Kelompok 19 - Inkontinensia Urin
Kelompok 19 - Inkontinensia Urin
MEDIKAL BEDAH II
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Sistem Perkemihan
(Inkontinensia Urin)
DISUSUN OLEH
KELOMPOK XIX
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur serta nikmat kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-
Nya yang melimpah sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Keperawatan Medikal
Bedah II ini. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal
Bedah II dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan (Inkontinensia Urin).
Dalam penyusunan makalah ini, tentu tak lepas dari pengarahan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Maka kami dari tim penyusun mengucapkan rasa hormat dan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu. Karena kebaikan semua pihak yang telah
membantu, maka kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Makalah
ini memang masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, kritik dan saran dari seluruh
pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan
ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum
pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di
dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding
depan vagina disertai sistouretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan
prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik. Angka kejadian
bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati.
Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami
gangguan ini. Gangguan ini bisa mengenai wanita segala usia. Prevalensi dan berat
gangguan meningkat dengan bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15 tahun
atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada usia 35-65 tahun mencapai 12%.
Prevalansi meningkat sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara
didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat
sampai 20% pada wanita dengan 5 anak. Pada wanita umumnya inkontinensia
merupakan inkontinensia stres, artinya keluarnya urine semata-mata karena batuk,
bersin dan segala gerakan lain dan jarang ditemukan adanya inkontinensia desakan,
dimana didapatkan keinginan miksi mendadak. Keinginan ini demikian mendesaknya
sehingga sebelum mencapai kamar kecil penderita telah membasahkan celananya.
Jenis inkontinensia ini dikenal karena gangguan neuropatik pada kandung kemih.
Sistitis yang sering kambuh, juga kelainan anatomik yang dianggap sebagai penyebab
inkontinensia stres, dapat menyebabkan inkontinensia desakan. Sering didapati
inkontinensia stres dan desakan secara bersamaan.
Tujuan penyajian referat ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut mengenai
inkontinensia urine, jenis-jenis dan cara penanganannya. Pemahaman yang lebih baik
akan membantu usaha mengatasi gangguan ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1
c. Bagaimana Manifestasi klinis pada pasien dengan gangguan inkontinensia urin
d. Bagaimana patofisiologi inkontinensia urin
e. Bagaimana pathway inkontinensia urin
f. Bagaimana klasifikasi inkontinensia urin
g. Bagaimana penalataksanaan inkontinensia urin
h. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk inkontinensia urin
i. Bagaimana asuhan keperawatan untuk inkontinensia urin
C. C. TUJUAN
a. Untuk memahami pengertian dari inkontinesia urine.
b. Untuk mengetahui etiologi inkontinensia urin.
c. Untuk mengetahui maninfestasi klinis inkontinensia urin.
d. Untuk mengetahui patofisiologi inkontinensia urin.
e. Untuk mengetahui pathway inkontinensia urin
f. Untuk mengetahui klasifikasi inkontinensia urin.
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan inkontinensia urin.
h. Untuk mengetahui Pemeriksaan penunjang inkontinensia urin.
i. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan inkontinensia urin
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Inkontinensia urin merupakan pengeluaran urin yang tidak terkendali pada waktu
yang tidak dikehendaki dan tidak melihat jumlah maupun frekuensinya, keadaan ini dapat
menyebabkan masalah fisik, emosional, sosial dan kebersihan (Kurniasari, 2016). Proses
berkemih yang normal adalah suatu proses dinamik yang secara fisiologik berlangsung
dibawah kontrol dan koordinasi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi di daerah sacrum.
Sensasi pertama ingin
berkemih biasanya timbul pada saat volume kandung kemih mencapai 150–350 ml.
Umumnya kandung kemih dapat menampung urin sampai kurang lebih 500 ml tanpa terjadi
kebocoran. Frekuensi berkemih yang normal adalah tiap 3 jam sekali atau tidak lebih dari 8
kali sehari (Wahab, 2016). Menurut penelitian Junita, (2013) rata-rata lansia yang mengalami
inkontinensia urin akan berkemih sebanyak 12 kali selama 24 jam.
D. ETIOLOGI
Menurut Soeparman & Wapadji Sarwono, (2001) dalam Aspiani, (2014) faktor
penyebab inkontinensia urin antara lain :
a. Poliuria. Poliuria merupakan kelainan frekuensi buang air kecil karena kelebihan
produksi urin. Pada poliuria volume urin dalam 24 jam meningkat melebihi batas
normal karena gangguan fungsi ginjal dalam mengonsentrasi urin.
b. Nokturia. Kondisi sering berkemih pada malam hari disebut dengan nokturia.
Nokturia merupakan salah satu indikasi adanya prolaps kandung kemih.
c. Faktor usia. Inkontinensia urin lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun karena
terjadinya penurunan tonus otot pada saluran kemih.
d. Penurunan produksi estrogen (pada wanita) Penurunan produksi estrogen dapat
menyebabkan atropi jaringan uretra sehingga uretra menjadi kaku dan tidak elastis.
e. Operasi pengangkatan Rahim. Pada wanita, kandung kemih dan rahim didukung
oleh beberapa otot yang sama. Ketika rahim diangkat, otot-otot dasar panggul
tersebut dapat mengalami kerusakan, sehingga memicu inkontinensia.
f. Frekuensi melahirkan. Melahirkan dapat mengakibatkan penurunan otot-otot dasar
panggul.
g. Merokok. Merokok dapat menyebabkan kandung kemih terlalu aktif karena efek
nikotin pada dinding kandung kemih.
3
h. Konsumsi alkohol dan kafein. Mengonsumsi alkohol dan kafein dapat
menyebabkan inkontinensia urin karena keduanya bersifat diuretik sehingga dapat
meningkatkan frekuensi berkemih.
i. Obesitas. Berat badan yang berlebih meningkatkan resiko terkena inkontinensia urin
karena meningkatnya tekanan intra abdomen dan kandung kemih. Tekanan intra
abdomen menyebabkan panjang uretra menjadi lebih pendek dan melemahnya
tonus otot.
j. Infeksi saluran kemih. Gejala pada orang yang mengalami infeksi saluran kemih
biasanya adalah peningkatan frekuensi berkemih. Frekuensi berkemih yang
semakin banyak akan menyebabkan melemahnya otot pada kandung kemih
sehingga dapat terjadi inkontinensia urin
E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang terjadi pada inkontinensia urine antara lain :
1. Sering berkemih: merupakan gejala urinasi yang terjadi lebih sering dari normal
bila di bandingkan denga pola yang lazim di miliki seseorang atau lebih sering dari
normal yang umumnya di terima, yaitu setiap 3-6 jam sekali.
2. Frekuensi: berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali dalam waktu 24
jam.
3. Nokturia: malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk berkemih.
4. Urgensi yaitu keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih walaupun
penderita belum lama sudah berkemih dan kandung kemih belum terisi penuh seperti
keadaan normal.
5. Urge inkontinensia yaitu dorongan yang kuat sekali unuk berkemih dan tidak dapat
ditahan sehingga kadang–kadang sebelum sampai ke toilet urine telah keluar lebih
dulu.
Orang dengan inkontinensia urine mengalami kontraksi yang tak teratur pada
kandung kemih selama fase pengisian dalam siklus miksi. Urge inkontinensia
merupakan gejala akhir pada inkontinensia urine. Jumlah urine yang keluar pada
inkontinensia urine biasanya lebih banyak daripada kapasitas kandung kemih yang
menyebabkan kandung kemih berkontraksi untuk mengeluarkan urine. Pasien dengan
inkontinensia urine pada mulanya kontraksi otot detrusor sejalan dengan kuatnya
keinginan untuk berkemih, akan tetapi pada beberapa pasien mereka menyadari
4
kontraksi detrusor ini secara volunter berusaha membantu sfingter untuk menahan
urine keluar serta menghambat kontraksi otot detrusor, sehingga keluhan yang
menonjol hanya urgensi dan frekuansi yaitu lebih kurang 80 %. Nokturia hampir
ditemukan 70 % pada kasus inkontinensia urine dan simptom nokturia sangat erat
hubungannya dengan nokturnal enuresis. Keluhan urge inkontinensia ditemukan
hanya pada sepertiga kasus inkontinensia urine.
F. PATOFISIOLOGI
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain fungsi
sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin. Bisa juga
disebabkan oleh kelainan di sekeliling daerah saluran kencing.. Terjadi hambatan
pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih
sampai kapasitas berlebihan. Ada beberapa pembagian inkontinensia urin, tetapi pada
umumnya dikelompokkan menjadi 4:
1. Inkontinensia stres
Stress urinary incontinence terjadi apabila urin secara tidak terkontrol keluar
akibat peningkatan tekanan di dalam perut. Dalam hal ini, tekanan di dalam
kandung kencing menjadi lebih besar dari pada tekanan pada urethra. Gejalanya
antara lain kencing sewaktu batuk, mengejan, tertawa, bersin, berlari, atau hal
lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat dilakukan
secara tanpa operasi (misalnya dengan kegel exercises, dan beberapa jenis obat-
obatan), maupun secara operasi (cara yang lebih sering dipakai).
2. Inkontinensia urgensi
Urge incontinence timbul pada keadaan otot detrusor yang tidak stabil, dimana
otot ini bereaksi secara berlebihan. Gejalanya antara lain perasaan ingin kencing
yang mendadak, kencing berulang kali, kencing malam hari, dan inkontinensia.
Pengobatannya dilakukan dengan pemberian obat-obatan dan beberapa latihan.
3. Inkontinensia fungsional
Dapat terjadi akibat penurunan yang berat dari fisik dan kognitif sehingga
pasien tidak dapat mencapai ke toiler pada saat yang tepat. Hal ini terjadi pada
demensia berat, gangguan neurologi, gangguan mobilitas dan psikologi
4. Inkontinensia berlebih
5
Pada keadaan ini urin mengalir keluar dengan akibat isinya yang sudah terlalu
banyak di dalam kandung kemih, pada umumnya akibat otot detrusor kandung
kemih yang lemah. Biasanya hal ini bisa dijumpai pada gangguan saraf akibat
dari penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, dan sa
luran kemih yang tersumbut. Gejalanya berupa rasanya tidak puas setelah
berkemih.
G. PATHWAY
A. KLASIFIKASI
6
H. KLASIFIKASI
Klasifikasi Inkontinensia Urin
Menurut Cameron (2013), inkontinensia urin dapat dibedakan menjadi:
a. Inkontinensia urge Keadaan otot detrusor kandung kemih yang tidak stabil, di
mana otot ini bereaksi secara berlebihan. Inkontinensia urin ini ditandai
dengan ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul,
manifestasinya dapat berupa perasaan ingin berkemih yang mendadak (urge),
berkemih berulang kali (frekuensi) dan keinginan berkemih di malam hari
(nokturia).
b. Inkontinensia stress Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin dengan secara
tidak terkontrol keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut,
melemahnya otot dasar panggul, operasi dan penurunan estrogen. Pada
gejalanya antara lain keluarnya urin sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin,
berlari, atau hal yang lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut.
c. Inkontinensia overflow Pada keadaan ini urin mengalir keluar dengan akibat
isinya yang sudah terlalu banyak di dalam kandung kemih, pada umumnya
akibat otot detrusor kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini bisa
dijumpai pada gangguan saraf akibat dari penyakit diabetes, cedera pada
sumsum tulang belakang, dan saluran kemih yang tersumbut. Gejalanya
berupa rasanya tidak puas setelah berkemih (merasa urin masih tersisa di
dalam kandung kemih), urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah.
d. Inkontinensia fungsional Dapat terjadi akibat penurunan yang berat dari fungsi
fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai ke toilet pada saat
yang tepat. Hal ini terjadi pada demensia berat, gangguan neurologi, gangguan
mobilitas dan psikologi.
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Inkontinensia Urin
Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Aspiani (2014) yaitu dengan
mengurangi faktor risiko, mempertahankan homeostatis, mengontrol inkontinensia urin,
modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis, dan pembedahan. Dari beberapa
hal tersebut, dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih Yang dicatat dalam kartu catatan yaitu waktu
berkemih, jumlah urin yang keluar baik secara normal maupun karena tak tertahan.
7
Banyaknya minuman yang diminum, jenis minuman yang diminum, dan waktu
minumnya juga dicatat dalam catatan tersebut.
b. Terapi non farmakologi Terapi ini dilakukan dengan cara mengoreksi penyebab
timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, dan hiperglikemi. Cara yang dapat dilakukan adalah :
1) Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih) dilakukan dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga waktu
berkemih 6-7x/hari. Lansia diharapkan mampu menahan keinginan berkemih
sampai waktu yang ditentukan. Pada tahap awal, diharapkan lansia mampu
menahan keinginan berkemih satu jam, kemudian meningkat 2- 3 jam.
2) Promited voiding yaitu mengajari lansia mengenali kondisi berkemih. Hal ini
bertujuan untuk membiasakan lansia berkemih sesuai dengan kebiasaannya.
Apabila lansia ingin berkemih diharapkan lansia memberitahukan petugas.
Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif.
3) Melakukan latihan otot dasar panggul atau latihan kegel. Latihan kegel ini
bertujuan untuk mengencangkan otot-otot dasar panggul dan mengembalikan
fungsi kandung kemih sepenuhnya serta mencegah prolaps urin jangka
panjang.
c. Terapi farmakologi Obat yang dapat diberikan pada inkontinensia dorongan (urge)
yaitu antikolenergik atau obat yang bekerja dengan memblokir neurotransmitter, yang
disebut asetilkolin yang membawa sinyal otak untuk mengendalikan otot. Ada
beberapa contoh obat antikolenergik antara lain oxybutinin, propanteline, dyclomine,
flsavoxate, dan imipramine. Pada inkontinensia tipe stress diberikan obat alfa
adregenic yaitu obat untuk melemaskan otot. Contoh dari obat tersebut yaitu
pseudosephedrine yang berfungsi untuk meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter
yang mengalami relaksasi diberikan obat kolinergik agonis yang bekerja untuk
meningkatkan fungsi neurotransmitter asetilkolin baik langsung maupun tidak
langsung. Obat kolinergik ini antara lain bethanechol atau alfakolinergik antagonis
seperti prazosin untuk menstimulasi kontraksi.
d. Terapi pembedahan Terapi ini bisa dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress
dan urge, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Pada
inkontinensia overflow biasanya dilakukan pembedahan untuk mencegah retensi urin.
8
Terapi ini biasanya dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat,
dan prolaps pelvis.
e. Modalitas lain Terapi modalitas ini dilakukan bersama dengan proses terapi dan
pengobatan masalah inkontinensia urin, caranya dengan menggunakan beberapa alat
bantu bagi lansia antara lain pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal dan
bedpan.
J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Artinawati (2014) terdapat beberapa pemeriksaan penunjang untuk
masalah inkontinensia urin, antara lain :
a. Urinalis Spesimen urin yang bersih diperiksa untuk mengetahui penyebab
inkontinensia urin seperti hematuria, piuria, bakteriuria, glukosuria, dan proteinuria.
b. Pemeriksaan darah Dalam pemeriksaan ini akan dilihat elektrolit, ureum,
kreatinin, glukosa, dan kalsium serum untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi
yang menyebabkan poliuria.
c. Tes laboratorium tambahan Tes ini meliputi kultur urin, blood urea nitrogen,
kreatinin, kalsium, glukosa, dan sitologi.
d. Tes diagnostik lanjutan 1) Tes urodinamik untuk mengetahui anatomi dan
fungsi saluran kemih bagian bawah 2) Tes tekanan uretra untuk mengukur tekanan di
dalam uretra saat istirahat dan saat dinamis. 3) Imaging tes untuk saluran kemih
bagian atas dan bawah.
e. Catatan berkemih (voiding record) Catatan berkemih ini dilakukan selama
1-3 hari untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat
waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia
urin, serta gejala yang berhubungan dengan inkontinensia urin.
K. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu
proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Lyer et al, 1996). Pada
tahap pertama (pengkajian) ini kegiatan yang harus dilakukan adalah
mengumpulkan data.
9
a) Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi sistematik tentang
klien termasuk kekuatan dan kelemahan klien. (Carol Vestal Allen,
1998) Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada asuhan
keperawatan kelayan dengan diagnosa medis Inkontinensia Urine
1) Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur,
agama/kepercayaan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, suku
bangsa, alamat, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan
yang ada adalah nokturia, urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan
staguri.
3) Riwakat Penyakit Sekarang Memuat tentang perjalanan penyakit
sekarang sejak timbul keluhan, usaha yang telah dilakukan untuk
mengatasi keluhan.
4) Riwakat Penyakit Dahulu Adanya penyakit yang berhubungan
dengan ISK (Infeksi Saluran Kemih) yang berulang. penyakit kronis
yang pernah diderita.
5) Riwakat Penyakit keluarga Apakah ada penyakit keturunan dari
salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit Inkontinensia
Urine, adakah anggota keluarga yang menderita DM, Hipertensi.
a) Pengelompokan Data Pengelompokan data adalah data yang telah
dikelompokan, selanjutnya dikelompokan menurut data subyektif adalah
menunjukan persepsi dan sensasi kelayan tentang masalah kesehatan dan
data obyektif adalah informasi dimana perawat dapat melihat,
merasakan, mendengar atau menghidu. (Carol Vestal Allen, 1998) .
b. Diagnosis Keperawatan
1. Inkontinensia Stres berhubungan dengan peningkatan tekanan intraabdominal
2. Inkontinensia fungsional berhubungan dengan penurunan tonus kandung
kemih
3. Inkontinensia urgensi berhubungan dengan hiperaktivitas detrusor
4. Inkontinenia overflow berhubungan dengan obtruksi uretra
5. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi uretra
6. Nyeri akut berhubungan dengan distensi kandung kemih
7. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kelembaban
10
8. Resiko harga diri rendah situasional berhubungan penurunan kontrol terhadap
lingkungan
9. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nokturia
10. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
c. Intervensi Keperawatan
NO DIAGNOSA TUJUAN & KRITERIA INTERVENSI
KEPERAWATAN HASIL
1 Inkontinensia Stres Tujuan: PERAWATAN
berhubungan Setelah dilakukan tindakan INKONTINENSIA URINE
dengan keperawatan 2x24 jam Observasi :
peningkatan diharapkan Kontinensia Identifikasi penyebab
tekanan urine membaik inkontinensia urin
intraabdominal Kriteria Hasil : Identifikasi perasaan dan
1. Kemampuan persepsi pasien terhadap
Berkemih inkontinensia urin yang
meningkat dialaminya
2. Nokturia Menurun Monitor keefektifan obat,
3. Frekuensi berkemih pembedahan dan terapi
membaik modalitas berkemih
4. Sensai berkemih Terapeutik :
membaik Bersihkan genital dan kulit
5. Distensi kandung secara rutin
kemih menurun Ambil sampel urin untuk
pemeriksaan urin lengkap
Buat jadwal konsumsi obat-
obatan diuretic
Edukasi :
Jelaskan definisi,
jeni,inkotinensia,
Penyebabnya
Jelaskan program
penanganan inkontinensia
11
urin
Anjurkan batasi konsumsi
cairan 2-3 jam jelang tidur
Anjurkan konsumsi buah
dan sayur untuk
menghindari konstipasi
Anjurkan minum mnimal
1500cc/hari
Kolaborasi :
Rujuk ke ahli inkotinensia
2 Inkontinensia Tujuan: LATIHAN BERKEMIH
fungsional Setelah dilakukan tindakan Observasi :
berhubungan keperawatan 2x24 jam Periksa kembali penyebab
dengan penurunan diharapkan Kontinensia gangguan berkemih
tonus kandung urine membaik Monitor pola dan
kemih Kriteria Hasil : kemampuan berkemih
1. Kemampuan Terapeutik :
Berkemih Hindari penggunaan kateter
meningkat indweling
2. Nokturia Menurun Siapkan toilet
3. Frekuensi berkemih Sediakan peralatan yang
membaik dibutuhkan mudah
4. Sensai berkemih dijangkau
membaik Edukasi :
5. Distensi kandung Anjurkan intake cairan
kemih menurun adekuat mendukung output
urin
Anjurkan eliminasi normal
dengan aktivitas dan
olahraga
12
berhubungan keperawatan 2x24 jam Periksa kembali penyebab
dengan diharapkan Kontinensia gangguan berkemih
hiperaktivitas urine membaik Monitor pola dan
detrusor Kriteria Hasil : kemampuan berkemih
1. Kemampuan Terapeutik :
Berkemih Hindari penggunaan kateter
meningkat indweling
2. Nokturia Menurun Siapkan toilet
3. Frekuensi berkemih Sediakan peralatan yang
membaik dibutuhkan mudah
4. Sensai berkemih dijangkau
membaik Edukasi :
5. Distensi kandung Anjurkan intake cairan
kemih menurun adekuat mendukung output
urin
Anjurkan eliminasi normal
dengan aktivitas dan
olahraga
13
5. Distensi kandung secara rutin
kemih menurun Ambil sampel urin untuk
pemeriksaan urin lengkap
Buat jadwal konsumsi obat-
obatan diuretic
Edukasi :
Jelaskan definisi,
jeni,inkotinensia,
Penyebabnya
Jelaskan program
penanganan inkontinensia
urin
Anjurkan batasi konsumsi
cairan 2-3 jam jelang tidur
Anjurkan konsumsi buah
dan sayur untuk
menghindari konstipasi
Anjurkan minum mnimal
1500cc/hari
Kolaborasi :
Rujuk ke ahli inkotinensia
5 Retensi urin Tujuan: KATETERISASI URINE
berhubungan Setelah dilakukan tindakan Observasi :
dengan obstruksi keperawatan 1x24 jam Periksa kondisi pasien
uretra diharapkan karakteristik Terapeutik :
urin membaik Siapkan peralatan, bahan-
Kriteria Hasil : bahan dan ruangan tindakan
1. Distensi kandung Siapkan pasien, bebaskan
kemih menurun pakaian bawah dan
2. Sensasi berkemih posisikan dorsal rekumben
meningkat Bersihkan area perineal
3. Sensai berkemih dengan NaCl
membaik Lakukan insersi kateter urin
14
4. Desakan berkemih Sambungkan kateter urine
(urgensi) menurun dengan urin bag
5. Berkemih tidak Isi balon dgn NaCl
tuntas menurun Fiksasi selang kateter diatas
simpisis
Anjurkan menarik napas
saat insersi selang kateter
Edukasi :
Jelaskan tujuan dan
prosedur pemasangan
kateter urin
Anjurkan menarik napas
saat insersi selang kateter
15
Anjurkan menggunakan
pelembab (mis. Lotin, serum)
Anjurkan minum air yang
cukup
Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
Anjurkan meningkat asupan
buah dan sayur
16
Terapeutik
Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur,
terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi
bermain)
Control lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
Fasilitasi istirahat dan tidur
Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
Edukasi
17
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
18
berubah menurun tidur, minum banyak air
4. Keluhan istirahat sebelum tidur)
tidak cukup Terapeutik:
menurun Modifikasi lingkungan
(mis. pencahayaan,
kebisingan, suhu, matras,
dan tempat tidur)
Batasi waktu tidur siang,
jika perlu
Fasilitasi menghilangkan
stres sebelum tidur
Tetapkan jadwal tidur rutin
Lakukan prosedur untuk
meningkatkan kenyamanan
(mis. pijat, pengaturan
posisi, terapi akupresur)
Sesuaikan jadwal
pemberian obat dan/atau
tindakan untuk menunjang
siklus tidur-terjaga
Edukasi
Jelaskan pentingnya tidur
cukup selama sakit
Anjurkan menepati
kebiasaan waktu tidur
Anjurkan menghindari
makanan/minuman yang
mengganggu tidur
10. Ansietas Tujuan: REDUKSI ANSIETAS
berhubungan Setelah dilakukan tindakan Observasi:
dengan perubahan keperawatan 2x24 jam Identifikasi saat tingkat
status kesehatan diharapkan tingkat ansietas ansietas berubah
menurun Identifikasi kemampuan
19
Kriteria Hasil: mengambil keputusan
1. Konsentrasi Monitor tanda-tanda ansietas
meningkat Terapeutik:
2. Pola tidur Ciptakan suasana teraupetik
meningkat untuk menumbuhkan
3. Perilaku gelisah kepercayaan
menurun Temani pasien untuk
4. Perilaku tegang mengurangi kecemasan,
menurun jika memungkinkan
5. Verbalisasi Pahami situasi yang
kebingungan membuat ansietas
menurun Dengarkan dengan penuh
6. Verbalisasi perhatian
khawatir akibat Gunakan pendekatan yang
yang dihadapi tenang dan meyakinkan
menurun Motivasi mengidentifikasi
situasi yang memicu
kecemasan
Edukasi
Jelaskan prosedur, termasuk
sensasi yang mungkin
dialami
Informasikan secara faktual
mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis
Anjurkan keluarga untuk
tetap bersama pasien
Latih kegiatan pengalihan
untuk mengurangi
ketegangan
Latih teknik relaksasi
BAB III
20
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan
ini lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum
pernah melahirkan (nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di
dasar panggul. Kebanyakan penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding
depan vagina disertai sistouretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan
prolapsus total uterus dan vagina dengan kontinensia urine yang baik. Angka kejadian
bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati.
Inkontinensia urin merupakan pengeluaran urin yang tidak terkendali pada
waktu yang tidak dikehendaki dan tidak melihat jumlah maupun frekuensinya,
keadaan ini dapat menyebabkan masalah fisik, emosional, sosial dan kebersihan
(Kurniasari, 2016). Proses berkemih yang normal adalah suatu proses dinamik yang
secara fisiologik berlangsung dibawah kontrol dan koordinasi sistem saraf pusat dan
sistem saraf tepi di daerah sacrum. Sensasi pertama ingin berkemih biasanya timbul
pada saat volume kandung kemih mencapai 150–350 ml. Umumnya kandung kemih
dapat menampung urin sampai kurang lebih 500 ml tanpa terjadi kebocoran.
Frekuensi berkemih yang normal adalah tiap 3 jam sekali atau tidak lebih dari 8 kali
sehari (Wahab, 2016). Menurut penelitian Junita, (2013) rata-rata lansia yang
mengalami inkontinensia urin akan berkemih sebanyak 12 kali selama 24 jam.
21
DAFTAR PUSTAKA
Fakhrizal, E., & Maryuni, S. W. (2017). Inkontinensia Urin Pascapersalinan dan Faktor-
Faktor Risiko yang Memengaruhinya. Jurnal Ilmu Kedokteran (Journal of
Medical Science), 10(2), 98-105.
Nada, I. K. W. (2020). I Gusti Ayu Eka Para Santi Sidemen, Kadek Agus Heryana Putra.
MEDICINA, 51(2), 150-152.
smadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Salemba
Medika.
Darmojo B. 2009. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
22
Hariyati, Tutik S. (2000). Hubungan antara bladder retraining dengan proses pemulihan
inkontinensia urin pada pasien stoke. Diakses dari
http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=76387&lokasi=lokal
pada tanggal 19 Mei 2014
Hidayat, A. Alimul. (2006). Pengantar kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan
proses keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Nanda. 2009. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC
Potter, Patricia A. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Proses dan praktik. Ed.
4.Jakarta: EGC
Rochani. (2002). Penduduk indonesia idap inkontinensia urin. Diakses dari
http://www.pdpersi.co.id pada tanggal 19 Mei 2014
Uliyah, Musfiratul. 2008. Ketrampilan Dasar praktik Klinik. Jakarta : Salemba Medika
Wilkinson M Judith. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
NOC. Jakarta: EGC
23