Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 2

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN


PENCERNAAN APENDISITIS

DISUSUN

OLEH :

KELOMPOK

III

1. NURUL ANNISAA R011201093


2. MUH RANDI ARIFIN R011201015
3. SILMIA TRISNAWATI R011201011

PROGRAM STUDI ILMU


KEPERAWATANFAKULTAS
KEPERAWATAN UNIVERSITAS
HASANUDDIN
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadiran Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kelompok kamidapat
menyelesaikan makalah Keperawatan Medikal Bedah 2 yang berjudul “asuhan
keperawatan pada pasien dengan gangguan pencernaan apendisitis” dengan tepat
waktu. Tak lupa pula kita senantiasa mengirimkan shalawat serta salam kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi khuswatun huasanah bagi seluruhumat
islam.
Makalah ini disusun dengan maksud untuk memenuhi tugas dari dosen
pengampuh pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 2. Selain itu, kami
sebagai penulis berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca
maupun kami selaku penyusun makalah ini. Kami tak lupa mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini.
Kami telah menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya, karena
keterbatasan kami tentunya makalah ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kami mohon maaf sebesar-besarnya dan kami berharap pembaa dapat
memberikan saran dan kritik yang membangun terkait malah ini.

Makassar, 03 Maret 2022

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... 2


BAB 1 ................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN ............................................................................................... 4
1. Latar Belakang .......................................................................................... 4
2. Rumusan Masalah ..................................................................................... 7
3. Tujuan ....................................................................................................... 7
BAB II ................................................................................................................. 8
PEMBAHASAN .................................................................................................. 8
A. Pengertian ................................................................................................. 8
B. Anatomi & Fisiologi Appendicitis ............................................................. 8
C. Etiologi ..................................................................................................... 9
D. Patofisiologi ............................................................................................ 10
E. Klasifikasi ............................................................................................... 11
F. Manifestasi Klinis ................................................................................... 11
G. Pathway .................................................................................................. 12
H. Penatalaksanaan Medis ............................................................................ 13
I. Pemeriksaan Penunjang ........................................................................... 14
J. Komplikasi .............................................................................................. 15
K. Asuhan Keperawatan ............................................................................... 17
L. Diagnosa Keperawatan ............................................................................ 18
M. Intervensi Keperawatan .......................................................................... 18
N. Implementasi Keperawatan...................................................................... 24
O. Evaluasi Keperawatan ............................................................................. 24
BAB III ............................................................................................................. 25
PENUTUP ......................................................................................................... 25
A. Kesimpulan ............................................................................................. 25
B. Saran ....................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 26
BAB 1
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Era teknologi informasi dan globalisasi saat ini membawa banyak


perubahan dalam kehidupan masyarakat, antara lain adalah perubahan gaya
hidup terutama pada pola makan (stang dalam Novita, 2017). Pergeseran pola
konsumsi pada masyarakat dipengaruhi oleh perkembangan jumlah dan jenis
makanan. Masyarakat dengan kesibukan bekerja atau berkegiatan yang
dilakukan setiap hari meyebabkan mereka tidak memiliki banyak waktu untuk
memasak makanan sendiri. Hal tersebut menyebabkan masyarakat banyak yang
beralih mengkonsumsi makanan cepat saji. Makanan cepat saji menjadi pilihan
karena menurut sebagian masyarakat dengan harga yang cukup terjangkau serta
pengolahan yang praktis mereka sudah dapat menikmati makanan yang lezat
rasanya (goleman, And Others , 2019) .
Junk food yang dikonsumsi secara berlebihan dapat menimbulkan
berbagai gangguan kesehatan, seperti obesitas (kegemukan), diabetes (kencing
manis), hipertensi (tekanan darah tinggi), aterosklerosis (pengerasan pembuluh
darah), penyakit jantung koroner, usus buntu (appendisitis) stroke, kanker dan
lain-lain (Ariska &Ali, 2019).
Appendisitis merupakan penyakit yang menjadi perhatian oleh karena
angka kejadian appendisitis tinggi di setiap negara. Resiko perkembangan
appendisitis bisa seumur hidup sehingga memerlukan tindakan pembedahan.
Cushing syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh endogen
hiperkortisolisme. Hal ini disebabkan oleh hipersekresi adrenocorticotropic
hormone (ACTH) oleh adenoma hipofisis yang mensekresi ACTH. Kondisi ini
dianggap sebagai kondisi langka, meskipun diakui sebagai penyebab sindrom
Cushing (Mark S, 2010 dan Newell-Price J, et al., 2006). Appendicitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang
dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu
menurun. Insiden pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali
pada umur 20-30 tahun insiden laki-laki lebih tinggi (Sjamsuhidajat & de jong,
2010).
Keluhan appendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus
atau periumbilikus yang disertai dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri akan
beralih ke kuadran kanan bawah, yang akan menetap dan diperberat bila
berjalan. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak
terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi, tetapi kadang-kadang terjadi
diare, mual, dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada
keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen
bawah akan semakin progresif, dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat
ditunjukkan satu titik dengan nyeri maksimal. Perkusi ringan pada kuadran
kanan bawah dapat membantu menentukan lokasi nyeri. Nyeri lepas dan spasme
biasanya juga muncul (Mansjoer, 2011).
Appendisitis yang tidak segera ditatalaksana akan menimbulkan
komplikasi. Salah satu komplikasi yang paling membahayakan adalah
perforasi. Perforasi terjadi 24 jam setelah timbul nyeri. Gejalanya mencakup
demam dengan suhu 37,7°C atau lebih tinggi, dan nyeri abdomen atau nyeri
tekan abdomen yang kontinyu (Radwan, 2013).
Adenoma hipofisis yang mensekresi ACTH, bersama dengan
hipersekresi kortisol yang tidak tertekan, juga menghasilkan hiperplasia
adrenokortikal bilateral. Dalam kebanyakan kasus, anatomi patologis
pemeriksaan menunjukkan basofilik atau kromofobia adenoma hipofisis
(terutama yang lebih besar). Prevalensi penyakit Cushing adalah sebesar
40:1.000.000 orang dan lebih sering terjadi pada wanita (rasio jenis kelamin 9:1
untuk wanita). Dari semua hipofisis adenoma, fungsional dan non- fungsional,
adenoma yang mensekresi ACTH mewakili sekitar 10-12% atau 5,3% pada
sumber lainnya (Mark S, 2010 ; Nieman LK, et al, 2008 ; Ciubotaru et al, 2011
; Constantinovici, et al.,, 2007 ; Dumitrache, 2015).
World Health Organization (WHO) menyebutkan insiden appendisitis
di dunia tahun 2012 mencapai 7% dari keseluruhan jumlah penduduk dunia
(Ambarwati, 2017) . Di Asia insidensi appendisitis pada tahun 2013 adalah
4,8% penduduk dari total populasi. Sedangkan dari hasil Survey Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia pada tahun 2013 jumlah penderita
appendisitis di Indonesia mencapai 591.819 orang dan meningkat pada tahun
2014 sebesar 596.132 orang (Soewito, 2017).
Berdasarkan data menurut DEPKES RI jumlah klien yang menderita
penyakit appendisitis berjumlah sekitar 26% dari jumlah penduduk di
Kalimantan Timur (Anas, Kadrianti, E., 2013).
Dampak dari appendisitis terhadap kebutuhan dasar manusia
diantaranya kebutuhan dasar cairan, karena penderita mengalami demam tinggi
sehingga pemenuhan cairan berkurang. Kebutuhan dasar nutrisi berkurang
karena klien appendisitis mengalami mual, muntah, dan tidak nafsu makan.
Kebutuhan rasa nyaman penderita mengalami nyeri pada abdomen karena
peradangan yang dialami dan personal hygine terganggu karena penderita
mengalami kelemahan. Kebutuhan rasa aman, penderita mengalami kecemasan
karena penyakit yang di deritanya dan bila tidak terawat, angka kematian cukup
tinggi dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika umbai cacing yang terinfeksi
hancur (Elizabeth J. Corwin, 2011).
Penatalaksanaan klien dengan appendisitis meliputi terapi farmakologi
dan terapi bedah. Terapi farmakologi yang diberikan adalah antibiotik, cairan
intravena dan analgetik. Antibiotik dan cairan intravena diberikan sampai
pembedahan dilakukan, analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan
(W. Sofiah, 2017).
Masalah keperawatan yang akan muncul pada kasus preoperatif
appendisitis yaitu nyeri akut, hipertermia, dan ansietas, sedangkan masalah
keperawatan yang akan muncul pada kasus post operatif appendisitis yaitu nyeri
akut, resiko infeksi, resiko hypovolemia. Sebelum dilakukan pembedahan
perawat perlu memprioritaskan tindakan keperawatan yang dilakukan yaitu
dengan mengurangi nyeri, mencegah terjadinya komplikasi pre operatif, dan
memberikan informasi tentang kondisi atau prognosis dan kebutuhan
pengobatannya, terutama yang akan menjalani tindakan operasi agar tidak
menimbulkan kecemasan bagi klien (Soewito, 2017).
2. Rumusan Masalah
a. Apa itu apendisitis ?
b. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan pencernaanapendisitis
?
3. Tujuan
a. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien gangguan
pencernaanapendisitis
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian

Appendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan


penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini menyerang semua umur baik
laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30
tahun dan merupakan penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan
dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer & Bare,
2013).
Appendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus
ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan
penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi (Anonim, 2007 dalam Docstoc, 2010).

B. Anatomi & Fisiologi Appendicitis


a. Anatomi Appendisitis
Appendiks vermiformis atau yang sering disebut sebagai apendiks adalah organ
berbentuk tabung dan sempit yang mempunyai otot dan banyak mengandung
jaringan limfoid. Panjang apendiks vermiformis bervariasi dari 3-5 inci (8-13 cm).
Dasarnya melekat pada 9 permukaan aspek posteromedial caecum, 2,5 cm dibawah
junctura iliocaecal dengan lainnya bebas. Lumennya melebar di bagian distal dan
menyempit di bagian proksimal (S. H. Sibuea, 2014).
Apendiks vermiformis terletak pada kuadran kanan bawah abdomen di region
iliaca dextra. Pangkalnya diproyeksikan ke dinding anterior abdomen pada titik
sepertiga bawah yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dan umbilicus
yang disebut titik McBurney (Siti Hardiyanti Sibuea, 2014). Hampir seluruh
permukaan apendiks dikelilingi oleh peritoneum dan mesoapendiks (mesenter dari
apendiks) yang merupakan lipatan peritoneum berjalan kontinue disepanjang
apendiks dan berakhir di ujung apendiks. Vaskularisasi dari apendiks berjalan
sepanjang mesoapendiks kecuali di ujung dari apendiks dimana tidak terdapat
mesoapendiks. Arteri apendikular, derivate cabang inferior dari arteri ileocoli yang
merupakan trunkus mesentrik superior. Selain arteri 10 apendikular yang
memperdarahi hampir seluruh apendiks, juga terdapat kontribusi dari arteri
asesorius. Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari vena ileocolic berjalan
ke vena mesentrik superior dan kemudian masuk ke sirkulasi portal (Eylin, 2009).
b. Fisiologi Appendisitis
Secara fisiologis, apendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml per hari. Lendir
normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalirkan ke sekum.
Hambatan aliran lendir di muara apendiks berperan pada patogenesis apendiks.
Immunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lympoid
Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran pencerna termasuk apendiks ialah IgA.
Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh (Arifin, 2014).

C. Etiologi
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor prediposisi yaitu:

1. Infeksi virus Yersinia Entercolitica

2. Fekalit massa feses yang keras

3. Benda asing (makanan yang keras dapat membuat iritasi pada dinging apendiks)
4. Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun
(remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada
masa tersebut.

D. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh infeksi virus yersinia entercolitica, fekalit massa
feses yang keras, dan adanya benda asing (atau bisa juga disebabkan oleh makanan yang
keras yang kita makan dan menimbulkan iritasi pada dinding usus).

Ketika terjadi ulserasi/ iritasi pada dinding lambung yang disebabkan oleh faktor
tersebut, maka terjadilah inflamasi/radang pada usus (apendisitis), bisa diterapi dengan
pembedahan atau pengobatan tertentu. Ketika terjadi peradangan pada sel-sel apendiks
maka hal ini dapat menyebabkan tertariknya sel-sel darah merah dan sel-sel darah putih
makrofag, sel T helper ke dalam jaringan yang iritasi tersebut, akhirnya akan terjadi
pembengkakan atau oedem, semakin besar pembengkakan yang terjadi maka terjadi
penyumbatan/obstruksi pada apendiks yang menghalangi keluarnya mucus yang
dihasilkan oleh apendiks tersebut, semakin lama semakin tersumbat dan terjadi
distensi/peningkatan tekanan intraapendiks, sehingga tekanan di apendik semakin besar
dan menghalangi aliran darah ke apendik dan pembuluh darah yang ke apendik terhambat
karena tertekannya oleh edem, dan terjadi penyumbatan dan mengakibatkan darah tidak
bisa mengalir dan terjadilah hipoksia jaringan, dan terjadi kematian jaringan, ketika terjadi
kematian jaringan akan terjadi gangren/ jaringan yang membusuk akibat tidak dapat di
alirkan darah, oksigen dan nutrisi dan terjadilah ruptur apendik dan perforasi
E. Klasifikasi
Klasifikasi appendisitis terbagi menjadi dua yaitu, appendisitis akut dan
appendisitis kronik (Sjamsuhidajat & de jong, 2010):
a. Appendisitis akut.
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala appendisitis akut talah nyeri samar-
samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar
umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu
makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney.
Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
nyeri somatik setempat.
b. Appendisitis kronik.
Diagnosis appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya :
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik appendisitis kronik adalah
fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks,
adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan adanya sel inflamasi kronik.
Insiden appendisitis kronik antara 1-5%. 13

F. Manifestasi Klinis
 Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya demam ringan
 Mual, muntah
 Anoreksia, malaise
 Nyeri lepas lokal pada titik Mc. Burney
 Spasme otot
 Konstipasi, diar
G. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Wijaya & Putri, 2013) penatalaksanaan medis pada appendisitis meliputi :
 Sebelum operasi
1) Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala appendisitis seringkali belum jelas, dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilaksanakan. Kliendiminta melakukan tirah baring dan
dipuasakan. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik, foto abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya
penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
2) Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksidan abses intra abdominal luka operasi pada klien apendiktomi.Antibiotik diberikan sebelum, saat, hingga 24 jam pasca operasi dan melalui
cara pemberian intravena (IV) (Sulikhah, 2014).
 Operasi
Tindakan operasi yang dapat dilakukan adalah apendiktomi. Apendiktomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara membuang apendiks (Wiwik Sofiah, 2017). Indikasi dilakukannya
16 operasi apendiktomi yaitu bila diagnosa appendisitis telah ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Pada keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksan penunjang USG atau CT scan.
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal dengan insisi pada abdomen bawah. Anastesi diberikan untuk memblokir sensasi rasa sakit. Efek dari anastesi yang sering
terjadi pada klien post operasi adalah termanipulasinya organ abdomen sehingga terjadi distensi abdomen dan menurunnya peristaltik usus. Hal ini mengakibatkan belum munculnya peristaltik usus
(Mulya, 2015) .
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Kiik, 2018) dalam 4 jam pascaoperasi klien sudah boleh melakukan mobilisasi bertahap, dan dalam 8 jam pertamasetelah perlakuan mobilisasi dini
pada klien pasca operasi abdomen terdapat peningkatan peristaltik ususbahkan peristaltik usus dapat kembali normal. Kembalinya fungsi peristaltik usus akan memungkinkan pemberian diet, membantu
pemenuhan kebutuhan eliminasi serta mempercepat proses penyembuhan.

Operasi apendiktomi dapat dilakukan dengan 2 teknik, yaitu operasi apendiktomi terbuka dan laparaskopi apendiktomi. Apendiktomi terbuka dilakukandengan cara membuat sebuah sayatan dengan
panjang sekitar 2 – 4 inci pada kuadran kanan bawah abdomen dan apendiks dipotong melalui lapisan lemak dan otot apendiks. Kemudian apendiks diangkat atau dipisahkan dari usus (Dewi, 2015). 17
Sedangkan pada laparaskopi apendiktomi dilakukan dengan membuat 3 sayatankecil di perut sebagai akses, lubang pertama dibuat dibawah pusar, fungsinya untuk memasukkan kamera super mini yang
terhubung ke monitor ke dalam tubuh, melalui lubang ini pula sumber cahaya dimasukkan. Sementara dua lubang lain di posisikan sebagai jalan masuk peralatan bedah seperti penjepit atau gunting.
Ahli bedah mengamati organ abdominal secara visual dan mengidentifikasi apendiks. Apendiks dipisahkan dari semua jaringan yang melekat, kemudian apendiks diangkat dan dikeluarkan melalui
salah satu sayatan (Hidayatullah, 2014).
Operasi apendiktomi dapat dilakukan dengan 2 teknik, yaitu operasi apendiktomi
terbuka dan laparaskopi apendiktomi. Apendiktomi terbuka dilakukandengan cara
membuat sebuah sayatan dengan panjang sekitar 2 – 4 inci pada kuadran kanan
bawah abdomen dan apendiks dipotong melalui lapisan lemak dan otot apendiks.
Kemudian apendiks diangkat atau dipisahkan dari usus (Dewi, 2015). 17 Sedangkan
pada laparaskopi apendiktomi dilakukan dengan membuat 3 sayatankecil di perut
sebagai akses, lubang pertama dibuat dibawah pusar, fungsinya untuk memasukkan
kamera super mini yang terhubung ke monitor ke dalam tubuh, melalui lubang ini
pula sumber cahaya dimasukkan. Sementara dua lubang lain di posisikan sebagai
jalan masuk peralatan bedah seperti penjepit atau gunting. Ahli bedah mengamati
organ abdominal secara visual dan mengidentifikasi apendiks. Apendiks dipisahkan
dari semua jaringan yang melekat, kemudian apendiks diangkat dan dikeluarkan
melalui salah satu sayatan (Hidayatullah, 2014).
Jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka abdomen dicuci dengan
garam fisiologis dan antibiotika.Tindakan pembedahan dapat menimbulkan luka
insisi sehingga pada klien post operatif apendiktomi dapat terjadi resiko infeksi luka
operasi.
 Pasca operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernapasan. Klien
dibaringkan dalam posisi terlentang. Klien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak
terjadi gangguan. Puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada appendicitis berupa pemeriksaan laboratorium darah dan
pencitraan.

 Appendicogram. Appendicogram menggunakan BaSO4 (barium sulfat) yang


diencerkan dengan air menjadi suspensi barium dan dimasukkan secara oral atau
melalui anus (barium enema). Hasil dari pemeriksaan ini dapat menggambarkan
kelainan pada apendiks, termasuk adanya sumbatan pada pangkal apendiks.

 Laboratorium Darah. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada pasien


adalah hitung jenis leukosit, presentasi neutrophil, dan C-Reactive Protein (CRP).
Peningkatan leukosit dengan atau tanpa shift to the left dapat ditemukan, namun hampir
sepertiga pasien dengan appendicitis memiliki kadar leukosit yang normal. Adanya
peningkatan pada pemeriksaan leukosit dan CRP berkolerasi dengan peningkatan
kemungkinan appendicitis komplikata. Jumlah leukosit 10.000 sel/mm3 dihubungkan
dengan appendicitis akut, jumlah leukosit di atas 17.000 sel/mm3 dikaitkan dengan
appendicitis komplikata, termasuk appendicitis perforasi dan gangren.[1,2]

 Ultrasonografi Abdomen. Pada kondisi sehat apendiks tidak dapat terlihat pada USG.
Bila terdapat appendicitis, tampak struktur tubular berukuran 7-9 mm yang tidak hilang
dengan penekanan. Namun bila apendiks tidak nampak, diagnosis appendicitis tidak
dapat dikonfirmasi atau dieksklusi. USG sangat dipengaruhi oleh keterampilan operator
yang melakukan pemeriksaan. Secara umum, sensitivitas pemeriksaan USG untuk
appendicitis sebesar 86% dan spesifisitas 81%.[1,3,6]

 CT Scan Abdomen. CT Scan tidak rutin dilakukan karena paparan radiasi yang lebih
tinggi dan meningkatkan beban biaya pada pasien. CT Scan abdomen memiliki akurasi
di atas 95% untuk mendiagnosis appendicitis. Kriteria appendicitis pada CT Scan
adalah apendiks yang memiliki ukuran diameter lebih dari 6 mm, penebalan dinding
apendiks lebih dari 2 mm, dan adanya appendikolith yang dapat ditemukan pada 25%
pasien.[2]

 MRI Abdomen. MRI abdomen sangat jarang diperlukan untuk mendiagnosis


appendicitis. Pemeriksaan ini dapat dipertimbangkan jika nyeri perut yang mengarah
ke appendicitis dialami oleh wanita hamil.

I. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan appendisitis.Adapun jenis
komplikasi menurut (Sulekale, 2016) adalah :
a. Abses
Abses merupakan peradangan apendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mulamula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi apabila appendisitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum. Operasi appendektomi untuk
kondisi abses apendiks dapat dilakukan secara dini (appendektomi dini) maupun
tertunda (appendektomi interval). Appendektomi dini merupakan appendektomi yang
dilakukan segera atau beberapa hari setelah kedatangan klien di rumah sakit. Sedangkan
appendektomi interval merupakan appendektomi yang dilakukan setelah terapi
konservatif awal, berupa pemberian antibiotika intravena selama beberapa minggu.
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar
ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam.Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus
dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,5°
C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
Polymorphonuclear (PMN). Perforasi baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan terjadinya peritonitis. Perforasi memerlukan
pertolongan medis segera untuk membatasi 19 pergerakan lebih lanjut atau kebocoran
dari isi lambung ke rongga perut. Mengatasi peritonitis dapat dilakukan oprasi untuk
memperbaiki perforasi, mengatasi sumber infeksi, atau dalam beberapa kasus
mengangkat bagian dari organ yang terpengaruh .
c. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum dapat menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya
cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen,
demam, dan leukositosis. Penderita peritonitis akan disarankan untuk menjalani rawat
inap di rumah sakit.
Beberapa penanganan bagi penderita peritonitis adalah :
1. Pemberian obat-obatan. Penderita akan diberikan antibiotik suntik atau obat
antijamur bila dicurigai penyebabnya adalah infeksi jamur, untuk mengobati
serta mencegah infeksi menyebar ke seluruh tubuh. Jangka waktu pengobatan
akan disesuaikan dengan tingkat keparahan yang dialami klien.
2. Pembedahan. Tindakan pembedahan dilakukan untuk membuang jaringan yang
terinfeksi atau menutup robekan yang terjadi pada organ dalam.
J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Identitas klien. Apendisitis dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun
(Mansjoer,2010).
2. Keluhan utama. Pada anak dengan apendisitis biasanya memiliki keluhan Nyeri
terasa pada abdomen kuadran bawah dan biasanya disertai oleh demam ringan,
mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang. Yang harus dikaji adalah nyeri, mual muntah
dan penurunan nafsu makan
b. Riwayat kesehatan dahulu. Yang harus dikaji antara lain penyakit
sebelumnya, apakah pernah dirawat di RS sebelumnya, obat-obatan yang
digunakan sebelumnya, riwayat alergi, riwayat operasi sebelumnya atau
kecelakaan dan imunisasi dasar.
c. Riwayat kesehatan keluarga. Yang harus dikaji adalah riwayat penyakit
apendisitis dalam keluarga dan penyakit keturunan dalam keluarga sperti
DM, Hipertensi, dll.
4. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : kesadaran composmentis, wajah tampak menyeringai, konjungtiva
anemis.
a. Sistem kardiovaskuler : ada distensi vena jugularis, pucat, edema, TD
>110/70mmHg; hipertermi.
b. Sistem respirasi : frekuensi nafas normal (16-20x/menit), dada simetris, ada
tidaknya sumbatan jalan nafas, tidak ada gerakan cuping hidung, tidak terpasang
O2, tidak ada ronchi, whezing, stridor.
c. Sistem hematologi : terjadi peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya
infeksi dan pendarahan.
d. Sistem urogenital : ada ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit pinggang
serta tidak bisa mengeluarkan urin secara lancer.
e. Sistem muskuloskeletal : ada kesulitan dalam pergerakkan karena proses
perjalanan penyakit.
f. Sistem Integumen : terdapat oedema, turgor kulit menurun, sianosis, pucat.
g. Abdomen : terdapat nyeri lepas, peristaltik pada usus ditandai dengan distensi
abdomen
K. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri Akut (D.0077)
2. Hipertermia (D.00130)
3. Gangguan Rasa Nyaman (D.0074)
4. Risiko Ketidakseimbangan Cairan (D.0036)
5. Ansietas (D.0080)
6. Risiko Defisit Nutrisi (D.0032)
7. Risiko infeksi (D.0142)

L. Intervensi Keperawatan
N0. Diagnosa Keperawatan Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
1. Nyeri Akut (D.0077) Tingkat Nyeri (L.08066) Manajemen nyeri (I.08238).

Setelah dilakukan tindakan Observasi :


keperawatan 3x24 jam diharapkan 1. Identifikasi lokasi ,
tingkat nyeri menurun dengan kriteria karakteristik, durasi, frekuensi,
hasil : kulaitas nyeri, skala nyeri,
1. Keluhan nyeri menurun. intensitas nyeri
2. Meringis menurun 2. Identifikasi respon nyeri non
3. Sikap protektif menurun. verbal.
4. Gelisah menurun. 3. Identivikasi factor yang
memperberat dan
memperingan nyeri.
Terapeutik :
1. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
2. Fasilitasi istirahat dan tidur.
3. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri.
Edukasi :
1. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
2. Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
analgetik jika perlu
2. Hipertermia (D.00130) Termoregulasi (L.14134) Manajemen hipertermia (I.15506).

Setelah dilakukan tindakan Observasi :


keperawatan 1x8 jam diharapkan suhu 1. Identifikasi penyebab
tubuh tetap berada pada rentang hipertermia.
normal dengan kriteria hasil : 2. Monitor suhu tubuh.
1. Menggigil menurun. 3. Monitor haluaran urine.
2. Takikardi menurun. Terapeutik :
3. Suhu tubuh membaik. 1. Sediakan lingkungan yang
4. Suhu kulit membaik. dingin.
2. Longgarkan atau lepaskan
pakaian.
3. Berikan cairan oral

3. Risiko Ketidakseimbangan Keseimbangan cairan (L.05020) Manajemen Cairan (I.03098)


Cairan (D.0036)

Setelah dilakukan tindakan Observasi:


keperawatan 3x24 jam diharapkan 1. Monitor status hidrasi
keseimbangan cairan meningkat, 2. Monitor berat badan harian
dengan kriteria hasil : 3. Monitor berat badan
1. Asupan cairan meningkat sebelumdan sesudah dialitas
2. Haluaran urine 4. Monitor hasil pemeriksaan
3. Edema laboratorium
4. Asites 5. Monitor status dinamik
Terapeutik :
1. Catat intake output dan hitung
balance cairan
2. Berikan asupan cairan sesuai
kebutuhan
3. Berikan cairan intravena jika
perlu
4. Gangguan Rasa Nyaman Status Kenyamanan (L.08064) Terapi Relaksasi (I.09326)
(D0074)
Setelah dilakukan tindakan Observasi :
1. Identifikasi penurunan tingkat
keperawatan 3x24 jam diharapkan
energi
status kenyamanan meningkat,
2. Identifikasi teknik relaksasi
dengan kriteria hasil :
yang pernah efektif digunakan
1. Keluhan tidak nyaman menurun
3. Periksa ketegangan otot,
2. Gelisah menurun
frekuensi nadi, tekanan darah,
3. Keluhan sulit tidur menurun
dan suhu sebelum dan sesudah
4. Tingkat kelelahan menurun
makan
Terapeutik :
1. Ciptakan lingkungan tenang,
dan tanpa gangguan
2. Berikan informasi tertulis
tentang persiapan dan prosedur
teknik relaksasi
3. Gunakan relaksasi sebagai
strategi penunjang dengan
analgetik atau tindakan medis
lain jika sesuai
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan manfaat,
batasan, dan jenis relaksasi yang
tersedia
2. Anjurkan mengambil posisi
yang nyaman
3. Anjurkan sering mengulangi
atau melatih teknik yang dipilih
5. Ansietas (D.0080) Tingkat Ansietas (L.09093) Reduksi ansietas (I.09314).

Setelah dilakukan tindakan Observasi :


keperawatan 3x24 jam diharapkan 1. Identifikasi saat tingkat
tingkat ansietas menurun dengan ansietas berubah.
kriteria hasil : 2. Identifikasi kemampuan
1. Verbalisasi kebingungan mengambil keputusan
menurun. 3. Monitor tanda tanda
2. Verbalisasi khawatir akibat ansietas(verbal non verbal).
menurun. Terapeutik :
3. Perilaku gelisah menurun. 1. Temani klien untuk
4. Perilaku tegang menurun mengurangi kecemasan jika
perlu.
2. Dengarkan dengan penuh
perhatian.
3. Gunakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan.
Edukasi ;
1. Jelaskan prosedur, termasuk
sensasi yang mungkin dialami.
2. Anjurkan keluarga untuk tetap
bersama klien, jika perlu.
3. Anjurkan mengungkapkan
perasaan dan persepsi.
4. Latih teknik relaksasi.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian obat
antiansietas jika perlu.
6. Risiko Infeksi (D.0142) Tingkat Infeksi (L.14137) Pencegahan infeksi (I.14539)

Setelah dilakukan tindakan Observasi :


keperawatan 3x24 jam dengan kriteria 1. Monitor tanda dan gejala
hasil : infeksi local dan sistemik.
1. Kebersihan tangan meningkat. 2. Batasi jumlah pengunjung
2. Kebersihan badan meningkat. 3. Berikan perawatan kulit pada
3. Demam, kemerahan, nyeri, area edema.
bengkak menurun. 4. Cuci tangan sebelum dan
4. Kadar sel darah putih sesudah kontak dengan klien
meningkat. dan lingkungan klien.
5. Pertahankan teknik aseptic
pada klien beresiko tinggi
Edukasi :
1. Jelaskan tanda dan gejala
infeksi.
2. Ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar.
3. Ajarkan etika batuk.
4. Anjurkan meningkatkatkan
asupan nutrisi.
5. Anjurkan meningkatkan
asupan cairan.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
imunisasi jika perlu
7. Risiko Defisit Nutrisi Status Nutrisi (L.03030) Manajemen Gangguan Makan
(D.0032) (I.03111)
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan 3x24 jam status nutrisi
Observasi :
terpenuhi, dengan kriteria hasil :
1. Monitor asupan keluarnya
1. Porsi makanan yang
makanan dan cairan serta
dihabiskan
kebutuhan kalori
2. Berat badan/IMT
Terapeutik :
3. Frekuensi makan
1. Timbang berat badan secara
4. Nafsu makan meningkat
rutin
5. Perasaan cepat kenyang 2. Diskusikan perilaku makan dan
menurun
jumlah aktivitas fisik (termasuk
olahraga) yang sesuai
3. Didampingi ke kamar mandi
untuk pengamatan perilaku
memuntahkan kembali
makanan
4. Lakukan kontrak perilaku (mis.
Target berat badan, tanggung
jawab perilaku)
5. Berikan penguatan positif
terhadap keberhasilan target
dan perubahan perilaku
6. Berikan konsekuensi jika tidak
mencapai target sesuai kontrak
7. Rencanakan program
pengobatan untuk perawatan
dirumah (mis.konseling)
Edukasi
1. Anjurkan membuat catatan
harian tentangperasaan dan
situasi pemicu pengeluaran
makanan
2. Ajarkan pengaturan diet yang
tepat
3. Ajarkan keterampilan koping
untuk penyelesaian masalah
perilaku makan
Kolaborasi:
1. Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang target berat badan
kebutuhan kalori dan pilihan
makanan yang tepat.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Appendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab
nyeri abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini menyerang semua umur baik laki-laki
maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun dan
merupakan penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dan
merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat
B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran
serta kritik konstruktif dari pembaca sangat kami perlukan agar dapat meningkatkan
kualitas makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Asripa. 2018. ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH PADATn.M DENGAN


“APENDIKSITIS” DI PUSKESMAS KOTO BARU KEC. LENGAYANG KAB. PESISIR
SELATAN 2018. KTI. Bukit tinggi

Anas, Kadrianti, E., & I. (2013). Pengaruh Tindakan Mobilisasi Terhadap Penyembuhan Luka
Post Operasi Usus Buntu (Appendicitis) Di RSI Faisal Makassar.

Arifin, D. S. (2014). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Post Operatif Apendiktomy et
cause Appendisitis Acute.

PPNI, 2017. Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI.
Jakarta.

PPNI, 2018. Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) edisi 1 cetakan II. DPP PPNI.
Jakarta.

PPNI, 2019. Standart I Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI)edisi 1 cetakan II. DPP PPNI.
Jakarta

SAVITRI, A. E. (2018). ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN PRE DAN POST OPERASI
APENDISITIS DENGAN DIAGNOSA KEPERAWATAN NYERI AKUT DI PAVILIUN MAWAR
RSUD JOMBANG (Doctoral dissertation, Universitas Pesantran Tinggi Darul'Ulum).

Anda mungkin juga menyukai