Anda di halaman 1dari 5

Saya bernama Marsya Christiyana Ulibasa Siahaan.

Saya merupakan anak pertama dari


tiga bersaudara. Saya mengimani kepercayaan dalam ajaran Kristiani. Selain itu, dilihat dari
nama belakang saya Siahaan yang merupakan marga saya menandakan bahwa saya jelas bersuku
Batak. Kedua orangtua saya adalah orang Batak. Namun terdapat sedikit perbedaan antara papa
dan mama saya. Papa saya bermarga Siahaan, salah satu marga pada suku Batak Toba dan beliau
yang mewariskan marga ini kepada anak-anaknya termasuk saya. Seperti sistem patriarki yang
kita ketahui, keluarga saya pun menganut hal yang sama, saya mengikuti nama dari pihak ayah.
Sedangkan, mama saya bermarga Purba, salah satu marga pada suku Batak Simalungun, tetapi
marga nya tersebut dianggap sudah tidak ada lagi dikarenakan telah menikah dengan papa saya
dan telah dijadikan ke dalam keluarga Siahaan atau dengan istilah lain disebut nyonya Siahaan.
Perbedaan antara Batak Toba dengan Batak Simalungun terletak pada bahasanya.

Sejak saya lahir hingga sekarang kedua orangtua saya selalu mengajarkan saya beberapa
budaya Batak beserta ritualnya serta nilai-nilai Kristiani kepada saya dan kedua adik saya. Saat
saya lahir hingga berusia 1 tahun, saya dibawa ke gereja untuk dibaptis. Dalam istilah Batak
disebut tardidi. Ritual ini dilakukan oleh seluruh keluarga Batak dan beragama Kristen dengan
maksud untuk menyerahkan seorang anak kepada Tuhan untuk meminta pengurapan agar
diberkati sepanjang hidupnya. Setelah dilakukan acara tardidi di gereja, keluarga saya juga
membuat acara adat di rumah, mengundang seluruh keluarga baik dari pihak papa maupun pihak
mama. Acara ini bermaksud untuk mengumumkan secara adat kepada seluruh keluarga bahwa
telah terlahir keluarga baru pada keturunan papa saya. Acara ini berlangsung cukup lama dan
tidak kalah rumit seperti acara pernikahan. Salah satu ritualnya adalah dengan menumpahi
beberapa butir beras ke atas kepala saya dan memberikan ulos secara bersamaan kepada papa
dan mama saya atau disebut mangulosi dari berbagai pihak.

Kedua orangtua saya memang mengajarkan saya budaya Batak karena menurut mereka
walaupun saya terlahir di Jakarta dengan zaman yang telah modern, saya tetap mengerti adat dan
mencintai adat saya. Dalam kehidupan sehari-hari tidak jarang orangtua saya menggunakan
bahasa Batak Toba dalam berkomunikasi. Semenjak mama saya menikah dengan papa saya, dia
sudah jarang sekali menggunakan bahasa Batak Simalungun. Bahkan sudah tidak fasih lagi
menggunakan bahasa tersebut. Namun penggunaan bahasa tersebut hanya dilakukan oleh mereka
berdua karena saya dan kedua adik saya kurang mengerti bahasa batak. Jadi, sehari-hari saya
menggunakan bahasa Indonesia seperti biasa. Kehidupan keluarga saya berjalan seperti keluarga
biasanya, perbedaanya mungkin disebabkan oleh kedua orangtua saya yang bekerja. Mama saya
bekerja dengan sistem shift di kantornya, terkadang kerja pagi, siang, bahkan pernah masuk
malam. Hal ini membuat kami sekeluarga sangat memanfaatkan waktu disaat semua anggota
keluarga kami bisa berkumpul bersama disaat makan siang atau gereja bersama pada hari
Minggu. Saya bergereja di HKBP, gereja yang lahir di daerah batak, liturgi yang digunakan
menggunakan bahasa batak. Walaupun saya tidak mengerti bahasa batak, tetapi papa saya
mengatakan agar saya terbiasa dan belajar bahasa batak. Saya sekeluarga senang bernyanyi,
dengan iringan gitar yang dimainkan oleh adik lelaki pertama saya pasti kami langsung
menyambutnya dengan bernyanyi dengan 3 suara. Papa mengambil suara tenor, saya atau mama
mengambil suara soprano/alto.

Papa saya sangat menghargai pendidikan dan merupakan orang yang terbuka dan
demokratis. Diwariskan oleh nenek dan kakek dari pihak papa saya semangat untuk memperoleh
pendidikan setinggi-tingginya, walaupun keadaan ekonomi yang seadanya. Hal tersebut juga
diterapkan oleh papa saya pada keluarga saya. Hingga saat ini papa saya sangat memprioritaskan
urusan sekolah menjadi nomor satu. Dalam hal apapun saya dan kedua adik saya harus sekolah
tidak boleh membolos. Kalau masalah bayar uang sekolah, jangan ditanya, ayah saya akan
menjadi nomor satu untuk urusan tersebut. Hal tersebut juga mungkin yang mendorong saya
untuk semangat bersekolah, walaupun bukan merupakan anak yang dapat dikatakan cerdas
sekali, tetapi semangat belajar, gigih itu saya dapatkan dan saya teladani dari papa saya.

Keseharian saya dengan adik lelaki pertama dan papa saya sangat unik. Kami bertiga
senang sekali mengobrol terkait masalah pelajaran di sekolah khususnya Sosiologi, Hukum dan
yang berhubungan dengan budaya, ayah saya senang sekali membahas hal ini. Sebagai wujud
dari penerapan demokratisasi dalam keluarga saya, papa saya akan berlaku sebagai pembicara
dan saya serta adik saya sebagai penyumbang ide dan pendapat. Perbincangan itu dapat
menghabiskan waktu hingga berjam-jam. Namun kami tidak pernah merasa bosan
mendengarkannya karena hal-hal tersebut merupakan pengetahuan baru khususnya untuk saya
dan adik saya.

Keluarga saya memang sangat senang berbicara, berdiskusi, berbincang-bincang.


Kebiasaan ini sering kami lakukan satu sama lain. Namun, terkadang dapat menjadikan sebuah
masalah besar bagi kami karena banyak pendapat yang ingin didengarkan dan terkadang menjadi
kekeh pada pandangan masing-masing, keras kepala dan susah untuk menemukan mufakat. Papa
saya yang biasanya menengahi masalah ini agar segera selesai dengan keputusan yang ia buat.

Selain itu, terkait dengan perbincangan yang senang kami lakukan tersebut, papa saya
juga sangat mengerti tentang kebudayaan Batak, kebudayaan yang memang kami sering bahas
lebih condong membicarakan tentang tradisi dan adat istiadat di tanah Batak. Papa saya pernah
mengatakan tentang tradisi yang berlaku di keluarga saya tentang kedekatan keluarga saya
dengan sepupu-sepupu saya. Menurut papa saya, dalam tradisi batak tidak ada sebenarnya istilah
sepupu. Kedekatan saya dengan paman saya beserta sepupu saya haruslah seperti keluarga inti
sendiri. Sepupu mengibaratkan sebuah pemisahan antara saya dengan sepupu saya yang lain.
Papa mengatakan kalau sepupu saya itu bukan keponakannya, sepupu saya itu anaknya, saya dan
kedua adik saya juga adalah anak dari paman saya. Papa saya sangat tidak menyukai istilah
sepupu dan keponakan. Karena menurutnya kami semua masih satu darah Siahaan dari satu
leluhur atau disebut Opung walaupun beda ibu. dan kami merupakan saudara, sepupu saya itu
masih kakak/abang saya bukan sepupu saya dan mereka bukan keponakan papa saya, tetapi anak
dari papa saya. Namun, kasus ini berbeda lagi dengan keluarga dari pihak perempuan dari
keturunan papa saya, atau tante saya, dalam istilah bataknya disebut Inang boru atau yang akrab
disapa Bou. Karena tante saya adalah seorang perempuan, pasti marga yang ia miliki tidak
dianggap lagi semenjak ia menikah dengan suaminya dan berganti jabatan menjadi nyonya dari
marga yang telah membelinya dalam pernikahan adat. Hal tersebut membuat anak dari tante saya
yang juga ialah sepupu saya memiliki marga yang berbeda dengan keluarga saya, karena marga
mereka yang mengikuti pihak ayah mereka. Oleh karena itu, kami tidak memiliki kedekatan
yang sama dibandingkan dengan sepupu saya dari pihak paman saya. Hal ini juga yang sangat
unik. Dalam tradisi batak, saya, anak perempuan Siahaan dengan sepupu lelaki, anak dari tante
saya yang disebut dengan pariban diperbolehkan untuk menikah. Begitu sebaliknya, berlaku
juga kepada adik lelaki saya dari pihak mama saya, tidak sama marganya dengan sepupu
perempuan dari pihak paman, saudara lelaki dari mama saya diperbolehkan untuk menikah.
Kalau dalam istilahnya disebut Cross Cousin yaitu anak perempuan dari pihak lelaki dapat
menikah dengan anak lelaki dari pihak perempuan.
Sistem patriarki yang keluarga saya anut menjadikan adik lelaki pertama saya sebagai
kebanggan tersendiri untuk papa saya karena posisinya sebagai anak lelaki pertama ialah pewaris
garis keturunan papa saya dengan menurunkan marga pada anak-anak dari adik lelaki saya kelak.
Papa saya sering menyebut adik lelaki saya sebagai kaki tangan nya yaitu orang kepercayaannya
yang sangat ia andalkan, sedangka menurutnya saya adalah asisten pribadi nya. Kepercayaan
yang papa saya berikan kepada saya dan adik saya mungkin berbeda dilihat dari kekuatan adik
lelaki saya yang lebih kuat daripada saya, tugas dan tanggung jawab adik saya lebih kepada
pekerjaan yang menggunakan tenaga yang kuat, sedangkan saya dibagian domestik rumah
tangga seperti membantu mama membersihkan rumah dan mengurus adik lelaki saya yang
terkecil yang masih berusia 6 tahun. Namun, dalam penyetaraan gender antara saya dengan adik
saya, papa dan mama saya sangat adil dan tidak pernah pilih kasih dan membedakan saya dengan
adik lelaki saya.

Jika membahas masalah kehidupan masa-masa remaja saya dengan adat istiadat yang
cukup kental pada keluarga saya, saya dibesarkan dengan cukup bebas dan terbuka dengan
perkembangan zaman, tetapi ayah saya masih konservatif pada pola pikir dan pemahamannya,
apalagi kalau mengenai cara berpakaian, saya selalu dilarang oleh ayah saya untuk berpakaian
yang “mini-mini”, tidak boleh pakai celana yang terlalu pendek dan menggunakan baju tanpa
lengan. Selain itu ayah saya juga tidak senang jika saya berpacaran karena menurutnya anak
zaman sekarang berpacaran kurang sopan, dan saya tidak diperbolehkan berpacaran karena
menurutnya, berpacaran itu nanti kalau sudah cukup usia untuk menikah.

Masih terkait dengan masa-masa remaja, dalam ajaran agama saya mengharuskan kepada
semua anak remaja berkisaran usia 15 sampai 20 tahun untuk melaksanakan katekisasi atau
dikenal dengan istilah Sidi. Salah satu ritual agama Kristen Protestan sebagai lambang
menandakan kedewasaan seseorang untuk mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri di
hadapan Tuhan, dianggap telah dewasa secara iman dan perilaku. Peneguhan sidi ini dilakukan
di gereja setelah melaksanakan bimbingan dan pembelajaran sidi selama satu tahun. Konten
pembelajaran, antara lain menghafalkan ayat-ayat pada Alkitab, mempelajari banyak tokoh dan
teladan dalam Alkitab serta pengetahuan tentang gereja. Setelah melangsungkan peneguhan sidi
di gereja, saya melanjutkan acara tersebut di rumah, hampir sama dengan baptis ketika masih
bayi dulu, acara ini mengundang seluruh keluarga untuk mengesahkan kedewasaan saya ini
secara adat disaksikan oleh seluruh keluarga. Acara ini memang tidak diharuskan kepada seluruh
keluarga Batak, hanya orang-orang tertentu saja yang masih menerapkannya dan papa saya yang
mengingini adanya acara ini.

Selain itu, berhubungan dengan Natal dan tahun baru yang sudah sebentar lagi, keluarga
saya memiliki kebiasaan yang selalu dilakukan. Setiap Natal kami sekeluarga berangkat bersama
ke gereja merayakannya dan biasanya kami berkunjung ke rumah saudara untuk merayakan
Natal bersama dan ketika penghujung tahun, kami memiliki tradisi untuk menutup tahun dengan
melakukan ibadah kecil keluarga dan merefleksikan satu tahun yang telah berlalu dan berdoa
untuk kehidupan yang lebih baik di tahun yang akan datang. Biasanya dalam acara ini, saya
sekeluarga juga memberikan pesan kepada seluruh anggota keluarga sebagai kritik dan masukan
agar menjadi lebih baik. Setelah acara ini, barulah kami merayakan tahun baru dengan sedikit
berpesta dan meniup terompet serta menyantap makanan yang telah disiapkan sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai