nyeri otot), gejala keterlibatan korteks (sensitivitas
abnormal terhadap cahaya, suara, dan baubauan), dan gejala keterlibatan sistem
limbik (depresi dan anhedonia). Gejala aura terjadi pada fase gejala neurologis
transien. Gejala Aura adalah gejala neurologis fokal sementara. Meskipun gejala
kognitif bukan merupakan salah satu simptomatologi migrain, banyak penderita
migrain mengeluhkan gangguan intelektual, terutama penurunan atensj dan
memori. Gejala kognitif umum terjadi pada fase premonitory dan fase nyeri, dapat
bertahan hingga fase postdrome. Tingkat nyeri berat, tingkat depresi dan
kecemasan yang lebih tinggi, serta kualitas tidur yang buruk dan penurunan durasi
tidur terkait dengan gejala penurunan kognitif yang lebih berat. Peningkatan
frekuensi dan durasi migrain terkait dengan fungsi kognitif yang lebih buruk.
Penderita migrain dengan aura mengalami gangguan kognitif yang lebih
prominen (Vuralli D, et all.2018 ).
Berdasarkan etiologi dari migrain, beberapa faktor atau pemicunya yaitu
Riwayat penyakit migrain dalam keluarga. Perubahan hormon (estrogen dan
progesteron) pada wanita, khususnya pada fase luteal siklus menstruasi. Makanan
yang bersifat vasodilator (anggur merah, natrium nitrat) vasokonstriktor (keju,
coklat) serta zat tambahan pada makanan. Stres, Faktor fisik, tidur tidak teratur.
Rangsang sensorik (cahaya silau dan bau menyengat). Mengonsumsi Alkohol dan
MerokokAdapun pengobatan yang direkomendasikan dan diberikan kepada
pasien migrain pada kasus yakni diberikan Obat Pereda nyeri (ibuprofen)
tujuannya untuk menghambat produksi senyawa yang menyebabkan peradangan
dan nyeri, sehingga sakit kepala dapat berkurang. Yang kedua diberikan Obat
golongan triptan dengan tujuan untuk meningkatkan efek serotonin disertai
keluarga reseptor 5-Ht lainnya. Efek agonis serotonin yang terdapat pada obat ini
dapat mengurangi pembengkakan pembuluh darah di sekitar otak yang memicu
terjadinya migrain. Selain itu juga pasien diberikan obat Antimual (domperidone)
untuk menghambat kerja enzim siklooksigenase (COX-2), menghambat sintesis
prostaglandin sehingga rasa nyeri sakit dan peradangan mereda. Sebelum penyakit
migrain pada pasien itu meningkat, pasien dapat melakukan terapi non-
farmakologi terlebih dahulu sebelum mengonsumsi obat dokter. Adapun terapi
yang dapat dilakukannya yaitu melakukan teknik relaksasi dapat berupa relaksasi
otot progresif dan meditasi. Melakukan perubahan gaya hidup dapat mengurangi
pemicu migrain dan mengkonsumsi buah segar.
Pasien juga diberikan beberapa plan yang dapat dilakukan pada tahap
selanjutnya seperti melakukan monitoring perkembangan pasien selama terapi
dilakukan, Monitoring efektivitas dan efek samping obat yang diberikan dan
diberikan edukasi tentang perubahan pola hidup yang sehat. Modifikasi gaya
hidup dapat dilakukan untuk memodifikasi pemicu terjadinya migrain pada
penderita sehingga tingkat keparahan dan dan frekuensi timbulnya gejala.
Modifikasi gaya hidup dapat dilakukan sesuai mnemonic SEEDS (Sleep,
Exercise, Eat, Diary, dan Stress). Optimalisasi sleep hygiene dan screening untuk
sleep apnea sebaiknya dilakukan, terutama apabila penderita mengalami nyeri
kepala kronik tiap bangun tidur. Sleep hygiene dan modifikasi pola tidur dapat
mengubah migrain kronik menjadi migrain episodic (Robblee J, Starling AJ.
2011).
Olahraga disarankan untuk tatalaksana profilaksis migrain. Pada penderita
migrain, kadar beta-endorfin pada cairan serebrospinal menurun. Olahraga dapat
meningkatkan kadar endorphin dan menurunkan durasi serta frekuensi nyeri
kepala (Robblee J, Starling AJ. 2011). Pada penderita dengan migrain, tidak ada
restriksi makanan tertentu yang disarankan. Penderita migrain disarankan untuk
mengonsumsi makanan secara rutin, karena penderita cenderung mengalami
migrain setelah berpuasa. Cognitive behavioral therapy, mindfulness,
biofeedback, dan Teknik relaksasi dapat dipelajari untuk menangani stress pada
migrain (Robblee J, Starling AJ. 2011).

D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian atau pemeriksaan serta pembahasan diatas
dapat disimpulkan bahwa pasien wanita berusia 40 tahun, mengalami sakit kepala
unilateral yang parah terkait dengan mual dan fotofobia ekstrem. Sakit kepala
akan berlangsung selama sehari penuh jika tidak diobati. Dia telah berhasil
mengurangi keparahan sakit kepala dengan analgesik opioid, tetapi biasanya dia
terlalu mual untuk meminumnya. Upaya yang dilakukan dalam kasus ini adalah
memberikan obat pereda nyeri (Ibu Profen) yaitu untuk menghambat produksi
senyawa yang menyebabkan peradangan dan nyeri, sehingga sakit kepala dapat
berkurang lalu di berikan obat golongan triptan yaitu untuk meningkatkan efek
serotonin disertai keluarga reseptor 5-Ht lainnya. Efek agonis serotonin yang
terdapat pada obat ini dapat mengurangi pembengkakan pembuluh darah di sekitar
otak yang memicu terjadinya migrain dan di berikan antimual (domperidone)
yaitu untuk menghambat kerja enzim siklooksigenase (COX-2), menghambat
sintesis prostaglandin sehingga rasa nyeri sakit dan peradangan mereda
E. DAFTAR PUSTAKA
Andreou AP, Edvinsson L. Mechanisms of migrain as a chronic evolutive
condition. J Headache Pain; 2019. 20(1). DOI: 10.1186/s10194-019-1066-0
Antonaci F, Voiticovschi-iosob C, Luisia A, Stefano D, Galli F, Ozge A, et al.
The evolution of headache from childhood to adulthood : a review of the
literature. J Headache Pain. 2014;15(15).
Burstein R, Noseda R, Borsook D. Migrain: Multiple processes, complex
pathophysiology. J Neurosci; 2015. 35(17):6619–29. DOI:
10.1523/JNEUROSCI.0373-15.2015
D’Antona L, Matharu M. Identifying and managing refractory migrain: Barriers
and opportunities? J Headache Pain; 2019. 20(1). DOI: 10.1186/s10194-019-
1040-x
Lanteri-Minet M, Valade D, Geraud G, Lucas C, Donnet A. Revised French
guidelines for the diagnosis and management of migrain in adults and
children. J Headache Pain; 2014. 15(1):14–29. DOI: 10.1186/1129-2377-15-
2
MacGregor EA. Diagnosing migrain. J Fam Plan Reprod Health Care;
2016.42(4):280–6. DOI: 10.1136/jfprhc-2015-101193
Puledda F, Messina R, Goadsby PJ. An update on migrain: Current understanding
and future directions. J Neurol; 2017. 264(9):2031–9. DOI: 10.1007/s00415-
017-8434-y.
National Institue of Neurological Disorders at Stroke. Brain Basics: Preventing
Stroke. Bethesda: NINDS; 2015.
Qubty W, Patniyot I. Migrain Pathophysiology. Pediatr Neurol; 2020;107:1–6.
DOI: 10.1016/j.pediatrneurol.2019.12.014.
Robblee J, Starling AJ. SEEDS for success: Lifestyle management in migrain.
Cleve Clin J Med; 2019. 86(11):741–9. DOI: 10.3949/ccjm.86a.19009
Vuralli D, Ayata C, Bolay H. Cognitive dysfunction and migrain. J Headache
Pain; 2018. 19(1). DOI: 10.1186/s10194-018-0933-4.
WHO (2016). Headache Disorders: Fact Sheets. (https://who.int/news-
room/fact- sheets/detail/headache-disorders)
F. LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai