Anda di halaman 1dari 36

Kamis, 22 Juli 2010

Bahan Dan Teknik Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


1.Penjerap/Fase diarn Penjerap yang paling sering digunakan pada KLT adalah silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi-desorpsi (suatu meka-nisme perpindahan solut dari fase diam ke fase gerak atau sebaliknya) yang utama pada KLT adalah partisi dan adsorbsi. Lapisan tipis yang digunakan sebagai penjerap juga dapat dibuat dari silika yang telah dimodifikasi, resin penukar ion, gel eksklusi, dan siklodekstrin yang digunakan untuk pemisahan kiral. Beberapa penjerap KLT serupa dengan penjerap yang digunakan pada KCKT. Kebanyakan penjerap dikontrol keajegan ukuran partikel dan luas permukaannya. Beberapa prosedur kromatografi, terutama pemisahan yang menggunkan larutan pengem-bang anhidrat, mensyaratkan adanya kontrol kandungan air dalam silika. Kandungan air yang ideal adalah antara 11-12 % b/b. Lempeng silika gel dapat dimodifikasi untuk membentuk penjerap fase terbalik dengan cara membacemnya menggunakan parafin cair, minyak silikon, atau dengan lemak. Lempeng fase terbalik jenis ini digunakan untuk identifikasi hormon-hormon steroid. Tabel 3.1. meringkas berbagai macam agen pembacem silika141. 2. Fase Gerak pada KLT Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah dengan menggunakan campuran 2 pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak: Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknikyang sensitive Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Ry solut terletak antara 0,20,8 untuk memaksimalkan pemisahan. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga menentukan nilai R^. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dieti! eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzen akan meningkatkan harga Rf secara signifikan. Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai fase geraknya seperti campuran air dan metanol dengan perbandingan tertentu. Penambahan se-dikit asam etanoat atau amonia masing - masing akan mening-katkan elusi solut-solut yang bersifat basa dan asam151. 3. Aplikasi (Penotolan) sampel Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin. Sebagaimana dalam prosedur kromatografi yang lain,jika sampel yang digunakan terlalu banyakmakaakan menurunkan resolusi. Penotolan (aplikasi) sampel dapat dilakukan sebagai suatu bercak, pita, atau dalam bentukzig zag

(Gambar 3.1). Sering disarankan bahwa sampel yang yang akan ditotolkan berada dalam bentuk yang sesempit mungkin. Sampel dengan pita yang sempit akan menjamin resolusi yang paling tinggi bahkan ketika sampel mengandung sejumlah kom-ponen dengan perbedaan niiai-nilai Rfyang minimal. Penotolan secara zig zag akan menghasilkan suatu bentuk yang memungkinkan sejumlah sampel dalam jumlah besar ditotolkan tanpa dilakukan pencucian lapisan tipis. Metode ini penting untuk sampel-sampel dalam air Penotolan sampel secara otomatis Penotolan sampel dalam Jumlah banyak secara manual membutuhkan waktu yang lama dan juga menghasilkan reprodusibilitas yang kurang bagus. Reprodusibilitas dan kecepatan sering dicapai dengan menggunakan penotol otomatis. Diagram skematik penotol analitik dengan kontrol mekanik ditunjukkan dalam Gambar 3.2. Motor stepper akan mengontrol kecepatan gerakan sedotan syring; dengan demikian banyaknya sampel per bercak atau per pita dapat dikontrol. Lebih lanjut motor stepper akan menggerakkan lempeng lapis tipis pada arah sumbu x. Parameter-parameter ini diprogram dan dikontrol dengan mikroprosesor.

Gambar 3.2. Diagram syring analitik dengan kontrol mekanis. 1 = sampel; 2 = syring analitik; 3 = aksi kontrol mekanik; 4 == motor stepper; 5 = kontrol motor stepper; dan 6 = lempeng lapis tipis'"". Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih dipilih daripada penotolan secara manual terutama jika sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15 ul. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda. Untuk memperoleh reprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5 ul. Jika volume sampel yang akan ditotolkan lebih besar dari 2-10 ul maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antartotolan. 4. Pengembangan Ada beberapa teknik pengembangan pada KLTdan KLT-kinerja tingi atau High PerformanceThin Layer Chromatography (HPTLC) yang akan diuraikan di bawah ini. a.Konvensional Pengembangan pelarut biasanya dilakukan dengan cara menaik (ascending], yang mana ujung bawah lempeng diceiup-kan ke dalam pelarut pengembang. Untuk menghasilkan reprodusibilitas

kromatografi yang baik, wadah fase gerak (chamber] harus dijenuhkan dengan uap fase gerak. Jarak pengembangan fase gerak biasanya kurang lebih 10-15 cm; akan tetapi beberapa ahli kromatografi memilih me ngembangkan lempeng pada jarak 15 - 20 cm. Untuk lempeng KLTkinerja tinggi (HPTLC), yang mempunyai ukuran partikel !e-bih kecil, maka pengembangan lempeng dilakukan pada jarak antara 3-6 cm. b.Pengembangan 2 dimensi KLT 2 arah atau 2 dimensi ini bertujuan untuk meningkat-kan resolusi sampel ketika komponenkomponen solut mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama, karenanya nilai Rjuga hampir sama, sebagaimana dalam sampel asam-asam amino. Selain itu, 2 sistem fase gerak yang sangat berbeda da-pat digunakan secara berurutan pada suatu campuran tertentu sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang hampir sama. KLT dua dimensi dilakukan dengan melakukan penoto-lan sampel di salah satu sudut lapisan lempeng tipis dan me-ngembangkannya sebagaimana biasa dengan eluen pertama. Lempeng kromatografi selanjutnya dipindahkan dari chamber pengembang dan eluen dibiarkan menguap dari lempeng. Selanjutnya, lempeng dimasukkan dalam chamberyang meng-gunakan eluen kedua sehingga pengembangan dapat terjadi pada arah kedua yang tegak lurus dengan arah pengembangan yang pertama. Suksesnya pemisahan tergantung pada kemam-puan untuk memodifikasi selektifitas eluen kedua dibanding-kan dengan selekifitas eluen pertama'9'. c.Pengembangan Kontinyu Pengembangan kontinyu (pengembangan terus menerus) dilakukan dengan cara mengalirkan fase gerak secara terus-menerus pada lempeng KLT melalui suatu wadah (biasanya alas tangki) melalui suatu lapisan, dan dibuang dengan cara tertentu pada ujung lapisan. d.Pengembangan gradient Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan kom-posisi fase gerak yang berbeda-beda. Lempeng yang berisi analit dapat dimasukkan ke dalam bejana kromatografi yang berisi fase gerak tertentu lalu komponen fase gerak selanjutnya ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam bejana dan diaduk sampai homogen. Tujuan utama sistem ini adalah untuk mengubah polaritas fase gerak. Meskipun demikian untuk memperoleh komposisi fase gerak yang reprodusibel sangatlah sulit sehingga teknik kromatografi ini kurang begitu populer141. 5. Deteksi Bercak pemisahan pada KLT umumnya merupakan bercak yang ti-dak berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisi-ka, maupun biologi. Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan pencacahan radioaktif dan dengan fluoresensi dibawah sinar ultraviolet. Fluoresensi dengan sinar ultraviolet, terutama untuk senyawa yang dapat berfluoresensi, akan membuat bercak terlihat lebih jelas. Jika senyawa tidak dapat berfluoresensi, maka bahan penyerapnya akan diberi indikator yang berfluoresensi, dengan demikian bercak akan kelihatan hitam karena menyerap sinar ultraviolet sedang latar belakangnya akan kelihatan berfluoresensi. Berikut adalah cara-cara kimiawi untuk mendeteksi bercak: Menyemprot lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan bereaksi secara kimia dengan seluruh solut yang me-ngandung gugus fungsional tertentu sehinga bercak menjadi berwarna. Kadang-kadang lempeng dipanaskan terlebih dahu-lu untuk mempercepat reaksi pembentukan warna dan intensi-tas warna bercak.

Mengamati lempeng di bawah lampu ultra violet yang dipasang pada panjang gelombang emisi 254 atau 366 nm untuk menampakkan solut sebagai bercak yang gelap atau bercak yang berfluoresensi terang pada dasar yang berfluoresensi se-ragam. Lempeng yang diperdagangkan dapatdibeli dalam ben-tuk lempeng yang sudah diberi dengan senyawa fluoresen yang tidak larut yang dimasukkan ke dalam fase diam untuk mem-berikan dasar fluoresensi atau dapat pula dengan menyemprot lempeng dengan reagen fluoresensi setelah dilakukan pengem-bangan. Menyemprot lempeng dengan asam sulfat pekat atau asam nitrat pekat lalu dipanaskan untuk mengoksidasi solut-solut organik yang akan nampak sebagai bercak hitam sampai keco-klatan. Memaparkan lempeng dengan uap iodium dalam chamber tertutup Melakukan scanning pada permukaan lempeng dengan densi-tometer, suatu instrumen yang dapat mengukur intensitas f3i-diasi yang direfleksikan dari permukaan lempeng ketika disinari dengan lampu UV atau lampu sinar tampak. Solut-solut yang mampu menyerap sinar akan dicatat sebagai puncak {peak) dalam pencatat (recorder). Sumber : Rohman, Abdul. 2009. Kromatigrafi Untuk Analisis Obat. Yogyakarta: Graha Ilmu.
http://www.dokterkimia.com/2010/07/bahan-dan-teknik-kromatografi-lapis.html

Kromatografi Lapis Tipis (Thin Layer Chromatography)


Posted by: rgmaisyah on: Oktober 10, 2009

In: Chemistry | PhytOcHemistrY Comment!

Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Berbeda debgan kromatografi kolom yang mana fase diamnya diisikan atau dikemas di dalamnya, pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium atau pelat plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini dapat dikatakan sebagai bentuk terbuka dari kromatografi kolom. (1) Kromatografi digunakan sebagai untuk memisahkan substansi campuran menjadi komponenkomponennya, misalnya senyawa Flavonoida dan isoflavonoida yang terdapat pada tahu, tempe, bubuk kedelai dan tauco serta Scoparia dulcis, Lindernia anagalis, dan Torenia violacea. Yang pada senyawa isoflavon memiliki banyak manfaat. Beberapa kelebihan senyawa isoflavon yang potensial bagi kesehatan manusia, di antaranya adalah sebagai antioksidan, antitumor / antikanker, antikolesterol, antivirus, antialergi, dan dapat mencegah osteoporosis. (2)

Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending). (1) Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan hampir semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat. (1) Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini : (1)

Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis. Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluorosensi atau dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet. Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun (descending), atau dengan cara elusi 2 dimensi. Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak.

Referensi :
1. Ibnu Gholib Gandjar. Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2. Kromatografi Lapis Tipis. 2009. http://greenhati.blogspot.com/2009/01/kromatografi-lapis-tipis.html . diakses 1 Oktober 2009. 3. Roy J. Gritter, James M. Bobbit, Arthur E. S., 1991. Pengantar Kromatografi. Penerbit ITB. Bandung. 4. Kromatografi Lapis Tipis. 2009. http://www.chem-istry.org/materi_kimia/instrumen_analisis/kromatografi1/kromatografi_lapis_tipi s/ . Diakses 3 Oktober 2009. http://rgmaisyah.wordpress.com/2009/10/10/kromatografi-lapis-tipis-thin-layerchromatography/

Website: http://www.majalah-farmacia.com

STRES OKSIDATIF SEBAGAI FAKTOR RISIKO PENYAKIT KARDIOVASKULAR


KOLOM - Vol.6 No.1, Agustus 2006 Enday Sukandar

Sub Unit Ginjal dan Hipertensi, Bagian llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD / RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung Pendahuluan Dialisis (hemodialisis dan CAPD) merupakan salah satu alternatif terapi pengganti ginjal (TPG) sebelum transplantasi ginjal untuk pasien penyakit ginjal kronis (PGK) tahap akhir. Masalah yang dihadapi masa kini dan mendatang hampir di setiap negara maju dan berkembang, apalagi di Indonesia adalah kesulitan untuk mendapat ginjal dari donor hidup keluarga atau kadaver. Tidak mengherankan populasi pasien sangat meningkat. Pasien dialisis regular tidak terlepas dari berbagai komplikasi medis yang terkait dengan anemia, malnutrisi, inflamasi, gangguan metabolisme kalsium fosfor, hipertensi, dislipidemia dan penyakit kardiovaskular. Beberapa masalah medis dapat dikendalikan dengan terapi ajuvan dan modifikasi dialisis (high-flux); sehingga biaya dialisis lebIh mahal. Studi epidemiologi mengungkapkan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular (PKV) pada pasien dialisis lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum, American Heart Association 2003 mengeluarkan pernyatan ilmiah (scientific statement) untuk meninjau keterlibatan penyakit ginjal kronis sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskular terkait dengan faktor risiko tradisional atau klasik (dikenal sebagai Framingham Risk Factors) dan nontradisional. Stres oksidatif merupakan salah satu faktor risiko nontradisional, diduga mempunyai peranan utama dari perkembangan aterosklerosis pada penyakit ginjal kronis. Penulis melakukan studi pustaka peranan stres oksidatif sebagai faktor risiko proses penyakit kardiovaskular khusus aterosklerosis pada penyakit ginjal kronis tahap 1 sampai 4 bertumpu kepada 4 definisi faktor resiko nontradisional sesuai dengan pernyataan ilmiah (scientic statement) dari American Heart Association tahun 2003. Pernyataan ilmiah mengenai 4 definisi faktor risiko penyakit kardiovaskular nontradisional pada penyakit ginjal kronis (PGK)s; meliputi (I) A biologically plausible role for the factor inpromoting CVD risk, (2) A dose-response relationship between level of the risk and severity of kidney disease, (3) An Association between the factor with CVD in patient with CKD, and (4) evidence from clinical trials that treatment of the risk decreases CVD risk. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas, penulis menyajikan studi pustaka dengan beberapa materi sebagai berikut: (1) sekilas tentang fisiologi reactive oxygen species, (ROS), (2) dasar bukti studi epidemiologi penyakit kardiovaskular pasien dialisis, (3) dasar bukti observasional penyakit kardiovaskular pasien pre dialisis, (4) dasar bukti in vivo biomarker stres oksidatif pada penyakit ginjal kronis, (5) peranan stres oksidatif pada patofisiologi aterosklerosis pada penyakit ginjal kronis, (6) studi uji antioksidan bertumpu kepada ilmu dasar, scietific research, dan (7) studi uji klinis antioksidanpada penyakit ginjal kronis. Fisiologi reactive oxygen species (ROS)

Stres oksidatif dapat dipandang sebagai gangguan keseimbangan antara produksi oksidan dan antioksidan defense atau destruksi reactive oxygen species (ROS); seperti anion superoksida (.O2-), radikal hidroksil (.OH), hidrogen peroksida (H2O2), radikal nitrit oksida (.NO) dan periksonitrit (ONOO-). Ketidakseimbangan preoksidan ini dapat menyebabkan oksidasi makromolekul; meliputi lipid, karbohidrat, asam amino, protein dan DNA, diikuti dengan kerusakan selular dan jaringan. Reaktivitas oksigen mempunyai peranan penting karena yang melandasi kekuatan destraksi adalah radikal bebas tersebut. Seperti diketahui, oksigen terpapar luas di lingkungan sehingga tubuh manusia akan mengonsumsi sekitar 250 gram oksigen setiap hari. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 3 - 5% dikonversi menjadi anion perioksida (.O2-) dan spesies reaktif lainnya. Oksidasi lipoprotein (oksidasi kolesterol LDL) merupakan suatu proses biologi yang diduga terlibat dalam mekanisme proses inisiasi dan akselerasi lesi arteri. Makrofag (neutrofil dan monosit aktif merupakan mediator selular utama yang bertanggung jawab terhadap proses oksidasi lipoprotein in vivo. Oksidasi lipoprotein oleh neutrofil dan monosit makrofag karena pengarah sel-sel tersebut, baik in vivo maupun in vitro dan menghasilkan sejumlah besar ROS; seperti anion superoksida (.O2-) yang dihasilkan melalui aktivitas flavoenzim Nicotinide Adenine Dinucleotide Phosphatase (NADPH) oxidase, radikal hidroksil (.NO) yang pembentukannya dikatalisis oleh inducible Nitric Oxide (iNOS) dan mengepresikan berbagai mediator biokimia yang terlibat dalam oksidasi lipoprotein seperti, myeloperoxidase (MPO) dan 15-lipoksgenase (LO). Disamping sel-sel leukosit (fagosit), ROS dalam pembuluh darah yang mengalami lesi juga dapat berasal dari berbagai macam sumber. Gambar 1, memperlihatkan beberapa macam mekanisme kunci pembentukan, interaksi dan degradasi ROS intravaskular. Gambar 1. Sumber potensial ROS di jaringan vaskular Beberapa ROS yang mempunyai peranan penting untuk disfungsi endotel; antara lain anion superoksida (.O2-), hidrogen peroksida (H2O2) dan peroksinitrit (ONOO-). Berbagai enzim juga terlibat untuk pembentukan anion superoksida (.O2-) di sitosol endotel terutama NADPH oksidase yang merupakan protein transmembran, dan berbagai enzim sitosolik lainnya seperti siklooksigenase (COX), nitrit oksida sintase (NOS), lipoksigenase (LO), dan sitokrom P-450. Reaksi transpor elektron di mitokondria dapat menjadi sumber pembentukan .O2-. Melalui aktivitas Mangan-superoksida-dismustase (MmSOD) pada mitokondria dan atau Cu / ZnSOD pada sitosol), superoksida (.O2-) mengalami konversi menjadi H2O2. Hidrogen peroksida (H2O2) oleh glutation peroksidase dan thioredoksin peroksidase pada sitosol dan oleh katalase diperoksisom direduksi menjadi air. Makrofag dapat memproduksi juga anion superoksida .O2melalui aktivitas NADPH oksidase, kemudian mengalarni dismutasi oleh SOD ekstraselular (Ec SOD) menjadi H2O2. Enzim myeloperoksidase yang terdapat pada makrofag terlibat juga pembentukan radikal hipoklorida (HOCL) yang lebih reaktif dari H2O2. Pembentakan ROS dalam pembuluh darah sebagian besar dimulai dengan reduksi satu elektron pada molekul oksigen untuk membentuk anion superoksida .O2- yang pembentukannya semakin meningkat pada proses aterosklerosis. Beberapa sumber penghasil anion superoksida .O2- dalam pembulah vaskular antara lain sel-sel fagosit (monosit dan makrofag) berinfiltrasi ke dalam

subendotel, sel endotel vaskular, sel-sel otot polos vaskular (vascular smooth muscle cells, VSMC) dan fibrobias. Studi terkini dengan kultur sel vaskular menunjukan NADPH oksidase yang mempunyai sifat nonfagositik merupakan sumber utama ROS. Pada situasi khusus ROS dalam vaskular dapat juga dihasilkan oleh aktivitas xanthin oksidase (XO), NOS, sitokrom P-450 dan reaksi transpor elektron pada mitokondria. Oksidasi kolesterol LDL oleh sel-sel endotel secara in vitro dapat diatasi melalui over ekspresi SOD pada sel-sel tersebut. Data ini menunjukan anion peroksida .O2- (dan/atau produk hasil reaksi dengan radikal tersebut) mempunyai peranan dalam oksidasi LDL. Anion superoksida .O2- yang keluar dari atau diproduksi di luar sel-sel endotel vaskular mengalami konversi dengan bantuan SOD ekstraselular (Ec SOD) menjadi hidrogen peroksida SE (H2O2). Sedangkan anion superoksida .O2- yang diproduksi di dalam sel endotel akan konversi dengan bantuan Cu/Zn SOD dan Mn SOD menjadi hidrogen peroksida H2O2 yang dapat langsung bergerak menembus membran sel. Hidrogen peroksida H2O2 yang berada di ruang ekstraselular kemudian akan dikonversi menjadi spesies oksigen yang sangat reaktif yaitu asam hipoklorida (HOCL), oleh enzim aktivitas myeloperoksidase dalam sel-sel fagosit pada lesi aterosklerosis pada manusia. Secara in vivo asam hipoklorida HOCL terbukti merupakan oksidator penting terhadap residu asam amino yang terdapat pada molekul kolesterol LDL. Secara in vitro, asam hipoklorida HOCL dapat cepat melakukan klorinasi gugus apolipoprotein pada molekul kolesterol LDL untuk menghasilkan produk-produk sekunder antara lain senyawa kloramin yang dapat menginduksi peroksida lipid. Modifikasi kolesterol LDL dengan pengarah HOCL dapat menyebabkan agregasi kolesterol LDL dan menghasilkan partikel kolesterol LDL yang cepat dikenali dan ditangkap makrofag. Disamping itu, myeloperoksidase mengubah Ltirosin menjadi radikal tyrosin yang dapat menginduksi peroksidase lipid pada partikel LDL. Penelitian in vivo peroksinitrit (ONOO-) yang merupakan hasil reaksi superoksida .O2- dan radikal nitrit oksida .NO juga terlibat pada oksidasi kolesterol LDL. Yang menarik studi in vitro, oksidasi protein yang diinduksi oleh ONOO- tidak tergantung dari keberadaan - tocoferol pada partikel LDL. Pada rasio ONOO-/LDL < 100: 1, peroksidasi lipid oleh oksidan tersebut dapat meningkat sesuai dengan peningkatan kandungan -tocoferol yang terikat pada LDL. Informasi ini sangat penting untuk menjelaskan vitamin E tidak efektif untak melindungi LDL terhadap proses oksidasi oleh peroksinitrat ONOO-. Peranan radikal nitrit oksida .NO pada oksidasi LDL sampai saat ini masih belum jelas dan penelitian rnasih berlanjut. Dasar bukti studi epitemiologi penyakit kardiovaskuler pasien dialisis Selama Periode 20 tahun terakhir perkembangan teknik dialisis maju pesat seiring dengan kemajuan teknologi kedokteran sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi morbiditas dan mortalitas. Tetapi komplikasi penyakit kardiovaskular (PKV) masih merupakan penyebab utama mortalitas, diduga sekitar 40-50% dari semua penyebab mortalitas. Penelitian epidemiologi mengungkapkan insiden pasien dialisis mempunyai prevalensi tinggi

penyakit kardiovaskular: meliputi hipertrofi ventrikel kiri, kardiomiopati, gagal jantung kongestif, dan penyakit jantung iskemik. Penulis melaporkan penyakit kardiovaskular dengan presentasi klinis hipertensi 70%, hipertrofi ventrikel kiri konsentrik 49% dan penyakit jantung iskemik 6% dari 356 pasien baru dengan penyakit ginjal kronis tahap akhir (tahap 5) untuk inisiasi dialisis. Pasien penyakit ginjal kronis (PGK) tahap 3 sampai 5 sesuai dengan rekomendasi National Kidney Foundation Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease, mempunyai resiko tinggi komplikasi aterosklerosis terkait dengan morbiditas dan mortalitas. Tidak mengherankan banyak dilaporkan PGK tahap 3 sampai 5 meninggal terkait komplikasi penyakit kardiovaskular sebelum pasien memasuki PGK tahap akhir yang memerlukan tindakan dialisis. Penelitian terkini, melibatkan kelompok pasien dengan riwayat infark miokard akut, sindrom koroner akut, dan prosedur revaskularisasi mengungkapkan keberadaan penyakit ginjal kronis tahap awal sebagai prediktor independen untuk akibat lanjut bencana penyakit kardiovaskular dan mortalitas. Laporan studi epidemiologi mengungkapkan mortalitas penyakit kardiovaskular (PKV) disesuaikan dengan faktor umur, gender dan ras. Data ini merupakan cermin bahwa telah terjadi peningkatan insiden dan prevalensi kasus bencana PKV fatal di antara populasi pasien dialisis regular. Semua bencana PKV terkait dengan hipertrofi ventrikel kiri yang merupakan perubahan kardiak paling sering ditemukan pada penyakit ginjal (PGK) dan sesuai dengan derajat penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Perubahan-perubahan kardiak terkait dengan pressure overload dan volume overload. Pressure overload dicetuskan hipertensi yang menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri konsentrik. Volume overload dicetuskan hipervolemia kronis, anemia atau sirkulasi hiperdinamik yang terkait dengan peningkatan cardiac output, berakhir dengan hipertrofi ventrikel kiri eksentrik. Hipertrofi ventrikel kiri sebagai mekanisme adaptif untuk mengakomodasi pressure overload atau volume overload tetapi dapat berakhir dengan diastolic dysfunction yang merupakan fenomena adaptif. Banyak faktor resiko PKV nontradisional yang muncul sesuai dengan penurunan LFG, antara lain anemia, hiperparatiroidisme sekunder, hiperaktivitas syaraf simpatetik. Homosistein, dan CRP. Hiperparatiroidisme sekunder sering menyebabkan kalsifikasi vaskular. Klasifikasi mengenai tunika intima hampir 80-90% menyebabkan atherosclerosis plaque, diikuti presentasi klinis oklusi dan nekrosis. Kalsifikasi vaskular mengenai tunika media (Monkeberg sclerosis) dapat menyebabkan arterosklerosis dengan presentasi peningkatan aortic pulse-wave velocity, rigiditas vaskular, penurunan arterial compliance dan hipertensi sistolik. Semua perubahan patofisiologi arteriosklerosis merupakan pressure overload yang menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri konsentrik. Presentasi klinis penyakit kardiovaskular pada PGK terutama arteriosklerosis dan kardiomiopati. Peranan stres oksidatif pada proses aterosklerosis cukup menonjol pada pasien dialisis. Seperti terungkap pada gambar 2, aktivitas stres oksidatif dipengaruhi anemia, gangguan metabolisme kalsium-fosfor, angiotensin 11, peningkatan aktivitas syaraf simpatetif, hiperhomosistein, C-reactive protein dan nitric oxide NO (ADMA).

Gambar 2. Risk factors specific to renal disease and emerging risk factors Dasar bukti studi observasional penyakit kardiovaskular pasien penyakit ginjal kronis pre dialisis Hubungan antara penyakit ginjel kronis (PGK), penyakit kardiovaskular (PKV) dan faktor resiko penyakit kardiovaskur, seperti terungkap pada gambar 3. Gambar 3. PGK merupakan faktor resiko untuk PKV dan PKV mungkin sebagai faktor resiko untuk kerusakan progresif PGK. Faktor resiko PKV tradisional dapat menyebabkan perkembangan dan progresivitas baik PGK maupun PGK. Penurunan LFG terkait dengan peningkatan faktor resiko PKV tradisional dan nontradisional. Faktor resiko PKV nontradisional masih belum jelas sebagai faktor resiko penting untuk progresivitas PGK. Tabel 1. Faktor resiko kardiovaskular tradisional dan nontradisional pada penyakit ginjal kronis. Faktor risiko tradisional Faktor resiko nontradisional Usia Albuminuria / proteinuria Gender laki Hornosistein Hipertensi Lipoprotein (a) dan apolipoprotein (a) isoforms Peningkatan kolesterol LDL Lipoprotein remnants Penurunan kolesterol HDL Anemia Diabetes Gangguan metabolisme kalslum-fosfor Rokok Peningkatan volume eairan ekstraselular Inaktivitas fisik Stres oksidatif Menopause Inflamasi (RP) Riwayat keluarga Pl<V Malnutasi Hipertrofi ventrikel kiri Faktor trombogenik Gangguan tidur Gangguan keseimbangan oksida/endotelin Beberapa pertimbangan peningkatan resiko PKV pada pasien PGK: (1 ) PGK terkait dengan peningkatan prevalensi faktor resiko PKV (2) PGK merupakan faktor resiko independent untak PKV (3) Faktor resiko PKV dapat menyebabkan perkembangan dan progresivitas PGK (4) PKV merupakan faktor resiko untuk PGK 1. Penurunan LFG sebagai faktor resiko independen penyakit kardiovaskular Studi observasional terkini mengungkapkan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) diduga merupakan faktor resiko independent mortalitas penyakit kardiovaskular (PKV). Analisa data dari beberapa studi yang bertumpu kepada population-based epidemiologic studies; antara lain Atherosderosis Risk in Community (ARIC), Cardiovascular Health Study dan Hoorm Study mengungkapkan asosiasi antara penurunan fungsi ginjal dengan resiko untuk semua penyebab dan mortalitas penyakit kardiovaskular. Studi menekankan pentingnya terapi agresif faktor

resiko tradisional penyakit kardiovaskular (PKV). Pada NHANES II Mortality Study pasien dengan LFG < 70 ml /menit, memperlihatkan hampir 68% lebih besar resiko mortalitas penyakit kardiovaskular (PKV) dibandingkan dengan pasien LFG normal. Data lebih dari 15.000 pasien dewasa, umur 45-65 tahun dan follow-up selama 5 tahun dari materi studi ARIC memperlihatkan penurunan LFG merupakan faktor resiko independent untuk de-novo dan penyakit kardiovaskular rekuren. Penurunan fungsi ginjal dari kelompok usia lanjut terkait perubahan fisiologi merupakan faktor resiko independent untuk penyakit kardiovaskular (PKV) dan klaudikasi setelah disesuaikan dengan faktor resiko tradisional. Peneliti melakukan analisa data dari Cardiovascular Health Study (CHS), melibatkan 5808 pasien laki dan wanita, usia 65 tahun. Hasil analisa mengungkapkan kenaikan serum kreatinin (paling sedikit 1.5 mg/dL (laki) dan 1.3 mg/dL (wanita)) dengan 11% partisipan menunjukan 2 kali lebih tinggi resiko mortalitas PKV. Weiner dkk melakukan analisa dari studi yang bertumpu kepada population-based epidemiologic studies seperff ARIC, CHS, FSH, Foff Sp; mengungkapkan LFG antara 15-60 mUmin/1.73 m2 merupakan prediktor independent untuk bencana PKV fatal dan nofatal (hazard raffo 1.19, 95% confidence interval antara 1.07-1.32). 2. Mikroalbuminuria sebagai faktor resiko penyakit kardiovaskuler Studi potong-lintang mengungkapkan mikroalbuminuria/albuminuria terkait dengan faktor resiko penyakit kardiovaskular (PKV) dari subyek klinis normal dan pasien dengan/tanpa diabetes. Beberapa studi prospektif antara lain Prevention of Renal and Vacular End-Stage Disease (PREVEND) study, Hearth Outcomes Prevention Evaluation (HOPE) dan study Losartan Intervenioon For Endpoint Reduction, mengungkapkan mikroalbuminuria prediktor untuk clinical CVD outcomes. Data ini telah mendukung pendapat pada PGK tahap awal ditemukan keberadaan peningkatan resiko penyakit kardiovaskular. 3. Studi observasional klinis Studi terkini melaporkan pasien dengan riwayat infark miokard akut, sindrom koroner akut, dan pasien dengan prosedur revaskularisasi mengungkapkan keberadaan pasien PGK tahap 1 - 2 atau disfungsi ginjal sebagai independent predictor untuk kejadian dan mortalitas PKV. Studi ini juga mengungkapkan, penyakit ginjal kronis tahap awal (disfungsi ginjal) sebagai faktor resiko untuk recurrent cardiovascular disease and mortality. Dasar bukti in vivo biomarker stres oksidatif pada penyakit ginjal kronis Stres oksidatif merupakan mediator penting manifestasi berbagai komplikasi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (PGK); antara lain kardiovaskular, neurologi dan komplikasi lainnya. Di lapangan terungkap, stres oksidatif terlibat pada patogenesis hipertensi, gangguan fungsi endotelial, kelainan neurologi, pemendekan masa hidup eritrosit, proses aterosklerosis, dan inflamasi pada penyakit ginjal kronis (PGK). Peranan stres oksidatif sudah terlibat pada patofisiologi presentasi klinis penyakit ginjal kronis (PGK) tahap 1 sampai 4, dan lebih menonjol pada PGK tahap 5 dan pasien dialisis. Keberadan peranan stres oksidatif terungkap dengan

peningkatan konsentrasi reaktan darah sebagai biomarker yang terkait hasil produk interaksi ROS dengan makromolekul; antara lain lipid, asam amino, protein, karbohidrat dan asam nukleat. Pada tabel 2, diperlihatkan berbagai produk oksidasi dengan biomolekul pada PGK8. Tabel 2. Byproducts of interactions of oxidants with various biomolecules found to be elevated in the blood of patients with chronic renal failure. Biomolecular targets Lipids F2 - isoprostanes: Isolevulglandins 4 - hydroxy - 2 - nonenat Oxidized LDL Oxidation productions Maiondialdenyde

Protein/asam amino acids Oxidized thiols, carbonaylated proteins Advanced oxidative protein products Advanced glycated end-product, carboxymethyl lysine 1 - isoaspartyl residues, dityrosine, nitrotyrosine, 3- chlorotyrosine Carbohydrates Nucleic acids 8- hydroxyfuanosine Reactive carbonyl compounds, glycoaxidation Products 8- hydroxyguanine

Penelitian terkini hanya produk peroksidasi lipid (lipid peroxidation products), reactive aldehydes, dan oxidized thiols, merupakan uremic oxidative stress memegang peranan penting pada proses aterosklerosis. Stres oksidatif pada pasien PGK sering dihubungkan dengan efek toksin uremia terutama toksin berat molekul sedang (middle molecules), angiotensin 11, sitokin proinflamasi, interaksi antara darah dengan dializer, reaksi terhadap kateter dan ateriovenous grafts, beban zat besi, infeksi kronis dan gangguan dasar imunologi dan metabolisme; seperti diabetes. Diduga masih banyak faktor lain terutama yang termasuk toksin uremia yang masih belum dapat ditentukan, sebab observasi klinis klinis mengungkapkan tindakan dialisis dapat menurunkan konsentrasi oxidized thiols serum. Peranan stres oksidatif pada patofisiologi penyakit kardiovaskular Pada pasien dengan PGK tahap 1 sampai 4 disertai faktor resiko kardiovaskular tradisional (seperti hiperkolesterolemia, diabetes melitus, rokok) sering terkait dengan peningkatan stres oksidatif, penurunan NO vaskular, dan peningkatan acute-phase inflammation. Pada gambar 4, diungkapkan pengarah hiperglikemia dan uremia pada pembentukan stres oksidatif dan terkait dengan dislipidemia, inflamasi dan atherosklerosis.

Gambar 4. The influence of hyperglycaemia and uraemia on generation of oxidative stress, and the connection between dyslipidaemia, inflammation and atherosklerosis. Steinberg dkk pertamakali mengajukan hipotesis bahwa aterogensitas LDL dapat ditingkatkan dengan bantuan oxidative modification. Sebaliknya pada keadaan native LDL, modifikasi oksidatif LDL dapat ditangkap oleh reseptor (scavenger receptors) dan ditindaklanjuti dengan konversi monosit ke dalam sel lemak (form cells) yang merupakan langkah awal proses aterosklerosis pada sub-endotel. Pembentukan reactive oxygen species (ROS) pada dinding vaskular merangsang proliferasi selsel otot polos vascular (vascular smooth muscle cell-VSMC) dan membantu peningkatan produksi sitokin proinflamasi. Pada situasi dimana terdapat peningkatan stres oksidatif, pembentakan anion superoksida (.O2-) dengan bantuan NADPH oxidase dapat bereaksi cepat dengan nitric oxide (NO) diikuti inaktivitas fungsi NO. Kehilangan peran fungsi NO menyebabkan disfungsi sel-sel endotel dan VSMC yang berakhir dengan peningkatan proses aterogenositas. Data patofisiologi ini menunjang hubungan erat antara presentasi klinis dengan peningkatan stres oksidatif, hilangnya fungsi NO (vasodilator) dan berakhir dengan bencana kardiovaskular. Data terkini mengungkapkan bahwa reactive species oxygen (ROS) dapat membantu pembentukan sitokinproinflamasi; seperti IL-6 dan acute phase protein seperti CRP dengan bantuan aktivasi transkripsi faktor Nuclear Factor kappa B (NFk-B). Peningkatan konsentrasi plasma IL-6 dan CRP merupakan bukti kuat sebagai prediktor independent bencana PKV dan mortalitas. Pada gambar berikut, diperlihatkan uremia, melalui (via) retensi oxidized solue dapat langsung kontribusi sebagai faktor resiko nontradisional Gambar. 5. Model of oxidative stress and cardiovascular complications in uremia Pada saat ini dan mendatang banyak dilakukan studi untak membuktikan hipotesa: phagocytic NADPH oxidase overactivity may be present in patients with early CKD. Beberapa studi mengungkapkan anion superoksida (.O2-) mempunyai peranan penting pada patofisiologi aterosklerosis. Pembentukan anion superoksida (.O2-) berperan untuk oxidative modification of LDL yang merupakan kunci pembentukan lesi aterosklerosis. Sistem nicotinamide adenine dinucleotide phospate (NADPH) oxidase dipertimbangkan merupakan sumber utama pembentukan anion superoksida (.O2-) pada sel-sel vaskular yang didukung studi eksperimen dan klinis aterosklerosis. Peneliti lain melaporkan bahwa NADPH oxidase merupakan sumber utama untuk pembentukan anion superoksida (.O2-) pada sel-sel fagosit (seperti limfosit, monosit dan neutrofil). Yang menarik dari studi ini, peningkatan aktivitas NADPH oxidase mempunyai hubungan dengan Carotid atherosclerosis pada pasien tanpa keluhan. Studi terkini dari Fortuno A dkk, pertama kali melaporkan pembentukan anion superoksida (.O2-) dengan peningkatan PMA-stimulated mononuclear cells dari kelompok pasien dengan disfungsi ginjal atau PGK tahap 1 dan 2. Dua aspek klinis penting dari studi ini; yaitu (1) peningkatan aktivitas NADPH oxidase terkait dengan hiperinsulinisme, (2) ditemukan carotid intimal-medial thickness (IMT) pada PGK tahap 1 dan 2.

Menurut pengamatan penulis, stres oksidatif terutama anion superoksida (.O2-) merupakan titik sentral dari patofisiologi penyakit kardiovaskular (PKV) pada PGK tahap 1 sampai 4, dan meningkat pada PGK tahap akhir terutama pasien dialisis. Gambar 6. Patogenesis interaksi faktor risiko dan akselerasi aterosklerosis ROS: Reactive Oxygen Species; AOPP: Advanced Oxidation of Plasma Protein AGEs: Advanced Glycation End-Products; ADMA: Asymetric Dimethylarginine Kidney Int 2003;63 (Suppl 84): 204-206 Dasar bukti studi uji antioksidan bertumpu kepada ilmu dasar (basic science) Studi in vitro maupun studi pada berbagai hewan percobaan (seperti tikus, kelinci dan primata) mengungkapkan bukti kuat bahwa proses oksidatif (peroksida lipid) mempunyai sifat proaterogenik dan protrombosis sehingga proses tersebut mempunyai peran penting pada perkembangan aterosklerosis. Data studi ini menyebabkan muncul hipotesa: antioksidan dapat bermanfaat untuk mencegah dan menghambat proses aterogenesis. Secara teoritis uji antioksidan harus bertumbu kepada kepada efek farmakologi; di antaranya (1) menyerupai aktivitas antioksidan endogen; seperti superoksida dismutase dan katalase rekombinan, (2) menangkap ion logam yang diperlukan untuk tujuan katalisis reaksi oksidasi oleh radikal bebas, seperti deferoksamin, (3) menangkap (scavenging) radikal (chainbreaking); Seperti vitamin E, vitamin C, -karoten, ubikuinol-10, flavonoid, estrogen dan probukol; (4) penghambatan atau inhibisi aktivitas enzim yang terlibat dalam pembentukan radikal bebas, seperti inhibitor oksidase, inhibitor xanthin oksidase (allopurinol). Studi pustaka mengungkapkan obat antioksidan yang digunakan pada studi ilmu dasar (basic sciences) terbatas, seperti vitamin E dan C, inhibisi direk NADPH oksidase (seperti diphelyne iodonium, Apocynin, dan AEBSF) dan inhibisi indirek NADPH oksidase (seperti inhibitur HMG-GA reduktase, angiotensin converting inhibitors dan angiotensi receptor blockers). Uji coba antioksi dan terhadap efak vascular untak tujuan sebagai berikut: (1) Mengurangi sitotoksitas Ox-LDL Ox-LDL mempunyai sifat sitotoksik karena dapat menyebabkan nekrosis endotel dan makrofag. Enzim proteolik seperti matriks metalloproteinase yang dilepaskan makrofag dapat menurunkan integritas straktur fibrous cap yang melapisi lesi aterosklerosis, diikuti lesi/plak vaskular tidak stabil dan mudah ruptur. Antioksidan mempunyai peranan untuk meningkatkan stabilitas plak aterosklerosis dan mencegah trombosis. (2) Mencegah inaktivasi nitritoksida (NO) pada sel endotel Endothelium-derived NO (EDNO) merupakan molekul kunci untuk regulasi tonus vaskular dan homeostatis. EDNO mempunyai peranan yang luas; antara lain (a) regulasi tonus vaskular terutarna vasodilator, (b) aktivitas antiaterogenik yang poten termasuk inhibisi proliferasi VSMC, agregasi platelet dan interaksi lekosit-endotel. EDNO disintesis dari L-arginine oleh enzim NADPH-dependent NO synthase (NOS) baik isoform yang konstitutif maupun yang dapat diinduksi. Ox-LDL dapat menghambat sintesis dan pelepasan EDNO dan juga langsung inaktivasi EDNO. Radikal anion peroksida (.O2-) dapat berinteraksi diikuti tidak berperannya fungsi EDNO.

(3) Inhibisi adhesi leukosit Perlekatan atau adhesi leukosit pada endotel merupakan proses awal yang penting untuk patogenesis aterosklerosis. (4) Inhibisi aktivasi platelet dan proliferasi VSMC Seperti diketahui, platelet mempunyai peranan penting dalam patogenesis dan trombosis koroner. Sedangkan proliferasi VSMC merupakan komponen utama pada restonosis vaskular. Beberapa hasil uji coba antioksidan sebagai berikut: 1. Vitamin E (a) Inhibisi inaktivitas nitrit oksida (NO) pada endotel (endothelium-derived NO) Pada binatang percobaan kelinci yang diberikan diet tinggi kolesterol, vitamin E dapat mencegah penurunan aktivitas NO endotel. Vitamin E dapat mempertahankan pelepasan NO endotel dengan cara mencegah stimulasi protein kinase C (PKC) oleh ox-LDL, diikuti penghambatan fosforilasi reseptor muskarinik pada sel endotel dan perbaikan inducible nitric oxide synthase (iNOS). Beberapa studi mengungkapkan pemberian takaran tinggi vitamin E melebihi kadar fisiologi dapat menyebabkan gangguan vasodilatasi disertai peningkatan proliferasi intima. (b) Inhibisi adhesi leukosit Beberapa studi mengungkapkan vitamin E terbukti dapat menghambat upregulasi dari ICAM-1 dan VCAM-1 pada sel endotel yang terpapar ox-LDL. Vitamin E dapat juga menghambat ekspresi integrin 1 dan 2 pada leukosit dan menghambat perlekatannya pada endotel. Studi ex vivo pada manusia memperlihatkan korelasi terbalik antara kadar vitamin E dengan ekspresi integrin pada monosit. Peneliti lain mengungkapkan pemberian vit. E pada hiperkolesterolemia tidak memperlihatkan efek terhadap perlekatan monosit. (c) Inhibisi aktivasi nitrit oksida (NO) pada endotel Pemberian antioksidan vitamin E dapat menghambat aktivitas platelet dan proliferasi VSMC melalui penghambatan aktivitas PKC. 2. Vitamin C (a) Inhibisi inaktivasi nitrit (NO) pada endotel (endothelium arived NO / EDNO) Pemberian vitamin C pada kadar fisiologis dapat meningkatkan sintesis dan aktivitas biologis NO pada kultur sel endotel melalui peningkatan tetrahidrobiopterin intraselular. Tetrahidrobiopterin merupakan salah satu kofaktor yang dibutuhkan NOS untuk sintesis NO. Vitamin C dapat melakukan regenerasi tetrahidrobiopterin dari radikal tetrahidrobiopterin yang terbentuk pada saat sintesis oleh NOS. Pemberian vitamin C dosis tinggi pada pasien dengan resiko penyakit koronaria memperlihatkan perbaikan disfungsi endotel melalui mekanisme penangkapan radikal anion superioksida (.O2-) sehingga interaksinya dengan EDNO berkurang

sehingga aktivitas EDNO dapat dipertahankan. Yang menarik kombinasi vitamin E dan C sebagai ko-oksidan dapat mengatasi akffvitas pro-oksidan dari vitamin E. (b) Menghambat adhesi leukosit Penelitian ex vivo mengungkapkan pemberian vitammin C dosis tinggi dapat menyebabkan penurunan ekspresi ICAM-1 endotel dan penurunan adhesi pada kultur sel endotel. 3. Obat untuk inhibisi NADPH oksidase 3.1 Inhibisi direk NADPH oksidase a. Diphenylene iodonium Diphenylene iodonium merupakan NADPH oksidase yang dapat melakukan inhibisi langsung aktivitas enzim katalitik. Penelitian uji percobaan ternyata diphenylene iodonium kurang mempunyai nilai terapeutik, karena dapat menyebabkan inhibisi semua flavoenzymes.

b. Apocynin Apocynin meningkatkan aktivitas enzim kataliltik dengan cara blokade translokasi p47 phox dan p67 phox dari sitosol terhadap transmembran. Penelitian mengungkapkan apocynin tidak khusus sebagai antioksidan, malah dapat merangsang pembentukan reactive oxidate species (RSO). c. AEBSF [4-(2-aminoethy) benzene sulonylfluoride] AEBSF dapat menghambat ikatan dari cytochrome b558 sampai p47 phox sebagai sirine protease inhibitor yang mempunyai efek sangat luas dan tidak hanya mempunyai efek antioksidan. 3.2 Inhibisi indirek NADPH oksidase a. 3 - hydroxy - 3 methylglutaryl Co (HMG-CoA) reduktase (statin) Statin dilaporkan dapat mengurangi produksi anion superoksida (.O2-) yaitu dengan cara mencegah isoprenilasi p21 rac, suatu molekul kecil protein G yang merupakan komponen utama NADPH aksidase. b. ACE-inhibitors dan Angiotensin Receptor Blockers (ARB) Kedua macam obat antihipertensi ini dapat mengurangi produksi anion superoksida (.O2-) dan memperbaiki fungsi endotel serta mengurangi pembentokan plak dari hewan percobaan kelinci dengan hiperkolesterolemia. Dasar Bukti Uji klinis antioksidan pada penyakit ginjal kronis

Uji Klinis pada kelompok pasien populasi umum disertai resiko tinggi PKV, melibatkan banyak pasien (ribuan), metoda tersamar ganda dengan kontrol placebo; mengungkapkan berbagai anffoksidan (- ~ karoten, vitamin C dan E ) baik tunggal maupun kombinasi disertai berbagai variasi dosis terapi ffdak bermanfaat untak menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular. Uji klinis antioksidan pada kelompok pasien penyakit ginjal kronis (PGK) untuk mencegah/menurunkan morbiditas PKV masih langka, baru dua uji klinis antioksidan yang telah dipublikasikan. Studi SPACE (Secondary Prevention with Antioxidants of Cardiovascular Disease in End-Stage Renal Disease), melibatkan 196 pasien dialisis, umur antara 40-75 tahun yang sudah diketahui menderita PKV, mendapat terapi takaran tinggi alpha tocopherol 800 IU selama periode 2 tahun. Pada akhir penelitian mengungkapkan klinis dan statistik penurunan bermakna (RR= 0,46 [0,27-0,78]) infark miokard akut dan bencana PKV lainnya. Studi lain untuk evaluasi efek acetylcystein (thiolcontaining antioxidant) terhadap bencana PKV dari pasien hemodialisis. Studi prospektif, acak, uji placebo-kontrol, melibatkan 134 pasien, umur (62 + 16 tahun), mendapat terapi acetylcystein 600 mg B/D atau placebo selama 14.5 bulan. Hasil evaluasi mengungkapkan kejadian kardiovaskular menurun bermakna 40% dibandingkan kelompok kontrol. Kesimpulan (1). Studi pustaka mengungkapkan bahwa secara biologis stres oksidatif merupakan titik sentral patofisiologi aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular lainnya dari penyakit ginjal kronis tahap 1 sampai 4 teruama tahap akhir dan dialisis regular. (2). Obat antioksidan belum saatnya diusulkan sebagai terapi baku untuk mencegah PKV terkait aterosklerosis sebelum dasar bukti uji klinis cukup memadai melibatkan banyak pasien disertai variasi yang luas. RUJUKAN : Ada di redaksi Tulisan ini sudah dipresentasikan dalam Jakarta Nephrology and Hypertension (JNHC) 2006. Taken from : /rubrik/one_news_print.asp?IDNews=216 | 8359 hits

BIDANG ILMU

FARMASI Written by Administrator Saturday, 21 August 2010 08:54

PENELITIAN HIBAH PEKERTI)TAHUN 2009

ISOLASI SENYAWA AKTIF ANTIKANKER EKSTRAK METANOL DAUN PALIASA (Melochia umbellate (Houtt) Staff Var.deglabrata)
Rosany Tayeb, Abdul Rahim,Subagus Wahyuono dan Mae Sri Hartati Wahyuningsih Fakultas : Farmakognosi/Fitokimia/Farmasi,Universitas Hasanuddin ABSTRAK Paliasa merupakan tumbuhan obat untuk mengatasi gangguan hati,Ada 3 jenis paliasa yang dikenal yaitu Kleinhovia hospital Linn.,Melochia umbellate var,deglabrate,dan Melochia umbellate var,visenia.Dari ketiga jenis paliasa tersebut ekstrak M. umbellate var deglabrata M.umbellata var,deglabrata paling toksik paling toksik terhadap larva Artemia salina. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengisolasi senyawa aktif antikanker dari daun paliasa dengan menggunakan metode Brine Srimph Lethality Tesh dan uji antiproliferasi kultur sel myeloma dengan metode MTT sebagai pemandu pada setiap tahap pengerjaan (Bioassay guided isolation). Hasil penelitian diperoleh 2 isolat yaitu isolate 1 dan II yang toksik terhadap larva artemia salina dengan nilai LC50 0,474 ug/ml untuk isolate 1 dan 0,0124 ug/ml untuk isolat II.Pengujian terhadap sel myloma diperoleh nilai IC50 untuk perlakuan 24,48 dan 72 jam masing-masing sebesar 542,178;111,968 dan 66,978 ug/ml .Senyawa isolate II merupakan gologan alkaloid yang memiliki serapan uv pada panjang gelombang 210,240,274 dan 328 nm dan mengandung gugus NH (Amin primer),-OH,-CH alifatis,C=C alkena,gugus alkil C-H,CH2 dan CH3. Kata kunci : Isolat,Artemia salina,LC.50 sel meloma

HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN 2008/2009

POTENSI ANTI ATEROSKLEROTIK HERBA CEPLUKAN (PHYSALIS ANGULATA) DENGAN UJI SINTESIS SITOKIN PROINFLAMATORI DAN AKTIVITAS PENGHAMBATAN

OKSIDASI LDL
Marianti Anggreni , Kus Haryono dan Habibie Fakultas : Farmasi,Universitas Hasanuddin ABSTRAK Secara empiris herba ceplukan (Physalis angulata) merupakan tanaman yang digunakan sebagai antihipertensi,antidiabetes,anti inflamasi,demam dan sakit tenggorokan.Efek anti hipertensi terjadi karena kandungan kimia tanaman ini seperti senyawa-senyawa antioksidan polifenol,flavonoid,asam klorogenat,fisalin dan asam malat (Heyne,1987,Setijo,2002) Antioksidan berefek menghambat oksidasi LDL kolesterol sehingga mencegah penimbunan sel-sel busa yang menyebabkan aterosklerosis (Lau,2001). Penyempitan pembuluh darah (oklusi) akibat aterosklerosis merupakan penyebab peningkatan tekanan darah (hipertensi). Merujuk pada dugaan tersebut maka telah dilakukan skrining dengan metode Hydrogen donating activity yang diukur menggunakan radikal bebas DPPH(1,1diphenil-2picril-hidrazyl).pada 100ul dari berbagai konsentrasi herba Physalis anggulata (hPA),ditambahkan 1 ml larutan DPPH 0,1 mM dan etanol hingga 5 ml. Setelah inkubasi 30 menit dalam suhu kamar dan gelap,erapannya diukur pada panjang gelombang 517 nm. Percobaan ini diulang tiga kali.Persentasi scavenging dari hPA dapat dihitung.Aktivitas pengambatan ekstrak etanol herba ceplukan terhadap radikal bebas DPPH diperoleh IC50 berturut-turut untuk ekstrak etanol,ekstrak larut etil asetat,ekstrak tidak larut etil asetat dan vitamin C masingmasing 0,6698;0,23266;0,9960 dan 0,0291 ,mg/ml. Selanjutnya juga telah dilakukan uji penghambatan radikal bebas nitrit oksida.Pada studi invitro,N0 dapat diproduksi oleh Natrium nitroprusida dalam PBS tetapi sangat tidak stabil. N0 dapat bereaksi dengan 02 menghasilkan nitrit dan nitrat yang stabil melalui senyawa antara N02,N204 and N304 Kadar N0 dapat diukur menggunakan reaksi Griess setelah bereaksi dengan sulfanilamide membentuk diazotasi.Seperti halnya DPPH,aktivitasnya scavenging radikal NO meningkat sejalan dengan peningkatan konsentrasi.Ekstrak etil asetat menunjukkan aktivitas scavenging radikal NO paling kuat.IC50 dari ekstrak etil asetat adalah 0,398mg/ml,ekstrak tidak larut etil asetat 0,8569mg/ml,sedangkan ekstrak etanol memiliki IC50 sebesar 0.56501 mg/ml. Setelah dilakukan uji penghambatan radikal bebas hydrogen dan nitrit oksida,selanjutnya dilakukan uji penghambatan oksidasi LDL menggunakan gel elektroforesis. Di sini LDL yang digunakan adalah LDL yang diperoleh dari mencit yang sebelumnya diberi diet kolesterol selama 4 minggu.Lipoprotein dicat dengan Coomassie Brilliant Blue 0,5% dalam metano-asam klorida glacial (5:1:4) Noda dapat diukur secara kuantitatif menggunakan software WinCats pada panjang gelombang 633 nm.Diperoleh bahwa estrak etanol 100 mg/ml memiliki aktivitas penghambatan oksidasi LDL terbesar diikuti ekstrak larut etil asetat dan aktivitas terendah dimiliki oleh ekstrak tidak larut etil asetat. Setelah dilakukan uji penghambatan oksidasi

Last Updated ( Tuesday, 31 August 2010 12:10 ) http://www.unhas.ac.id/lemlit/index.php?view=article&catid=40%3Aabstrak2009&id=70%3Abidang-ilmufarmasi&tmpl=component&print=1&page=&option=com_content&Itemid=70

STRES OKSIDATIF SEBAGAI FAKTOR RISIKO PENYAKIT KARDIOVASKULAR PADA PENYAKIT GINJAL KRONIS TAHAP 1 SAMPAI 4 KOLOM - Edisi Agustus 2006 (Vol.6 No.1), oleh andra --------------------------------------------------------------------------------

Enday Sukandar Sub Unit Ginjal dan Hipertensi, Bagian llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD / RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung Pendahuluan Dialisis (hemodialisis dan CAPD) merupakan salah satu alternatif terapi pengganti ginjal (TPG) sebelum transplantasi ginjal untuk pasien penyakit ginjal kronis (PGK) tahap akhir. Masalah yang dihadapi masa kini dan mendatang hampir di setiap negara maju dan berkembang, apalagi di Indonesia adalah kesulitan untuk mendapat ginjal dari donor hidup keluarga atau kadaver. Tidak mengherankan populasi pasien sangat meningkat. Pasien dialisis regular tidak terlepas dari berbagai komplikasi medis yang terkait dengan anemia, malnutrisi, inflamasi, gangguan metabolisme kalsium fosfor, hipertensi, dislipidemia dan penyakit kardiovaskular. Beberapa masalah medis dapat dikendalikan dengan terapi ajuvan dan modifikasi dialisis (high-flux); sehingga biaya dialisis lebIh mahal. Studi epidemiologi mengungkapkan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular (PKV) pada pasien dialisis lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum, American Heart Association 2003 mengeluarkan pernyatan ilmiah (scientific statement) untuk meninjau keterlibatan penyakit ginjal kronis sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskular terkait dengan faktor risiko tradisional atau klasik (dikenal

sebagai Framingham Risk Factors) dan nontradisional. Stres oksidatif merupakan salah satu faktor risiko nontradisional, diduga mempunyai peranan utama dari perkembangan aterosklerosis pada penyakit ginjal kronis. Penulis melakukan studi pustaka peranan stres oksidatif sebagai faktor risiko proses penyakit kardiovaskular khusus aterosklerosis pada penyakit ginjal kronis tahap 1 sampai 4 bertumpu kepada 4 definisi faktor resiko nontradisional sesuai dengan pernyataan ilmiah (scientic statement) dari American Heart Association tahun 2003. Pernyataan ilmiah mengenai 4 definisi faktor risiko penyakit kardiovaskular nontradisional pada penyakit ginjal kronis (PGK)s; meliputi (I) A biologically plausible role for the factor inpromoting CVD risk, (2) A dose-response relationship between level of the risk and severity of kidney disease, (3) An Association between the factor with CVD in patient with CKD, and (4) evidence from clinical trials that treatment of the risk decreases CVD risk. Sehubungan dengan masalah tersebut di atas, penulis menyajikan studi pustaka dengan beberapa materi sebagai berikut: (1) sekilas tentang fisiologi reactive oxygen species, (ROS), (2) dasar bukti studi epidemiologi penyakit kardiovaskular pasien dialisis, (3) dasar bukti observasional penyakit kardiovaskular pasien pre dialisis, (4) dasar bukti in vivo biomarker stres oksidatif pada penyakit ginjal kronis, (5) peranan stres oksidatif pada patofisiologi aterosklerosis pada penyakit ginjal kronis, (6) studi uji antioksidan bertumpu kepada ilmu dasar, scietific research, dan (7) studi uji klinis antioksidanpada penyakit ginjal kronis. Fisiologi reactive oxygen species (ROS) Stres oksidatif dapat dipandang sebagai gangguan keseimbangan antara produksi oksidan dan antioksidan defense atau destruksi reactive oxygen species (ROS); seperti anion superoksida (.O2-), radikal hidroksil (.OH), hidrogen peroksida (H2O2), radikal nitrit oksida (.NO) dan periksonitrit (ONOO-). Ketidakseimbangan preoksidan ini dapat menyebabkan oksidasi makromolekul; meliputi lipid, karbohidrat, asam amino, protein dan DNA, diikuti dengan kerusakan selular dan jaringan. Reaktivitas oksigen mempunyai peranan penting karena yang melandasi kekuatan destraksi adalah radikal bebas tersebut. Seperti diketahui, oksigen terpapar luas di lingkungan sehingga tubuh manusia akan mengonsumsi sekitar 250 gram oksigen setiap hari. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 3 - 5% dikonversi menjadi anion perioksida (.O2-) dan spesies reaktif lainnya. Oksidasi lipoprotein (oksidasi kolesterol LDL) merupakan suatu proses biologi yang diduga terlibat dalam mekanisme proses inisiasi dan akselerasi lesi arteri. Makrofag (neutrofil dan monosit aktif merupakan mediator selular utama yang bertanggung jawab terhadap proses oksidasi lipoprotein in vivo. Oksidasi lipoprotein oleh neutrofil dan monosit makrofag karena pengarah sel-sel tersebut, baik in vivo maupun in vitro dan menghasilkan sejumlah besar ROS; seperti anion superoksida

(.O2-) yang dihasilkan melalui aktivitas flavoenzim Nicotinide Adenine Dinucleotide Phosphatase (NADPH) oxidase, radikal hidroksil (.NO) yang pembentukannya dikatalisis oleh inducible Nitric Oxide (iNOS) dan mengepresikan berbagai mediator biokimia yang terlibat dalam oksidasi lipoprotein seperti, myeloperoxidase (MPO) dan 15-lipoksgenase (LO). Disamping sel-sel leukosit (fagosit), ROS dalam pembuluh darah yang mengalami lesi juga dapat berasal dari berbagai macam sumber. Gambar 1, memperlihatkan beberapa macam mekanisme kunci pembentukan, interaksi dan degradasi ROS intravaskular.

Gambar 1. Sumber potensial ROS di jaringan vaskular Beberapa ROS yang mempunyai peranan penting untuk disfungsi endotel; antara lain anion superoksida (.O2-), hidrogen peroksida (H2O2) dan peroksinitrit (ONOO-). Berbagai enzim juga terlibat untuk pembentukan anion superoksida (.O2-) di sitosol endotel terutama NADPH oksidase yang merupakan protein transmembran, dan berbagai enzim sitosolik lainnya seperti siklooksigenase (COX), nitrit oksida sintase (NOS), lipoksigenase (LO), dan sitokrom P-450. Reaksi transpor elektron di mitokondria dapat menjadi sumber pembentukan .O2-. Melalui aktivitas Mangansuperoksida-dismustase (MmSOD) pada mitokondria dan atau Cu / ZnSOD pada sitosol), superoksida (.O2-) mengalami konversi menjadi H2O2. Hidrogen peroksida (H2O2) oleh glutation peroksidase dan thioredoksin peroksidase pada sitosol dan oleh katalase diperoksisom direduksi menjadi air. Makrofag dapat memproduksi juga anion superoksida .O2- melalui aktivitas NADPH oksidase, kemudian mengalarni dismutasi oleh SOD ekstraselular (Ec SOD) menjadi H2O2. Enzim myeloperoksidase yang terdapat pada makrofag terlibat juga pembentukan radikal hipoklorida (HOCL) yang lebih reaktif dari H2O2. Pembentakan ROS dalam pembuluh darah sebagian besar dimulai dengan reduksi satu elektron pada molekul oksigen untuk membentuk anion superoksida .O2- yang pembentukannya semakin meningkat pada proses aterosklerosis. Beberapa sumber penghasil anion superoksida .O2- dalam pembulah vaskular antara lain sel-sel fagosit (monosit dan makrofag) berinfiltrasi ke dalam subendotel, sel endotel vaskular, sel-sel otot polos vaskular (vascular smooth muscle cells, VSMC) dan fibrobias. Studi terkini dengan kultur sel vaskular menunjukan NADPH oksidase yang mempunyai sifat nonfagositik merupakan sumber utama ROS. Pada situasi khusus ROS dalam vaskular dapat juga dihasilkan oleh aktivitas xanthin oksidase (XO), NOS, sitokrom P-450 dan reaksi transpor elektron pada mitokondria. Oksidasi kolesterol LDL oleh sel-sel endotel secara in vitro dapat diatasi melalui over ekspresi SOD pada sel-sel tersebut. Data ini menunjukan anion peroksida .O2- (dan/atau produk hasil reaksi dengan radikal tersebut) mempunyai peranan dalam oksidasi LDL.

Anion superoksida .O2- yang keluar dari atau diproduksi di luar sel-sel endotel vaskular mengalami konversi dengan bantuan SOD ekstraselular (Ec SOD) menjadi hidrogen peroksida SE (H2O2). Sedangkan anion superoksida .O2- yang diproduksi di dalam sel endotel akan konversi dengan bantuan Cu/Zn SOD dan Mn SOD menjadi hidrogen peroksida H2O2 yang dapat langsung bergerak menembus membran sel. Hidrogen peroksida H2O2 yang berada di ruang ekstraselular kemudian akan dikonversi menjadi spesies oksigen yang sangat reaktif yaitu asam hipoklorida (HOCL), oleh enzim aktivitas myeloperoksidase dalam sel-sel fagosit pada lesi aterosklerosis pada manusia. Secara in vivo asam hipoklorida HOCL terbukti merupakan oksidator penting terhadap residu asam amino yang terdapat pada molekul kolesterol LDL. Secara in vitro, asam hipoklorida HOCL dapat cepat melakukan klorinasi gugus apolipoprotein pada molekul kolesterol LDL untuk menghasilkan produk-produk sekunder antara lain senyawa kloramin yang dapat menginduksi peroksida lipid. Modifikasi kolesterol LDL dengan pengarah HOCL dapat menyebabkan agregasi kolesterol LDL dan menghasilkan partikel kolesterol LDL yang cepat dikenali dan ditangkap makrofag. Disamping itu, myeloperoksidase mengubah Ltirosin menjadi radikal tyrosin yang dapat menginduksi peroksidase lipid pada partikel LDL. Penelitian in vivo peroksinitrit (ONOO-) yang merupakan hasil reaksi superoksida .O2- dan radikal nitrit oksida .NO juga terlibat pada oksidasi kolesterol LDL. Yang menarik studi in vitro, oksidasi protein yang diinduksi oleh ONOO- tidak tergantung dari keberadaan - tocoferol pada partikel LDL. Pada rasio ONOO-/LDL < 100: 1, peroksidasi lipid oleh oksidan tersebut dapat meningkat sesuai dengan peningkatan kandungan -tocoferol yang terikat pada LDL. Informasi ini sangat penting untuk menjelaskan vitamin E tidak efektif untak melindungi LDL terhadap proses oksidasi oleh peroksinitrat ONOO-. Peranan radikal nitrit oksida .NO pada oksidasi LDL sampai saat ini masih belum jelas dan penelitian rnasih berlanjut. Dasar bukti studi epitemiologi penyakit kardiovaskuler pasien dialisis Selama Periode 20 tahun terakhir perkembangan teknik dialisis maju pesat seiring dengan kemajuan teknologi kedokteran sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi morbiditas dan mortalitas. Tetapi komplikasi penyakit kardiovaskular (PKV) masih merupakan penyebab utama mortalitas, diduga sekitar 40-50% dari semua penyebab mortalitas. Penelitian epidemiologi mengungkapkan insiden pasien dialisis mempunyai prevalensi tinggi penyakit kardiovaskular: meliputi hipertrofi ventrikel kiri, kardiomiopati, gagal jantung kongestif, dan penyakit jantung iskemik. Penulis melaporkan penyakit kardiovaskular dengan presentasi klinis hipertensi 70%, hipertrofi ventrikel kiri konsentrik 49% dan penyakit jantung iskemik 6% dari

356 pasien baru dengan penyakit ginjal kronis tahap akhir (tahap 5) untuk inisiasi dialisis. Pasien penyakit ginjal kronis (PGK) tahap 3 sampai 5 sesuai dengan rekomendasi National Kidney Foundation Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease, mempunyai resiko tinggi komplikasi aterosklerosis terkait dengan morbiditas dan mortalitas. Tidak mengherankan banyak dilaporkan PGK tahap 3 sampai 5 meninggal terkait komplikasi penyakit kardiovaskular sebelum pasien memasuki PGK tahap akhir yang memerlukan tindakan dialisis. Penelitian terkini, melibatkan kelompok pasien dengan riwayat infark miokard akut, sindrom koroner akut, dan prosedur revaskularisasi mengungkapkan keberadaan penyakit ginjal kronis tahap awal sebagai prediktor independen untuk akibat lanjut bencana penyakit kardiovaskular dan mortalitas. Laporan studi epidemiologi mengungkapkan mortalitas penyakit kardiovaskular (PKV) disesuaikan dengan faktor umur, gender dan ras. Data ini merupakan cermin bahwa telah terjadi peningkatan insiden dan prevalensi kasus bencana PKV fatal di antara populasi pasien dialisis regular. Semua bencana PKV terkait dengan hipertrofi ventrikel kiri yang merupakan perubahan kardiak paling sering ditemukan pada penyakit ginjal (PGK) dan sesuai dengan derajat penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Perubahan-perubahan kardiak terkait dengan pressure overload dan volume overload. Pressure overload dicetuskan hipertensi yang menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri konsentrik. Volume overload dicetuskan hipervolemia kronis, anemia atau sirkulasi hiperdinamik yang terkait dengan peningkatan cardiac output, berakhir dengan hipertrofi ventrikel kiri eksentrik. Hipertrofi ventrikel kiri sebagai mekanisme adaptif untuk mengakomodasi pressure overload atau volume overload tetapi dapat berakhir dengan diastolic dysfunction yang merupakan fenomena adaptif. Banyak faktor resiko PKV nontradisional yang muncul sesuai dengan penurunan LFG, antara lain anemia, hiperparatiroidisme sekunder, hiperaktivitas syaraf simpatetik. Homosistein, dan CRP. Hiperparatiroidisme sekunder sering menyebabkan kalsifikasi vaskular. Klasifikasi mengenai tunika intima hampir 8090% menyebabkan atherosclerosis plaque, diikuti presentasi klinis oklusi dan nekrosis. Kalsifikasi vaskular mengenai tunika media (Monkeberg sclerosis) dapat menyebabkan arterosklerosis dengan presentasi peningkatan aortic pulse-wave velocity, rigiditas vaskular, penurunan arterial compliance dan hipertensi sistolik. Semua perubahan patofisiologi arteriosklerosis merupakan pressure overload yang menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri konsentrik. Presentasi klinis penyakit kardiovaskular pada PGK terutama arteriosklerosis dan kardiomiopati. Peranan stres oksidatif pada proses aterosklerosis cukup menonjol pada pasien dialisis. Seperti terungkap pada gambar 2, aktivitas stres oksidatif dipengaruhi

anemia, gangguan metabolisme kalsium-fosfor, angiotensin 11, peningkatan aktivitas syaraf simpatetif, hiperhomosistein, C-reactive protein dan nitric oxide NO (ADMA). Gambar 2. Risk factors specific to renal disease and emerging risk factors Dasar bukti studi observasional penyakit kardiovaskular pasien penyakit ginjal kronis pre dialisis Hubungan antara penyakit ginjel kronis (PGK), penyakit kardiovaskular (PKV) dan faktor resiko penyakit kardiovaskur, seperti terungkap pada gambar 3. Gambar 3. PGK merupakan faktor resiko untuk PKV dan PKV mungkin sebagai faktor resiko untuk kerusakan progresif PGK. Faktor resiko PKV tradisional dapat menyebabkan perkembangan dan progresivitas baik PGK maupun PGK. Penurunan LFG terkait dengan peningkatan faktor resiko PKV tradisional dan nontradisional. Faktor resiko PKV nontradisional masih belum jelas sebagai faktor resiko penting untuk progresivitas PGK. Tabel 1. Faktor resiko kardiovaskular tradisional dan nontradisional pada penyakit ginjal kronis. Faktor risiko tradisional Faktor resiko nontradisional Usia Albuminuria / proteinuria Gender laki Hornosistein Hipertensi Lipoprotein (a) dan apolipoprotein (a) isoforms Peningkatan kolesterol LDL Lipoprotein remnants Penurunan kolesterol HDL Anemia Diabetes Gangguan metabolisme kalslum-fosfor Rokok Peningkatan volume eairan ekstraselular Inaktivitas fisik Stres oksidatif Menopause Inflamasi (RP) Riwayat keluarga Pl Hipertrofi ventrikel kiri Faktor trombogenik Gangguan tidur Gangguan keseimbangan oksida/endotelin

Beberapa pertimbangan peningkatan resiko PKV pada pasien PGK: (1 ) PGK terkait dengan peningkatan prevalensi faktor resiko PKV (2) PGK merupakan faktor resiko independent untak PKV (3) Faktor resiko PKV dapat menyebabkan perkembangan dan progresivitas PGK (4) PKV merupakan faktor resiko untuk PGK

1. Penurunan LFG sebagai faktor resiko independen penyakit kardiovaskular Studi observasional terkini mengungkapkan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) diduga merupakan faktor resiko independent mortalitas penyakit kardiovaskular (PKV). Analisa data dari beberapa studi yang bertumpu kepada population-based epidemiologic studies; antara lain Atherosderosis Risk in Community (ARIC), Cardiovascular Health Study dan Hoorm Study mengungkapkan asosiasi antara penurunan fungsi ginjal dengan resiko untuk semua penyebab dan mortalitas penyakit kardiovaskular. Studi menekankan pentingnya terapi agresif faktor resiko tradisional penyakit kardiovaskular (PKV). Pada NHANES II Mortality Study pasien dengan LFG < 70 ml /menit, memperlihatkan hampir 68% lebih besar resiko mortalitas penyakit kardiovaskular (PKV) dibandingkan dengan pasien LFG normal. Data lebih dari 15.000 pasien dewasa, umur 45-65 tahun dan follow-up selama 5 tahun dari materi studi ARIC memperlihatkan penurunan LFG merupakan faktor resiko independent untuk de-novo dan penyakit kardiovaskular rekuren. Penurunan fungsi ginjal dari kelompok usia lanjut terkait perubahan fisiologi merupakan faktor resiko independent untuk penyakit kardiovaskular (PKV) dan klaudikasi setelah disesuaikan dengan faktor resiko tradisional. Peneliti melakukan analisa data dari Cardiovascular Health Study (CHS), melibatkan 5808 pasien laki dan wanita, usia 65 tahun. Hasil analisa mengungkapkan kenaikan serum kreatinin (paling sedikit 1.5 mg/dL (laki) dan 1.3 mg/dL (wanita)) dengan 11% partisipan menunjukan 2 kali lebih tinggi resiko mortalitas PKV. Weiner dkk melakukan analisa dari studi yang bertumpu kepada population-based epidemiologic studies seperff ARIC, CHS, FSH, Foff Sp; mengungkapkan LFG antara 15-60 mUmin/1.73 m2 merupakan prediktor independent untuk bencana PKV fatal dan nofatal (hazard raffo 1.19, 95% confidence interval antara 1.07-1.32). 2. Mikroalbuminuria sebagai faktor resiko penyakit kardiovaskuler Studi potong-lintang mengungkapkan mikroalbuminuria/albuminuria terkait dengan faktor resiko penyakit kardiovaskular (PKV) dari subyek klinis normal dan pasien dengan/tanpa diabetes. Beberapa studi prospektif antara lain Prevention of Renal and Vacular End-Stage Disease (PREVEND) study, Hearth Outcomes Prevention Evaluation (HOPE) dan study Losartan Intervenioon For Endpoint Reduction, mengungkapkan mikroalbuminuria prediktor untuk clinical CVD outcomes. Data ini telah mendukung pendapat pada PGK tahap awal ditemukan keberadaan peningkatan resiko penyakit kardiovaskular. 3. Studi observasional klinis Studi terkini melaporkan pasien dengan riwayat infark miokard akut, sindrom koroner akut, dan pasien dengan prosedur revaskularisasi mengungkapkan

keberadaan pasien PGK tahap 1 - 2 atau disfungsi ginjal sebagai independent predictor untuk kejadian dan mortalitas PKV. Studi ini juga mengungkapkan, penyakit ginjal kronis tahap awal (disfungsi ginjal) sebagai faktor resiko untuk recurrent cardiovascular disease and mortality. Dasar bukti in vivo biomarker stres oksidatif pada penyakit ginjal kronis Stres oksidatif merupakan mediator penting manifestasi berbagai komplikasi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (PGK); antara lain kardiovaskular, neurologi dan komplikasi lainnya. Di lapangan terungkap, stres oksidatif terlibat pada patogenesis hipertensi, gangguan fungsi endotelial, kelainan neurologi, pemendekan masa hidup eritrosit, proses aterosklerosis, dan inflamasi pada penyakit ginjal kronis (PGK). Peranan stres oksidatif sudah terlibat pada patofisiologi presentasi klinis penyakit ginjal kronis (PGK) tahap 1 sampai 4, dan lebih menonjol pada PGK tahap 5 dan pasien dialisis. Keberadan peranan stres oksidatif terungkap dengan peningkatan konsentrasi reaktan darah sebagai biomarker yang terkait hasil produk interaksi ROS dengan makromolekul; antara lain lipid, asam amino, protein, karbohidrat dan asam nukleat. Pada tabel 2, diperlihatkan berbagai produk oksidasi dengan biomolekul pada PGK8. Tabel 2. Byproducts of interactions of oxidants with various biomolecules found to be elevated in the blood of patients with chronic renal failure. Biomolecular targets Oxidation productions Lipids Maiondialdenyde F2 - isoprostanes: Isolevulglandins 4 - hydroxy - 2 - nonenat Oxidized LDL Protein/asam amino acids Oxidized thiols, carbonaylated proteins Advanced oxidative protein products Advanced glycated end-product, carboxymethyl lysine 1 - isoaspartyl residues, dityrosine, nitrotyrosine, 3- chlorotyrosine Carbohydrates Reactive carbonyl compounds, glycoaxidation Products Nucleic acids 8- hydroxyguanine 8- hydroxyfuanosine Penelitian terkini hanya produk peroksidasi lipid (lipid peroxidation products), reactive aldehydes, dan oxidized thiols, merupakan uremic oxidative stress

memegang peranan penting pada proses aterosklerosis. Stres oksidatif pada pasien PGK sering dihubungkan dengan efek toksin uremia terutama toksin berat molekul sedang (middle molecules), angiotensin 11, sitokin proinflamasi, interaksi antara darah dengan dializer, reaksi terhadap kateter dan ateriovenous grafts, beban zat besi, infeksi kronis dan gangguan dasar imunologi dan metabolisme; seperti diabetes. Diduga masih banyak faktor lain terutama yang termasuk toksin uremia yang masih belum dapat ditentukan, sebab observasi klinis klinis mengungkapkan tindakan dialisis dapat menurunkan konsentrasi oxidized thiols serum. Peranan stres oksidatif pada patofisiologi penyakit kardiovaskular Pada pasien dengan PGK tahap 1 sampai 4 disertai faktor resiko kardiovaskular tradisional (seperti hiperkolesterolemia, diabetes melitus, rokok) sering terkait dengan peningkatan stres oksidatif, penurunan NO vaskular, dan peningkatan acute-phase inflammation. Pada gambar 4, diungkapkan pengarah hiperglikemia dan uremia pada pembentukan stres oksidatif dan terkait dengan dislipidemia, inflamasi dan atherosklerosis. Gambar 4. The influence of hyperglycaemia and uraemia on generation of oxidative stress, and the connection between dyslipidaemia, inflammation and atherosklerosis. Steinberg dkk pertamakali mengajukan hipotesis bahwa aterogensitas LDL dapat ditingkatkan dengan bantuan oxidative modification. Sebaliknya pada keadaan native LDL, modifikasi oksidatif LDL dapat ditangkap oleh reseptor (scavenger receptors) dan ditindaklanjuti dengan konversi monosit ke dalam sel lemak (form cells) yang merupakan langkah awal proses aterosklerosis pada sub-endotel. Pembentukan reactive oxygen species (ROS) pada dinding vaskular merangsang proliferasi sel-sel otot polos vascular (vascular smooth muscle cell-VSMC) dan membantu peningkatan produksi sitokin proinflamasi. Pada situasi dimana terdapat peningkatan stres oksidatif, pembentakan anion superoksida (.O2-) dengan bantuan NADPH oxidase dapat bereaksi cepat dengan nitric oxide (NO) diikuti inaktivitas fungsi NO. Kehilangan peran fungsi NO menyebabkan disfungsi sel-sel endotel dan VSMC yang berakhir dengan peningkatan proses aterogenositas. Data patofisiologi ini menunjang hubungan erat antara presentasi klinis dengan peningkatan stres oksidatif, hilangnya fungsi NO (vasodilator) dan berakhir dengan bencana kardiovaskular. Data terkini mengungkapkan bahwa reactive species oxygen (ROS) dapat membantu pembentukan sitokinproinflamasi; seperti IL-6 dan acute phase protein seperti CRP dengan bantuan aktivasi transkripsi faktor Nuclear Factor kappa B (NFk-B). Peningkatan konsentrasi plasma IL-6 dan CRP merupakan bukti kuat sebagai prediktor independent bencana PKV dan mortalitas.

Pada gambar berikut, diperlihatkan uremia, melalui (via) retensi oxidized solue dapat langsung kontribusi sebagai faktor resiko nontradisional Gambar. 5. Model of oxidative stress and cardiovascular complications in uremia Pada saat ini dan mendatang banyak dilakukan studi untak membuktikan hipotesa: phagocytic NADPH oxidase overactivity may be present in patients with early CKD. Beberapa studi mengungkapkan anion superoksida (.O2-) mempunyai peranan penting pada patofisiologi aterosklerosis. Pembentukan anion superoksida (.O2-) berperan untuk oxidative modification of LDL yang merupakan kunci pembentukan lesi aterosklerosis. Sistem nicotinamide adenine dinucleotide phospate (NADPH) oxidase dipertimbangkan merupakan sumber utama pembentukan anion superoksida (.O2-) pada sel-sel vaskular yang didukung studi eksperimen dan klinis aterosklerosis. Peneliti lain melaporkan bahwa NADPH oxidase merupakan sumber utama untuk pembentukan anion superoksida (.O2-) pada sel-sel fagosit (seperti limfosit, monosit dan neutrofil). Yang menarik dari studi ini, peningkatan aktivitas NADPH oxidase mempunyai hubungan dengan Carotid atherosclerosis pada pasien tanpa keluhan. Studi terkini dari Fortuno A dkk, pertama kali melaporkan pembentukan anion superoksida (.O2-) dengan peningkatan PMA-stimulated mononuclear cells dari kelompok pasien dengan disfungsi ginjal atau PGK tahap 1 dan 2. Dua aspek klinis penting dari studi ini; yaitu (1) peningkatan aktivitas NADPH oxidase terkait dengan hiperinsulinisme, (2) ditemukan carotid intimal-medial thickness (IMT) pada PGK tahap 1 dan 2. Menurut pengamatan penulis, stres oksidatif terutama anion superoksida (.O2-) merupakan titik sentral dari patofisiologi penyakit kardiovaskular (PKV) pada PGK tahap 1 sampai 4, dan meningkat pada PGK tahap akhir terutama pasien dialisis. Gambar 6. Patogenesis interaksi faktor risiko dan akselerasi aterosklerosis ROS: Reactive Oxygen Species; AOPP: Advanced Oxidation of Plasma Protein AGEs: Advanced Glycation End-Products; ADMA: Asymetric Dimethylarginine Kidney Int 2003;63 (Suppl 84): 204-206 Dasar bukti studi uji antioksidan bertumpu kepada ilmu dasar (basic science) Studi in vitro maupun studi pada berbagai hewan percobaan (seperti tikus, kelinci dan primata) mengungkapkan bukti kuat bahwa proses oksidatif (peroksida lipid) mempunyai sifat proaterogenik dan protrombosis sehingga proses tersebut mempunyai peran penting pada perkembangan aterosklerosis. Data studi ini menyebabkan muncul hipotesa: antioksidan dapat bermanfaat untuk mencegah dan menghambat proses aterogenesis.

Secara teoritis uji antioksidan harus bertumbu kepada kepada efek farmakologi; di antaranya (1) menyerupai aktivitas antioksidan endogen; seperti superoksida dismutase dan katalase rekombinan, (2) menangkap ion logam yang diperlukan untuk tujuan katalisis reaksi oksidasi oleh radikal bebas, seperti deferoksamin, (3) menangkap (scavenging) radikal (chainbreaking); Seperti vitamin E, vitamin C, -karoten, ubikuinol-10, flavonoid, estrogen dan probukol; (4) penghambatan atau inhibisi aktivitas enzim yang terlibat dalam pembentukan radikal bebas, seperti inhibitor oksidase, inhibitor xanthin oksidase (allopurinol). Studi pustaka mengungkapkan obat antioksidan yang digunakan pada studi ilmu dasar (basic sciences) terbatas, seperti vitamin E dan C, inhibisi direk NADPH oksidase (seperti diphelyne iodonium, Apocynin, dan AEBSF) dan inhibisi indirek NADPH oksidase (seperti inhibitur HMG-GA reduktase, angiotensin converting inhibitors dan angiotensi receptor blockers). Uji coba antioksi dan terhadap efak vascular untak tujuan sebagai berikut: (1) Mengurangi sitotoksitas Ox-LDL Ox-LDL mempunyai sifat sitotoksik karena dapat menyebabkan nekrosis endotel dan makrofag. Enzim proteolik seperti matriks metalloproteinase yang dilepaskan makrofag dapat menurunkan integritas straktur fibrous cap yang melapisi lesi aterosklerosis, diikuti lesi/plak vaskular tidak stabil dan mudah ruptur. Antioksidan mempunyai peranan untuk meningkatkan stabilitas plak aterosklerosis dan mencegah trombosis. (2) Mencegah inaktivasi nitritoksida (NO) pada sel endotel Endothelium-derived NO (EDNO) merupakan molekul kunci untuk regulasi tonus vaskular dan homeostatis. EDNO mempunyai peranan yang luas; antara lain (a) regulasi tonus vaskular terutarna vasodilator, (b) aktivitas antiaterogenik yang poten termasuk inhibisi proliferasi VSMC, agregasi platelet dan interaksi lekositendotel. EDNO disintesis dari L-arginine oleh enzim NADPH-dependent NO synthase (NOS) baik isoform yang konstitutif maupun yang dapat diinduksi. Ox-LDL dapat menghambat sintesis dan pelepasan EDNO dan juga langsung inaktivasi EDNO. Radikal anion peroksida (.O2-) dapat berinteraksi diikuti tidak berperannya fungsi EDNO. (3) Inhibisi adhesi leukosit Perlekatan atau adhesi leukosit pada endotel merupakan proses awal yang penting untuk patogenesis aterosklerosis. (4) Inhibisi aktivasi platelet dan proliferasi VSMC Seperti diketahui, platelet mempunyai peranan penting dalam patogenesis dan trombosis koroner. Sedangkan proliferasi VSMC merupakan komponen utama pada

restonosis vaskular. Beberapa hasil uji coba antioksidan sebagai berikut: 1. Vitamin E (a) Inhibisi inaktivitas nitrit oksida (NO) pada endotel (endothelium-derived NO) Pada binatang percobaan kelinci yang diberikan diet tinggi kolesterol, vitamin E dapat mencegah penurunan aktivitas NO endotel. Vitamin E dapat mempertahankan pelepasan NO endotel dengan cara mencegah stimulasi protein kinase C (PKC) oleh ox-LDL, diikuti penghambatan fosforilasi reseptor muskarinik pada sel endotel dan perbaikan inducible nitric oxide synthase (iNOS). Beberapa studi mengungkapkan pemberian takaran tinggi vitamin E melebihi kadar fisiologi dapat menyebabkan gangguan vasodilatasi disertai peningkatan proliferasi intima. (b) Inhibisi adhesi leukosit Beberapa studi mengungkapkan vitamin E terbukti dapat menghambat upregulasi dari ICAM-1 dan VCAM-1 pada sel endotel yang terpapar ox-LDL. Vitamin E dapat juga menghambat ekspresi integrin 1 dan 2 pada leukosit dan menghambat perlekatannya pada endotel. Studi ex vivo pada manusia memperlihatkan korelasi terbalik antara kadar vitamin E dengan ekspresi integrin pada monosit. Peneliti lain mengungkapkan pemberian vit. E pada hiperkolesterolemia tidak memperlihatkan efek terhadap perlekatan monosit. (c) Inhibisi aktivasi nitrit oksida (NO) pada endotel Pemberian antioksidan vitamin E dapat menghambat aktivitas platelet dan proliferasi VSMC melalui penghambatan aktivitas PKC. 2. Vitamin C (a) Inhibisi inaktivasi nitrit (NO) pada endotel (endothelium arived NO / EDNO) Pemberian vitamin C pada kadar fisiologis dapat meningkatkan sintesis dan aktivitas biologis NO pada kultur sel endotel melalui peningkatan tetrahidrobiopterin intraselular. Tetrahidrobiopterin merupakan salah satu kofaktor yang dibutuhkan NOS untuk sintesis NO. Vitamin C dapat melakukan regenerasi tetrahidrobiopterin dari radikal tetrahidrobiopterin yang terbentuk pada saat sintesis oleh NOS. Pemberian vitamin C dosis tinggi pada pasien dengan resiko penyakit koronaria memperlihatkan perbaikan disfungsi endotel melalui mekanisme penangkapan radikal anion superioksida (.O2-) sehingga interaksinya dengan EDNO berkurang sehingga aktivitas EDNO dapat dipertahankan. Yang menarik kombinasi vitamin E dan C sebagai ko-oksidan dapat mengatasi akffvitas pro-oksidan dari vitamin E. (b) Menghambat adhesi leukosit

Penelitian ex vivo mengungkapkan pemberian vitammin C dosis tinggi dapat menyebabkan penurunan ekspresi ICAM-1 endotel dan penurunan adhesi pada kultur sel endotel. 3. Obat untuk inhibisi NADPH oksidase 3.1 Inhibisi direk NADPH oksidase a. Diphenylene iodonium Diphenylene iodonium merupakan NADPH oksidase yang dapat melakukan inhibisi langsung aktivitas enzim katalitik. Penelitian uji percobaan ternyata diphenylene iodonium kurang mempunyai nilai terapeutik, karena dapat menyebabkan inhibisi semua flavoenzymes.

b. Apocynin Apocynin meningkatkan aktivitas enzim kataliltik dengan cara blokade translokasi p47 phox dan p67 phox dari sitosol terhadap transmembran. Penelitian mengungkapkan apocynin tidak khusus sebagai antioksidan, malah dapat merangsang pembentukan reactive oxidate species (RSO). c. AEBSF [4-(2-aminoethy) benzene sulonylfluoride] AEBSF dapat menghambat ikatan dari cytochrome b558 sampai p47 phox sebagai sirine protease inhibitor yang mempunyai efek sangat luas dan tidak hanya mempunyai efek antioksidan. 3.2 Inhibisi indirek NADPH oksidase a. 3 - hydroxy - 3 methylglutaryl Co (HMG-CoA) reduktase (statin) Statin dilaporkan dapat mengurangi produksi anion superoksida (.O2-) yaitu dengan cara mencegah isoprenilasi p21 rac, suatu molekul kecil protein G yang merupakan komponen utama NADPH aksidase. b. ACE-inhibitors dan Angiotensin Receptor Blockers (ARB) Kedua macam obat antihipertensi ini dapat mengurangi produksi anion superoksida (.O2-) dan memperbaiki fungsi endotel serta mengurangi pembentokan plak dari hewan percobaan kelinci dengan hiperkolesterolemia. Dasar Bukti Uji klinis antioksidan pada penyakit ginjal kronis

Uji Klinis pada kelompok pasien populasi umum disertai resiko tinggi PKV, melibatkan banyak pasien (ribuan), metoda tersamar ganda dengan kontrol placebo; mengungkapkan berbagai anffoksidan (- ~ karoten, vitamin C dan E ) baik tunggal maupun kombinasi disertai berbagai variasi dosis terapi ffdak bermanfaat untak menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular. Uji klinis antioksidan pada kelompok pasien penyakit ginjal kronis (PGK) untuk mencegah/menurunkan morbiditas PKV masih langka, baru dua uji klinis antioksidan yang telah dipublikasikan. Studi SPACE (Secondary Prevention with Antioxidants of Cardiovascular Disease in End-Stage Renal Disease), melibatkan 196 pasien dialisis, umur antara 40-75 tahun yang sudah diketahui menderita PKV, mendapat terapi takaran tinggi alpha tocopherol 800 IU selama periode 2 tahun. Pada akhir penelitian mengungkapkan klinis dan statistik penurunan bermakna (RR= 0,46 [0,27-0,78]) infark miokard akut dan bencana PKV lainnya. Studi lain untuk evaluasi efek acetylcystein (thiolcontaining antioxidant) terhadap bencana PKV dari pasien hemodialisis. Studi prospektif, acak, uji placebo-kontrol, melibatkan 134 pasien, umur (62 + 16 tahun), mendapat terapi acetylcystein 600 mg B/D atau placebo selama 14.5 bulan. Hasil evaluasi mengungkapkan kejadian kardiovaskular menurun bermakna 40% dibandingkan kelompok kontrol. Kesimpulan (1). Studi pustaka mengungkapkan bahwa secara biologis stres oksidatif merupakan titik sentral patofisiologi aterosklerosis dan penyakit kardiovaskular lainnya dari penyakit ginjal kronis tahap 1 sampai 4 teruama tahap akhir dan dialisis regular. (2). Obat antioksidan belum saatnya diusulkan sebagai terapi baku untuk mencegah PKV terkait aterosklerosis sebelum dasar bukti uji klinis cukup memadai melibatkan banyak pasien disertai variasi yang luas. RUJUKAN : Ada di redaksi Tulisan ini sudah dipresentasikan dalam Jakarta Nephrology and Hypertension (JNHC) 2006.

-------------------------------------------------------------------------------Seperti tercetak di Majalah Farmacia Edisi Agustus 2006 , Halaman: 64 (5131 hits) http://www.journalfree.com/user/dewi/

Nitrit Oksida
August 29, 2008 by aboutboncu

Nitrit Oksida (Nitric Oxide) : Definisi dan Kegunaannya


Penyakit-penyakit vaskular sangat ditakuti semua orang. Banyak cara digunakan untuk mencegah timbulnya penyakit ini. Pengerasan, penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah merupakan gejala-gejala penyakit vaskular. Tubuh kita secara alami menghasilkan Nitrit Oksida yang memiliki banyak peranan dalam sistem metabolisme tubuh, salah satunya diyakini sebagai senyawa yang dapat merelaksasi/melebarkan pembuluh darah.

Apa Itu Nitrit Oksida? NitritOksida adalah suatu senyawa berbentuk gas dalam darah yang penting dalam menunjang berbagai fungsi fisiologis tubuh mamalia. Nitrit Oksida dikenal sebagai senyawa yang merelaksasi pembuluh darah (Endothelium Derived Relaxing Factor). EDRF disintesa secara alami dari asam amino Arginin dan oksigen melalui enzim Nitric Oxide Synthase (NOS). Nitrit Oksida merupakan suatu senyawa yang perannya sangat penting untuk menjaga kesehatan sel-sel pembuluh darah, khususnya untuk kardiovaskular. Nitrit Oksida dibentuk di tiap jaringan sel, sel-sel pembuluh darah dan sel syaraf spesifik di otak. Produksi Nitrit Oksida dalam jumlah yang seimbang dan sesuai diperlukan tubuh agar kontraksi dan pelebaran pembuluh darah manusia berlangsung secara optimal dan teratur sehingga aliran darah ke seluruh tubuh dapat berlangsung dengan lancar dan teratur pula. Produksi Nitrit Oksida dalam tubuh dapat terhambat akibat kebiasaan merokok, penyakit diabetes, hipertensi dan kolesterol.Pembentukan Nitrit Oksida yang terhambat mengakibatkan suplainya juga terhambat sehingga pembuluh darah menjadi menyempit dan tidak sehat.

Arginin dapat Meningkatkan Produksi dan Suplai Nitrit Oksida Suplementasi dengan asam amino arginin akan meningkatkan produksi senyawa Nitrit Oksida. Asam amino arginin merupakan prekusor untuk pembentukan Nitrit Oksida secara alami melalui serangkaian reaksi metabolisme dalam tubuh. Fungsi Nitrit Oksida Mencegah Penyempitan Pembuluh Darah

Nitrit Oksida mampu merelaksasi kerja sel-sel otot halus yang menyusun sejumlah organ bagian dalam dan merelaksasi kerja sel otot jantung. Zat ini mencegah penempelan trombosit yang dapat menyempitkan pembuluh darah. Mencegah Stroke dan Pengerasan Pembuluh Darah Dalam sebuah penelitian, ternyata Nitrit Oksida efektif dalam menghindarkan dan mengurangi gejala penyakit stroke, sebab dapat mengurangi pembentukan kalsium yang mengakibatkan pengerasan pembuluh darah Mencegah Penyakit Jantung dan Atherosklerosis Menjaga dinding arteri tetap fleksibel yang merupakan kondisi yang dapat mencegah terjadinya penyakit jantung. Mencegah Hipertensi Nitrit Oksida juga berperan dalam mengatur tekanan darah. Nitrit Oksida akan menurunkan tekanan darah dengan cara menstimulasi pengeluaran kalsium dari sel pembuluh darah yang akan menyebabkan pembuluh darah melebar, sehingga mengurangi resiko hipertensi. Sebagai Antikanker Suplementasi dengan asam amino arginin dapat meningkatkan kuantitas dan aktivitas cytotoxic yang berfungsi sebagai pembunuh sel kanker. Meningkatkan Sistem Imunitas Tubuh Nitrit oksida menngkatkan kekebalan tubuh melalui metabolisme yang baik, sebagai antioksidan, dan merupakan senyawa yang dapat mematikan bakteri patogen Menurunkan Stres Meningkatkan suplai oksigen dan nutrisi ke otak sehingga kesehatan otak terjaga dan tidak mudah mengalami stres. Memperbaiki dan Meningkatkan Metabolisme Tubuh Nitrit Oksida mampu meningkatkan aliran darah yang membawa nutrisi ke tiap jaringan sel Meningkatkan Vitalitas Bagi kaum pria, Nitrit Oksida dapat meningkatkan aliran darah ke alat vital, sehingga meningkatkan vitalitas kaum pria. Meningkatkan Massa Otot

Kombinasi dengan asam amino Arginin mampu membentuk senyawa creatin yang dipergunakan untuk meningkatkan massa otot tubuh. Merangsang Hormon Pertumbuhan Merangsang tubuh untuk memproduksi hormon pertumbuhan yang berguna untuk menstimulasi pertumbuhan dan reproduksi sel otot. Anti Penuaan Dini Nitrit Oksida merupakan antioksidan yang dapat mencegah penuaan dini Memperbaiki Fungsi Syaraf Mampu meningkatkan sistem kerja pusat syaraf karena Nitrit Oksida bekerja aktif di otak. Bagaimana Nitrit Oksida Mampu Membantu Pembentukan Otot? Sel-sel otot kita membutuhkan nutrisi dari setiap makanan yang kita konsumsi. Nutrisi yang tersalurkan dengan baik ke setiap otot sel, mampu membantu secara maksimal perkembangan otot agar lebih besar dan kuat. Nitrit Oksida mampu memompa pembuluh darah sehingga aliran darah menjadi lancar. Aliran darah yang lancar mampu membantu penyaluran nutrisi secara optimal ke tiap sel otot tubuh. Nitrit Oksida juga mampu merangsang hormon pertumbuhan yang berguna untuk menstimulasi pertumbuhan dan reproduksi sel otot. Suplementasi dengan Arginin, mampu meningkatkan volume otot yang maksimal melalui sintesa senyawa creatin secara alami yang berguna untuk meningkatkan massa otot tubuh.
http://aboutboncu.blog.friendster.com/2008/08/nitrit-oksida/

Anda mungkin juga menyukai